Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

ADAPTASI DAN MITIGASI EKOSISTEM LAUT

PERAN EKOSISTEM PESISIR DAN LAUT SEBAGAI PEMBENAM KARBON

OLEH:

THEO IMANUEL NOYA


C5502211004

SEKOLAH PASCASARJANA
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Peningkatan aktivitas industri maupun kegiatan manusia yang melepaskan gas emisi ke
atmosfer telah meningkatkan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) termasuk gas karbon dioksida
(CO2). Gas CO2 memiliki konsentrasi paling tinggi pada komponen gas rumah kaca yakni sebesar
55% (Rahadiarta et al, 2019). Nunes dan Dias (2022) menyatakan bahwa terjadi peningkatan
konsentrasi gas CO2 secara global di atmosfer sebesar 80 ppm yakni 320 ppm menjadi 400 ppm
dari tahun 1960-2013. Peningkatkan konsentrasi gas rumah kaca akan menyebabkan terjadinya
fenomena pemanasan global (global warming) yang merupakan fenomena peningkatan suhu rata-
rata atmosfer, laut dan darat secara global akibat akumulasi radiasi matahari yang terperangkap
dalam atmosfer bumi (Hilwan, 2014; Griggs dan Reguero, 2021). Dampak negatif dari fenomena
pemanasan global adalah berkurangnya ketersediaan air tawar dan ketersediaan pangan,
peningkatan intensitas cuaca ekstrim, hujan asam dan kenaikan muka air laut (Ali et al, 2021).
Selain itu, peningkatan konsentrasi gas CO2 secara langsung juga berdapak buruk pada kondisi
ekologi pesisir dan laut seperti proses pengasaman laut yang dapat berakibat terhadap terjadinya
coral bleaching (Barrrufo et al, 2021).
Upaya yang dapat dilakukan untuk adaptasi dan mitigasi dampak negatif dari pemanasan
global adalah dengan mengurangi konsentrasi gas karbon di atmosfer saat ini (Khairunnisa et al,
2018). Biosekuestrasi adalah salah satu solusi untuk mengurangi konsentrasi gas karbon melalui
proses fotosintesis oleh vegetasi. Biosekuestrasi tidak hanya dilakukan oleh vegetasi darat tetapi
juga oleh vegetasi pada ekosistem pesisir dan laut sehingga ekosistem laut pesisir dan laut
memiliki potensi besar dalam penyerapan gas CO2 (Hartati et al, 2017). Proses fotosintesis
menyerap karbon dilakukan oleh mangrove dan lamun yang dikenal dengan istilah blue carbon
atau karbon biru. Gas karbon akan menjadi energi untuk proses fisiologi tanaman dan sebagian
masuk ke dalam struktur tumbuhan dan menjadi bagian dari tumbuhan, misalnya selulosa yang
tersimpan pada batang, akar, ranting dan daun (Heriyanto dan Subiandono, 2012). Makalah ini
dibuat untuk mengkaji potensi ekosistem mangrove dan lamun di Indonesia dalam pembenaman
gas karbon sebagai upaya mitigasi dan adaptasi terhadap dampak kenaikan konsentrasi gas CO2
dan pemanasan global.

BAB II
KAJIAN

2.1 Dampak Peningkatan Konsentrasi Gas CO2 di Atmosfer (solusi + untuk laut)
Peningkatan konsentrasi gas CO2 di atmosfer berdampak langsung pada segala aspek
lingkungan secara global sehingga dapat mempengaruhi kehidupan manusia. Hingga Mei tahun
2013, terjadi peningkatan konsentrasi gas CO2 di atmosfer sebesar 80 ppm dari tahun 1960.

Gambar 1. Sektor penyumbang emisi gas CO2 global.


Sumber: Ali et al, 2021.

Sektor-sektor yang menggunakan bahan bakar minyak bumi seperti industri dan transportasi
merupakan penyumbang emisi gas CO2 terbesar yakni sebesar 32% dan 23% yang dihasilkan
oleh hasil sisa bakaran yang dilepaskan ke atmosfer. Selain itu, kawasan perkantoran dan
perumahan juga turut menyumbangkan emisi gas CO2 yang diakibatkan oleh belum
diaplikasikannya energi terbarukan pada system oprasionalnya. Sumber emisi gas juga berasal
dari pembuatan materi, dan limbah konstruksi yang dihasilakn dari pembagunan. Peningkatan
emisi gas CO2 diatmosfer menghasilkan efek gas rumah kaca (Ali et al, 2021).
Dampak utama efek gas rumah kaca adalah fenomena pemanasan global dimana fenomena ini
dapat mengganggu dinamika dan siklus alami yang ada di bumi (Nunes dan Dias, 2022).
National Aeronautics and Space Administration (NASA) (2010) menyatakan bahwa terjadi
peningkatan kenaikan suhu global dari 0.1°C pada periode tahun 1951-1981 menjadi 0.5°C pada
periode tahun 1981-2009. Pada Gambar 2 menunjukan imbas dari peningkatan emisi CO2
pemanasan global dan imbasnya terhadap lingkungan termasuk kawasan pesisir.

Gambar 2. Imbas peningkatan emisi gas CO2 global.


Sumber: Ali et al, 2021.

Imbas pemanasan global terhadap kawasan pesisir yang paling nyata adalah kenaikan muka air
laut. Kenaikan rata-rata muka air laut secara konstan dalam rentang waktu yang panjang dapat
menyebabkan terjadinya intrusi air laut ke wilayah daratan, yang akan berdampak terhadap
perubahan kedudukan muka pantai. Perubahan muka pantai yang terjadi pada kawasan pesisir
tersebut dapat berdampak terhadap kondisi sosial ekonomi kawasan pesisir dimana selain
mengurangi luasan daratan, intrusi air laut juga dapat berpeluang merusak fasilitas maupun
sumberdaya yang ada seperti kawasan ekonomi, kawasan pemukiman, situs sejarah, situs
kebudayaan, kawasan wisata dan lain sebagainya (Snoussi et al, 2011; Wuriatmo et al, 2012;
Syah, 2013 Dóriga and Jiménez, 2020). Dampak negatif lain dari pemanasan global adalah
berkurangnya ketersediaan air tawar, ketersediaan pangan, cuaca ekstrim, perubahan bentuk
geografi, dan hujan asam. Pemanasan global yang berimabas terhadap perubahan curah hujan
yang tidak menentu maupun intensitas terjadinya cuaca ekstrim (seperti La Nina dna ENSO)
berimbas terhadap kegagalan sektor pertanian dan pangan serta ketersediaan suplai air tawar yang
berkurang (Rochdane et al, 2012; Hounnou et al, 2019). Berbagai dampak buruk pemanasan
global tentu perlu dicegah dengan memanfaatkan blue carbon yang merupakan salah satu solusi
alami yang dapat menjadi pilihan utama. Selain memiliki fungsi ekologi, keberadaan ekosistem
mangrove dan lamun pada kawasan pesisir dapat diupayakan sebagai sarana mitigasi dan adaptasi
dari fenomena pemanasan global.

2.2 Penyerapan Karbon pada Ekosistem Mangrove dan Lamun


Eksosistem mangrove dan lamun merupakan ekosistem utama pesisir dan laut yang tidak
hanya memiliki peran ekologis tetapi juga berperan penting untuk mengurangi dampak perubahan
iklim. Ekosistem lamun dan mangrove memiliki kemampuan untuk menyerap CO2 melalui proses
fotosintesis. Karbon yang diserap dimanfaatkan sebgai sumber energi dan sebgaian disimpan
dalam bentuk karbohidrat dalam jaringan-jaringan tubuh dalam bentuk biomassa. Selain
menyimpan pada jaringan tubuh, karbon juga diendapkan pada permukaan (aboveground
biomass) maupun didalam sedimen (belowground biomass) sehingga dianggap efektif sebagai
pembenam karbon atau carbon sinker. Pengukuran jumlah stok karbon atau banyaknya karbon
yang diserap dan disimpan pada tumbuhan mangrove maupun lamun dilakukan dengan
pengukuran biomassa dan nekromassa. Biomassa merupakan pengukuran karbon pada bagian
tumbuhan yang masih hidup, sedangkan pengukuran karbon pada bagian tumbuhan yang telah
mati dikenal dengan istilah nekromassa. Nekromassa menggambarkan karbon yang tidak
dilepaskan tumbuhan ke atmosfer. Pada mangrove, biomassa yang diukur adalah biomassa diatas
tanah yang diukur pada daun, ranting, cabang, batang utama dan kulit. Sedangkan pada lamun
diomassa dihitung pada biomassa diatas substrat (above ground) yang terdiri atas helaian dan
pelepah daun dan biomassa di bawah substrat (below ground) yang terdiri atas terdiri dari akar
dan rhizoma. (Hairiah dan Rahayu 2007; Khairunnisa et al, 2018; Royna, 2021)
Gambar 3. Siklus karbon pada mangrove dan vegetasi laut.
Sumber: Banerjee et al, 2021.
Siklus karbon pada ekosistem mangrove dan lamun dilakukan melalui proses fotosintesis
dimana tumbuhan menyerap gas CO2 sebagai bahan fotosintesis. Selanjutnya karbon yang diserap
dikonversi menjadi karbohidrat. Proses ini tidak hanya dilakukan oleh ekosistem pesisir dan laut
tetapi juga oleh fitoplankton dan alga. Pada prosess tersebut, terjadi penyerapan dan pelepasan
karbon dimana pelepasan karbon dari sedimen dilakukan oleh mikroorganisme sedangkan pasut
juga memainkan peran dalam siklus karbon. Terkhusus pada ekosistem mangrove, sedimen pada
ekosistem ini dapat menyimpan 50% karbon yang terikat sehingga dapat meminkan peran utama
sebagai pembenan karbon pada ekosistem pesisir dan laut. (Banerjee et al, 2021.)

2.3 Potensi Serapan Karbon oleh Ekosistem Mangrove dan Lamun di Indonesia
Publikasi mengenai potensi cadangan dan serapan karbon ekosistem mangrove dan padang
lamun Indonesia oleh Pusat Penelitian Oseanografi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O-
LIPI), Pusat Riset Kelautan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia, Kementerian Kelautan dan
Perikanan (PUSRIKEL-BRSDM-KKP) dan Pusat Penelitian Laut Dalam, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (P2lD-LIPI) (2018), menyatakan bahwa ekosistem hutan mangrove di
Indonesia yang memiliki luasan 3.22 juta hektar memiliki potensi penyerapan CO2 sebesar 52,85
ton CO2/ha/tahun. Kawasan hutan mangrove pada pesisir pulau-pulau besar di Indonesia
memiliki potensi serapan CO2 terbesar. Ekosistem mangrove pesisir pulau Kalimantan memiliki
potensi serapan mangrove terbesar, yaitu 94,32 ton CO2/ha/tahun kemudian pada pesisir pulau
Papua dengan potensi serapan 57,99 ton CO2/ha/tahun dan pesisir pulau Sulawesi sebesar 53,95
ton CO2/ha/tahun. Sementara itu, ekosistem mangrove di Pulau Sumatera dan Jawa yang telah
banyak terdegradasi menunjukan potensi serapan karbon lebih rendah, yaitu berturut-turut 37,07
dan 39,27 ton CO2/ha/tahun. Rata-rata simpanan karbon sebesar 891,70 ton/ha dengan potensi
cadangan karbon total mangrove nasional sebesar 2,89 Tt C. Ukuran diameter pohon yang besar,
berimplikasi pada tingginya simpanan karbon mangrove di Papua, rata-rata 1.073 ton/ha atau
total sebesar 1,72 Tt C. Ukuran dan tinggi pohon turut berpengaruh terhadap simpanan karbon.
Akbar et al, (2019) menyatakan semakin besar kandungan biomassa suatu tanaman, maka
semakin besar pula potensi serapan karbon pada tanaman tersebut. Mangrove pada kelas tinggi
>100 cm memiliki peran dalam penyerapan karbon yang lebih besar.
Gambar 4. Potensi serapan CO2 oleh ekosistem mangrove pada kawasan pesisir Indonesia.
Sumber: Potensi cadangan dan serapan karbon ekosistem mangrove dan padang lamun Indonesia (2018)

Indonesia memiliki luasan ekosistem lamun seluas 150.693,16 ha. Ekosistem padang lamun di
Indonesia rata-rata meyimpan cadangan karbon sebesar 0.94 C/ha atau total 141,98 kt C.
Ekosistem padang lamun di Indonesia mampu menyimpan 558,35ton C/ha di dalam substrat
(total karbon sebesar 84,14 Mt C). Selain itu, ekosistem lamun memiliki nilai serapan karbon
yang tinggi. Dengan laju serapan karbon sebesar 6.59 ton C/ha/tahun, padang lamun di Indonesia
memiliki total serapan karbon sebesar 992,67 kt C/tahun (setara dengan 3,64 Mt CO2/tahun.

Gambar 5. Potensi serapan CO2 oleh ekosistem lamun pada kawasan pesisir Indonesia.
Sumber: Potensi cadangan dan serapan karbon ekosistem mangrove dan padang lamun Indonesia (2018).

Menurut Setiawan (2012) potensi penyerapan karbon akan berbanding lurus dengan luas area
lamun, dimana semakin tinggi luas area lamun yang dimiliki suatu perairan potensi penyerapan
karbonnya juga akan tinggi.
BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Potensi penyerapan karbon pada vegetasi pesisir dan laut cukup besar dibandingkan dengan
vegetasi daratan. Ekosistem pesisir dan laut Indonesia berupa padang lamun dengan luasan
150.693 ha dan hutan mangrove dengan luasan 3.237.000 ha dapat menyerap karbon sampai
170,64 Mt CO2/tahun, Sehingga dapat menjadi solusi efektif dalam upaya penyerapan gas CO 2
untuk mitigasi pemanasan global. Keberadaan ekosistem mangrove dan lamun pada kawasan
pesisir juga dapat menjadi adaptasi bagi kawasan pesisir akibat pemanasan global.
DAFTAR PUSTAKA

Ali K.A., Ahmad M.I., Yusup Y. 2020. Issues, Impacts, and Mitigations of Carbon Dioxide
Emissions in the Building Sector. Journal MDPI: Sustainabillity. 12:1-12.

Griggs G., Reguero B.G. 2021. Coastal Adaptation to Climate Change and Sea-Level Rise.
Journal MDPI: Water. 13: 1- 26.

Hartati R., Pratikto I., Pratiwi T.N. 2017. Biomassa dan Estimasi Simpanan Karbon pada
Ekosistem Padang Lamun di Pulau Menjangan Kecil dan Pulau Sintok, Kepulauan
Karimunjawa. Buletin Oseanografi Marina. 6(1): 74–81.

Hilwan, I., Nurjannah A.S. 2014. Potensi Simpanan Karbon Pada Tegakan Revegetasi Lahan
Pasca Tambang di PT Jorong Barutama Greston, Kalimantan Selatan. Jurnal Silvikultur
Tropika, 5(3): 188-195.

Hounnou F.E., Dedehouanou H., Zannou A., Agbahey J., Biaou G. 2019. Economy-Wide
Effects of Climate Change in Benin: An Applied General Equilibrium Analysis. Journal
MDPI: Sustainabillity. 11:1-15

Khairunnisa., Setyobudiandi I., Boer M. 2018. Estimasi Cadangan Karbon Pada Lamun Di
Pesisir Timur Kabupaten Bintan. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. 10 (3):
639-650.

López-Dóriga U., Jiménez J.A. 2020. Impact of Relative Sea-Level Rise on Low-Lying Coastal
Areas of Catalonia, NW Mediterranean, Spain. Journal MDPI: Water. 12: 1-28.

Nunes L.J.R., Dias M.F. 2022. Perception of Climate Change Effects over Time and the
Contribution of Different Areas of Knowledge to Its Understanding and Mitigation.
Journal MPDI: Climate. 10(7):1-29.

Rahardita I.K.V.S., Putra I.D.N.W., Suteja Y. 2019. Simpanan Karbon Pada Padang Lamun di
Kawasan Pantai Mengiat, Nusa Dua Bali. Journal of Marine and Aquatic Sciences. 5(1):
1-10.
Snoussi. M., Niazi. S., Khouakhi. A., Raji. O. 2011. Climate Change and Sea Level Rise: a GIS-
Based Vulnerability and Impact Assessment, The Case of the Moroccan Coast.
GeometicSolution for Coastal Enviroment.

Syah. A.F. 2013. Pengukuran Daerah Genangan di Pesisir Bangkalan Akibat Naiknya Muka Air
Laut. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. 5(1): 67-71.

Wuriatmo. H., Koesuma. S., Yuniato. M. 2012. Analisa Sea Level Rise dari Data Satelit
AltimetriTopex/Poseidon, Jason-1 dan Jason-2 di Perairan Laut Pulau Jawa Periode 2000-
2010. Indonesia Journal of Applied Physics. 2(7).

Rochdane S., Reichert B., Moh. Messouli., Babqiqi A., Moh. Khebiza Y. 2012. Climate Change
Impacts on Water Supply and Demand in Rheraya Watershed (Morocco), with Potential
Adaptation Strategies. Journal MDPI: Water. 4: 28-44.

Milkah R. 2021. Stok Karbon Ekosistem Mangrove Global: Sebuah Tinjauan Pustaka
Sistematis. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Hairiah K, Rahayu S. 2007. Pengukuran Karbon Tersimpan di Berbagai Macam Penggunaan


Lahan. World Agrofor Cent.

Banerjee K., Mitra A., Villasante S. 2021. Carbon Cycling in Mangrove Ecosystem of Western
Bay of Bengal (India). Journal MDPI: Sustainabillity. 13:1-23.

Wahyudi A.J., Afda., Adi N.S., RustamA., Hadiyanto., Rahmawati S., Irawan A., Dharmawan
I.W.E., Prayudha E., Hafizt M., Prayitno H.B., Rahayu Y.P., Solihudin P., Ati R.N.A.,
Kepel T.L., Astrid K.M., Daulat A., Salim H.L., Sudirman N., Suryono D.D., Kiswara
W., Supriyadi I.H. 2018. Potensi Cadangan dan Serapan Karbon Ekosistem Mangrove
Dan Padang Lamun Indonesia. Pusat Penelitian Oseanografi-Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (P2O-LIPI), Pusat Riset Kelautan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia,
Kementerian Kelautan dan Perikanan (PUSRIKEL-BRSDM-KKP) dan Pusat Penelitian
Laut Dalam, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2lD-LIPI).

Anda mungkin juga menyukai