Anda di halaman 1dari 41

19

BAB II

TIJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS

2.1 Landasan Teori


2.1.1 Akuntansi Lingkungan (Environmental Accounting)

Konsep akuntansi lingkungan mulai berkembang sejak tahun 1970-an di

Eropa. Hal ini terjadi karena adanya tekanan dari lembaga non-pemerintah dan

meningkatnya kesadaran lingkungan di kalangan masyarakat yang kemudian

mendesak agar perusahaan-perusahaan menerapkan pengelolaan lingkungan

bukan hanya kegiatan industri demi bisnis saja karena pada saat itu perusahaan

hanya berorientasi pada laba atau profit yang tinggi. Pada pertengahan tahun

1990-an komite standar akuntansi internasional (The International Accounting

Standards Committee/IASC) mengembangkan konsep tentang prinsip-prinsip

akuntansi internasional, termasuk di dalamnya pengembangan akuntansi

lingkungan. Akuntansi lingkungan merupakan istilah yang berkaitan dengan

dimasukkannya biaya lingkungan ke dalam praktek akuntansi perusahaan atau

lembaga pemerintah. Biaya lingkungan adalah dampak yang timbul dari sisi

keuangan maupun non-keuangan sebagai akibat dari aktivitas perusahaan yang

mempengaruhi kualitas lingkungan (Accounting.binus.ac.id).

Menurut Environmental Accounting guidelines (2005:3) akuntansi

lingkungan meliputi identifikasi biaya dan manfaat dari kegiatan konservasi

lingkungan, penyediaan informasi melalui pengukuran kuantitatif, untuk

mendukung pengkomunikasian dalam hal mencapai perkembangan usaha yang

berkelanjutan, serta menjaga hubungan yang saling menguntungkan dengan


20

masyarakat, dan tercapainya efektivitas, efisiensi dari kegiatan konservasi

lingkungan.

Akuntansi berbasis lingkungan sering juga disebut dengan istilah Green

Accouting. Menurut Bell dan Lehman (1999) Green Accounting merupakan

konsep kontemporer dalam akuntansi yang mendukung Gerakan hijau pada entitas

bisnis yang di dalamnya mengidentifikasi, mengukur, menilai, serta

mengungkapkan biaya-biaya terkait dengan aktivitas perusahaan yang

berhubungan dengan lingkungan. Green accounting adalah sistem dimana

pengukuran finansial dan ekonomi memperhitungkan dampak produksi dan

konsumsi pada lingkungan (Stanojevic et al., 2010).

Terdapat berbagai macam pendekatan dalam akuntansi lingkungan pada

tingkat mikro atau perusahaan, antara lain akuntansi pengelolaan lingkungan,

akuntansi energi dan bahan baku, pelaporan keuangan dan laporan

pertanggungjawaban sosial (Pratiwi, 2013).

Akuntansi lingkungan memiliki peranan penting dalam upaya perusahaan

untuk melaksanakan kegiatan pelestarian lingkungan yang memberikan peran

dalam tiga perwujudan akuntansi antara lain, (1) Akuntansi Keuangan, akuntansi

lingkungan berperan untuk memberikan tambahan informasi melalui

pengungkapan (disclosure) wajar atau dalam data kuantitatif pada komponen

laporan keuangan yang diterbitkan secara berkala serta menunjukkan kegiatan dan

hasil operasional perusahaan yang mencakup dimensi ekonomi, sosial dan

lingkungan; (2) Akuntansi Biaya, akuntansi lingkungan digunakan untuk alokasi

biaya yang wajar dan pengendalian segala aktivitas perusahaan; (3) Akuntansi
21

Manajemen, akuntansi lingkungan berperan dalam pengambilan keputusan

manajemen (Pratiwi, 2013).

Munculnya konsep Akuntansi Lingkungan membawa perubahan pada

industri dunia. Jika sebelumnya perusahaan hanya sebagai pengeruk keuntungan

sebesar-besarnya, kini mulai memperhatikan dampak keberadaan perusahaan bagi

kehidupan sosial dan lingkungan. Pemahaman yang mencoba menyeimbangkan

antara keuntungan, kehidupan sosial dan lingkungan ini dikenal dengan Triple

Bottom Line, yaitu Profit, People, dan Planet.

Konsep Triple Bottom Line (TBL) ini pertama kali dirumuskan oleh

Makower (1994) dan John Elkington (1997) (Lako, 2018). Dalam konsep TBL

aspek profit tidak hanya didefinisikan sebagai pendapatan perusahaan dalam

bentuk uang, namun juga profit yang berupa dampak positif dari sisi sosial,

ekonomi dan lingkungan bagi masyarakat luas. Aspek people, menekankan

pentingnya perusahaan untuk mendukung kepentingan sumber daya manusia.

Misalnya dengan memperhatikan lingkungan kerja yang aman, jam kerja yang

dapat ditoleransi, mencegah eksploitasi pekerja, serta pemenuhan kesejahteraan

masyarakat. Sedangkan aspek Planet menekankan pentingnya perusahaan untuk

mendukung kelestarian sumber daya alam. Misalnya melakukan diversifikasi

energi, mengurangi dan mengolah hasil limbah produksi, dan mengurangi emisi

CO2 serta gas rumah kaca lainnya (Majalah Badak LNG, 2017).

Ketiga aspek tersebut patut di pertimbangakan untuk keberlangsungan

hidup perusahaan serta manfaat diterapkannya akuntansi lingkungan bagi

perusahaan antara lain (Pramunik et al., 2007 dalam Ainnie, 2019):


22

1) Mendorong pertanggungjawaban entitas dan meningkatkan transparansi

lingkungan.
2) Membantu entitas dalam menetapkan startegi untuk menanggapi isu

lingkungan hidup dalam konteks dimana tuntutan LSM dan masyarakat

yang semakin kuat atas isu-isu terkait lingkungan.


3) Membangun citra yang lebih positif sehingga entitas dapat memperoleh

pandangan yang lebih baik dari masyarakat maupun kelompok aktivis

penggiat lingkungan.
4) Mendorong konsumen untuk membeli produk ramah lingkungan dan

membuat entitas memiliki keunggulan pemasaran yang lebih kompetitif.


5) Menunjukkan komitmen entitas terhadap usaha perbaikan lingkungan

hidup.
6) Mencegah opini negatif publik mengingat perusahaan yang berusaha atau

beroperasi pada area yang berisiko tidak ramah lingkungan pada

umumnya akan menerima tantangna dari masyarakat.

Penerapan akuntansi lingkungan oleh perusahaan akan menjadi nilai

tambah bagi para stakeholders dan memperoleh legitimasi dari masyarakat.

Implementasi akuntansi lingkungan ini dapat dilihat dari program-program yang

dilakukan perusahaan melalui CSR serta hal lainnya dengan pengungkapan emisi

karbon perusahaan. Beberapa manfaat yang bisa diperoleh dengan menerapkan

dan melaporkan Carbon Accounting sebagai bagian dari CSR menurut Dwijayanti

(2011) adalah:

1. Meningkatkan penjualan produk


Hal ini dikarenakan pandangan positif masyarakat atau konsumen pada

perusahaan yang melakukan CSR, dalam hal ini peduli pada lingkungan

dan peduli pada kesehatan masyarakat sekitar perusahaan. Kepercayaan


23

konsumen pada perusahaan seperti inilah yang dapat membantu

penigkatan penjualan produk perusahaan.


2. Mendapatkan kepercayaan investor
Pelaporan carbon accounting dapat membuat investor berpandangan

positif pada perusahaan dimana investor menganggap bahwa perusahaan

memiliki kepedulian lebih pada lingkungan. Investor bisa melihat dalam

laporan CSR yang di dalamnya terdapat carbon accounting. Selain itu,

peningkatan penjualan dan kinerja keuangan yang baik akibat respon

positif konsumen, juga dapat membuat investor memberikan penilaian

lebih pada perusahaan.


3. Mendapatkan kredit
Sama halnya dengan investor, para kreditor juga dapat memberikan

pandangan positif pada perusahaan yang melakukan pelaporan carbon

accounting sebagai bagian dari CSR. Hal ini dapat menjadi pertimbangan

yang baik saat perusahaan mengajukan permohonan kredit atau pinjaman

untuk permodalan perusahaan.


4. Dapat dimasukkan sebagai CSR guna memenuhi kewajiban perusahaan
Perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) harus mematuhi UU

No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dimana salah satu

kewajiban yang harus dilakukan adalah membuat laporan tahunan. Dalam

laporan tahunan itu juga memuat laporan tentang tanggung jawab sosial

perusahaan (CSR). Pelaporan carbon accounting bisa dimasukkan dalam

laporan CSR tersebut. Carbon accounting bisa dijadikan sebagai bagian

dalam pemenuhan kewajiban tersebut.

2.1.2 Teori Legitimasi


24

Legitimasi dapat diartikan sebagai keterangan yang mengesahkan atau

membenarkan (kbbi.web.id/legitimasi) dan dapat pula diartikan seberapa jauh

masyarakat mau menerima dan mengakui kewenangan, keputusan dan kebijakan

yang diambil oleh seorang pemimpin (id.wikipedia.org/wiki/legitimasi).

Sedangkan menurut Hanifah (2016), legitimasi adalah suatu tindakan atau

perbuatan hukum yang berlaku, peraturan yang ada, baik peraturan hukum formal,

etnis, adat-istiadat, maupun hukum kemasyarakatan yang sudah lama tercipta

secara sah. Teori legitimasi berasal dari konsep legitimasi organisasi yang

diungkapkan oleh Dowling dan Preffer (1975) dalam O’donovan (2002), yang

mana teori legitimasi didefinisikan sebagai:

…a condition or status which exists when an entity's value system is

congruent with the value system of the larger social system of which the entity is a

part. when a disparity, actual or potential, exists between two value system, there

is a threat to the entity's legitimacy.

Pernyataan di atas dapat diterjemahkan bahwa legitimasi adalah sebuah

kondisi atau status yang ada ketika sistem nilai entitas kongruen dengan sistem

nilai masyarakat yang lebih luas ditempat entitas berada. Ketika ada sebuah

perbedaan, baik itu aktual atau potensial di antara dua sistem nilai tersebut maka

ada sebuah ancaman terhadap legitimasi entitas. Ancaman tersebut terjadi ketika

masyarakat merasa tidak puas atas aktivitas perusahaan sehingga menyebabkan

legitimation gap yang membuat masyarakat akan mencabut kontrak sosialnya

(Irwhantoko dan Basuki, 2016).


25

Fokus dari teori legitimasi adalah pada interaksi perusahaan dengan

lingkungan masyarakat (Ghozali dan Chariri, 2007). Teori legitimasi menjelaskan

bahwa dalam menjalankan aktivitas-aktivitas operasional, perusahaan akan

berusaha untuk menaati norma-norma yang dapat diterima oleh masyarakat sekitar

sebagai upaya perusaahan untuk memperoleh legitimasi (Kurniawati dan Biduri,

2018). Proses dalam usaha mendapatkan legitimasi ini berkaitan dengan kontrak

sosial antar perusahaan dengan masyarakat di tempat perusahaan beroperasi

(Ghozali dan Chariri, 2007). Bentuk dari usaha ini antara lain dengan melakukan

kegiatan sosial untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menghindari

terjadinya kerusakan lingkungan sekitar (Pradini dan Kiswara, 2013).

Ketika perusahaan berusaha untuk menyelaraskan diri dengan norma-

norma yang ada di dalam masyarakat dan terus berusaha untuk menjaga

kelestarian lingkungan sekitar, maka perusahaan dapat terhindar dari adanya

legitimation gap. Adapun salah satu upaya perusahaan untuk meyakinkan

masyarakat bahwa aktivitas perusahaan telah berjalan sesuai dengan norma dan

pedoman yang berlaku adalah melalui pengungkapan lingkungan (Irwhantoko,

2016). Dengan adanya pengungkapan ini maka dapat memberikan informasi

kepada masyarakat mengenai aktivitas serta kegiatan yang dilakukan perusahaan.

Begitu pula dengan pengungkapan informasi emisi karbon. Adanya dampak

perubahan iklim yang semakin dirasakan oleh masyarakat luas, maka perusahaan-

perusahaan akan menjadi sorotan publik terkait tanggung jawab sosial dan kinerja

lingkungan mereka. Oleh karena itu, perusahaan yang melakukan pengungkapan


26

informasi emisi karbon merupakan suatu upaya untuk mempertahankan dan

memperoleh legitimasi.

Teori legitimasi telah secara ekstensif digunakan untuk menjelaskan

motivasi pengungkapan lingkungan secara sukarela oleh organisasi (Pallegrino

dan Lodhia, 2012). Hal ini sejalan dengan penelitian O’donovan (2002) yang

menyatakan bahwa teori legitimasi sebagai faktor yang menjelaskan

pengungkapan lingkungan oleh organisasi.

2.1.3 Teori Stakeholder

Stakeholder merupakan kelompok atau individu yang dapat

mempengaruhi atau dipengaruhi oleh pencapaian tujuan organisasi (Freeman,

1984 dalam Pratiwi 2017). Kelompok atau individu tersebut antara lain adalah

pemegang saham, kreditor, pemerintah, karyawan, pelanggan, supplier, komunitas

sosial, dan lainnya. Istilah Stakeholder diperkenalkan pertama kali oleh Standford

Research Institute (SRI) di tahun 1963 (Freeman, 1984 dalam Lindawati dan

puspita, 2015). Teori stakeholder adalah kumpulan kebijakan dan praktik yang

berhubungan dengan stakeholder, nilai-nilai, pemenuhan ketentuan hukum,

penghargaan masyarakat dan lingkungan, serta komitmen dunia usaha untuk

berkontribusi dalam pembangunan berkelanjutan (Hanifah, 2016). Menurut

Ghozali dan Chariri (2007:409) Stakeholder Theory merupakan teori yang

menyatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk

kepentingan sendiri namun juga harus memberikan manfaat bagi para stakeholder.

Teori stakeholder ini berkembang dari konsep tanggungjawab sosial perusahaan

yang mulai dikenal pada awal tahun 1970 (Hanifah, 2016).


27

Ghozali dan Chariri (2007) menyatakan bahwa tujuan utama dari teori

stakeholder adalah untuk membantu manajemen perusahaan dalam meningkatkan

penciptaan nilai sebagai dampak dari aktivitas-aktivitas yang dilakukan dan

meminimalkan kerugian yang mungkin muncul bagi stakeholder. Kasali (2005)

dalam Wibisono (2007:90) mengklasifikasikan stakeholder ke dalam beberapa

jenis yaitu:

a. Stakeholder Internal dan Eksternal


Stakeholder internal adalah stakeholder yang berada di dalam lingkungan

organisasi, misalnya karyawan, manajer dan pemegang saham

(shareholder). Sedangkan Stakeholder eksternal adalah yang berada di

luar lingkungan organisasi, seperti penyalur atau pemasok, konsumen atau

pelanggan, masyarakat, pemerintah, pers, kelompok socially responsible

investor, licensing partner dan lain-lain.


b. Stakeholder Primer, Sekunder dan Marjinal
Stakeholder primer adalah Stakeholder yang perlu diperhatikan oleh

perusahaan. Stakeholder sekunder adalah Stakeholder yang kurang perlu

diperhatikan perusahaan dan Stakeholder marjinal adalah yang biasa

diabaikan oleh perusahaan. Urutan prioritas ini berbeda bagi setiap

perusahaan meskipun produk dan jasanya sama dan dapat berubah dari

waktu ke waktu.
c. Stakeholder Tradisional dan Masa Depan
Karyawan dan konsumen dapat disebut sebagai Stakeholder tradisional,

karena saat ini sudah berhubungan dengan organisasi. Sedangkan

Stakeholder masa depan merupakan Stakeholders yang pada masa

mendatang diperkirakan akan memberikan pengaruhnya pada organisasi

seperti mahasiswa, peneliti, dan konsumen potensial.


28

d. Stakeholder Proponents, Opponents, dan Uncommitted


Stakeholder proponents adalah Stakeholder yang berpihak pada

organisasi, Stakeholder opponents sebagai penentang atau tidak memihak

pada organisasi sedangkan Stakeholder uncommitted adalah Stakeholder

yang tidak peduli lagi terhadap organisasi.


e. Stakeholder Silent Majority dan Vocal Minority
Silent Majority adalah Stakeholder yang pasif dalam aktivitas melakukan

komplain atau mendukung perusahaan. Sedangkan Vocal Minority adalah

Stakeholder yang aktif dalam melakukan komplain atau dukungan kepada

perusahaan.

Lindawati dan Puspita (2015) menyimpulkan bahwa teori Stakeholder

merupakan teori yang mengatakan bahwa keberlangsungan suatu perusahaan tidak

terlepas dari adanya peranan Stakeholder baik internal maupun eksternal dari

berbagai latar belakang kepentingan yang berbeda. Dalam Ghozali dan Chariri

(2007), Gray et al. (1995) menyatakan bahwa kelangsungan hidup perusahaan

tergantung pada dukungan stakeholder, maka perusahaan perlu berusaha untuk

mendapatkan dukungan tersebut. Salah satu strategi untuk mendapatkan dukungan

dari stakeholder adalah dengan memenuhi hak mereka untuk menerima informasi

terkait aktivitas perusahaan. Deegan (2004) menyatakan bahwa semua

stakeholder memiliki hak untuk mendapatkan informasi berkaitan aktivitas

perusahaan yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan mereka.

Informasi megenai isu-isu lingkungan dan sosial tentu juga menjadi

sorotan bagi para stakeholder, yang dapat mempengaruhi penilaian mereka

terhadap perusahaan. Oleh karena itu, sebagai bentuk tanggungjawab perusahaan

kepada stakeholder maka pengungkapan mengenai informasi lingkungan dan


29

sosial menjadi penting untuk di laporkan. Salah satunya adalah dengan melakukan

pengungkapan emisi karbon yang telah menjadi sorotan dunia internasional.

2.1.4 Emisi karbon (Carbon Emission)

Emisi adalah zat, energi atau komponen lain yang dihasilkan dari suatu

kegiatan yang berlebihan sehingga mengakibatkan terganggunya suatu sistem

(reyismyname.blogspot.com, 2013). Sedangkan emisi karbon didefinisikan

sebagai pelepasan gas-gas yang mengandung karbon ke lapisan atmosfer bumi

(Pratiwi dan Sari, 2016). Pelepasan ini terjadi karena adanya proses pembakaran

terhadap karbon baik dalam bentuk tunggal maupun senyawa yang berbentuk

CO2, CH4, N2O, HFC, dan sebagainya (Kementerian Lingkungan Hidup, 2012).

Menurut para pakar ilmiah di bidang klimatologi, salah satu penyebab

perubahan iklim adalah aktivitas manusia yang mengakibatkan peningkatan

konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer (ecolife.com). Aktivitas manusia tersebut

seperti penggunaan bahan bakar fosil, perubahan fungsi lahan, limbah, kegiatan-

kegiatan industri, deforestasi dan lainnya.

Emisi karbon dalam konteks penelitian ini adalah karbon dioksida (CO 2)

yang merupakan penyumbang GRK terbesar terutama dalam perubahan iklim.

Sebuah laporan yang dirilis pada 21 November 2011 dalam Gas Bulletin yang

dikelola oleh World Meteorological Organization (WMO) menyebutkan bahwa

CO2 sebagai kontributor terbesar (64%) terhadap total peningkatan efek

pemanasan global dan terus berlanjut sampai sekarang.

Martinez (2005) dalam Ainnie (2019) menyatakan bahwa emisi karbon

atau pun gas rumah kaca (greenhouse gas) berdasarkan sumbernya dibedakan
30

menjadi dua yaitu gas rumah kaca alami dan gas rumah kaca industri. Gas rumah

kaca alami merupakan bagian dari siklus yang dapat dengan mudah dinetralisir

oleh tumbuhan dan lautan. Gas rumah kaca alami dapat menguntungkan bagi

makhluk hidup karena mampu menjaga temperatur bumi agar tetap hangat

dikisaran 6˚C. sedangkan gas rumah kaca industri berasal dari kegiatan industrial

yang dilakukan manusia. Aktivitas manusia yang tidak memperhatikan

lingkungan membuat kadar karbon dioksida menjadi lebih padat. Akibatnya, alam

tidak mampu menyerap seluruh karbon dioksida yang tersedia sehingga terjadilah

kelebihan karbon (Kementerian Lingkungan Hidup, 2012).

Hasil perhitungan inventarisasi gas rumah kaca nasional menunjukkan

tingkat emisi GRK di tahun 2016 terbesar berada pada sektor kehutanan dan

kebakaran gambut sebesar 631.725 GgCO2e serta sektor energi sebesar 618.581

GgCO2e, kemudian diikuti oleh sektor pertanian sebesar 117.100 GgCO2e, sektor

limbah 97.915 GgCO2e, sektor proses industri dan penggunaan produk sebesar

49.629 GgCO2e (Laporan Inventarisasi GRK dan Monitoring, Pelaporan,

Verifikasi, 2017). Sedangkan tingkat emisi GRK di tahun 2017 mengalami

penurunan dan peningkatan untuk masing-masing sektornya. Sektor kehutanan

dan kebakaran gambut menurun drastis menjadi 294.611 GgCO2e, sektor energi

juga turun menjadi 558.890 GgCO2e, sedangkan sektor pertanian, limbah dan

proses industri dan penggunaan produk meningkat masing-masing menjadi

121.686 GgCO2e, 120.191 GgCO2e, dan 55.395 GgCO2e.

Berdasarkan laporan yang berjudul Brown to Green 2018 oleh Climate

Transparancy menunjukkan bahwa emisi karbon dioksida di Indonesia tahun


31

2017 untuk sektor listrik sebesar 36%, industri 31%, Transportasi 27% dan 6%

untuk sektor rumah tangga, jasa dan pertanian. Kondisi inilah yang membuat

perlunya penanganan serius dalam mengurangi tingkat emisi karbon untuk

menjaga bumi dari berbagai kerusakan yang semakin parah. Kurangnya

penanggulangan emisi karbon oleh pihak-pihak yang kurang bertanggungjawab,

menyebabkan pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan yang dinilai akan

megurangi dampak negatif yang timbul karena emisi karbon. Akan tetapi,

ketergantungan Indonesia terhadap penggunaan bahan bakar fosil masih menjadi

tantangan untuk pemerintah membuat kebijakan yang lebih tegas kedepannya.

2.1.5 Pengungkapan Emisi Karbon (Carbon Emission Disclosure)

Secara konseptual, pengungkapan merupakan bagian integral dari

pelaporan keuangan. Secara teknis, pengungkapan merupakan langkah akhir

dalam proses akuntansi yaitu penyajian informasi dalam bentuk seperangkat

penuh financial statement (e-journal.uajy.ac.id). Menurut Evans (2003) dalam

Suwardjono (2005) pengungkapan adalah penyedian informasi dalam statemen

keuangan termasuk statemen keuanga itu sendiri, catatan atas statemen keuangan,

dan pengungkapan tambahan yang berkaitan dengan statemen keuangan.

Pengertian pengungkapan oleh Evans (2003) ini terbatas hanya pada hal-hal yang

menyangkut pelaporan keuangan. Sedangkan pernyataan manajemen atau

informasi di luar lingkup pelaporan keuangan tidak termasuk. Ghozali dan Chariri

(2007) menyebutkan bahwa pengungkapan mengandung arti bahwa sebuah

laporan harus memberikan informasi dan penjelasan yang cukup mengenai hasil

aktivitas suatu unit usaha.


32

Tujuan dari pengungkapan adalah untuk memberikan informasi yang

penting dan relevan kepada para pengguna laporan keuangan, sehingga dapat

membantu mereka dalam pengambilan keputusan. Perusahaan dituntut untuk lebih

terbuka terhadap informasi mengenai aktivitas yang dilakukannya dan bentuk

pertanggungjawabannya (Hanifah, 2016). Pengungkapan informasi dalam laporan

tahunan merupakan bentuk tansparansi dan akuntanbilitas yang ditunjukkan oleh

perusahaan (Hanifah dan Wahyono, 2018).

Informasi yang diungkapkan dalam laporan tahunan perusahaan

dikelompokkan menjadi dua, yaitu mandatory disclosure dan voluntary

disclosure. Pengungkapan wajib (mandatory disclosure) merupakan

pengungkapan minimum yang disyaratkan oleh standar akuntansi yang berlaku.

Sedangkan pengungkapan sukarela (voluntary disclosure) adalah suatu pilihan

bagi manajemen untuk memberikan informasi akuntansi dan informasi lainnya

yang di pandang relevan oleh para pengguna laporan keuangan. Perusahaan akan

melakukan pengungkapan informasi secara sukarela yang mana menurut Na’im

dan Rakhman (2000) dalam Suta (2012) manfaat pengungkapan secara sukarela

yang diperoleh perusahaan antara lain, meningkatkan kredibilitas perusahaan,

membantu investor memahami strategi bisnis manjamen, menarik perhatian

analis, meningkatkan akurasi pasar, dan menurunkan ketidaksimetrisan informasi

pasar. Pengungkapan emisi karbon termasuk ke dalam pengungkapan sukarela ini.

Carbon emission disclosure merupakan jenis pengungkapan lingkungan

(Najah, 2012). Dalam PSAK No. 1 (revisi 2009) telah dinyatakan bahwa:
33

“Entitas dapat pula menyajikan, terpisah dari laporan keuangan, laporan


mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai tambah (value added
statement), khususnya bagi industri dimana faktor lingkungan hidup
memegang peranan penting dan bagi industri yang menaggap karyawan
sebagai kelompok pengguna laporan yang memegang peranan penting.
Laporan tambahan tersebut di luar ruang lingkup Standar Akuntansi
Keuangan.”

Jadi pengungkapan lingkungan adalah bagian dari laporan tambahan yang sudah

dinyatakan PSAK.

Pengungkapan emisi karbon adalah pengungkapan untuk menilai emisi

karbon sebuah organisasi dan menetapkan tarhet untuk pengurangan emisnya

(Cahya, 2016 dalam Ainnie, 2019). Pengungkapan emisi karbon ini dilakukan

untuk menunjukkan bahwa perusahaan telah berupaya memaksimalkan kinerja

lingkungannya dan ikut serta dalam keberlanjutan lingkungan hidup (Amanda,

2019). Selain itu pengungkapan emisi karbon dapat menjadi suatu strategi

perusahaan untuk memperoleh legitimasi, menghindari ancaman-ancaman

terutama bagi perusahaan yang menghasilkan GRK seperti meningkatkan

operating costs, mengurangi permintaan (reduced demand), risiko reputasi

(reputation risk), proses hokum (legal proceedings), serta denda dan pinalti

(Berthelot dan Robert, 2011).

Pengungkapan emisi karbon dalam penelitian ini menggunakan indeks

pengungkapan yang dikembangkan oleh Choi et al. (2013) dimana pengungkapan

ini didesain berdasarkan konstruksi faktor-faktor yang teridentifikasi dalam

informative request sheet yang dikembangkan oleh Carbon Disclosure Project

(CDP). Pengungkapan dalam CDP terbagi dalam lima kategori yang relevan
34

dengan perubahan iklim dan emisi karbon antara lain: risiko dan peluang

perubahan iklim (CC/Climate Change), emisi gas rumah kaca (GHG/Greenhouse

Gas), konsumsi energi (EC/Energy Consumption), pengurangan gas rumah kaca

dan biaya (RC/Reduction and Cost) serta akuntanbilitas emisi karbon

(AEC/Accountanbility of Emission Carbon). Dalam lima kategori tersebut

terdapat total 18 item yang diidentifikasi (Pratiwi dan Sari, 2016).

2.1.6 Tipe Industri

Menurut UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, Industri adalah

seluruh bentuk kegiatan ekonomi yang mengolah bahan baku dan/atau

memanfaatkan sumber daya industri, sehingga menghasilkan barang yang

mempunyai nilai tambah atau manfaat lebih tinggi, termasuk jasa industri. Dalam

penelitian Choi et al. (2013), disebutkan bahwa Global Industry Classification

Standard (GICS) membagi perusahaan di dunia dalam dua kategori besar yaitu

industri intensif emisi seperti perusahaan sektor energi, transportasi, materials dan

utilitas dan kategori industri yang kedua yaitu industri non-intensif emisi.

Pengelompokkan ini dibuat berdasarkan banyaknya produksi emisi karbon suatu

perusahaan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Brammer dan Pavelin (2006),

menemukan indikasi bahwa perusahaan yang bergerak dalam bidang pengolahan

baja, sumber daya alam, paper and pulp, power generation, water and chemical

memiliki tanggungjawab yang lebih besar terhadap isu-isu lingkungan.

Perusahaan yang termasuk dalam kategori intensif dianggap akan memperoleh


35

tekanan yang lebih besar dalam melaporkan emisi karbonnya (Koeswandini,

2018). Industri dengan emisi yang intensif akan menghadapi pengawasan yang

lebih ketat dari pemerintah (Reid dan Toffel, 2009). Perusahaan intensif karbon

akan mendapatkan tekanan yang lebih besar dari masyarakat sehingga membuat

perusahaan harus menyediakan laporan terkait informasi karbon agar memenuhi

tuntutan dan memperoleh legitimasi dari masyarakat.

Tipe industri dapat pula dibedakan menjadi industri high profile dan low

profile (Purwanto, 2011). Perusahaan yang termasuk dalam tipe industri high

profile merupakan perusahaan yang mempunyai tingkat sensitivitas tinggi

terhadap lingkungan, tingkat risiko politik yang tinggi, atau tingkat kompetisi

yang kuat (Robert, 1992). Selain itu, perusahaan dengan tipe industri high profile

umumnya merupakan perusahaan yang memperoleh sorotan dan masyarakat

karena aktivitas operasinya memiliki potensi dan kemungkinan berhubungan

dengan kepentingan masyarakat luas (Purwanto, 2011). Menurut zuhroh dan

Sukmawati (2003) dalam Purwanto (2011) menjelaskan karakteristik perusahaan

high profile antara lain, jumlah tenaga kerja yang besar, dan dalam proses

produksinya mengeluarkan residu seperti limbah dan polusi.

Perusahaan high profile seperti pertambangan, manufaktur, cenderung

menghasilkan kerusakan lingkungan dan emisi karbon yang tinggi dibandingkan

dengan perusahaan yang low profile seperti perusahaan jasa, perdagangan dan

sebagainya (Jannah dan Muid, 2014).

2.1.7 Ukuran Perusahaan


36

Besar kecilnya perusahaan dilihat dari besarnya nilai equity, nilai

penjualan, atau nilai aktiva disebut dengan ukuran perusahaan (Riyanto,

2008:313). Menurut UU No. 20 Tahun 2008, ukuran perusahaan dapat pula

dikategorikan berdasarkan ukuran usahanya, yaitu usaha mikro, usaha kecil, usaha

menengah, dan usaha besar. Amanda (2019) menyimpulkan bahwa ukuran

perusahaan adalah suatu nilai yang menunjukkan skala atau besaran suatu

perusahaan.

Menurut Setiyadi (2007), ukuran perusahaan yang biasa dipakai untuk

menentukan tingkatan perusahaan adalah: (1) Tenaga kerja, yaitu jumlah pegawai

tetap dan honorer yang terdaftar atau bekerja di perusahaan pada suatu periode

tertentu; (2) Tingkat Penjualan, yaitu volume penjualan perusahaan pada periode

waktu tertentu; (3) Total Utang, yaitu jumlah utang perusahaan pada periode

tertentu; (4) Total Asset, yaitu keseluruhan asset yang dimiliki perusahaan pada

periode waktu tertentu.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Choi et al. (2013) menunujukkan

bahwa ukuran perusahaan memiliki hubungan yang positif dengan pengungkapan

emisi karbon. Perusahaan yang besar lebih mungkin untuk mengungkapkan lebih

banyak informasi dibandingkan dengan perusahaan kecil. Berdasarkan teori

legitimasi dan teori stakeholder yang menyatakan bahwa perusahaan besar akan

lebih terlihat aktivitasnya dibandingkan dengan perusahaan kecil, sehingga

tuntutan dan tekanan dari masyarakat dan stakeholder semakin besar (Amanda,

2019). Perusahaan dengan ukuran besar akan mendapat perhatian yang lebih dari

publik (Majid dan Ghozali, 2015) sehingga perusahaan tersebut akan melakukan
37

pengungkapan lingkungan yang lebih baik untuk mencegah dan menyelesaikan

konflik (Lorenzo et al., 2009).

Hal ini juga sejalan dengan penelitian Luo et al. (2013) yang menyatakan

perusahaan besar akan mendapatkan tekanan besar dari publik dan para

stakeholder karena publik mempunyai ekspetasi yang tinggi mengenai praktik

manajemen karbon. Untuk menghadapi tekanan tersebut perusahaan dapat

melakukan pengungkapan sosial lingkungan agar dukungan stakeholder dan

legitimasi dari masyarakat dapat diperoleh perusahaan.

2.1.8 Media Exposure

Kata media berasal dari Bahasa latin yaitu “Medius” yang artinya tengah,

perantara atau pengantar. Kata media merupakan bentuk jamak dari “Medium”

yang secara etimologi berarti “perantara” atau “pengantar”. Menurut Arsyad

(2002:4), media adalah semua bentuk perantara yang digunakan oleh manusia

untuk menyampaikan, mengkemukakan atau menyebar ide, gagasan atau pendapat

sehingga sampai kepada penerima yang dituju. Media juga merupakan alat atau

sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada

khalayak (Cangara, 2006:119).

Menurut Respati (2015) dalam Ainnie (2019), media exposure adalah

bagaimana perusahaan memanfaatkan media yang tersedia untuk

mengkomunikasikan identitas serta informasi mengenai kegiatan yang dilakukan

oleh perusahaan. Menurut Simon (1992) dalam Wang et al. (2013), media

memainkan peran penting dalam mempengaruhi keputusan para pemangku

kepentingan karena merupakan sumber utama informasi, seperti CSR.


38

Pesatnya perkembangan alat komunikasi dan internet membuat peran

media menjadi sangat penting. Media memiliki fungsi penting dalam memberikan

informasi mengenai aktivitas perusahaan dan juga informasi mengenai lingkungan

(Kurniawati dan Biduri, 2017). Adanya media di suatu negara dapat menjadi

pengontrol aktivitas perusahan, sehingga keberadaan media menjadi suatu yang

dipertimbangkan oleh perusahaan (Jannah, 2014).

Media adalah sarana publikasi dimana semua informasi tentang

perusahaan disalurkan. Selain itu media juga merupakan sarana membangun

reputasi. Saat ini, media merupakan acuan publik untuk bergerak dan bertindak,

sehingga publik seolah digiring oleh media untuk berperilaku sesuai dengan isu

yang ada. Maka adanya isu negatif mengenai perusahaan dapat mempengaruhi

reputasi dan nilai perusahaan (Jannah dan Muid, 2014).

Menurut Carpenter (2001) dalam Dawkins dan Fraas (2011) menjelaskan

bahwa peningkatan pemberitaan media terhadap kebijakan lingkungan dan iklim

akhir-akhir ini, telah meningkatkan peran organisasi non-pemerintah (NGOs)

seperti LSM yang selanjutnya menandakan adanya pergeseran terhadap opini

publik. Akibatnya, pola liputan media secara bersamaan mencerminkan dan

membentuk strategi pengungkapan perusahaan. Adanya pemberitaan media

memiliki implikasi penting terhadap pengungkapan sukarela perusahaan

(Dawkins dan Fraas, 2011), begitu pula dengan pengungkapan emisi karbon.

Media juga mengambil peran dalam memantau aktivitas perusahaan

berkaitan dengan isu perubahan iklim dan upaya pengurangan emisi karbon.

Dengan adanya pemberitaan melalui media, maka stakeholder menjadi lebih cepat
39

mendapatkan informasi mengenai apa yang terjadi dengan lingkungan sekitar dan

mengambil sikap atas berita tersebut. Liputan media secara langsung

mempengaruhi perhatian audiens (Entman, 2006 dalam Dwakins dan Fraas,

2011), sikap publik terhadap perusahaan (Rindova et al., 2007 dalam Dwakins dan

Fraas, 2011).

Media dapat berupa TV, koran, internet dan sebagainya. Media yang

banyak digunakan perusahaan saat ini adalah media internet (web) karena

didukung oleh banyaknya pegguna internet saat ini dan kemudahan akses bagi

setiap orang. Maka jenis media yang dimaksudkan dalam pengukuran media

exposure pada penelitian ini adalah media internet seperti, website berita dan

website perusahaan.

2.1.9 Profitabilitas

Profitabilitas adalah kemampuan perusahaan memperoleh laba dalam

hubungannya dengan penjualan, total aktiva, maupun modal sendiri (Sartono,

2010:122). Menurut Harahap (2006:219) profitabilitas itu menggambarkan

kemampuan perusahaan mendapatkan laba, melalui semua kemampuan sumber

daya yang ada seperti, kegiatan penjualan, kas, modal, jumlah karyawan, jumlah

cabang, dan sebagainya. Sejalan dengan definisi profitabilitas menurut D’amico et

al. (2014) dalam Ainnie (2019) menyatakan bahwa profitabilitas adalah

kapabilitas perusahaan dalam menghasilkan laba selama suatu periode, yang

menunjukkan adanya perbandingan antara laba dan aktiva atau modal yang

digunakan untuk menghasilkan laba tesebut.


40

Profitabilitas dapat menjadi salah satu faktor yang krusial yang

memperlihatkan kinerja keuangan dan penentu kelangsungan hidup perusahaan

dimasa yang akan datang (Ainnie, 2019). Amalia (2013:38) dalam Ainnie (2019)

menyatakan bahwa perusahaan yang memiliki kemampuan kinerja keuangan yang

baik, akan identik dengan upaya-upaya untuk melakukan pembentukan image

yang mana salah satunya dengan melakukan pengungkapan lingkungan dan sosial

yang akan mempengaruhi kepercayaan dari para stakeholder.

Untuk mengukur tingkat keuntungan suatu perusahaan dapat digunakan

rasio profitabilitas (Kasmir, 2014:196). Menurut Fahmi (2011:135), rasio

profitabilitas adalah rasio yang mengukur efektivitas manajemen secara

keseluruhan yang ditunjukkan oleh besar kecilnya tingkat keuntungan yang

diperoleh dalam hubungannya dengan penjualan dan maupun investasi.

Sedangkan menurut Brigham dan Houston (2006) rasio profitabilitas merupakan

sekelompok rasio yang menunjukkan gabungan pengaruh dari likuiditas,

manajemen aktiva, dan utang pada hasil operasi perusahaan. Dimana rasio ini

mengukur sejauh mana efektivitas manajemen berdasarkan dari hasil

pengembalian yang diperoleh dalam penjualan dan investasi.

Profitabilitas diukur dengan beberapa proksi antara lain, ROA (return on

assets), ROI (return on investment), ROE (return on equity), dan NPM (net profit

margin) (Jannah, 2014). Sedangkan menurut Fahmi (2014:135) terdapat empat

jenis rasio pengukuran yang dapat digunakan dalam menilai tingkat profitabilitas

perusahaan yaitu GPM (gross profit margin), NPM, ROE, dan ROA. Gross Profit

Margin adalah margin kotor yang memperlihatkan hubungan antara penjualan


41

dengan laba pokok penjualan. Net Profit Margin disebut juga dengan rasio

pendapatan terhadap penjualan. Sedangkan Return on Equity merupakan rasio

yang menunjukkan sejauh mana perusahaan menggunakan sumber daya yang

dimiliki untuk mampu memberikan laba atas ekuitas. Terakhir adalah Return on

Asset yaitu rasio yang mengukur seberapa efisien suatu perusahaan dalam

mengelola asetnya untuk menghasilkan keuntungan.

Dalam penelitian ini rasio yang digunakan untuk mengukur profitabilitas

adalah ROA yang telah digunakan oleh peneliti terdahulu seperti Jannah (2014),

Luo et al. (2013), Lorenzo et al. (2009).

Rasio ROA mampu mencerminkan keuntungan bisnis dan efisiensi

perusahaan dalam memanfaatkan total asset yang ada dalam perusahaan. Semakin

tinggi nilai ROA mengindikasikan semakin baiknya kinerja keuangan suatu

perusahaan. Cormier dan Magnan (1999) dalam Choi et al. (2013) berpendapat

bahwa perusahaan dengan kondisi keuangan yang baik, lebih mungkin untuk

secara sukarela mengungkapkan informasi lingkungan. Sedangkan perusahaan

dengan kinerja keuangan yang buruk akan menganggap pengungkapan

lingkungan berarti biaya tambahan. Dalam penelitian Luo et al. (2013) disebutkan

bahwa perusahaan yang profitable lebih mungkin untuk dapat membayar

pengeluaran yang dibutuhkan untuk melakukan dan melaporkan informasi karbon.

2.1.10 Leverage

Leverage merupakan suatu kebijakan yang dilakukan oleh suatu

perusahaan dalam hal menginvestasikan dana atau memperoleh sumber dana yang

disertai dengan adanya beban atau biaya tetap yang harus ditanggung perusahaan
42

(Irawati, 2006:172). Selanjutnya, menurut Brigham dan Houston (2006:101)

menyatakan dengan singkat bahwa leverage adalah seberapa jauh perusahaan

menggunakan pendanaan melalui utang. Sementara itu, menurut Riyanto (2008)

leverage adalah alat untuk mengukur seberapa besar perusahaan tergantung pada

kreditur dalam membiayai asset perusahaan.

Sedangkan menurut Kasmir (2015:151) rasio leverage atau rasio

solvabilitas adalah:

“…Rasio yang digunakan dalam mengukur sejauh mana aktiva


perusahaan dibiayai dengan utang. Artinya berapa besar beban utang yang
ditanggung perusahaan dibandingkan dengan aktivanya. Dalam arti luas dikatakan
bahwa rasio solvabilitas digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan
untuk membayar seluruh kewajibannya, baik jangka pendek maupun jangka
Panjang apabila perusahaan dibubarkan (dilikuidasi).”

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa leverage atau rasio leverage

menggambarkan hubungan antara utang perusahaan terhadap modal sendiri

maupun aktiva. Dengan rasio ini dapat diketahui seberapa jauh perusahaan

dibiayai oleh utang atau pihak luar dengan kemampuan perusahaan yang

digambarkan modal sendiri atau aktiva.

Menurut Darsono (2005:54) terdapat beberapa alat ukur yang digunakan

dalam rasio leverage yaitu, Debt to Asset Ratio (DAR), Debt Equity Ratio (DER),

dan Long Term Debt to Equity Ratio (LTDE).

Debt to Asset Ratio (DAR) adalah rasio yang mengukur jumlah asset yang

dibiayai oleh utang. Rasio ini juga dapat melihat solvabilits perusahaan yaitu

kemampuan perusahaan untuk menyelesaikan segala kewajiban jangka


43

panjangnya. Debt Equity Ratio (DER) merupakan rasio yang membandingkan

jumlah utang terhadap ekuitas. Dengan rasio ini dapat dilihat seberapa besar utang

perusahaan jikan dibandingkan dengan ekuitas yang dimiliki perusahaan atau para

pemegang saham. Sedangakan Long Term Debt to Equity Ratio (LTDE) adalah

rasio yang mengukur perbandingan antara utang jangka Panjang dengan total

modal.

Perusahaan yang high-leverage akan lebih berhati-hati dalam mengambil

tindakan yang menyangkut pengeluaran-pengeluaran termasuk tindak

pengurangan emisi karbon (Jannah, 2014). Karena kewajiban yang lebih besar

untuk membayar utang dan bunga akan membatasi kemampuan perusahaan untuk

melakukan strategi pengurangan dan pengungkapan karbon (Luo et al., 2013).

2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu

Beberapa peneliti terdahulu telah melakukan penelitian tentang faktor-

faktor yang dapat mempengaruhi pengungkapan emisi karbon. Dawkins dan Fraas

(2011), meneliti pengaruh kinerja lingkungan (environmental performance) dan

visibilitas media (media visibility) terhadap pengungkapan perubahan iklim

(climate change) pada perusahaan S&P 500. Hasil penelitiannya menunjukkan

bahwa kinerja lingkungan berpengaruh positif terhadap pengungkapan perubahan

iklim secara sukarela dan visibilitas berinteraksi dengan kinerja lingkungan untuk

mempenagruhi tingkat pengungkapan perubahan iklim sukarela.

Choi et al (2013), meneliti tentang pengungkan emisi karbon sukarela oleh

perusahaan Australia selama tahun 2006 hingga 2008. Hasil penelitiannya

menunjukkan bahwa pertambahan pengungkapan emisi, industri intensif emisi,


44

level emisi GRK, organizational visibility, kualitas corporate governance

berpengaruh terhadap pengungkapan emisi karbon. Sedangkan profitabilitas dan

leverage tidak berpengaruh terhadap pengungkapan emisi karbon.

Luo et al. (2013), melakukan penelitian tentang pengungkapan karbon

pada 15 negara baik negara berkembang maupun negara maju yang dimasukkan

dalam laporan CDP (carbon disclosure project) tahun 2009. Hasil penelitian

menyatakan bahwa profitability, legal system, emission trading scheme, carbon

performance, dan firm size, berpengaruh positif terhadap kecenderungan

pengungkapan karbon. Sedangkan leverage, growth opportunities, asset newness,

dan developing country berpengaruh negatif terhadap kecenderungan

pengungkapan karbon.

Pradini dan Kiswara (2013), meneliti tentang pengungkapan greenhouse

gas emission pada perusahaan di Indonesia. Dari hasil penelitian yang didapat

menunjukkan bahwa environment information, firm size, berpengaruh signifikan

terhadap pengungkapan emisi gas rumah kaca. Sementara, ISO 14001 certified

environmental management system, existence of environment function, leverage,

profitability, dan type of industry tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap

pengungkapan emisi GRK di Indonesia.

Jannah dan Muid (2014), melakukan analisis pengaruh media exposure,

tipe industri, profitabilitas, ukuran perusahaan, leverage dan kinerja lingkungan

terhadap pengungkapan emisi karbon pada perusahaan Indonesia yang terdaftar di

BEI periode 2010-2012. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa media exposure,

tipe industri, ukuran perusahaan, profitabilitas dan leverage, berpengaruh


45

signifikan terhadap pengungkapan emisi karbon. Sedangkan kinerja lingkungan

tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap pengungkapan emisi karbon.

Andriani (2015), meneliti pengaruh kinerja keuangan terhadap

pengungkapan akuntansi karbon pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di

BEI tahun 2015. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kinerja keuangan

berpengaruh positif terhadap pengungkapan akuntansi karbon.

Majid dan Ghozali (2015), meneliti tentang pengaruh ukuran perusahaan,

profitabilitas, media exposure, leverage, dan PROPER ranking terhadap

pengungkapan emisi gas rumah kaca. Penelitian ini menemukan bahwa ukuran

perusahaan, profitabilitas, media exposure memiliki pengaruh poisitif terhadap

pengungkapan GRK. Sedangkan leverage berpengaruh negatif dan PROPER

ranking tidak berpengaruh terhadap pengungkapan gas rumah kaca pada

perusahaan Indonesia yang listing di BEI tahun 2011-2013.

Irwhantoko dan Basuki (2016), melakukan penelitian tentang pengaruh

ukuran perusahaan, profitabilitas, kompetisi, pertumbuhan, rasio utang pada

ekuitas, dan reputasi kantor akuntan publik terhadap pengungkapan emisi karbon

perusahaan manufaktur di Indonesia tahun 2012-2013. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa rasio utang terhadap ekuitas berpengaruh negatif signifikan

sedangkan faktor lainnya tidak berpengaruh terhadap pengungkapan emisi karbon.

Pratiwi dan Sari (2016), meneliti pengaruh tipe industri, media exposure,

dan profitabilitas terhadap carbon emission disclosure pada perusahaan jasa non-

industri yang listing di BEI tahun 2012-2014. Hasil penelitiannya memperoleh

bahwa tipe industri berpengaruh positif signifikan, sementara profitabilitas dan


46

media exposure tidak berpengaruh signifikan terhadap carbon emission

disclosure.

Kurniawati dan Biduri (2017), meneliti pengaruh ukuran perusahaan,

media exposure, dan profitabilitas terhadap carbon emission disclosure pada

perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI periode 2014-2016. Hasil penelitian

yang di dapat adalah bahwa ukuran perusahaan, media exposure, dan profitabilitas

berpengaruh terhadap carbon emission disclosure.

Halimah dan Yanto (2018), meneliti pengaruh leverage, profitabilitas,

ukuran perusahaan, kepemilikan institusional terhadap carbon emission disclosure

pada perusahaan pertambangan yang listing di BEI tahun 2013 hingga 2016. Hasil

penelitiannya mengindikasikan bahwa leverage, profitabilitas, ukuran perusahaan,

kepemilikan institusional berpengaruh negatif singnifikan terhadap carbon

emission disclosure.

Deantari et al (2019) meneliti tentang pengaruh sistem manajemen

lingkungan, kinerja lingkungan, ukuran perusahaan, profitabilitas, dan leverage

terhadap pengungkapan emisi gas rumah kaca pada perusahaan sektor industri

dasar dan kimia periode 2014-2016. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem

manajemen lingkungan, kinerja lingkungan, ukuran perusahaan berpengaruh

positif dan signifikan. Leverage berpengaruh negatif dan signifikan sedangkan

profitabilitas berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap pengungkapan

emisi gas rumah kaca.

Septriyawati dan Anisah (2019) melakukan penelitian tentang pengaruh

media exposure, ukuran perusahaan, leverage dan profitabilitas terhadap


47

pengungkapan emisi karbon pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI

periode 2014-2018. Hasil analisis yang dilakukan menyimpulkan bahwa media

exposure berpengaruh positif signifikan, sementara ukuran perusahaan, leverage

dan profitabilitas tidak berpengaruh terhadap pengungkapan emisi karbon.

Ulfa dan Ermaya (2019) meneliti tentang media exposure, kinerja

lingkungan dan tipe industri terhadap carbon emission disclosure perusahaan non-

keuangan yang listing di BEI periode 2014-2016. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa media exposure berpengaruh signifikan. Sementara, kinerja lingkungan dan

tipe industri tidak berpengaruh signifikan terhadap carbon emission disclosure.

Dari penjelasan penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa masih

terdapat ketidak konsistenan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti-

peneliti sebelumnya baik dalam negeri maupun luar negeri. Oleh karena itu

peneliti dalam penelitian ini ingin meneliti kembali faktor tipe industi, ukuran

perusahaan, media exposure, profitabilitas dan leverage yang banyak diteliti oleh

peneliti sebelumnya dengan melakukan studi empiris pada beberapa sektor

perusahaan yaitu pertambangan, energi dan transportasi peride 2016 hingga 2018.

Tabel 2.2 Penelitian Terdahulu

Nama
No. Judul Variabel Hasil Penelitian
Peneliti
1. Dawkins Coming clean: Variabel Independen: Environmental
dan Fraas The impact of 1. Environmental performance dan
(2011) environmental Performance media visibility
performance 2. Media Visibility berpengaruh
and visibility terhadap
on corporate pengungkapan
Variabel Dependen:
climate perubahan iklim.
Pengungkapan
change
48

disclosure. perubahan iklim

2. Choi et al An Analysis of Variabel Independen: Pertambahan


(2013) Australian 1. Pertambahan pengungkapan
Company pengungkapan emisi, industri
Carbon intensif emisi,
emisi
Emission level emisi GRK,
2. Industri intensif
Disclosure. organizational
emisi visibility, kualitas
3. Level emisi GRK corporate
4. Organizational governance
visibility berpengaruh
5. Kualitas corporate terhadap
governance pengungkapan
6. Profitabilitas emisi karbon.
7. Leverage
Profitabilitas dan
Variabel Dependen: leverage tidak
Carbon Emission berpengaruh
terhadap
Disclosure
pengungkapan
emisi karbon.

3. Luo et al Comparison of Variabel Independen: Profitability, legal


(2013) propensity for 1. Profitability system, emission
carbon 2. Legal system trading scheme,
disclosure 3. emission trading carbon
between scheme performance, dan
developing 4. Carbon firm size,
and developed performance berpengaruh
countries: A 5. Firm size positif.
resource 6. Leverage
constraint 7. growth Leverage, growth
perspective. opportunities opportunities,
8. Asset newness, asset newness,
9. Developing dan developing
country country
berpengaruh
Variabel Dependen: negatif.
Propensity for carbon
emission.

4. Pradini dan The Analysis Variabel Independen: environment


Kiswara of Information 1. environment information, firm
(2013) Content information size, berpengaruh
Towards 2. firm size signifikan
49

Greenhouse 3. ISO 14001 terhadap


Gas Emissions certified pengungkapan
Disclosure in environmental emisi gas rumah
Indonesian’s management kaca
Companies system
4. Existence of ISO 14001
environment certified
function environmental
5. Leverage, management
6. Profitability system, existence
7. Type of industry of environment
function,
Variabel Dependen: leverage,
Greenhouse Gas profitability, dan
Emissions Disclosure type of industry
tidak memiliki
pengaruh
signifikan
5. Jannah dan Analisis Variabel Independen: Media exposure,
Muid Faktor-faktor 1. media exposure tipe industri,
(2014) yang 2. Tipe industri ukuran
Mempengaruhi 3. Ukuran perusahaan,
Carbon perusahaan Profitabilitas dan
Emission 4. Profitabilitas leverage,
Disclosure 5. Leverage berpengaruh
pada 6. Kinerja signifikan
Perusahaan di Lingkungan terhadap
Indonesia. pengungkapan
Variablel Dependen: emisi karbon.
Carbon Emission
Disclosure Kinerja
lingkungan tidak
memiliki
pengaruh
signifikan.

6. Andriani Pengaruh Variabel Independen: Kinerja keuangan


(2015) Kinerja Kinerja keuangan berpengaruh
Keuangan dengan indikator nilai terhadap
terhadap perusahaan yang pengungkapan
Akuntansi diproksikan dengan akuntansi karbon.
Karbon Tobin’s Q

Variabel Dependen:
Akuntansi Karbon
50

7. Majid dan Analisis Variabel Independen: Profitabilitas,


Ghozali Faktor-faktor 1. Profitabilitas media exposure
(2015) yang 2. Media exposure memiliki
mempengaruhi 3. Leverage pengaruh poisitif
Pengungkapan 4. PROPER ranking terhadap
Emisi Gas pengungkapan
Rumah Kaca Variabel Dependen: GRK.
pada Pengungkapan Emisi
Perusahaan di Gas Rumah Kaca. Leverage
Indonesia. berpengaruh
negative dan
PROPER ranking
tidak berpengaruh
terhadap
pengungkapan gas
rumah kaca.
8. Irwhantoko Carbon Variabel Independen: Rasio utang
dan Basuki Emission 1. Rasio utang terhadap ekuitas
(2016) Disclosure: terhadap ekuitas berpengaruh
studi pada 2. Ukuran negatif signifikan.
perusahaan perusahaan
manufaktur 3. Profitabilitas Faktor lainnya
Indonesia. 4. Kompetisi tidak berpengaruh
5. Pertumbuhan terhadap
6. Reputasi kantor pengungkapan
akuntan publik emisi karbon

Variabel Dependen:
Carbon Emission
Disclosure.

9. Pratiwi dan Pengaruh Tipe Variabel Independen: Tipe industri


Sari (2016) Industri, 1. Tipe industri berpengaruh
media 2. Media exposure positif signifikan.
exposure dan 3. profitabilitas
profitabilitas Media exposure
terhadap variabel Dependen: dan Profitabilitas
carbon Carbon Emission tidak berpengaruh
Emission Disclosure. signifikan
Disclosure. terhadap carbon
emission
disclosure.

10. Kurniawati Apakah Variabel Independen: Ukuran


dan Biduri ukuran 1. Ukuran perusahaan,
(2017) perusahaan, perusahaan media exposure,
51

media 2. Media exposure dan profitability


exposure dan 3. Profitability berpengaruh
Profitability terhadap carbon
terhadap Variabel Dependen: emission
Carbon Carbon Emission disclosure.
Emission Disclosure.
Disclosure?
11. Halimah Determinant Variabel Independen: Leverage,
dan Yanto of Carbon 1. Leverage profitabilitas,
(2018) Emission 2. Profitabilitas ukuran
Disclosure at 3. Ukuran perusahaan,
Mining perusahaan kepemilikan
Companies 4. Kepemilikan institusional
Listed in institusional berpengaruh
Indonesia negatif
Stock Variabel Dependen: singnifikan
Exchange Carbon Emission terhadap Carbon
Disclosure Emission
Disclosure

.
12. Deantari et Faktor-faktor Variabel Independen: Sistem
al (2019) yang 1. Sistem manajemen
mempengaruhi 2. manajemen lingkungan,
Pengungkapan lingkungan kinerja
Emisi Gas 3. Kinerja lingkungan,
Rumah Kaca lingkungan ukuran
dari perspektif 4. Ukuran perusahaan
Akuntansi perusahaan berpengaruh
Hijau 5. Leverage positif dan
6. Profitabilitas signifikan.

Variabel Dependen: Leverage


Pengungkapan Emisi berpengaruh
Gas Rumah Kaca. negatif dan
signifikan

Profitabilitas
berpengaruh
positif dan tidak
signifikan
terhadap
pengungkapan
emisi gas rumah
kaca.
52

13. Septriyawati Pengaruh Variabel Independen: Media exposure


dan Anisah media 1. Media exposure berpengaruh
(2019) exposure, 2. Ukuran perusahaan positif signifikan.
ukuran 3. Leverage
perusahaan, 4. Profitabilitas Ukuran
leverage dan perusahaan,
profitabilitas Variabel Dependen: leverage dan
terhadap Pengungkapan emisi profitabilitas tidak
pengungkapan karbon. berpengaruh
emisi karbon terhadap
pada pengungkapan
perusahaan emisi karbon.
manufaktur
yang terdaftar
di BEI periode
2014-2018

14. Ulfa dan Effect of Variabel Independen: Exposure Media


Ermaya exposure 1. Exposure media berpengaruh
(2019) media, 2. Environmental signifikan.
environmental performance
performance 3. Industrial type Kinerja
and industrial lingkungan dan
type on carbon Variabel Dependen: tipe industri tidak
emission Carbon Emission berpengaruh
disclosure. Disclosure. signifikan.

2.3 Kerangka Pemikiran dan Hipotesis


2.3.1 Tipe Industri dan Carbon Emission Disclosure

Dalam penelitian ini tipe industri dapat dibedakan menjadi dua bagian

berdasarkan metodologi klasifikasi Global Industry Classification Standard

(GICS) yaitu industri intensif emisi dan industri non-intensif emisi.

Pengelompokkan ini dibuat berdasarkan banyaknya produksi emisi karbon suatu

perusahaan. Dalam penelitian Choi et al (2013) menyebutkan perusahaan yang

termasuk dalam industri intensif emisi adalah sektor energi, transportasi,

materials dan utilitas. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sektor energi,


53

transportasi, materials dan utilitas menunjukkan score pengungkapan karbon yang

tinggi. Hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan tekanan sosial dan politik

yang terjadi.

Perusahaan yang menghasilkan banyak polusi dalam aktivitas operasinya

akan mendapatkan pengawasan dan tekanan dari berbagai pihak. Sehingga

perusahaan akan cenderung melakukan pengungkapan untuk memperoleh

legitimasi dari masyarakat.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Choi et al (2013), Jannah dan Muid

(2014), Suhardi dan Purwanto (2015), Pratiwi dan Sari (2016), Talenta (2018)

menyatakan bahwa tipe industri memiliki pengaruh terhadap Carbon Emission

Disclosure. Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini

adalah:

H1: Tipe Industri berpengaruh terhadap Carbon Emission Disclosure.

2.3.2 Ukuran Perusahaan dan Carbon Emission Disclosure

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Choi et al. (2013) menunujukkan

bahwa ukuran perusahaan memiliki hubungan yang positif dengan pengungkapan

emisi karbon. Perusahaan yang besar lebih mungkin untuk mengungkapkan lebih

banyak informasi dibandingkan dengan perusahaan kecil. Perusahaan dengan

ukuran besar akan mendapat perhatian yang lebih dari publik (Majid dan Ghozali,

2015) sehingga perusahaan tersebut akan melakukan pengungkapan lingkungan

yang lebih baik untuk mencegah dan menyelesaikan konflik (Lorenzo et al.,

2009).
54

Perusahaan yang besar khususnya di bidang industri dianggap lebih

banyak menggunakan teknologi mesin untuk kegiatan produksinya sehingga akan

mengkonsumsi bahan bakar fosil dalam jumlah yang besar dan kemudian akan

menghasilkan gas buangan berupa emisi (Amanda, 2019).

Perusahaan besar (larger firms) mendapatkan tekanan sosial dan politik

yang lebih besar dari perusahaan kecil (smaller firms). Maka perusahaan akan

melakukan pengungkapan untuk membangun citra sosial yang baik sebagai bagian

dari strategi bisnis mereka (Wang et al., 2013).

Hal ini juga sejalan dengan penelitian Luo et al. (2013) yang menyatakan

perusahaan besar akan mendapatkan tekanan besar dari publik dan para

stakeholder karena publik mempunyai ekspetasi yang tinggi mengenai praktik

manajemen karbon. Untuk menghadapi tekanan tersebut perusahaan dapat

melakukan pengungkapan sosial lingkungan agar dukungan stakeholder dan

legitimasi dari masyarakat dapat diperoleh perusahaan.

Beberapa penelitian terdahulu seperti Talenta (2018), Koeswandini (2018),

Selviana (2018), Kurniawati dan Biduri (2017), Majid dan Ghozali (2015),

Suhardi dan Purwanto (2015), Jannah dan Muid (2014), Luo et al (2013), Wang et

al (2013), Ghomi dan Leung (2013) menemukan bahwa ukuran perusahaan (firm

size) berpengaruh terhadap pengungkapan emisi karbon. Berdasarkan uraian di

atas maka hipotesis untuk penelitian ini adalah:

H2: Ukuran perusahaan berpengaruh terhadap Carbon Emission

Disclosure.

2.3.3 Media Exposure dan Carbon Emission Disclosure


55

Media memiliki peran penting dalam menyampaikan suatu informasi

kepada masyarakat (Majid dan Ghozali, 2015). Mudahnya akses internet saat ini

membuat semua orang dapat mengetahui informasi dengan cepat. Informasi

mengenai perusahaan pun tak luput dari sorotan media. Sikap publik terhadap

perusahaan dan bagaimana publik memahami perilaku perusahaan akan

dipengaruhi oleh liputan media. Oleh karena itu, perusahaan menjadi lebih

waspada atas aktivitasnya yang selalu diawasi oleh media, karena hal ini

menyangkut reputasi dan nilai perusahaan (Jannah dan Muid, 2014).

Banyaknya pemberitaan media terkait isu-isu lingkungan yang terjadi saat

ini dan didorong oleh tekanan dari masyarakat, pemerintah dan pihak eksternal

lainnya membuat perusahaan melakukan pengungkapan lingkungan secara

sukarela. Begitu pula dengan pengungkapan emisi karbon. Sorotan media

terhadap perubahan iklim dan pemanasan global membuat masyarakat mengetahui

bagaimana kondisi bumi saat ini, sehingga mereka terdorong untuk melakukan

perubahan, atau sebuah Gerakan dalam kehidupan sehari-hari untuk mengurangi

dampak perubahan iklim tersebut. Dan sebagian masyarakat lain akan menuntut

pemerintah untuk bertindak tegas terhadap perusahaan yang seharusnya

bertanggungjawab dan mencari solusi untuk mengurangi dampak dari aktivitas

operasi perusahaan terutama emisi karbon. Begitu sangat pentingnya peran media

dalam membuat suatu perubahan.

Carpenter (2001) dalam Dawkins dan Fraas (2011) berpendapat bahwa

peningkatan pemberitaan media (media coverage) terhadap ilmu iklim (climate

science) dan kebijakan lingkungan (environmental policy) akan meningkatkan


56

peran organisasi non pemerintah seperti LSM dan menandakan adanya pergeseran

terhadap opini publik. Semakin aktif suatu media dalam mengawasi lingkungan

suatu negara, maka perusahaan akan semakin terpacu untuk mengungkapkan

aktivitas bisnisnya guna mendapat dukungan dari stakeholder (Ainnie, 2019).

Dawkins dan Fraas (2011) juga berpendapat bahwa dinamika antara stakeholder

dan pemberitaan media (media coverage) akan berimplikasi bagi pengungkapan

lingkungan secara sukarela.

Beberapa penelitian terdahulu telah mencoba meneliti hubungan media

exposure terhadap pengungkapan emisi karbon di antaranya, Dawkins dan Fraas

(2011), Jannah dan Muid (2014), Majid dan Ghozali (2015), Kurniawati dan

Biduri (2017), Septriyawati dan Anisah (2019), Ulfa dan Ermaya (2019). Hasil

penelitiannya menunjukkan bahwa media exposure memiliki hubungan terhadap

pengungkapan emisi karbon. Maka berdasarkan uraian di atas dan dukungan

penelitian terdahulu, hipotesis dalam penelitian ini adalah:

H3: Media Exposure berpengaruh terhadap Carbon Emission

Disclosure.

2.3.4 Profitabilitas dan Carbon Emission Disclosure

Profitabilitas merupakan salah satu indikator yang diukur untuk menilai

kinerja keuangan suatu perusahaan. Dimana profitabilitas dapat menggambarkan

kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba melalui semua sumber daya

yang tersedia (Harahap, 2008:219) dan dalam periode waktu tertentu (Munawir,

2004:33). Dengan demikian, kondisi keuangan suatu perusahaan dapat dilihat dari

indikator ini.
57

Perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang tinggi dapat diartikan bahwa

perusahaan tersebut memiliki kemampuan untuk terlibat dalam pengungkapan

lingkungan. Ditambah lagi dengan adanya tekanan dari masyarakat membuat

perusahaan akhirnya melakukan pengungkapan tersebut secara sukarela untuk

mendapatkan legitimasi dari masyarakat itu sendiri.

Perusahaan dengan sumber daya keuangan yang besar diharapkan dapat

berkontribusi untuk mengurangi polusi yang berasal dari aktivitas industrinya.

Karena upaya untuk mewujudkan industri ramah lingkungan memang

membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Perusahaan mungkin harus mengeluarkan

sejumlah uang untuk melakukan pembaharuan terhadap mesin, bahan bakar, dan

alat-alat lainnya agar lebih ramah lingkungan. Namun, dampak positif dari

penghijauan ini sangatlah besar bagi keberlangsungan perusahaan untuk masa

yang akan datang. Jadi, perusahaan yang profitable seharusnya tidak terkendala

dalam masalah keuangan untuk membuat keputusan dalam melakukan aktivitas

lingkungan.

Cormier dan Magnan (1999) dalam Choi et al. (2013) berpendapat bahwa

perusahaan dengan kondisi keuangan yang baik, lebih mungkin untuk secara

sukarela mengungkapkan informasi lingkungan. Sedangkan perusahaan dengan

kinerja keuangan yang buruk akan menganggap pengungkapan lingkungan berarti

biaya tambahan. Dalam penelitian Luo et al. (2013) disebutkan bahwa perusahaan

yang profitable lebih mungkin untuk dapat membayar pengeluaran yang

dibutuhkan untuk melakukan dan melaporkan informasi karbon.


58

Beberapa peneliti terdahulu telah membuktikan bahwa profitabilitas

berpengaruh terhadap pengungkapan emisi karbon, diantaranya yaitu Luo et al

(2013), Jannah dan Muid (2014), Majid dan Ghozali (2015), Kurniawati dan

Biduri (2017), Deantari et al (2019). Berdasarkan penjelasan di atas dan dukungan

dari beberapa penelitian terdahulu, maka hipotesis yang dirumuskan adalah

sebagai berikut:

H4: Profitabilitas berpengaruh terhadap Carbon Emission Disclosure.

2.3.5 Leverage dan Carbon Emission Disclosure

Leverage adalah rasio yang menunjukkan seberapa besar kebutuhan dana

perusahaan dibelanjai atau didanai oleh pinjaman (Irawati, 2006:42). Menurut

Kasmir (2014:154) salah satu manfaat dari rasio leverage adalah untuk

menganalisis seberapa besar aktiva perusahaan dibiayai oleh utang. Dengan rasio

ini dapat diperoleh informasi yang membantu bagi para investor dalam

pengambilan keputusan investasi di suatu perusahaan (Amanda, 2019). Karena

semakin tinggi rasio utang maka semakin tinggi pula risiko perusahaan, sehingga

suku bunga pun makin tinggi (Subramanyam dan Wild, 2012:213).

Perusahaan yang high-leverage akan lebih berhati-hati dalam mengambil

tindakan yang menyangkut pengeluaran-pengeluaran termasuk tindak

pengurangan emisi karbon (Jannah, 2014). Karena kewajiban yang lebih besar

untuk membayar utang dan bunga akan membatasi kemampuan perusahaan untuk

melakukan strategi pengurangan dan pengungkapan karbon (Luo et al., 2013).


59

Penelitian terdahulu telah menguji pengaruh leverage terhadap carbon

emission disclosure. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa leverage

berpengaruh negatif terhadap pengungkapan emisi karbon diantaranya adalah Luo

et al (2013), Majid dan Ghozali (2015), Halimah dan Yanto (2018), Deantari et al

(2019). Berdasarkan uraian di atas dan dukungan penelitian terdahulu, maka

hipotesis dalam penelitian ini adalah:

H5: Leverage berpengaruh terhadap Carbon Emission Disclosure.

2.4 Model Penelitian

Gambar 2.1
Faktor-faktor yang mempengaruhi Carbon Emission Disclosure

Tipe Industri (X1)

Ukuran Perusahaan (X2)

Media Exposure (X3) Carbon Emission


Disclosure (Y)

Profitabilitas (X4)

Leverage (X5)

Anda mungkin juga menyukai