Anda di halaman 1dari 10

TUGAS KELOMPOK

PRAKTIKUM PERTANIAN BERLANJUT ASPEK TANAH

Disusun oleh:

Kelompok (1) Agroekoteknologi B

Nama Anggota

(1) Yuyun Dwi Alfiyanti 205040200113002

(2) M. Ian Wahyu Ardias P. 205040200113004

(3) Lenny Dwi Lestari 205040200113006

(4) Farid Fauzi Ar Rahman 205040200113012

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

KEDIRI

2022
BAB I. PENDAHULUAN

Kegiatan pengkolaborasian antara adaptasi iklim, penyimpanan karbon, keanekaragaman


hayati serta daerah aliran sungai menunjukkan adanya hubungan sebab akibat yang menjadi
sinergi dalam melawan perubahan iklim dan pelestarian keanekaragaman hayati pada lanskap
produksi yang diinginkan. Hal tersebut tercipta dalam sistem agroforestri. Keanekaragaman
hayati memiliki peran untuk mendorong berbagai fungsi ekosistem. Seperti pada ekosistem
hutan, bahwa keanekaragaman hayati memungkinkan spesies dapat mengakses sumber daya dan
meningkatkan ketahanan terhadap gangguan stabilitas ekosistem. Berbagai jenis pohon yang
berada di hutan dapat memproduksi serasah yang berguna untuk melindungi permukaan tanah
serta menjadi pemasok bahan organik untuk memenuhi nutrisi pada tumbuhan. Dengan adanya
seresah tersebut dapat mempertahankan kesuburan tanah, yang mengakibatkan pertumbuhan
biomassa dan meningkatkan penyerapan CO2 dari atmosfer.

Umumnya hutan alami yang memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi
termasuk stok cadangan C, jumlah karbon pada tiap lahan memiliki perbedaan berdasarkan
keanekaragaman dan jumlah rapatan keanekaragaman hayati. Namun untuk saat ini berdasarkan
tingkat kausalitas dan relevansi hubungan antara hutan alami belum ditemukan adanya relevansi
dalam upaya perubahan iklim global. Apabila dikaji berdasarkan teoritisnya maka terdapat
hubungan antara keanekaragaman hayati dengan fungsi ekosistem yang dapat membantu
lingkungan untuk beradaptasi dengan perubahan iklim. Adaptasi perubahan iklim bertujuan
untuk membalikkan peningkatan kerentanan manusia dari hasil degradasi lahan. Untuk
meningkatkan dalam menghadapi curah hujan yang berfluktuasi diperlukan lingkungan yang
terlindungi. Apabila suatu lahan atau hutan dikonversikan menjadi penggunaan lahan lain maka
akan mengakibatkan kerugian dalam kelestarian lingkungan termasuk keanekaragaman tanaman
di dalamnya maka kemungkinan akan menghadapi kesulitan dalam melakukan adaptasi mitigasi
perubahan iklim.
BAB II. METODE

Menggunakan metode sampel bertingkat, untuk mengkarakterisasi dominasi sistem


penggunaan lahan dengan menganalisis 45 titik sistem penggunaan lahan. Subplot berukuran
20m × 20m (sub-plot) digunakan untuk pengukuran stok C untuk pohon dengan DBH 5–30 cm.
Jika pohon besar (dengan DBH > 30 cm) ditemukan di subplot, maka dapat diperluas ukuran plot
menjadi 100 m × 20 m (plot) untuk mengukur komponen pohon besar saja (pohon atau nekromas
untuk pohon > 30 cm DBH) .Keanekaragaman pohon diukur dalam petak berukuran 100 m × 20
m. menghitung kerapatan pohon, luas dasar, keanekaragaman pohon Dan stok C di plot.
Keanekaragaman hayati diperkirakan menggunakan indeks keanekaragaman Shannon-Wiene
Kemudian menghitung stok Karbon menggunakan protokol Rapid Carbon Stock Appraisal
dengan mengukur Lima sumber karbon termasuk biomassa pohon, biomassa tumbuhan bawah,
nekromassa, serasah dan C organik tanah.

Perhitungan pendugaan laju emisi dan sekuestrasi karbon di tingkat lanskap, pengukuran
dilakukan pada berbagai penggunaan lahan, dikombinasikan dengan data spasial tutupan lahan
dan perubahan penggunaan lahan. Kegiatan yang akan datang adalah perhitungan emisi
menggunakan program LUWES dengan mempertimbangkan perencanaan pembangunan daerah
yang sebenarnya. Penghitungan karbon dalam 6 langkah: Estimasi perubahan tutupan lahan di
DAS mikro Bangsri menurut sejarah perubahan tutupan lahan dengan menganalisis citra satelit
pada tahun 1994, 2001, 2011 dan 2017; Perhitungan faktor stok karbon, dengan menghitung stok
C rata-rata waktu (total 5 pool C menurut dari berbagai penggunaan lahan di sub-DAS bangsri
dan beberapa data kami menggunakan data yang ada dari kegiatan lain yaitu stok C rata-rata
waktu TNBTS, bush fallow menggunakan data di Jawa Timur; Ekstrapolasi emisi karbon per
penggunaan lahan ke dalam DAS mikro Bangsri, dengan mengintegrasikan kedua data di atas
untuk membuat matriks transisi perubahan penggunaan lahan; Membuat peta persebaran stok
karbon di DAS mikro Bangsri; Melanjutkan penghitungan emisi CO2 menggunakan Program
penghitungan karbon ABACUS.
BAB III. PERAN VEGETASI TERHADAP CADANGAN KARBON

Secara teoritis, ada umpan balik positif antara keanekaragaman hayati dan fungsi
ekosistem, karena keragaman sifat mengurangi kerentanan terhadap guncangan eksternal dan
meningkatkan cadangan karbon. Dalam lanskap hutan tropis yang dikelola, hubungan antara
keanekaragaman hayati dan penyimpanan C mungkin kurang jelas. Hutan tropis yang utuh
dikenal karena keanekaragaman hayatinya yang tinggi dan stok C yang tinggi. Konversi hutan
untuk penggunaan pertanian dimulai dengan penebangan dan pembukaan yang dapat mengurangi
keanekaragaman hayati di atas permukaan tanah serta stok C menjadi nol. Konversi hutan pada
sistem pertanian intensif mengakibatkan penurunan dalam keanekaragaman hayati dan stock C
dikarenakan hilangnya pohon.

Penanaman pohon pelindung dapat membentuk sistem wanatani


(sederhana dan kompleks) yang secara bertahap mampu meningkatkan
keanekaragaman pohon. Kerapatan dan keragaman pohon yang tinggi
pada sistem berbasis kakao mampu menghasilkan stok C yang lebih
tinggi. Sistem penggunaan lahan kakao dapat meningkat dari total
stok karbon 56 Mg C ha−1 dalam monokultur menjadi 75–89 Mg C ha−1.
Apabila kakao ditanam dalam sistem agroforestri yang lebih
kompleks. Pohon peneduh berperan penting dalam menyumbang stok C
dalam sistem agroforestri. Perubahan penggunaan lahan dari hutan ke
sistem tanam dapat menurunkan C di bawah permukaan tanah melalui
paparan permukaan tanah, penurunan input bahan organik dan
degradasi C organik tanah. Perubahan akibat konversi hutan
terdegradasi menjadi sistem pertanian (CR) menyebabkan hilangnya C
tanah sekitar 8,5 Mg C ha-1 di 10 cm teratas. Dibandingkan dengan
sistem pertanian lainnya, keragaman pohon pelindung akan bertahan
lama dalam sistem agroforestri karena petani biasanya menanam
pohon baru sebelum pohon tua dipanen, yang mempertahankan stok C.

Semakin lama pohon bertahan dalam sistem, semakin banyak stok C yang akan mereka
simpan saat ukurannya bertambah. Praktik pengelolaan yang diarahkan pada kerapatan pohon
penaung yang tinggi dalam sistem agroforestri kakao dapat mempertahankan fungsi ekosistem
yang disediakan oleh hutan, seperti penyerapan C di atas tanah, meningkatkan stok C di bawah
tanah melalui penambahan bahan organik dari serasah dan akar, dan meningkatkan ketahanan
terhadap perubahan iklim. Vegetasi hutan berperan dalam upaya peningkatan penyerapan CO2
dimana dengan bantuan cahaya matahari dan air dari tanah, vegetasi yang berklorofil mampu
menyerap CO2 dari atmosfer melalui proses fotosintesis. Besarnya peran vegetasi sebagai
penyerap dan penyimpanan karbon sungguh penting untuk mengurangi GRK di atmosfer.
BAB IV. LAJU EMISI DAN SEKUESTRASI KARBON DALAM SKALA LANSKAP
Estimasi emisi dan sekuestrasi CO2 di DAS mikro Bangsri periode 1994-2001, 2001-
2011 dan 2011-2017. Perhitungan emisi atau sekuestrasi CO2 di DAS mikro Bangsri dilakukan
dengan mengintegrasikan data aktivitas terkait perubahan penggunaan lahan ha tahun-1 ) dan
data faktor emisi C (Mg ha-1 tahun-1 ). Perubahan stok C setiap perubahan tutupan lahan
dihitung menurut metode selisih stok untuk memperoleh informasi apakah perubahan tersebut
menyebabkan emisi atau sekuestrasi pada dua waktu pengamatan yang berbeda.
Emisi terjadi ketika perubahan tutupan lahan menyebabkan berkurangnya cadangan
karbon, sedangkan sekuestrasi terjadi ketika perubahan tutupan lahan menyebabkan peningkatan
jumlah cadangan karbon. Perhitungan sederhana dilakukan dengan menggunakan persamaan
berikut:

ΔC = CA -CB

Keterangan:
C = Perubahan total stok karbon, Mg ha-1
CA = Total stok karbon tutupan lahan A, Mg ha-1
CB = Total tutupan karbon tutupan lahan B, Mg ha-1
Berikut merupakan tabel emisi dan sekuestrasi CO2 di DAS mikro Bangsri terkait
perubahan tutupan lahan dari tahun 1994-2001, 2001-2011 dan 2011-2017 :

1994-2001 2001-2011 2011-2017

(7 tahun) (10 tahun) (6 tahun)

Luas DAS (DAS)*, 2984,04 2984,04 2984,04


ha

Emisi, Mg 74350,30 51839,39 52388,45

Sekuestrasi, Mg 20316,34 32032,45 21.107,31

Emisi bersih, Mg 54033,96 19806,94 31.281,14

Laju emisi C dalam 18,11 6,64 10,48


Mg /ha

Faktor emisi C dalam 2,59 0,66 1,75


Mg/ha/tahun

Faktor emisi CO2 9,49 2,44 6,41


dalam Mg/ha/tahun

Keterangan:*Luas = luas jenis penggunaan lahan di DAS


Pada periode 1994 hingga 2001, emisi karbon terbesar terjadi jika dibandingkan dengan
dua periode lainnya, namun pada periode berikutnya (2001 hingga 2011) emisi C mengalami
penurunan dan sekuestrasi C meningkat, sehingga emisi bersih menjadi terendah (33198 Mg).
Pada tahun 2001 hingga 2011 jumlah emisi tetap sama dengan periode sebelumnya, namun
penyerapan C lebih kecil; sehingga emisi C bersih meningkat.
Selanjutnya dilakukan perhitungan untuk menghitung faktor emisi CO2 (total C x 3.567)
dari 3 periode pengamatan berturut-turut sebesar 9,5 Mg ha-1 tahun-1, 2,4 Mg ha-1 tahun-1 dan
6,4 Mg ha-1 tahun-1, untuk periode 1994 hingga 2001, 2001 hingga 2011 dan 2011 hingga 2017.
Menurut perhitungan emisi CO2 di Indonesia dengan menggunakan data perubahan tutupan
lahan tahun 1990 hingga 2005, rata-rata emisi CO2 di Indonesia adalah 2,14 Mg ha-1 tahun-1
Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa dari ketiga periode tersebut periode 1994-
2001 terjadi perubahan emisi karbon yang paling besar. Akan tetapi pada periode 2001-2011
terjadi peningkatan sekuestrasi dan penurunan emisi karbon
BAB V. UPAYA MITIGASI DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DI TINGKAT
LANSKAP
Adaptasi merupakan strategi masyarakat dalam mengantisipasi dampak negatif
perubahan iklim dengan mengambil tindakan yang tepat untuk mencegah atau meminimalkan
kerusakan yang mungkin terjadi, atau memanfaatkan peluang yang mungkin timbul dari
perubahan iklim. Pada DAS mikro Bangsri terdapat permasalahan yakni terkait distribusi curah
hujan yang tidak menentu. Pada musim hujan, cuaca yang sangat basah dan pada musim
kemarau sangat kering dalam jangka waktu yang lama. Permasalahan kemarau panjang memang
sudah terjadi, namun masyarakat yang tinggal di lereng atas tampaknya bisa mengatasinya.
Masyarakat yang tinggal di lereng atas mengatasinya dengan adanya kolam retensi, yang secara
lokal dikenal sebagai “embung udara”. Kolam retensi (embung udara) tersebut dapat digunakan
untuk menyimpan cukup air.
Menghadapi masalah iklim, banyak cara yang dilakukan oleh warga desa. Petani yang
ada di Hutan Produksi Perhutani di bagian lereng atas, mempertahankan produksi cabainya,
dengan berbagai cara, diantaranya :
(a) Dengan pemangkasan cabang dan ranting untuk mendapatkan cahaya yang cukup untuk
cabai.
(b) Mengurangi penguapan dengan menggunakan mulsa plastik.
(c) Menerapkan irigasi yang dikelola oleh kelompok tani
(d) Petani menanam 'kenikir'/marigold (Tagetes erectaa) untuk mengusir hama lalat buah yang
sering menyerang buah cabai.
(e) Pemanfaatan dahan dan ranting hutan pinus dan bambu untuk kayu bakar (mitigasi
penggunaan bahan bakar fosil).
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN
Campuran beragam pohon peneduh dengan kepadatan kayu sedang hingga tinggi
berkontribusi terhadap cadangan karbon dalam sistem agroforestri berbasis kakao. Penulis
menemukan hubungan positif antara cadangan karbon dengan keanekaragaman pohon, yang
menunjukkan bahwa praktik pengelolaan dalam sistem agroforestri kakao meningkat, baik dalam
cadangan karbon maupun keanekaragaman pohon. Preferensi pemilihan spesies pohon
berdasarkan gender petani turut berkontribusi pada peningkatan keanekaragaman pohon dalam
sistem tersebut. Preferensi petani untuk spesies pohon tergantung pada manfaat yang diberikan
oleh spesies pohon peneduh, di mana petani laki- laki dan perempuan memprioritaskan manfaat
ekonomi dan produksi subsisten. Sistem agroforestri dengan campuran berbagai jenis pohon
memberikan lebih banyak fungsi, baik untuk lingkungan dan masyarakat setempat dalam
memenuhi kebutuhan sehari-hari, termasuk dalam menghasilkan pendapatan. Perubahan
penggunaan lahan di Bangsri dalam dua dekade terakhir telah menyebabkan cadangan karbon
pada lanskap lebih rendah, tetapi meningkatkan penyimpanan air permukaan dan penggunaan
pipa irigasi telah memungkinkan petani untuk menghadapi musim kemarau dengan beralih ke
produksi sayuran di bawah tutupan pohon sebagian. Sementara itu, kegiatan penambangan pasir
meningkatkan kerentanan dengan meninggalkan tanah terdegradasi.
Pemerintah dapat mempertegas kembali mengenai penegakan peraturan perundang
undangan terkait yang telah dirumuskan mengenai alih fungsi lahan. Pemerintah memiliki
kewajiban penuh sesuai konstitusi negara dalam mensejahterakan masyarakatnya melalui
pengelolaan kekayaan sumber daya alam secara bijaksana. Kebijakan yang ditempuh dapat
diteruskan melalui kementerian terkait, dalam hal ini Kementerian Pertanian. Kementerian
Pertanian dapat menyelenggarakan program- program yang dapat meningkatkan softskill dan
hardskill dari para petani, salah satunya dapat dengan memberikan edukasi mengenai Climate
Smart Agriculture (CSA). Masyarakat luas, khususnya petani, memiliki tanggung jawab besar
dalam mengelola sumber daya alam yang ada, tanpa tendensi ekstraktif yang akan menimbulkan
kerusakan alam.
DAFTAR PUSTAKA
Hairiah K, Utami SR, Suprayogo D, Widianto, Sitompul SM, Sunaryo, Lusiana B,
Mulia R, Van Noordwijk M, Cadisch G. 2021. Agroforestry on Acid Soils in the Humid
Tropics : Managing tree-soil-crop interactions. International Center for Research in
Agroforestry (ICRAF).
Willis, K. J., 2017. State of the World’s Plants 2017. Report. Royal Botanic Gardens,
Kew, England

Anda mungkin juga menyukai