Anda di halaman 1dari 41

TOKSISITAS MOLUSKISIDA FENTIN ASETAT TERHADAP

KARAKTERISTIK HEMATOLOGI DAN PERTUMBUHAN


IKAN NILA (Oreochromis sp.)

AISYAH LUKMINI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Toksisitas Moluskisida


Fentin Asetat terhadap Karakteristik Hematologi dan Pertumbuhan Ikan Nila
(Oreochromis sp.) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2016

Aisyah Lukmini
NIM C151130101
RINGKASAN

AISYAH LUKMINI. Toksisitas Moluskisida Fentin Asetat terhadap Karakteristik


Hematologi dan Pertumbuhan Ikan Nila (Oreochromis sp.). Dibimbing oleh
EDDY SUPRIYONO dan TATAG BUDIARDI.

Fentin asetat (C20H18O2Sn) merupakan senyawa organotin yang banyak


digunakan sebagai bahan aktif dalam formulasi moluskisida pertanian.
Penggunaan senyawa ini akan meninggalkan residu dalam lingkungan biotik dan
abiotik. Lebih lanjut, fentin asetat bersifat mudah larut dalam lemak (lipofilik)
sehingga dapat terserap dan terakumulasi di dalam tubuh organisme dan dapat
mengganggu fisiologi biota budidaya. Senyawa ini diketahui mampu menurunkan
laju pengambilan makanan, laju pertumbuhan, tingkat kelangsungan hidup dan
menghambat sekresi hormon insulin.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis toksisitas fentin asetat pada
kondisi akut, serta menganalisis pengaruh fentin asetat pada kondisi sublethal
terhadap karakteristik hematologi, kadar glukosa, kelangsungan hidup dan
pertumbuhan juvenil ikan nila. Bahan uji yang digunakan adalah fentin asetat
(C20H18O2Sn). Hewan uji yang digunakan adalah juvenil ikan nila dengan bobot
rata-rata 8,90±0,13 g. Rancangan penelitian menggunakan rancangan acak
lengkap (RAL) dengan perlakuan konsentrasi fentin asetat berbeda. Penelitian
dilakukan dalam tiga tahap meliputi uji nilai kisaran, uji akut, dan uji toksisitas
sublethal. Pada uji nilai kisaran digunakan 8 taraf konsentrasi yaitu K (kontrol), A
(0,0075 ppm), B (0,025 ppm), C (0,0375 ppm), D (0,05 ppm), E (0,0625 ppm), F
(0,06875 ppm), dan G (0,075 ppm) masing-masing dengan dua kali ulangan. Uji
akut menggunakan 8 taraf konsentrasi yaitu K (kontrol), A (0,011 ppm), B (0,015
ppm), C (0,021 ppm), D (0,029 ppm), E (0,04 ppm), F (0,056 ppm), dan G (0,075
ppm) masing-masing dengan tiga kali ulangan. Uji toksisitas sublethal
menggunakan 4 taraf konsentrasi yaitu K (kontrol), A (0,003 ppm), B (0,008 ppm)
dan C (0,015 ppm) masing-masing dengan tiga kali ulangan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai konsentrasi ambang bawah
moluskisida fentin asetat (LC0-48 jam) adalah 0,0075 ppm dan nilai ambang atas
(LC100-24 jam) adalah 0,075 ppm. Nilai LC50- 24 ; 48; 72; dan 96 jam moluskisida
fentin asetat terhadap ikan nila adalah 0,058 ppm, 0,047 ppm, 0,036 ppm dan 0,03
ppm. Konsentrasi sublethal moluskisida fentin asetat berpengaruh nyata terhadap
penurunan total eritrosit, kadar hemoglobin, kadar hematokrit, laju pertumbuhan,
dan kelangsungan hidup. Total eritrosit, kadar hemoglobin, kadar hematokrit, laju
pertumbuhan, dan kelangsungan hidup tertinggi terdapat pada kontrol sedangkan
yang terendah pada perlakuan C. Hasil penelitian juga menunjukkan terjadi
peningkatan total leukosit serta kadar glukosa darah ikan uji. Total leukosit dan
kadar glukosa tertinggi ada pada perlakuan C, sedangkan yang terendah pada
kontrol.
Nilai LC50-96 jam moluskisida fentin asetat adalah sebesar 0,03 ppm.
Terjadi penurunan total eritrosit, kadar hemoglobin, dan kadar hematokrit, tingkat
kelangsungan hidup serta peningkatan leukosit dan kadar glukosa pada tingkat
sublethal yang terjadi mulai konsentrasi 0,003 ppm.

Kata kunci: toksisitas, hematologi, ikan nila, fentin asetat


SUMMARY

AISYAH LUKMINI. Toxicity of Fentin Acetate Molluscicide on Haematological


Characteristics and Growth of Tilapia (Oreochromis sp). Supervised by EDDY
SUPRIYONO and TATAG BUDIARDI.

Fentin acetate is an organotin compound which widely used as active agent


in molluscicide formulation on agriculture. Fentin acetate usage will leave
residues to both biotic and abiotic environment. This compound characteristic
includes high solubility in fat (lipophillic) so the compound can easily be
absorbed and accumulated inside the body of organisms, therefore, harming the
physiology of cultured organism. The compound largely known to decrease the
rate of food intake, growth rate, survival rate, and inhibits insulin secretion.
This study aimed to analyze fentin acetate toxicity in its lethal condition and
analyze the effect of the compound to the sublethal condition based on the
haematological characteristic, glucose level, survival rate, and the growth of
tilapia. Experiment material includes fentin acetate with tilapia juveniles as the
object of the study. Juveniles used has average weight of 8.90±0.13 g. The study
design was using complete randomized design with different fentin concentration
as treatment. This study done in three steps : finding range test, acute test, and
sublethal toxicity test.
Study on finding range test using 8 diffferent concentrations. Differences
include control, A (0.0075 ppm), B (0.025 ppm), C (0.0375 ppm), D (0.05 ppm),
E (0.0625 ppm), F (0.06875 ppm), and G (0.075). Two replications were being
done for each concentration. Acute test were done using 8 different
concentrations, those were K (control), A (0.011 ppm), B (0.015 ppm), C (0.021
ppm), D (0.029 ppm), E (0.040 ppm), F (0.056 ppm), and G (0.075ppm), with
each concentration repeated three times. Sublethal toxicity test done using 4 level
of concentrations, C (kontrol), A (0.003 ppm), B (0.008 ppm) and C (0.015 ppm),
each concentration was being done in two repetitions.
Result shows that minimal concentration threshold of fentin acetate
molluscicides was 0.0075 ppm while maximum concentration threshold (LC100-24
hours) was 0.075 ppm. LC50 value for 24h, 48h, 72h, and 96 hours of fentin
acetate molluscicides to affect tilapia were 0.058 ppm, 0.047 ppm, 0.036 ppm and
0.03 ppm. Sublethal concentration of fentin acetate decrease the total amount of
erythrocytes, hemoglobin level, hematocrit level, growth rate, and survival rate.
The highest value of erythrocytes, hemoglobin level, hematocrit level, growth
rate, and survival rate is control. Result shows that fentin acetate increasing the
total amount of leucocytes and glucose level.
The LC50-96 hours of fentin acetate for tilapia was 0,03 ppm. On sublethal
concentration, fentin acetate significantly affecting the decreasing of total
erythrocytes, hemoglobin level, hematocrit level, and survival rate, also causing
the increase of leucocytes level and glucose level from 0.003 ppm concentration.

Keywords: fentin acetate, haematological, tilapia, toxicity.


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
TOKSISITAS MOLUSKISIDA FENTIN ASETAT TERHADAP
KARAKTERISTIK HEMATOLOGI DAN PERTUMBUHAN
IKAN NILA (Oreochromis sp.)

AISYAH LUKMINI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Akuakultur

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Kukuh Nirmala, MSc
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2015 ini ialah
toksikologi, dengan judul Toksisitas Moluskisida Fentin Asetat terhadap Karakteristik
Hematologi dan Pertumbuhan Ikan Nila (Oreochromis sp.).
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya tesis ini tidak lepas dari segala
bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik ide, tenaga, moril maupun
material. Oleh karena itu penulis menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam
pada Dr Ir Eddy Supriyono, MSc dan Dr Ir Tatag Budiardi, MSi sebagai komisi
pembimbing atas waktu dan bimbingannya mulai dari penyusunan proposal,
pelaksanaan penelitian hingga penulisan tesis. Penulis juga menyampaikan rasa
terimakasih pada Dr Ir Kukuh Nirmala, MSc sebagai penguji luar komisi dan Dr
Dinamella Wahjuningrum, SSi, MSi sebagai perwakilan dari Program Studi Ilmu
Akuakultur yang memberikan saran selama ujian tesis.
Terima kasih disampaikan pada Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (DIKTI),
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (KEMENDIKBUD) atas penyediaan
Beasiswa Unggulan Tahun 2013 sehingga penulis dapat melanjutkan studi di Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih dan penghargaan yang tinggi penulis haturkan pada Mama Siti
Jedia dan Bapa Ismail Surdi, suamiku Muhammad As’ad, dua bidadariku Kanita
Delphi Afiqa dan Kaniya Delphi Afiqa, serta seluruh keluarga atas segala doa dan
kasih sayangnya.
Terima kasih kepada seluruh rekan-rekan S2 Ilmu Akuakultur angkatan
2013 atas kebersamaannya dalam menempuh studi.

Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk kemajuan ilmu
pengetahuan, khususnya perikanan.

Bogor, Juni 2016

Aisyah Lukmini
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 3
Hipotesis 3
Manfaat Penelitian 3
2 METODE 3
Waktu dan tempat 3
Bahan 3
Prosedur Penelitian 4
Parameter Penelitian 5
Analisis Data 7
3 HASIL DAN PEMBAHASAN 8
Hasil 8
Pembahasan 14
4 SIMPULAN DAN SARAN 16
Simpulan 16
Saran 17
DAFTAR PUSTAKA 17
LAMPIRAN 20
RIWAYAT HIDUP 25
DAFTAR TABEL
1 Analisis parameter fisika kimia air pada uji toksisitas sublethal 7
2 Nilai LC50 fentin asetat pada juvenil ikan nila 9
3 Kelangsungan hidup (%) ikan nila selama penelitian 13
4 Bobot rata-rata dan laju pertumbuhan spesifik pada akhir penelitian 14

DAFTAR GAMBAR
1 Persentase tingkat kematian kumulatif ikan nila selama uji nilai kisaran 8
2 Persentase tingkat kematian ikan nila selama uji akut 9
3 Jumlah eritrosit (x106 sel mm-3) ikan nila selama penelitian 10
4 Kadar hemoglobin (g%) ikan nila selama penelitian 11
5 Kadar hematokrit (%) ikan nila selama penelitian 11
6 Jumlah leukosit (x104 sel mm-3) ikan nila selama penelitian 12
7 Kadar glukosa (mg dL-1) ikan nila selama penelitian 13

DAFTAR LAMPIRAN
1 Analisis ragam dan uji lanjut (Duncan) karakteristik hematologi ikan
nila 20
2 Analisis ragam dan uji lanjut (Duncan) kadar glukosa ikan nila 22
3 Analisis ragam dan uji lanjut (Duncan) kelangsungan hidup (KH) ikan
nila 23
4 Analisis ragam bobot rata-rata (g/ekor) ikan nila pada akhir penelitian 23
5 Analisis ragam dan uji lanjut (Duncan) laju pertumbuhan spesifik ikan
nila 23
1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Polusi air saat ini sudah menjadi masalah global. Salah satu bahan yang
diketahui menyebabkan polusi air adalah pestisida. Penggunaan pestisida yang
sudah semakin luas, selain membawa dampak positif berupa meningkatnya hasil-
hasil pertanian juga memiliki potensi dampak negatif terutama di ekosistem
perairan. Hal ini bisa terjadi karena jika digunakan dengan metode spray, sekitar
60-99% pestisida yang akan tertinggal pada target atau sasaran, sedangkan jika
digunakan dalam bentuk serbuk hanya 10-40% yang mencapai target, sisanya
melayang bersama aliran angin atau segera mencapai tanah (Sudarmo 1991).
Sehubungan dengan hal tersebut, maka Komisi Pestisida telah mengidentifikasi
berbagai kemungkinan yang timbul akibat penggunaan pestisida, antara lain
adalah keracunan terhadap ikan. Penggunaan pestisida pada padi sawah atau
lingkungan perairan lainnya dapat mengakibatkan kematian pada ikan yang
dipelihara di sawah atau di kolam. Pada konsentrasi tertentu, pestisida akan
terkonsentrasi di dalam lingkungan perairan sehingga berpotensi mengganggu
keseimbangan ekosistem perairan. Selain itu, pestisida akan masuk ke dalam
proses metabolisme organisme dan mengganggu fisiologi biota budidaya (Connel
& Miller 1995).
Salah satu pestisida yang diketahui bersifat toksik terhadap organisme
akuatik adalah fentin asetat dengan nama kimia trifeniltin asetat (berdasarkan
IUPAC). Fentin asetat merupakan senyawa organotin yang banyak digunakan
sebagai pestisida dalam bidang pertanian (Watermann et al. 2008). Senyawa
organotin adalah senyawa organometalik yang disusun oleh satu atau lebih ikatan
stannum-karbon (Sn-C).
Penggunaan senyawa organotin sudah dilarang di beberapa negara di Eropa
dan Amerika, sedangkan di beberapa negara di Asia, seperti Indonesia, Malaysia,
dan India penggunaannya masih diizinkan. Di Indonesia, senyawa ini digunakan
untuk mengendalikan siput murbei (Pomacea canaliculata) di padi sawah, siput
trisipan (Cheritidea sp.) di tambak udang windu dan bandeng, dan siput
Parmarion pupilaris di tanaman kubis bunga (Ditjen PSP 2014). Menurut
Guevarra et al. (1987), fentin asetat dengan dosis 0,6-1,2 kg ha-1 merupakan
moluskisida yang paling efektif untuk mengontrol populasi siput murbei
(Pomacea canaliculata Lamarck) di sawah.
Adanya larangan terhadap penggunaan senyawa organotin disebabkan
toksisitasnya yang sangat tinggi bagi organisme akuatik (Okoro et al. 2011).
Senyawa ini bersifat lipofilik atau mudah larut dalam lemak sehingga dapat
terserap dan terakumulasi di dalam tubuh organisme sehingga merupakan masalah
dalam kegiatan budidaya (Cima et al. 1996). Dua jenis senyawa organotin yang
diketahui bersifat sangat toksik bagi organisme akuatik adalah tributiltin dan
trifeniltin. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua senyawa ini
mampu mengganggu pertumbuhan dan menurunkan tingkat kelangsungan hidup
Mytilus edulis (Haggera et al. 2005), serta menghambat sekresi hormon insulin
pada hamster (Miura et al. 2012). Hasil penelitian Stonner (1966) menunjukkan
bahwa pada dosis 300 ppm, trifeniltin asetat dapat menyebabkan kematian pada
2

tikus. Pada dosis 25 ppm, trifeniltin mampu menurunkan laju pertumbuhan pada
tikus dan babi (Verschuuren et al. 1966).
Kannan dan Lee (1996) melaporkan bahwa trifeniltin yang digunakan
sebagai pestisida dan kemudian lepas ke perairan akan terakumulasi di sedimen.
Hasil penelitian Harino et al. (2012) di tiga lokasi perairan di Indonesia yaitu
Bitung, Manado, dan Teluk Jakarta menemukan bahwa sedimen di tiga lokasi
tersebut mengandung senyawa trifeniltin dengan konsentrasi yang sangat tinggi.
Konsentrasi senyawa trifeniltin yang terdeteksi di tiga lokasi tersebut masing-
masing berkisar antara <0,1-19 µg kg-1 di Bitung, 0,1 µg kg-1 di Manado dan
<0,1-7,1 µg kg-1 di Teluk Jakarta.
Tingginya kandungan trifeniltin baik di sedimen maupun di perairan, akan
membahayakan organisme akuatik yang hidup di dalamnya. Hal ini diperparah
dengan fakta bahwa air sungai dan waduk sering dimanfaatkan sebagai sumber air
pasok budidaya ikan, sehingga akan mengancam kegiatan budidaya ikan yang
sedang giat dikembangkan oleh masyarakat Indonesia, misalnya ikan nila
(Oreochromis sp.). Ikan nila merupakan salah satu komoditas perikanan dalam
program percepatan industrialisasi dari jenis komoditas budidaya dengan jumlah
produksi pada tahun 2014 sebesar 912.613,29 ton (KKP 2014). Komoditas ini
dibudidayakan dengan memanfaatkan air sungai dan waduk sebagai sumber air
pasok. Akan tetapi informasi mengenai batas nilai maksimum dari moluskisida
fentin asetat yang bisa ditolerir oleh ikan nila, sampai saat ini belum diketahui.
Selama ini penelitian mengenai daya toksik fentin asetat, lebih banyak dilakukan
pada organisme teresterial seperti tikus (Stonner 1966) dan hamster (Miura et al.
2012). Penelitian mengenai toksisitas sublethal fentin asetat terhadap kondisi
fisiologis ikan nila, belum pernah dilaporkan. Oleh karena itu, perlu untuk
melakukan penelitian tentang toksisitas fentin asetat pada ikan nila.

Perumusan Masalah

Peningkatan penggunaan pestisida terutama dalam bidang pertanian telah


menyebabkan pencemaran pada berbagai perairan. Hal ini terjadi karena pada
umumnya aktivitas pertanian akan menggunakan lingkungan perairan sebagai
tempat pembuangan limbah cair yang masih mengandung residu pestisida. Akibat
aktivitas tersebut maka lingkungan perairan yang merupakan sumber air untuk
berbagai kegiatan budidaya dapat tercemar oleh berbagai bahan aktif yang
terkandung dalam formulasi pestisida.
Fentin asetat merupakan senyawa organotin yang digunakan sebagai bahan
aktif dalam formulasi moluskisida pertanian. Penggunaan senyawa ini akan
meninggalkan residu baik dalam lingkungan biotik maupun abiotik. Lebih lanjut,
fentin asetat bersifat mudah larut dalam lemak (lipofilik) sehingga dapat terserap
dan terakumulasi di dalam tubuh organisme dan mengganggu fisiologi biota
budidaya.
Salah satu komoditas perikanan yang potensial tercemar oleh fentin asetat
adalah ikan nila karena pada umumnya ikan ini dibudidayakan di dalam kolam
dan KJA dengan sumber air berasal dari sungai yang merupakan tempat
pembuangan limbah cair pertanian. Oleh karena itu, perlu diketahui bahaya yang
3

dapat timbul pada ikan nila akibat terpapar pada air yang tercemar fentin asetat,
baik pada konsentrasi akut maupun sublethal.
Estimasi toksisitas fentin asetat dan pengaruh yang dapat timbul terhadap
ikan nila dapat diketahui melalui beberapa pengujian seperti uji hayati (bioassay),
uji akumulasi, uji eliminasi dan uji sublethal. Dalam kondisi sublethal pengaruh
dari toksisitas moluskisida fentin asetat dapat berdampak pada perubahan
karakteristik hematologi dan kadar glukosa dalam darah sehingga dalam jangka
waktu tertentu akan berpengaruh terhadap tingkat kelangsungan hidup dan laju
pertumbuhan ikan nila.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis tingkat toksisitas akut


fentin asetat yang diekspresikan dengan nilai LC50-96 jam dan menganalisis
toksisitas sublethal fentin asetat terhadap karakteristik hematologi, kadar glukosa,
kelangsungan hidup, dan pertumbuhan ikan nila.

Hipotesis

Pada konsentrasi akut, fentin asetat dapat menyebabkan kematian ikan nila
sedangkan pada konsentrasi sublethal, fentin asetat dapat menimbulkan perubahan
karakteristik hematologi dan kadar glukosa dan selanjutnya mempengaruhi
kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan nila.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menentukan daya


toksik fentin asetat terhadap ikan nila dan memberikan informasi tentang
konsentrasi sublethal fentin asetat yang dapat menganggu kelangsungan hidup dan
pertumbuhan ikan nila.

2 METODE

Waktu dan tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei hingga Juli 2015 di


Laboratorium Lingkungan Akuakultur Departemen Budidaya Perairan (BDP) IPB,
analisis karakteristik hematologi dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan BDP
IPB. Analisis kadar glukosa dilakukan di Laboratorium Fisiologi Fakultas
Kedokteran Hewan IPB.
Bahan

Bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah fentin asetat


(C20H18O2Sn) dalam bentuk serbuk. Biota uji yang digunakan adalah ikan nila
dengan bobot rata-rata 8,90±0,13 g. Transpor ikan uji ke laboratorium
menggunakan kantong plastik transparan yang diberi oksigen. Sebelum digunakan,
ikan uji diaklimatisasi selama 14 hari. Selama masa adaptasi, ikan uji diberi pakan
komersil sebanyak dua kali sehari secara at satiation. Pada saat akan digunakan,
4

ikan uji dalam kondisi sehat, ditandai dengan aktif makan, aktif berenang dan
tidak cacat. Sebelum digunakan, ikan uji diseleksi berdasarkan ukuran yang
homogen berdasarkan bobot awalnya.

Prosedur Penelitian

Uji Nilai Kisaran

Uji nilai kisaran dilakukan selama 48 jam, menggunakan rancangan acak


lengkap (RAL) yang bertujuan untuk menentukan konsentrasi ambang atas (N)
dan konsentrasi ambang batas bawah (n) fentin asetat terhadap ikan nila.
Konsentrasi ambang batas atas adalah konsentrasi terendah fentin asetat yang
dapat menyebabkan semua ikan nila mati pada periode waktu 24 jam (LC100-24
jam). Konsentrasi ambang batas bawah adalah konsentrasi tertinggi dari fentin
asetat yang dapat menyebabkan semua ikan nila hidup setelah pemaparan 48 jam
(LC0-48 jam). Konsentrasi fentin asetat yang digunakan yaitu K (kontrol), A
(0,0075 ppm), B (0,025 ppm), C (0,0375 ppm), D (0,05 ppm), E (0,0625 ppm), F
(0,06875 ppm), dan G (0,075 ppm), masing-masing dengan dua kali ulangan. Cara
menformulasi tingkatan konsentrasi media uji adalah membuat larutan stok
kemudian dilakukan pengenceran. Konsentrasi larutan uji dihitung menggunakan
persamaan berikut :
V1N1=V2N2

Keterangan :
V1 = Volume larutan stok yang akan diambil (liter)
N1 = Konsentrasi pestisida dalam larutan stok (ppm)
V2 = Volume air penelitian yang akan digunakan (liter)
N2 = Konsentrasi pestisida yang diinginkan dalam media air (ppm)

Wadah percobaan yang digunakan adalah akuarium kaca berukuran


50x30x40 cm3 sebanyak 16 buah. Hewan uji dimasukkan sebanyak 10
ekor/akuarium. Pengamatan mortalitas hewan uji dilakukan pada jam ke-0, 2, 4, 8,
16, 24 dan 48.
Hasil dari uji penentuan kisaran diperoleh nilai ambang batas atas (N) dan
ambang batas bawah (n). Nilai ambang batas atas dan batas bawah ini dimasukkan
ke dalam rumus Komisi Pestisida (1983) :

Log N/n = k log(a/n)…………………………….. (1)


a/n=b/a=c/b=d/c=N/d…………………………….(2)

Keterangan :
N = Konsentrasi ambang atas (ppm)
n = Konsentrasi ambang bawah (ppm)
K = jumlah konsentrasi yang diuji (a,b,c,d adalah konsentrasi yang
diuji dengan nilai a sebagai konsentrasi terkecil)
Persamaan satu menghasilkan konsentrasi terkecil (a) dan persamaan dua
menghasilkan nilai konsentrasi untuk uji akut.
5

Uji Akut

Uji akut dilakukan untuk menentukan median lethal concentration LC50-


96 jam fentin asetat pada juvenil ikan nila. Prosedur pada pengujian ini merujuk
pada prosedur uji akut yang dilakukan oleh Supriyono et al. (1998). Uji ini
dilakukan dengan memasukkan 10 ekor ikan nila ke dalam setiap akuarium
berukuran 50x30x40 cm3. Konsentrasi pestisida yang digunakan yaitu K (kontrol),
A (0,011 ppm), B (0,015 ppm), C (0,021 ppm), D (0,029 ppm), E (0,04 ppm), F
(0,056 ppm), dan G (0,075 ppm), masing-masing dengan tiga kali ulangan.
Pengamatan mortalitas ikan dilakukan pada jam ke-0, 2, 4, 8, 10, 12, 24, 36, 48,
60, 72, dan 96. Nilai LC50 pada waktu pemaparan 24, 48, 72 dan 96 jam
ditentukan melalui analisis probit dengan perangkat lunak Minitab 16. Analisis
probit adalah suatu cara transformasi statistik dari data persentase kematian ke
dalam varian yang disebut probit dan kemudian digunakan untuk menentukan
fungsi regresi probit dengan log konsentrasi agar dapat mengestimasi LC50.

Uji Toksisitas Sublethal

Tujuan uji sublethal yaitu untuk menganalisis pengaruh moluskisida fentin


asetat terhadap perubahan karakteristik hematologi (total eritrosit (TE), kadar
hemoglobin (Hb), kadar hematokrit (Hc) dan total leukosit), kadar glukosa,
kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan ikan nila. Wadah percobaan yang
digunakan adalah akuarium kaca berukuran 100x50x50 cm3 dengan volume 160
L/akuarium sebanyak 12 buah. Hewan uji yang sudah diseleksi, ditebar sebanyak
30 ekor/akuarium. Sistem pemeliharaan dilengkapi dengan aerasi. Ikan dipelihara
selama 21 hari. Selama uji ini berlangsung, ikan nila diberi pakan komersil secara
at satiation dengan frekuensi pemberian 2 kali sehari yaitu pada pukul 07.00 dan
15.00 WIB. Penggantian air sebanyak 50 % dengan konsentrasi fentin asetat yang
sama dilakukan setiap hari. Sampling dilakukan setiap tujuh hari. Rancangan
penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari 4
perlakuan konsentrasi fentin asetat yaitu K (0 ppm), A (0,003 ppm), B (0,008
ppm) dan C (0,015 ppm). Setiap perlakuan memiliki tiga ulangan. Penentuan
konsentrasi didasarkan pada hasil uji akut, yaitu 10% (perlakuan A), 25%
(perlakuan B), dan 50% (perlakuan C) dari nilai LC50-96 jam.

Parameter Penelitian

Karakteristik Hematologi
Sampling gambaran darah dilakukan pada hari ke-0, 7, 14, dan 21.
Sebelum diambil darahnya, ikan dibius terlebih dahulu menggunakan MS222,
kemudian darah diambil dari bagian ekor sebanyak 0,6 ml dari 2 ekor ikan
menggunakan syringe steril berukuran 1 ml yang sebelumnya dicuci dengan
antikoagulan (Na sitrat 3,8%). Sampel darah digunakan untuk pengukuran total
eritrosit (TE), kadar hemoglobin (Hb), kadar hematokrit (Hc) dan total leukosit
(TL).
TE diukur menggunakan prosedur dari Blaxhall dan Daisley (1973).
Sampel darah diambil menggunakan pipet yang berisi bulir berwarna merah
6

sampai skala 1, kemudian ditambahkan larutan Hayem’s sampai skala 101, lalu
dilakukan pengadukan dengan menggoyangkan pipet yang sama selama 3–5 menit
hingga darah dan larutan Hayem’s tercampur rata. Tetesan pertama dibuang dan
tetesan berikutnya diteteskan pada hemositometer, kemudian ditutup dengan gelas
penutup dan diamati dengan mikroskop pembesaran 400x. Penghitungan TE
dilakukan pada lima kotak kecil dalam hemositometer dengan persamaan sebagai
berikut:
TE = Σ eritrosit x 1/(volume kotak) x faktor pengenceran

Kadar Hb diukur dengan metode Sahli menggunakan sahlinometer


(Wedemeyer dan Yasutake 1977). Sampel darah dihisap menggunakan pipet Sahli
hingga skala 20 mm3 atau 0,2 ml, kemudian dimasukkan ke dalam tabung Hb-
meter yang telah diisi dengan HCl 0,1 N sampai skala 10 (merah), lalu dilakukan
pengadukan dan didiamkan selama 3–5 menit. Selanjutnya, akuades dimasukkan
ke dalam tabung Hb-meter hingga terjadi perubahan warna seperti warna larutan
standar pada Hb-meter. Skala dibaca dengan melihat permukaan cairan dan
dicocokkan dengan skala tabung Sahli yang dilihat pada skala jalur g% (kuning)
yang berarti banyaknya Hb per 100 ml darah.
Kadar Hc diukur dengan mengambil sampel darah menggunakan tabung
mikrohematokrit dan disentrifus dengan kecepatan 5000 rpm selama 5 menit.
Kadar hematokrit diketahui dengan membandingkan panjang sel darah yang
mengendap dengan panjang total volume darah pada tabung mikrohematokrit
(Anderson & Siwicki 1995) :

Hematokrit = (volume sel darah merah )/(total volume darah) x 100

Prosedur pengukuran TL dilakukan menurut Blaxhall dan Daisley (1973).


Sampel darah diambil menggunakan pipet yang berisi bulir berwarna putih sampai
skala 0,5, kemudian ditambahkan larutan Turk’s sampai skala 11, lalu dilakukan
pengadukan dengan menggoyangkan pipet selama 3–5 menit hingga darah dan
larutan Turk’s tercampur rata. Tetesan pertama dibuang dan tetesan berikutnya
diteteskan pada hemositometer, kemudian ditutup dengan gelas penutup dan
diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran 400x. Penghitungan TL
dilakukan pada empat kotak besar dalam hemositometer menggunakan persamaan
sebagai berikut:

TL = Σ leukosit x 1/(volume kotak) x faktor pengenceran

Kadar Glukosa
Pemeriksaan kadar glukosa darah ikan dilakukan sebagai indikator stres
sekunder akibat toksisitas fentin asetat. Pengukuran kadar glukosa darah
dilakukan sebanyak 4 kali yaitu pada hari ke 0, 7, 14 dan hari ke-21. Sebelum
pengambilan darah, ikan dipuasakan selama 24 jam. Prosedur pengukuran glukosa
darah yaitu: plasma darah diambil dengan cara disentrifus, selanjutnya 10 μl
plasma darah dicampur dengan reagent sebanyak 1000 μl. Setelah itu, diinkubasi
pada suhu 20-250C selama 10 menit atau 370C selama 5 menit. Selanjutnya
setelah didinginkan pada suhu kamar lalu dibaca menggunakan spektrofotometer
pada panjang gelombang 500 nm dengan rumus :
7

GD = Au x Cs /As

Keterangan :
GD = Konsentrasi Glukosa darah (mg/100 ml)
Au = Absorbansi sampel
Cs = Konsentrasi standar
As = Absorbansi standar

Kinerja Pertumbuhan
Parameter kinerja pertumbuhan yang diukur meliputi tingkat kelangsungan
hidup (TKH) dan laju pertumbuhan spesifik (LPS). Pengukuran TKH dilakukan
pada hari ke 7,14 dan 21 menggunakan persamaan menurut Effendie (2002)
sebagai berikut:
TKH = Nt/(N0 ) x 100

Keterangan:
TKH = Tingkat kelangsungan hidup (%)
Nt = Jumlah ikan yang hidup pada akhir penelitian (ekor)
N0 = Jumlah ikan pada awal penelitian (ekor)

Pengukuran LPS dilakukan pada masa pemeliharaan menggunakan


persamaan menurut Giri et al. (2013) sebagai berikut:

LPS = 100 x (ln We-ln Ws)/t


Keterangan:
LPS = Laju pertumbuhan spesifik (%)
We = Rata-rata bobot ikan pada akhir penelitian (g)
Ws = Rata-rata bobot ikan pada awal penelitian (g)
t = Waktu pemeliharaan (hari)

Fisika Kimia Air

Tabel 1 Analisis parameter fisika kimia air pada uji toksisitas sublethal

Parameter Satuan Alat


0
Suhu C Termometer
DO mg l-1 DO meter
pH - pH meter
TAN mg l-1 Spektrofotometer

Analisis Data

Data yang telah diperoleh kemudian ditabulasi dan dianalisis


menggunakan Microsoft Excel 2010 dan SPSS 17. Analisis ragam (ANOVA)
dengan uji F pada selang kepercayaan 95% digunakan untuk menentukan
pengaruh perlakuan terhadap perubahan karakteristik hematologi, kadar glukosa,
8

kelangsungan hidup dan pertumbuhan. Apabila berpengaruh nyata, maka


dilanjutkan dengan uji Duncan.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Uji Nilai Kisaran

Respons ikan uji terhadap deretan konsentrasi pada uji nilai kisaran
konsentrasi menunjukkan kepekaan mortalitas yang tinggi terhadap daya toksik
fentin asetat. Pada konsentrasi 0,075 ppm, mortalitas ikan uji mencapai 100 %
setelah 24 jam pemaparan. Pada konsentrasi 0,0075 ppm, mortalitas ikan uji
sebesar 0 % sampai dengan 48 jam pemaparan. Berdasarkan nilai mortalitas
selama uji nilai kisaran, ditetapkan nilai ambang atas yaitu 0,075 ppm dan nilai
ambang bawah yaitu 0,0075 ppm.

100 100 100 100 100 100


90 90
85 85
80
Mortalitas (%)

70
60
50
40 40
30
20
15
10
5
0 0 0
0 0,0075 0,025 0,0375 0,05 0,0625 0,06875 0,075
Konsentrasi fentin asetat (ppm)

24 jam 48 Jam

Gambar 1 Persentase tingkat kematian kumulatif ikan nila selama uji nilai kisaran

Uji Akut

Berdasarkan konsentrasi batas bawah dan batas atas, maka uji akut
dilakukan pada konsentrasi fentin asetat sebesar K (kontrol), A (0,011 ppm), B
(0,015 ppm), C (0,021 ppm), D (0,029 ppm), E (0,04 ppm), F (0,056 ppm), dan G
(0,075 ppm).
9

100 100 100 100


90
77
80 70

Mortalitas (%)
70
60
50
37
40
30 23
17
20 13 13
10 10 10
7 7
10 3 3
0 0 0 0 0 0
0
0 0,011 0,015 0,021 0,029 0,040 0,056 0,075
Konsentrasi fentin asetat (ppm)

24 jam 48 Jam 72 jam 96 Jam

Gambar 2 Persentase tingkat kematian ikan nila selama uji akut

Pada konsentrasi 0,075 ppm, mortalitas ikan uji mencapai 100 % setelah
24 jam pemaparan. Pada konsentrasi 0,011 ppm, mortalitas ikan uji sebesar 0%
hingga jam ke 72, setelah itu terjadi mortalitas sebesar 3% pada jam ke 96. Pada
kontrol, mortalitas ikan uji sebesar 0% sampai jam ke-96 setelah pemaparan fentin
asetat. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas media pemeliharaan dan vitalitas ikan
selama pengujian dalam kondisi yang baik.

Tabel 2 Nilai LC50 fentin asetat pada juvenil ikan nila

LC50 Konsentrasi (ppm)


24 Jam 0,058
48 Jam 0,047
72 Jam 0,036
96 Jam 0,03

Hasil analisis probit menunjukkan bahwa nilai LC50 pada waktu


pemaparan 24, 48, 72 dan 96 jam berturut-turut adalah 0,058 ; 0,047; 0,036 dan
0,03 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama waktu pemaparan, nilai
LC50 fentin asetat semakin rendah terhadap ikan nila.

Uji Toksisitas Sublethal

Uji toksisitas sublethal dilakukan selama 21 hari, bertujuan untuk


menganalisis pengaruh fentin asetat terhadap perubahan karakteristik hematologi,
kadar glukosa, kelangsungan hidup dan pertumbuhan juvenil ikan nila.

Karakteristik Hematologi
Perubahan karakteristik hematologi ikan nila selama penelitian, disajikan
pada Gambar 3 (total eritrosit), Gambar 4 (kadar hemoglobin), Gambar 5 (kadar
hematokrit), dan Gambar 6 (total leukosit).
10

Total eritrosit pada perlakuan A (0,003 ppm), B (0,008 ppm), dan C (0,015
ppm) cenderung mengalami penurunan dari awal sampai akhir penelitian (Gambar
3). Uji statistik menunjukkan kontrol berbeda nyata (p<0,05) dengan ketiga
perlakuan (Lampiran 1). Pada hari ketujuh total eritrosit tertinggi terlihat pada
perlakuan kontrol (1,83 x 106 sel mm-3) sedangkan yang terendah pada perlakuan
C (0,57 x 106 sel mm-3). Pada hari ke-14 total eritosit tertinggi masih pada kontrol
(1,89 x 106 sel mm-3) diikuti perlakuan A (0,88 x 106 sel mm-3), dan B (0,73 x 106
sel mm-3). Sementara pada hari ke-21, jumlah eritrosit pada perlakuan kontrol
sebesar 1,90 x 106 sel mm-3, sedangkan pada perlakuan A sebesar 0,82 x 106 sel
mm-3, dan total eritrosit terendah pada perlakuan B yaitu 0,56 x 106 sel mm-3. Dari
hari ke-14 sampai akhir penelitian, tidak diperoleh data total eritrosit pada
perlakuan C disebabkan semua ikan perlakuan pada konsentrasi ini mengalami
kematian setelah hari ketujuh penelitian.

2,50

a a a a a a a
2,00
(x106 sel mm-3)
Total Eritrosit

1,50 b K (0 ppm)
c b b A (0,003 ppm)
1,00 b
d c B (0,008 ppm)
0,50
C (0,015 ppm)
0,00
0 7 14 21
Waktu (hari ke-)

Gambar 3 Jumlah eritrosit (x106 sel mm-3) ikan nila selama penelitian
huruf superskrip yang berbeda pada hari yang sama menunjukkan perbedaan
nyata (p<0,05)

Selama penelitian, nilai hemoglobin pada perlakuan A, B, dan C


menunjukkan kecenderungan menurun (Gambar 4). Pada hari ketujuh, nilai
hemoglobin tertinggi terdapat pada perlakuan K(0 ppm) sebesar 7,8 g%, dan
berbeda nyata (p<0,05) dengan perlakuan A (0,003 ppm) yang sebesar 4,4 g% , B
(0,008 ppm) yang sebesar 3,7 g%, dan C (0,015 ppm) yang sebesar 5,4 g%. Pada
hari ke-14 menunjukkan kontrol (8,36 g%) berbeda nyata (p<0,05) dengan
perlakuan A (4,5 g%) dan B (3,1 g%). Demikian juga pada pengamatan hari ke-21,
perlakuan A (2,65 g%) dan B (2,7 g%) menunjukkan beda nyata (p<0,05)
terhadap kontrol (9,365 g%).
11

12

10 a
Hemoglobin (g%) a
a
8 a a a a

b K (0 ppm)
6
bc b A (0,003 ppm)
c
4 b B (0,008 ppm)
b b
C (0,015 ppm)
2

0
0 7 14 21
Waktu (hari ke-)

Gambar 4 Kadar hemoglobin (g%) ikan nila selama penelitian


huruf superskrip yang berbeda pada hari yang sama menunjukkan perbedaan
nyata (p<0,05)

Pada Gambar 5 terlihat bahwa selama penelitian terjadi kecenderungan


penurunan nilai hematokrit ikan uji. Pada pengamatan hari ketujuh, nilai
hematokrit tertinggi ada pada kontrol (30%) sedangkan yang terendah pada
perlakuan B (12,68%). Pada pengamatan hari ke-14, kontrol berbeda nyata
(p<0,05) terhadap perlakuan A dan B. Nilai hematokrit perlakuan kontrol, A, dan
B masing-masing sebesar 31,83%, 18,53%, dan 12,34%. Pada pengamatan hari
ke-21 kadar hematokrit pada kontrol (32,27%) berbeda nyata (p<0,05) dengan
perlakuan A (12,75%) dan B (5,85%).

40
35 a a
a a
a
Hematokrit (%)

30 a
a b
25
b
20 K (0 ppm)
bc b
15 c c A (0,003 ppm)
10 c B (0,008 ppm)
5 C (0,015 ppm)
0
0 7 14 21
Hari ke-

Gambar 5 Kadar hematokrit (%) ikan nila selama penelitian


huruf superskrip yang berbeda pada hari yang sama menunjukkan perbedaan
nyata (p<0,05)

Total leukosit ikan nila pada perlakuan A, B, dan C cenderung terus


meningkat hingga akhir penelitian (Gambar 6). Pada hari ketujuh, total leukosit
terendah ada pada kontrol (7,52 x 104 sel mm-3) sedangkan yang tertinggi pada
12

perlakuan C (8,81 x 104 sel mm-3). Pada pengamatan hari ke-14, kontrol (7,49 x
104 sel mm-3) menunjukkan beda nyata (p<0,05) terhadap perlakuan A (8,42 x 104
sel mm-3) dan B (9,35 x 104 sel mm-3). Pada pengamatan hari ke-21, menunjukkan
total leukosit terendah ada pada kontrol (7,11 x 104 sel mm-3) sedangkan yang
terendah ada pada perlakuan B (10,80 x 104 sel mm-3).

12,00 c
10,00 b
ab b ab b
(x104 sel mm-3)
Total Leukosit

a ab a
8,00 a
K (0 ppm)
6,00
A (0,003 ppm)
4,00 B (0,008 ppm)
2,00 C (0,015 ppm)

0,00
0 7 14 21
Waktu (hari ke-)

Gambar 6 Jumlah leukosit (x104 sel mm-3) ikan nila selama penelitian
huruf superskrip yang berbeda pada hari yang sama menunjukkan perbedaan
nyata (p<0,05)

Kadar Glukosa
Hasil penelitian menunjukkan kadar glukosa darah perlakuan A, B, dan C
cenderung terus meningkat hingga akhir penelitian. Pada pengamatan hari ketujuh,
kadar glukosa tertinggi ada pada perlakuan C (157,26 mg dL-1) diikuti perlakuan
A (89,25 mg dL-1), B (101,95 mg dL-1), dan terendah pada kontrol sebesar 33,97
mg dL-1. Pada pengamatan hari ke-14, kontrol berbeda nyata (p<0,05) terhadap
perlakuan A dan B (Lampiran 2). Kadar glukosa perlakuan kontrol, A, dan B
masing-masing sebesar 36,38 mg dL-1, 92,03 mg dL-1, dan 102,65 mg dL-1. Pada
pengamatan hari ke-21, kontrol (36,59 mg dL-1) berbeda nyata (p<0,05) dengan
perlakuan A (94,64 mg dL-1) dan B (103,09 mg dL-1).
13

180
d
160
Glukosa (mg dL-1) 140
120 c b b
b b b
100 K (0 ppm)
80 A (0,003 ppm)
60 B (0,008 ppm)
a a a
40
C (0,015 ppm)
20
0
0 7 14 21
Waktu (hari ke-)

Gambar 7 Kadar glukosa (mg dL-1) ikan nila selama penelitian


huruf superskrip yang berbeda pada hari yang sama menunjukkan perbedaan
nyata (p<0,05)

Kelangsungan Hidup (KH)


Data kelangsungan hidup (KH) ikan nila selama penelitian disajikan pada Tabel 3.
Persentase kelangsungan hidup tertinggi yaitu pada perlakuan kontrol diikuti
berturut-turut perlakuan A (0,003 ppm), B (0,008 ppm), dan C (0,015 ppm). Hasil
analisis statistik menunjukkan bahwa juvenil ikan nila yang terpapar fentin asetat
memiliki tingkat kelangsungan hidup yang lebih rendah dibandingkan kontrol
(Lampiran 3).

Tabel 3 Kelangsungan hidup (%) ikan nila selama penelitian

Konsentrasi fentin Waktu (hari ke-)


asetat (ppm) 7 14 21
0 (K) 100±0a 96,67±4,71a 91,67±11,7a
0,003 (A) 98,33±2,36a 81,67±2,36 a 70±4,71ab
0,008 (B) 73,33±4,71b 55±7,07b 30±18,86b
0,015 (C) 48,33±2,36c - -
* huruf superskrip yang berbeda pada hari dan kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata
(p<0,05)

Laju Pertumbuhan Spesifik (LPS)


Data bobot rata-rata dan laju pertumbuhan spesifik (LPS) pada akhir penelitian
disajikan pada Tabel 4. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan B
memiliki laju pertumbuhan yang paling rendah yaitu -1,70 %. Hasil analisis
statistik menunjukkan bahwa perlakuan B berbeda nyata dengan kontrol
(Lampiran 5). Pemberian fentin asetat dengan konsentrasi 0,008 ppm terbukti
mampu menurunkan laju pertumbuhan spesifik juvenil ikan nila.
14

Tabel 4 Bobot rata-rata dan laju pertumbuhan spesifik pada akhir penelitian

Konsentrasi fentin Bobot rata-rata (g) LPS (%)


asetat (ppm)
0 (K) 10,63±3,62a 1,03±1,13a
0,003 (A) 8,92±0,77a 0,08±0,17a
0,008 (B) 6,68±0,99a -1,70±0,96b
0,015 (C) - -
* huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05)

Kualitas Air
Suhu air selama penelitian berkisar antara 26-27⁰C, DO berkisar antara
6,80-7,40 ppm, pH berkisar antara 8,36-8,63, dan kisaran nilai TAN yaitu 0,184-
0,203 ppm.

Pembahasan

Uji nilai kisaran dilakukan untuk memperoleh kisaran konsentrasi fentin


asetat yang digunakan pada uji akut dengan memperhatikan batas bawah dan batas
atas. Batas atas merupakan konsentrasi terkecil fentin asetat yang menyebabkan
semua ikan nila mati pada periode waktu 24 jam, sedangkan batas bawah adalah
konsentrasi tertinggi fentin asetat yang dapat menyebabkan semua ikan nila hidup
setelah pemaparan selama 48 jam. Konsentrasi fentin asetat yang ditetapkan
sebagai batas atas adalah 0,075 ppm dan batas bawah adalah 0,0075 ppm.
Hasil pengamatan pada uji akut menunjukkan bahwa gejala klinis sesaat
setelah pemaparan fentin asetat. Gejala yang timbul diantaranya ikan berenang
tidak teratur dengan sesekali menghentak dan kejang-kejang serta mengeluarkan
lendir yang berlebihan dari permukaan tubuhnya, warna kulit memucat dan
frekuensi pergerakan operkulum menjadi lebih sering tetapi tidak beraturan.
Gejala tersebut merupakan tanggapan yang terjadi pada saat zat-zat fisika atau
kimia menggangu proses sel atau subsel dalam makhluk hidup sampai suatu batas
yang menyebabkan kematian secara langsung (Connel & Miller 1995).
Hasil analisis probit fentin asetat diketahui bahwa nilai LC50-96 jam
terhadap ikan nila sangat rendah yaitu sebesar 0,03 ppm. Berdasarkan Komisi
pestisida (1983) dan Koesoemadinata (2003), menunjukkan bahwa toksisitas
fentin asetat terhadap ikan nila diklasifikasikan kedalam golongan A yaitu
pestisida yang memiliki toksisitas sangat tinggi (LC50 < 1 ppm, sangat tinggi).
Sedangkan menurut WHO, fentin asetat merupakan pestisida yang memiliki
toksisitas sedang. Toksisitas sublethal pestisida fentin asetat pada penelitian ini
diamati melalui karakteristik hematologi, kadar glukosa, kelangsungan hidup dan
laju pertumbuhan ikan nila.
Hasil penelitian ini menunjukkan terjadinya perubahan karakteristik
hematologi yang meliputi penurunan total eritrosit (TE), kadar hemoglobin (Hb)
dan kadar hematokrit (Hc) seiring dengan bertambahnya konsentrasi fentin asetat
pada media pemeliharaan. Hasil pemeriksaan gambaran darah hari ke-7, ke-14
dan ke-21 menunjukkan adanya penurunan jumlah TE, Hb dan Hc pada semua
15

perlakuan yang diberi penambahan fentin asetat. Penurunan jumlah sel darah
merah, hemoglobin dan hematokrit, diduga ikan stres karena paparan fentin asetat.
Menurut Nabib dan Pasaribu (1989), rendahnya jumlah sel darah merah
mengindikasikan ikan dalam keadaan stres.
Perubahan kondisi hematologi yang meliputi penurunan TE, Hb dan Hc
merupakan ciri dari gejala anemia (Zhang et al. 2007). Anemia bisa disebabkan
beberapa faktor seperti (1) penghambatan sintesis globin dalam eritrosit. Senyawa
organotin mampu menghambat sintesis Hb dengan cara mengganggu penyerapan
zat besi (Fe) (Boyer 1989). Mineral Fe merupakan unsur essensial yang berperan
dalam transpor oksigen dan respirasi seluler melalui aktivitas oksidasi-reduksi dan
transfer elektron serta berperan dalam sintesis Hb (Setiawati et al. 2007). Hasil
penelitian Groot et al. (1973) menunjukkan terjadinya penurunan konsentrasi Hb,
sel darah merah, hematokrit, dan serum Fe pada tikus yang diberi pakan
mengandung tin (Sn). Hal ini disebabkan Sn mampu menghambat laju penyerapan
Fe dengan cara menginaktifkan enzim delta-aminolevulinic acid dehydratase
(δALAD) (Sun et al. 2014), pada reaksi perubahan ALA menjadi porpobilinogen
sehingga protoporfirin-9 yang terbentuk menjadi sedikit, akibatnya Hb yang
terbentuk juga menjadi sedikit. Penurunan kadar hemoglobin menandakan bahwa
kemampuan ikan untuk menyediakan oksigen yang cukup bagi jaringan tubuh
mengalami keterbatasan sehingga menghasilkan penurunan aktivitas fisik
(Wepener et al. 1992). (2) adanya penyakit yang menyerang ginjal. Ginjal adalah
organ hematogenik paling penting untuk ikan (Ozaki 1982). Ginjal bagian anterior
adalah organ utama pembentuk darah pada teleostei. Anemia yang terjadi akibat
adanya penyakit atau kerusakan pada ginjal disebabkan berkurangnya produksi
hormon eritropoietin (Reddy et al. 1992). Eritropoietin adalah hormon yang
diproduksi oleh sel-sel khusus di ginjal yang merangsang sumsum tulang untuk
meningkatkan produksi sel darah merah. Berkurangnya produksi hormon
eritropoietin akan menyebabkan produksi sel darah merah juga berkurang, yang
selanjutnya akan menyebabkan penurunan konsentrasi hemoglobin dan hematokrit
di dalam darah. Benli dan Ozkul (2010) menemukan terjadinya perubahan
histologi pada organ ginjal ikan nila yang dipapar insektisida fenitrothion selama
96 jam. Kerusakan tersebut berupa hemorage.
Hasil penelitian menunjukkan jumlah leukosit meningkat seiring dengan
peningkatan konsentrasi fentin asetat pada media pemeliharaan (Gambar 6).
Kenaikan leukosit mengindikasikan terjadinya kerusakan akibat infeksi jaringan
tubuh, stres fisik yang parah, dan leukositosis. Leukositosis adalah keadaan
dengan jumlah sel darah putih dalam darah meningkat melebihi nilai normal.
Menurut El-sayed et al. (2007) terjadinya leukositosis distimulasi oleh
limfopoiesis dan/atau meningkatnya pelepasan limfosit dari jaringan
limfomyeloid di bawah kondisi stres. Hasil penelitian El-sayed et al. (2007)
menunjukkan terjadinya peningkatan jumlah leukosit dan limfosit pada ikan nila
yang dipapar pestisida deltamethrin.
Nwani et al. (2012) menyatakan bahwa ikan yang dipapar pestisida dalam
konsentrasi sublethal bisa menunjukkan perubahan tingkah laku dan karakteristik
hematologi yang akhirnya akan mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup dan
laju pertumbuhan. Hasil penelitian menunjukkan semakin tinggi konsentrasi
fentin asetat, maka laju pertumbuhan semakin rendah (Tabel 4). Laju
pertumbuhan paling tinggi ada pada kontrol sedangkan yang terendah ada pada
16

perlakuan B. Rendahnya laju pertumbuhan pada penelitian ini diduga karena


menurunnya jumlah TE dan Hb (Gambar 3 dan 4). Hb berfungsi mengikat
oksigen yang digunakan dalam proses katabolisme untuk menghasilkan energi.
Kemampuan mengikat oksigen dalam darah tergantung pada jumlah Hb dalam sel
darah merah. Nilai Hb yang rendah pada perlakuan penambahan fentin asetat
menyebabkan metabolisme menjadi terhambat dan energi yang dihasilkan
menjadi sedikit. Hal ini berdampak pada pertumbuhan ikan menjadi rendah.
Penurunan total eritrosit akan mengakibatkan suplai makanan ke sel, jaringan dan
organ akan berkurang sehingga metabolisme akan terhambat (Bastami et al. 2009)
Penurunan laju pertumbuhan juga terjadi pada ikan yang dipaparkan
dengan berbagai jenis pestisida. Ikan mas setelah dipaparkan moluskisida
niklosamida pada konsentrasi sublethal 0,01; 0,03 dan 0,05 ppm selama 12
minggu memperlihatkan penurunan laju pertumbuhan spesifik pada semua
perlakuan (Supriyono et al. 2013). Ikan nila yang dipapar dua jenis pestisida yaitu
dimethoate (20, 10 dan 5 ppm) dan malathion (2,0; 1,0 dan 0,5 ppm) mengalami
penurunan laju pertumbuhan dan perubahan karakterisik hematologi berupa
penurunan TE, Hb, dan hematokrit (Sweilum 2006).
Pada pengamatan kadar glukosa darah terlihat bahwa terjadi peningkatan
kadar glukosa dalam darah ikan nila seiring dengan bertambahnya konsentrasi
fentin asetat (Gambar 7). Kadar glukosa tertinggi terdapat pada perlakuan C
(0,015 ppm) yaitu sebesar 157,26 mg/dL, sedangkan yang terendah ada pada
kontrol. Naiknya kadar glukosa pada penelitian ini diduga disebabkan karena
terjadinya glukoneogenesis. Adanya materi stres berupa paparan pestisida yang
kemudian menstimulasi hipotalamus untuk melepaskan hormon kortisol yang
memicu terjadinya lipolisis, glikogenolisis dan glukoneogenesis (Hontela et al.
1993). Glukoneogenesis merupakan istilah yang digunakan untuk mencakup
semua mekanisme dan lintasan yang bertanggung jawab untuk mengubah
senyawa nonkarbohidrat menjadi glukosa. Pada kondisi normal, meningkatnya
kadar glukosa akan memicu pelepasan hormon insulin. Akan tetapi, beberapa
penelitian menunjukkan bahwa senyawa organotin mampu menghambat sekresi
hormon insulin dengan cara merusak fungsi dari sel-sel beta pankreas (Ogino et al.
1996), sehingga menurunkan pengambilan glukosa oleh sel-sel tubuh. Hasil
penelitian Zuo et al. (2014) menemukan bahwa paparan tributiltin (TBT) mampu
meningkatkan kadar glukosa secara signifikan dan menurunkan kadar insulin.
Miura et al. (2012) menemukan terjadinya inhibisi sekresi hormon insulin pada
hamster yang dipapar trifeniltin chloride (TPT). Hormon insulin dihasilkan oleh
sel-sel beta pankreas dan sangat penting untuk menurunkan kadar gula dalam
darah. Kekurangan insulin akan menurunkan tingkat katabolisme glukosa serta
menurunkan sintesis dan penyimpanan glikogen sehingga menyebabkan
terjadinya hiperglikemia (Isnaeni 2006).

4 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Nilai LC50-96 jam moluskisida fentin asetat adalah sebesar 0,03 ppm.
Moluskisida fentin asetat pada konsentrasi sublethal berpengaruh nyata terhadap
17

penurunan total eritrosit, kadar hemoglobin, kadar hematokrit, kelangsungan


hidup, dan pertumbuhan. Fentin asetat juga menyebabkan terjadinya peningkatan
leukosit dan kadar glukosa di dalam darah yang terjadi mulai konsentrasi 0,003
ppm.

Saran

Perairan dengan kandungan fentin asetat minimal 0,003 ppm memerlukan


treatment khusus apabila akan digunakan untuk aktivitas budidaya.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson DP, Siwicki AK. 1995. Basic hematology and serology for fish health
programs. Proceeding of the Second Symposium on Diseases in Asian
Aquaculture “Aquatic Animal Health and the Environment”; 1993 Okt 25-29;
Phuket, Thailand.
Bastami K, Darvish, Moradlou AH, Zaragabadi AM, Salehi MSV, Shakiba MM.
2009. Measurement of Some Haematological Characteristics of the Wild Carp.
Springer-Verlag London. Comp Clin Pathol. 18: 321-323.
Benli ACK, Özkul A. 2010. Acute toxicity and histopathological effects of
sublethal fenitrothion on Nile tilapia, Oreochromis niloticus. Pesticide
Biochemistry and Physiology. 97(1): 32-5.
Blaxhall PC, Daisley KW. 1973. Routine haematological methods for use with
fish blood. J Fish Biology. 5:577-581.
Boyer. 1989. Toxicity of dibutyltin, tributyltin and other organotin compounds to
humans and to experimental animals. Toxicology. 55:253-298.
Cima F, Ballarin L, Bressa G, Martinucci G, Burighel P. 1996. Toxicity of
Organotin Compounds on Embryos of a Marine Invertebrate (Styela plicata;
Tunicata). Ecotoxicology And Environmental Safety. 35: 174-182.
Connel DW dan Miller GJ. 1995. Kimia dan ekotoksikologi pencemaran.
Universitas Indonesia (UI-Press): Jakarta.
[Ditjen PSP] Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian. 2014. Pestisida
Pertanian dan Kehutanan terdaftar 2014 [Internet]. [diunduh 24 Januari 2015].
Tersedia pada http://psp.pertanian.go.id/.
Effendie MI. 2002. Biologi Perikanan. Yogyakarta (ID): Yayasan Pustaka
Nusantara. 163pp.
El-Sayed YS, Saad TT, El-Bahr SM. 2007. Acute intoxication of deltamethrin in
monosex nile tilapia, Oreochromis niloticus with special reference to the
clinical, biochemical and haematological effects. Environmental Toxicology
and Pharmacology. 24:212–217.
Giri SS, Sukumaran V, Oviya M. 2013. Potential probiotic Lactobacillus plantarum
VSG3 improves the growth, immunity, and disease resistance of tropical
freshwater fish, Labeo rohita. Fish & Shellfish Immunology. 34: 660-666.
Groot APD, Feron VJ, Til HP. 1973. Short-term Toxicity Studies on Some Salts
and Oxides of Tin in Rats. Fd Cosmet. Toxicol.11: 19-30.
Guevarra HT, Mochida O, Litsinger JA. 1987. Golden apple snails, Pomacea spp:
New pests of rice and azolla in Southeast Asia. In: Abstracts, 11th
18

International Congress of Plant Protection, October 5-9, 1987, Manila,


Philippines, pp.80-81, Manila, Philippines: International Congress of Plant
Protection.
Haggera JA, Depledge MH, Galloway TS. 2005. Toxicity of tributyltin in the
marine mollusk Mytilus edulis. Marine Pollutant Bulletin. 51: 811-816.
Harino H, Arifin Z, Rumengan IFM, Arai T, Ohji M, Miyazaki N. 2012.
Distribution of Antifouling Biocides and Perfluoroalkyl Compounds in
Sediments From Selected Locations in Indonesian Coastal Waters. Arch
Environ Contam Toxicol. 63:13-21.
Hontela A, Rasmussen JB, Chevalier G. 1993. Endocrine responses as indicators
of sublethal toxic stres in fish from polluted environments. Water Quality
Research Journal of Canada. 28:767–780.
Isnaeni W. 2006. Fisiologi Hewan. Yogyakarta. Kanisius.
Kannan K, Lee RF. 1996. Triphenyltin and its degradation products in foliage and
soils from sprayed pecan orchards and in fish from adjacent ponds.
Environmental Toxicology and Chemistry. 15: 1492–1499.
Koesoemadinata S. 2003. Metode standar pengujian toksisitas pestisida terhadap
ikan. Jakarta.Komisi Pestisida. Direktorat Jenderal Bina Sarana Pertanian.
Departemen Pertanian. 75 hal.
[KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2014. Kelautan dan Perikanan dalam
Angka 2014 [Internet]. [diunduh 24 Januari 2015]. Tersedia pada
http://sidatik.kkp.go.id.
Komisi Pestisida. 1983. Pedoman umum pengujian laboratorium toksisitas akut
pestisida pada ikan untuk keperluan pendaftaran. Jakarta. Departemen
Pertanian. 18 hal.
Miura Y, Horib Y, Kimuraa S, Hachiyac H, Sakuraic Y, Inoued K, Sawadac T,
Kubotac K. 2012. Triphenyltin impairs insulin secretion by decreasing glucose-
induced NADP(H) and ATP production in hamster pancreatic β-cells.
Toxicology. 299:165-171.
Nabib R, Pasaribu FH. 1989. Patologi dan Penyakit Ikan. Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor.
158.
Nwani CD, Okekea OC, Onyishia G, Atamaa C, Chinekwua U, & Enejeb LO.
2012. Toxicity and effects of diazinon on behaviour and some haematological
parameters of African catfish Clarias gariepinus. Zoology and Ecology. 22(3-
4): 246-253.
Okoro HK, Fatoki OS, Adekola FA, Ximba BJ, Snyman RG. 2011. Sources,
Environmental Levels and Toxicity of Organotin in Marine Environment-A
Review. Asian Journal of Chemistry. 23(2): 473-482.
Ogino K, Inukai T, Miura Y, Matsui H, Takemura Y. 1996. Triphenyltin chloride
induces glucose intolerance by the suppression of insulin release from hamster
pancreatic beta-cells. Exp Clin Endocrino! Diabetes.104(5): 409-11.
Ozaki. 1982. Fish Blood and Circulation Physiology. Shanghai : Science and
Technology Press.
Reddy DC, Vijayakumari P, Kalarani V, Davies RW. 1992. Changes in
Erythropoietic Activity of Sarotherodon mossambicus Exposed to Sublethal
Concentrations of the Herbicide Diuron. Bull. Environ. Contam. Toxicol.
49:730-737.
19

Setiawati M, Mokoginta I, Suprayudi MA, Manalu W. 2007. Pengaruh


penambahan mineral Fe pada pakan ikan terhadap status kesehatan ikan kerapu
bebek (Cromileptes altivelis). Jurnal Perikanan dan Kelautan. 12(1): 55-63.
Stonner. 1966. Toxicity of Triphenyltin. Br J Ind Med. 23(3): 222–229.
Sudarmo S. 1991. Pestisida. Yogyakarta. Penerbit Kanisius.
Sun LH, Zhang NY, Zhai QH, Gao X, Li C, Zheng Q, Krumm CS, Qi DS. 2014.
Effects of dietary tin on growth performance, hematology, serum biochemistry,
antioxidant status, and tin retention in broilers. Biol Trace Elem Res. 162:302-
308.
Supriyono E, Takashima F, Strussmann CA. 1998. Toxicity of Linear
Alkylbenzene Sulphonate (LAS) to Juvenile Kuruma Shrimph, Penaeus
japonicus : A Histophatological Study on Acute and Sub-chronic Levels.
Journal of Tokyo University of Fisheries. 85(1): 1-10.
Supriyono E, Yosmaniar, Nirmala K, Sukenda. 2013. Toksisitas moluskisida
niklosamida terhadap pertumbuhan dan kondisi histopatologi juwana ikan mas
(Cyprinus carpio). Jurnal Iktiologi Indonesia. 13(1): 77-84.
Sweilum MA. 2006. Effect of sub-akut toxicity of some pesticides on growth
parameters, haematological properties and total production of Nile tilapia
(Oreochromis niloticus L) and water quality of ponds. Aquaculture Research.
37:1079-1089.
Verschuuren HG, Kroes R, Vink HH, Van esch GJ. 1966. Short-term toxicity
studies with triphenyltin compounds in rats and guinea pigs. Fd Cosmet.
Toxicol. 4:35-45.
Watermann B, Grote K, Gnass K, Kolodzey H, Thomsen A, Appel KE, Carnevali
DC, Oehlmann US. 2008. Histological alterations in ovaries of pubertal female
rats induced by triphenyltin. Experimental and Toxicologic Pathology. 60: 313-
321.
Wedemeyer GA, Yasutake WT. 1977. Clinical Methods for The Assesment of The
Effects Environmental on Fish Health. California (US): U. S. Fish and Wildlife
Service.
Wepener W, Van Vuren JHJ, Du Preez HH. 1992. Effect of manganese and iron
at neutral pH values on the haematology of the banded tilapia, Tilapia
sparrmanii. Bull. Environ.C ontam.Toxicol. 49:613-619.
Zhang X, Xiea P, Lia D, Shia Z. 2007. Hematological and plasma biochemical
responses of crucian carp (Carassius auratus) to intraperitoneal injection of
extracted microcystins with the possible mechanisms of anemia. Toxicon.
49:1150-1157.
Zuo Z, Wu T, Lin M, Zhang S, Yan F,Yang Z, Wang Y, Wang C. 2014. Chronic
Exposure to Tributyltin Chloride Induces Pancreatic Islet Cell Apoptosis and
Disrupts Glucose Homeostasis in Male Mice. Environ. Sci. Technol.48: 5179-
5186.
20

LAMPIRAN

Lampiran 1. Analisis ragam dan uji lanjut (Duncan) karakteristik


hematologi ikan nila

A. Eritrosit
Sumber Jumlah Derajat Kuadrat F P
keragaman kuadrat bebas tengah
Eritrosit Perlakuan 0,001 3 0,000 0,007 0,999
Hari ke-0 Error 0,205 4 0,051
Total 0,206 7
Eritrosit Perlakuan 1,701 3 0,567 114,858 0,000
Hari ke-7 Error 0,020 4 0,005 0,020
Total 1,721 7
Eritrosit Perlakuan 1,592 2 0,796 213,232 0,001
Hari ke-14 Error 0,011 3 0,004
Total 1,603 5
Eritrosit Perlakuan 2,014 2 1,007 249,707 0,000
Hari ke-21 Error 0,012 3 0,004
Total 2,026 5

Uji Duncan
Perlakuan Nilai rata--rata (hari ke-)
7 14 21
K (0 ppm) 1,8250a 1,8900 a 1,8950 a
A (0,003 ppm) 1,1800b 0,8800 b 0,8200 b
B (0,008 ppm) 0,9150c 0,7300 b 0,5550 c
C (0,015 ppm) 0,5650d - -
*huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05)

B. Hemoglobin
Sumber Jumlah Derajat Kuadrat F P
keragaman kuadrat bebas tengah
Hemoglobin Perlakuan 0,009 3 0,003 0,072 0,972
Hari ke-0 Error 0,168 4 0,042
Total 0,177 7
Hemoglobin Perlakuan 19,804 3 6.601 32,043 0,003
Hari ke-7 Error 0,824 4 0,206
Total 20,628 7
Hemoglobin Perlakuan 29,685 2 140,842 49,082 0,005
Hari ke-14 Error 0,907 3 0,302
Total 30,592 5
Hemoglobin Perlakuan 59,677 2 290,839 554,450 0,000
Hari ke-21 Error 0,161 3 0,054
Total 59,839 5
21

Uji Duncan
Perlakuan Nilai rata--rata (hari ke-)
7 14 21
a a
K (0 ppm) 7,8550 8,3600 9,3650 a
A (0,003 ppm) 4,4000 b 4,5000 b 2,6500 b
B (0,008 ppm) 3,7000 bc 3,1000 b 2,7000 b
C (0,015 ppm) 5,4000 c - -
*huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05)

C. Hematokrit
Sumber Jumlah Derajat Kuadrat F P
keragaman kuadrat bebas tengah
Hematokrit Perlakuan 36,039 3 12,013 2,700 0,181
Hari ke-0 Error 17,798 4 4,449
Total 53,837 7
Hematokrit Perlakuan 364,306 3 121,435 16,700 0,010
Hari ke-7 Error 29,087 4 7,272
Total 393,393 7
Hematokrit Perlakuan 396,882 2 198,441 51,993 0,005
Hari ke-14 Error 11,450 3 3,817
Total 408,332 5
Hematokrit Perlakuan 751,495 2 375,748 44,034 0,006
Hari ke-21 Error 25,599 3 8,533
Total 777,094 5

Uji Duncan
Perlakuan Nilai rata--rata (hari ke-)
7 14 21
a a
K (0 ppm) 30,0350 31,8350 32,2750 a
A (0,003 ppm) 21,5000 b 18,5350 b 12,7450 b
B (0,008 ppm) 12,6800 bc 12,3400 b 5,8500 b
C (0,015 ppm) 14,9200c - -
*huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05)
22

D. Leukosit
Sumber Jumlah Derajat Kuadrat F P
keragaman kuadrat bebas tengah
Leukosit Perlakuan 2,004 3 0,668 0,979 0,486
Hari ke-0 Error 2,729 4 0,682
Total 4,733 7
Leukosit Perlakuan 2,698 3 0,899 5,113 0,074
Hari ke-7 Error 0,703 4 0,176
Total 3,401 7
Leukosit Perlakuan 3,478 2 1,739 9,922 0,048
Hari ke-14 Error 0,526 3 0,175
Total 4,004 5
Leukosit Perlakuan 13,639 2 6,819 59,775 0,004
Hari ke-21 Error 0,342 3 0,114
Total 13,981 5

Uji Duncan
Perlakuan Nilai rata-rata (hari ke-)
14 21
a
K (0 ppm) 7,4850 7,1100a
ab
A (0,003 ppm) 8,4200 8,8250b
B (0,008 ppm) 9,3500b 10,8000c
C (0,015 ppm)
*huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05)

Lampiran 2. Analisis ragam dan uji lanjut (Duncan) kadar glukosa ikan nila

Sumber Jumlah Derajat Kuadrat F P


keragaman kuadrat bebas tengah
Glukosa Perlakuan 0,000 3 0,000 0,000 1,000
Hari ke-0 Error 1,066 4 0,266
Total 1,066 7
Glukosa Perlakuan 15363,435 3 5121,145 397,560 0,000
Hari ke-7 Error 51,526 4 12,881
Total 15414,961 7
Glukosa Perlakuan 5068,378 2 2534,189 169,910 0,001
Hari ke-14 Error 44,745 3 14,915
Total 5113,123 5
Glukosa Perlakuan 5241,923 2 2620,962 96,612 0,002
Hari ke-21 Error 81,386 3 27,129
Total 5323,309 5
23

Uji Duncan
Perlakuan Nilai rata--rata (hari ke-)
7 14 21
a a
K (0 ppm) 33,96650 36,37650 36,59400a
A (0,003 ppm) 89,24550b 92,02900b 94,63750b
B (0,008 ppm) 101,95500c 102,65250b 103,09450b
C (0,015 ppm) 157,26250d - -
*huruf superskrip yang berbeda pada hari yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05)

Lampiran 3. Analisis ragam dan uji lanjut (Duncan) kelangsungan hidup


(KH) ikan nila

Sumber Jumlah Derajat Kuadrat F P


keragaman kuadrat bebas tengah
Perlakuan 3914,630 2 1957,315 11,369 0,040
Error 516,500 3 172,167
Total 4431,130 5

Uji Duncan
Perlakuan N Rata-rata
K (0 ppm) 2 91,6650a
A ( 0,003 ppm) 2 70,0000ab
B (0,008 ppm) 2 30,0000b
*huruf superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05)

Lampiran 4. Analisis ragam bobot rata-rata (g/ekor) ikan nila pada akhir
penelitian

Sumber Jumlah Derajat Kuadrat F P


keragaman kuadrat bebas tengah
Perlakuan 23,503 2 11,751 2,407 0,171
Error 29,288 6 4,881
Total 52,791 8

Lampiran 5. Analisis ragam dan uji lanjut (Duncan) laju pertumbuhan


spesifik ikan nila

Sumber Jumlah Derajat Kuadrat F P


keragaman kuadrat bebas tengah
Perlakuan 11,490 2 5,745 7,699 0,022
Error 4,477 6 0,746
Total 15,967 8
24

Uji Duncan
Perlakuan N Rata-rata
K (0 ppm) 3 1,03a
A ( 0,003 ppm) 3 0,08a
B (0,008 ppm) 3 -1,70b
*huruf superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05)
25

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 16 Januari 1989 di Waingapu, Sumba timur
dari orang tua bernama Ismail Surdi dan Siti Jedia. Penulis adalah anak pertama
dari dua bersaudara. Penulis menikah dengan Muhammad As’ad pada tahun 2015
dan telah dikaruniai putri kembar, Kanita Delphi Afiqa dan Kaniya Delphi Afiqa.
Pendidikan formal yang pernah dilalui penulis adalah SDN 1 Waingapu
(lulus tahun 2000), SMPN 2 Waingapu (lulus tahun 2003), dan SMAN 1
Waingapu (lulus tahun 2006). Penulis menempuh pendidikan sarjana pada
Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas
Nusa Cendana tahun 2006 dan lulus pada tahun 2010. Selanjutnya, pada tahun
2013 penulis melanjutkan studinya dengan menempuh Program Magister pada
program studi Ilmu Akuakultur, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Program Magister ditempuh melalui Beasiswa Unggulan yang diberikan oleh
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (DIKTI), Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (KEMENDIKBUD).
Artikel yang berjudul Toksisitas Moluskisida Fentin Asetat terhadap
Karakteristik Hematologi dan Pertumbuhan Ikan Nila (Oreochromis sp.) telah
lolos penelaahan awal dan sedang dalam proses review di Jurnal Iktiologi
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai