Anda di halaman 1dari 181

Universitas Sumatera Utara

Repositori Institusi USU http://repositori.usu.ac.id


Fakultas Hukum Tesis Magister

2013

Analisis Tugas Direktur Kepatuhan


(Compliance Of Director) Dalam
Pengelolaan Bank

Pasaribu, Ugan

http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/381
Downloaded from Repositori Institusi USU, Univsersitas Sumatera Utara
ANALISIS TUGAS DIREKTUR KEPATUHAN
(COMPLIANCE OF DIRECTOR)
DALAM PENGELOLAAN BANK

TESIS

OLEH

UGAN PASARIBU
077005151/HK

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013
ANALISIS TUGAS DIREKTUR KEPATUHAN
(COMPLIANCE OF DIRECTOR)
DALAM PENGELOLAAN BANK

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum


Dalam Program Magister Ilmu Hukum
Pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara

OLEH

UGAN PASARIBU
077005151/HK

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013
HALAMAN PENGESAHAN

JUDUL TESIS : ANALISIS TUGAS DIREKTUR KEPATUHAN


(COMPLIANCE OF DIRECTOR)
DALAM PENGELOLAAN BANK
NAMA MAHASISWA : UGAN PASARIBU
NIM : 077005151
PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM

Menyetujui
Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution., S.H.,M.H)


Ketua

(Prof. Dr. Sunarmi.,S.H.,M. Hum) (Dr. Mahmul Siregar.,S.H.,M. Hum)


Anggota Anggota

Ketua Program Studi Ilmu Hukum Dekan Fakultas Hukum

(Prof. Dr. Suhaidi.,S.H.,M. Hum) (Prof. Dr. Runtung .,S.H.,M.Hum)

Tanggal Lulus : 06 April 2013


Telah diuji pada
Tanggal : 06 April 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

KETUA : Prof. Dr. Bismar Nasution., S.H.,M.H


ANGGOTA : 1. Prof. Dr. Sunarmi., S.H.,M. Hum
: 2. Dr. Mahmul Siregar., S.H., M. Hum
: 3.Prof. Dr. Budiman Ginting., S.H.,M.Hum
: 4.Dr. T. Keizerina Devi A.,S.H.,M.Hum
ANALISIS TUGAS DIREKTUR KEPATUHAN (COMPLIANCE
DIRECTOR)
DALAM PENGELOAAN BANK

Prof.Dr.Bismar Nasution,S.H.,M.H. 1
Prof.Dr. Sunarmi,S.H.,M.Hum. 2
Dr.Mahmul Siregar,S.H.,M.Hum. 3
Ugan Pasaribu 4

ABSTRAK

Analisis Tugas Direktur Kepatuhan Dalam Pengelolaan Bank. Adalah


menerangkan bahwa direktur kepatuhan memiliki tugas yang sangat penting
karena dapat mencegah terjadinya kerugian perusahaan. Pemantauan yang
dilakukan direktur kepatuhan adalah dengan melakukan identifikasi, menilai,
memberikan nasehat, memonitor, dan melaporkan risiko kepatuhan bank yaitu
risiko sanksi hukum, kerugian keuangan atau kehilangan reputasi yang
kemungkinan diderita bank akibat kegagalan bank mematuhi hukum, kode etik,
dan standar praktik perbankan.
Dalam penulisan dipergunakan metode yuridis normatif yaitu penelitian
hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder melalui
makalah, dengan cara membaca, menafsirkan serta memterjemahkan dari berbagai
sumber yang berhubungan dengan tanggungjawab Direktur Kapatuhan.
Direktur Kepatuhan bertugas sesuai PBI 13/2/PBI/2011, merumuskan
strategi guna mendorong terciptanya Budaya Kepatuhan, mengusulkan kebijakan
kepatuhan atau prinsip-prinsip kepatuhan yang akan ditetapkan oleh Direksi,
menetapkan sistem dan prosedur kepatuhan yang akan digunakan untuk menyusun
ketentuan dan pedoman internal Bank, memastikan bahwa seluruh kebijakan,
ketentuan, sistem, dan prosedur serta kegiatan usaha yang dilakukan Bank telah
sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, termasuk prinsip syariah bagi Bank Umum dan Unit usaha syariah.
Peran Bank Indonesia terkait tugas direktur kepatuhan dalam pengelolaan
bank adalah : mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) untuk memberikan
arah dalam mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat dan efesien guna
menciptakan kestabilan sistem keuangan atau dapat diartikan untuk melindungi
kepentingan deposan dan kreditur atau stakeholders.
Ketentuan dalam Pasal 97 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas (UUPT). Direksi memiliki posisi dan kekuasaan besar
untuk urusan perseroan. Oleh karena itu, salah satu unsur penting yang diatur
dalam regulasi
perusahaan adalah bagaimana mengontrol perilaku dari Direksi yang mempunyai
posisi dan kekuasaan besar dalam mengelola perusahaan, termasuk menentukan
standar perilaku (standart of conduct))
untuk melindungi pihak-pihak yang akan dirugikan apabila Direksi berperilaku
tidak sesuai dengan kewenangannya atau berperilaku tidak jujur dalam
menentukan kebijakan-kebijakannya.
Direksi hanya dapat diminta pertanggungjawabannya dalam pengelolaan
perseroan apabila mereka telah dikatagorikan melakukan pengelolaan yang salah.
Direksi dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, harus memperhatikan
tatakelola perusahaan yang baik atau dalam bahasa lain sering disebut dengan
Good corporate governance.

Kata kunci : Direktur Kepatuhan (Compliance of Director), Pengelolaan Bank,


Perseroan Terbatas, Good Corporate Governance, Fiduciary of Duty, Duty of
Loyality, Business Judgement Rule, Manajemen Risiko, Customer Due Deligence
THE PROJECT ANALYSIS OF COMPLIANCE DIRECTOR
IN BANK MANAGEMENT

Prof.Dr.Bismar Nasution 5
Prof.Dr.Sunarmi,S.H.,M.H. 6
Dr.Mahmul Siregar,S.H.,M.Hum. 7
Ugan Pasaribu 8

ABSTRACT

The project analysis of Compliance Director in Bank Management


describes that the director of compliance has very important roles because it can
prevent the loss of the company. The Monitor is conducted by the compliance of
director to sanction, financial loss or reputation loss suffered by the bank due to
the possibility of bank failures to comply with laws, codes, and standards of
banking practices.

In writing the methods used normative legal research conducted by


examining library materials or secondary data through paper, by reading,
interpreting and translating from various sources related to responsibilities of the
Compliance of Director.

The problems addressed in this study are on duty in Administration of


Bank Compliance Director. Compliance of Director in charge according PBI
13/2/PBI/2011, formulate strategies to encourage the creation of Culture of
determined by the Board of Director, establish compliance systems, ensuring that
all policies, rules, systems, and procedures as well as business activies conducted
by the Islamic principles for Commercial Banks and Islamic business units.

The role of Bank Indonesia director of compliance-related tasks in the in


achieving a healthy banking system, in order to create a strong and efficient
financial system stability or can be interpreted to proted the interests of depositors
and creditors or stakeholders.

The provisions of the Article:97(2U) of law Number 40,2007 on Limited


Liability Company. Directors have the position and powers to the affairs of the
company. Therefore, one-on-one important element that is set in the regulation of
the company is
how to control the behavior of the Directors who have position and power
in managing the company, including setting standards of behavior (standards of
conduct) to protect those who would be harmed if the Board behaves not in
accordance with their authority or dishonest behavior in determining their policy.
Directors can only be accountable in the management of the company if
they have considered doing the mismanagement. Directors in carrying out its
duties and authorities, should pay attention to good corporate governance or in
another language is often referred to as Good corporate governance.

Keywards:Directors of Compliance(Director of Compliance), Bank Management,


Limited Liability Company, Good Corporate Governace, Fiduciary of Duty, Duty
of Loyalty, Business Judgement Role, Risk Management, Customer Due
Diligence.
KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih atas

kasihnya kepada seluruh umat manusia.

Penulisan tesis yang berjudul: ANALISIS TUGAS DIREKTUR KEPATUHAN

(COMPLIANCE OF DIRECTOR) DALAM PENGELOLAAN BANK, adalah

guna memenuhi persyaratan mencapai gelar Magister Ilmu Hukum (MH) di

Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis sadar akan ketidaksempurnaan hasil penulisan tesis ini sehingga berharap

agar semua pihak dapat memberikan kritik dan saran yang membangun agar

menghasilkan sebuah karya ilmiah yang lebih baik dan lebih sempurna lagi, baik

dari segi substansi ataupun dari segi cara penulisannya.

Secara khusus, ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua

orang tua penulis, St.Ferdinan Pasaribu (Alm) yang semasa hidupnya mendorong

penulis untuk tidak berhenti belajar dan Sonti Siahaan yang menyayangi penulis

sehingga penulis bias memperoleh pendidikan formal sampai tingkat Strata Dua

ini.

Tak lupa juga Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada:

1. Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) Medan,

Prof.Dr.dr.Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc.(CTM),Sp.A(K).


2. Bapak Prof.Dr.Runtung Sitepu, S.H.,M.Hum., Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara (USU).

3. Bapak Prof.Dr.Suhaidi,S.H.,M.H., Ketua Program Studi Magister Ilmu

Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

4. Prof.Dr.Bismar Nasution,S.H.,M.H., Ketua Komisi Pembimbing, sebagai

Dosen Pembimbing I, dalam penelitian tesis ini. Ditengah kesibukannya

beliau, selalu membantu penulis dalam memberi bimbingan yang sangat

berarti atas penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya

kepada beliau.

5. Ibu Prof.Dr.Sunarmi,S.H.,M.Hum., Dosen Pembimbing II, yang telah

banyak membimbing untuk penyelesaian penulisan tesis ini.

6. Bapak Dr.Mahmul Siregar,S.H., M.Hum., Dosen Pembimbing III, dalam

penelitian ini. Ditengah kesibukan beliau, selalu membantu penulis dalam

memberi bimbingan atas penyelesaian tesis ini. Ucapan terima kasih

sebesar-besarnya kepada beliau.

7. Prof.Dr.Budiman Ginting,S.H.,M.Hum.,Pembantu Dekan I Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara, sebagai Dosen Penguji. Terima kasih

atas kritik dan masukan beliau sehingga penelitian tesis ini menjadi lebih

baik.

8. Dr.T.Keizerina Devi A.,S.H.,CN,M.Hum.,Dosen Penguji dalam penelitian

ini. Terima kasih atas kritik dan masukan beliau sehingga penelitian ini

menjadi lebih baik.


9. Seluruh Dosen Program Studi Magister Ilmu Hukum, Universitas Sumatera

Utara atas segala Ilmu yang telah diberikan. Juga kepada Staff Program

Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

yaitu Saudari Fika,

10. Saudari Fitri, Saudari Juli, Bang Hendra atas bantuan mereka dalam

mengurus administrasi studi penulis dari perkuliahan sampai penyelesaian

tesis ini.

11. Sanak keluarga yaitu Drs.Togar P, Dumasari P, Tiurlina P.SPD, Hotma P,

Pantas P.ST, dan Helen yang telah memberi dukungan kepada penulis.

12. Teman-teman kuliah yaitu kepada Bang Fachruddin Rifai (Advokat), Felix

Ginting (Jaksa), Aloysius Supriyadi (Kompol), Iwan Setyawan (Kompol),

Haryadi H (Kompol), Asman Siagian (Advokat),Runggu Sitepu (Jaksa),

Ajeng Ayu (Jaksa), T.Suhaimi (Jaksa), Marsella Silaen(Jaksa), Ika

Syafithri, yang telah menjadi teman akrab selama di kampus.

Mudah-mudahan penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak

dan menambah ilmu pengetehuan serta memberi sumbangsih.

Penulisan ini tak luput dari kekurangan, Penulis mengharapkan kritik dan

saran dalam penyempurnaan di kemudian hari.

Medan,

Salam Hormat Penulis

UGAN PASARIBU
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Ugan Pasaribu

Tempat Tgl / Lahir : Padang Sidempuan

Pendikan Pormal

SD Negeri Marindal 1 Tahun 1972

SMP Negeri 5 Medan Tahun 1975

SMA Negeri 5 Medan Tahun 1979

Universitas HKBP Nomensen Fakultas Hukum Tahun 1987


DAFTAR ISI

ABSTRAK ............................................................................................ i

ABSTRACT ............................................................................................ iii

KATA PENGANTAR ............................................................................... v

DAFTAR ISI ................................................................................................ viii

BAB. I : PENDAHULUAN ………………………………………. 1

A . Latar Belakang ……………………………………….. 1

B. Perumusan Masalah ……………………………… … 22

C. Tujuan Penelitian …………………………………… 23

D. Manfaat Penelitian …………………………………… 23

E. Keaslian Penelitian ………………………………… . 24

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi ...…………………. 25

G. Metode Penelitian …………………………………… 42

BAB.II : PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI DALAM PT. ...... 45

A.Tugas Direksi Dalam UUPT NO.40 Tahun2007 .............. 45

B. Prinsip Fiduciary Duty ……………………………… 60

C. Prinsip Business Judgement Law ……………….……... 72

BAB.III : PENTINGNYA DIREKTUR KEPATUHAN (COMPLIANCE

DIRECTOR) DALAM PENGELOLAAN BANK ................ 79

A. Penerapan Manajemen Risiko ……………………….

B. Prinsip Mengenal Nasabah (Customer Doe Deligence) 86


C. Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) ………. … 98

BAB IV : PERANAN BANK INDONESIA TERKAIT TUGAS

DIREKTUR KEPATUHAN (COMPLIANCE DIRECTOR)…103

A. Tugas Direktur Kepatuhan (Compliance Director)

Dalam Pengelolaan Bank ………………………… ……. 103

B. Peranan Bank Indonesia …………………………………. 109

C. Pelaksanaan Sertifikasi Manajemen Risiko …....………... 113

D. Pemantaun Bank Indonesia terhadap Country Risk ………120

E. Pergantian Peran Bank Indonesia oleh Otoritas Jasa

Keuangan ........................................................................ 123

BAB.V : KESIMPULAN DAN SARAN............................................... 131

A. Kesimpulan .................................................................... 131

B. Saran ...................................................................... 132

DAFTAR PUSTAKA .
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Harapan masyarakat demikian besar terhadap fungsi perbankan dalam

pembangunan kembali ekonomi Indonesia setelah porak poranda dilanda krisis

sejak tahun 1997 9 yang lalu.

Harapan yang besar ini dapat dipahami, oleh karena peranan perbankan

adalah demikian dominan baik sebagai bagian dari sistem pembayaran nasional

maupun sebagai penyedia dana bagi usaha yang baru tumbuh kembali.

Namum perbaikan ekonomi Indonesia, belum sepenuhnya dapat

memenuhi harapan masyarakat. Perbankan hingga kini masih sibuk berbenah diri,

termasuk menanggulangi berbagai skandal, kekeliruan atau pelanggaran terhadap

prinsip kehati-hatian (prudential banking) yang sudah menjadi ciri baku bagi

usaha perbankan.

9
Kompas, Minggu,02 Nopember 1997, krisis moneter diawali di negara –negara Asia,
yaitu Thailand, Korea Selatan, Malaysia,dimana nilai mata uang negara tersebut merosot.
Kemudian meluas ke Indonesia. Awalnya ditandai dengan merosotnya nilai tukar rupiah terus
terpuruk terhadap dollar AS, sehingga banyak bank mengalami rugi terutama mereka yang
memiliki pinjaman dalam mata uang asing, dan banyak pinjaman berjangka pendek. Bank-bank
yang tidak melindungi nilai kurs pinjaman valuta asing jumlahnya sangat banyak. Akumulasi
kerugian bank akibat gejolak kurs dan memburuknya arus kas (cash-flow). Beberapa bank
mengalami saldo debet sehingga tidak mampu bertahan sebagai bank yang sehat. Maka
Pemerintah tanggal 01 Nopember 1997, yang diumumkan oleh Menteri Keuangan Mar’ie
Muhammad didampingi Gubernur Bank Indonesia Soedrajad Djiwandono telah mencabut izin
usaha 16 Bank yang tidak sehat, antara lain:
(1) Bank Pinaesaan, (2) Bank Industri, (3) Amrico Bank Ltd (4) Astria Raya Bank, (5) Bank
Andromeda, (6) Bank Harapan Sentosa, (7) Bank Guna Internasional, (8) Sejahtera Bank
Umum, (9) Bank Umum Majapahit Jaya, (10) Bank Jakarta, (11) Bank Kosagraha Semesta,
(12) Bank Mataram Dhanaarta, (13) South East Asia Bank, (14) Bank Pasific, (15) Bank Dwipa
Semesta, dan (16) Bank Citrahasta Dhanamanunggal.
Hal ini ditandai dengan pelimpahan non performing loan dari bank tidak

sehat ke dalam BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) 10 menyusul

terjadinya krisis.

Krisis moneter tahun 1997, 11 telah membawa hikmah bagi perbankan

Indonesia. Sejak itu telah dihasilkan perubahan yang signifikan. Undang-undang

Nomor 23 Tahun 1999 (sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor

3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia, dan terakhir diubah dengan Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 2009) 12 telah menetapkan tujuan tunggalnya yaitu menjaga

kestabilan nilai rupiah.

10
BPPN adalah Lembaga yang melaksanakan program Blanket Guarantee, yang bersifat
sementara, diberlakukan pemerintah sejak tahun 1998 melalui Keppres No. 26/1998. Zulkarnain
Sitompul, Problematika Perbankan (Jakarta: Books Terrace & Library, 2005), hal. 315
Tugas BPPN antara lain: 1) melakukan pengadministrasian jaminan yang diberikan
pemerintah kepada Bank Umum; 2) melakukan pengawasan, pembinaan, dan upaya penyehatan
termasuk retruksisasi bank yang oleh Bank Indonesia dinyatakan tidak sehat; 3) melakukan
tindakan hukum lain yang diperlukan dalam rangka penyehatan bank yang tidak sehat. Menurut
Keppres tersebut, kedudukan BPPN berada di bawah Menteri Keuangan dan keberadaannya
sementara hingga tugasnya telah tercapai dan BPPN dapat dibubarkan serta kekayaannya menjadi
milik negara. Keppres No.26/1998 sesuai Pasal 37A UU No.7/1992 sebagaimana telah diubah
dengan UU No.10 tahun 1998 tentang Perbankan. Kusumaningtuti Sandriharmy, Peranan Hukum
dalam Penyelesaian Krisis Perbankan di Indonesia (Jakarta: RajaGrafindo Persada,2009),hal.173
11
Donald K.Emmerson, Indonesia Beyond Soeharto, Negara, Ekonomi, Masyarakat,
Transisi,(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001).Cet.ke 1, hal.578: Kerusakan perekonomian
yang diakibatkan oleh krisis moneter (krismon) 1997-1998 jauh melebihi peristiwa hampir
bangkrutnya satu perusahaan saja, Pertamina, pada tahun 1970-an, atau merosotnya harga satu
komoditi, minyak pada tahun 1980-an. Krisis moneter ini berakar pada sektor swasta, banyak firma
dan bank swasta yang telah meminjam begitu banyak di luar negeri serta menggunakannya secara
boros didalam negeri. Menyusul perjanjian 31 Oktober 1997 dengan IMF, pemerintah
mengeluarkan pengumuman 01 November 1997 yang mengejutkan. 16 (enam belas) bank swasta
kecil ditutup, termasuk beberapa yang mempunyai hubungan dengan keluarga Presiden Soeharto.
Guna menghindari keadaan panik, publik diberitahu bahwa akan dapat memperoleh uangnya dari
salah satu dari tiga bank negara mulai pada 13 November 1997.
Kwik Kian Gie: Gonjang-Ganjing Ekonomi Indonesia, Badai Belum Akan Segera
Berlalu,(Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Utama & Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi,IBII, 1999).Cet.
Ke 3, hal.260-261: Bank Indonesia yang ”membiarkan” masalah kredit macet dan rusaknya bank-
bank demikian lamanya, akhirnya toh melikuidasi 16 bank dengan cara yang sangat tidak adil.
Kenyataan ini tidak dapat dipisahkan dari kesan bahwa pemerintah ingin mematuhi persyaratan
Dana Moneter Internasional (IMF) dengan harga berapa saja dan tepat waktu. Kalau caranya lantas
mengorbankan uang para giran dan deposan (yang diatas Rp.20 juta) tanpa mereka berdosa dan
bersalah apapun, likuidasi demikian harganya terlampau mahal. formalnya dikatakan bahwa nanti
akan dibayar dari hasil penjualan aset dari bank terlikuidasi. Tetapi Menteri Keuangan mengatakan
kepada DPR bahwa salah satu kreteria dilikuidasinya bank adalah karena aset dari bank yang
bersangkutan sudah jauh lebih kecil dari jumlah kewajibannya. Implisit adalah bahwa hasil
penjualan aset tidak mungkin cukup untuk memenuhi kewajiban bank. Bahwa bank yang
sebenarnya sudah rusak sama sekali masih bisa berputar adalah karena adanya kemungkinan gali
lubang tutup lubang melalui pasar uang antar bank. Maka sudah banyak sekali bank yang
sebenarnya setiap hari ”merah”, tetapi menutupnya dengan pinjaman yang diperbaharui per 24 jam
sekali. Karena bank nyatanya masih berputar, dan masih dapat membayarkan uang pemilik giran
yang memintanya, akhirnya masyarakat berpikir bahwa uangnya yang ada di bank pilihannya
masing-masing aman saja. Yang dipakai untuk membayar kepada giran dan deposan sampai jumlah
Rp.20 juta sebesar Rp.2,3 triliun adalah uang BI, yang adalah uang milik rakyat. Bankir dan debitur
yang menyebabkan lenyapnya uang bank tidak diapa-apakan. Untuk melebihi Rp.20 juta, giran dan
deposan yang adalah rakyat juga menjadi stres, bunuh diri, terkena stroke dan jatuh miskin. Banyak
yang tabungan seumur hidupnya lenyap.
M.Sadli, Bila Kapal Punya Dua Nakhoda, Esai-Esai Ekonomi-Politik Masa Transisi,
(Jakarta: Alvabet & Freedom Instute,2002),Cet. Ke I, hal.112: Uang pemerintah yang sudah
”tenggelam” (sunk) di perbankan sebagai akibat penanggulangan krisis 1997/1998 – tidak bisa
diharapkan lagi kembali utuh. Pemerintah sadar keresahan masyarakat jumlah utang pemerintah
semakin besar. Utang di luar negeri menggelembung menjadi US$ 80 miliar dan utang dalam
negeri yang sebelum 1997 tidak ada, namun sesudahnya sekitar Rp.630 triliun. Total utang ini
sudah menyamai PDB.
Stiglitz dalam Revrisond Baswir, Membuka Topeng ”Konsensus Washington” dalam
Esai-Esai Nobel Ekonomi,(Jakarta: Buku Kompas,2007),Cet.Ke 1,hal.161-162: Stiglitz yang
meraih Hadiah Nobel ekonomi 2001, Kepala Dewan Penasehat Ekonomi Presiden Bill Clinton
(1993-1997), dan berpengalaman sebagai Wakil Presiden Bank Dunia selama tiga tahun (1997-
2000) berpendapat, penutupan 16 bank -
Pertama yang disertai dengan catatan masih akan disusul oleh beberapa bank lainnya, ternyata
dilakukan tanpa memperhitungkan dampaknya terhadap perilaku para deposan. Di tengah-tengah
ancaman penutupan bank, para deposan dilepas begitu saja untuk menyelamatkan diri mereka
masing-masing. Akibatnya mereka serta-merta menarik tabungan dari bank-bank swasta dan
memindahkannya ke bank pemerintah. Kebijakan IMF secara mendadak, menunjukkan IMF tidak
memahami arti penting transformasi sosial sebagai bagian integral dari proses pembangunan.
Kebijakan konsensus Washington yang dipaksakan IMF kepada Indonesia, selain berpijak pada
prinsip ”satu ukuran cocok untuk semuanya,” ternyata dibangun dengan wawasan ekonomi yang
sempit. Akibatnya memicu terjadinya peristiwa Mei 1998, kebijakan penghapusan subsidi (BBM),
liberisasi, pengurangan peranan BULOG, privatisasi BUMN ditengah-tengah lingkungan
pemerintahan yang Korup, dalam situasi krisis ditandai maraknya pengangguran dan kemiskinan
tidak hanya mengalami kegagalan, tetapi bermuara pecahnya kerusuhan. Demonstrasi Mahasiswa
dan kelompok profesi, masyarakat terjadi di berbagai kota dan menuntut Presiden Soeharto mundur
sebagai Presiden. Akhirnya Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, dan
digantikan oleh Wakil Presiden BJ.Habibie (R.William Liddle, Rezim: Orde Baru, dalam Donald
K.Emmerson, Indonesia Beyond Soeharto,2001 ) hal.65.
12
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang.
Bank sentral ini juga dinyatakan sebagai lembaga independen yang bebas

dari pengaruh pemerintah dan pihak lain. Keluarnya Undang-Undang No.23 tahun

1999 tentang Bank Indonesia dan Undang-Undang No.24 Tahun 1999 tentang

Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. Telah memperkokoh landasan kerja

bank Indonesia, selanjutnya lahir Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), sehingga

tidak ada lagi program blanket guarantee 13 sebagaimana telah terjadi pada saat

krisis moneter 1997.

Selain itu konsolidasi perbankan semakin diperkokoh dengan

diluncurkannya Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Berdasarkan hal inilah

Bank Sentral mendesak upaya dilakukan merger di antara bank-bank ber-aset kecil

menengah. Bersamaan dengan langkah tersebut Bank Indonesia telah menetapkan

single presence policy 14 dan mendorong peningkatan modal. Langkah ini akan

mendorong membentuk Otoritas Jasa Keuangan. 15

Menurut Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia

lembaga ini akan efektif tahun 2010, 16 namun baru tahun 2011 disahkan dengan

ditetapkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

13
Bisnis Indonesia, Selasa 14 Oktober 2008, Dalam UU No.24 tahun 2004 tentang LPS,
Limited Guarantee sampai Rp.100 juta, namum dengan terjadinya krisis keuangan global
(Finansial turbelensi) Oktober 2008, maka pemerintah menaikkan Limited guarantee sampai Rp.2
milyar, untuk mencegah terjadinya rush, mulai berlaku tanggal 13 Oktober 2008, disampaikan
Menteri keuangan Sri Mulyani Indrawati. Krisis itu sendiri diawali dengan krisis Subprime
Mortgage (kredit macet perumahan atau properti) tahun 2007 di Amerika Serikat, yang menyeret
lembaga investasi besar seperti Lehman Brother, Citigroup (yang beroperasi di 100 negara),
JP.Morgan Chase, Fanny Mae dan Freddie Mac.
14
Peraturan Bank Indonesia No.8/16/PBI/2006 tentang Kepemilikan Tunggal pada
Perbankan
15
Zulkarnain Sitompul,Op.Cit. Hal 144
16
Pasal 34 UU N0.3 tahun 2004 tentang perubahan UU No.23 tahun 1999, berlaku
selambat-lambatnya 31 Desember 2010
dan diundangkan pada tanggal 22 November 2011(Lembaran Negara RI Tahun

2011 Nomor 111). Dengan demikian beralih tugas pengawasan perbankan dari

Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). 17

Hal ini dimaksudkan agar Bank Indonesia lebih berkonsentrasi dengan

tugas tunggalnya yaitu di bidang moneter. 18 Tugas tunggal ini diharapkan

mempunyai dampak yang signifikan terhadap kemajuan perekonomian nasional.

Seperti diketahui, aktivitas dan keberadaan perbankan sangat menentukan

kemajuan suatu negara dalam bidang ekonomi. 19

17
Pasal (1) angka 1 UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan: Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang
mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan.
18
Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit,Suatu Tinjauan di Bidang Yuridis,
(Jakarta: Rineka Cipta,2009), hal.31: Dari sejumlah kejadian yang terjadi pada awal sampai
dengan pertengahan tahun 1990-an dapat diduga merupakan salah satu hal yang melatarbelakangi
pengalihan pengawasan bank oleh BI kepada pihak lain. Masih belum dapat dilupakan begitu saja
kejadian di awal tahun 1990-an banyak bank baru bermunculan bagaikan cendawan di musim hujan
akibat kebijakan perbankan yang di kenal dengan Paket Oktober (Pakto) 1988 hanya dengan modal
sebesar Rp.10 milyar dapat mendirikan bank. Sejumlah bank yang baru berdiri tidak diikuti dengan
Sumber Daya Manusia (SDM) yang memadai sehingga yang tampak bank bekerja asal jadi. Para
bankir kurang dapat menerapkan prinsip-prinsip perbankan karena mereka kurang menguasai
sehingga banyak bank yang melanggar peraturan perbankan, antara lain melanggar prinsip kehati-
hatian, melanggar BMPK(Batas Maksimum Pemberian Kredit), menggunakan fasilitas kredit
kepada kelompoknya, memberikan kredit kepada orang dalam bank (bankir).
Kejadian pertama yang mengagetkan masyarakat akibat dari hal tersebut adalah pada
tahun 1992 dilikuidasinya Bank Summa karena kalah kliring. Bank Summa dilikuidasi karena tidak
sehat, hutangnya lebih besar dibandingkan dengan modalnya. Masyarakat sebagai deposan bank
tersebut ketika itu menjadi kebingungan untuk menarik simpanannya tetapi tertolong oleh dana
talangan dari pemerintah sehingga bank tersebut dapat mengembalikannya. Kejadian selanjutnya
pada tahun 1997 bank yang dilikuidasi menjadi 16 bank. Jumlah bank yang dilikuidasi meningkat
dapat berakibat buruk terhadap masyarakat karena mengurangi kepercayaan terhadap bank.
Penarikan dana simpanan masyarakat secara besar-besaran pada bank akan menggoncangkan
kehidupan perbankan. Adanya peristiwa sejumlah bank yang dikuidasi tersebut secara tidak
langsung dapat menunjukkan bahwa pembinaan dan pengawasan bank yang dikakukan BI kurang
menggembirakan. BI tergolong masih lemah dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan
terhadap bank. Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan perbankan tidak dapat dilakukan
pencegahan sedini mungkin. Keadaan diperburuk dengan Bank-bank yang kekurangan dana karena
memberikan kredit dengan cara melanggar ketentuan perbankan masih dapat diberikan BLBI.
19
Kasmir, Manajemen Perbankan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,2008), hal.16
Usaha perbankan adalah usaha jasa yang sangat bergantung pada kinerja

para pengurus dan pegawai bank sehingga baik buruknya kinerja perbankan sangat

bergantung pada kemampuan dan kepatuhan mereka terhadap peraturan

perundang-undangan.

Ini mengandung arti bahwa latar belakang pendidikan dan ketahanan

pribadinya haruslah cukup handal untuk dapat menjawab tantangan tugas. 20

Tantangan tidaklah bertambah ringan karena kemajuan ekonomi dalam pasar

terbuka ini telah menciptakan situasi dimana pelayanan juga harus berubah, maju

dan canggih. Jati diri perbankan adalah pelayanan. Makin selaras dengan

keinginan para nasabah, makin kuat akar sebuah bank tertancap di hati nasabah.

Perbankan Indonesia tidak bisa mengisolasi diri dan harus berhubungan

dengan perbankan internasional, sehubungan dengan itu maka standar pelayanan,

pengurus dan pegawai bank dituntut untuk memenuhi standar internasional. 21

Masyarakat dan Negara sudah menjadi satu, perubahan terjadi sangat cepat,

20
George Edward Allen, halaman komentar dalam buku E.C.W.Neloe, Pemberian Kredit
Bank Menjadi Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Verbum Publishing,2012).Cet.I, Seorang bankir
yang baik harus memiliki kemampuan yang tinggi dan pengetahuan yang luas:
1/5 harus memiliki kemampuan sebagai lawyer;
2/5 harus memiliki kemampuan sebagai Accountant;
3/5 harus memiliki kemampuan sebagai Economis;
4/5 harus memiliki kemampuan sebagai Gentlemen
21
Kanter (1995), mengemukakan para pemain kunci dalam ekonomi global adalah
kelompok masyarakat yang memiliki intangible asset (aset tidak berwujud) 3 C yaitu: 1. Concept,
2. Competence dan 3. Connection atau networking. (Sedarmayanti, Good Governance & Good
Corporate Governance, Bandung: Mandar Maju, 2012. Cet.2, Hal. 34). Era globalisasi dimulai
pertengahan 1980-an dipersiapkan dan dipelopori oleh negara ekonomi maju seperti beberapa
negara anggota Uni-Eropah,Amerika Serikat, dengan asumsi untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat terutama negara miskin. Diperlukan pembebasan regulasi yang dianggap menghambat
masuknya modal asing yang tentunya melalui mekanisme perbankan. kelonggaran masuknya dana
asing juga berpotensi risiko dimanfaatkan pelaku money laundering.
disertai keterbukaan hubungan antar bangsa dan negara, yang tiada batas-batas

kekuasaan, pasar, pembayaran teknologi, aliran barang dan jasa, serta pengetahuan

manusia. Perubahan di suatu wilayah dapat ikut menentukan perubahan di wilayah

lain secara global. Norma-norma, tatanan, ikatan yang mendunia menelusup dan

menguasai segala kompleksitas dan keanekaragaman lokal, identitas etnik-bangsa

sehingga melahirkan penyeragaman, yang barang tentu berakibat

ketidakseimbangan terjadi diantara negara-negara, komunitas-komunitas

kekuasaan dan penguasaan aneka sumber daya. Perkembangan globalisasi, 22

khususnya ekonomi bermuatan ekses positif maupun negatif. 23 Dalam hal ini

perlunya peran hukum dalam kehidupan perekonomian, yang bersifat nasional

maupun internasional, yang tidak dapat dibedakan lagi karena pengaturan hukum

sudah menjadi global. Sehubungan dengan potensi kriminal terkait dengan

pendayagunaan hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan.

22
Alvin Toffler, dalam bukunya “Future Shocks” tahun 1993, meramalkan Abad ke 21
adalah Abad Teknologi Komunikasi (disebut juga gelombang ketiga). Ramalan ini menjadi
kenyataan dari sejak tahun 2000-an, dunia terasa sempit, dunia sudah menjadi satu, dikarenakan
teknologi komunikasi seperti telepon selluler (ponsel) telah digunakan pada umumnya penduduk
dunia dari usia belia sampai dewasa. Kondisi ini membawa ekses positif maupun negatif.
Perubahan disuatu wilayah dapat ikut menentukan perubahan di wilayah lain secara
global.(St.Sularto, Syukur Tiada Akhir,Jejak Langkah Jakob Utama, Buku Kompas, Cet.Ke
IV.Hal.394).
23
Ancaman dan tantangan terhadap keamanan bersama secara multilateral telah diatur
didalam Convention PBB untuk memberantas Tindak Pidana Terorganisasi (United Convention
Against Transnational Crime,2000) atau Konvensi Palermo. Konvensi PBB ini telah diratifikasi
dengan Undang-Undang No.5 Tahun 2009, memuat Lima jenis kejahatan; 1) Korupsi, 2) Pencucian
Uang, 3) Perdagangan Orang (perempuan dan anak), 4) Penyelundupan orang dan 5)
Penyelundupan senjata.(Romli Atmasasmita, Globalisasi Dan Kejahatan Bisnis, Kencana Prenada
Media,2010, Hal.28).
Sementara itu masih sering di dapat informasi dari media massa tentang

kesulitan perbankan dan skandal yang justru memperlemah posisi perbankan di

mata masyarakat.

Kondisi ini menempatkan perbankan dalam posisi kontra produktif dalam

perekonomian Indonesia. Hal ini akan bermuara pada kerugian atau mengurangi

keuntungan bank, padahal keuntungan tersebut justru diharapkan untuk

memperbaiki permodalan bank. Kasus yang menimpa Bank BNI yaitu skandal

letter of credit (L/C) 24 yang berawal dari pengambilalihan wesel ekspor berjangka

dalam jumlah yang secara kumulatif besar. Bank tersebut telah mengambil risiko

besar tanpa tindakan pengaman yang cukup yaitu tanpa akseptasi bank penerbit

Letter of Credit (L/C).

Tanpa mempertimbangkan bonafiditas bank pembuka L/C, bank tersebut

bukan bank correspondent, 25 mendiskonto wesel berjangka untuk kepentingan

nasabah yang bukan nasabah debitur yang telah dianalisa bonafiditasnya dan tanpa

meneliti kewajaran dokumen ekspor termasuk dokumen pengapalan. Kerugian

yang dialami Bank BNI sebesar Rp.1,7 triliun. Kemudian tersangka utama

melarikan diri ke Singapura. 26

Kasus ini terjadi hanya dalam hitungan bulan ketika Bank Indonesia akan

memberlakukan Peraturan Nomor 5/8/PBI/2003 tentang penerapan manajemen

24
Tedi Fardiansyah, Refleksi Strategi Penerapan Manajemen Risiko Perbankan
Indonesia, Eko B Supriyanto, (ed) (Jakarta: Elex Media Kompotindo, 2006), hal. 133
25
Ramlan Ginting, Letter of credit, Tinjauan Aspek Hukum dan Bisnis, (Jakarta:Salemba
Empat,2002), hal.11
26
Kompas, 12 Oktober 2004, Adrian Waworuntu tersangka utama kasus Letter of Credit
Bank BNI. Tetapi kemudian hari menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan
risiko bagi bank umum sebagaimana telah diubah dengan PBI Nomor

11/25/PBI/2009.

Ditutupnya Bank Dagang Bali dan Bank Asiatic, karena dianggap telah

melakukan praktek kecurangan (fraud) dengan melakukan penggelapan dana pihak

ketiga melalui rekayasa pemberian kredit dan pembelian obligasi satu group.

Kasus penyimpangan dari prinsip kehati-hatian sebelumnya telah beberapa

kali menimpa dunia perbankan, misalnya kredit yang disalurkan oleh bank kepada

kelompok usaha sendiri, Bank Dagang Nasional (BDNI) telah menyalurkan kredit

kepada kelompok usaha sendiri sebesar Rp.24,4 triliun atau 90 %, Bank Danamon

sebesar Rp.12,9 triliun atau 43,8 % dan Bank Modern sebesar Rp.1,2 triliun atau

63,2 % dari total kredit yang disalurkan, 27 Demikian juga pada bulan April 1997,

Bank Pikko melakukan manipulasi pasar dalam pasar modal Indonesia. 28

Tahun 2004 perbuatan fraud terjadi juga di Bank Global, dimana

diberitakan manajemen Bank Global untuk melenyapkan sejumlah dokumen

dengan cara merendam dalam bak penampungan dan menyiapkan dua buah truk

untuk memindahkan surat-surat berharga (dokumen) ke tempat tertentu.

27
Warta Ekonomi, ( No.15 / Thn.X/31 Agustus 1998 ), hal.18 dalam Bismar Nasution,
Hukum Kegiatan Ekonomi (Jakarta: BookTerrace & Librari, 2007, Cet.ke 2), hal.155
28
Manipulasi Pasar adalah distorsi terhadap kekuatan bebas atas persediaan dan
permintaan, setiap manipulasi menggunakan restriksi artifisial pada “floating supply of stock”,yang
diikuti oleh beberapa faktor untuk menarik publik pada permintaan saham dalam bentuk artifisial
atau penciptaan penampilan palsu atas kegiatan perdagangan sebenarnya. Bismar
Nasution,Keterbukaan Dalam Pasar Modal, (Jakarta: Fakultas Hukum,Universitas Indonesia,
Program Pasca Sarjana, 2001, Cet. ke 1), hal. 169
Perbuatan ini diancam dengan ketentuan tindak pidana yang berkaitan

dengan usaha bank. Indikasi manipulasi lainnya adalah dalam bentuk obligasi.

Pada laporan keuangan Bank Global per Desember 2003 tercatat memiliki obligasi

senilai Rp.1,123 triliun. Padahal dalam catatan Bapepam hanya ada Rp.400 milyar

obligasi subordinasi Bank Global yang diterbitkan bulan Juni 2003. Artinya ada

sekitar Rp.723 miliar obligasi yang illegal. 29

Kasus lainnya adalah yang terjadi pada PT. Bank Citra yang dilakukan oleh

komisaris dan direkturnya. Dana milik bank digunakan untuk kepentingan milik

pribadi yang bersangkutan. Penarikan dana tersebut dilakukan melalui pembelian

obligasi PT.Waterfront Sekuritas, pembelian Surat Berharga Pasar Uang (SBPU)

dari PT.Trisula Supra dan pembelian Nota Certifikat Deposit dari Bank Centris.

Perbuatan fraud juga dilakukan oleh Bank Pasific. Kasus ini melibatkan

PT.Wicaksana Overseas Internasional (WOI) sebagai penggugat dan PT Pasific

Internasional Finance (PIF) sebagai tergugat I dan PT.Bank Pasific (BP) sebagai

tergugat II. PT.Wicaksana, membeli Commercial paper (CP) yang diterbitkan oleh

PIF dan diaval oleh BP. Antara PIF dan BP memiliki keterkaitan kepemilikan dan

kepengurusan. Saham PIF dimiliki oleh Presiden Direktur BP. Dan sekaligus

sebagai Presiden Komisaris PIF. Pada saat CP jatuh tempo, PIF tidak mampu

membayar dan ketika diajukan kepada BP sebagai avalis (penjamin), BP

menyatakan bahwa CP tersebut tidak tercatat dalam pembukuan BP. 30 Perbuatan

29
Investor, Konspirasi di Bank Global, (No.115 Tahun VII, 11-24 Januari 2005),hal.90
30
Zulkarnain Sitompul, Ibid. hal. 247
ini melanggar pasal 49 UU No.7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah

diubah dengan UU No.10 tahun 1998 tentang Perbankan. 31 atas perbuatan ini

pengadilan menghukum PIF dan BP secara tanggung renteng untuk membayar CP

yang diterbitkan PIF.

Perbuatan yang sama juga dilakukan oleh PT.Bank Dwipa, dengan cara

tidak mencatat dalam pembukuan (Unrecord) deposito nasabahnya atas nama

PT.ASABRI (Pesero) dan DAPEN Perum ASABRI masing-masing sebesar Rp.2

miliar dan Rp.51 miliar, yang telah divonnis oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

tanggal 7 Oktober 1999. 32 Pada tahun 2008 Bank Century mengalami kalah kliring

atau tidak bisa membayar dana permintaan dari nasabah sehingga terjadi rush.

Untuk itu BI/Pemerintah/LPS membuat kebijakan Bailout (dana talangan) sebesar

Rp.6,7 Triliun, kebijakan ini telah menuai protes dari berbagai kalangan

masyarakat (civil society) karena telah merugikan negara. Masyarakat

menginginkan Bank ini ditutup karena Bank Century adalah berukuran kecil baik

aset maupun jumlah nasabah tidak berdampak sistemik, tetapi Pemerintah/Bank

Indonesia berpendapat akan berdampak sistemik. 33 Pemegang saham Bank

31
Pasal 49 UU No.7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU
No.10 tahun 1998 tentang Perbankan, berbunyi ”…… menghilangkan atau tidak memasukkan atau
menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan … Diancam dengan pidana penjara
paling lama 15 tahun ....”
32
Zulkarnain Sitompul,Ibid. hal.248
33
M.Mufti Mubarok & Sri Gayatri, Century (Jakarta: Java Pustaka, 2010),Cet.I,hal.3-45:
Bank Century adalah hasil merger Bank Danpac, Bank Pikko, dan Bank Century Intervest
Corporation (CIC) berdiri 06 Desember 2004. Pada 13 November 2008 Gubernur BI Budiono
membenarkan Bank Century kalah kliring. Beberapa nasabah besar Bank Century menarik dana
sehingga mengalami kesulitan likuiditas. Diantara nasabah besar itu adalah Budi Sampurna,
PT.Timah Tbk, dan PT Jamsostek. Budi Sampurna tidak dapat menarik uangnya yang mencapai
Rp.2 triliun. Bahkan Robert Tantular membujuk Budi Sampurna dan putranya Sunaryo,agar
Century Robert Tantular pada 1999 tidak lulus uji kelayakan dan kepatutan oleh

Bank Indonesia, ketika itu masih bernama Bank Century Intervest Corporation

(CIC). Seharusnya BI konsisten tidak meloloskan Robert Tantular sebagai salah

satu pemegang saham Bank Century ketika berdiri tahun 2004. 34

Sebenarnya Pemilik Bank Century adalah Rafat Ali Rivzi dan Hesham Al

Warraq (keduanya warga asing), oleh Bank Indonesia ditetapkan sebagai

Pemegang Saham Pengendali (Ultimate Share Holder) Bank Century. Keduanya

sudah dijatuhi vonis hukuman pidana oleh pengadilan, tetapi mereka sudah

menjadi pemegang saham karena Bank mengalami likuiditas, tetapi tidak berminat. Tanggal 20
November 2008, berdasarkan Surat No.10/232/GBI/Rahasia,Bank Indonesia menetapkan PT Bank
Century Tbk sebagai Bank gagal yang berdampak sistemik. Selanjutnya, sesuai dengan Perpu No.4
Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (Perpu ini sendiri ditolak DPR karena akan
menguras APBN), Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang diketuai Menteri Keuangan
Sri Mulyani, melalui Keputusan No.04/KSSK.03/2008 tanggal 21 November 2008 menetapkan PT
Bank Century Tbk, sebagai bank gagal yang berdampak sistemik dan menyerahkan penanganannya
kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Karena desakan masyarakat, Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) membentuk Panitia Khusus Hak Angket (Pansus) untuk menyelidiki kasus Bank
Century yang telah merugikan negara. Pemerintah/LPS telah menalangi dana sebesar Rp.6,7 triliun.
Tanggal 12 Agustus 2009, Mantan Direktur Utama Bank Century Hermanus Hasan Muslim
divonnis 3 tahun penjara karena terbukti menggelapkan dana nasabah Rp.1,6 triliun. Dan tanggal
10 September 2009, Komisaris Utama yang juga pemegang saham Robert Tantular oleh Majelis
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat di vonnis 4 tahun penjara dengan denda Rp.50 miliar
karena dianggap telah mempengaruhi pejabat bank umum untuk tidak melakukan langkah-langkah
yang diperlukan sesuai UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Fuad Bawazier, dalam Sindo, 31 Agustus 2009: Akibat kebijakan yang ceroboh ini
keuangan negara atau APBN dirugikan dalam jumlah besar dan berkepanjangan atau “sistemik”.
dengan perkataan lain, pengucuran dana talangan Rp.6,7 triliun yang mengucur hanya dalam tempo
8 bulan (November 2008-Juli 2009) tanpa persetujuan DPR. Untuk mengusut hal ini KPK dan DPR
meminta BPK melakukan audit investigasi, mengapa membengkat dari proposal awal Rp.630
milyar, Rp.1,3 triliun kemudian menjadi Rp.6,7 triliun. BI ketika meminta persetujuan DPR agar
diberi bailout Bank Indover dengan Rp.7 triliun karena apabila tidak dilakukan akan mengurangi
credit rating Indonesia, tetapi DPR tidak setuju. Penurunan rating adalah sementara. Seharusnya
kebijakan ini juga diberlakukan di Bank Century.
Wakil Presiden Jusuf Kalla, berpendapat yang terjadi di Bank Century adalah perampokan oleh
pemegang saham Robert Tantular, Rafat Ali Rizvi dan Hesham Al-Warraq, keduanya nama
terakhir adalah Warga Asing, oleh karena itu Jusuf Kalla tidak setuju kebijakan bailout dan akan
menguras APBN.
34
Pada tanggal 02 Oktober 2009 Bank Century berubah nama menjadi Bank Mutiara
terlanjur melarikan diri ke luar Indonesia dengan membawa dana milik Bank

Century sebanyak Rp.3,2 triliun. 35

Belum selesai kasus Bank Century (2008), masyarakat dikejutkan

pembobolan Citibank (Indonesia) oleh karyawannya pada tahun 2011. 36

35
Chudry Sitompul, Skandal Bank Century,Lolosnya Pemegang Saham Pengendali,(Pusat
Pengkajian Hukum Acara dan Sistem Peradilan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012),
Cet.I,Hal.8:
Disayangkan, tidak ada usaha yang signifikan dari aparat hukum Indonesia untuk mencari mereka,
kecuali sekedar menyampaikan red notice ke Interpol. Usaha aparat hukum mencari kedua
terpidana buronan tidak serius, sebab dalam kasus lain pencarian buronan melalui kerjasama
Interpol terbukti efektif, misalnya dalam kasus penangkapan M.Nazaruddin dan istrinya Neneng Sri
Wahyuni di luar negeri ketika mereka masih berstatus tersangka dalam kasus Wisma Atlet. Padahal
Rafat Ali Rivzi dan Hesham Al Warraq sudah menjadi terpidana dalam kasus tindak pidana korupsi
dan tindak pidana pencucian uang, padahal sebuah televisi swasta nasional bisa menemui Rafat Ali
dan melakukan wawancara yang kemudian disiarkan. Rafat dan Hesham bahkan mengajukan
gugatan terhadap pemerintah Indonesia di Pengadilan Arbitrase Internasional 12 Mei 2011, karena
merasa dirugikan atas kebijakan pemerintah menyimpang dalam mem-bailout Bank Century.
Adrian Panggabean, Ekonom, menulis ”Bank Century Dari Ketinggian Seribu Meter”.
disitu Adrian menyimpulkan bahwa yang terjadi adalah Pemerintah dan Bank Indonesia salah baca
dan salah analisis. Bank Century sudah sejak lama bermasalah dan ini semata-mata karena pemilik
dan pengelolanya bermasalah. Kenapa mesti diselamatkan ? Bahaya Bank Century tidak sistemik.
Krisis ekonomi sekarang tidak sama dengan krisis yang kita hadapi pada tahun 1998. Yang terjadi
adalah salahnya substansi kebijakan dan dilanggarnya good governance (good corporate
governance). Kita melakukan bailout secara tak bertanggungjawab. Todung Mulya sependapat
dengan Adrian bahwa Boediono & Sri Mulyani keliru dalam keputusannya men-bailout Bank
Century. (Catatan Harian Todung Mulya Lubis 2009, Buku 1, 2012, Hal. 410 ).
36
Otto Hasibuan, Kuasa Hukum Citibank: Citibank mengakui ada kelemahan dalam
pengawasan terhadap pegawainya sehingga terjadi pembobolan uang nasabah senilai Rp.44 miliar
yang dilakukan mantan Senior Relationship Manager Inong Malinda Dee. Dalam kasus
pembobolan dana yang dilakukan terhadap 22 nasabah yang ditanganinya, ada potensi pelanggaran
yang dilakukan pegawai Citibank karena kepercayaan yang diberikan nasabah. Salah satu modus
yang dilakukan Malinda, yang diakui sebagai kelemahan pengawasan Citibank, adalah memberikan
blangko untuk transfer dana yang ditandatangani nasabah. Seharusnya nasabah tidak
menandatangani blangko kosong. (Kompas, Jumat, 18 November 2011).
Mirza Adityaswara, Ekonom ISEI: Kasus frauds yang dilakukan oleh Staf
Citibank(MD) terhadap nasabah Citigold, mengakibatkan Citibank dilarang menjaring nasabah
baru Citigold selama 1 tahun oleh BI. Belum selesai dibicarakan kasus Citibank terjadi kasus di
Bank Mega yang mengakibatkan lenyapnya dana yang dimiliki oleh PT Elnusa sebesar Rp.111
miliar dan Pemkab Batubara sebesar Rp.80 miliar dalam bentuk deposito yang disimpan di Bank
Mega Kantor Cabang Pembantu Jakabeka Bekasi. Rapat Dewan Gubernur Indonesia 23 Mei 2011
memutuskan agar Bank Mega membentuk rekening penampung (escrow account) senilai sengketa
dana. Kasus frauds di lembaga keuangan tidak hanya di Indonesia, pada 2008 di Amerika Serikat
terungkap penggelapan dana oleh Bernard Madoff, menggelapkan dana ribuan investornya sekitar
US$65 miliar sehingga pada 2009 Madoff dihukum berat selama 150 tahun penjara (seratus lima
puluh tahun) oleh Pengadilan (Bisnis Indonesia, 16 Mei 2011, 26 Mei 2011).
Masyarakat bertanya-tanya mengapa terulang lagi perbuatan fraud, sepertinya

dunia perbankan tidak belajar dari pengalaman. 37 Skandal bank BNI, Bank

Century dan kasus–kasus lain sebenarnya tidak akan terjadi, apabila bank

melaksanakan prinsip kehati-hatian (prudential banking) sebagaimana telah diatur

dalam Undang-undang No.7 tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU

No.10 tahun 1998 tentang Perbankan. Dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI)

yaitu PBI No.5/8/2003 tentang Penerapan Manejemen Risiko bagi Bank Umum

sebagaimana telah diubah dengan PBI Nomor 11/25/PBI/2009, dan peraturan

bagaimana mengelola bank yang sehat atau tata kelola perusahaan yang baik (good

corporate governance atau GCG). 38

37
Untuk menjawab pertanyaan masyarakat sepertinya dunia Perbankan tidak belajar dari
pengalaman, sehingga terulang perbuatan fraud padahal berbagai peraturan telah diterbitkan untuk
mencegahnya. Dapat dikemukakan adalah hasil kajian Koentjaraningrat (Antropolog) dan Mochtar
Lubis (Wartawan Senior, Budayawan) tahun 1973 tentang mentalitas negatif manusia Indonesia
diantaranya mental menerabas (St.Sularto, Syukur Tiada Akhir, Jejak Langkah Jakob Oetama,
Buku Kompas, 2012,Cet.IV.Hal.217). Keadaan demikian akan sulit mensejahterakan rakyat, oleh
karena itu perlu bangsa ini memperhatikan yang pernah disampaikan pada masa orde baru oleh
Negarawan/Ekonom Frans Seda mendorong membangun gerakan moral bangsa, perlu terus-
menerus didesak adanya etika dalam pembangunan termasuk etika dalam berbisnis. (Frans Seda,
Mantan Menteri zaman Soekarno, Mantan Menteri Keuangan zaman Soeharto awal Orde Baru
1966-1968, bersama Tim Ekonomi yang terdiri dari Radius Prawiro,Wijoyo Nitisastro,M.Sadli,Ali
Wardhana, Emil Salim,Suhadi,Subroto dan lain-lain berhasil menekan inflasi pada saat itu 630 %
menjadi 112 %. Dalam Mikhael Dua, Frans Seda, Merawat Indonesia di Saat Krisis,
Obor.2012.Hal.124).
38
Hadi Soesastro, Setelah Muncul ”Globaphobia”, Harus Bagaimana Hadapi
Globalisasi?, dalam Indonesia Abad XXI, Di Tengah Kepungan Perubahan Global, (Jakarta: Buku
Kompas, 2000),Cet.I, hal. 33-41: untuk menghasilkan Good Governance atau Good Corporate
Governance (GCG), ternyata belum bisa diharapkan dapat dilakukan tanpa tekanan dari luar.
Tekanan tersebut datang dari pasar internasional dan secara langsung datang dari lembaga-lembaga
internasional seperti Dana Internasional Moneter (IMF), dan Bank Dunia, ini merupakan tragedi.
Proses politik, pemerintahan, dan hukum di negara ini belum bisa menciptakan aturan permainan,
rambu-rambu dan wasit yang dapat menjamin terjadinya perbaikan. Diharapkan pada akhirnya,
perbaikan memang harus datang dari dalam masyarakat sendiri. Upaya-upaya ini telah dimulai
tampak dengan dibentuknya Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), Corruption Watch, Urban
Consortium dan banyak lainnya. Di Thailand, diciptakan melalui kesepakatan nasional dan
Tujuan peraturan ini ialah upaya mengeliminasi kemungkinan

penyimpangan operasional bank yang dilakukan direksi dan/atau komisaris

maupun pemegang saham. Peraturan tersebut sangat urgen mengingat direksi dan

komisaris merupakan organ perusahaan yang rentan untuk disalahgunakan

seandainya tidak ada check and balance antara seluruh organ perusahaan.

Penguatan dewan direksi dan dewan komisaris ini didukung oleh peraturan

Bank Indonesia No.5/25/PBI/2003 tentang penilaian kemampuan dan kepatutan

(Fit and Proper Test) 39 sebagaimana telah diubah dengan PBI Nomor

12/23/PBI/2010, dimana calon direksi dan komisaris ini dapat menjadikan

terpilihnya pengurus bank yang independen serta memiliki kemampuan di

bidangnya dan memenuhi persyaratan seperti integritas, kompetensi dan reputasi

keuangan, termasuk tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan Tindak

Pidana Tertentu dalam waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan. 40

dituangkan dalam konstitusi mereka yang baru, yang memberi tempat dan peran bagi masyarakat
sipil. Di Filipina melalui suatu undang-undang diberikan jaminan bagi LSM untuk ikut berperan
melalui tugas pengawasan atas pelaksanaan program pembangunan di tingkat lokal. Dari uraian
diatas pada intinya adalah terjaminnya transparansi dan tanggung jawab. Globalisasi menuntut
semua itu, akan tetapi tuntutan ini tidak harus dilihat sebagai sesuatu yang datang dari luar. Ia
merupakan tuntutan yang berasal dari kepentingan masyarakat kita sendiri.
39
Indra Surya & Ivan Yustiavandana, Penerapan Good Corcoparate Governance,
Mengesampingkan Hak-Hak Istimewa demi Kelangsungan Usaha, ( Jakarta: Kencana, 2008),Cet.2,
hal.17.
40
Pasal 18 PBI No.12/23/PBI/2010 tentang Uji Kemampuan Dan Kepatutan (Fit and
proper Test) Persyaratan integritas bagi calon anggota DewanKomisaris dan calon anggota
Direksi meliputi:
a. memiliki akhlak dan moral yang baik, antara lain ditunjukkan dengan sikap
mematuhi ketentuan yang berlaku, termasuk tidak pernah dihukum karena
terbukti melakukan Tindak Pidana Tertentu dalam waktu 20 (dua puluh) tahun
terakhir sebelum dicalonkan;
b. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
c. memiliki komitmen terhadap pengenbangan operasional Bank yang sehat;
Dengan demikian peraturan ini dapat mencegah penyalahgunaan

wewenang pemegang saham (mayoritas) untuk menunjuk direksi dan komisaris

yang tidak independen. Selain mengatur mengenai direksi dan komisaris, juga

mengatur kompetensi yang harus dipenuhi pemegang saham pengendali.

Ketentuan ini menegaskan tidak semua pihak dapat menjadi pemegang saham

pengendali. Jadi hanya pihak yang memiliki integritas dan kelayakan keuangan

saja yang dapat menjadi pemegang saham pengendali.

Peraturan ini memang bertujuan untuk mendorong terciptanya sistem

perbankan yang sehat, melalui penerapan prinsip-prinsip GCG 41 di industri

perbankan, seperti yang disarankan oleh Organization for Economic Cooperation

d. tidak masuk dalam Daftar Tidak Lulus (DTL); dan


e. memiliki komitmen untuk tidak akan melakukan dan atau mengulangi perbuatan
dan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan 28, bagi calon
anggota Dewan Komisaris atau calon anggota Direksi yang pernah memiliki
predikat Tidak Lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan dan telah menjalani
sanksi sebagaimana dimaksud Pasal 35 ayat (1), Pasal 40 ayat (4) huruf a dan
Pasal 40 ayat (5).
Difi A Johansyah,Kepala Biro Humas BI, menginformasikan bahwa Bank Indonesia sejak
November 2003 telah melarang 400 orang untuk menjadi pengurus ataupun memiliki bank sampai
tahun 2023 (20 tahun), sejak ada ketentuan tentang Fit and Propert Test (PBI No.5/25/PBI/2003
sebagaimana telah diubah dengan PBI No.12/23/PBI/2010),yang mengubah ketentuan Daftar
Orang Tercela (DOT). Namun, menurutnya, di luar 400 orang itu masih ada beberapa orang lagi
yang dilarang mengelola bank namun sudah melarikan diri ke luar negeri karena menjadi buronan
Kejaksaan dalam kasus BLBI. (Antara, Senin, 11 November 2010).
41
Kompas, Kamis, 16 Oktober 2008
Kevin Rudd, Perdana Menteri Australia, mengatakan; “Krisis financial global terjadi karena tidak
diterapkannya prinsip-prinsip good corcoparate governance (GCG) di Wall Street, New York.
Wall Street adalah juga julukan bagi korporasi Amerika Serikat, yang menjadi episentrum krisis
keuangan global 2008”. Hal senada juga dikemukakan Ban Ki Moon, Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa-Bangsa, bahwa para eksekutif perusahaan investasi tidak menerapkan prinsip
kehati-hatian, mengakibatkan pemerintah dengan terpaksa memberikan dana talangan kepada
korporasi yang mengalami kesulitan likuiditas. Antara lain Pemerintah Amerika Serikat
menyediakan dana sebesar US $ 1,1 triliun. Menurut Ban Kin Moon, apabila tidak terjadi krisis,
dana tersebut dapat digunakan mengentaskan rakyat yang masih miskin. Centre For Financial
(CFS) bermarkas di Frankfurt Jerman, memaparkan hasil studi, bahwa sistem pemberian bonus
yang berlebihan, malah membuat para eksekutif terpengaruh menjalankan bisnis berisiko tinggi.
and Development (OECD) yang menetapkan empat prinsip umum good corporate

Governance (GCG) yakni:

(1) keadilan (fairness);

(2) keterbukaan (transparancy);

(3) tanggungjawab (accountability); dan

(4) pertanggungjawaban (responsibility). 42

Kemudian diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006

(30 Januari 2006) tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank
43
Umum sebagaimana telah diubah dengan PBI Nomor 8/14/PBI/2006 (5 Oktober

2006) dengan rumusan prinsip – prinsip yaitu;

1) keterbukaan (tranparancy);

2) akuntabilitas (accountability);

3) pertanggungjawaban (responsibility);

4) independensi (independency); dan

5) kewajaran (fairness).

Ketentuan ini diperkuat prinsip mengenal nasabah (know your customer

serviceprinciples yang wajib dilaksanakan perbankan, diperlukan untuk

mengurangi risiko usaha, 44 yaitu;

42
Privat Sector Development Department – the Wold Bank, International Corporate
Governance, 1998 dalam Sofyan A Djalil, dalam Bismar Nasution, Op.cit. hal. 152
43
Hadi Setia Tunggal, Paket Kebijakan Perbankan, (Jakarta: Harvarindo,2006)
44
Tedy Fardiansyah, Op.citt, hal. 56
Risiko kredit, adalah risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan counterparty memenuhi
kewajibannya.
1) risiko kredit;

2) risiko pasar (market risk);

3) risiko operasional (operasional risk);

4) risiko likuiditas (liquadity risk);

5) risiko hukum (legal risk);

6) risiko reputasi (reputation risk);

7) risiko strategik (strategik risk);

8) risiko kepatuhan (compleance risk); dan

9) risiko bisnis (business risk).

Prinsip mengenal nasabah ini sangat urgen agar bank tidak digunakan

sebagai tempat untuk menyembunyikan hasil kejahatan (money laundering)

misalnya menyimpan hasil perdagangan NARKOBA, Korupsi, Senjata illegal.

Salah satu prinsip Good Corporate Governance yaitu prinsip transparancy

misalnya dalam hal keterbukaan permodalan sehingga dapat memfasilitasi

Risiko Pasar (risk market), adalah risiko yang timbul karena pergerakan variabel pasar (adverse
movement) dari fortofolia yang dimiliki bank, yang dapat merugikan bank. Variabel pasar dalam
hal ini adalah suku bunga dan nilai tukar. Risiko Operasional, risiko yang antara lain disebabkan
adanya ketidakcukupan dan atau tidak berfungsi proses internal kesalaham manusia, kegagalan
sistem, atau adanya problem eksternal yang mempengaruhi operasional bank. Risiko
likuiditas(liquidity risk), risiko yang antara lain disebabkan bank tidak mampu memenuhi
kewajiban yang telah jatuh tempo. Risiko Hukum, risiko yang disebabkan oleh adanya kelemahan
aspek yuridis antara lain disebabkan adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang-
undangan yang mendukung atau kelemahan perikatan seperti tidak dipenuhinya syarat sahnya
kontrak dan pengikatan agunan yang tidak sempurna. Risiko reputasi (reputation risk), risiko yang
disebabkan adanya publikasi negatif yang terkait dengan kegiatan usaha bank atau persepsi negatif
terhadap bank.
Risiko strategik (strategic risk), risiko yang antara lain disebabkan adanya penetapan dan
pelaksanaan strategi bank yang tidak tepat, pengambilan keputusan bisnis yang tidak tepat atau
kurang responsifnya bank terhadap perubahan eksternal. Risiko kepatuhan (compliance risk), risiko
yang disebabkan bank tidak mematuhi atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan,
dan ketentuan lain yang berlaku. pengelolaan risiko kepatuhan dilakukan melalui penerapan sistem
pengendalian intern secara konsisten.
disiplin pasar, dengan informasi tersebut memungkinkan pengawas dan peserta

pasar melakukan penilaian tentang kesehatan bank.

Menurut Zulkarnain Sitompul, ada tiga ukuran menilai kesehatan bank oleh

masyarakat, yaitu, Pertama, apabila bank tidak memiliki akses ke pasar antar

bank, atau memiliki akses tetapi dengan tingkat suku bunga yang tinggi.

Kedua, perbedaan suku bunga deposito yang ditawarkan antara bank yang

satu dengan yang lain. Dengan suku bunga yang jauh lebih tinggi, merupakan

indikasi bahwa bank tersebut mengalami kesulitan likuiditas. Dan ketiga, hadiah

yang ditawarkan bank. Apabila ada bank menawarkan hadiah yang nilainya tinggi,

sementara kemampuan bank menyalurkan kredit rendah (loan to deposit ratio),

bagi calon deposan perlu hati-hati. 45

Peraturan lainnya yang berkaitan kebutuhan penerapan GCG yaitu SE

No.5/21/DPNP/ tanggal 29 September 2003, PBI tersebut mewajibkan bank untuk

menetapkan wewenang dan tanggung jawab yang jelas pada setiap jenjang jabatan

sehubungan dengan penerapan manajemen risiko, termasuk pengaturan mengenai

wewenang dan tanggung jawab direksi dan komisaris.

Penerapan manajemen risiko ini diharapkan dapat meningkatkan

shareholder value, serta memberikan gambaran kepada pengelola bank mengenai

kemungkinan kerugian bank dimasa datang, proses pengambilan keputusan yang

sistematis yang didasarkan ketersediaan informasi, dimanfaatkan sebagai dasar

penilaian yang akurat mengenai kinerja bank.

45
Zulkarnain Sitompul, Ibid. hal.257
Manajemen risiko 46 dapat juga digunakan untuk menilai risiko yang

melekat pada kegiatan usaha bank yang relatif kompleks dan menciptakan

infrastruktur manajemen risiko yang kokoh untuk meningkatkan daya saing bank.

Bank dihadapkan pada risiko-risiko yang melekat pada kegiatan usaha

bank. Sementara produk dan jasa keuangan semakin terintegrasi menyebabkan

risiko yang harus dihadapi semakin kompleks dan meningkat. 47

Dalam rangka meningkatkan kinerja bank, melindungi kepentingan

stakeholder dan meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan perundangan-

undangan serta nilai – nilai etika (code of conduct) yang berlaku pada industri

perbankan.

Bank diwajibkan melaksanakan prinsip-prinsip tata kelola usaha yang baik

(good corporate governance). Untuk pelaksanaannya bank diwajibkan oleh Bank

46
Alan Greenspan, Mantan Ketua The Fed. (Federal Reserve Board - Dewan Gubernur
Bank Sentral) Amerika Serikat (1987-2006) & Ketua Dewan Penasihat Ekonomi Presiden Richard
Nixon, mendesak Presiden George W Bush,Jr, untuk menggunakan hak veto terhadap pengelolaan
yang tidak terkendali pada lembaga investasi Fannie Mae dan Freddie Mac pada tahun 2003,
namum tidak digunakan. Perusahaan yang diberi wewenang oleh kongres untuk membantu
menjaminkan kredit rumah.Mereka diberi subsidi oleh berbagai pasar finansial dalam bentuk suku
bunga dengan premi risiko kredit yang sangat rendah pada utang mereka. Pasar mengira Paman
Sam akan membantu mereka apabila terjadi gagal bayar. Alan Green Span, menilai kedua
perusahaan tersebut tidak menerapkan manajemen risiko. Alan Green Span, Abad Prahara,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal.244-245.
Bisnis Indonesia, Jumat, 19 September 2008, menginformasikan, pemerintah Amerika
serikat telah mengucurkan dana talangan (bailout) sebesar US$ 200 milyar untuk menyelamatkan
Fannie Mae dan Freddie Mac. Dan secara keseluruhan dana talangan untuk perbankan sebesar US$
700 milyar.
47
Sutan Remy Sjahdeini, Mencegah Pembobolan Bank, dalam Kompas, Selasa, 5 April
2011: belum selesai kasus Bank Century (2008) yang dibobol pemiliknya sendiri(Robert Tantular),
masyarakat dikejutkan oleh pembobolan Citibank(2011) oleh karyawannya (Malinda Dee).
Pembobolan bank tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga pernah terjadi di banyak Negara.
Bank besar seperti Bank of America pernah dibobol pada tahun 2008 oleh Direktur Utamanya,
Kenneth D Lewis. Pembobolan Citibank juga pernah terjadi di India pada 2010 dan dilakukan oleh
Shivraj Puri, relationship manager. Tahun 2011 European Bank For Recontruction and
Development yang berkedudukan di London juga mengalami
Indonesia memiliki direktur kepatuhan (compliance director) atau anggota

pimpinan Cabang Asing yang ditugaskan menetapkan langkah–langkah yang

diperlukan guna memastikan kepatuhan bank terhadap peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Hadirnya formasi direktur kepatuhan 48 sangat diperlukan, mengingat bank

adalah lembaga kepercayaan sehingga dalam melaksanakan kegiatan usahanya

harus dilakukan dengan cara yang sehat. Oleh karena itu pengurus bank harus

mematuhi ketentuan perundang-undangan agar bank terhindar dari kerugian yang

dapat mengancam kelangsungan perusahaan dan merugikan masyarakat.

Penugasan dan pemberhentian direktur kepatuhan dilakukan oleh dewan

komisaris dan direktur utama dengan mendapat persetujuan terlebih dahulu dari

Bank Indonesia yang diatur dalam pasal 3 Peraturan Bank Indonesia

No.1/6/PBI/1999 tentang penugasan Direktur Kepatuhan sebagaimana telah

pembobolan oleh mafia Rusia. Setiap bank pasti memiliki sistem pengamanan. Namun, secanggih
dan seketat apa pun sistem pengamanan, tetap saja bank rentan terhadap pembobolan karena bank
secara teknologi telah menggunakan sistem komputer mungkin saja masih bisa dibobol oleh
peretas (hacker). Pembobolan bank sudah terjadi sejak dunia mengenal bank. Kasus pembobolan
bank mungkin dapat ditekan.
48
Pasal 5 Peraturan Bank Indonesia No,1/6/PBI/1999 tentang penugasan Direktur
Kepatuhan dan Penerapan Standard Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank Umum. Direktur
kepatuhan bertugas dan bertanggung jawab sekurang-kurangnya untuk:
a) menetapkan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan Bank telah memenuhi
seluruh
peraturan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku dalam
rangka
pelaksanaan prinsip kehati-hatian;
b) memantau dan menjaga agar kegiatan usaha Bank tidak menyimpang dari ketentuan yang
berlaku;
c) memantau dan menjaga kepatuhan Bank terhadap seluruh perjanjian dan komitmen yang
dibuat oleh
Bank kepada Bank Indonesia.
diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/2/PBI/2011, tercantum dalam

pasal 9.

Direktur Kepatuhan wajib memenuhi persyaratan yaitu memahami

peraturan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang berlaku,

mampu bekerja secara independen. Yang dimaksud dengan mampu bekerja secara

independen adalah dapat mengungkapkan pandangan serta pemikiran sesuai

dengan profesi, dengan tidak memihak terhadap kepentingan pihak lain yang tidak

sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip kehati-

hatian dalam pengelolaan bank.

Dalam melaksanakan tugasnya, Direktur Kepatuhan wajib mencegah

direksi Bank (pimpinan Kantor Cabang Asing) agar tidak menempuh kebijakan

dan/atau menetapkan keputusan yang menyimpang dari peraturan Bank Indonesia

dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku. Bank juga diwajibkan

membuat laporan kepada Bank Indonesia tentang pelaksanaan tugas Direktur

Kepatuhan secara berkala atau setiap akhir bulan Juni dan Desember (pasal 12).

Apabila Direktur Kepatuhan tidak melaksanakan kewajibannya dikenakan sanksi

berupa pembatalan persetujuan Bank Indonesia sebagai Direktur Kepatuhan (pasal

19).

Demikian juga Bank yang tidak menyampaikan laporan tugas Direktur

Kepatuhan kepada Bank Indonesia dikenakan sanksi administrasi 49 yang berupa

49
Pasal 20 angka (2) Peraturan Bank Indonesia No.1/6/PBI/1999 tentang Penugasan
Direktur Kepatuhan dan Penerapan Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank Umum
penurunan tingkat kesehatan bank, pemberhentian pengurus bank, dan

pencantuman anggota pengurus, pegawai bank, pemegang saham dalam daftar

orang tercela di bidang perbankan. Sanksi administrasi ini cukup berat bagi

pengurus atau pegawai bank karena akan berakhir kesempatannya berkarir di

Bank.

Tugas direktur kepatuhan dalam rangka prinsip kehati-hatian antara lain

memantau pelaksanaan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum atau Capital

Adequacy Ratio (CAR) sebesar 8%, 50 Batas Maksimum Pemberian Kredit atau

Legal Lending Limit (L3) yang telah ditetapkan 20% dari modalnya kepada satu

perusahaan atau grup perusahaan dan apabila debitur adalah pihak terkait dengan

bank maksimal kredit adalah 10% dari modal Bank. 51

Demikian juga memantau Kualitas Aktiva Produktif. Dalam rangka

kesiapan menghadapi risiko kerugian. Maka pengurus bank berkewajiban menjaga

kualitas aktiva produktif. 52

Untuk memperkokoh industri perbankan. Bank Indonesia meluncurkan

gagasan Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Gagasan ini merupakan kerangka

dasar sistem perbankan Indonesia yang bersifat menyeluruh dan memberikan arah,

50
Permadi Gandapradja, Dasar dan Prinsip Pengawasan Bank, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2004), hal. 49
51
Bismar Nasution, Op.Cit, hal.155
52
Zulkarnain Sitompul, Op.Cit, hal. 97
Aktiva produktif adalah penyediaan dana bank untuk memperoleh penghasilan dalam
bentuk kredit, surat berharga, penempatan dana antar bank, tagihan akseptasi, tagihan atas surat
berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali (reserve repurchase agreement), tagihan
derivative,penyertaan, transaksi rekening administrative serta bentuk penyediaan dana lainnya
yang dapat dipersamakan dengan itu
bentuk, dan tatanan industri perbankan untuk rentang waktu lima sampai sepuluh

tahun kedepan.

API ini dilandasi oleh visi untuk mencapai suatu sistem perbankan yang

sehat, kuat dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka

membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. API ini digambarkan

sebagai cetak biru (blue print) sebuah bangunan. Demikianlah Bank Indonesia

telah meluncurkan lima butir pemikiran dalam menentukan arah dan gambaran

perbankan Indonesia hingga tahun 2010. Kelima butir pemikiran itu meliputi: 53

1.Visi yang melandasi Arsitektur Perbankan Indonesia (API);

2. Enam pilar penyangga berdirinya API; 54

3. Tantangan yang dihadapi perbankan Indonesia; 55

53
Masyhud Ali, Manajemen Risiko, Pardi Sudrajat (ed),( Raja Grafindo Persada, 2006),
hal. 506
54
Ibid. 507
Keenam pilar penyangga pada bangunan API itu meliputi:
1. struktur perbankan Indonesia yang sehat yang mampu memenuhi kebutuhan
masyarakat dan
mendorong pembangunan ekonomi nasional berkesinambungan;
2. sistem pengaturan dan pengawasan bank yang efektif dan mengacu kepada standar
Internasional;
3. industri perbankan yang kuat dan memiliki daya saing yang tinggi serta memiliki
ketahanan dalam
menghadapi risiko;
4. tercipta good corporate governance (gcg) di perbankan sehingga memperkuat kondisi
internal
Perbankan;
5. infrastruktur yang lengkap untuk mendukung terciptanya industri perbankan yang sehat;
6. terwujudnya pemberdayaan dan perlindungan konsumen jasa perbankan
55
tantangan yang dihadapi perbankan nasional, antara lain;
a. penyaluran kredit dalam banyak hal juga terhambat menyalurkan kredit dengan alasan
kemanpuan
manajemen risiko dan core on banking skill relatif belum baik
4. Program kegiatan dalam mewujudkan API; 56 dan,

5. Tahap mengimplementasikan API 57

Untuk mencapai visi perbankan yang sehat diperlukan corporate culture, 58

yang manfaatnya antara lain; membantu menyelaraskan perusahaan dalam

mencapai visi dan misi, membantu meningkatkan keterpaduan tim (tim

cohesiviness) diantara berbagai divisi atau unit dalam organisasi berfungsi sebagai

b. perbankan perlu secara pro active melakukan pengembangan serta perluasan jaringan
nasabah dengan menerapkan good corporate governance. Melalui langkah ini, rasa aman
dan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan dapat dikembangkan
`
56
Program kegiatan dalam mewujudkan API. Bank Indonesia, melaksanakan program
penguatan struktur perbankan nasional.Usaha peningkatan modal bank-bank tersebut dapat
dilakukan dengan membuat target waktu, cara dan tahap pencapaian. Cara untuk mencapai
dilakukan melalui:
1. penambahan modal baru baik dari shareholder lama maupun investor baru
2. merger dengan bank atau beberapa bank lain untuk mencapai persyaratan modal menimum
baru
3. penerbitan saham baru atau secondary offering di pasar modal
Dengan demikian dalam waktu sepuluh tahun sampai lima belas tahun kedepan dengan
peningkatan permodalan tersebut diharapkan akan mengarah pada terciptanya struktur perbankan
yang lebih optimal yaitu terdapatnya:
a. dua sampai tiga bank yang mengarah kepada bank internasional dengan
kapasitas dan
kemampuan untuk beroperasi di wilayah internasional serta memiliki modal diatas Rp.50
triliun
b. tiga sampai lima bank nasional yang memiliki cakupan usaha yang sangat luas dan beroperasi
secara
nasional serta memiliki modal antara antara Rp.10 triliun sampai Rp.50 triliun
c. tiga puluh sampai lima puluh bank yang kegiatan usahanya terfokus pada segmen usaha
tertentu sesuai
dengan kapabilitas dan kompetensi masing-masing bank. Bank tersebut memiliki modal antara
Rp.100
miliar sampai dengan Rp.10 triliun
d. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan bank dengan kegiatan usaha terbatas yang memiliki
modal
dibawah 100 milyar
57
Mashud Ali, Ibid, hal.517. tahap implementasi antara lain, periode 2004- 2010, tahap
memperkuat permodalan bank, meningkatkan persyaratan modal minimum bagi bank
umum(termasuk BPD) menjadi Rp.100 miliar, mempertahankan persyaratan modal Rp.3 triliun
untuk pendirian bank baru sampai dengan 1 Januari 2011.
58
Amin Wijaya Tunggal, Corporate Culture ; Konsep & Kasus,(Jakarta:
Harvarindo,2007),hal. 33
pelekat yang mengikat karyawan menjadi satu, membantu meningkatkan

konsistensi dan mempermudah kordinasi dan pengendalian, meningkatkan

motivasi diantara staf dengan memberikan mereka rasa memiliki, loyalitas,

kepercayaan, dan nilai-nilai dan memberi dorongan kepada mereka berpikir

positif.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana Tanggung Jawab Direksi dalam Pengurusan PT.

2. Mengapa Direktur Kepatuhan (compliance director) penting dalam

pengelolaan

Bank ?

3. Bagaimana Peranan Bank Indonesia terkait dengan tugas Direktur

Kepatuhan

(compliance director)Dalam Pengelolaan Bank ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian yang terdapat pada perumusan masalah di atas maka

yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui tugas Direktur dan Tanggung jawab Direksi

dalam
pengurusan / pengelolaan Perseroan terbatas

2. Untuk mengetahui alasan-alasan pentingnya kedudukan Direktur

Kepatuhan

(compliance director) dalam pengelolaan bank

3. Untuk mengetahui peranan Bank Indonesia terkait dengan tugas Direktur

Kepatuhan (compliance director).

D. Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara

teoritis maupun praktis, yaitu:

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut para akademisi

maupun masyarakat umum serta diharapkan dapat memberi manfaat guna

menambah khasanah ilmu hukum secara umum dan hukum perbankan secara

khusus di Indonesia

2. Manfaat Praktis

a. sebagai informasi dan inspirasi bagi praktisi bisnis ( para pelaku

usaha,

pemegang saham, dan komisaris ) bahkan investor untuk memahami

tugas

direktur kepatuhan (compliance director).


b. sebagai bahan kajian bagi para akademisi yang dapat mengambil

poin-poin

pembelajaran dari tesis ini dan diharapkan berkembang kearah yang

lebih baik.

c. sebagai informasi dan rujukan bagi masyarakat umum dan stakeholders

lainnya,

sehingga mampu bersikap sebagai informan, promotor sekaligus

sebagai

pengontrol perkembangan implementasi tugas Direktur Kepatuhan

(compliance

director).

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan Universitas Sumatera Utara (USU),

penulis menemukan penelitian sejenis tetapi ada perbedaan fokus yaitu penelitian

yang dilakukan Rudi Dogar Harahap dengan judul penerapan Business Judgemen

Rule dalam pertanggungjawaban Direksi Bank yang berbadan Hukum Perseroan

Terbatas.

Namun penelitian yang dilakukan penulis, fokus pada Analisis Tugas

Direktur Kepatuhan Dalam Pengelolaan Bank. Oleh karena itu, dapat

dipertanggungjawabkan penulis bahwa tesis ini memiliki keaslian. Penulis lebih

mengkaji tentang tugas dan kedudukan Direktur Kepatuhan pada organ perbankan,
kedudukannya sangat spesifik karena direktur kepatuhan bisa mencegah direksi

melakukan kebijakan yang berisiko tinggi yang dapat merugikan perusahaan

dalam hal ini bank. Maka bedanya terletak pada analisa tugas direktur kepatuhan

dalam pengelolaan bank. Sedang penulis Dogar Harahap kajian pada

pertanggungjawaban direksi terkait prinsip business judgement Rule.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Berkenaan dengan judul tesis ini, penulis menggunakan pendapat David M

Trubek, Guru Besar University of Wisconsin berpendapat “Rule of Law“

merupakan hal penting bagi pertumbuhan ekonomi yang membawa perubahan

yang lebih baik, dimana peranan hukum dalam pembangunan ekonomi untuk

mencegah kebijakan ekonomi yang tidak terkontrol. 59 Searah dengan Trubek,

Max Weber mengatakan; kunci berfungsinya perekonomian adalah tegaknya

hukum dan hukum mengandung paksaan. 60 Pendapat ini telah sejalan dengan

peraturan-peraturan yang dikeluarkan Bank Indonesia dalam bentuk Peraturan

Bank Indonesia (PBI), peraturan-peraturan yang telah keluarkan agar bank

terhindar dari risiko yang dapat merugikan bank dan masyarakat. Untuk

melindungi kepentingan masyarakat adalah dengan membingkai kegiatan

operasional perbankan dalam berbagai kebijakan regulasi untuk menghadapi

59
David M Trubek, 2003- 2003 “ELRC Annual Report: Law and Economic Development:
Critiques and beyond “ disampaikan pada spring Conference Harvard Law School, April 13-14
,2003,hal 1 dalam Bismar Nasution, Medan, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi,
Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2005, hal. 7-8
60
Zulkarnain Sitompul, Ibid. hal. 240.
berbagai risiko yang mengepung dirinya, bisnis perbankan perlu pengendalian

yang ketat melalui sistem pengawasan berbasis risiko.

Hal ini demi kelangsungan usaha dan kepentingan semua pihak yang

terkait. Termasuk demi stabilitas perekonomian secara keseluruhan. Dari uraian ini

menunjukkan, hukum sangat berperan dalam pembangunan ekonomi atau hukum

dapat menjaga keseimbangan dan keselarasan serta mengakomodasi antara pihak

yang berkepentingan.

Maka dapatlah dikatakan rule of law merupakan hal yang urgen bagi

pertumbuhan ekonomi dan membawa dampak yang luas bagi reformasi sistem

ekonomi (rule of law in economic developmen), hal ini seperti yang dikatakan

David M Trubek, bahwa jika masalah hukum sudah jelas maka akan mudah

menjawab pertanyaan, karena hukum adalah suatu ilmu yang praktis. Maka dalam

tulisan ini tidak menggali hal-hal yang fundamental dari fungsi-fungsi sosial,

ekonomi, dan politik dari tatanan hukum. 61

Roscue Pound (1954), seperti yang dijelaskan oleh Muchtar Kusumaatmaja

menyatakan: Law as tool of social enginering. 62 Bahwa hukum adalah alat

61
David M Trubek, dalam Bismar Nasution, Op.cit, hal. 9
62
Muchtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum
Nasional,(Bandung: Bina Cita, 1976), hal.9, penjelasan Muchtar Kusumaatmaja tentang pendapat
Roscoe Pound mengenai Hukum, berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Achmad Ali, Guru
Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin,Makasar. Bahwa Roscoe Pound sama
sekali tidak pernah menggunakan istilah social engineering dan didalam indeks buku legendarisnya
yang lima volume yang tebal itu, sama sekali tidak ditemukan tema social engneering. Yang ada
Roscoe Pound mengemukakan delapan butir program yang disebut The Program of the
Sociological School, antara lain; 1) Studi tentang pengaruh sosial yang nyata dari institusi-institusi
hukum, ajaran-ajaran hukum, dan asas-asas hukum, 2) Melakukan studi sosiologis dalam
mempersiapkan pembuatan hukum, 3) Melakukan studi tentang bagaimana membuat ajaran-ajaran
hukum menjadi efektif didalam tindakan.(Achmad Ali, Menguak Teori Hukum(Legal Theory) dan
rekayasa sosial (masyarakat). Pembangunan hukum yang menuju pada

pertumbuhan ekonomi melalui aktifitas investasi dimaksudkan untuk menciptakan

stabilitas disamping kepastian hukum.

Konsep ini asalnya merupakan inti pemikiran dari Pragmatis Legal

Realism, kemudian dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmaja dengan

penyesuaian dengan kondisi Indonesia. 63 Mochtar Kusumaatmadja selanjutnya

menyatakan pembaharuan masyarakat didasarkan atas anggapan adanya ketertiban

dalam usaha pembangunan atau pembaharuan itu merupakan sesuatu yang

diinginkan dan bahkan dipandang perlu. 64 Menurut konsep law as a tool of social

enginering tersebut, hukum tidak berada dibelakang proses pembangunan, tetapi

berjalan didepan proses pembangunan.

Selanjutnya Mochtar Kusumaatmadja menyebutkan bahwa konsepsi

hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat Indonesia lebih luas

jangkauannya dan ruang lingkupnya daripada Amerika Serikat tempat munculnya

teori tersebut, karena lebih menonjol perundang-undangan (civil law) dalam proses

pembaruan hukum Indonesia. 65

Sejalan pendapat diatas, Bank for International Settlement di Bassel (basle)

Swiss, menggagas pedoman pengaturan operasional perbankan untuk mencegah

kegagalan fungsi perhitungan clearing internasional, ketakutan tersebut sangat

Teori Peradilan (Judicialprudence), Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence),


Jakarta: Kencana Prenada Media Group,Cet.4.Hal. 103.
63
Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar – Dasar Filsafat Hukum dan Teori Hukum,(
Bandung: Citra Aditya Bahakti, 2001), hal.78
64
Muctar Kusumaatmadja, Op. cit, hal. 13
65
Ibid
beralasan, sebab akan mengacaukan sistem pembayaran internasional, karena

perbankan adalah suatu sistem.

Disebut suatu sistem karena menurut Bertalanffy (1972:3), 66 kegagalan

pada salah satu sub-sistem akan mengakibatkan terganggunya keseluruhan sistem,

bahkan kemungkinan itu tidak berfungsi sama sekali. Setelah kegagalan bank

khaus Herstatt dari Jerman Barat 1975, para wakil dari G10 yakni;

1) Belgia;

2) Canada;

3) France;

4) Germani;

5) Italy;

6) Japan;

7) Luxemborg;

8) Nederland;

9) Spain;

10) Sweden;

11) Switzerland;

12) United Kingdom; dan

13) United States.

66
Gunarto Suhardi, 25 Langkah Bijaksana Mengelola Bank,(Yogyakarta: Unversitas
Atma Jaya, 2007), hal. 4.
Mendirikan The Basle Committee on Banking Supervision sebagai

Committee on Bangkin Regulation and Supervissory Practis. Committee ini

menyediakan forum bagi negara-negara anggotanya dan 140 negara lainnya yang

berminat yang ingin bekerjasama secara regular.

Pada mulanya mereka membicarakan tentang kemungkinan kerjasama

internasional untuk memperkecil jurang perbedaan dalam jaringan pengawasan

perbankan. Namun dalam perkembangannya, tujuan menjadi lebih luas yaitu

memperbaiki pemahaman pengawasan dan kualitas pengawasan perbankan di

seluruh dunia. Dengan cara;

(1) bertukar informasi tentang peraturan pengawasan di masing-masing

negara,

(2) memperbaiki teknik pengawasan bisnis perbankan internasional,

Basle committee 67 ini tidak memiliki otoritas formal supranasional pada

bisnis perbankan internasional. Kesimpulan dan rekomendasi tidak dimaksudkan

untuk mempunyai kekuatan legal formal, akan tetapi memberikan formulasi

standar pengawasan yang luas dan arahan.

Berbagai persetujuan dan rekomendasi yang dikeluarkan sejak 1975 yang

kemudian dikenal dengan nama Concordat, kemudian mengalami beberapa

perubahan hingga menjadi standar menimum pada tahun 1992. Salah satu tugas

committee adalah untuk menutup jurang perbedaan dalam peraturan pengawasan

bank terutama bank yang beroperasi secara internasional.

67
Gunarto Suhardi, Ibid. hal. 4-5
Tujuannya adalah bahwa tidak ada satupun bank yang beroperasi secara

internasional lepas dari pengawasan itu harus mencukupi atau memenuhi syarat.

Sejak tahun 1988, kerangka kerja yang telah menetapkan kecukupan modal

terhadap risiko atau Capital Adequasy Ratio (CAR) ini telah diperkenalkan secara

progesif, tidak saja kepada negara-negara anggota tetapi juga negara-negara lain

yang memiliki bank internasional. Kemudian terbit Basel II tahun 2004,

menimum CAR ditetapkan 8%, sama dengan Basel I, namum ada perubahan yang

yang signifikan antara lain; 68

(1) perluasan atas unsur-unsur risiko yang dicakup dalam menghitung

besaran risk

based capital, hal ini telah menyebabkan sistem pengawasan

bank yang

berbasis risiko tersebut menjadi lebih memiliki risk sensitivity yang

lebih

68
Masyhud Ali, Ibid. 122-123
tajam;

(2) teknik perhitungan yang lebih sophisticated dengan berbagai variabel

yang

lebih beragam. Untuk itu telah digunakan berbagai model

perhitungan

statistik yang lebih objektif;

(3) penerapan aspek pengawasan berbasis risiko yang lebih fleksibel

tersebut

namum tetap dalam batas-batas pengendalian yang tegas

tercermin pada

berbagai regulasi yang memperkenankan bank-bank menentukan

pilihan dari

alternatif pilihan yang tersedia, sebagai contoh, antara lain, bank

dapat

memilih internal rating- based (dalam penilaian atas credit risk) atau

memilih

advanced measurement approach (dalam penilaian atas operational

risk).

Demikianlah regulasi perbankan dengan pengawasan berbasis risiko ini

memiliki dua sisi yang berbeda dalam membentengi bank terhadap berbagai risiko

yang dapat menekan kecukupan modal bank disatu sisi terdapat kebebasan bank

dalam melakukan pilihannya sendiri, sedangkan di lain sisi regulasi telah


menghadirkan teknik perhitungan yang sensitif, ketat, dan tajam dalam upaya

pengendalian berbagai risiko.

Bank- bank yang mengandung unsur risiko operasional yang signifikan

besarnya tentulah harus disyaratkan besaran kecukupan modal yang lebih tinggi.

Begitu juga sebaliknya bagi bank-bank yang menyimpan unsur risiko operasional

yang rendah dan portofolio pinjamannya lebih dominan terdiri dari portofolio

corporate dengan rating yang bagus tentu cukup dipersyaratkan nilai kecukupan

modal yang rendah. Basel II Accord merupakan penyempurnaan dari Basel 1998,

yang memberikan standar yang lebih baik dalam menentukan regulatory capital

yang direkomendasikan bagi bank-bank secara internasional telah diterapkan

sejak 2007. Pengaruh yang besar dari implementasi basel II, 69 diharapkan akan

memberikan keunggulan bersaing bagi bank-bank yang mengimplementasikannya.

Selain itu juga akan memberikan kemudahan bagi bank-bank untuk membangun

kembali operasi bank sebagai suatu upaya untuk mencapai struktur dan alokasi

modal yang optimal, dan juga menyepadankan internal proses yang ada dengan

external compliance standards.

Bagi bank-bank nasional, Basel II jelas merupakan suatu tantangan yang

sangat besar. Setiap bank harus memiliki metode yang lebih akurat dan

komprehensif dalam mengidentifikasi dan mengukur risiko. Terlebih pada risiko

operasional yang telah banyak membuat korban berjatuhan disamping risiko kredit

69
Permadi Gandapradja, Dasar Dan Prinsip Pengawasan Bank,(Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2004), hal. 128
dan risiko pasar. Program ini akan memiliki pengaruh sangat besar pada sistem

teknik informasi, proses-proses dan bisnis bank.

Sejalan hal tersebut diatas, lahirnya Undang-Undang No.40 Tahun 2007

tentang Perseroan Terbatas yang menggantikan Undang-Undang No.1 Tahun 1995

tentang Perseroan Terbatas tidak terlepas kaitannya dengan adanya perkembangan

ilmu pengetahuan, informasi dan teknologi yang tersebar ke seluruh penjuru dunia

melalui globalisasi dan timbulnya perkembangan terhadap kegiatan bisnis

internasional. Disamping itu hal ini juga telah mendorong pula adanya perubahan

terhadap regulasi di bidang ekonomi untuk mengikuti perkembangan tersebut. 70

Perkembangan globalisasi di bidang ekonomi tersebut telah mempengaruhi

berbagai sektor usaha di dunia. Globalisasi hukum mengikuti globalisasi ekonomi

tersebut, dalam arti substansi berbagai undang-undang dan perjanjian-perjanjian

menyebar melewati batas-batas negara yang mengakibatkan terjadinya peleburan

prinsip-prinsip hukum pada suatu negara lainnya. 71

Bagi Indonesia, konsekwensi logis dari perkembangan ini adalah adanya

tuntutan untuk mengharmoniskan prinsip-prinsip hukum ekonomi di Indonesia

dengan prinsip-prinsip hukum ekonomi di dunia Internasional. Tanpa adanya

keharmonisan tersebut, Indonesia dapat dikucilkan dari kegiatan bisnis

internasional dan investasi.

70
Bismar Nasution, Makalah disampaikan pada seminar 46 tahun FE USU: ”Pengaruh
UU No.40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas terhadap Iklim Usaha di Sumatera Utara”,
Aula Fakultas Ekonomi USU, 24 Nopember 2007.
71
Ibid
karena tidak ada kepastian terhadap perlindungan hukum untuk kegiatan

bisnis yang telah biasa dilakukan di dunia internasional. 72 Oleh karena itu Undang-

Undang Perseroan Terbatas sebagai salah satu elemen utama dari regulasi di

bidang ekonomi di Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

(”UUPT”) yang menggantikan Undang-Undang No.1 tahun 1995 tentang

Perseroan Terbatas. 73 Secara umum ada beberapa perkembangan signifikan yang

telah diadopsi oleh Undang-Undang Perseroan Terbatas.

72
Karni Ilyas: “Dalam kasus BLBI, Puluhan bankir dan pemilik bank, yang nyata-nyata
telah melanggar UU Perbankan dan menyebabkan Negara merugi Rp.140 triliun, kini selain
mendapat keringanan boleh mengangsur utangnya selama empat tahun, malah dosa-dosanya seperti
diampuni”. Indonesia sebagai negara hukum, seharusnya proses peradilan dilaksanakan bagi yang
melanggar UU.
(Fenty Effendy, 40 Tahun Jadi Wartawan, Lahir Untuk Berita, 2012.hal.278). Bahkan Rizal
Ramli, mantan Menko Perekonomian, mengungkapkan sejumlah obligor BLBI melobi pemerintah
agar bisa membayar hutang dengan jaminan aset. Namun aset yang dijadikan jaminan ternyata
tidak sesuai dengan surat jaminan atau personal quarantee noteed. Rizal Ramli memaparkan
personal quaranttee noted adalah untuk menjerat obligor nakal. Dengan instrumen itu, obligor
yang bersangkutan harus betanggungjawab melunasi hutang mereka bahkan sampai tiga generasi,
lanjut Rizal, ketika dirinya tidak lagi menjabat Menko Perekonomian, aturan itu juga menguap.
Personal quaranttee dikembalikan lagi. Alhasil, sampai sekarang banyak obligor yang belum juga
memenuhi kewajiban, memang ada konglomerat yang memenuhi kewajibannya. Ada yang bolong-
bolong, ada jumlahnya tidak memadai, padahal mereka kaya raya. Senada dengan Karni Ilyas,
Pakar Hukum/Advokat Adnan Buyung Nasution dalam suatu tulisannya: ”Dalam penyelenggaraan
kehidupan kenegaraan sesuai prinsip-prinsip hukum modern dimana hukumlah yang menjadi faktor
penentu bagi keseluruhan dinamika kehidupan sosial, ekonomi, dan politik disuatu negara”.(Adnan
Buyung Nasution, Nasehat untuk SBY, Buku Kompas, 2012,Hal.129). Yap Thiam Hien, Advokat
Senior, Pejuang HAM pada tahun 1970-an mengatakan, ”tegakkan keadilan sekalipun langit runtuh
(fiat justitia ruat coellum). Dalam proses hukum yang diperjuangkan adalah kebenaran bukan
kemenangan”. Yap berulang-ulang mengatakannya bagaikan suara yang berseru-seru di Padang
Gurun.(Josef P.Widyatmadja, Yap Thiam Hian, Pejuang Lintas Batas, BPK Gunung
Mulia,2013.Hal.168). Sejalan dengan pemikiran ahli hukum,negarawan Romawi, Marcus Tullius
Cicero mengajarkan true law (hukum yang benar) bahwa hukum untuk keadilan dan harus
ditegakkan. Kebenaran hukum akan selalu menjadi kebutuhan yang universal dan abadi akan selalu
sesuai bagi setiap bangsa dan untuk segala masa. (Teguh Esha & Donna Sita Indra, Otto Cornelis
Kaligis, A man with Million Surprises, Gramedia Pustaka Utama,2013.Hal.62). Demikian juga
dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo,Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,
diperlukan penegakan hukum progresif untuk keadilan yang bukan hanya dibutuhkan komitmen
moral tetapi juga keberanian.(Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, Buku Kompas,
2010,Hal.193).
73
Bismar Nasution, Op.cit.hal.2
Beberapa perkembangan dalam UUPT tersebut antara lain diadopsinya

prinsip business judgement rule (ketentuan keputusan bisnis). 74 Prinsip yang

berasal dari Negara commom law ini memberikan safe harbor bagi para direksi

yang mengambil calculated decision untuk tidak di hukum apabila nantinya

keputusan bisnisnya merugikan perusahaan.

Isu ini memang sangat penting bagi perlindungan direksi yang selama ini

tidak jelas diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas yang lama. Dengan

diadopsinya prinsip ini, diharapkan para direksi berani mengambil risiko dalam

keputusan-keputusan bisnisnya karena tanpa adanya keberanian untuk mengambil

risiko ini, perkembangan bisnis di Indonesia dapat terhambat. Dengan adanya

ketentuan mengenai tanggung-jawab direktur tidak hanya dapat memberikan

kepastian hukum di Indonesia, tetapi juga dapat mendorong timbulnya inovasi-

inovasi baru dalam bisnis di Indonesia yang sangat diperlukan untuk mendukung

perekonomian nasional.

Perseroan Terbatas sebagai suatu perusahaan atau suatu entitas ekonomi

dimana salah satu karakteristiknya adalah terpusatnya manajemen dibawah dewan

direksi. 75oleh karena itu sangat penting untuk mengontrol perilaku dari para

direktur yang mempunyai posisi dan kekuasaan besar dalam mengelola

perusahaan, termasuk menentukan standar perilaku (standart conduct) untuk

74
Pasal 97 (5), Pasal 104 (4), Pasal 115 (3) UUPT.
75
Ibid
melindungi pihak-pihak yang akan dirugikan apabila seorang direktur berperilaku

tidak sesuai dengan kewenangannya atau berperilaku tidak jujur.

Awal dari pentingnya fungsi kontrol terhadap direktur tidak terlepas dari

perkembangan teori pemisahan kekayaan dalam hukum perusahaan itu sendiri.

Teori ini berasal dari Teori Salomon yang muncul dari Putusan Pengadilan kasus

Solomon v salomon & Co Ltd (1897). Teori ini menguntungkan bahwa pada

sebuah pembentukan Perseroan Terbatas, perusahaan menjadi bagian terpisah dari

orang yang membentuknya atau menjalankannya, dimana perusahaan tersebut

mempunyai hak dan kewajiban yang berkaitan erat dengan aktifitasnya bukan

kepada orang yang memiliki atau menjalankanya. 76

Dalam perkembangannya, Teori Solomon sering disalahgunakan oleh para

pemilik atau direktur yang beritikad buruk untuk kepentingannya sendiri. Hal ini

terjadi karena seorang direktur dari sebuah perusahaan akan selalu berurusan

dengan aset milik orang lain, tidak hanya dalam aspek hukum dimana dia akan

berkuasa penuh untuk mengelola aset-aset perusahaan, tetapi juga perusahaan

mungkin mempunyai pemegang saham yang menginvestasikan uangnya dalam

perusahaan tersebut dengan membeli saham.

Pemegang saham ini sering kali hanya mempunyai pengawasan yang kecil

atau bahkan tidak sama sekali terhadap perilaku seorang direktur. Oleh karena itu,

dengan adanya pemisahan kekayaan antara direktur dan perusahaannya. Para


76
Bismar Nasution, Makalah seminar 46 tahun FE USU: ”Pengaruh UU No.40 Tahun
2007 Tentang Perseroan Terbatas terhadap Iklim Usaha di Sumatera Utara”, Aula Fakultas
Ekonomi USU, 24 November 2007. hal.2
direktur mempunyai moral hazard yang tinggi karena mereka tidak mendapat

konsekwensi finansial yang serius apabila keputusan mereka merugikan

perusahaan. Akibatnya buruk para direktur yang menggunakan kekuasaannya

untuk memperkaya diri sendiri yang seringkali menyebabkan perusahaan mereka

mengalami kerugian. 77

Adanya penyimpangan ini tentunya menimbulkan suatu isu tersendiri

dalam hukum perusahaan. Kerugian perusahaan tentunya dapat merugikan pemilik

modal perusahaan. Investasi mereka akan hilang apabila perusahaan tersebut

menjadi insolven. Demikian juga apabila ada barang atau jasa yang digunakan oleh

perusahaan yang diperoleh secara kredit. Direktur akan mengelola barang dan jasa

yang didalamnya terdapat hak para kreditur yang baru akan hilang apabila hutang

kredit tersebut dibayar lunas. Dalam hal ini maka dibuatlah pengecualian terhadap

teori ini, misalnya dalam hal para pemilik dan direktur berada pada posisi yang

tidak terlindungi (exposed position) maka mereka bertanggung jawab secara

pribadi kepada akibat-akibat hukum dari perbuatan mereka. 78

Oleh sebab itu direktur harus mengetahui tugas dan tanggung jawabnya

kepada perusahaan untuk menghindari hal diatas. Hal ini berkaitan dengan Prinsip

tanggung jawab direktur atau yang sering disebut dengan fiduciary duty. 79

77
Ibid
78
Ibid
79
Robert R.Pennington, Directors’ Personal Liability, Collin Professional Books,
1997.hal.33 dalam Makalah Mata Kuliah Hukum Kegiatan Ekonomi, Sekolah Pasca
Sarjana,Program Magister Ilmu hukum,Universitas Sumatera Utara. 2010, Prinsip fiduciary duty
ditemukan dan dielaborasi oleh Cour of Chancery pada sekitar abad 18-19 untuk menjamin bahwa
orang yang memegang aset atau menjalankan fungsi dalam kapasitasnya sebagai perwakilan untuk
2. Konsepsi

Untuk menghindari kesalahan dalam menafsirkan atau memahami konsep-

konsep yang dipergunakan dalam penelitian tesis ini, maka dirumuskan definisi

operasional sebagai berikut:

1. Direktur Kepatuhan (Compliance Director) adalah anggota direksi

Bank atau Anggota pimpinan Kantor Cabang Bank Asing yang

ditugaskan untuk menetapkan langkah-langkah yang diperlukan guna

memastikan kepatuhan Bank terhadap Peraturan Bank Indonesia,

peraturan perundang-undangan lain yang berlaku dan perjanjian serta

komitmen dengan Bank Indonesia.

2. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat

dalam bentuk Simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam

bentuk kredit dan atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf

hidup rakyat banyak.

3. Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan

bertanggungjawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan

Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili

Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan

ketentuan anggaran dasar.

kepentingan orang lain berlaku dengan itikad baik dan secara konsisten melindungi kepentingan
dari orang yang diwakilinya.
4. Dewan Komisaris adalah Organ Perseroan yang bertugas melakukan

pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran

dasar serta memberi nasehat kepada Direksi

5. Risiko adalah terjadinya suatu peristiwa (events) yang dapat

menimbulkan kerugian Bank.

6. Manajemen Risiko adalah serangkaian prosedur dan metodologi yang

digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau,dan

mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha Bank

7. Stakeholders adalah seluruh pihak yang memiliki kepentingan secara

langsung

atau tidak langsung terhadap kegiatan usaha Bank.

8. Pihak Independen adalah pihak di luar Bank yang tidak memiliki

hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham dan/atau

hubungan keluarga dengan dewan komisaris, direksi dan / atau pemegang

saham pengendali atau hubungan lain yang dapat mempengaruhi

kemampuannya untuk bertindak independen.

9. Budaya Kepatuhan adalah nilai, perilaku, dan tindakan yang mendukung

terciptanya kepatuhan terhadap ketentuan Bank Indonesia dan peraturan

perundang- undangan yang berlaku, termasuk Prinsip Syariah bagi Bank

Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.

10. Pengelolaan perseroan adalah mencakup segala aturan hukum yang

ditujukan untuk memungkinkan suatu perusahaan untuk dapat


dipertanggungjawabkan di depan para pemegang saham perusahaan

publik, seperti juga audit kerja dari pasar untuk mengontrol perusahaan.

Istilah itu dapat juga mengacu pada praktik audit dan prinsip-prinsip

pembukuan, dan mengacu kepada keaktifan pemegang saham. 80

11. Fiduciary duty adalah suatu kewajiban yang ditetapkan undang-undang

bagi seseorang yang memanfaatkan seseorang lain, dimana kepentingan

pribadi seseorang yang diurus oleh pribadi lainnya, yang sifatnya hanya

hubungan atasan bawahan sesaat. 81

12. Duty of care adalah prinsip pengelolaan perseroan yang mengharuskan

Direksi untuk tidak bertindak ceroboh dalam melakukan tugasnya. 82

13. Duty of loyality adalah prinsip dalam pengelolaan perseroan dalam

melakukan tugasnya Direksi tidak boleh mengambil keuntungan untuk

dirinya atas perusahaan. 83

14. Good Corporate Governance 84adalah tata kelola perusahaan yang baik

dengan berpedoman kepada prinsip-prinsip: Keterbukaan(transparency),

Akuntabilitas/tanggungjawab(accountability),Pertanggungangjawaban(resp

onsibility), Kemandirian (independency), dan Kewajaran (fairness).

80
Holly J.Gregory., dan Marshal E. Simms.,Pengelolaan Perusahaan (corporate
covernance): kerjasama, Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan University of South
Carolina, Jakarta, tanggal 4 Mei 2000, hal.3-4.
81
Henry Champhell Black, Op.cit, hal 624
82
Dennis Keenam & Josephine Biscare, Op.cit, hal.317
83
Joel Seligman, Op.cit, hal. 231
84
Yusuf Wibisono, Membedah Konsep & Aplikasi CSR, (Gresik: Fascho Publishing,
2007), hal,121. lihat juga, Bapepam, Cetak Biru Pasar Modal Indonesia 2000-2004, (Jakarta:
Bapepam, 1999), hal.17.
15. Konflik kepentingan atau conflict of interest adalah suatu perbuatan atau

tindakan dalam mengambil keputusan dimana terdapat unsur benturan

kepentingan antara para pihak dalam pengambilan keputusan atas

perseroan. 85

16. Business judgement rule adalah sebagai aplikasi spesifik dari standar

tingkah laku Direksi pada sebuah situasi dimana setelah pemeriksaan

secara wajar, Direksi yang tidak mempunyai kepentingan pribadi

menggunakan serangkaian tindakan dengan itikad baik, jujur dan secara

rasional percaya bahwa tindakannya dilakukan hanya semata-mata untuk

kepentingan perusahaan. 86

17. Tanggung jawab pribadi adalah prinsip tanggung jawab yang digantungkan

kepada faktor siapa pelaku yang melakukan kesalahan, kelalaian atau

pelanggaran, maka tanggung jawab hukumnya hanya dipikulkan kepada

anggota Direksi yang melakukan kesalahannya. Tidak dilibatkan anggota

Direksi yang lain secara tanggung renteng. 87

18. Tanggung jawab renteng adalah tanggung jawab yang dibebankan kepada

setiap pribadi anggota Direksi. 88

85
Gunawan Wijaya, Op.cit. hal.32-33.
86
Ibid
87
Pasal 95 Ayat (5), UUPT.
88
Pasal 14 Ayat (1), Pasal 37 Ayat (3), Pasal 69 (3), Pasal 97 Ayat (4), Pasal 104 Ayat (2),
Pasal 114 Ayat (4), Pasal 115 Ayat(1), Pasal 142 Ayat (5), UUPT. Dalam pasal-pasal ini tidak
dijelaskan definisi mengenai tanggung jawab secara renteng akan tetapi konsep yang digunakan di
atas dibuat oleh peneliti sendiri sebagai terjemahan maksud dan tujuan secara tersirat dalam
undang-undang perseroan.
19. Kerugian perseroan adalah keadaan pendapatan / keuntungan (profit)

perseroan dimana bahwa keuntungan yang diperoleh mengalami penurunan

yang signifikan baik terhadap pemegang saham maupun terhadap

perseroan itu sendiri. 89

20. Tanggung jawab Direksi adalah mengurus perseroan (daden van beheer)

untuk kepentingan perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan

antara lain dalam pengurusan sehari-hari perseroan. 90

21. Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme yang disebut

sebagai APU dan PPT adalah upaya pencegahan dan pemberantasan tindak

pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme.

22. Walk in Customer atau disebut WIC adalah pihak yang menggunakan jasa

Bank namun tidak memiliki rekening pada Bank tersebut, tidak termasuk

pihak yang mendapatkan perintah atau penugasan dari Nasabah untuk

melakukan transaksi atas kepentingan Nasabah.

23. Customer Due Diligence yang disebut CDD adalah kegiatan berupa

identifikasi, verifikasi, dan pemantauan yang dilakukan Bank untuk

memastikan bahwa transaksi tersebut sesuai dengan profil Calon Nasabah,

WIC, atau Nasabah.

24. Enhanced Due Diligence yang disebut EDD adalah tindakan CDD lebih

mendalam yang dilakukan Bank pada saat berhubungan dengan Calon

89
M.Yahya Harahap, Op.cit. hal.382.
90
Bismar Nasution (IV), Op.cit. hal, 2-3.
Nasabah, WIC, atau Nasabah yang tergolong berisiko tinggi, termasuk

Politically Exposed Person, terhadap kemungkinan pencucian uang dan

pendanaan terorisme.

25. Beneficial Owner adalah setiap orang yang:

a. merupakan pemilik sebenarnya dari dana yang ditempatkan pada

Bank (ultimately own account);

b. mengendalikan transaksi Nasabah;

c. memberikan kuasa untuk melakukan transaksi;

d. mengendalikan badan hukum; dan/atau

e. merupakan pengendali akhir dari transaksi yang dilakukan melalui

badan hukum atau berdasarkan suatu perjanjian.

26 Rekomendasi Financial Action Task Forcer yang disebut FATF adalah

standar pencegahan dan pemberantasan pencucian uang dan pendanaan

terorisme yang dikeluarkan oleh FATF.

27 Politically Exposed Person yang disebut PEP adalah orang yang memiliki

atau pernah memiliki kewenangan publik diantaranya adalah

Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam peraturan

perundang-undangan yang mengatur tentang Penyelenggara Negara,

dan/atau orang yang tercatat atau pernah tercatat sebagai anggota partai

politik yang memiliki pengaruh terhadap kebijakan dan operasional partai

politik, baik yang berkewarganegaraan Indonesia maupun yang

berkewarganegaraan asing.
28 Negara berisiko tinggi (high risk country) adalah negara atau teritori yang

potensial digunakan sebagai tempat:

a. terjadinya atau sarana tindak pidana pencucian uang;

b. dilakukannya tindak pidana asal (predicate offense); dan/atau

c. dilakukannya aktifitas Pendanaan Kegiatan Terorisme.

29. Correspondent Banking adalah kegiatan suatu bank (correspondent)

dalam

menyediakan layanan jasa bagi bank lainnya (respondent) berdasarkan

suatu

kesepakatan tertulis dalam rangka memberikan jasa pembayaran

dan jasa

perbankan lainnya.

30. Cross Border Correspondent Banking adalah Correspondent Banking

dimana salah satu kedudukannya bank koresponden atau bank responden

berada di luar wilayah Negara Republik Indonesia.

31. Lembaga Pemerintahan adalah lembaga yang memiliki kewenangan di

bidang eksekutif, yudikatif, dan legislatif.

32. Instansi Pemerintah adalah sebutan kolektif dari unit organisasi

pemerintahan yang menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan

ketentuan yang berlaku, meliputi kementerian / Lembaga Non

Kementerian, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kota, Pemerintah

Kabupaten, serta lembaga-lembaga pemerintahan yang menjalankan fungsi


pemerintahan dengan menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja Negara

dan / atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.

33. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang bertanggungjawab langsung kepada

anggota Direksi atau mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap

kebijakan dan/atau operasional Bank, antara lain kepala divisi, kepala

kantor wilayah, kepala kantor cabang, kepala kantor fungsional yang

kedudukannya paling kurang setara dengan kepala kantor cabang, kepala

satuan kerja manajemen risiko, kepala satuan kerja kepatuhan, dan kepala

satuan kerja audit intern dan/atau pejabat lainnya yang setara. 91

G. Metode Penelitian.

1. Sifat Penelitian

Untuk menjawab dan membahas permasalahan dalam penelitan ini, adalah

penelitian hukum normatif, yang didefinisikan sebagai penelitian yang mengacu

kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan

dan putusan pengadilan. Disebut juga penelitian dotrinal yaitu penelitian hukum

yang mempergunakan data sekunder.

Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis 92 yaitu penelitian ini selain

untuk menggambarkan fakta hukum mengenai tugas direktur kepatuhan

(compliance director) dalam memastikan apakah bank telah melaksanakan


91
Pasal 1 Ayat (10) PBI Nomor: 12/23/PBI/2010 tentang Uji Kemampuan dan Kepatutan
(Fit And Proper Test).
92
Soeryono Soekanto, Sri Mauji, Penelitian Hukum Normatif ( Jakarta: Raja Grafindo
Persada, Cet.ke IV, 1995) hal. 12
peraturan perundangan-undangan umumnya dan khususnya Peraturan Bank

Indonesia.

2. Metode Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui

penelitian kepustakaan untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat

atau pemikiran konseptual dan penelitian terdahulu yang berhubungan dengan

objek penelitian ini yang dapat berupa peraturan perundang-undangan dan karya

ilmiah lainnya. Data atau bahan penelitian dalam tesis ini dihimpun dari beberapa

sumber yaitu:

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan pustaka yang berisikan pengetahuan

ilmiah yang baru ataupun pengertian yang baru tentang fakta yang

diketahui maupun PBI No: 1/6/PBI/1999 tentang Penugasan Direktur

Kepatuhan (Compliance Director) dan Penerapan Standar Pelaksanaan

Fungsi Audit Intern sebagaimana telah diubah dengan PBI Nomor

13/2/PBI/2011 Tentang Pelaksanaan Fungsi Kepatuhan Bank Umum. Dan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

sebagaimana telah diubah dengan Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang

Bank Indonesia dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 6

Tahun 2009, demikian juga Undang-Undang Nomor Perseroan Terbatas

Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas sebagaimana telah diubah


dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil seminar atau pertemuan

ilmiah lainnya, bahkan dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar

hukum sepanjang relevan dengan objek telaan penelitian ini.

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi

petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder, seperti kamus, majalah, maupun internet.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan dilakukan dengan cara studi dokumen-dokumen yang

relevan

dengan penelitian ini di perpustakaan dan melakukan identifikasi data atau

kasus-

kasus yang ada. Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan

tersebut.

Selanjutnya akan dipilah-pilah guna memperoleh pasal-pasal dalam UUPT,

UU BI

UU OJK , PBI tentang Direktur Kepatuhan, serta PBI yang berhubungan

dengan

Kepatuhan Bank, yang berisi kaedah-kaedah hukum kemudian

dihubungkan
permasalahan yang sedang dihadapi dan disistematisasikan

sehingga

menghasilkan klasifikasi selaras dengan permasalahan dalam

penelitian ini.

Selanjutnya data yang diperoleh tersebut akan dianalisis secara induktif

kualitatif

untuk sampai pada kesimpulan, sehingga pokok permasalahan yang di

telaah

dalam penelitian ini akan dapat dijawab. 93

4. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan untuk menarik kesimpulan dari hasil

penelitian yang sudah terkumpul, dimana pada penelitian ini digunakan metode

normatif kualitatif karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan-peraturan

yang ada sebagai normatif dari hukum positif, sedang kualitatif dimaksudkan

analisis data yang bertitik tolak pada usaha penemuan asas-asas dan informasi-

informasi.

93
Bambang Sungkono, Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), (Jakarta:PT.Raja
Grafindo Persada, 2001), hal.195-196.
BAB.II

PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI DALAM PENGELOLAAN PT

A. Tugas Direksi Dalam UUPT NO.40 Tahun 2007

Organ yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan perusahaan adalah

Direksi. Dalam Pasal 1 Ayat (5) dinyatakan bahwa Direksi adalah organ yang

berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengelolaan perseroan untuk

kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili

perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan

anggaran dasar. 94

Tugas dan tanggung jawab Direksi tersebut tidak terlepas hakekat

Perseroan Terbatas sebagai badan hukum dan merupakan wadah perwujudan

kerjasama para pemegang saham, dimana perwujudan kerjasama para pemegang

saham ini membutuhkan organ-organ yang dapat berfungsi untuk menjaga

kelangsungan keberadaan Perseroan Terbatas.

Organ-organ perseroan itu terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham

(RUPS), Direksi dan Dewan Komisaris. 95Kehadiran ketiga unsur tersebut bersifat

organisasi, ketiga organ ini harus ada dalam Perseroan Terbatas.

Sebagai organ Perseroan Terbatas, Direksi mempunyai kedudukan,

kewenangan, atau memiliki kapasitas dan kewajiban yaitu: 96

94
Pasal 1 angka 5, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
(UUPT).
95
Pasal 1 angka 2 UUPT
1. Direksi berfungsi menjalankan pengelolaan perseroan, meliputi;
a. Pelaksanaan pengelolaan sehari-hari; dan
b. Kewenangan Direksi menjalankan pengelolaan.
2. Direksi memiliki kapasitas mewakili perseroan,terdiri dari;
a. Kualitas kewenangan Direksi mewakili perseroan tidak
bersyarat
b. Setiap Direksi berwenang mewakili perseroan; dan
c. dalam hal tertentu Direksi tidak berwenang mewakili

Sehubungan dengan hal tersebut diatas, ketentuan dalam Pasal 97

Ayat (2)

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT)

terhadap Direksi memiliki posisi dan kekuasaan besar untuk urusan perseroan.

Oleh karena itu, maka salah satu unsur penting yang diatur dalam regulasi

perusahaan adalah bagaimana mengontrol perilaku dari Direksi yang mempunyai

posisi dan kekuasaan besar dalam mengelola perusahaan, termasuk menentukan

standar perilaku (standart of conduct) untuk melindungi pihak-pihak yang akan

dirugikan apabila Direksi berperilaku tidak sesuai dengan kewenangannya atau

berperilaku tidak jujur dalam menentukan kebijakan-kebijakannya. 97

Disamping itu, harus diatur bagaimana menentukan Direksi dapat

dikategorikan melakukan pengelolaan perseroan yang baik dan salah. Mengingat

96
M.Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas,(Jakarta: Sinar Grafika,2009),hal.345.
97
Bismar Nasution (I), ”Tanggung Jawab Direksi dan Komisaris Dalam Pengelolaan
Perseroan Terbatas Bank”, Makalah yang disampaikan pada Seminar sehari” Tanggung Jawab
Pengurus Bank dalam Penegakan dan Penanganan Penyimpangan di Bidang Perbankan menurut
Undang-Undang Perseroan Terbatas dan Undang-Undang Perbankan, diselenggarakan oleh Bank
Indonesia dan Forum Komunikasi Direktur Kepatuhan Perbankan, Surabaya, tanggal 21 Februari
2008, hal.6.
Direksi hanya dapat diminta pertanggungjawabannya dalam pengelolaan perseroan

apabila mereka telah dikategorikan melakukan pengelolaan yang salah.

Direksi dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, harus

memperhatikan tatakelola perusahaan yang baik atau dalam bahasa lain sering

disebut dengan Good Corporate Governance. 98

http:businessenvironment.wordpress.com/2007/04/30/ membangun-tatakelola - perusahaan


menurut prinsip-prinsip-GCG,diakses tanggal 1 April 2010. Prinsip-prinsip GCG ini telah
dijadikan acuan oleh negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Prinsip-prinsip dimaksud
adalah Prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik antara lain adalah sebagai berikut:
a. Akuntabilitas (accountability). Prinsip ini memuat kewenangan-kewenangan yang harus
dimiliki oleh Direksi beserta kewajiban-kewajibannya kepada pemegang saham dan
stakeholders lainnya. Direksi bertanggung jawab atas keberhasilan pengelolaan
perusahaan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh pemegang saham.
Komisaris bertanggung jawab atas keberhasilan pengawasan dan wajib memberikan
nasehat kepada direksi atas pengelolaan perusahaan sehingga tujuan perusahaan tercapai.
Pemegang saham bertanggung jawab atas keberhasilan pembinaan dalam rangka
pengelolaan perusahaan.
b. Pertanggungan-jawaban(responsibility). Prinsip ini menuntut perusahaan maupun
pimpinan dan manajer perusahaan melakukan kegiatannya secara bertanggung jawab.
Sebagai pengelola perusahaan hendaknya dihindari segala biaya transaksi yang berpotensi
merugikan pihak ketiga maupun pihak lain diluar ketentuan yang telah disepakati, seperti
tersirat pada undang-undang, regulasi, kontrak maupun pedoman operasional bisnis
perusahaan.
c. Keterbukaan (transparancy). Dalam prinsip ini, informasi harus diungkapkan secara tepat
waktu dan akurat. Informasi yang diungkapkan antara lain keadaan keuangan, kinerja
keuangan, kepemilikan dan pengelolaan perusahaan. Audit yang dilakukan atas informasi
dilakukan secara independen. Keterbukaan dilakukan agar pemegang saham dapat
ditingkatkan.
d. Kewajaran (fairness). Seluruh pemangku kepentingan harus memiliki kesempatan untuk
mendapatkan perlakuan yang adil dari perusahaan. Pemberlakuan prinsip ini di perusahaan
mendapatkan perlakuan yang adil dari perusahaan. Pemberlakuan prinsip ini di perusahaan
akan melarang praktek-praktek tercela yang dilakukan oleh orang dalam yang merugikan
pihak lain. Setiap direksi harus melakukan keterbukaan jika menemukan transaksi-
transaksi yang mengandung benturan kepentingan.
e. Kemandirian (Independency). Prinsip ini menuntut para pengelola perusahaan agar dapat
bertindak secara mandiri sesuai peran dan fungsi yang dimilikinya tanpa ada tekanan-
tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan sistem operasional perusahaan yang
berlaku. Tersirat dengan prinsip ini bahwa pengelola perusahaan harus tetap memberikan
pengakuan terhadap hak-hak stakeholders yang ditentukan dalam undang-undang maupun
peraturan perusahaan.
Group Penasehat Bisnis Sektor Organization for Economic Coperation and

Development (OECD) menetapkan empat prinsip umum good corporate

governance, yaitu prinsip keadilan (fairness), keterbukaan (transparency),

tanggungjawab(accountability) dan pertanggungjawaban (responsibility),

berkaitan dengan prinsip-prinsip good corporate governance, maka terhadap

Direksi dalam mengelola perusahaan perlu memperhatikan prinsip-prinsip GCG

tersebut untuk mencapai tujuan perusahaan sebagai bisnis yang mencari

keuntungan. 99

Pentingnya penerapan GCG ke dalam suatu perusahaan disebabkan oleh hal-hal

sebagai berikut: 100

1) Pihak investor institusional lebih menaruh kepercayaan kepada perusahaan

yang memiliki GCG. Bahkan investor tersebut menempatkan prinsip GCG

sebagai salah satu kriteria utama di samping kriteria kinerja keuangan dan

potensi pertumbuhan.

2) ada indikasi keterkaitan antara krisis ekonomi di negara-negara Asia akhir

abad 20 dengan lemahnya penerapan prinsip GCG dalam perusahaan-

perusahaan di negara tersebut. Lemahnya penerapan prinsip GCG di

99
Bismar Nasution(II), “Penerapan Good Corporate Governance Dalam Penyalahgunaan
Kredit. makalah, disampaikan pada seminar Hukum Perkreditan”, PT.Bank Rakyat Indonesia,
Medan, tanggal 12-13 Maret 2002, hal.1.

100
Ridwan Khairandy & Camelia Malik, Good Corporate Governance, Perkembangan
Pemikiran dan Implementasinya di Indonesia dalam Perspektif Hukum,( Yogyakarta: Kreasi Total
Media, 2007) Cet.I, hal.116-117.
negara-negara Asia dapat terlihat dalam tindakan-tindakan seperti adanya

manajemen keluarga, berkolusi dengan pemerintah, politik proteksi,

intervensi pemerintah, budaya suap dan korupsi.

3) Penerapan prinsip GCG sudah merupakan kebutuhan dalam

internasionalisasi pasar termasuk juga modernisasi pasar finansial dan

pasar modal, sehingga para investor bersedia menanamkan modalnya.

Kecenderungan seperti ini dengan cepat menyebar di berbagai belahan

dunia. Hal ini dapat dilihat dari perusahaan-perusahaan besar seperti Sony,

Toshiba, dan Samsung yang telah berupaya keras untuk menerapkan

prinsip GCG ke dalam perusahaannya.

4) Prinsip GCG telah memberi dasar bagi berkembangnya value perusahaan

yang sesuai dengan landscape bisnis yang sedang berkembang saat ini

yang sangat mengedepankan nilai-nilai kemandirian, transparansi,

profesionalisme, tanggung jawab sosial, dan lain-lain.

Dalam melakukan pengelolaan perusahaan yang baik, maka peran Direksi

sebagai ujung tombak perusahaan merupakan faktor penentu maju atau mundurnya

perusahaan. Komisaris dan Direksi adalah sebagai pemegang amanah (fiduciary)

yang harus berperilaku sebagaimana layaknya pemegang kepercayaan. Komisaris

dan Direksi menempati posisi sebagai fidusia dalam pengelolaan perusahaan dan

mekanisme hubungannya harus secara fair.

Dari sudut pandang corporate governance, tanggung jawab utama dewan

direksi adalah untuk menjaga dan mengawal kepentingan para pemegang saham.
Sebagai contoh, direksi wajib tanggap ketika berhadapan dengan pilihan untuk

lebih baik menghadapi saja risiko yang mungkin timbul setelah mengetahui

projected return yang jauh lebih menguntungkan. Demikian pula direksi perlu

sensitif dalam melindungi kepentingan stakeholders. 101 Good Corporate

Governance lebih dari sekedar proses dan prosedur, sehingga membutuhkan

perubahan pikiran atau paradigma yang secara mendasar mengubah budaya

korporasi (nilai, norma, mental, dan perilaku korporasi). Berangkat dari perubahan

pikiran dan paradigma yang didasarkan pada prinsip Good Corporace Governance

maka Corporate Policy untuk aspek dalam korporasi, mulai dari manajemen

risiko, manajemen isu lingkungan, kebijakan investasi dan pendanaan, kebijakan

dan pengembangan sumber daya manusia, dan Information Technology (IT)

Governance. IT Governance merupakan bagian terpadu dari GCG perusahaan

yang berisi kepemimpinan dan struktur organisasi serta proses dalam memastikan

bahwa IT di perusahaan akan mendukung perwujudan strategi dan sasaran

perusahaan, sehingga akan menyempurnakan segala hal dengan baik. Dalam

kerangka GCG, IT Governance menjadi semakin utama dan merupakan bagian

tidak terpisahkan terhadap kesuksesan GCG perusahaan secara menyeluruh. IT

Governance memastikan adanya pengukuran yang efisien dan efektif terhadap

peningkatan proses bisnis perusahaan melalui struktur yang mengkaitkan proses

101
Masyud Ali, Op.cit. hal. 343
IT, sumber daya IT dan informasi kearah dan tujuan strategik perusahaan. 102 IT

Governance memadukan dan melembagakan praktik terbaik dari proses

perencanaan, pengelolaan, pemilikan dan penerapan, pelaksanaan dan pendukung,

serta pengawasan kinerja IT untuk memastikan informasi perusahaan dan

teknologi yang terkait lainnya menjadi pendukung bagi pencapaian sasaran

perusahaan. Dengan keterpaduan tersebut, diharapkan perusahaan memperoleh

keuntungan informasi yang dimiliki sehingga dapat mengoptimalkan sumber daya

dan proses bisnis untuk lebih kompetitif. Dengan adanya IT Governance, proses

bisnis di perusahaan akan lebih transparan, tanggung jawab dan akuntabilitas

setiap fungsi dan individu semakin jelas.

Direksi perlu pula berhati-hati dalam melakukan pilihan yang kerap

bertolak belakang, misalnya pilihan untuk mengambil risiko demi terdapatnya

return yang mungkin diperoleh dengan kepentingan stakeholders yang seolah

dipertaruhkan. Konplik kepentingan seperti inilah yang sering dikelompokkan

sebagai ”agency risk”. Adapun conplict of interest serupa ini kerap pula terjadi

ketika bank berhadapan dengan kemungkinan terjadinya risiko dalam jangka

panjang, misalnya sekedar contoh, bila ada ketentuan yang memberikan reward

cash bagi para eksekutif seandainya dalam jangka pendek berhasil mendongkrak

naik harga saham bank. 103 Ketentuan seperti ini sesungguhnya dapat merugikan

bank dan juga mengancam kepentingan para stakeholders, karena manajemen

102
Sedarmayanti, Good Governance, Kepemerintahan Yang Baik & Good Corporate
Governance, Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Bandung: Mandar Maju, 2012), Cet.2, hal.58-59
103
Ibid
menjadi terpacu berupaya mendorong naik harga saham, meskipun tidak

sustainable dalam jangka panjang. Artinya dapat terjadi dimana short tern rewards

tersebut dicapai sambil menukarnya dengan long-tern risk yang mungkin justru

jauh lebih dahsyat. Contoh diatas cukup menggambarkan di mana sesungguhnya

corporate governance disatu sisi dengan pelaksanaan risk manajement di sisi

lainnya. Keduanya bagaikan dua sisi dari satu mata uang yang sama.

Oleh karena itu, terdapat tiga persyaratan yang harus dipenuhi seseorang

dalam menduduki jabatan sebagai anggota direksi, yaitu: 104

1) memiliki kemampuan dan keterampilan serta intelektual yang

memenuhi persyaratan sebagai bankir;

2) memahami dan menyadari serta mampu menjalankan peranannya yang

sentral dalam kerangka dasar good corporate governance;

3) mampu bersikap independen terhadap pengaruh, maupun tekanan, baik

dari sumber-sumber internal, maupun eksternal bank;

4) direksi harus yakin telah memperoleh informasi yang cukup dalam

mengambil keputusan manajemen. Keputusan tersebut harus

sepenuhnya bebas dari tekanan yang datang dari kalangan internal

manajemen sendiri, dari para pemegang saham, atau bahkan dari

pemerintah sekaligus. 105

104
Masyud Ali, Op.cit. hal. 344
105
Robby Djohan, pendiri/Mantan Dirut Bank Niaga (Bank Niaga telah mergen menjadi
Bank Cimb Niaga), mengemukakan bahwa persyaratan bagi seorang pemimpin: 1) sangat
diperlukan stamina/ endurance; 2) harus menjadi champion, yaitu bekerja lebih keras dan lebih
cerdas dari yang lain selalu memberi contoh; dan 3) harus independen dan bukan merupakan
Berkaitan dengan persyaratan sebagai anggota direksi di atas, suatu dewan

direksi yang kuat akan berperilaku diantaranya: 106

1. memiliki pemahaman penuh atas peranannya yang bebas, namun

bertanggung

jawab dan tugasnya penuh dengan kesetiaan (duty of loyality)

bagi

kepentingan bank dan para pemegang sahamnya;

2. berperan pula dalam membantu berjalannya fungsi ”checks and balances”

dalam menjalankan kegiatan operasional bank sehari-hari;

3. memiliki otoritas penuh dalam mempertanyakan sesuatu permasalahan

dan dapat menerima penjelasan langsung dari manajemen bank;

4. menerapkan sound practice management;

5. saran-saran yang disampaikan objektif;

6. bersikap proposional (tidak berlebihan);

7. menghindari terjadinya conflict of interest dalam menjalankan tugas dan

tanggung jawabnya itu terhadap pihak lainnya;

8. membangun komunikasi dengan para senior manajer dan internal

auditors untuk memantapkan kebijakan yang ditempuhnya dan

melakukan monitoring sejauh mana objective telah dicapai;

bagian dari penyebab krisis. Dalam Kusumaningtuti SS, Peranan Hukum dalam Penyelesaian
Krisis Perbankan di Indonesia (Jakarta: RajaGraindo Persada, 2009),hal 259.
106
Ibid
9. tidak turut mengambil keputusan bila merasa tidak memiliki kemampuan

memberikan saran-saran yang objektif; dan

10. tidak mencampuri urusan teknis kegiatan operasional perbankan sehari-

hari.

Komisi Nasional (Komnas) GCG telah menghasilkan 13 prinsip yang tertuang

dalam Ref.4.0 tanggal 31 Maret 2001, yaitu: 107

1. Pemegang Saham

a. Perlindungan hak pemegang saham sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku, berupa:

1. Hak untuk menghadiri dan memberikan suara dalam RUPS.

2. Hak untuk memperoleh informasi material mengenai perseroan

secara tepat waktu dan teratur agar memungkinkan pemegang

saham dapat mengambil keputusan Penanaman modalnya

berdasarkan informasi yang dimilikinya.

3. Hak untuk menerima sebagian keuntungan perseroan sebanding

dengan jumlah saham yang dimilikinya.

b. Hak pemegang saham untuk mendapatkan informasi yang lengkap dan

akurat dalam rangka penyelenggaraan RUPS

107
Ridwan Khairandy & Camelia Malik, Good Corporate Covernance,Yogyakarta: Kreasi
Total Media,2007.Cet.I.Hal.124-129.
c. Hak pemegang saham untuk mendapatkan perlakuan yang setara

berdasarkan klasifikasi bahwa setiap pemegang saham mempunyai

kedudukan yang sama.

d. Pemegang saham yang memiliki kepentingan pengendalian sepatutnya

mempergunakan pengaruhnya dengan penuh tanggung jawab

(accountable). Pemegang saham minoritas tidak boleh mempergunakan

haknya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Dewan Komisaris

a. Dewan komisaris bertanggung jawab dan berwenang mengawasi tindakan

direksi dan memberikan nasehat jika dipandang perlu. Setiap anggota

dewan komisaris harus berwatak amanah dan mempunyai pengalaman dan

kecakapan yang diperlukan untuk menjalankan tugasnya.

b. Komposisi dewan komisaris harus sedemikian rupa sehingga

memungkinkan pengambilan keputusan yang efektif, tepat, dan cepat serta

dapat bertindak secara independen sehingga dapat menjalankan tugasnya

secara mandiri dan kritis.

c. Dewan komisaris harus mematuhi Anggaran Dasar perseroan dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku dalam melaksanakan tugasnya dan

mengawasi direksi agar selalu mematuhi Anggaran Dasar dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.


d. Rapat dewan komisaris harus dilakukan secara berkala. Dewan komisaris

menetapkan tata tertib rapat, risalah rapat harus dibuat dengan

mencantumkan pendapat berbeda (dissenting oponion) para peserta rapat.

e. Dewan komisaris berhak memperoleh akses informasi perseroan secara

tepat waktu dan lengkap.

f. Dalam laporan tahunan, direksi harus secara tegas mencantumkan jika

terdapat hubungan usaha antara anggota dewan komisaris dan atau direksi

dengan perseroan dan penjelasan mengenai hubungan usaha tersebut.

g. Anggota dewan komisaris dilarang mengambil keuntungan pribadi dari

kegiatan perseroan selain gaji dan tunjangan yang diterimanya sebagai

anggota dewan komisaris.

h. Dewan komisaris harus menentukan sistem yang transparan untuk

pengangkatan para eksekutif, penentuan gaji dan tunjangan eksekutif, dan

penilaian kinerja eksekutif.

i. Dewan komisaris harus mempertimbangkan pembentukan komite nominasi

untuk seleksi dan pengangkatan eksekutif, komite remunerasi untuk

menyusun sistem penggajian dan pemberian tunjungan serta fasilitas lain,

komite asuransi untuk melakukan penilaian secara berkala dan memberikan

rekomendasi tentang jenis dan jumlah asuransi yang ditutup perseroan, dan

komite audit yang anggotanya berasal dari anggota dewan komisaris guna

menunjang pelaksanaan tugas dewan komisaris.


3. Direksi

a. Direksi wajib mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada

pemegang saham melalui RUPS.

b. Komposisi direksi harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan

pengambilan keputusan yang efektif, tepat dan cepat serta dapat bertindak

secara independen sehingga dapat menjalankan tugasnya secara mandiri

dan kritis.

c. Dalam melaksanakan tugasnya, direksi harus mematuhi Anggaran Dasar

perseroan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

d. Anggota direksi dilarang mengambil keuntungan pribadi dari kegiatan

perseroan, selain gaji, tunjangan, dan kompensasi berbasiskan saham yang

diterimanya sebagai anggota direksi bedasarkan keputusan RUPS.

e. Rapat direksi dilakukan secara berkala. Direksi menetapkan tata tertib

rapat. Risalah rapat harus mencantumkan pendapat berbeda (dissenting

oponion) dari peserta rapat.

f. Direksi menetapkan suatu sistem pengawasan internal yang efektif untuk

mengamankan investasi dan aset perseroan.

g. Direksi wajib memberitahukan komite audit jika direksi memerlukan

pendapat kedua (second oponion) mengenai masalah akuntansi yang

penting.
h. Direksi wajib menyelenggarakan dan menyimpan Daftar pemegang saham

dan Daftar khusus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

4. Sistem Audit

a. Auditor eksternal harus ditunjuk oleh RUPS dari calon yang diajukan oleh

dewan komisaris berdasarkan usul komite audit dan bebas dari pengaruh

dewan komisaris, direksi, dan pihak yang berkepentingan dalam perseroan

(stakeholders).

b. Dewan komisaris wajib membentuk komite audit yang beranggotakan satu

atau lebih anggota dewan komisaris.

c. Dewan komisaris dan direksi harus memastikan bahwa auditor eksternal

maupun auditor internal dan komite audit memiliki akses terhadap

informasi perseroan

d. kecuali disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku,

auditor eksternal dan internal maupun komite audit harus merahasiakan

informasi yang diperoleh sewaktu melaksanakan tugasnya.

e. RUPS harus menetapkan peraturan internal yang bersifat mengikat dan

mengatur berbagai aspek audit termasuk kualifikasi, hak dan kewajiban,

tanggung jawab, dan kegiatan auditor eksternal dan internal.

5. Sekretaris Perusahaan
a. Direksi dianjurkan untuk mengangkat seorang sekretaris perusahaan yang

bertindak sebagai pejabat penghubung (liaision officer) dan dapat

ditugaskan untuk menatausahakan, serta menyimpan dokumen Perseroan.

b. Sekretaris perusahaan harus memiliki kualifikasi akademis yang memadai

agar dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik.

c. Sekretaris perusahaan bertanggung jawab kepada direksi perseroan.

Sekretaris perusahaan harus memastikan bahwa perseroan mematuhi

peraturan tentang persyaratan keterbukaan yang berlaku.

6. Pihak yang Berkepentingan (Stakeholders)

a. Hak Pihak yang Berkepentingan berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang berlaku atau kontrak yang dibuat perseroan dengan

karyawan, pelanggan, pemasok, dan kreditur maupun masyarakat sekitar

tempat usaha perseroan, dan pihak yang berkepentingan lainnya harus

dihormati perseroan.

b. Pihak yang berkepentingan diberi kesempatan untuk memantau pemenuhan

peraturan perundang-undangan yang berlaku oleh direksi dan untuk

menyampaikan masukan mengenai hal tersebut kepada direksi.

7. Keterbukaan

a. Perseroan wajib mengungkapkan informasi penting dalam Laporan

Tahunan dan Laporan Keuangan Perseroan kepada pemegang saham dan

instansi pemerintah yang terkait sesuai dengan peraturan perundang-


undangan yang berlaku secara tepat waktu, akurat, jelas dan secara

objektif.

b. Selain yang tercantum dalam Laporan Tahunan dan Laporan Keuangan

sebagaimana disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan yang

berlaku, perseroan harus mengambil inisiatif untuk pengungkapan tidak

hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan,

namun juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemodal,

pemegang saham, kreditor, dan pihak yang berkepentingan lainnya.

c. Perseroan harus secara aktif mengungkapkan bagaimana perseroan telah

menetapkan prinsip GCG yang dimuat dalam pedoman ini dan adanya

penyimpangan dari dan atau ketidakpatuhan terhadap prinsip tersebut

termasuk alasannya.

d. Perseroan harus memastikan bahwa semua informasi yang dapat

mempengaruhi harga saham perseroan dan atau suatu produk perseroan

dirahasiakan sampai pengumuman mengenai harga tersebut dilakukan

kepada masyarakat.

8. Kerahasiaan

Dewan komisaris dan direksi bertanggung jawab kepada perseroan untuk

menjaga

Kerahasiaan informasi perseroan.

9. Informasi Orang Dalam


Anggota dewan komisaris dan direksi yang memiliki saham dalam perseroan

serta

setiap orang dalam (sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-

undangan

dibidang pasar modal yang berlaku) dilarang untuk menyalahgunakan

informasi

penting berkaitan dengan perseroan. Informasi usaha, dan pembelian kembali

saham

pada umumnya dianggap sebagai informasi orang dalam.

10. Etika Berusaha dan Anti Korupsi

Anggota dewan komisaris, direksi, dan karyawan perseroan dilarang

untuk

memberikan atau menawarkan, baik langsung maupun tidak langsung,

sesuatu yang

berharga kepada pelanggan atau seorang pejabat pemerintah untuk

mempengaruhi

atau sebagai imbalan atas apa yang telah dilakukannya dan tindakannya

lainnya

sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

11. Donasi

Dana, aset atau keuntungan perseroan yang terhimpun untuk

kepentingan para
pemegang saham perseroan tidak patut kepentingan para pemegang saham

perseroan

tidak patut digunakan untuk kepentingan donasi politik.

12. Kepatuhan kepada peraturan perundang-undangan tentang proteksi

kesehatan,

keselamatan kerja, dan pelestarian lingkungan. Direksi wajib memastikan

bahwa

perseroan, pabrik, toko, kantor, dan lokasi usaha serta fasilitas perseroan

lainnya

memenuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku berkenaan

dengan

pelestarian lingkungan, kesehatan, dan keselamatan kerja.

13. Kesempatan kerja yang sama

Direksi wajib menggunakan kemampuan bekerja, kualifikasi, dan kriteria

yang

terkait dengan hubungan kerja sebagai dasar satu-satunya dalam

mengambil

keputusan mengenai hubungan kerja antara perseroan dan karyawan.


B. Prinsip Fiduciary Duty

Menurut sistem hukum commom law hubungan itu dapat didasarkan pada

teori fiduciary duty. Berkenaan dengan itu, Bismar Nasution, menyebutkan

bahwa: 108

Fiduciary duty adalah suatu kewajiban yang ditetapkan undang-


undang bagi
seseorang yang memanfaatkan orang lain, dimana kepentingan pribadi
orang
lain yang diurus oleh pribadi lainnya, yang sifatnya hanya hubungan atasan
dan
bawahan dalam sesaat. Orang yang mempunyai kewajiban ini harus
melaksanakan
nya berdasarkan suatu standar dari kewajiban (standard of duty) yang
paling
tinggi sesuai dengan yang dengan yang dinyatakan oleh hukum.
Sedangkan
fiduciary ini adalah seseorang yang memegang peran sebagai
suatu wakil
(trustee) atau suatu peran yang disamakan dengan sesuatu yang berperan
sebagai
wakil, dalam hal ini peran tersebut didasarkan kepercayaan dan
kerahasiaan
(trust and confidence) yang dalam peran ini meliputi, ketelitian
(scrupulous),
itikad baik (good faith), dan keterusterangan (scandor) Fiduciary ini
termasuk
hubungan seperti, pengurus atau pengelola, pengawas, wakil atau
wali, dan
pelindung (guardian), termasuk juga didalamnya seseorang
lawyer yang
mempunyai hubungan fiduciary dengan client-nya.

108
Bismar Nasution (I), Op. cit. Hal.4-5. Di negara-negara commom law dimana
khususnya di negara Amerika yang telah mempunyai standar yang jelas untuk menentukan apakah
seorang direksi dapat dimintai pertanggungjawabannya dalam tindakan yang diambilnya, yaitu
didasarkan pada standar duty of loyality dan duty of care dalam pertanggungjawaban direksi pada
Perseroan Terbatas didasarkan kepada teori yang berkaitan, artinya teori yang belakangan
merupakan reaksi atau perbaikan dari teori sebelumnya.
Dalam memahami hubungan kepercayaan (fiduciary relationship) tersebut,

sistem

hukum commom law mengakui bahwa orang yang memegang kepercayaan

(fiduciary) secara natural memiliki potensi untuk menyalahgunakan

wewenangnya. Oleh sebab itu, hubungan pemegang kepercayaan tersebut harus

didasarkan kepada standar perilaku yang tinggi. 109

dengan itikad baik (good faith) bukan berdasarkan itikad buruk (bad faith).

Itikad baik yang dimaksud dapat meliputi: 110

1. Wajib dipercaya;

2. Wajib melaksanakan pengelolaan untuk tujuan yang wajar (duty to act for

a frofer

purpose;

3. Wajib patuh menaati peraturan perundang-undangan (statutory duty);

4. Wajib loyal terhadap perseroan (loyality duty); dan

5. Wajib menghindari benturan kepentingan (avoid conplict of interest).

Pasal 1 angka (5) sebagaimana disebutkan diatas, mengamanahkan

tanggung jawab penuh kepada Direksi dalam mengelola perseroan (Perseroan

selanjutnya disebut PT). Hal ini mengisyaratkan kekuasaan besar dalam perseroan

itu, ada di tangan Direksi berdasarkan hal itu, Direksi bisa saja bertindak di luar

109
Bismar Nasution (I), Op. cit, hal.5
110
M.Yahya Harahap. Op. cit. Hal. 374-377.
daripada ketentuan dalam UUPT atau dalam hal ini mengeluarkan kebijakan yang

tidak tepat membawa kepada kerugian perseroan.

Sehubungan dengan itu, amanah itikad baik dalam melaksanakan tanggung

jawab penuh bagi Direksi dimaksudkan karena Direksi dalam melaksanakan

pengelolaan perseroan dapat berkemungkinan Direksi melakukan kelalaian dan

kesalahan, maka dalam Pasal 97 Ayat (2) UUPT menetapkan bahwa, “Pengurusan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi

dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 97 Ayat (2) UUPT tersebut diatas, dapat

dipahami bahwa bagi setiap anggota Direksi wajib dengan itikad baik dan penuh

tanggung jawab dalam mengelola Perseroan. Dengan demikian, direksi dalam

menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan dibenarkan dalam

undang-undang untuk mengurus perseroan dengan itikad baik. Pelanggaran

terhadap hal ini dapat menyebabkan direksi bertanggung jawab penuh secara

pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya

tersebut.

Berpedoman kepada prinsip-prinsip Good Corporate Governance, maka

Direksi wajib melaksanakan pengelolaan perseroan yang berdasarkan kepada

unsur itikad baik. Undang-Undang Perseroan Terbatas dalam penjelasannya

mengidealkan PT tidak semata-mata sebagai alat yang dipergunakan untuk

memenuhi tujuan pribadi Direksi, melainkan berfungsi sebagai salah satu pilar

pembangunan ekonomi nasional yang memiliki value added bagi masyarakat,


mengingat kemampuan Perseroan Terbatas untuk memberikan pendapatan berupa

pajak, penyedia kesempatan kerja dan ekspor impor.

Dalam hal ini Direksi bertanggung jawab secara mutlak terhadap semua

kebijakan-kebijakannya. Namun, Prinsip tanggung jawab Direksi berlaku secara

tidak mutlak dalam hal-hal tertentu. Ketentuan ini merupakan pengecualian dari

tanggung jawab Direksi, yang disebut dengan tanggung jawab tidak terbatas.

Dalam hukum perusahaan di Indonesia, kemungkinan untuk mengeculiakan

prinsip tanggung jawab terbatas tersebut dimungkinkan dalam hal-hal sebagai

berikut: 111

Pasal 97 Ayat (5) UUPT disebutkan, bahwa anggota Direksi tidak


dapat
dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
apabila dapat membuktikan:
a. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian
untuk
kepentingan dan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak
langsung
atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya
kerugian
tersebut.

Tanggung jawab Direksi disebutkan dalam Pasal 97 Ayat (1) yaitu,

”Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 92 Ayat (1)”, namun, dalam Pasal 97 Ayat (5) sebagaimana telah

disebutkan diatas menunjutkan bahwa prinsip tanggung jawab terbatas Direksi

111
http://mhugm.wki dot.com/ artikel, diakses tanggal 14 April 2010
tidak berlaku mutlak. Di dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas, kemungkinan

untuk mengecualikan prinsip tanggung jawab tersebut sangat dimungkinkan dalam

hal-hal tertentu. 112

Permasalahan lain yang mungkin timbul, yang pada gilirannya

menghambat pelaksanaan Good Corporate Governance berkenaan dengan

pengaturan tanggung jawab Direksi. Sebagaimana pengertian yang diberikan

Undang-Undang Perseroan Terbatas, Direksi dituntut untuk menjadi organ

perseroan yang bertanggung jawab penuh atas pengelolaan perseroan untuk

kepentingan dan tujuan Perseroan Terbatas serta mewakili PT baik di dalam

maupun di luar pengadilan. 113

Selanjutnya Undang-Undang Perseroan Terbatas menetapkan kewajiban

bagi setiap Direksi untuk dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab

menjalankan tugas untuk kepentingan usaha perseroan. Direksi dapat digugat ke

Pengadilan Negeri bilamana atas dasar kesalahan dan kelalaiannya menimbulkan

kerugian pada Perseroan Terbatas.

Terdapat tambahan ketentuan bahwa atas unsur itikad buruk, dapat dituntut

pertanggungjawaban penuh secara pribadi. Begitu pula dalam hal kepailitan yang

terjadi karena itikad buruk Direksi dan kekayaan Perseroan Terbatas tidak cukup

untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap Direksi

bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian dimaksud. Namun untuk

112
Ibid.
113
Pasal 98 Ayat (1) UUPT
mendukung terlaksananya prinsip-prinsip Good Corporate Governance,

ketentuan-ketentuan yang dimuat Undang-Undang Perseroan Terbatas tersebut

masih jauh untuk menjadi ketentuan yang aplikatif. Ketentuan Undang-Undang

Perseroan Terbatas dimaksud baru menjelaskan tanggung jawab Direksi secara

umum, yang secara teoritis lahir dari hubungan antara Perseroan dengan Direksi

yang merupakan hubungan yang didasarkan atas kepercayaan (fiduciary

relationship).

Tanggung jawab Direksi dalam melaksanakan pengelolaan Perseroan

Terbatas, tidak cukup hanya dilakukan untuk kepentingan Perseroan sesuai dengan

maksud dan tujuan yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar (AD). Akan tetapi

pengelolaan itu wajib dilaksanakan pula bagi Direksi dengan itikad baik (goeder

trouw atau good faith) dan penuh tanggung jawab. 114

Bila hanya berpegang pada ketentuan Undang-Undang Perseroan Terbatas,

akan merupakan persoalan yang tidak mudah untuk menentukan kapan dan

bagaimana Direksi dianggap telah melanggar prinsip-prinsip tersebut. Hal ini

mengingat adanya justifikasi dan fleksibilitas yang diberikan kepada Direksi yang

secara konseptual dikenal sebagai Business Judgement rule, yang merupakan

prinsip penyeimbang prinsip diatas. Dengan Business Judgement Rule, Direksi

dapat dibebaskan dari tanggung jawab secara pribadi sekalipun tindakannya

mengakibatkan kerugian pada Perseroan Terbatas, baik karena salah perhitungan

atau hal lain di luar kemampuan yang menyebabkan kegagalan dari tindakan

114
M.Yahya Harahap, Op. cit, hal. 373.
tersebut, asalkan tindakan tersebut dilakukan dalam kerangka keputusan bisnis

yang tulus dan dibuat berdasarkan itikad baik.

Direksi perusahaan adalah pemegang amanah (fiduciary) yang harus

berperilaku sebagaimana layaknya pemegang kepercayaan. Hal itu sejalan dengan

teori fiduciary duty adalah suatu kewajiban yang ditetapkan undang-undang bagi

seseorang yang memanfaatkan seseorang lain, dimana kepentingan pribadi

seseorang yang diurus oleh pribadi lainnya, yang sifatnya hanya hubungan atasan-

bawahan sesaat. Orang yang mempunyai kewajiban ini harus melaksanakannya

berdasarkan suatu standar dari kewajibannya (standart of duty) yang paling tinggi

sesuai dengan yang dinyatakan oleh hukum. Sedangkan fiduciary ini adalah

seseorang yang memegang peran sebagai suatu wakil (trustee) atau suatu yang

disamakan dengan sesuatu yang berperan sebagai wakil.

Komisaris dan Direksi memiliki posisi fiducia dalam pengelolaan

perusahaan dan mekanisme hubungannya harus secara fair. Menurut sistem

common Law hubungan itu dapat didasarkan pada teori fiduciary duty. Hubungan

fiduciary duty tersebut didasarkan atas kepercayaan dan kerahasiaan (trust and

confidence) yang dalam peran ini meliputi, ketelitian(scrupulous), itikad baik

(good faith), dan keterusterangan(candour). 115

Dalam memahami hubungan pemegang kepercayaan (fiduciary

relationship) tersebut, commom Law mengakui bahwa orang yang memegang

kepercayaan(fiduciary) secara natural memiliki potensi untuk menyalahgunakan

115
Ibid
wewenangnya. Oleh sebab itu hubungan pemegang kepercayaan tersebut harus

didasarkan kepada standar yang tinggi.

Dalam Commom Law penipuan telah dikontruksikan secara lebih luas dalam

gugatan melawan orang-orang yang memegang kepercayaan (fiduciaries)

dibandingkan dengan gugatan terhadap individu-individu. Karena dalam hubungan

kepercayaan dan kerahasiaan, pemegang kepercayaan diharuskan untuk

menerapkan standar perilaku yang lebih tinggi dan dapat diminta

pertanggungjawabannya berdasarkan doktrin ”constructive fraud” untuk

pelanggaran fiduciary duty. 116

Dalam konteks Direksi, sangat penting untuk mengontrol perilaku Direksi

yang mempunyai posisi dan kekuasaan besar dalam mengelola perusahaan,

termasuk menentukan standar perilaku (standart of conduct) untuk melindungi

pihak-pihak yang dirugikan apabila Direksi berperilaku tidak sesuai dengan

kewenangannya.

Menurut Pasal 1 Ayat (5) Undang-Undang Perseroan Terbatas dan Pasal 92

Ayat(2) pengelolaan Perseroan dipercayakan kepada Direksi. Lebih jelasnya Pasal

1 Ayat (5) UUPT menyatakan, bahwa Direksi adalah organ yang berwenang dan

bertanggung, maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.

Selanjutnya dalam Pasal 92 Ayat (1) disebutkan bahwa, ”Direksi menjalankan

116
Bismar Nasution (III), Keterbukaan Dalam Pasar Modal, (Jakarta: Universitas
Indonesia, Fakultas Hukum Program Pascasarjana, 2001), hal.72.
pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan sesuai dengan maksud dan

tujuan perseroan”.

Pasal 97 Ayat (1) menegaskan bahwa ”Direksi bertanggung jawab atas

pengurusan perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 Ayat (1)”. Tentang

masalah pengurusan perseroan yang digariskan dalam Pasal 92 Ayat (1) dan

Ayat (2), sudah

dijelaskan, yang dapat diringkas sebagai berikut:

a. Wajib menjalankan pengurusan untuk kepentingan Perseroan. Maksud

menjalankan;

1) Pengurusan perseroan yang dilaksanakan anggota Direksi harus sesuai

dengan

maksud dan tujuan perseroan yang ditetapkan dalam Anggaran

Dasar ; dan

2) Pelaksanaan pengurusan, meliputi pengurusan sehari-hari.

b. Wajib menjalankan pengurusan sesuai kebijakan yang dianggap

tepat.

Dalam menjalankan pengurusan untuk kepentingan perseroan sesuai

dengan

Maksud dan tujuan yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar, anggota

Direksi

harus menjalankan pengurusan sehari-hari sesuai dengan kebijakan yang

dianggap
tepat, yaitu:

1) Segala kebijakan yang dilakukan dalam melaksanakan pengurusan

perseroan,harus

kebijakan yang dianggap tepat; dan

2) Suatu kebijakan atau Direksi yang dianggap tepat menurut hukum

adalah

kebijakan pengurusan yang mesti berada dalam batas-batas yang

ditentukan

Undang-Undang Perseroan Terbatas dan Anggaran Dasar.

Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 97 Ayat (2), yang diwajibkan

melaksanakan

1. Setiap anggota Direksi perseroan; dan

2. Oleh karena itu, setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh

terhadap

Pelaksanaan pengurusan perseroan.

Ketentuan ini sejalan dengan apa yang digariskan pada Pasal 98 Ayat (2),

setiap anggota Direksi berwenang mewakili perseroan, kecuali ditentukan lain

dalam Anggaran Dasar. Di negara-negara commom law khususnya di negara

Amerika yang telah mempunyai standar yang jelas untuk menentukan apakah

Direksi dapat dimintai pertanggungjawabannya dalam tindakan yang diambilnya,

yaitu didasarkan pada standar duty of loyality dan duty of care dalam

pertanggungjawaban Direksi pada Perseroan.


Perlu ditekankan bahwa kewajiban utama Direksi adalah kepada

perusahaan secara keseluruhan bukan kepada pemegang saham baik secara

individu maupun kelompok. 117

Pelanggaran terhadap prinsip duty of loyality dan duty of care dalam

hubungannya dengan fiduciary duty dapat menyebabkan Direksi untuk dimintai

pertanggungjawaban hukumnya secara pribadi terhadap perbuatan yang

dilakukannya, baik kepada para pemegang saham maupun kepada pihak

lainnya. 118

Dalam melakukan pengelolaan Perseroan Terbatas berdasarkan itikad baik

tersebut, Direksi dengan secara batiniah, melakukan tanggung jawab yang

didasarkan kepada tanggung jawab hukum dan moral. 119 Sebab tujuan pengelolaan

Perseroan sesuai dengan Anggaran Dasar (AD) dimana bahwa AD Perseroan

tersebut tidak terlepas dari ketentuan didalam Undang-Undang Perseroan Terbatas.

Untuk mencapai tujuan tersebut, secara berkelanjutan dalam Perseroan, di

samping berdasarkan itikad baik Direksi terhadap eksistensinya sebagai pimpinan

perusahaan juga menciptakan suasana hubungan Perseroan dengan masyarakat

umum khususnya masyarakat bisnis sehingga kepercayaan masyarakat semakin

meningkat dalam perkembangan selanjutnya. 120 Tentunya akan membawa

keuntungan bagi Perseroan Terbatas itu sendiri.

117
Ibid., hal. 217
118
Bismar Nasution (I), Op. Cit,hal.5
119
Theo Huijbers, Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hal.63.
120
Satjipto Rahardjo, Filsafat Hukum. (Yokyakarta: Kanisius, 1995), (Jakarta: Kompas
Media Nusantara,2006), hal.225.
Perkembangan selanjutnya bahwa penerapan prinsip fiduciary duty telah

menimbulkan kekhawatiran yang mendalam bagi Direksi untuk mengambil

keputusan bisnisnya. Dalam dunia bisnis adalah lazim bagi Direksi untuk

mengambil sebuah keputusan yang bersifat spekulatif karena ketatnya persaingan

usaha, permasalahan timbul ketika keputusan bisnis yang diambilnya ternyata

merugikan.

Disamping itu, terdapat doktrin dalam hukum korporasi yang melindungi

para Direksi yang beritikad baik tersebut sebagaimana terdapat dalam teori

Business Judgement Rule yang merupakan salah satu teori yang sangat popular

untuk menjamin keadilan bagi Direksi yang mempunyai itikad baik. Penerapan

teori ini mempunyai misi utama, yaitu untuk mencapai keadilan, khususnya bagi

Direksi sebuah perusahaan terbatas dalam melakukan suatu keputusan bisnis. 121

Salah satu tolak ukur untuk memutuskan apakah suatu kerugian tidak

disebutkan oleh keputusan bisnis (business judgement) yang tidak tepat sehingga

dapat menghindar dari pelanggaran prinsip duty of care adalah: Pertama, memiliki

informasi tentang masalah yang akan diputuskan dan percaya bahwa informasi

tersebut benar. Kedua, tidak memiliki kepentingan dengan keputusan dan

memutuskan dengan itikad baik. Ketiga, memiliki dasar rasional untuk

mempercayai bahwa keputusan yang diambil adalah yang terbaik bagi

perusahaan. 122

121
Ibid
122
Ibid
Lebih lanjut dapat diamati dari konteks pertanggungjawaban Direksi dilihat

dari pendekatan teori Salomon. Menurut teori ini, dalam pembentukan Perseroan

Terbatas tersimpul bahwa perusahaan menjadi bagian terpisah dari orang yang

membentuknya atau menjalankannya, dimana perusahaan tersebut mempunyai hak

dan kewajiban yang berkaitan erat dengan aktifitasnya bukan kepada orang yang

memiliki atau menjalankan. 123

Pada awalnya teori solomon sering disalahgunakan oleh para pemilik atau

Direksi yang beritikad buruk untuk kepentingannya sendiri. Dalam hal ini maka

dibuatlah pengeculian terhadap teori ini, misalnya dalam hal para pemilik dan

Direksi berada pada posisi yang tidak terlindungi (exposed position) maka mereka

bertanggung jawab secara pribadi kepada akibat-akibat hukum dari perbuatan

mereka. 124

Oleh sebab itu, Direksi harus mengetahui tugas dan tanggung jawabnya

kepada perusahaan untuk menghindari hal diatas. Hal ini berkaitan dengan prinsip

tanggung jawab direksi atau yang sering disebut dengan fiduciary duty. 125

123
Christopher L. Ryan., Company Directors, Liabilities, Rights and Duties, (CCH
Editions Limited, Third Edition, 1990, hal 215. Dalam mata kuliah Hukum Bisnis, Sekolah Pasca
Sarjana, Program Magister Hukum, Universitas Sumatera Utara oleh Bismar Nasution),
2010.hal.24
124
Ibid.
125
Robert R.Pennington., Directors’ Personal Liability, (Collin: Professional Book,
1997), hal. 33. Prinsip ini ditemukan dan dielaborasi oleh Court of Chancery pada sekitar abad 18-
19 untuk menjamin bahwa orang yang memegang aset atau menjalankan fungsi dalam kapasitasnya
sebagai perwakilan untuk kepentingan orang lain berlaku dengan itikad baik dan secara konsisten
melindungi kepentingan dari orang yang diwakilinya. Dalam mata kuliah Hukum Bisnis, Sekolah
Pasca Sarjana, Program Magister Hukum Universitas Sumatera Utara Oleh Bismar Nasution).
2010.Hal 24.
Prinsip ini meletakkan direksi sebagai trustee dalam pengertian hukum

trust, sehingga seorang direksi haruslah mempunyai kepedulian dan kemampuan

(duty of care dan duty of loyality), loyalitas dan kejujuran terhadap perusahaannya

dengan derajat yang tinggi (hight degree). 126 Prinsip ini memberikan perlindungan

penting dari hak pemegang saham perusahaan, karena Direksi mempunyai

kewajiban untuk melindungi kepentingan pemegang saham dari tindakan

sewenang-wenang pemegang saham mayoritas.

Perlu ditekankan bahwa itikad baik itu merupakan suatu kewajiban Direksi.

Kewajiban utama Direksi ditujukan kepada perusahaan itu sendiri secara

keseluruhan bukan kepada pemegang saham baik secara individu maupun

kelompok, 127 sesuai dengan posisi Direksi sebagai sebuah trustee dalam

perusahaan. Posisi ini mengharuskan seorang Direksi untuk tidak bertindak

ceroboh dalam melakukan tugasnya atau kewajiban berhati-hati (duty of care). 128

Selain itu dalam melakukan tugasnya tersebut seorang Direksi tidak boleh

mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri atas perusahaan (duty of

126
Munir Fuady, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, (Bandung: Penerbit PT.Citra
Aditya Bakti, 2003), Hal.81.
127
Bismar Nasution (I), Op. cit, hal.7
128
Denis Keenan & Josephine Biscare, Op.cit, hal.317. dikatakan bahwa ada beberapa
kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang direktur yaitu: (1) kewajiban untuk secara optimal
memupuk keuntungan bagi perusahaan dan tidak mengambil keuntungan pribadi bagi perusahaan
dengan pihak lain. Direktur tidak mengambil keuntungan pribadi bagi perusahaan dengan pihak
lain. Direktur tidak boleh membuat apa yang disebut dengan secret profitand benefits from office.
Dalam kaitannya ini harus dihindari terjadinya conflict of interest. (2) Direktur harus menggunakan
kewenangannya untuk tujuan yang seharusnya (propher purpose). (3) Direktur sebuah perusahaan
dalam melaksanakan fungsinya termasuk pula memperhatikan kepentingan pegawai. (4) Direktur
sebuah perusahaan dalam melaksanakan fungsinya juga harus memperhatikan kepentingan
pemegang saham, (5) Direktur sebuah perusahaan harus memperhatikan kepentingan para
kreditor... Dalam mata kuliah Hukum Bisnis Oleh Bismar Nasution).2010.hal.25
loyality). 129Pelanggaran terhadap kedua prinsip tersebut dalam hubungannya

dengan fiduciary duty dapat menyebabkan Direksi dapat dimintai pertanggung

jawaban hukumnya secara pribadi terhadap perbuatan yang dilakukannya, baik

kepada para pemegang saham maupun kepada pihak lainnya. 130

Dalam perkembangannya penerapan prinsip fiduciary duty telah

menimbulkan kekhawatiran yang mendalam bagi para direksi untuk mengambil

keputusan bisnisnya. Dalam dunia bisnis adalah lazim bagi Direksi untuk

mengambil sebuah sebuah keputusan yang bersifat spekulatif karena ketatnya

persaingan usaha. Permasalahan timbul ketika keputusan bisnis yang diambilnya

ternyata merugikan perusahaan, padahal dalam mengambil keputusan tersebut,

direksi tersebut melakukannya dengan jujur dan itikad yang baik.

Untuk melindungi para Direksi yang beritikad baik tersebut maka muncul

teori business judgement rule yang merupakan jaminan keadilan bagi direksi yang

mempunyai itikad baik. Penerapan teori ini mempunyai misi utama, yaitu untuk

129
Joel Seligman, Op.cit, hal. 415. selanjutnya dalam halaman ini dinyatakan bahwa
pelanggaran duty of loyality muncul apabila ada kepentingan pribadi yang mungkin terjadi karena:
(1) seorang direktur melakukan transaksi dengan perusahaannya sendiri (2) dan perusahaan yang
mempunyai satu orang direktur yang sama melakukan perjanjian (3) sebuah induk melakukan
transaksi dengan cabang perusahaannya sendiri... dalam Mata Kuliah Hukum Bisnis Oleh Bismar
Nasution.2010. Hal.24
130
Bismar Nasution (I)., Loc. Cit., hal.6. Pemegang saham dapat melakukan suatu gugatan
derivative untuk kepentingan perseroan kepada direktur yang dianggap melakukan pelanggaran
prinsip fiduciary duty. Beberapa tindakan ganti rugi yang dapat dituntut antara lain 1) ganti rugi
atau kompensasi (2) Pengembalian keuntungan yang diperoleh oleh direktur tersebut sebagai
akibat dari tindakan yang mengungtungkan dirinya secara tidak sah (3) permohonan untuk
membatalkan perjanjian yang dibuat oleh direktur tersebut. (4) pengembalian harta kekayaan yang
diperoleh direktur tersebut.
mencapai keadilan, khususnya bagi Direksi sebuah perusahaan terbatas dalam

melakukan suatu keputusan bisnis. 131

Kewajiban berhati-hati ini merupakan alasan yang tepat yang harus

dilakukan Direksi untuk melakukan pengelolaan perseroan dengan itikad baik.

Selain itu, dalam melakukan tugasnya tersebut, Direksi tidak boleh mengambil

keuntungan untuk dirinya sendiri dari perusahaan (duty of loyality). 132

Namun, bila diamati pula dalam sistem commom law Direksi dapat

berlindung atas tuntutan yang dianggap tidak memenuhi kewajibannya

menjalankan pengelolaan perseroan yang baik melalui ketentuan keputusan bisnis

(Business judgement rule). Dalam hal ini maka dibuatlah pengecualiaan business

judgement rule, misalnya dalam hal para Direksi berada pada posisi yang tidak

terlindungi(exposed position), maka Direksi bertanggungjawab secara pribadi

terhadap akibat-akibat hukum atas perbuatannya. 133

C. Prinsip Business Judgement Rule

Hal lain yang perlu diperhatikan mengenai Business Judgement Rule

adalah tidak benar dan tidak wajar bahkan merupakan kontradiksi apabila

mewajibkan dengan menghukum Direksi karena tidak bisa menghasilkan laba. Hal

ini bertentangan dengan hakikat bisnis yang tidak menjamin suatu bisnis akan

131
Dennis Keenan & Josephine Biscare, Op.cit, hal.4. Teori Business Judgement Rule
mengalami perkembangannya sebagai yurisprudensi dalam Prinsip Common Law di Amerika
dimulai dengan keputusan Lousianna Supreme Court, dalam kasus Percy V Millaudon pada tahun
1829.
132
M.Yahya Harahap, Op. cit, hal. 379.
133
Bismar Nasution (I), Op. Cit, hal 4
menghasilkan laba. Direksi yang telah melakukan pengelolaan dengan itikad baik,

dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan perseroan sesuai dengan maksud

dan tujuan perseroan, tidak bisa dimintai pertanggungjawaban. Hal ini

mempertegas bahwa apabila Direksi telah menjalankan fiduciary duty, duty of

care, diligence and prudence secara benar dan dapat dibuktikan serta

didokumentasikan dengan baik tentunya Direksi akan terhindar dari tuntutan dan

sanksi hukum, terutama sanksi pidana korupsi. Itikad baik Direksi itu, wajib

dilakukan dalam Business Judgement Rule (BJR). 134

Pertanggungjawaban Direksi dalam pengelolaan perseroan sangat

diperlukan. Hal ini, karena perusahaan adalah (risk taker) yang bertujuan untuk

mencari keuntungan dimana Direksi sebagai organ perusahaan dalam mengambil

keputusan bisnis seringkali bersifat spekulatif yang bertendensi untuk mengalami

kerugian.

Oleh karena itu sangat penting itikad baik Direksi agar dalam laporan

pertanggungjawabannya dapat dilihat keputusan bisnis manakah yang diambil

sesuai dengan prosedur demi kepentingan perusahaan ataukah keputusan bisnis

yang diambil untuk kepentingan Direksi itu sendiri. Tanpa itikad baik Direksi,

dikhawatirkan Direksi tidak akan berani mengambil keputusan bisnis. Hal ini

bertentangan dengan posisi perusahaan sebagai risk taker.

Dalam perkembangannya penerapan prinsip fiduciary duty telah

menimbulkan. kekhawatiran yang mendalam bagi para direktur untuk mengambil

134
http:www.komiteaudit.org/informasi , diakses tanggal 14 April 2010
keputusan bisnisnya. Dalam dunia bisnis adalah lazim bagi direktur untuk

mengambil sebuah keputusan yang bersifat spekulatif karena ketatnya persaingan

usaha. Permasalahan timbul ketika keputusan bisnis yang diambilnya ternyata

merugikan perusahaan, padahal dalam mengambil keputusan tersebut, direktur

tersebut melakukannya dengan jujur dan itikad baik. Untuk melindungi para

direktur yang beritikad baik tersebut maka muncul teori business judgement rule

yang merupakan salah satu teori yang sangat popular.

Prinsip ini tertuang dalam pasal 97 (5) UUPT, seperti yang telah dikemukakan

sebelumnya seorang direktur bebas dari tanggungjawab atas kerugian perusahaan

apabila dapat membuktikan:

1) kerugian yang timbul bukan karena kesalahan atau kelalainnya;

2) Direktur melakukan kepengurusan dengan beritikad baik dan hati-hati;

3) Kepengurusan dilakukan untuk kepentingan dan tujuan perusahaan;

4) Direktur tidak mempunyai conflict of interest; dan

5) Telah mengambil langkah-langkah untuk mencegah kerugian


BAB III

PENTINGNYA DIREKTUR KEPATUHAN

(COMPLIANCE DIRECTOR) DAN PENGATURAN DALAM

PENGELOLAAN BANK

Peran pengawasan internal sangat penting untuk mencegah terjadinya

kejahatan perbankan. Salah satu alat pengawasan dilakukan oleh unit kerja

kepatuhan. 135 Fungsi kepatuhan bank adalah fungsi independen yang

mengidentifikasi, menilai, memberikan nasehat, memonitor, dan melaporkan risiko

kepatuhan bank yaitu risiko sanksi hukum, kerugian keuangan atau kehilangan

reputasi yang kemungkinan diderita bank akibat kegagalan bank mematuhi hukum,

kode etik, dan standar praktik perbankan yang berlaku bulan Oktober 2003. Basel

Committee On Banking Supervision, Bank For International Settlement (BIS)

mengeluarkan consultative dokument tentang compliance function pada bank yang

terdiri dari 10 prinsip yang harus dimiliki agar fungsi kepatuhan 136 pada suatu

bank berjalan efektif.

Pertama, pengurus bertanggung jawab dalam melakukan pengawasan

manajemen risiko kepatuhan bank. Pengurus harus menyetujui kebijakan

kepatuhan (compliance policy) bank termasuk dokumen-dokumen resmi tentang

pembentukan fungsi kepatuhan paling sedikit sekali setahun, pengurus harus


135
PBI Nomor: 1/6/PBI/1999 Tentang Penugasan Direktur Kepatuhan (Compliance
Director) dan Penerapan Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank Umum sebagaimana telah
diubah dengan PBI Nomor: 13/2/PBI/2011 dalam pasal (10)
136
Zulkarnain Sitompul, Op.Cit, hal.276-277
mengkaji ulang kepatuhan bank dan implementasinya untuk menilai sejauh mana

bank telah mengelola risiko kepatuhan secara efektif. Kebijakan kepatuhan bank

tidak akan efektif apabila tidak ada komitmen yang jelas dari pengurus untuk

meningkatkan nilai-nilai kejujuran dan integritas pada perusahan. Patuh terhadap

peraturan perundang-undangan serta standar merupakan alat penting untuk

mencapai tujuan.

Kedua, manajemen senior bank bertanggung jawab menyusun kebijakan

kepatuhan dan menjamin dilakukannya observasi dan implementasinya pengurus.

Manajemen senior juga bertanggung jawab melakukan penilaian apakah kebijakan

kepatuhan masih memadai. Harus ada suatu kebijakan kepatuhan tertulis yang

mengidentifikasikan masalah utama risiko kepatuhan yang dihadapi bank dan

menjelaskan bagaimana bank bermaksud mengendalikannya. Kebijakan tersebut

harus bersikap prinsip dasar yang harus diikuti seluruh staf. Untuk kejelasan dan

transparansi diperlukan perbedaan antara standar yang berlaku untuk seluruh staf

dan standar untuk staf tertentu. Kewajiban senior manajemen adalah menjamin

bahwa kebijakan kepatuhan dijalankan dengan penuh tanggung jawab dan

tindakan-tindakan perbaikan dan disiplin dijalankan apabila ada pelanggaran.

Ketiga, manajemen senior bank bertanggung jawab menyusun suatu fungsi

kepatuhan yang permanen dan efektif sebagai bagian dari kebijakan kepatuhan

bank. Manajemen senior harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk


menjamin bank dapat bergantung pada fungsi kepatuhan yang permanen dan

efektif.

Keempat, fungsi kepatuhan bank harus memiliki status formal dalam bank.

Hal ini dapat dilakukan dengan memuatnya dalam anggaran dasar yang

menguraikan kedudukan, kewenangan dan independensi fungsi kepatuhan.

Kelima, fungsi kepatuhan bank harus independen. Fungsi kepatuhan harus

mampu menjalankan tugas atas inisiatif sendiri di seluruh departemen yang ada

pada bank dimana terdapat risiko kepatuhan. Fungsi kepatuhan harus bebas

melapor kepada manajemen senior dan pengurus atas setiap kecurigaan dan

kemungkinan adanya pelanggaran yang ditemukan dalam investigasi tanpa takut

mendapat balasan dan ketidaknyamanan dari manajemen dan staf lainnya dan

memiliki akses atas setiap catatan atau dokumen yang diperlukan dalam

menjalankan tugasnya. Independensi juga mensyaratkan bahwa fungsi kepatuhan

diberikan sumber daya yang cukup untuk dapat menjalankan tugas secara efektif.

Anggaran dan skim kompensasi untuk staf kepatuhan harus konsisten dengan

tujuan fungsi kepatuhan sehingga tidak harus tergantung pada kinerja keuangan

berbagai lini bisnis lainnya.


Keenam, peranan fungsi kepatuhan adalah mengidentifikasi, menilai,dan

memonitor risiko kepatuhan yang dihadapi bank dan memberikan nasehat dan

laporan kepada manajemen senior dan pengurus mengenai risiko tersebut.

Ketujuh, pimpinan fungsi kepatuhan bertanggung jawab atas efektifitas

kepatuhan.

Kedelapan, staf yang menjalankan tanggung jawab kepatuhan harus

memiliki kualifikasi, pengalaman dan profesionalisme serta kualitas pribadi agar

dapat melaksanakan tugas secara efektif.

Kesembilan, fungsi kepatuhan pada bank yang memiliki kegiatan usaha

diluar negeri harus disusun dengan baik dan cermat agar masalah-masalah

kepatuhan tersusun dalam kerangka kebijakan kepatuhan secara menyeluruh.

Kesepuluh, cakupan dan luasnya kegiatan fungsi kepatuhan harus dikaji


ulang secara berkala oleh internal audit.

Tugas dan wewenang Direktur Kepatuhan(compliance director) adalah

memantau pelaksanaan kepatuhan bank terhadap ketentuan-ketentuan yang

dikeluarkan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang berlaku

antara lain;
Termasuk tugas Direktur Kepatuhan adalah pelaksanaan:
- Prinsip pengelolaan Bank yang sehat (good corporate governance - GCG)

bagi bank umum yang diatur PBI Nomor: 8/4/PBI/2006 Tentang

Pelaksanaan

Good Corporate Governance bagi Bank Umum telah diubah dengan PBI

Nomor:

8/14/PBI/2006 antara lain:

a) Prinsip Mengenal Nasabah (customer due diligence-CDD).

Yang diatur dalam PBI Nomor: 3/10/PBI/2001 sebagaimana telah diubah

dengan

PBI Nomor 14/27/PBI/2012 tentang Penerapan Anti Pencucian

Uang dan

Pencegahan Terorisme bagi Bank Umum

b) Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (capital adequacy ratio). Yang

diatur

dalam PBI Nomor: 14/18/PBI/2012

c) Batas Maksimum Pemberian Kredit (legal lending limit – l 3). Yang diatur

dalam

PBI Nomor: 7/3/PBI/2005

d) Kualitas Aktiva Produktif

yang diatur dalam PBI Nomor: 14 / 15/ PBI/2012.


A. Penerapan Manajemen Risiko

Dengan semakin kompleksnya produk dan aktifitas Bank, maka risiko yang

dihadapi Bank akan semakin meningkat, peningkatan risiko yang dihadapi Bank

perlu diimbangi dengan kualitas penerapan manajemen risiko yang memadai.

Transparansi salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam pengendalian risiko

yang dihadapi Bank. Peningkatan kualitas penerapan manajemen risiko akan

mendukung efektivitas kerangka pengawasan bank berbasis risiko. Bank wajib

menerapkan Manajemen Risiko secara aktif, baik secara individual maupun untuk

Bank secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak. 137

Penerapan Manajemen Risiko paling kurang mencakup: 138

a. pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi;

b. kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit manajemen risiko;

c. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian

Risiko; dan

d. sistem pengendalian intern yang menyeluruh.

Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis untuk mengelola

risiko yang melekat pada produk atau aktifitas baru Bank. Kebijakan dan prosedur

paling kurang mencakup: 139

137
Pasal 2 PBI Nomor: 11/25/PBI/2009 tentang Penerapan Manajemen Risiko
138
Ibid
139
Pasal 20 PBI No.11/25/PBI/2009 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank
Umum
a. sistem dan prosedur (standard operating prosedures) dan kewenangan

dalam pengelolaan produk atau aktifitas baru.

b. identifikasi seluruh Risiko yang melekat pada produk atau aktifitas baru

baik yang terkait dengan Bank maupun nasabah.

c. masa uji coba metode pengukuran dan pemantauan Risiko terhadap produk

atau aktifitas baru.

d. sistem informasi akuntansi untuk produk atau aktifitas baru

e. analisa aspek hukum untuk produk atau aktifitas baru, dan

f. trasparansi informasi kepada nasabah.

Kebijakan Manajemen Risiko, mencakup Prosedur dan penetapan Limit

Risiko disesuaikan dengan tingkat Risiko yang diambil (risk appetite) terhadap

Risiko Bank. Prosedur dan Penetapan limit risiko sekurang-kurangnya memuat: 140

1. akuntabilitas dan jenjang delegasi wewenang yang jelas

2. pelaksanaan kaji ulang terhadap prosedur dan penetapan limit secara

berkala

3. dokumentasi prosedur dan penetapan limit secara memadai.

Penetapan limit Risiko mencakup: 141

1. limit secara keseluruhan;

2. limit per jenis Risiko; dan

3. limit per aktivitas fungsional tertentu yang memiliki eksposur Risiko.

140
Pasal 9 PBI No.5/8/PBI/2003 diubah dengan PBI N.11/25/PBI/2009
141
Pasal 9
Untuk mencegah terjadinya kerugian, bank harus melakukan Proses

Identifikasi, Pengukuran, Pemantauan dan Pengendalian Risiko sebagai berikut: 142

1) pelaksanaan proses identifikasi Risiko sekurang-kurangnya dilakukan

dengan analisis terhadap:

a. karakteristik Risiko yang melekat pada Bank; dan

b. Risiko dari produk dan kegiatan usaha Bank

2) dalam rangka melaksanakan pengukuran Risiko, Bank wajib sekurang-

kurangnya melakukan:

a. evaluasi secara berkala terhadap kesesuaian asumsi, sumber data

dan prosedur yang digunakan untuk mengukur Risiko;

b. penyempurnaan terhadap sistem pengukuran Risiko apabila

terhadap perubahan kegiatan usaha Bank, produk, transaksi dan

faktor Risiko, yang bersifat material.

3) Dalam rangka melaksanakan pemantauan Risiko, Bank wajib sekurang-

kurangnya melakukan:

a. evaluasi terhadap eksposur Risiko;

b. penyempurnaan proses pelaporan apabila terhadap perubahan

kegiatan Bank, produk, transaksi, faktor Risiko, teknologi informasi

dan sistem informasi Manajemen Risiko yang bersifat material.

142
Pasal 11 PBI Nomor. 5/8/PBI/2003 tentang Manajemen Risiko diubah PBI
NO.11/25/PBI/2009
4) Pelaksanaan proses pengendalian Risiko wajib digunakan Bank untuk

mengelola Risiko tertentu yang dapat membahayakan kelangsungan usaha

Bank.

5) Dalam melaksanakan fungsi pengendalian Risiko suku bunga, Risiko nilai

tukar, dan Risiko likuiditas sebagaimana dimaksud dalam 4 huruf ayat (1)

huruf b dan huruf c Bank sekurang-kurangnya menerapkan assets and

liabilities management (ALMA). 143

Pelaksanaan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan

pengendalian Risiko terhadap seluruh faktor-faktor Risiko (risk factors) yang

bersifat material wajib didukung oleh: 144

a. sistem informasi manajemen yang tepat waktu; dan

b. laporan yang akurat dan informatif mengenai kondisi keuangan Bank,

kinerja aktivitas fungsional dan eksposur Risiko Bank

Untuk menghindari risiko diperlukan Sistem Manajemen Risiko,

sekurang–

kurangnya mencakup laporan atau informasi mengenai: 145

a. eksposur Risiko;

b. kepatuhan terhadap kebijakan dan prosedur serta penetapan limit

143
Pengelolaan ALMA (Asset and Liability Management) adalah salah satu proses
penerapan manajemen risiko pada Bank Umum. Bank menerapkan ALMA untuk melaksanakan
fungsi pengendalian risiko suku bunga, risiko nilai tukar dan risiko likuiditas.
144
Pasal 10
145
Pasal 12
c. realisasi pelaksanaan Manajemen Risiko dibandingkan dengan target yang

ditetapkan.

Laporan atau informasi yang dihasilkan dari sistem informasi Manajemen

Risiko, wajib disampaikan secara rutin kepada Direksi.

Bank wajib melaksanakan sistem pengendalian intern secara efektif

terhadap pelaksanaan kegiatan usaha dan operasional pada seluruh jenjang

organisasi Bank. Adapun pelaksanaan sistem pengendalian intern adalah: 146

1. Sekurang-kurangnya mampu secara tepat waktu mendeteksi kelemahan dan

penyimpangan yang terjadi.

2. Sistem pengendalian intern tersebut wajib memastikan:

a. kepatuhan terhadap peraturan dan perundang-undangan yang

berlaku serta kebijakan atau ketentuan intern Bank;

b. tersedianya informasi keuangan dan manajemen yang lengkap,

akurat, tepat guna dan tepat waktu;

c. efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan operasional; dan

d. efektivitas budaya Risiko (risk culture) pada organisasi Bank secara

menyeluruh.

Sistem pengendalian intern dalam penerapan Manajemen Risiko sekurang-

kurangnya mencakup: 147

146
Pasal 14
147
Pasal 15
a. kesesuaian sistem pengendalian intern dengan jenis dan tingkat Risiko

yang melekat pada kegiatan usaha Bank;

b. penetapan wewenang dan tanggung jawab untuk pemantauan kepatuhan

kebijakan, prosedur dan limit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan

Pasal 9;

c. penetapan jalur pelaporan dan pemisahan fungsi yang jelas dari satuan

kerja operasional kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi

pengendalian;

d. struktur organisasi yang menggambarkan secara jelas kegiatan usaha Bank;

e. pelaporan keuangan dan kegiatan operasional yang akurat dan tepat waktu;

f. kecukupan prosedur untuk memastikan kepatuhan Bank terhadap ketentuan

dan perundang-undangan yang berlaku;

g. kaji ulang yang efektif, independen dan objektif terhadap prosedur

penilaian kegiatan operasional Bank;

h. pengujian dan kaji ulang yang memadai terhadap sistem informasi

manajemen;

i. dokumentasi secara lengkap dan memadai terhadap prosedur operasional,

cakupan dan temuan audit, serta tanggapan pengurus Bank berdasarkan

hasil audit;

j. verifikasi dan kaji ulang secara berkala dan berkesinambungan terhadap

penanganan kelemahan-kelemahan Bank yang bersifat material dan


tindakan pengurus Bank untuk memperbaiki penyimpangan-penyimpangan

yang terjadi.

Penilaian terhadap sistem pengendalian intern dalam penerapan

Manajemen Risiko wajib dilakukan oleh satuan kerja audit intern (SKAI). Dalam

rangka pelaksanaan proses dan sistem Manajemen Risiko yang efektif, Bank wajib

membentuk: 148

a. komite Manajemen Risiko; dan

b. komite kerja Manajemen Risiko.

Komite Manajemen Risiko sekurang-kurangnya:

a. mayoritas Direksi; dan

b. pejabat eksekutif terkait.

Wewenang dan tanggung jawab komite Manajemen Risiko adalah memberikan

rekomendasi kepada Direktur Utama, sekurang-kurangnya meliputi: 149

a. penyusunan kebijakan, strategi dan pedoman penerapan Manajemen

Risiko;

b. perbaikan atau penyempurnaan pelaksanaan Manajemen Risiko

berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan dimaksud;

c. penetapan (justification) hal-hal yang terkait dengan keputusan bisnis yang

menyimpang dari prosedur normal (irregularities)

148
Pasal 16
149
Pasal 17 PBI No.5/8/2003 diubah PBI No.11/25/2009
Satuan Kerja Manajemen Risiko mencakup:

1. struktur organisasi satuan kerja Manajemen Risiko Bank disesuaikan

dengan ukuran dan kompleksitas usaha Bank serta Risiko yang melekat

pada Bank.

2. Satuan kerja Manajemen Risiko harus independen terhadap satuan kerja

operasional (risk-taking unit) dan terhadap satuan kerja yang melaksanakan

fungsi pengendalian intern.

3. Satuan kerja Manajemen Risiko bertanggung jawab langsung kepada

Direktur Utama atau Direktur yang ditugaskan secara khusus.

4. Wewenang dan tanggung jawab satuan kerja Manajemen Risiko

meliputi: 150

a. pemantauan pelaksanaan strategi Manajemen Risiko yang telah

disetujui oleh Direksi;

b. pemantauan posisi Risiko secara keseluruhan (composite), per jenis

Risiko dan per jenis aktivitas fungsional serta melakukan stress

testing;

c. kaji ulang secara berkala terhadap proses Manajemen Risiko;

d. pengkajian usulan aktivitas dan atau produk baru;

e. evaluasi terhadap akurasi model dan validitas data yang digunakan

untuk mengukur Risiko, bagi Bank yang menggunakan model

untuk keperluan intern (internal model);

150
Pasal 18
f. memberikan rekomendasi kepada satuan kerja opersional (risk

taking unit) dan atau kepada komite Manajemen Risiko, sesuai

kewenangan yang dimiliki;

g. menyusun dan menyampaikan laporan profil/komposisi Risiko

kepada direktur utama atau direktur yang ditugaskan secara khusus

dan komite Manajemen Risiko secara berkala.

Satuan kerja operasional (risk taking unit) wajib menginformasikan

eksposur risiko yang melekat pada satuan kerja yang bersangkutan kepada satuan

kerja Manajemen Risiko secara berkala.

B. Prinsip Mengenal Nasabah (Customer Due Diligence-CDD)

Latar belakang di diluncurkan Prinsip Mengenal Nasabah (CDD,

sebelumnya disebut know your customer principles atau KYC) bahwa dalam

menjalankan kegiatan usaha, bank menghadapi berbagai risiko usaha:

a) untuk mengurangi risiko usaha, bank wajib menerapkan prinsip

kehati-hatian

b) upaya melaksanakan prinsip kehati-hatian adalah penerapan prinsip

kehati-hatian 151

Dengan semakin berkembangnya kegiatan usaha perbankan, bank

dihadapkan kepada berbagai risiko operasional, risiko hukum, risiko

151
PBI Nomor 3/10/PBI 2001 KYC
terkonsentrasinya transaksi, dan risiko reputasi. Ketidakcukupan penerapan Prinsip

mengenal nasabah dapat mengakibatkan kerugian keuangan yang signifikan bagi

bank baik dari sisi aktiva maupun pasiva bank.

Mengingat hal tersebut dan dengan memperhatikan rekomendasi

dari Basel On Banking Suvervision dalam Core Principles for Effective Banking

Supervision bahwa penerapan Prinsip mengenal nasabah merupakan faktor yang

penting dalam melindungi kesehatan bank, maka perlu menerapkan secara lebih

efektif. 152

Disamping itu, sebagaimana dikemukakan oleh The Finalcial Action Task

Force on Money Laundering, Prinsip Mengenal Nasabah merupakan upaya untuk

mencegah industri perbankan digunakan sebagai sarana atau sasaran kejahatan, 153

152
Masyud Ali, Opcit. hal.99
153
Bambang Purnomo, menjelaskan money laundering adalah perbuatan menempatkan,
mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan,
membawa keluar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk
menyembunyikan, atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta
kekayaan yang sah sesuai pasal 3 Undang-Undang No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dari definisi tersebut mengandung paling sedikit
lima unsur yaitu:
1) Seseorang atau organisasi yang melakukan perbuatan,
2) Uang haram berasal dari tindak pidana,
3) Dengan maksud untuk menyembunyikan uang tersebut dari pemerintah atau otoritas
yang berwenang untuk menindak terhadap tindak pidana,
4) Dengan cara memasukkan uang ke dalam sistem keuangan suatu negara,
5) Kemudian uang tersebut dapat dikeluarkan dari sistem keuangan yang dimaksud
menjadi uang sah.
Sejarah money laundering ada hubungannya dengan nama Al Capone, tokoh kejahatan
bersindikat dan lalu lintas perdagangan illegal drug trafficking, dan berkembang money laundering
juga berasal dari uang kejahatan lainnya ”financial crime”. Dalam istilah ”Dirty Money” disebutkan
bahwa telah beredar 500 miliar dolar sampai 1 triliun dolar, bahkan ada yang menyebutkan lebih
dari 2,5-5 triliun dolar dari berbagai jenis kejahatan dirty money sudah memasuki sirkulasi di Bank
Amerika Serikat, dan sumber lain di Kanada setiap tahunnya sekitar 5-14 miliar dolar pencucian
uang ke dalam bank sampai tahun 1996. berbagai alasan dari kelompok negara anti money
laundering antara lain; 1) money laundering memungkinkan para pengedar narkoba dan para
pedagang yang melakukan kegiatan penyelundupan dapat memperlancar gerakan kejahatannya, 2)
money laundering mempunyai potensi untuk meningkatkan kejahatan korupsi karena peredaran
uang berjumlah banyak merangsang para koruptor, 3) money laundering mengurangi pendapatan
pajak negara karena peredaran uang tidak legal, 4) money laundering dapat menggerakkan tindak
pidana lain menurut cara-cara tersembunyi misalnya penipuan, pemalsuan, dan lain-lainnya yang
dapat membuat kesibukan berkepanjangan petugas penegakan hukum, 5) dapat mengakibatkan
biaya sosial yang tinggi, 6) membahayakan usaha-usaha privatisasi dari perusahaan negara, 7)
merongrong sektor swasta yang sah dan integritas pasar keuangan karena kegiatan bank-bank
dimasuki unsur-unsur kejahatan yang terselubung, dan 8) pada akhirnya menimbulkan
ketidakstabilan ekonomi negara dan atau ekonomi masyarakat.
Perbuatan kejahatan money laundering telah sedemikian tertutupnya tidak mudah diketahui
oleh pemerintah atau oleh masyarakat, institusi keuangan karena proses tiga tahap yaitu:
1) tahap ”placement” dari uang hasil kejahatan itu didepositokan atau masuk rekening bank,
kemudian ditarik keluar lagi dari bank dan seterusnya berganti dimasukkan ke bank lain
berikutnya maka uang tersebut sudah menjadi legal,
2) tahap ”layaring” dengan cara sesudah tahap placement uang bank tersebut dipindah lagi
dari bank satu ke bank yang lainnya pada negara yang menyelenggarakan rahasia
perbankan yang ketat atau dengan cara seolah-olah melakukan transaksi bisnis terpecah-
pecah supaya tidak mencurigakan petugas negara,
3) tahap ”integration” bahwa uang yang telah dicuci itu mondar-mandir di wilayah lembaga
keuangan resmi pada suatu saat yang tepat menjadi uang halal dan bahkan sudah dalam
dunia perpajakan, maka kembali dalam jalur sirkulasi uang yang bersih untuk
dipergunakan dalam investasi kegiatan real estate atau perusahaan lainnya.
(Bambang Purnomo, Money Laundering Persepsi Hukum Sosial-Ekonomi Beraspek Pidana, dalam
Satya Arinanto & Ninuk Triyanti, Memahami Hukum dari Konstruksi sampai Implementasi,
Jakarta: Rajawali Pers,2009.Hal.188-189).

Adrianus Meliala, menjelaskan bahwa dalam memenuhi kebutuhan dunia akan narkoba,
sindikat narkoba internasional memisahkan tempat-tempat untuk kultivasi dan produksi. Untuk itu,
mereka mencari tempat yang dikategorikan sebagai soft state, yakni negara-negara yang
pemerintahannya lemah, aparat penegak hukum dan birokrasinya mudah ditembus, serta
administrasi kependudukannya tidak rapi. Indonesia dapat termasuk dalam kategori ini. Kemudian
paparan Ronny Nitibaskara, bahwa di Indonesia telah hidup jaringan sindikat narkoba yang
sistematis, yang menyerupai organisasi kejahatan yang selama ini dikenal di berbagai negara,
seperti Mafia Sisilia, Triad China, Yakuza Jepang, atau Kartel-kartel di Kolombia. Organisasi
kejahatan itu juga dijalankan oleh warga negara Indonesia yang menjadi kepanjangan dan
binaannya, yang bermarkas besar di negara lain. Transnasionalisasi organisasi kejahatan itu
didukung oleh perdagangan bebas, sistem keuangan global, kemudahan transportasi, dan teknologi
komunikasi. Sehubungan dengan ini, Mardjono Reksodiputro mengetengahkan adanya “kejahatan
terorganisasi berdimensi global”, yang harus diwaspadai karena merupakan kelompok yang bisa
jadi menguasai kekuasaan ekonomi maupun politik pada masyarakat yang sedang dalam transisi
demokrasi. Mereka menginfiltrasi pemerintahan dan menyuap para pejabat, hakim, dan penegak
hukum lainnya, dan juga di Indonesia bisa mengobarkan konflik antar golongan, mempersenjatai
kelompok yang bertikai melalui penjualan senjata ilegal, mencari dana dengan menjual narkoba,
trafficking, korupsi(penyuapan pejabat publik), serta membantu melarikan aset korupsi ke luar
negeri (money laundering). Tindak pidana di bidang ekonomi yang bersifat global oleh karena itu
melingkupi antar negara/transnasional, dilakukan oleh organized crime group, dalam hal ini bisa
ditunjukkan seperti La Cosa Nostra sebagai kelompok organisasi kejahatan yang beroperasi di
Amerika Serikat, mereka mengekalkan dan terus menerus melakukan berbagai tindak kejahatan,
baik yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung oleh pelaku

kejahatan. 154

Money laundering 155 adalah metode untuk menyembunyikan,

memindahkan, dan menggunakan hasil dari suatu tindak pidana, merupakan

aktivitas tindak pidana.

Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak

pidana atau disebut Pridicate crimes, menurut pasal 2 Undang-Undang Nomor 8

Tahun2010 tentang Pencegahan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

adalah:

a. korupsi;

dan diorganisasi secara hierarchis. The Boryokudan merupakan organisasi kejahatan yang lahir dan
berkembang di Jepang, selanjutnya meluas sampai Amerika Serikat. Triads beroperasi di
Hongkong (pusat), Cina dan Taiwan. Italian Organized Crime Groups beroperasi di Italia dan
merambah ke seluruh Eropah. Kelompok ini bisa disebutkan The Sicilian Mafia or Sicilia seperti
Cosa Nostra, The Camorra, The Ndrangheta and the United Sacred Crown. South American Drug
Cartels seperti the Cali and Medillin drug cartels, banyak pengaruhnya dengan perluasan kegiatan
peredaran obat terlarang dan jaringan money laundering. Russian Organized Crime Groups
beroperasi di Rusia dan tersebar keluar. Amerika Serikat memiliki Undang-Undang yang disebut
United State Of Code(US Code), ada pengaturan disebut Racketeer Influenced and Corrupt
Organizaions (“RICO”) Act. Pengaturan ini ditujukan untuk memerangi organized crime dengan
tindakan baik secara hukum pidana maupun hukum perdata, agar dapat memecah kekuatan
organisasi kejahatan, seperti mafia, dari berbagai perusahaan yang sah maupun terlarang. Kejahatan
money laundering termasuk berkarakter kejahatan sosial-ekonomi itu memperoleh label
kriminalisasi perbankan dan di Indonesia diatur anti money laundering yaitu Undang-Undang
No.15 tahun 2002 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No.25 tahun 2003 dan diubah lagi
dengan UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang. dalam UU ini berlaku pembuktian terbalik (Pasal 78) dan pengadilan In Absentia (Pasal 79).
(Supanto, Perspektif Hukum Pidana Menghadapi Perkembangan Kejahatan Ekonomi Global,
dalam Satya ,Pers, 2009.Hal.201-203).
154
Ibid,
155
Istilah money laundering atau pencucian uang muncul sekitar 1930-an. Para mafia di
Amerika Serikat sudah biasa bergelut dengan bisnis haram seperti narkoba, judi, dan pelacuran.
Uang panas yang untuk diusut asal-usulnya. Untuk menyisiati penciuman polisi, para mafiosa ini
membeli perusahaan binatu atau laundry untuk menghapus jejak uang haram yang mengalir.
Karena dengan perusahaan binatu tersebut akan terlihat bahwa bisnis yang dilakukan adalah jasa
pencucian pakaian.(Irman Sjahputra, Teori dan Kasus Money Laundering (Pencucian Uang),
Jakarta: Harvarindo,Feb’2013).
b. penyuapan;

c. narkotika

d. psikotropika;

e. penyelundupan tenaga kerja;

f. penyelundupan migran;

g. di bidang perbankan;

h. di bidang pasar modal;

i. di bidang peransurian;

j. kepabeanan;

k. cukai;

l. perdagangan orang;

m. perdagangan senjata gelap;

n. terorisme;

o. penculikan;

p. pencurian;

q. penggelapan;

r. penipuan;

s. pemalsuan uang;

t. perjudian;

u. prostitusi;

v. di bidang perpajakan;

w. di bidang kehutanan;
x. di bidang lingkungan hidup;

y. di bidang kelautan dan perikanan; atau

z. tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun

atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

(NKRI) atau diluar wilayah NKRI dan tindak pidana tersebut juga

merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.

Selanjutnya dalam Undang-Undang ini juga diatur tentang pembawaan

uang tunai dan instrumen pembayaran lain ke dalam atau keluar daerah pabean

Indonesia untuk mencegah terjadinya money laundering. Bahwa setiap orang yang

membawa uang tunai dalam mata uang rupiah/atau mata uang asing, dan/atau

instrumen pembayaran lain dalam bentuk cek, cek perjalanan (travellers cheque),

surat sanggut bayar, atau bilyet giro (Bearer Negotiable Instruments) paling sedikit

Rp.100.000.000.00 (seratus juta rupiah) atau yang nilainya setara dengan itu

kedalam atau ke luar daerah pabean Indonesia wajib memberitahukannya kepada

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. 156

Bank juga harus memperhatikan dengan teliti dalam hal menetapkan

kebijakan untuk penerimaan Nasabah, Bank perlu menetapkan pula kebijakan

untuk menolak Nasabah yang dianggap tidak layak melakukan hubungan usaha

dengan Bank dan kreteria Nasabah biasa atau Nasabah yang berisiko tinggi.

Dalam menetapkan kebijakan ini faktor-faktor antara lain; 157

156
Pasal 34 UU No.8 Tahun 2010 tentang PPTPPU
157
Pasal 2 PBI Nomor: 3/10/PBI KYC
a) Kewarganegaraan;

b) Kegiatan usaha;

c) Jabatan; dan

d) Indikator faktor risiko lain

Pemantauan terhadap rekening dan transaksi nasabah merupakan bagian

penting dari pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah. Untuk dapat melakukan

pemantauan dan mengurangi risiko, Bank harus mengetahui kegiatan dan

karakteristik transaksi Nasabah.

Kebijakan dan prosedur manajemen risiko antara lain mencakup; 158

a) Pengawasan oleh manajemen;

b) Pendelegasian wewenang;

c) Pemisahan tugas secara jelas;

d) Pengawasan yang melakukan pemantauan secara reguler; dan

e) Program pelatihan karyawan yang berkelanjutan.

Direksi Bank harus memberikan komitmen yang sungguh-sungguh untuk

melaksanakan Prinsip Mengenal Nasabah secara efektif. Prinsip Mengenal

Nasabah mempunyai kaitan dalam upaya melindungi kelangsungan usaha Bank,

mengingat pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah: 159

158
Pasal 2 huruf c
159
Pasal 3 Ayat (3)
a) merupakan bagian dari manajemen risiko Bank sebagai dasar

untuk

mengindentifikasi, membatasi, dan mengendalikan eksposur

aktiva dan

pasiva Bank;

b) membantu menjaga reputasi Bank serta integritas dari sistem

perbankan dengan mengurangi kemungkinan Bank untuk dijadikan

sarana atau sasaran kejahatan keuangan (financial crimes)

Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah mencakup Nasabah Bank biasa

(face-to-face customer) maupun Nasabah Bank tanpa kehadiran fisik (non-face-to

face customer). Seperti Nasabah yang melakukan transaksi melalui telepon, surat-

menyurat, dan electronic banking.

Pertemuan Bank dengan Nasabah dapat dilakukan melalui petugas khusus

atau pihak lain yang mewakili Bank untuk meyakinkan Bank terhadap identitas

Nasabah. Sistem informasi yang dimiliki harus dapat memungkinkan Bank untuk

menelusuri setiap transaksi (individual transaction), apabila diperlukan, baik untuk

keperluan internal dan Bank Indonesia maupun dalam kaitannya dengan kasus

peradilan. Hal-hal yang termasuk dalam penelusuran transaksi antara lain

adalah; 160

1. penelusuran atas identitas Nasabah;

2. identitas mitra transaksi Nasabah;

160
Pasal 9 PBI Nomor 3/10/PBI/2001 KYC
3. instrumen transaksi;

4. tanggal transaksi;

5. jumlah dan denominasi transaksi;

6. sumber dana yang digunakan untuk transaksi

Termasuk dalam karakteristik Nasabah antara lain adalah karakteristik

transaksi dan sifat transaksi Nasabah yang bersangkutan serta sifat hubungan

Nasabah dengan Bank secara menyeluruh.

Peran pengawasan internal adalah untuk mengevaluasi dan memastikan

kepatuhan dan mengevaluasi kebijakan dan prosedur Prinsip Mengenal Nasabah

yang diterapkan. Fungsi pengawasan internal memberikan penilaian independen

atas pelaksanaan kebijakan dan prosedur Bank termasuk pemenuhan terhadap

ketentuan umum dan perundang-undangan yang berlaku. 161

Customer Due Diligence(CDD) 162 yang diatur dalam PBI Nomor

14/27/PBI/2012 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan

Pendanaan Terorisme bagi Bank Umum (APU dan PPT) 163 adalah yang

161
Masyud Ali, Op.Cit. hal. 46
162
Pasal 1 (7)PBI No.14/27/PBI/2012 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang
Dan Pencegaan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum (APU dan PPT).
163
Latar belakang PBI No.14/27/PBI/2012 tentang APU dan PPT:
Dengan adanya dinamika nasional, regional maupun global yang diiringi dengan perkembangan
produk, aktivitas dan teknologi informasi bank yang semakin kompleks, sehingga berpotensi akan
meningkatkan peluang bagi para pelaku kejahatan untuk menyalahgunakan fasilitas dan produk
perbankan sebagai sarana pencucian uang dan pendanaan terorisme, dengan modus operandi yang
lebih canggih.
Dalam rangka pencegahan pencucian uang dan pemberantasan terorisme tersebut,
koordinasi, kerjasama, dan perhatian dari berbagai pihak nasional dan internasional mutlak
diperlukan. Dalam hal ini industri perbankan nasional mempunyai peranan sangat penting untuk
membantu penegakan hukum dalam menjalankan program anti pencucian uang dan pencegahan
pendanaan terorisme. Selain itu dengan melaksanakan program anti pencucian uang dan
menggatikan KYC adalah kegiatan berupa indentifikasi, verifikasi, dan

pemantauan yang dilakukan Bank untuk memastikan bahwa transaksi tersebut

sesuai dengan profil Calon Nasabah. Program APU dan PPT merupakan bagian

penerapan manajemen risiko Bank secara keseluruhan. Penerapan APU dan PPT

paling kurang mencakup: 164

a. pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris

b. kebijakan dan prosedur

c. pengendalian intern

d. sistem informasi manajemen, dan

pencegahan pendanaan terorisme diharapkan perbankan dapat memitigasi berbagai risiko yang
mungkin timbul antara lain risiko hukum, risiko reputasi, risiko operasional, dan risiko konsentrasi.
Dalam menerapkan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme,
perbankan tetap berpedoman pada penerapan manajemen risiko yang terkait dengan program anti
pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme dan standar internasional yang dikeluarkan
oleh Financial Action Task Force On Money Laundering (FATF) yang menetapkan kebijakan dan
langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi sistem keuangan global dari pencucian uang
dan pendanaan terorisme, yang dikenal sebagai rekomendasi FATF. Rekomendasi tersebut juga
dijadikan acuan bagi masyarakat internasional untuk menilai kepatuhan suatu negara terhadap
pelaksanaan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme. Seiring dengan
perkembangan yang ada baik dalam lingkup nasional dan global, sampai dengan saat ini telah
dikeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan program anti pencucian
uang dan pencegahan pendanaan terorisme antara lain Undang-Undang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang Transfer Dana. Selain itu,
Rekomendasi FATF juga mengalami penyesuaian sehingga menjadi lebih komprehensif dalam
mendukung upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme.
Selanjutnya, Ketentuan Bank Indonesia tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan
Pencegahan Pendanaan Terorisme yang selama ini diterapkan, dinilai perlu disesuaikan dalam
rangka harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan standar internasional.
Penyesuaian pengaturan tersebut antara lain meliputi:
a. Pengaturan mengenai transfer dana (UU No.3 tahun 2011 tentang Transfer Dana).
b. Pengaturan mengenai area berisiko tinggi
c. Pengaturan Customer Due Diligence (CDD) sederhana khususnya dalam rangka mendukung
dengan
strategi nasional dan global keuangan inklusif (financial inclusion).
d. Pengaturan mengenai Cross Border Correspondent Banking.
Dengan penerapan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme yang
dilakukan perbankan secara lebih efektif, diharapkan bank dapat beroperasi secara sehat sehingga
pada akhirnya akan meningkatkan ketahanan dan stabilitas sistem keuangan.
164
Pasal 3 PBI No.14 tahun 2012 tentang APU & PPT
e. sumber daya manusia dan pelatihan

Untuk mencegah risiko terjadinya pencucian uang atau pendanaan terorisme

diperlukan verifikasi Dokumen mencakup: 165

1) Bank wajib meneliti kebenaran dokumen pendukung dan melakukan

verifikasi terhadap dokumen pendukung yang memuat informasi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Pasal 18 ayat (1) berdasarkan

dokumen dan/atau sumber informasi lainnya yang dapat dipercaya dan

independen serta memastikan bahwa data tersebut adalah data terkini.

2) Bank dapat melakukan wawancara dengan Calon Nasabah untuk meneliti

dan meyakini keabsahan dan kebenaran dokumen sebagaimana dimaksud

pada ayat (1).

3) Dalam hal terdapat keraguan, Bank wajib meminta kepada Calon Nasabah

untuk memberikan lebih dari satu dokumen identitas yang dikeluarkan oleh

pihak yang berwenang, untuk memastikan kebenaran identitas Calon

Nasabah.

4) Bank wajib menyelesaikan proses verifikasi identitas Calon Nasabah dan

Beneficial owner sebelum membina hubungan usaha dengan Calon

Nasabah atau sebelum melakukan transaksi dengan WIC.

5) Dalam kondisi tertentu Bank dapat melakukan hubungan usaha sebelum

proses verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) selesai.

165
Pasal 22 PBI No.14 tahun 2012 tentang APU & PPT
6) Proses verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib diselesaikan

paling lambat:

a. untuk nasabah perorangan, 14 (empat belas) hari kerja setelah

dilakukannya hubungan usaha.

b. untuk nasabah perusahaan, 90 (sembilan puluh) hari kerja setelah

dilakukannya hubungan usaha bagi Calon Nasabah.

POLITICALLY EXPOSED PERSON (PEP) DAN AREA BERISIKO 166

1) Bank wajib memastikan adanya Nasabah dan Beneficial Owner yang

memenuhi berisiko tinggi atau PEP.

2) Nasabah dan Beneficial Owner yang memenuhi kriteria berisiko tinggi atau

PEP dibuat dalam daftar tersendiri.

3) Dalam hal Nasabah atau Beneficial Owner tergolong berisiko tinggi atau

PEP, Bank wajib melakukan:

a. EDD secara berkala paling kurang berupa analisis terhadap

informasi mengenai Nasabah atau Beneficial Owner, sumber dana,

tujuan transaksi, hubungan usaha dengan pihak yang terkait; dan

b. pemantauan yang lebih ketat terhadap Nasabah atau Beneficial

Owner.

4) Kewajiban Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberlakukan pula

terhadap Nasabah atau WIC yang:

166
Pasal 26 PBI 14/27/PBI/2012 tentang APU dan PPT
a. menggunakan produk perbankan yang berisiko tinggi untuk

digunakan sebagai sarana pencucian uang atau pendanaan teroris;

b. melakukan transaksi dengan pihak yang berasal dari Negara

berisiko tinggi;

c. melakukan transaksi tidak sesuai dengan profil; atau

d. merupakan pihak yang terkait dengan PEP.

5) Dalam hal Bank akan melakukan hubungan usaha dengan Calon Nasabah

yang

tergolong PEP, Bank wajib menunjuk pejabat senior yang bertanggung

jawab atas

hubungan usaha dengan Calon Nasabah tersebut.

6) Pejabat senior sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berwenang untuk:

a. memberikan persetujuan atau penolakan terhadap Calon Nasabah

yang

tergolong PEP; dan

b. membuat keputusan untuk meneruskan atau menghentikan

hubungan usaha

dengan Nasabah atau Beneficial Owner yang tergolong PEP.

Terdapat penyesuaian sebutan atau terminologi dari sebelumnya

menggunakan terminologi “KYC” berubah menjadi terminologi “CDD/Customer

Due Diligence”. Berikut beberapa ketentuan yang dimaksud:


1. PBI No.14/27/PBI/2012 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang

dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum;

2. PBI No.14/3/PBI/2012 tentang Program Anti Pencucian Uang dan

Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Penyelenggara Jasa Sistem

Pembayaran Selain Bank;

3. Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Perkreditan Rakyat dan

Bank Pembiayaan Rakyat Syariah;

4. PBI No.12/3/PBI/2010 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang

dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Pada Pedagang Valuta Asing Bukan

Bank;

5. Surat Edaran Bank Indonesia No.11/31/DPNP tanggal 1 Juli 2009 tentang

Pedoman Standar Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan

Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Bank Umum;

6. Surat Edaran Bank Indonesia No.6/37/DPNP tanggal 10 September 2004

tentang Penilaian dan Pengenaan Sanksi atas Penerapan Prinsip Mengenal

Nasabah dan Kewajiban Lain Terkait dengan Undang-Undang tentang

Tindak Pidana Pencucian Uang.

C. Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK).

Mengingat perannya dalam perekonomian nasional yang cukup signifikan,

perbankan tetap perlu didorong untuk meningkatkan dukungannya terhadap

pertumbuhan ekonomi nasional melalui penyaluran dana kepada sektor riil.


Namun demikian, sangat disadari bahwa kegiatan penyaluran dana yang

dilakukan bank harus diimbangi dengan kemampuan bank untuk

mengindentifikasi, mengukur, mengawasi dan mengendalikan berbagai jenis risiko

yang dihadapi dalam kegiatan penyediaan dana, risiko konsentrasi memegang

peranan yang cukup penting dimana pengelolaan risiko konsentrasi dengan baik

dapat mengurangi potensi kegagalan usaha bank secara signifikan. 167

Membaiknya kualitas pengelolaan risiko perbankan secara umum antara

lain melalui kewajiban bank untuk menerapkan manajemen risiko dan

melaksanakan good corporate governance dalam kegiatan usahanya diiringi

dengan pertimbangan dan untuk meningkatkan fungsi intermidiasi perbankan

dalam perekonomian nasional. 168

Dalam melakukan seleksi dan penilaian kelayakan, bank harus memastikan

tersedianya informasi yang cukup antara lain mencakup data dan informasi antara

lain: 169

a. mengenai pemegang saham;

b. kepengurusan;

c. struktur kelompok usaha;

d. kondisi keuangan dari peminjam dan kelompok peminjam

Batas (limit) Penyediaan Dana ditetapkan paling tinggi sesuai batas yang diatur

dalam Peraturan Bank Indonesia ini.

167
Masyud Ali. Op.cit.hal. 60
168
Ibid
169
Pasal 2 Ayat (1) PBI Nomor: 8/13/PBI/2OO6 BMPK
Limit Penyediaan Dana ditetapkan berdasarkan analisis dampak

penyediaan dana terhadap struktur neraca dan profil risiko Bank. Analisis dampak

pada struktur neraca profil risiko Bank dilakukan dengan mempertimbangkan

besar, jenis, jangka waktu, dan diversifikasi portofolio Penyediaan Dana secara

keseluruhan sehingga dapat mencegah portofolio penyediaan dana terkonsentrasi

pada satu peminjam atau kelompok peminjam tertentu.

Seluruh portofolio Penyediaan Dana kepada Pihak terkait dengan Bank

ditetapkan paling tinggi 10% (sepuluh perseratus) dari modal Bank. 170

Sedang Penyediaan Dana kepada 1(satu) Peminjam yang bukan merupakan

Pihak Terkait ditetapkan paling tinggi 20% (dua puluh perseratus) dari modal

Bank.

Bank dilarang: 171

a. membuat suatu perikatan atau perjanjian atau menetapkan

persyaratan yang mewajibkan Bank untuk memberikan Penyediaan

Dana yang akan mengakibatkan terjadinya Pelanggaran BMPK; dan

b. memberikan Penyediaan Dana yang mengakibatkan Pelanggaran

BMPK

170
Pasal 4 PBI No. 7/3/PBI/2005 BMPK diubah dengan PBI No.8/13/2006
171
Pasal 3
Penyediaan Dana kepada 1(satu) kelompok Peminjam yang bukan

merupakan pihak terkait ditetapkan paling tinggi 25% (dua puluh perseratus) dari

Bank. 172

Untuk mencegah terjadinya kerugian Bank, maka dibuatlah larangan antara lain: 173

1. Bank dilarang memberikan Penyediaan Dana kepada Pihak Terkait

yang

bertentangan dengan prosedur umum Penyediaan Dana yang berlaku.

2. Bank dilarang memberikan Penyediaan Dana kepada Pihak

Terkait tanpa

persetujuan Dewan Komisaris Bank.

3. Bank dilarang membeli aktiva berkualitas rendah dari Pihak Terkait.

4. Apabila kualitas Penyediaan Dana kepada Pihak Terkait menurun

menjadi

kurang lancar, diragukan, atau macet, Bank wajib mengambil langkah-

langkah

penyelesaian untuk memperbaiki antara lain dengan cara:

a. pelunasan kredit selambat-lambatnya dalam jangka waktu 60

(enam

puluh) hari sejak turunnya kualitas Penyediaan Dana; dan atau

172
Pasal 11
173
Pasal 5
b. melakukan restrukturasi kredit sejak turunnya kualitas Penyediaan

Dana.

Selanjutnya untuk tidak terjadi pelampauan BMPK, maka PBI

mengatur

sebagai berikut:

Pihak terkait antara lain: 174

1. perseorangan atau perusahaan/badan yang merupakan pengendali

Bank

2. perusahaan/badan dimana Bank bertindak sebagai pengendali;

3. perseorangan atau perusahaan / badan lain yang bertindak

sebagai

Pengendali dari perusahaan sebagaimana dimaksud pada huruf b;

4. perusahaan dimana perseorangan dan atau perusahaan /

badan yang

bertindak Pengendali, Komisaris, Direksi, dan Pejabat Eksekutif

Bank;

5. pihak yang mempunyai hubungan keluarga sampai dengan derajat

kedua,

baik horisontal maupun vertikal. 175

174
PBI No.8/13/PBI/2006 BMPK
175
Yang dimaksud dengan hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua baik
horisontal maupun vertikal adalah pihak-pihak sebagai berikut;
1. orang tua kandung/tiri angkat;
2. saudara kandung/tiri/angkat;
PBI mengatur tentang penyediaan Dana oleh Bank dikategorikan sebagai

Pelaumpauan BMPK apabila disebabkan hal-hal sebagai berikut: 176

1. penurunan Modal;

2. perubahan nilai tukar;

3. perubahan nilai wajar;dan,

4. penggabungan usaha, perubahan struktur kepemilikan dan atau

perubahan

struktur kepengurusan yang menyebabkan perubahan Pihak

terkait dan /

atau kelompok Peminjam.

Perhitungan BMPK 177

a. Penyediaan Dana berupa Kredit ditetapkan sebagai Penyediaan Dana

kepada debitur

b. BMPK untuk Kredit dihitung berdasarkan baki debet.

3. anak kandung/tiri/angkat;
4. kakek atau nenek kandung/tiri/angkat;
5. cucu kandung/tiri/angkat;
6. saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua;
7. suami atau istri;
8. mertua atau besan;
9. suami atau istri dan anak kandung/tiri/angkat;
10.kakek atau nenek dari suami atau istri;
11.suami atau istri dari cucu kandung/tiri/angkat;
12.saudara kandung/tiri/angkat dari suami atau istri beserta suami atau istrinya
saudara yang
bersangkutan.
(penjelasan Pasal 8 ayat (1) PBI No.7/3/PBI/2005 BMPK diubah dengan PBI
No.8/13/2006).
176
Pasal 23
177
Pasal 13
c. debitur untuk pengambilalihan tagihan dalam rangka anjak piutang atau

pembelian kredit dengan persyaratan tanpa janji untuk membeli kembali

(without recourse) adalah pihak yang berkewajiban untuk melunasi

piutang.

d. Debitur untuk pengambilalihan dalam rangka anjak piutang atau pembelian

kredit dengan persyaratan janji untuk membeli kembali (with recourse)

adalah pihak yang menjual tagihan kredit.

e. Baki debet untuk pengambilalihan dalam anjak piutang atau pembelian

kredit dihitung berdasarkan harga beli.


BAB IV

PERANAN BANK INDONESIA TERKAIT TUGAS DIREKTUR


KEPATUHAN

(COMPLIANCE DIRECTOR)

A. Tugas Direktur Kepatuhan (Compliance Director) dalam Pengelolaan

Bank.

Pengaturan tugas Direktur Kepatuhan (Compliance Director) diatur dalam

PBI Nomor: 1/6/PBI/1999 sebagaimana telah diubah oleh PBI Nomor:

13/2/PBI/2011 tercantum dalam pasal (10). dalam ketentuan ini disebutkan tugas

direktur kepatuhan antara lain;

1. Tugas dan tanggung jawab Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan,

paling

kurang mencakup:

a. merumuskan strategi guna mendorong terciptanya Budaya Kepatuhan

Bank;

b. mengusulkan kebijakan kepatuhan atau prinsip-prinsip kepatuhan yang

akan ditetapkan oleh Direksi; 178

c. menetapkan sistem dan prosedur kepatuhan yang akan digunakan untuk

menyusun ketentuan dan pedoman internal Bank;


178
Penjelasan Pasal 10 huruf b PBI No.13/2/PBI/2011: yang dimaksud dengan ”kebijakan
kepatuhan” adalah prinsip-prinsip yang akan dipergunakan untuk menyusun sistem, prosedur, dan
pedoman internal dalam rangka harmonisasi antara kepentingan komersial Bank dengan ketaatan
peraturan yang berlaku.
d. memastikan bahwa seluruh kebijakan, ketentuan, sistem, dan prosedur,

serta kegiatan usaha yang dilakukan Bank telah sesuai dengan ketentuan

Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang berlaku,

termasuk prinsip Syariah bagi Bank Umum Syariah dan unit usaha syariah.

e. Menimalkan risiko kepatuhan

f. Melakukan tindakan pencegahan agar kebijakan dan/atau keputusan yang

diambil Direksi Bank atau pimpinan Kantor Cabang Bank Asing tidak

menyimpang dari ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang-

undangan yang berlaku;

g. Melakukan tugas-tugas lainnya yang terkait dengan Fungsi Kepatuhan.

2. Tugas dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

tidak

menghilangkan hak dan kewajiban Direktur yang membawahkan

Fungsi

Kepatuhan sebagai anggota Direksi Bank sebagaimana diatur dalam

Undang-

Undang tentang Perseroan Terbatas, apabila untuk perbuatan-perbuatan

tertentu

tersebut diperlukan keputusan dari seluruh anggota Direksi Bank.


Untuk mendukung tugas Direktur Kepatuhan ini, maka Peraturan Bank

Indonesia juga mengatur bahwa; 179

(2) Direksi wajib menumbuhkan dan mewujudkan terlaksananya Budaya

Kepatuhan pada semua tingkatan organisasi dan kegiatan usaha Bank.

(3) Direksi wajib memastikan terlaksananya Fungsi Kepatuhan Bank.

(4) Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan

Fungsi Kepatuhan.

Direktur Kepatuhan berfungsi antara lain;

a. mewujudkan terlaksananya Budaya Kepatuhan pada semua tingkatan

organisasi dan kegiatan usaha Bank;

b. mengelola Risiko Kepatuhan yang dihadapi oleh Bank;

c. memastikan agar kebijakan, sistem, dan prosedur serta kegiatan usaha yang

dilakukan oleh Bank telah sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia dan

peraturan Syariah; dan

d. memastikan kepatuhan Bank terhadap komitmen yang dibuat oleh Bank

kepada Bank Indonesia dan/atau otoritas pengawas lain yang berwenang.

Pengaturan Pengangkatan, Pemberhentian, dan/atau Pengunduran Diri Direktur

yang membawahkan Fungsi Kepatuhan adalah sebagai berikut: 180

179
Pasal (2) PBI Nomor: 13/2/PBI/2011 Pelaksanaan Fungsi Kepatuhan Bank Umum
180
Pasal (9) PBI Nomor: 13/2/PBI/2011 Pelaksanaan Fungsi Kepatuhan Bank Umum
1) Pengangkatan, pemberhentian, dan atau pengunduran diri Direktur

yang membawahkan Fungsi Kepatuhan mengacu pada ketentuan

mengenai pengangkatan, pemberhentian, dan /atau pengunduran

diri anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank

Indonesia yang mengatur mengenai Bank Umum dan Bank Umum

Syariah.

2) Dalam hal Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan tidak

dapat menjalankan tugas jabatannya selama lebih dari 7 (tujuh) hari

kerja berturut-turut maka pelaksanaan tugas yang bersangkutan

wajib digantikan sementara oleh Direktur lain sampai dengan

Direktur yang membawakan Fungsi Kepatuhan dapat menjalankan

tugas jabatannya kembali.

3) Dalam hal Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan

berhalangan tetap, mengundurkan diri, atau habis masa jabatannya,

maka Bank wajib segera mengangkat pengganti direktur yang

membawahkan Fungsi Kepatuhan.

4) Selama dalam proses penggantian Direktur yang membawahkan

Fungsi Kepatuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank

wajib menunjuk atau menugaskan salah satu Direktur lainnya untuk

sementara melaksanakan tugas Direktur yang membawahkan

Fungsi Kepatuhan.
5) Direktur yang melaksanakan tugas sementara sebagai Direktur yang

membawahkan Fungsi Kepatuhan, baik karena berhalangan

sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maupun

berhalangan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (4), harus

memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2)

dan ayat (3).

6) Dalam hal Direktur lain sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak

ada, maka jabatan Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan

dapat dirangkap sementara oleh Direktur lainnya yang

membawahkan fungsi-fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7

ayat (3).

7) Penggantian sementara jabatan Direktur yang membawahkan

Fungsi Kepatuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat

(4) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia.

Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan wajib memenuhi

persyaratan independensi. 181 Adanya persyaratan independensi, pelaksanaan fungsi

kepatuhan menjadi efektif.

181
Pasal 7 PBI No.13/2/PBI/2011 tentang Pelaksanaan Fungsi Kepatuhan Bank Umum
1. Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan wajib memenuhi persyaratan
independensi
2. Direktur Utama dan/atau Wakil Direktur Utama dilarang merangkap jabatan
sebagai Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan.
3. Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan dilarang membawahkan
fungsi-fungsi:
a. bisnis dan operasional;
b. manajemen risiko yang melakukan pengambilan keputusan pada
kegiatan usaha Bank;
Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan wajib menyampaikan

laporan kepada Bank Indonesia tentang pelaksanaan tugasnya diatur sebagai

berikut: 182

1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b, wajib

ditandatangani oleh Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan, dan

disampaikan kepada Bank Indonesia secara semesteran dan diterima Bank

Indonesia paling lambat 1 (satu) bulan setelah periode pelaporan berakhir

dengan tembusan kepada Dewan Komisaris dan Direktur Utama.

2) Laporan kepatuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pertama

kalinya disampaikan untuk periode pelaporan Juli sampai dengan

Desember 2011.

3) Bank dianggap terlambat menyampaikan laporan kepatuhan apabila

laporan diterima Bank Indonesia melampaui batas akhir waktu

c. treasury;
d. keuangan dan akuntansi;
e. logistik dan pengadaan barang jasa;
f. teknologi informasi; dan
g. audit internal

Penjelasan Pasal 7, yang dimaksud dengan ”persyaratan independensi” adalah tidak ada
hubungan keuangan,kepengurusan, kepemilikan saham, dan/atau hubungan keluarga sampai derajat
kedua dengan anggota Dewan Komisaris, Direksi, dan/atau pemegang saham pengendali atau
hubungan dengan Bank yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank
Umum.

Pasal 8, Calon Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan wajib memiliki


integritas dan pengetahuan yang memadai mengenai ketentuan Bank Indonesia dan peraturan
perundang- undangan yang berlaku.
182
Pasal 16 PBI No.13/2/PBI/2011
penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi belum

melampaui 1 (satu) bulan setelah batas akhir waktu penyampaian laporan.

4) Bank dianggap tidak menyampaikan laporan kepatuhan apabila laporan

tersebut belum diterima Bank Indonesia hingga akhir batas waktu

keterlambatan

5) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf c disampaikan

kepada Bank Indonesia paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diketahui

oleh Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan mengenai adanya

penyimpangan. 183

Bank wajib memiliki Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan dan

membentuk satuan kerja kepatuhan. Fungsi kepatuhan dilaksanakan oleh satuan

kerja kepatuhan. 184

Tugas dan Tanggung Jawab Satuan Kerja Kepatuhan 185

Dalam rangka melaksanakan Fungsi Kepatuhan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 3, tugas dan tanggung jawab satuan kerja kepatuhan paling kurang

mencakup:

183
Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7) dan pasal 16,
ditujukan kepada:
a. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Bank Indonesia, Jl. M.H.Thamrin No.2,
Jakarta
Pusat 10350, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor
Pusat Bank
Indonesia;
b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat diluar
wilayah
kerja Kantor Pusat Bank Indonesia.
184
Pasal 4 PBI No.13/2/PBI/2011 tentang Pelaksanaan Fungsi Kepatuhan Bank Umum
185
Pasal 15 PBI No.13/2/PBI/2011
a. membuat langkah-langkah dalam rangka mendukung terciptanya Budaya

Kepatuhan pada seluruh kegiatan usaha Bank pada setiap jenjang

organisasi;

b. melakukan identifikasi, pengukuran, monitoring, dan pengendalian

terhadap Risiko Kepatuhan dengan mengacu pada peraturan Bank

Indonesia mengenai Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum.

c. menilai dan mengevaluasi efektifitas, kecukupan, dan kesesuaian

kebijakan, ketentuan, sistem maupun prosedur yang dimiliki oleh Bank

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

d. melakukan review dan/atau merekomendasikan pengkinian dan

penyempurnaan kebijakan, ketentuan, sistem maupun prosedur yang

dimiliki oleh Bank agar sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia dan

peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk Prinsip Syariah

bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah;

e. melakukan upaya-upaya untuk memastikan bahwa kebijakan, ketentuan,

sistem dan prosedur, serta kegiatan usaha Bank telah sesuai dengan

ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang

berlaku; dan

f. melakukan tugas-tugas lainnya yang terkait dengan fungsi kepatuhan.


Satuan kerja kepatuhan harus independen. Pejabat dan staf satuan kerja

kepatuhan dilarang ditempatkan pada posisi menghadapi conflict of interest dalam

melaksanakan tanggung jawab Fungsi Kepatuhan. 186

B. Peranan Bank Indonesia

Bank Indonesia sebagai otoritas pengawasan bank mengeluarkan sejumlah

peraturan – peraturan dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia (PBI) untuk

memberikan arah dalam mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat dan

efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan. Atau dapat diartikan untuk

melindungi kepentingan deposan dan kreditur atau stakeholders yang berdampat

positif bagi perekonomian. Guna mencapai tugas tersebut diperlukan manajemen

yang kuat dengan persyaratan manajemen bank yang tidak ringan. Kriteria
187
kesehatan manajemen menurut sistem CAMEL, setidaknya ada delapan (8)

unsur yang harus dipenuhi, yaitu;

(1) integritas dan kompetensi di bidang perbankan;

(2) kepemimpinan dalam mengendalikan organisasi;

186
Pasal 12 PBI No.13/2/PBI/2011 tentang Pelaksanaan Fungsi Kepatuhan Bank Umum
Pasal 13, Kriteria kepala satuan kerja kepatuhan:
a. memenuhi persyaratan independensi;
b. menguasai ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
c. tidak melaksanakan tugas lainnya di luar Fungsi Kepatuhan; dan
d. memiliki komitmen yang tinggi untuk melaksanakan dan
mengembangkan Budaya Kepatuhan (compliance culture).
Pasal 14, Pengangkatan, pemberhentian, atau penggantian kepala satuan kerja
kepatuhan wajib
dilaporkan kepada Bank Indonesia.
187
Permadi Gandapradja, Ibid, hal. 120 - 121
(3) kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku dan prinsip-prinsip

manajemen

yang sehat;

(4) kemampuan merencanakan;

(5) kemampuan untuk menyikapi perubahan lingkungan bisnis;

(6) kemampuan untuk menghasilkan kebijakan yang berkualitas dan

kemampuan

untuk mengawasi konsistensi pelaksanaannya;

(7) tim manajemen yang berkualitas dan didukung oleh

kaderisasi; dan

(8) kemampuan untuk mencegah risiko dan transaksi orang dalam

(insider

trading).

Atau dengan kata lain, sanggup menerapkan prinsip-prinsip 188 duty of

care dan duty of loyality. Duty of care maksudnya adalah sikap untuk melakukan

tugas dengan tekun, cermat, jujur, dan patuh pada prinsip maupun peraturan bagi

kepentingan bank. Duty of loyality adalah sikap untuk menghindarkan

pertentangan kepentingan pribadi. manajemen juga harus siap memikul

tangungjawab atas hasil akhir (accountability), baik sukses maupun gagalnya

usaha bank. Selanjutnya dalam merespons perubahan lingkungan, organisasi

dalam menerapkan manajemen modern perlu melakukan berbagai strategi

188
Ibid
penyesuaian antara lain melakukan perubahan yang berdimensi restrukturisasi,

revitalisasi, refungsionalisasi. 189

Dalam melakukan tugas manajemen usaha, pimpinan dapat

mendelegasikan pelaksanaan tanggungjawab tugas-tugas tertentu kepada pejabat

atau pejabat eksekutif yang memenuhi syarat/dipercaya, namun akuntabilitasnya

tetap berada di pundak pimpinan (direksi).

Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 5/8/PBI/2003 190 tentang penerapan

manajemen bank berbasis risiko telah bergulir sejak 1 Januari 2004 sebagaimana

telah diubah dengan Nomor 11/25/PBI/2009. Selanjutnya, bank-bank umum wajib

menyampaikan laporan action plain kepada bank Indonesia selambat-lambatnya

tiga bulan setelah PBI tersebut diberlakukan.

Action plain memuat beberapa hal penting antara lain adanya pengawasan

aktif dewan komisaris dan direksi; tersedianya kebijakan, prosedur, penetapan

limit, kerangka proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian

risiko, rencana penerapan sistem informasi, manajemen risiko, serta sistem

pengendalian intern yang menyeluruh.

189
Sedarmayanti, Good Governance & Good Corporate Governance (Bandung: Mandar
Maju, 2012). Hal.35:
1. Restrukturisasi: tindakan untuk merubah struktur yang dipandang sudah tidak sesuai
dengan tuntutan zaman dan dianggap tidak efektif lagi dalam memajukan organisasi.
2. Revitalisasi: upaya untuk memberi tambahan energi atau daya kepada organisasi agar
dapat mengoptimalkan kinerja organisasi. Revitalisasi berkaitan dengan perumusan
kembali uraian tugas ,penambahan kewenangan kepada unit strategis, peningkatan alokasi
anggaran, penambahan/penggantian berbagai instrumen pendukung dalam menjalankan
tugas organisasi.
3. Refungsionalisasi: berkaitan dengan tindakan/upaya memfungsikan kembali sesuatu yang
sebelumnya tidak atau belum berfungsi, Refungsionalisasi lebih mengarah kepada
penajaman profesionalisme organisasi dalam mengemban misinya.
190
Masyhud Ali, Op.Cit. hal. 367
Untuk menerapkan manajemen risiko yang terintegrasi, bank harus

memiliki kebijakan, metodologi, dan dukungan infrastruktur yang memadai. Selain

tersedianya perangkat, berupa sistem informasi, manajemen risiko, sumber daya

manusia yang kompeten, untuk mengelola risiko.

Apabila tidak tersedia sumber daya manusia yang kompeten akan menjadi

penghambat bank untuk tinggal landas dalam penerapan manajemen risiko, oleh

karena itu bank mempersiapkan pendidikan yang berkesinambungan untuk

memahami seluk beluk manajemen risiko. Dengan demikian akan muncul profesi

baru yaitu risk manager. 191 Dengan diharuskannya bank melakukan manajemen

risiko pasar selain risiko kredit, diperlukan SDM yang mengerti seluk-beluk risiko

pasar. Hal yang juga perlu diperhatikan, sering bank-bank menggunakan jasa

konsultan untuk membantu penerapan manajemen risiko. Akibatnya setelah jasa

konsultan selesai, pegawai bank tidak menguasai sistem tersebut. Sebagus apapun

jasa konsultan yang diberikan jika bank tidak memiliki sumber daya yang

sanggup mengimplementasikannya, akan menjadi pemborosan.

Manajemen bank berbasis risiko ditujukan bagi segenap proses manajemen

risiko dan penggunaan model-model yang membuat bank mampu melakukan

penerapan kebijakan. Praktik-praktik berbasis risiko dibutuhkan teknik dan

perangkat manajemen untuk mengukur, memantau dan mengendalikan risiko.

Model dan proses tersebut harus terintegrasi dengan semua risiko yang harus

dihadapi bank.

191
Tedy Fardiansyah, Op.Cit. hal. 70-71
Oleh karena itu, dapat dimengerti bahwa manajemen risiko merupakan

suatu bidang yang sarat dengan dengan analisis terhadap risiko. Maka diperlukan

kemampuan dan kesabaran untuk mengerti. Seorang risk manager harus

memahami karakteristik produk bank, manajemen risiko sangat bergantung pada

ketersediaan data.

Oleh karena itu, seorang risk manager harus berusaha mengetahui

arsitektur alur informasi dari bank tempatnya bekerja, seorang risk manager harus

mampu mentransformasi data menjadi perkiraan kerugian, sekaligus mengolahnya,

yang berujung pada probabilitas terjadinya kerugian. risk manager harus berusaha

memastikan bahwa hasil estimasi yang diperolehnya tidak hanya diaplikasikan

dalam pengelolaan portofolio bank, tetapi juga dalam hal pemasaran produk,

perencanaan.

Tentu untuk menjadi seorang risk manager adalah seorang yang mampu

mengombinasikan pengetahuan perangkat untuk menganalisis risiko, pemahaman

pentingnya ketersediaan data, pengukuran yang akan terkait erat dengan

keputusan taktis dan bisnis bank. Hal penting lain yang perlu dipahami risk

manager, pemahaman mengenai regulasi nasional (lokal) maupun internasional

untuk memastikan pelaksanaan risk manajemen diperlukan sertifikasi. 192

Pembelajaran manajemen risiko ini harus dibuat berkesinambungan untuk

menghadapi perubahan-perubahan yang akan terjadi sangat cepat. Pengawasan

aktif dewan komisaris dan direksi, tersedianya kecukupan kebijakan, prosedur, dan

192
Ibid. hal. 76
penetapan limit, kerangka proses pengendalian risiko serta pengendalian intern

yang menyeluruh merupakan kunci dari terlaksananya sistem manjemen risiko

yang efektif.

C. Pelaksanaan Sertifikasi Manajemen Risiko

Peraturan Bank Indonesia No.7125/PBI/2005, mewajibkan pengurus dan

pejabat bank untuk mengikuti ujian sertifikasi. Ujian dilakukan oleh Badan

Sertifikasi Manajemen risiko (BSMR) dan Global Association of Risk Professional

(GARP), 193 setiap dua atau tiga bulan sekali dalam setahun. Program sertifikasi

yang terdiri atas lima tingkatan ini (berdasarkan jenjang jabatan, dan struktur

organisasi bank diharapkan dapat menghasilkan sumber daya manusia yang handal

dan memiliki kompetensi di bidang manajemen risiko serta standar profesi 194 dan

kode etik yang baik untuk meningkatkan kualitas manajemen risiko dan corporate

governance perbankan Indonesia.

Pengawasan prudential merupakan konsep dan teknik untuk

mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan bank. Pada umumnya negara–

negara termasuk Indonesia, penilaian kesehatan bank dilakukan dengan

pendekatan yang disebut CAMEL, 195 yaitu Capital, Asset, Management, Earning,

193
Ibid. hal. 207
194
Menurut A Sonny Keraf, profesi mengandalkan keahlian dan ketrampilan khusus
yang dimiliki sekelompok profesional, kualifikasi ini dimilikinya berkat pendidikan, pelatihan, dan
pengalaman yang diperolehnya selama bertahun-tahun. Etika Bisnis,Tuntutan dan relevansinya
(Yokyakarta: Kanisius, Cet. ke 14, 1998 ) hal 39
195
Permadi Gandapradja, Op.Cit. 34 – 35
dan Liquidity.dengan pendekatan ini penilaian dilakukan secara kualitatif dan

kuantitatif untuk memastikan apakah kualitas bank itu tergolong sehat.

Untuk memilihara kesehatan bank, direktur kepatuhan senantiasa

memonitoring untuk memastikan apakah bank melaksanakan prinsip kehati-hatan

(prudential) prinsip prudential, dimengerti oleh umum, cara bank dalam

menempatkan dananya kepada pihak lainnya baik berupa pinjaman (kredit)

maupun penempatan lainya pada sisi aset. Bank harus prudent, karena dana dari

pihak ketiga yaitu nasabah kreditur pada sisi passiva. Prudent dimaksudkan disini

adalah dengan menghitung risiko yang dihadapi karena bank berhubungan dengan

pihak lainnya, dimana karakter dan usahanya tergantung pada keadaan calon

nasabah tersebut.

Risiko berbeda-beda, bergantung pada lembaga atau individu dimana bank

itu menempatkan dananya. Penempatan dana pada bank sentral contohnya seperti

Sertifikat Bank Indonesia (SBI), risikonya dianggap kecil. Sebaliknya penempatan

Capital, untuk memastikan kecukupan modal dan cadangan, untuk memikul risiko yang mungkin
timbul. Modal merupakan benteng pertahanan bagi bank
Asset, untuk memastikan kualitas aset yang dimiliki bank dan nilai real dari aset tersebut.
Kemerosokan kualitas dan nilai aset merupakan sumber erosi terbesar bagi modal bank
Management, untuk memastikan kualitas dan tingkat kedalaman penerapan prinsip managemen
bank yang sehat, terutama yang terkait dengan manajemen risiko. Manajemen yang kompeten dan
memiliki integritas yang tinggi, merupakan ujung tombak atau pemeran terdepan dari
pertahanan atas risiko bank.
Earning, untuk memastikan efisiensi dan kualitas pendapatan bank secara benar dan akurat.
Kelemahan dari segi pendapatan real merupakan indikator terhadap potensi masalah bank.
Liquiditas, untuk memastikan dilaksanakannya manajemen aset dan kewajiban (liabilities) dalam
menentukan dan menyediakan likuiditas yang cukup serta mengurangi risiko suku bunga.
Kelemahan dari segi likuiditas merupakan indikator terhadap adanya ancaman bagi bank yang
paling cepat dapat diketahui. jika faktor fundamental seperti rendahnya kualitas aset, rendahnya
sumber pendapatan, persolannya menjadi serius
dana pada debitur dengan usaha dibidang industri misalnya maka risikonya cukup

besar karena bergantung pada pemasaran produk industri itu.

Oleh karena itu, bank yang prudent, 196 menghitung segala risiko itu dan

bilamana risiko itu harus dihadapi maka sudah diadakan pencadangan 197 terhadap

kerugian yang mungkin akan timbul. Pencadangan itu biasanya berasal dari modal

atau dari laba yang khusus ditahan untuk keperluan pencadangan atau dari

persediaan pinjaman yang belum dipakai atau dana pemilik bank.

Besarnya cadangan ini tentu bergantung pada jenis penempatan dana pada

sisi asetnya. Makin besar risikonya tentu saja makin besar cadangan yang harus

dihimpun. Risiko penempatan dana itu sendiri merupakan suatu fungsi dari

pendapatan bank yaitu berupa bunga, interest atau komisi, makin besar risiko

yang dihadapi, maka makin besar pula keuntungan yang akan didapat oleh bank.

Besarnya keuntungan ini juga merupakan fungsi dari cadangan risiko itu

karena makin besar risiko tentu makin besar cadangannya. Cadangan ini akan

sangat mengurangi keuntungan yang dapat dipakai sebagai basis perhitungan

pembayaran dividen kepada pemilik bank.

196
Ibid.hal.87
197
Zulkarnain Sitompul, Op.Cit.hal.98
Besarnya cadangan umum yang harus dibentuk adalah minimal 1% dari seluruh aktiva
produktif yang digolongkan lancar tidak termasuk Sertifikat Bank Indonesia dan Surat Utang
Pemerintah. Cadangan khusus yang harus dibentuk adalah minimal:
a. 5 % dari seluruh aktiva produktif yang digolongkan dalam perhatian khusus;
b. 15% dari aktiva produktif yang digolongkan kurang lancar setelah dikurangi dengan
nilai agunan;
c. 50 % dari aktiva produktif yang digolongkan diragukan setelah dikurangi dengan nilai
agunan
d. 100% dari aktiva produktif yang digolongkan macet setelah dikurangi dengan nilai
agunan.
Dengan demikian terjadi pula tarik ulur antara dividen dan cadangan. Pada

umumnya bank memupuk cadangan itu dengan perhitungan yang cermat sebab

tidak semua risiko itu akan menjadi kerugian. Suatu kenyataan bahwa masing-

masing bank menerapkan metode dan jumlah persentasi cadangan yang berbeda-

beda meskipun untuk jenis pinjaman yang sama.

Oleh karena itu Basle Committee, menentukan suatu standar minimum


198
yakni sebesar 8% ini untuk menjaga bahwa bank secara serius membukukan

cadangan secukupnya.

Untuk keperluan tercapai unsur prudential, maka basle committe

menyodorkan prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Peraturan perundang-undangan tentang kecukupan modal minimum.

Faktor kecukupan modal ini menurut Koch (1992 :401) 199 menjadi dilema

karena ada dua sudut pandang dan sudut kepentingan, bagi bank harus sedikit

mungkin tetapi bagi otoritas moneter harus setinggi mungkin. Persoalannya harus

berapa banyak modal bank itu mencukupi.

Tentu saja pendirian otoritas moneter yang harus berjalan. Otoritas

moneter suatu negara harus membuat peraturan-perundangan tentang kecukupan

modal minimum yang berlaku untuk semua bank dalam wilayah yurisdiksinya

yang merefleksikan risiko yang dihadapi bank, dan harus mendifinisikan

komponen modal, yang menyebabkan bank mampu untuk menyerap kerugian.

198
Masyhud Ali, Op.Cit. 125
199
Gunarto Suhardi, Op.Cit. hal. 29
Untuk bank devisa atau yang beroperasi secara internasional persyaratan

kecukupan modal itu tidak lebih rendah dari persyaratan Basle Capital Accord.

Dari ketentuan prinsip diatas kemudian diperjelas oleh Committee tentang

kewajiban bank:

a. bank sendiri menghitung dan menyediaan modal yang cukup itu secara

konsisten

sepanjang bank itu beroperasi

b. peraturan mendefinisikan komponen modal dan menjamin, bahwa

penekanannya

diberikan kepada elemen-elemen capital yang ada untuk menyerap kerugian.

c. otoritas moneter memiliki kekuasaan untuk menetapkan secara spesifik atas

batas

tertentu pada paparan risiko pasar termasuk bisnis penukaran valuta asing

mereka

d. rasio modal yang disyaratkan harus disediakan bank secara

individual

merefleksikan risiko yang mereka hadapi baik kredit maupun risiko pasar,

didalam

neraca maupun diluar neraca

e. oleh karena adanya risiko bank secara individual tersebut maka

ketentuan ratio
secara individual bank bisa lebih tinggi dari persyaratan basle Capital

Accord 200

f. Rasio kecukupan modal dihitung berdasarkan basis konsolidasi

(dihitung pusat,

cabang dan subsidiary)

g. laporan diberikan paling sedikit semi tahunan dan terbaik setiap kali

laporan

misalnya bulanan, triwulanan, semester

h. peraturan hukum memberikan kewenangan kepada penguasa moneter

untuk

menindak bank yang CAR-nya dibawah ketentuan.

2. Kebijaksanaan penempatan dana

Bank harus mempunyai peraturan internal berupa kebijaksanaan pokok dan

prosedurnya dalam hal penempatan dana baik berupa fasilitas kredit maupun

investasi lainnya. Setiap saat bank harus dapat menunjukkan catatan bahwa

peraturan internal itu dilaksanakan secara sungguh-sungguh dan secara konsisten.

Ini berarti pula bahwa setiap saat bank dan para stafnya mampu menunjukkan

bahwa portofolio penempatan dana itu dilaksanakan secara prudent.

3. Evaluasi aset

Bank setiap saat harus dapat menunjukkan kepada para pemeriksa bahwa

bank telah melakukan evaluasi aset dan telah menyediakan provisi atau cadangan

200
Ibid. hal. 31
bagi kerugian yang mungkin akan dialami dalam hal evaluasi fasilitas yang

sedang berjalan ini maka bank harus mempunyai kerangka kerja dan peraturan

intern dalam evaluasi itu antara lain:

a. kerangka kerja untuk menetapkan kembali klasifikasi fasilitas atau

invesment

lainnya

b. kerangka kerja untuk mengevaluasi laporan-laporan dan catatan

administrasi

lainnya mengenai fasilitas yang diberikan.

c. kerangka kerja untuk menetapkan bahwa berbagai fasilitas itu diberikan

secara

bebas dan diberikan dengan pertimbangan bisnis semata.

d. kerangka kerja untuk mengorganisasi pelaksanaan pengawasan internal

kepada

para nasabahnya dan melakukan tinjauan langsung ketempat usaha nasabah

e. kerangka kerja untuk terus melakukan evaluasi terhadap barang

jaminan yang

diberikan oleh para nasabah. Penilaian colateral diperlukan untuk

mencerminkan

nilai bersih yang realistis.

4. Batas pemberian kredit


Pemberian fasilitas kredit dan fasilitas lainnya secara bertumpuk-tumpuk

kepada satu atau dua nasabah harus dikendalikan dengan baik, harus ada

ketentuan 201 tentang jumlah maksimum yang dapat diberikan kepada satu atau dua

nasabah dalam persentase terhadap total kredit yang diberikan.

Batas maksimal ini juga diperlukan karena menurut Marcia Stigum

(1983:20) 202 ada korelasi positif pada pemberian kredit berarti menambah jumlah

uang yang beredar yang harus dikendalikan oleh bank sentral terkait dengan

kenaikan inflasi

5. Pinjaman kredit

bank harus berhati-hati dan membatasi diri pada peminjam terkait. Pihak terkait itu

adalah: perusahaan afiliasi, pemegang saham signifikan, anggota dewan komisaris,

senior manajemen, staf utama, dan anggota keluarga dekat, orang-orang yang

berhubungan dengan perusahaan afiliasi, dan perusahaan yang dikendalikan oleh

orang dalam atau pemegang saham yaitu: 203

a. Mereka yang dalam bank ikut memutuskan haruslah orang yang tidak

mempunyai

kaitan apapun dengan fasilitas kredit yang diberikan

b. Bank harus mempunyai catatan khusus terhadap pinjaman kepada orang

terkait

sehingga pengawas dengan mudah bisa memeriksa status kreditnya

201
Zulkarnain Sitompul, Ibid. hal.96 - 97
202
Gunarto Suhardi, Op.cit. hal. 32
203
Ibid. hal. 33
c. Harus ditetapkan batas maksimum pinjaman yang masih berjalan bagi pihak

terkait

D. Pemantauan Bank Indonesia terhadap Country Risk

Bank harus mempunyai kebijaksanaan dan prosedur yang mencukupi

untuk mengenali, memonitor, serta mengurus country risk dan transfer risk 204

dalam pemberian pinjaman dan investasi di luar negeri dan memuat cadangan

secukupnya untuk menutup risiko itu. Risiko transfer lebih diartikan sebagai

pengambilalihan oleh negara dimana investasi itu sedang berjalan. Risiko itu

biasanya ditetapkan dalam persentase sehingga bank dapat memakai persentase ini

sebagai pedoman dalam menghitung country risk ini.

Bank mempunyai sistem informasi, sistem manajemen risiko, dan sistem

pengendalian internal untuk mematuhi kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut, dan

memverifikasi bahwa semua batasan dipakai secara tepat. Bank harus mempunyai

dalam jajarannya pengurus intinya, para manajer dan senior manajer yang khusus

melakukan evaluasi berkelanjutan terhadap berbagai risiko yang dihadapi bank.

Termasuk dalam jajaran pengurus bank ini oversight manajer yakni

manajer yang khusus memonitor kepatuhan bank atau stafnya terhadap semua

kebijaksanaan dan semua peraturan yang ada. Proses manajemen risiko ditujukan

kepada risiko likuiditas, risiko tingkat bunga, dan risiko operasional lainnya,

termasuk cara pengendalian risiko yang tercakup dalam prinsip ini:

204
Ibid
Likuiditas, 205 yang mencakup antara lain; adanya manajemen sistem informasi

yang baik, pengendalian likuiditas terpusat, analisis persyaratan pendanaan

bersih,dibawah risiko alternatif, diversifikasi sumber pendanaan, pengujian

terhadap berbagai tekanan pasar, rencana kontigensi, manajemen likuiditas antara

mata uang lokal dan asing,risiko akan bunga, Bank mempunyai manajemen sistem

informasi yang baik dan mempunyai sistem pengujian penetrasi pasar yang

memadai.

Sedang risiko operasional, bank harus mempunyai audit internal, prosedur yang

memperhitungkan kemungkinan kecurangan, rencana resume bisnis yang layak,

prosedur untuk memodefikasi sistem utama, persiapan terhadap perubahan

lingkungan bisnis yang signifikan, status dalam bank yang menjamin bahwa senior

manajemen bereaksi dan bertindak atas rekomendasinya.

Dalam pengendalian internal dan audit, bank harus mempunyai lembaga

pengawas internal menyeluruh yang memadai sesuai dengan sifat dan skala bisnis

bank yang bersangkutanm seharusnya meliputi:

a. Pengaturan yang jelas untuk mendelegasikan otoritas dan tanggungjawab

b. Pemisahan fungsi yang berkaitan dengan kewenangan pengikatan bank,

pembayaran dan akuntansi atau pembukuan dalam aktiva dan

passivanya, rekonsiliasi dari proses-proses

c. audit kepatuhan yang mencukupi dan memenuhi syarat.

205
Sulad Sri Hardanto, Manajemen Risiko Bagi Bank Umum,(Jakarta: Efek Media
Konfutindo,Cet.ke 2, 2007),hal.51
Kemudian pengendalihan berkenaan dengan strutur organisasi yang

ditujukan untuk mengendalikan bank tersebut. Definisi tugas dan tanggung jawab

meliputi pendelegasian otoritas yang jelas misalnya persetujuan batas pinjaman

yang jelas, prosedur pengambilan keputusan, pemisahan fungsi kritis contohnya

awal hubungan bisnis, pembayaran, rekonsiliasi. Dalam hal manajemen risiko

yang perlu diperhatikan antara lain, akunting, audit, dan kepatuhan, kebijaksanaan

dan proses akunting, rekonsiliasi rekening, daftar pengendalian, informasi untuk

manajemen, pemeriksaan dan keseimbangan, pemisahan kewajiban, pengecekan

silang, pengendalian terhadap aset.

Syarat supaya audit dapat berfungsi dengan baik adalah: 206

a. memiliki akses bebas keseluruh lini bank divisi pendukung

b. memiliki kemandirian yang layak termasuk jalur pelaporan kepada dewan

direktur

c. memiliki akses penuh dengan seluruh anggota staf selain juga terhadap

catatan, file,

atau data bank dan afiliasinya yang relevan dengan kinerja tugasnya

d. menggunakan metodelogi yang mengidentifikasi risiko material bank

dan

mengalokasikan sumber dayanya nenurut risikonya.

206
Ibid. hal.3
Dari uraian diatas, cukup berat tugas pengurus bank terutama direksi atau

Board Of Director (BOD). Bisa saja direksi bank berlindung pada apa yang

dimaksud dengan doktrin Business Judgemen Rule, 207 apabila bank mengalami

kerugian besar dan berpotensi bank gagal operasi. Tetapi masyarakatlah yang

bereaksi dalam bentuk hilangnya kepercayaan terhadap bank yang bermasalah.

Kalau direksi ternyata salah mengelola usaha, maka yang bersangkutan masuk

daftar hitam otoritas moneter. Dengan demikian berakhirlah karirnya dalam dunia

perbankan, sebab akan terganjal pada saat fit and proper test sebagai persyaratan

untuk menjadi pengurus bank, walaupun sebelumnya calon direksi di bank

sebelumnya telah menjalankan perusahaan dengan etikad baik.

E. Pergantian Peran Bank Indonesia(BI) oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

Untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara

berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan didalam sektor jasa keuangan yang

terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu

mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan

mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka diperlukan jasa keuangan yang

memiliki fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan, pemeriksaan

207
Doktrin Business Judgement Rule ini dimaksudkan untuk melindungi direksi yang
beritikad baik dalam menjalankan tugasnya, namum hasilnya menjadi masalah atau terjadi
kerugian.tetapi direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya atas kerugian
tersebut.Doktrin ini dianut oleh UU No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dalam pasal 97
angka (5). Munir Fuady, Doktrim-Doktrin Modern dalam Corporate Law & eksistensinya dalam
Hukum Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 197.
dan penyidikan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara terpadu,

independen dan akuntabel.

Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga

yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai

fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan

penyidikan. 208

OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap: 209

a. kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan

b. kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal

c. kegiatan jasa keuangan di sektor Peransuransian, Dana Pensiun,

Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya.

Untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, OJK mempunyai wewenang: 210

a. pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi:

1. perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar,

rencana

Kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger,

konsolidasi

dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha, dan

208
Pasal 1 ayat ( 1) UU No.21 Tahun 2011 tentang OJK
209
Pasal 6 UU No.21 Tahun 2011 tentang OJK
2. kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk

hibridasi,

Dan aktivitas di bidang jasa

b. pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi:

1. likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal

minimum

Pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank

2. laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank

3. sistem informasi debitur

4. pengujian kredit (credit testing)

5. standar akuntansi bank

Ketentuan Peralihan peran Bank Indonesia oleh Otoritas Jasa Keuangan diatur

dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK

menyebutkan:

1) Sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan

dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal,

Peransurian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa

Keuangan lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas

Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK.


2) Sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas dan wewenang pengaturan

dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan beralih dari

Bank Indonesia ke OJK. 211

Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi: 212

1) manajemen risiko;

2) tata kelola bank;

3) prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan

4) pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan dan OJK

mempunyai wewenang melakukan pemeriksaan bank 213

Untuk melaksanakan tugas pengaturan, OJK mempunyai wewenang sebagai

berikut: 214

a. menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa

keuangan

b. menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;

c. menetapkan peraturan dan keputusan OJK;

d. menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan;

e. menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK;

f. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis

terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu;

211
Kompas, Rabu, 10 April 2013, Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad
menginformasikan, bahwa OJK efektif mengawasi Perbankan tahun 2014
212
Pasal 7 huruf c UU No.21 tahun 2011 tentang OJK
213
Pasal 7 huruf d UU N.21 tahun 2011 tentang OJK
214
Pasal 8 UU No.21 tahun 2011 tentang OJK
g. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter 215

pada Lembaga Jasa Keuangan;

h. menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola,

memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan

i. menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

Untuk melaksanakan tugas pengawasan, OJK mempunyai wewenang: 216

a. menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa

keuangan;

b. mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala

Eksekutif;

c. melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan

Konsumen, dan

tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau

penunjang

kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan

perundang-

215
Penjelasan pasal 8 Huruf g UU No.21 tahun 2011 tentang OJK: Pengelola statuter
adalah orang perseorangan atau badan hukum yang ditetapkan OJK untuk melaksanakan
kewenangan OJK. Pengelola statuter melaksanakan kewenangan perundang-undangan di sektor
jasa keuangan, mencegah dan mengurangi kerugian konsumen, masyarakat, dan sektor jasa
keuangan, dan/atau pemberantasan kejahatan keuangan yang dilakukan pihak tertentu di sektor
jasa keuangan. Langkah yang dilakukan pengelola statuter antara lain melalui penyelamatan
kelangsungan usaha Lembaga Jasa Keuangan tertentu, pengambilalihan seluruh wewenang dan
fungsi manajemen Lembaga Jasa Keuangan oleh pengelola statuter pembatalan atau pengakhiran
perjanjian, serta pengalihan portofolio kekayaan atau usaha dari Lembaga Jasa Keuangan.
216
Pasal 9 UU No.21 tahun 2011 tentang OJK
undangan di sektor jasa keuangan;

d. memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau

pihak tertentu;

e. melakukan penunjukan pengelola statuter;

f. menetapkan penggunaan pengelola statuter;

g. menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan

pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan disektor jasa

keuangan; dan

h. memberikan dan/atau mencabut:

1. izin usaha;

2. izin orang perseorangan;

3. efektifnya pernyataan pendaftaran;

4. surat tanda terdaftar;

5. persetujuan melakukan kegiatan usaha;

6. pengesahan;

7. persetujuan atau penetapan pembubaran; dan

8. penetapan lain.

Dalam melaksanakan fungsinya, OJK dipimpin oleh Dewan Komisioner, 217

dan bersifat kolektif dan kolegial. Anggota Dewan Komisioner dipilih oleh Dewan

217
Pasal 10 UU No.21 tahun 2011 tentang OJK
Struktur Dewan Komisioner:
1) OJK dipimpin oleh Dewan Komisioner.
2) Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat kolektif dan kolegial.
Perwakilan Rakyat (DPR) berdasarkan calon anggota yang diusulkan oleh

Presiden. 218

Anggota Dewan Komisioner diangkat untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat

diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. 219

Yang termasuk tugas penting OJK adalah Perlindungan Konsumen dan

Masyarakat, dimana OJK berwenang melakukan tindakan pencegahan kerugian

konsumen dan masyarakat, yang meliputi: 220

a. memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat atas

karakteristik sektor jasa keuangan, layanan, dan produknya;

b. meminta Lembaga Jasa Keuangan untuk menghentikan kegiatannya

apabila kegiatan tersebut berpotensi merugikan masyarakat; dan

3) Dewan Komisioner beranggotakan 9 (sembilan) orang anggota yang ditetapkan dengan


Keputusan Presiden.
4) Susunan Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas:
a. seorang Ketua merangkap anggota;
b. seorang Wakil Ketua sebagai Ketua Komite Etik merangkap anggota;
c. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap anggota;
d. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal merangkap anggota;
e. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Peransuransian, Dana Pensiun, Lembaga
Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya merangkap anggota;
f. seorang Ketua Dewan Audit merangkap anggota;
g. seorang anggota yang membidangi edukasi dan perlindungan Konsumen;
h. seorang anggota Ex-officio dari Bank Indonesia yang merupakan anggota Dewan
Gubernur Bank Indonesia; dan
i. seorang anggota Ex-officio dari Kementerian Keuangan yang merupakan pejabat
setingkat eselon I
Kementerian Keuangan.
5) Anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (4) memiliki hak suara
yang sama.
218
Pasal 11 Ayat (1) UU No.21 tahun 2011 tentang OJK
219
Pasal 14 Ayat (3)
220
Pasal 28
c. tindakan lain yang dianggap perlu sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

OJK memfasilitasi penyelesaian pengaduan konsumen yang dirugikan oleh

pelaku di Lembaga Jasa Keuangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan

di sektor jasa keuangan. Untuk perlindungan Konsumen dan masyarakat, OJK

berwenang melakukan pembelaan hukum, yang meliputi: 221

memerintahkan atau melakukan tindakan tertentu kepada Lembaga Jasa

Keuangan

untuk menyelesaikan pengaduan Konsumen yang dirugikan Lembaga Jasa

Keuangan dimaksud; mengajukan gugatan:

1. untuk memperoleh kembali harta kekayaan milik pihak yang

dirugikan

dari pihak yang menyebabkan kerugian, baik yang berada di

bawah

penguasaan pihak yang menyebabkan kerugian dimaksud

maupun di

di bawah penguasaan pihak lain dengan itikad tidak baik; dan

/ atau

221
Pasal 30 ayat (1)
2. untuk memperoleh ganti kerugian 222 dari pihak yang

menyebabkan

kerugian pada konsumen dan / atau Lembaga Jasa Keuangan

sebagai

akibat dari pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di

sektor

jasa keuangan.

Dalam melaksanakan tugasnya, OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia

dalam membuat peraturan pengawasan di bidang Perbankan antara lain: 223

a. kewajiban pemenuhan modal minimum bank;

b. sistem informasi perbankan yang terpadu;

c. kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta

asing, dan pinjaman komersial luar negeri;

d. produk perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha bank lainnya;

e. penentuan institusi bank yang masuk kategori systemically

important

bank; dan

f. data lain yang dikecualikan dari ketentuan tentang kerahasian

informasi.

222
Pasal 30 ayat (2): Ganti kerugian sebagaimana dimaksud hanya digunakan untuk
pembayaran ganti kerugian kepada pihak yang dirugikan.
223
Pasal 39
Dari uraian-uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa Pemerintah/DPR dan

Bank Indonesia telah menerbitkan atau memasang rambu-rambu cukup ampuh

untuk mencegah terjadinya pelanggaran peraturan perbankan.

Menurut Pakar Ilmu Hukum Pidana dari Universitas Indonesia Indriyanto

Seno Adji, tindak pidana ekonomi atau bisnis termasuk didalamnya perbankan

merupakan bagian yang disebut ”white collar crime”. Pelaku tindak pidana

tersebutnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 224

a. Skill atau keahlian/kemampuan dalam bidang tertentu.

b. Profesional atau sangat memahami dan bekerja dengan menggunakan

metode-metode tertentu yang teratur dan terukur dengan baik.

c. Respectability and High Social, pelakunya orang yang memiliki tempat

dalam masyarakat, kelas menengah, dihormati, bahkan terhormat.

d. Upper educational level, umumnya pelaku berpendidikan tinggi.

e. Non-violence & non-physical pressure, tidak menggunakan kekerasan

fisik.

f. violation of trust, umumnya pelaku menyalahgunakan kepercayaan yang

diberikan kepadanya.

Berdasarkan karakteristik pelaku ini, dapat dilihat bahwa hukum hanya

dapat mengurangi kemungkinan terjadinya tindak pidana bidang ekonomi

(perbankan).

224
OC.Kaligis, Antologi Tulisan Ilmu Hukum, (Jakarta:Alumni,2007),Cet.Ke I.Hal.182
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian pada bab terdahulu dan selanjutnya dapat

dirumuskan kesimpulan sebagai berikut:

1) Direktur Perseroan Teratas memiliki tugas sebagaimana disebutkan

dalam:

Pasal 92 Ayat(1) bahwa Direksi menjalankan pengurusan Perseroan

untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan

perseroan. Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat,

dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran

dasar. Pasal 97 Ayat(5) menyebutkan Anggota Direksi tidak

dipertanggungjawabkan atas kerugian, apabila dapat membuktikan yaitu

kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya, telah

melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk

kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan, tidak

mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak

atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian, dan

telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya

kerugian tersebut.
2) Direktur Kepatuhan sangat penting kedudukannya dalam pengelolaan

Bank. Hal ini dikarenakan beberapa alasan sebagai berikut:

mengidentifikasi, menilai, memberikan nasehat, memonitor, dan

melaporkan risiko kepatuhan bank yaitu risiko sanksi hukum, kerugian

keuangan atau kehilangan reputasi yang kemungkinan diderita bank akibat

kegagalan bank mematuhi hukum, kode etik, dan standar praktik perbankan

yang berlaku, Sesuai PBI No.1/6/PBI/1999 sebagaimana telah diubah

terakhir dengan PBI Nomor 13/2/PBI/2011 tentang Pelaksanaan Fungsi

Kepatuhan Bank Umum.

3) Peran Bank Indonesia terkait tugas direktur kepatuhan dalam pengelolaan

bank adalah: mengeluarkan sejumlah peraturan-peraturan dalam bentuk

Peraturan Bank Indonesia(PBI) untuk memberikan arah dalam mencapai

suatu sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien guna menciptakan

kestabilan sistem keuangan. Atau dapat diartikan untuk melindungi

kepentingan deposan dan kreditur atau stakeholders.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas, maka dapat dirumuskan saran-saran

sebagai berikut:

1) Agar dalam pengangkatan direksi perseroan, wajib memiliki integritas dan

pengetahuan yang memadai mengenai ketentuan Bank Indonesia dan

peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk dapat menjalankan

tugas sesuai maksud dan tujuan perseroan.


2) Agar peran Direktur Kepatuhan perlu dimaksimalkan karena tantangan

dan risiko usaha bank yang semakin besar, maka diperlukan berbagai

macam upaya untuk memitigasi risiko tersebut.

Agar peran Bank Indonesia benar-benar dijalankan, karena usaha perbankan

sangat pesat perkembangannya, sehingga persaingan sangat ketat. Risiko dapat

dihindarkan apabila pengawasan bank dapat berjalan dengan baik.


DAFTAR PUSTAKA

Ali, Masyhud. Manajemen Risiko. Sudrajad, Pardi (ed). Jakarta: Raja Grafindo

Persada. 2006

Atmasasmita, Romli. Globalisasi dan Kejahatan Bisnis.Jakarta: Kencana Prenada

Media.

2010

Ali, Achmad. Menguak Teori Hukum ( Legal Theory ) dan Teori

Peradilan

Judicialprudence). Jakarta: Kencana Predana Media Group. 2012

Dharmawan, Bagus. Esai-Esai Nobel Ekonomi. Jakarta: Penerbit Buku

Kompas. 2007

Dhakidae, Daniel. Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru.

Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama. 2003

Dua Mikhael, Frans Seda, Merawat Indonesia di saat Krisis. Jakarta: Obor. 2012

Emmerson, Donald K. Indonesia Beyond Soeharto, Negara, Ekonomi,

Masyarakat, Tran-

Sisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama & The Asia Foundation

Indonesia.

2001
Effendi, Fenty. Karni Ilyas, Lahir Untuk Berita. Jakarta: Penerbit Buku

Kompas.2012

Fuady, Munir. Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law Eksistensinya

Dalam

Dalam Hukum Indonesia. Bandung: Citra Aditya. 2002

Fardiansyah, Tedy & Supriyono, Edy (ed). Refleksi & Strategi Penerapan

Manajemen

Risiko Perbankan Indonesia. Jakarta: Elex Media Konpotindo. 2006

Ginting, Ramlan, Letter Of Credit. Tinjauan Aspek Hukum dan Bisnis.

Jakarta:

Salemba Empatya. 2002

Kasmir, Manajemen Perbankan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2008

Khairandy,Ridwan & Malik, Camelia. Good Corporate Governance,

Perkembangan

Pemikiran dan Implementasinya di Indonesia dalam Perspektif

Hukum.

Yogyakarta: Penerbit Kreasi Total Media. 2007

Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: Aditya Bakti. 2000

_______________ Penegakan Hukum Progresif. Jakarta: Penerbit Buku

Kompas. 2010

Rasidi, Lili. Hukum Sebagai Suatu Sistem. Bandung: Rosdakarya. 1993


Gandapradja, Permadi. Dasar dan Prinsip Pengawasan Bank. Jakarta: Gramedia

Pustaka

Utama.2004

Tunggal, Hadi Setia. Paket Kebijakan Perbankan. Jakarta: Harvarindo. 2006

_________________Corporate Culture. Jakarta: Harvarindo. 2007

Nasution, Bismar. Hukum Kegiatan Ekonomi. Jakarta: Book Terrace & Library.

Cet. ke

2. 2007

_________ Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi. Sekolah Pasca

Sarjana

Universitas Sumatera Utara. 2005

Nasution, Adnan Buyung. Nasehat Untuk SBY. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

2012

Neloe Edward Cornelis William. Pemberian Kredit Bank Menjadi Tindak

Pidana

Korupsi. Jakarta: Penerbit Verbum Publishing. 2012

Hartono, Sunaryati. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional.

Bandung:

Alumni.1991

Indra Surya & Yustiavandana, Ivan. Penerapan Coporate Good Governance,

Mengesam-
pingkan Hak-Hak Istimewa Demi Kelangsungan Usaha. Jakarta:

Kencana

Cet. ke 2, 2008

Keraf, A.Sonny. Etika Bisnis, Tuntutan dan Relevansinya. Yokyakarta: Kanisius.

Cet. Ke

14. 1998

Kusumaatmaja, Mochtar. Hubungan Antara Hukum Dengan Masyarakat,

Landasan

Pikiran, Pola dan Mekanisme Pelaksanaan Pembaruan Hukum.

Jakarta:

BPHN - LIPI.1996

_________ Hukum, Masyarakat dan Pemahaman Hukum Nasional. Bandung:

Bina. Cet.

ke 1. 1976

Kian, Kwik Gie. Gonjang Ganjing, Ekonomi Indonesia, Badai Belum Akan

Berlalu.

Jakarta: Penerbit Sekolah Tinggi Elmu Ekonomi IBBI.1999

Laksono,Ninok. Indonesia Abad XXI, Ditengah Kepungan Perubahan Global.

Jakarta:

Penerbit Buku Harian Kompas. Cet.Ke 1.2000

Mulya Lubis, Todung. Catatan Harian Todung Mulya Lubis. Buku 1. Penerbit

Erlangga.
2012

Mubarok, M.Mufti & Gayatri Sri, Century Bank. Surabaya: Penerbit PT.Java

Pustaka.

2010

Sitompul, Zulkarnain. Problematika Perbankan. Jakarta: Book Terrace & Library,

2005

Sumardjan, Selo. Social Change In Yokyakarta : Gajah Mada University Press.

1991

Suhardi, Gunarto. Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi. Yokyakarta:

Univer-

sitas Atma Jaya. 2002

_________ 25 Langkah Bijaksana Mengelola Bank.Yokyakarta: Universitas

Atma Jaya.

2007

Soekanto, Soeryono & Manji, Sri. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Raja

Grafindo

Persada. Cet. Ke IV. 1995

Sri Hardanto, Sulad, Manajemen RisikoBagi Bank Umum.Jakarta: Efek Media

Konfutin-

do, Cet.Ke II, 2007

Sularto, St. Syukur Tiada Akhir, Jejak Langkah Jacob Oetama. Jakarta:

Penerbit Buku
Kompas. 2012

Sedarmayanti. Good Governance & Good Corporate Governance. Bandung:

Penerbit:

Mandar Maju. Cet.2. 2012

Sitompul, Chudry. Skandal Bank Century, Lolosnya Pemegang Saham

Pengendali.

Penerbit: Pusat Pengkajian Hukum Acara dan Sistem Peradilan

Fakultas

Hukum Universitas Indonesia. 2012

Sadli, M. Bila Kapal Punya Dua Nakhoda, Esai-Esai Ekonomi Politik Masa

Transisi.

Jakarta. 2002

Supramono, Gatot. Perbankan dan Masalah Kredit, Suatu Tinjauan di Bidang

Yuridis.

Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. 2009

Sandriharmy, Kusumaningrat. Peranan Hukum dalam Penyelesaian Krisis

Perbankan

di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2009

Majalah / SK.Harian

Kompas, 12 Oktober 2004


Kompas, Kamis, 16 Oktober 2008

Kompas, Selasa, 25 Nopember 2008

Investor. Komspirasi di Bank Gobal Nomor 115 tahun VII. 11 – 24 Januari 2005

Bisnis Indonesia, Selasa 14 Oktober 2008

Anda mungkin juga menyukai