Disusun oleh:
Kelompok 2
Helmi Abdillah 10619012
Hadi Rayhan Hanifah P 10620011
Annisa Rahmawati Kisam 10620021
Evelyn Caroline 10620034
Putu Sixtina Dewandari 10620035
Aghisna Syifa Rahmani 10620055
Asisten:
Ryutari Yasya
10619010
1.2 Tujuan
Adapun tujuan praktikum ini antara lain.
1. Menentukan perbedaan kondisi mikroklimat dan edafik antara Kebun
Botani SITH dengan lapangan Labtek XI.
2. Menentukan emisi CO2 tanah pada Kebun Botani SITH dan lapangan
Labtek XI
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Siklus Karbon dan Peran Ekosistem Dalam Mengendalikannya
Siklus karbon sangat penting karena hubungannya yang erat dengan aliran
energi melalui ekosistem, melalui transfer energi kimia dalam karbohidrat.
Karbon disimpan secara global baik sebagai karbon dioksida atmosfer dan sebagai
karbonat sedimen dan terlarut (terutama kalsium karbonat)(D.Schowalter, 2016).
Karbon adalah konstituen dari semua kehidupan terestrial. Siklus karbon dimulai
melalui ekosistem hutan ketika tanaman mengasimilasi CO2 di atmosfer melalui
fotosintesis menjadi gula tereduksi. Biasanya sekitar setengah dari produk
fotosintesis bruto yang dihasilkan (GPP) dikeluarkan oleh tanaman dalam
respirasi autotrofik (Ra) untuk sintesis dan pemeliharaan sel hidup, melepaskan
CO2 kembali ke atmosfer. Produk karbon yang tersisa (GPP Ra) masuk ke
produksi primer bersih (NPP): dedaunan, cabang, batang, akar, dan organ
reproduksi tanaman. Saat tanaman melepaskan daun dan akar, atau terbunuh,
bahan organik yang mati membentuk detritus, substrat yang mendukung hewan
dan mikroba, yang melalui metabolisme heterotrofik (Rh) melepaskan CO2
kembali ke atmosfer. Ekosistem dapat kehilangan karbon jika fotosintesis tiba-tiba
berkurang atau ketika bahan organik dihilangkan sebagai akibat dari gangguan.
Humus tanah merupakan akumulasi utama karbon di sebagian besar ekosistem
karena tetap tidak teroksidasi selama berabad-abad. Humus merupakan situs
penyimpanan karbon jangka panjang yang paling penting dalam ekosistem(H.
Waring & W. Running, 2007). Siklus karbon global sangat bergantung pada
komunitas mikroba yang memperbaiki karbon atmosfer, mendorong pertumbuhan
tanaman, dan mendegradasi atau mengubah bahan organik di dalam lingkungan
(Kumari et al., 2022).
2.2 Definisi Respirasi Tanah dan Emisi CO2 Tanah
Tanah adalah salah satu sumber utama emisi karbon ke atmosfer dalam
bentuk CO2, bahkan diperkirakan sepuluh kali lipat dari emisi CO2 oleh
pembakaran bahan bakar fosil (Ray et al., 2020). Respirasi tanah merupakan jalur
primer emisi CO2 oleh tanaman darat ke atmosfer. Diperkirakan emisi CO2 tanah
15
hasil respirasi tanah adalah 75 x 1075 × 10 𝑔𝐶/𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 dan akan semakin
meningkat karena perubahan kondisi di Bumi (Schlesinger & Andrews, 2000).
Respirasi tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berinteraksi, seperti
suhu dan kelembaban, pH, serta keberadaan materi organik dan unsur biotik.
Unsur biotik yang dimaksud adalah kontribusi dari respirasi akar, respirasi
akar-mikoriza, serta respirasi mikroba yang hidup bebas (Tang et al., 2019).
Gambar 3.1 Peta lokasi pengambilan data pengukuran Emisi CO2 (Dokumentasi Pribadi, 2022).
Gambar 3.2 Rona tempat pengambilan data Emisi CO2 tidak ternaungi (Dokumentasi Pribadi,
2022).
Gambar 3.3 Rona tempat pengambilan data Emisi CO2 ternaungi (Dokumentasi Pribadi, 2022).
Tabel 3.1 Koordinat tempat pengambilan data setiap kelompok
1 6°53'25.06"S 107°36'29.77"T
2 6°53'24.92"S 107°36'30.31"T
3 6°53'25.14"S 107°36'30.55"T
5 6°53'24.94"S 107°36'30.72"T
6 6°53'23.60"S 107°36'34.74"T
8 6°53'23.60"S 107°36'34.37"T
9 6°53'22.89"S 107°36'34.28"T
10 6°53'23.02"S 107°36'33.67"T
Jumlah CO2 akan ditentukan dengan mengukur perubahan berat soda lime setelah
terpapar CO2 yang akan menyesuaikan berat molekul CO2 dan H2O (Johnson,
2008).
Sungkupan harus benar-benar menutupi area tanah hingga terkubur kurang lebih 2
cm untuk memastikan tidak ada gas yang bocor. Tanaman juga harus disingkirkan
dari area sungkupan agar hasil pengukuran tidak bias karena gas CO2 dapat
diserap tanaman untuk fotosintesis.
3.3 Analisis Data
3.3.1 Mikroklimat
Data mikroklimat yang diambil adalah suhu udara, intensitas cahaya,
kelembaban udara, suhu tanah, kelembaban tanah, dan pH tanah. Pengambilan
data dilakukan dua pengulangan, di awal dan akhir pengambilan data untuk setiap
lokasi. Digunakan sling psychrometer untuk pengambilan data suhu dan
kelembapan udara, lux meter digunakan untuk mengambil data intensitas cahaya,
termometer Wexler untuk suhu tanah, dan soil tester untuk pH dan kelembapan
tanah. Data lalu dikompilasi dalam spreadsheet dengan mengisi form pada ODK
Collect sebelum diolah menjadi boxplot dengan aplikasi Rstudio.
3.3.2 Edafik
Setelah didapatkan data berupa bulk density dan porositas tanah pada
kedua lokasi, masing-masing data diolah menjadi boxplot dengan aplikasi R.
Boxplot (juga dikenal sebagai diagram box-and-whisker) merupakan suatu
box(kotak berbentuk bujur sangkar). Boxplot adalah salah satu cara dalam
statistik deskriptif untuk menggambarkan secara grafik dari data numerik. Boxplot
dapat digunakan untuk menunjukkan perbedaan antara populasi tanpa
menggunakan asumsi distribusi statistik yang mendasarinya(Junaidi, 2015).
Perbedaan populasi data juga di tes signifikansinya menggunakan t.test di aplikasi
R. Distribusi t merupakan distribusi probabilitas yang mirip dengan distribusi
Normal. t-test biasanya digunakan untuk menguji hipotesis yang melibatkan data
numerik. Kebutuhan akan distribusi t berasal dari fakta bahwa kita harus
memperkirakan simpangan baku(standard deviation), menambahkan variabilitas
ekstra ke dalam masalah. Distribusi t membantu memutuskan apakah mean
berbeda dari nilai standar yang diketahui(Ugoni & Walker, 1995).
3.3.3 Emisi Co2 Tanah
Setelah didapatkan data berupa laju emisi CO2 pada kedua lokasi, data
diolah menjadi boxplot dengan aplikasi R. Boxplot (juga dikenal sebagai diagram
box-and-whisker) merupakan suatu box(kotak berbentuk bujur sangkar). Boxplot
adalah salah satu cara dalam statistik deskriptif untuk menggambarkan secara
grafik dari data numerik. Boxplot dapat digunakan untuk menunjukkan perbedaan
antara populasi tanpa menggunakan asumsi distribusi statistik yang
mendasarinya (Junaidi, 2015). Perbedaan populasi data juga di tes signifikansinya
menggunakan t.test di aplikasi R. Distribusi t merupakan distribusi probabilitas
yang mirip dengan distribusi Normal. t-test biasanya digunakan untuk menguji
hipotesis yang melibatkan data numerik. Kebutuhan akan distribusi t berasal dari
fakta bahwa kita harus memperkirakan simpangan baku (standard deviation),
menambahkan variabilitas ekstra ke dalam masalah. Distribusi t membantu
memutuskan apakah mean berbeda dari nilai standar yang diketahui(Ugoni &
Walker, 1995).
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pengamatan
Data yang didapatkan kemudian dicatat dan diolah menggunakan aplikasi
Excel dan RStudio. Berikut adalah hasil pengolahan data yang dilakukan.
4.1.1 Mikroklimat
a. Suhu Udara
4.1.2 Edafik
a. Suhu Tanah
b. Kelembapan Tanah
c. pH Tanah
d. Bulk Density
e. Porositas
f. Kandungan Mineral
g. Kandungan Organik
h. Kandungan Air
Gambar 4.12 Laju Emisi CO2 pada Lokasi Ternaungi dan Tidak Ternaungi
Gambar 4.3 menunjukkan perbandingan laju emisi CO2 di dua lokasi
dengan kondisi ternaungi dan tidak ternaungi. Laju emisi CO2 di Kebun Botani
(ternaungi) memiliki range yang lebih besar dibandingkan Labtek XI (tidak
ternaungi). Rata-rata laju emisi CO2 di Kebun Botani (ternaungi) adalah 13.718
g/m2, hasil ini lebih rendah dibanding rata-rata di Labtek XI senilai 15.331 g/m2.
Berdasarkan uji normalitas, didapatkan nilai p-value Kebun Botani (ternaungi)
adalah 0.01488 yang berarti data berdistribusi tidak normal karena p-value<0.05.
Sedangkan nilai p-value Labtek XI (tidak ternaungi) adalah 0.92 yang berarti data
berdistribusi normal. Selanjutnya dilakukan uji signifikansi pada kedua data, pada
lokasi Kebun Botani (ternaungi) didapatkan nilai p-value 0.0452 yang berarti
terdapat perbedaan signifikan pada data. Pada Labtek XI (tidak ternaungi)
didapatkan nilai p-value 0.8481 yang berarti tidak ada perbedaan yang signifikan
pada data.
4.2 Pembahasan
4.2.1 Perbedaan Kondisi Abiotik
Berdasarkan hasil pengolahan data, didapatkan bahwa suhu udara dan
intensitas cahaya lebih tinggi pada daerah tidak ternaungi. Daerah tidak ternaungi
adalah daerah dengan jumlah kanopi yang relatif lebih sedikit sehingga
memungkinkan cahaya matahari untuk masuk. Hal tersebut meningkatkan
intensitas cahaya serta suhu udara karena cahaya membawa kalor. Suhu udara
yang lebih tinggi pada daerah yang tidak ternaungi menyebabkan peningkatan laju
emisi CO2 karena semakin tinggi suhu udara semakin besar emisi CO2 yang
dihasilkan oleh tanah (Rastogi et al., 2002). Sedangkan kelembapan udara pada
kedua wilayah relatif sama. Diketahui bahwa kelembapan tanah berbanding
positif dengan peningkatan laju emisi CO2 dari tanah (Wang et al., 2019). Namun,
salah satu faktor terpenting penentu laju emisi CO2 adalah porositas tanah
(Carbonell-Bojollo, 2012). CO2 dalam tanah tersimpan pada ruang pori-pori tanah
tersebut. Dari data pengamatan, kandungan mineral, organik tanah, dan bulk
density kurang lebih sama menandakan komposisinya yang tidak jauh berbeda
namun terlihat perbedaan yang cukup jauh pada kandungan airnya. Kandungan air
dalam tanah dan porositas berhubungan, semakin lembab tanah, maka akan ada
efek kompresif yang meningkat sejalan dengan peningkatan porositas (Shen &
Xu, 2019). Hal ini yang menyebabkan laju emisi CO2 di Kebun Botani atau
ternaungi lebih sedikit dibandingkan tidak ternaungi atau Labtek XI.
BAB V
KESIMPULAN
Adapun kesimpulan dari percobaan ini, yaitu:
A. Daerah tidak ternaungi mendapatkan intensitas cahaya serta suhu udara
yang lebih tinggi. Hal ini dapat diakibatkan oleh tidak adanya vegetasi
yang bisa menaungi daerah dari cahaya matahari. Selain itu, suhu tanah
serta pH tanah yang tidak ternaungi lebih tinggi dari daerah ternaungi. Hal
ini dapat diakibatkan lagi oleh tidak adanya vegetasi yang menaungi dari
suhu tinggi serta akar yang menjadi regulator pH pada tanah. Efek dari
suhu tinggi ini pula menyebabkan kelembapan tanah yang rendah pada
daerah tidak ternaungi.
B. Emisi CO
DAFTAR PUSTAKA
References
Cho, S. R., Jeong, S. T., Kim, G. Y., Lee, J. G., Kim, P. J., & Kim, G. W. (2018).
Evaluation of the carbon dioxide (CO2) emission factor from lime applied
https://doi.org/10.1016/j.geoderma.2018.10.007
Marnay, C., Fisher, D., & Murtishaw, S. (2002). Estimating carbon dioxide
https://www.jstor.org/stable/24105957
Wang, W., Akhtar, K., Ren, G., Yang, G., Fen, Y., & Yuan, L. (2019, Februari 20).
https://doi.org/10.1016/j.scitotenv.2018.10.207
Ye, H., Ren, Q., Shi, L., Song, J., Hu, X., Li, X., Zhang, G., Lin, T., & Xue, X.