Anda di halaman 1dari 2

Lumut (bryophyte) merupakan kelompok tumbuhan terbesar kedua setelah Angiosperma.

Habitat
lumut terbesar yaitu pada hutan hujan tropik salah satunya yaitu di wilayah Indonesia. Salah satu
tumbuhan lumut yang memiliki manfaat sebagai bioindikator panas adalah Sphagnum. Sel daun dan
bongkolnya yang kosong banyak mengandung air. Layaknya tumbuhan lainnya, kemampuan ini ada
berkat proses fotosintesis, yang salah satunya adalah pertukaran antara karbon dioksida dan oksigen
Menurut (Imu, dkk 2019:148), Potensi lumut secara ekologi yaitu mampu mengabsorsi dan sebagai
tempat menyimpan air hujan Kirmaci & Agcagil, mencegah erosi tanah, sebagai substrat
perkecambahan biji Glime, dan sebagai bioindikator terhadap perubahan lingkungan Gignac.

Pengurangan konsentrasi metana di atmosfer, baik dari sumber- sumber alam dan antropogenik,
sangat penting. Salah satu penemuan menunjukkan bahwa bakteri endofit metanotropik yang
diisolasi dari dalam jaringan lumut Sphagnum spp. misalnya, Methylocella palustris dan
Methylocapsa acidiphila dapat mengoksidasi metana menjadi karbon dioksida, yang kemudian dapat
digunakan oleh Sphagnum untuk proses fotosintesis. Penggunaan mikroba untuk proses bioremidiasi
sangat diperlukan karena mekanismenya yang efektif.

Udara adalah salah satu faktor abiotik yang menjadi komponen utama dalam proses kehidupan.
Peningkatan aktivitas manusia terutama di daerah perkotaan yang memiliki jumlah penduduk
banyak menyebabkan kualitas udaranya telah mengalami perubahan. Perubahan lingkungan
khususnya kualitas udara umumnya disebabkan oleh pencemaran udara, yaitu masuknya zat-zat
pencemar yang berbentuk gas-gas dan partikel kecil aerosol ke dalam udara. Masuknya zat-zat
pencemar tersebut ke dalam udara dapat terjadi secara alamiah, misalnya karena asap (emisi gas
buang). Gas- gas buangan ini disebabkan oleh transportasi, industri, sampah, proses dekomposisi
atau pembakaran baik pembakaran industri maupun domestik (Roziaty 2016:770).

Lahan gambut alami berkontribusi signifikan terhadap penyerapan karbon global dan penyimpanan
biomassa. Lebih dari sepertiga karbon tanah global (C) disimpan di berbagai tempat membuat
akumulasi C gambut menjadi bagian penting dari anggaran C global. Perubahan iklim diperkirakan
akan berdampak kuat pada penyerapan C lahan gambut. Selama awal dan pertengahan Holosen,
akumulasi C gambut sangat ditentukan oleh mundurnya lapisan es utara dan kenaikan suhu karena
konsentrasi CO2 di atmosfer relatif stabil pada 275 ± 8 ppm. Sejak awal revolusi industri pada awal
abad kesembilan belas, konsentrasi CO2 telah meningkat dari ca. 280 ppm menjadi lebih dari 400
ppm hari ini. Naiknya kadar CO2 umumnya menekan fotorespirasi relatif terhadap fotosintesis tetapi
besarnya penekanan tergantung pada kedalaman muka air tanah saat ini dengan memperkirakan
perubahan kedalaman muka air, suhu, dan curah hujan selama abad kedua puluh (Serk etc, 2021).

Kendaraan bermotor merupakan salah satu penyebab utama dalam peningkatan polusi udara.
Kendaraan bermotor menghasilkan emisi berupa gas buangan yang dapat mencemari lingkungan di
sekitarnya. Lalu lintas kendaraan bermotor yang padat di suatu wilayah menyebabkan probabilitas
wilayah tersebut mengalami peningkatan polusi udara. Oleh karena itu, perlu upaya untuk
memantau kondisi dan kualitas udara. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah
biomonitoring menggunakan bioindikator (Yuliani et al. 2021:55).

Perluasan proses urbanisasi telah mengakibatkan penurunan kesehatan lingkungan kota-kota besar.
Seiring dengan pertumbuhan penduduk di kota dan pengelolaan sumber daya alam yang tidak
efisien telah menyebabkan penurunan area hijau yang ada untuk budidaya. Namun, dalam beberapa
tahun terakhir, pentingnya ruang hijau di daerah perkotaan telah dimodifikasi menjadi lebih banyak
ruang hijau. Implementasi ruang-ruang ini telah difasilitasi oleh pengenalan teknologi dan kebijakan
serta program yang lebih hijau yang mendorong penggunaannya. Pertanian atap perkotaan,
memberikan peningkatan dalam kinerja termal bangunan, terutama pada periode panas, karena
vegetasi di atap yang dibangun juga mempengaruhi iklim mikro lokal, melindungi dari radiasi
matahari dan angin, mempengaruhi suhu dan kelembapan lingkungan fisik (Cunha etc, 2021).

Urbanisasi yang cepat dan pertumbuhan perkotaan menempatkan permintaan besar pada sistem
pasokan makanan perkotaan. Selain itu, banyak kota di dunia menghadapi masalah seperti
berkurangnya ruang hijau secara cepat dan meningkatnya efek pulau panas. Rooftop garden
dipromosikan sebagai solusi potensial untuk masalah ini (Smit, Nasr & Ratta, 2001). Rooftop garden
dapat mengurangi suhu atap dan udara di sekitarnya yang berkontribusi pada pendinginan
keseluruhan iklim lokal (RIES, 2014) dan dapat membantu mengurangi efek panas perkotaan (Hui,
2011). Rootop garden juga dapat menyerap emisi karbon dan kebisingan (Dubbeling, 2014; Hui,
2011). Air hujan ditangkap dan diserap oleh tanaman dan dampak luapan pada infrastruktur
berkurang (RIES, 2014). Atap yang dipenuhi vegetasi bisa menjadi tempat yang bagus untuk
bersantai. Pertanian semacam ini dapat dengan mudah menawarkan pekerjaan kepada orang-orang
(Sprouting Good Urban Farming Sydney, 2014). Rooftop garden membantu meningkatkan
keanekaragaman hayati dan menyediakan habitat bagi berbagai serangga dan burung (Pertanian
Tanah Tinggi n.d.).

Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti berinisiatif untuk melakukan penelitian identifikasi
lumut di Kawasan Taman Nasional Bantimurung. Hal ini dimaksudkan untuk dapat mengungkap
keanekaragaman lumut di kawasan tersebut, sekaligus untuk melengkapi data keanekaragaman
flora di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai