Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PRAKTIKUM PROYEK EKOLOGI (BI-3102)

PENGUKURAN EMISI CO2 TANAH DI


KEBUN BOTANI SITH DAN LAPANGAN LABTEK XI

Tanggal Praktikum : 20 September 2022


Tanggal Pengumpulan Laporan : 30 September 2022

Disusun oleh:
Kelompok 2
Helmi Abdillah 10619012
Hadi Rayhan Hanifah P 10620011
Annisa Rahmawati Kisam 10620021
Evelyn Caroline 10620034
Putu Sixtina Dewandari 10620035
Aghisna Syifa Rahmani 10620055

Asisten:
Ryutari Yasya
10619010

PROGRAM STUDI BIOLOGI


SEKOLAH ILMU DAN TEKNOLOGI HAYATI
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2022
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karbon adalah salah satu unsur yang paling sering ditemukan di alam.
Karbon dioksida (CO2) adalah salah satu gas aktif yang merupakan golongan gas
rumah kaca bersama dengan metana (CH4) dan nitrit oksida (N2O). Keberadaan
gas rumah kaca di atmosfer dapat memerangkap radiasi inframerah dari
permukaan bumi. Dewasa ini terjadi berbagai kegiatan antropologis berkontribusi
terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca ke atmosfer. Peningkatan emisi gas
jumlah gas rumah kaca, salah satunya karbon dioksida (CO2) dapat berdampak
negatif terhadap berbagai bidang kehidupan seperti kesehatan, kehutanan,
perikanan, sumber air, agrikultur, dan lainnya (Rastogi et al., 2002).
Emisi gas karbon dioksida dapat berasal dari berbagai sumber, salah
satunya tanah. Karbon dioksida dikeluarkan oleh tanah melalui proses respirasi
tanah yang mencakup proses biologis yakni respirasi mikroba, respirasi akar, serta
respirasi fauna permukaan tanah. Emisi gas karbon dioksida dapat dipengaruhi
oleh beberapa faktor misalnya mikroklimat, edafik, dan jenis vegetasi (Rastogi et
al., 2002).
Pada praktikum ini akan dilakukan penentuan perbedaan kondisi
mikroklimat dan edafik di dua lokasi serta penentuan emisi CO2 tanah dari lokasi
tersebut. Praktikum ini merupakan dasar-dasar untuk memahami emisi CO2 tanah
dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dalam kehidupan sehari-hari,
praktikum ini berguna untuk menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan
peningkatan emisi CO2. Dengan begitu, pihak berwenang dapat mengambil
kebijakan lanjutan atas fenomena kenaikan emisi CO2 (Rastogi et al., 2002).

1.2 Tujuan
Adapun tujuan praktikum ini antara lain.
1. Menentukan perbedaan kondisi mikroklimat dan edafik antara Kebun
Botani SITH dengan lapangan Labtek XI.
2. Menentukan emisi CO2 tanah pada Kebun Botani SITH dan lapangan
Labtek XI
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Siklus Karbon dan Peran Ekosistem Dalam Mengendalikannya
Siklus karbon sangat penting karena hubungannya yang erat dengan aliran
energi melalui ekosistem, melalui transfer energi kimia dalam karbohidrat.
Karbon disimpan secara global baik sebagai karbon dioksida atmosfer dan sebagai
karbonat sedimen dan terlarut (terutama kalsium karbonat)(D.Schowalter, 2016).
Karbon adalah konstituen dari semua kehidupan terestrial. Siklus karbon dimulai
melalui ekosistem hutan ketika tanaman mengasimilasi CO2 di atmosfer melalui
fotosintesis menjadi gula tereduksi. Biasanya sekitar setengah dari produk
fotosintesis bruto yang dihasilkan (GPP) dikeluarkan oleh tanaman dalam
respirasi autotrofik (Ra) untuk sintesis dan pemeliharaan sel hidup, melepaskan
CO2 kembali ke atmosfer. Produk karbon yang tersisa (GPP Ra) masuk ke
produksi primer bersih (NPP): dedaunan, cabang, batang, akar, dan organ
reproduksi tanaman. Saat tanaman melepaskan daun dan akar, atau terbunuh,
bahan organik yang mati membentuk detritus, substrat yang mendukung hewan
dan mikroba, yang melalui metabolisme heterotrofik (Rh) melepaskan CO2
kembali ke atmosfer. Ekosistem dapat kehilangan karbon jika fotosintesis tiba-tiba
berkurang atau ketika bahan organik dihilangkan sebagai akibat dari gangguan.
Humus tanah merupakan akumulasi utama karbon di sebagian besar ekosistem
karena tetap tidak teroksidasi selama berabad-abad. Humus merupakan situs
penyimpanan karbon jangka panjang yang paling penting dalam ekosistem(H.
Waring & W. Running, 2007). Siklus karbon global sangat bergantung pada
komunitas mikroba yang memperbaiki karbon atmosfer, mendorong pertumbuhan
tanaman, dan mendegradasi atau mengubah bahan organik di dalam lingkungan
(Kumari et al., 2022).
2.2 Definisi Respirasi Tanah dan Emisi CO2 Tanah
Tanah adalah salah satu sumber utama emisi karbon ke atmosfer dalam
bentuk CO2, bahkan diperkirakan sepuluh kali lipat dari emisi CO2 oleh
pembakaran bahan bakar fosil (Ray et al., 2020). Respirasi tanah merupakan jalur
primer emisi CO2 oleh tanaman darat ke atmosfer. Diperkirakan emisi CO2 tanah
15
hasil respirasi tanah adalah 75 x 1075 × 10 𝑔𝐶/𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 dan akan semakin
meningkat karena perubahan kondisi di Bumi (Schlesinger & Andrews, 2000).
Respirasi tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berinteraksi, seperti
suhu dan kelembaban, pH, serta keberadaan materi organik dan unsur biotik.
Unsur biotik yang dimaksud adalah kontribusi dari respirasi akar, respirasi
akar-mikoriza, serta respirasi mikroba yang hidup bebas (Tang et al., 2019).

2.3 Faktor- Faktor yang Dapat Mempengaruhi Emisi CO2 Tanah


Emisi CO2 tanah dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor
lingkungan seperti mikroklimat memiliki pengaruh terhadap emisi CO2 tanah (Ye
et al., 2018). Peningkatan suhu tanah dapat meningkatkan emisi CO2 tanah (Cho
et al., 2018). Kondisi tanah seperti tekstur tanah, suhu tanah, kelembapan, pH,
ketersediaan karbon dan nitrogen dalam tanah diketahui dapat mempengaruhi
emisi CO2 dari tanah (Rastogi et al., 2002). Selain itu, faktor biotik, misalnya
tumbuhan dan mikroflora juga diketahui menyumbang 25% dari emisi karbon
dioksida (Marnay et al., 2002). Tumbuhan berkontribusi pada emisi CO2 melalui
respirasi akar dan respirasi mikroba serta mikrofauna yang berada di dekat
tumbuhan (Rastogi et al., 2002).
BAB III
METODE
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Gambar 3.1 Peta lokasi pengambilan data pengukuran Emisi CO2 (Dokumentasi Pribadi, 2022).

Gambar 3.2 Rona tempat pengambilan data Emisi CO2 tidak ternaungi (Dokumentasi Pribadi,
2022).
Gambar 3.3 Rona tempat pengambilan data Emisi CO2 ternaungi (Dokumentasi Pribadi, 2022).
Tabel 3.1 Koordinat tempat pengambilan data setiap kelompok

Kelompok Garis Lintang Garis Bujur

1 6°53'25.06"S 107°36'29.77"T

2 6°53'24.92"S 107°36'30.31"T

3 6°53'25.14"S 107°36'30.55"T

5 6°53'24.94"S 107°36'30.72"T

6 6°53'23.60"S 107°36'34.74"T

8 6°53'23.60"S 107°36'34.37"T

9 6°53'22.89"S 107°36'34.28"T

10 6°53'23.02"S 107°36'33.67"T

Penelitian ini dilakukan di Kawasan Hutan Botani dan Selasar Kebab


Institut Teknologi Bandung pada Selsasa, 20 September 2022 pukul 09.00-10.10
WIB. Lokasi penelitian berdasarkan geopoint serta rona lingkungan disajikan
pada gambar 3.1, 3.2 dan 3.3. Teramati rona lingkungan kedua lokasi cerah.
3.2 Pengambilan Data Lapangan
Pada praktikum kali ini, dilakukan pengambilan data di dua lokasi yang
berbeda yaitu Hutan Botani dan Labtek XI. Komponen biotik yang diambil
datanya meliputi mikroklimat, edafik, dan pelepasan CO2.
3.2.1 Mikroklimat
Data mikroklimat yang diambil meliputi suhu, kelembapan udara, dan
intensitas cahaya. Suhu dan kelembapan diambil menggunakan sling
psychrometer sedangkan intensitas cahaya diambil menggunakan Lux meter. Sling
psychrometer adalah alat yang digunakan untuk mengukur persentase kelembapan
udara. Alat ini terdiri dari dua termometer yaitu termometer basah dan termometer
kering. Prinsip dari sling psychrometer adalah mengukur kelembapan udara
berdasarkan perbedaan suhu yang diukur oleh kedua termometer. Pada saat
penggunaan, termometer basah harus dibuat lembab dengan meneteskan air ke
bagian kain dari termometer basah. Pengukuran kelembaban relatif dilakukan
dengan memutar sling psychrometer selama beberapa waktu pada daerah yang
ingin diukur kelembapannya. Termometer basah menunjukkan suhu udara jenuh
atau lembab sedangkan termometer kering menunjukkan suhu udara sebenarnya.
Kedua nilai suhu tersebut digunakan untuk menghitung kelembaban relatif
(NASA, 2006). Selanjutnya pengukuran intensitas cahaya menggunakan Lux
meter. Prinsip kerja dari alat ini adalah sinar atau cahaya akan diterima oleh
detector lalu diubah menjadi sinyal listrik oleh transducer. Sinyal listrik ini akan
diperkuat oleh amplifier lalu diteruskan ke bagian komparator. Di bagian ini
sinyal listrik yang telah diperkuat tersebut dibandingkan dengan suatu sinyal
referensi. Sinyal hasil keluaran komparator ini, diubah dalam bentuk analog yang
kemudian diubah dalam bentuk digital dan hasil pengukuran dapat dilihat pada
display (Oktafianus, et al., 2011.). Sebelum penggunaan Lux meter, dilakukan
kalibrasi telebih dahulu, dipilih range pengukuran menggunakan range switch.
Tombol zero kemudian ditekan untuk mengkalibrasi. Setelah kalibrasi selesai
dilakukan, sensor dibuka dan dilakukan pengukuran intensitas cahaya selama
selang waktu tertentu. Angka tersebut kemudian dikalkulasikan dengan faktor
konversi pada range switch untuk mendapatkan nilai intensitas cahaya. Hasil
pengukuran dapat dilihat rata-rata, nilai maksimum, dan nilai minimum dari
intensitas cahaya di lokasi tersebut (Ismail et al., 2013).
3.2.2 Edafik
Pengambilan data edafik berupa sampel tanah dapat dilakukan
menggunakan bor tanah (auger) dan core sampler. Pencuplikan tanah untuk
memperoleh data profil tanah (kandungan air, mineral, dan bahan organik tanah)
dilakukan dengan auger. Sedangkan pencuplikan untuk memperoleh data bulk
density (kerapatan) dan porositas tanah dilakukan menggunakan core sampler.
Auger merupakan alat untuk mengamati lapisan-lapisan penyusun tanah dan
mengambil cuplikan tanah pada kedalaman tertentu. Auger ditancapkan ke tanah
pada kedalaman tertentu hingga terisi penuh (Shapiro & Kranz, 1992). Panjang
dari auger ini bermacam-macam, namun yang digunakan pada praktikum kali ini
adalah auger dengan ukuran 30cm. Core sampler digunakan untuk mencuplik
sampel tanah tanpa memperhatikan lapisan tanah. Alat ini berupa besi silinder
tanpa alas dan penutup dengan tinggi dan diameter tertentu. Bibir silinder bagian
bawah dibuat runcing untuk memudahkan dalam melakukan pencuplikan
sampel tanah. Core sampler ditekan ke dalam tanah hingga terkubur lalu diambil
sampel tanahnya untuk dibawa ke laboratorium dan dianalisis (Shapiro & Kranz,
1992).
3.2.3 Metode Soda Lime
Metode soda lime adalah metode yang digunakan untuk mengukur emisi CO2 dari
dalam tanah. Prinsip pengukurannya adalah dibuat chamber atau sungkupan untuk
menutup sebidang tanah termasuk cawan petri didalamnya yang berisi soda
lime;campuran natrium hidroksida (NaOH) dan kalsium hidroksida (Ca(OH)2).
Kedua senyawa ini akan bereaksi dengan CO2 yang diemisikan tanah mengikuti
persamaan berikut:
𝐶𝑂2 + 2𝑁𝑎𝑂𝐻 → 𝑁𝑎2𝐶𝑂3 + 𝐻2𝑂 (1)

𝑁𝑎2𝐶𝑂3 + 𝐶𝑎(𝑂𝐻)2 → 2𝑁𝑎𝑂𝐻 + 𝐶𝑎𝐶𝑂3(2)

Jumlah CO2 akan ditentukan dengan mengukur perubahan berat soda lime setelah
terpapar CO2 yang akan menyesuaikan berat molekul CO2 dan H2O (Johnson,
2008).
Sungkupan harus benar-benar menutupi area tanah hingga terkubur kurang lebih 2
cm untuk memastikan tidak ada gas yang bocor. Tanaman juga harus disingkirkan
dari area sungkupan agar hasil pengukuran tidak bias karena gas CO2 dapat
diserap tanaman untuk fotosintesis.
3.3 Analisis Data
3.3.1 Mikroklimat
Data mikroklimat yang diambil adalah suhu udara, intensitas cahaya,
kelembaban udara, suhu tanah, kelembaban tanah, dan pH tanah. Pengambilan
data dilakukan dua pengulangan, di awal dan akhir pengambilan data untuk setiap
lokasi. Digunakan sling psychrometer untuk pengambilan data suhu dan
kelembapan udara, lux meter digunakan untuk mengambil data intensitas cahaya,
termometer Wexler untuk suhu tanah, dan soil tester untuk pH dan kelembapan
tanah. Data lalu dikompilasi dalam spreadsheet dengan mengisi form pada ODK
Collect sebelum diolah menjadi boxplot dengan aplikasi Rstudio.
3.3.2 Edafik
Setelah didapatkan data berupa bulk density dan porositas tanah pada
kedua lokasi, masing-masing data diolah menjadi boxplot dengan aplikasi R.
Boxplot (juga dikenal sebagai diagram box-and-whisker) merupakan suatu
box(kotak berbentuk bujur sangkar). Boxplot adalah salah satu cara dalam
statistik deskriptif untuk menggambarkan secara grafik dari data numerik. Boxplot
dapat digunakan untuk menunjukkan perbedaan antara populasi tanpa
menggunakan asumsi distribusi statistik yang mendasarinya(Junaidi, 2015).
Perbedaan populasi data juga di tes signifikansinya menggunakan t.test di aplikasi
R. Distribusi t merupakan distribusi probabilitas yang mirip dengan distribusi
Normal. t-test biasanya digunakan untuk menguji hipotesis yang melibatkan data
numerik. Kebutuhan akan distribusi t berasal dari fakta bahwa kita harus
memperkirakan simpangan baku(standard deviation), menambahkan variabilitas
ekstra ke dalam masalah. Distribusi t membantu memutuskan apakah mean
berbeda dari nilai standar yang diketahui(Ugoni & Walker, 1995).
3.3.3 Emisi Co2 Tanah
Setelah didapatkan data berupa laju emisi CO2 pada kedua lokasi, data
diolah menjadi boxplot dengan aplikasi R. Boxplot (juga dikenal sebagai diagram
box-and-whisker) merupakan suatu box(kotak berbentuk bujur sangkar). Boxplot
adalah salah satu cara dalam statistik deskriptif untuk menggambarkan secara
grafik dari data numerik. Boxplot dapat digunakan untuk menunjukkan perbedaan
antara populasi tanpa menggunakan asumsi distribusi statistik yang
mendasarinya (Junaidi, 2015). Perbedaan populasi data juga di tes signifikansinya
menggunakan t.test di aplikasi R. Distribusi t merupakan distribusi probabilitas
yang mirip dengan distribusi Normal. t-test biasanya digunakan untuk menguji
hipotesis yang melibatkan data numerik. Kebutuhan akan distribusi t berasal dari
fakta bahwa kita harus memperkirakan simpangan baku (standard deviation),
menambahkan variabilitas ekstra ke dalam masalah. Distribusi t membantu
memutuskan apakah mean berbeda dari nilai standar yang diketahui(Ugoni &
Walker, 1995).
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pengamatan
Data yang didapatkan kemudian dicatat dan diolah menggunakan aplikasi
Excel dan RStudio. Berikut adalah hasil pengolahan data yang dilakukan.

4.1.1 Mikroklimat
a. Suhu Udara

Gambar 4.1.1 Boxplot Suhu Udara


Berdasarkan hasil pengolahan data, diketahui bahwa daerah tidak
ternaungi memiliki suhu udara lebih tinggi dibandingkan daerah ternaungi.
b. Kelembapan Udara
Gambar 4.2 Boxplot Kelembapan Udara
Berdasarkan hasil pengolahan data, diketahui bahwa kedua daerah
memiliki nilai median kelembapan udara yang relatif sama.
c. Intensitas Cahaya

Gambar 4.3 Intensitas Cahaya


Berdasarkan hasil pengolahan data, diketahui bahwa daerah tidak
ternaungi memiliki intensitas cahaya lebih tinggi dibandingkan daerah
ternaungi.

4.1.2 Edafik
a. Suhu Tanah

Gambar 4.4 Suhu Tanah


Berdasarkan hasil pengolahan data, diketahui bahwa daerah tidak
ternaungi memiliki suhu tanah lebih tinggi dibandingkan daerah ternaungi.

b. Kelembapan Tanah

Gambar 4.5 Kelembapan Tanah


Berdasarkan hasil pengolahan data, diketahui bahwa tanah pada
daerah tidak ternaungi memiliki kelembapan tanah lebih rendah
dibandingkan daerah ternaungi.

c. pH Tanah

Gambar 4.6 pH Tanah


Berdasarkan hasil pengolahan data, diketahui bahwa daerah tidak
ternaungi memiliki pH tanah lebih tinggi dibandingkan daerah ternaungi.

d. Bulk Density

Gambar 4.7 Bulk density


Berdasarkan hasil pengolahan data, diketahui bahwa kedua daerah
memiliki nilai median bulk density yang hampir sama.

e. Porositas

Gambar 4.8 Porositas


Berdasarkan hasil pengolahan data, diketahui bahwa daerah tidak
ternaungi memiliki porositas tanah lebih tinggi dibandingkan daerah
ternaungi.

f. Kandungan Mineral

Gambar 4.9 Kandungan Mineral


Berdasarkan hasil pengolahan data, diketahui bahwa daerah tidak
ternaungi dan daerah ternaungi memiliki nilai median kandungan mineral
yang hampir sama.

g. Kandungan Organik

Gambar 4.10 Kandungan Organik


Berdasarkan hasil pengolahan data, diketahui bahwa daerah tidak
ternaungi dan daerah ternaungi memiliki nilai median kandungan organik
yang hampir sama.

h. Kandungan Air

Gambar 4.11 Kandungan Air


Berdasarkan hasil pengolahan data, diketahui bahwa daerah tidak
ternaungi memiliki kandungan air yang jauh lebih tinggi dibandingkan
daerah ternaungi.

4.1.3 Emisi CO2 Tanah

Gambar 4.12 Laju Emisi CO2 pada Lokasi Ternaungi dan Tidak Ternaungi
Gambar 4.3 menunjukkan perbandingan laju emisi CO2 di dua lokasi
dengan kondisi ternaungi dan tidak ternaungi. Laju emisi CO2 di Kebun Botani
(ternaungi) memiliki range yang lebih besar dibandingkan Labtek XI (tidak
ternaungi). Rata-rata laju emisi CO2 di Kebun Botani (ternaungi) adalah 13.718
g/m2, hasil ini lebih rendah dibanding rata-rata di Labtek XI senilai 15.331 g/m2.
Berdasarkan uji normalitas, didapatkan nilai p-value Kebun Botani (ternaungi)
adalah 0.01488 yang berarti data berdistribusi tidak normal karena p-value<0.05.
Sedangkan nilai p-value Labtek XI (tidak ternaungi) adalah 0.92 yang berarti data
berdistribusi normal. Selanjutnya dilakukan uji signifikansi pada kedua data, pada
lokasi Kebun Botani (ternaungi) didapatkan nilai p-value 0.0452 yang berarti
terdapat perbedaan signifikan pada data. Pada Labtek XI (tidak ternaungi)
didapatkan nilai p-value 0.8481 yang berarti tidak ada perbedaan yang signifikan
pada data.
4.2 Pembahasan
4.2.1 Perbedaan Kondisi Abiotik
Berdasarkan hasil pengolahan data, didapatkan bahwa suhu udara dan
intensitas cahaya lebih tinggi pada daerah tidak ternaungi. Daerah tidak ternaungi
adalah daerah dengan jumlah kanopi yang relatif lebih sedikit sehingga
memungkinkan cahaya matahari untuk masuk. Hal tersebut meningkatkan
intensitas cahaya serta suhu udara karena cahaya membawa kalor. Suhu udara
yang lebih tinggi pada daerah yang tidak ternaungi menyebabkan peningkatan laju
emisi CO2 karena semakin tinggi suhu udara semakin besar emisi CO2 yang
dihasilkan oleh tanah (Rastogi et al., 2002). Sedangkan kelembapan udara pada
kedua wilayah relatif sama. Diketahui bahwa kelembapan tanah berbanding
positif dengan peningkatan laju emisi CO2 dari tanah (Wang et al., 2019). Namun,
salah satu faktor terpenting penentu laju emisi CO2 adalah porositas tanah
(Carbonell-Bojollo, 2012). CO2 dalam tanah tersimpan pada ruang pori-pori tanah
tersebut. Dari data pengamatan, kandungan mineral, organik tanah, dan bulk
density kurang lebih sama menandakan komposisinya yang tidak jauh berbeda
namun terlihat perbedaan yang cukup jauh pada kandungan airnya. Kandungan air
dalam tanah dan porositas berhubungan, semakin lembab tanah, maka akan ada
efek kompresif yang meningkat sejalan dengan peningkatan porositas (Shen &
Xu, 2019). Hal ini yang menyebabkan laju emisi CO2 di Kebun Botani atau
ternaungi lebih sedikit dibandingkan tidak ternaungi atau Labtek XI.
BAB V
KESIMPULAN
Adapun kesimpulan dari percobaan ini, yaitu:
A. Daerah tidak ternaungi mendapatkan intensitas cahaya serta suhu udara
yang lebih tinggi. Hal ini dapat diakibatkan oleh tidak adanya vegetasi
yang bisa menaungi daerah dari cahaya matahari. Selain itu, suhu tanah
serta pH tanah yang tidak ternaungi lebih tinggi dari daerah ternaungi. Hal
ini dapat diakibatkan lagi oleh tidak adanya vegetasi yang menaungi dari
suhu tinggi serta akar yang menjadi regulator pH pada tanah. Efek dari
suhu tinggi ini pula menyebabkan kelembapan tanah yang rendah pada
daerah tidak ternaungi.
B. Emisi CO
DAFTAR PUSTAKA

Carbonell-Bojollo, R. (2012). Influence of Soil and Climate Conditions on CO2


Emissions from Agricultural Soils. Water Air Soil Pollut, 223, 3425–3435.
10.1007/s11270-012-1121-9
D. Schowalter, Timothy, (2016) Chapter 11 - Ecosystem Structure and Function,
Editor(s): Timothy D. Schowalter, Insect Ecology (Fourth Edition),
Academic Press, Pages 367-404, ISBN 9780128030332,
https://doi.org/10.1016/B978-0-12-803033-2.00011-X.
H. Waring, Richard, W. Running, Steven, (2007) CHAPTER 3 - Carbon Cycle,
Editor(s): Richard H. Waring, Steven W. Running, Forest Ecosystems
(Third Edition), Academic Press, Pages 59-98, ISBN 9780123706058,
https://doi.org/10.1016/B978-012370605-8.50008-6.
Ismail, A. H., Azmi, M.S. M., Ayob, M. N., Hasyim, M. S. M., & B., H. H.
(2013). Development of a Webcam Based Lux Meter. IEEE Symposium on
Computers and Informatics, 70-74.
https://www.researchgate.net/publication/261031459_Development_of_a_
webcam_based_lux_meter
Johnson, M. S. (2008). A Simple, Direct Method to Measure Dissolved CO2
Using Soda Lime. Oeol. Bras., 12(1), 85-91.
Kumari, Poonam, Singh, Joginder, Kumar, Prasann, (2022) Chapter 21 - Impact of
bioenergy for the diminution of an ascending global variability and change
in the climate, Editor(s): Ajay Kumar, Joginder Singh, Luiz Fernando
Romanholo Ferreira, Microbiome Under Changing Climate, Woodhead
Publishing, Pages 469-487, ISBN 9780323905718,
https://doi.org/10.1016/B978-0-323-90571-8.00021-3.
NASA. (2006). Sling Psychrometer and Relative Humidity: A Structured-Inquiry
Activity. In Meteorology Activities for Grades 5-9 (pp. 47-50). NASA.
Oktafianus, R., Gianto, R., Purwoharjono. (2011). Evaluasi Sistem Pencahayaan
di Perpustakaan Untan Gedung Lama Berdasarkan Standar Puil. Jurusan
Teknik Elektro.
Shapiro, C. A., Kranz, W. L. (1992). Comparison of Auger and Core Soil
Sampling Methods to Determine Soil Nitrate under Field Conditions.
Journal of Production Agriculture. 5(3).
https://doi.org/10.2134/jpa1992.0358.
Schlesinger, W. H., & Andrews, J. A. (2000). Biogeochemistry, 48(1), 7–20.
Ray, R. L., Griffin, R. W., Fares, A., Elhassan, A., Awal, R., Woldesenbet, S., &
Risch, E. (2020). Soil CO2 emission in response to organic amendments,
temperature, and rainfall. Scientific Reports, 10(1).
doi:10.1038/s41598-020-62267-6doi:10.1023/a:1006247623877
Shen, J., & Xu, Q. (2019). Effect of moisture content and porosity on compressive
strength of concrete during drying at 105 °C. Construction and Building
Materials, 195, 19-27. https://doi.org/10.1016/j.conbuildmat.2018.11.046
Tang, J., Bradford, M. A., Carey, J., Crowther, T. W., Machmuller, M. B., Mohan,
J. E., & Todd-Brown, K. (2019). Temperature sensitivity of soil carbon.
Ecosystem Consequences of Soil Warming, 175–208.
doi:10.1016/b978-0-12-813493-1.00009-0

References

Cho, S. R., Jeong, S. T., Kim, G. Y., Lee, J. G., Kim, P. J., & Kim, G. W. (2018).

Evaluation of the carbon dioxide (CO2) emission factor from lime applied

in temperate upland soil. Geoderma.

https://doi.org/10.1016/j.geoderma.2018.10.007

Johnson, M. S. (2008). A Simple, Direct Method to Measure Dissolved CO2

Using Soda Lime. Oeol. Bras., 12(1), 85-91.

Marnay, C., Fisher, D., & Murtishaw, S. (2002). Estimating carbon dioxide

emissions factors for the California electric power sector. Lawrence

Berkeley National Laboratory. https://escholarship.org/uc/item/3kc8r2n1


Rastogi, M., Singh, S., & Pathak, H. (2002). Emission of carbon dioxide from

soil. Current Science, 82(5), 510-517.

https://www.jstor.org/stable/24105957

Wang, W., Akhtar, K., Ren, G., Yang, G., Fen, Y., & Yuan, L. (2019, Februari 20).

Impact of straw management on seasonal soil carbon dioxide emissions,

soil water content, and temperature in a semi-arid region of China. Science

of The Total Environment, 652, 471-482.

https://doi.org/10.1016/j.scitotenv.2018.10.207

Ye, H., Ren, Q., Shi, L., Song, J., Hu, X., Li, X., Zhang, G., Lin, T., & Xue, X.

(2018). The role of climate, construction quality, microclimate,

socio-economic conditions on carbon emissions form office buildings in

China. Jurnal Cleaner Production, 171, 911-916.


Pembagian Tugas
- Latar Belakang (Sixtina)
- Tinjauan Pustaka Siklus Karbon (Helmi)
- Tinjauan Pustaka Respirasi Tanah (Evelyn)
- Tinjauan Pustaka Faktor Emisi Metode (Sixtina)
- Waktu dan Tempat Penelitian (Sixtina & Hadi)
- Metode Pengambilan Data Lapangan Mikroklimat dan Edafik (Kisam)
- Metode Soda Lime dan Analisis Data Mikroklimat (Aghisna)
- Analisis Data Edafik dan Emisi CO2 Tanah (Helmi)
- Olah Data Hasil Pengamatan Abiotik dan Edafik (Hadi)
- Olah Data Hasil Pengamatan Perbandingan Emisi ( Kisam)
- Pembahasan Perbedaan Kondisi Abiotik (Sixtina)
- Pembahasan Perbedaan Emisi CO2 Tanah (Aghisna)
- Tujuan dan Kesimpulan, Formatting (Helmi)

Anda mungkin juga menyukai