Anda di halaman 1dari 5

GAS RUMAH KACA TERHADAP KAPITA SELEKTA PRODUKSI

PERTANIAN

Kapita Selekta Produksi Pertanian

Disusun oleh:
Alissa Qatrunnada Munawarah 20170210075
Nur Rokhim 20170210076
Rifky Bhakti Insani 20170210083
Puji ‘Aisyah Nurrohmah 20170210089
Arya Eka Pranata 20170210110
Azmi Wizdan Fauzan 20170210113

AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
YOGYAKARTA
2020
Sistem pertanian organik adalah sistem pertanian dengan masukan eksternal rendah
(low external input), yaitu mengurangi penggunaan input eksternal seperti pupuk kimia dan
pestisida kimia tetapi menggantikannya dengan input internal tanpa bahan kimia tetapi
mengandalkan prinsip daur ulang hara secara hayati.
Gas Rumah Kaca merupakan gas-gas di atmosfer yang bertanggung jawab sebagai
penyebab pemanasan global dan perubahan iklim. Gas-gas rumah kaca yang utama adalah
karbondioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrogen oksida (N2O). Gas-gas rumah kaca yang
kurang umum, tetapi sangat kuat, adalah hydrofluorocarbons (HFCs), perfluorocarbons
(PFCts) dan sulphur hexafluoride (SF6). Keseimbangan tersebut dipengaruhi antara lain oleh
peningkatan gas-gas asam arang atau karbondioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrogen
oksida (N2O) yang lebih dikenal dengan Gas Rumah Kaca (GRK). Peningkatan konsentrasi
GRK di atmosfer sebagai akibat adanya pengelolaan lahan yang kurang tepat, antara lain
adanya pembakaran vegetasi hutan dalam skala luas pada waktu yang bersamaan dan adanya
pengeringan lahan gambut. Kegiatan-kegiatan tersebut umumnya dilakukan pada awal alih
guna lahan hutan menjadi lahan pertanian (Hairiah dan Rahayu 2007).
Menurut Panjaitan dkk (2015) dalam budidaya pertanian organik khususnya beras
pada era sekarang memiliki faktor penghambat berupa faktor lingkungan yang berupa
peningkatan pemanasan global akibat daripada efek gas rumah kaca. Hal ini didasarkan pada
hasil penelitian yang menunjukkan emisi metana (CH4) yang tinggi dari tanah sawah
beririgasi. Metana (CH4) merupakan salah satu gas rumah kaca utama yang dapat menyerap
radiasi infra merah sehingga berkontribusi terhadap pemanasan global (Hossain dkk., 2007).
Menurut penelitian Wihardjaka (2011), setiap peningkatan suhu 1 °C akan menurunkan hasil
padi 0,5 ton per hektar, karena peningkatan suhu akan menghambat fase pengisian bulir padi
dan menyebabkan penurunan hasil gabah.
Gas metana (CH4) adalah salah satu gas rumah kaca yang cukup berperan setelah
CO2. Peningkatan metana di atmosfer belakangan ini perlu diantisipasi mengingat daya
pemanasan global yang ditimbulkannya per satu molekul gas metana di troposfer 21 kali
lebih tinggi daripada daya pemanasan satu molekul CO2. Tanah sawah adalah salah satu
kontributor gas metana sekitar 10-15%. Metana diproduksi sebagai hasil akhir dari proses
dekomposisi mikrobial bahan organik secara anaerobik oleh bakteri metanogen. Emisi gas
metana ditentukan oleh pengelolaan air, pengolahan tanah, varietas, dan iklim. (Panjaitan
dkk. 2015)
Emisi metana dari areal persawahan merupakan hasil dari produksi dan oksidasi
metana dalam tanah dan pengangkutan metana dari tanah ke atmosfer melalui rongga
vaskular tanaman padi yang kemudian ditegaskan oleh Setyanto dkk. (2004) yang
menyebutkan bahwa produksi gas metana bersumber dari proses dekomposisi anaerobik
bahan organik yang berada di dalam tanah. Tanah sawah diperkirakan menyumbangkan 20-
120 juta ton CH4 ke atmosfer, atau sekitar 12,5% dari sumber total tahunan yaitu sekitar 470-
650 juta ton CH4. Emisi total tersebut berasal dari total luasan lahan dunia yang digunakan
untuk budidaya padi sawah yang mencapai 1,45 x 106 km2 atau sekitar 10% dari total lahan
pertanian dunia (Yagi & Minami, 1990).
Selain gas metana (NH4) Gas dinitrogen oksida (N2O) juga merupakan salah satu
GRK yang memicu terjadinya efek rumah kaca. Menurut IPCC (2007), potensi pemanasan
global yang dihasilkan dari gas N2O pada periode 20, 100, dan 500 tahun adalah berturut-
turut sebesar 289, 298, dan 153 lebih besar dibandingkan gas CO2. Gas N2O terbentuk dalam
tanah dari dua proses mikrobiologi, yaitu denitrifikasi dan nitrifikasi (Setyanto, 2008). Gas
N2O juga dihasilkan dari proses nitrifikasi yang mengubah ammonium (NH4 +) menjadi
nitrat pada lingkungan aerobik. Selain itu, laju dekomposisi bahan organik tanah pada kondisi
aerob umumnya berlangsung lebih cepat sehingga jumlah NO3- berkurang dan kebutuhan
akseptor elektron meningkat selama mineralisasi intensif yang menyebabkan reduksi NO3-
menjadi gas N2O (Gardini et al., 1991).

Selain gas di atas faktor utama pembentuk pemanasan global ialah gas karbondioksida
(CO2). Menurut Haryati & Sutono (2015) sumber emisi CO2 adalah pembakaran bahan bakar
fosil untuk mesin, perusakan tanah selama pengolahan meningkatkan laju dekomposisi yang
melepas CO2 dan perusakan tanah melalui perubahan penggunaan lahan yang menurunkan
sekuestrasi C
Penanganan
Dalam kebijakan Nasional yang dituang dalam Perpres nomor 61 dan 71 tahun 2011
Indonesia berkomitmen menurunkan emisi GRK 26% dengan kemampuan sendiri dan
menjadi 41% dengan bantuan luar negeri sampai tahun 2020. Komitmen ini tertuang dalam
Rencana Aksi Nasional (RAN) GRK yang diprakarsai oleh Bappenas dan sudah
ditandatangani oleh Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, melalui Perpres 61 tahun
2011. Ada lima sektor yang terlibat secara langsung, yaitu kehutanan dan lahan gambut,
limbah, pertanian, industri dan energi. Berdasarkan lampiran Perpres RAN GRK, pertanian
berkewajiban menurunkan emisinya sekitar 8 juta ton CO2e sampai tahun 2020.
Penanganan yang dianjurkan menurut Haryati & Sutono (2015) pada gas methana
yaitu pengelolaan kesehatan ternak untuk optimasi produksi dan pengelolaan yang baik pada
pupuk kandang. Sedangkan terhadap gas N2O ialah pengelolaan hara yang baik demi
mengoptimalkan pupuk kandang, pengelolaan tanah untuk menurunkan denitrifikasi dan
pencucian tanah, melindungi penggunaan pupuk kandang dan rotasi tanaman dengan
menggunakan tanaman cover crops. Terkhir ialah pada gas karbondioksida (CO2) yaitu
menurunkan penggunaan bahan bakar fosil, pembaharuan energi bidang pertanian,
pengelolaan tanah untuk memperbaiki kualitas dan optimalisasi bahan organik tanah dan
penurunan pengelolaan tanah minimum.
Hairiah, K. & Rahayu, S. (2007). Pengukuran “Karbon Tersimpan” di Berbagai Macam
Penggunaan Lahan.
http://appgis.dephut.go.id/appgis/download/Peraturan%20Terkait/Petunjuk%20Teknis
_Pengukuran%20Karbon%20Tersimpan.pdf

Hossain, T.S., Hideki S., Hideto, U., dan Sheikh M.R., 2007. Adoption of Organic Rice For
Sustainable Development In Bangladesh. Journal of Organic Systems. 2(2):1-11.

Panjaitan, E., Indradewa D., Martono, E. & Sartohadi J. (2015). Sebuah Dilema Pertanian
Organik Terkait Emisi Metan. Manusia dan Lingkungan. 22(1):66-72.

Wihardjaka, A., 2011. Pengaruh Jerami Padi dan Bahan Penghambat Nitrifikasi Terhadap
Emisi Gas Rumah Kaca (Metana dan Dinitrogen Oksida) Pada Ekosistem Sawah
Tadah Hujan di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Disertasi. Program Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Yagi, K., dan Minami, K., 1990. Effect of Organic Matter Application of Methane Emission
from Some Japanese Paddy Fields. Soil Sci. Plant Nutr. 36:599-610.

[IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. (2007). Climate Change 2007: The
Physical Scientific Basis, Contribution of Working Group I to The Fourth Assessment
Report of The Intergovernmental Panel Onclimate Change. S. 90 Jurnal Irigasi
11(2):81-90.

Gardini, F., Antisari, L.V., Guerzoni, M.E., & Sequl, P. (1991). A simple gas
chromatographic approach to evaluate CO2 release, N2O evolution, and uptake from
soil. Biology and Fertility of Soils, 12(1), 1-4.

Anda mungkin juga menyukai