Anda di halaman 1dari 34

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/281677357

Pendekatan Mitigasi dan Adaptasi Dampak Perubahan Iklim Di Kawasan


Ekosistem Terumbu Karang

Chapter · October 2013

CITATIONS READS

0 4,047

1 author:

Alan Frendy Koropitan


Bogor Agricultural University
54 PUBLICATIONS   257 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

https://ejournal.unpatti.ac.id/ppr_iteminfo_lnk.php?id=1148 View project

All content following this page was uploaded by Alan Frendy Koropitan on 12 September 2015.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bab-8. Pendekatan Mitigasi dan Adaptasi Dampak Perubahan Iklim Di Kawasan
Ekosistem Terumbu Karang.

Oleh Alan F. Koropitan

KONSEP, TERMINOLOGI, DAN CCMA (CLIMATE CHANGE MITIGATION AND


ADAPTATION)

Pemanasan global (global warming) yang terjadi saat ini telah membawa perubahan
dalam sistem kebumian atau dikenal dengan perubahan iklim (climate change). Pencairan es di
kutub, cuaca ekstrim (badai es dan gelombang panas) dan peningkatan badai tropis adalah
merupakan bukti-bukti nyata yang terjadi saat ini. Kemunculan badai tropis Bopha yang
membawa korban banyak jiwa di Filipina Selatan, terjadi di lokasi yang tidak biasa sebagaimana
dilaporkan oleh Joint Typhoon Warning Center. Hal ini semakin memperkuat dugaan akan
dampak dari pemanasan global yang semakin nyata namun sulit diprediksi.

Konsep pemanasan global, secara sederhana, dapat dijelaskan melalui pendekatan


kesetimbangan energi panas di permukaan bumi. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Kiehl and
Trenberth (1997), proses bumi menerima energi dari matahari dalam bentuk radiasi. Pada proses
radiasi sebelah kiri gambar sekitar 30% radiasi matahari akan dipantulkan kembali sementara
70% sisanya akan diserap oleh permukaan bumi. Namun demikian, permukaan bumi tidak
langsung secara mendadak mengalami pemanasan (atau bahkan pendinginan) karena radiasi
matahari yang diserap akan dilepaskan kembali ke angkasa dalam bentuk radiasi gelombang
panjang. Dengan demikian, sistem kebumian memiliki proses alami dalam mengatur
kesetimbangan suhu permukaan bumi.

Dengan keberadaan gas rumah kaca di atmosfer (misalnya: karbon dioksida, methana,
nitro oksida, dan lain-lain), maka kesetimbangan suhu permukaan bumi menjadi terganggu. Efek
gas rumah kaca ini akan menyerap kembali energi panas yang dilepaskan oleh permukaan bumi.
Bumi yang berbentuk seperti bola, konsekuensinya akan menerima banyak energi panas di
sekitar ekuator dan energi panas ini akan ditransportasikan ke lintang tinggi melalui sirkulasi
atmosfer dan laut. Proses ini kemudian diasosiasikan sebagai pemanasan global yang berdampak
pada perubahan iklim.

Gas rumah kaca yang terutama adalah karbon dioksida (CO2), dimana emisi CO2 ke
atmosfer akibat aktifitas manusia telah berlangsung sejak revolusi industri pada akhir abad 18.
Eksploitasi besar-besaran minyak bumi serta konversi hutan menjadi lahan pemukiman
merupakan penyumbang terbesar emisi CO2 ke atmosfer, atau dikenal dengan istilah karbon
antropogenik. Perubahan iklim yang terjadi saat ini, merupakan konsekuensi dari aktifitas
manusia. Upaya-upaya yang terkait dengan intervensi antropogenik untuk mereduksi pembangkit
antropogenik dalam sistem iklim, termasuk untuk mereduksi sumber-sumber gas rumah kaca dan
meningkatkan penghilangan (sinks) gas rumah kaca disebut dengan mitigasi (IPCC, 2007a).

Penggalangan kampanye untuk memelihara lingkungan akibat aktifitas manusia yang


merusak, termasuk emisi karbon antropogenik, dimulai saat pelaksanaan Konferensi PBB
tentang Lingkungan dan Pembangunan (UN Conference on Environment and Development -
UNCED) di Rio de Jenerio, Brasil, pada tahun 1992 atau dikenal dengan Earth Summit. UNCED
kemudian menghasilkan penandatangan penandatanganan Konvensi Perubahan Iklim atau
United Nations Framework on Climate Change Convention (UNFCCC). Badan pengambilan
keputusan konvensi adalah Conference of the Parties (COP). Selain itu, PBB menugaskan World
Meteorological Organization (WMO) dan United Nations Environment Programme (UNEP)
untuk membentuk Inter-Governmental Panel on Climate Change (IPCC), yang terdiri atas
ilmuan terkemuka dunia untuk pengukuran perubahan iklim secara ilmiah. Salah satu COP
terkenal adalah COP ke-3 di Kyoto, pada Desember 1997 yang menghasilkan Protokol Kyoto.
Protokol Kyoto bermaksud menstabilkan konsentrasi Gas Rumah Kaca (termasuk CO2) pada
tingkat yang tidak membahayakan manusia, dimana masa berlakunya pada periode 2008 – 2012.
Namun sampai berakhirnya Protokol Kyoto, tidak ada pengurangan yang berarti dari emisi CO2
ke atmosfer serta tidak ada kesepakatan yang mengikat untuk memperpanjang Protokol Kyoto.

Perkembangan terakhir memperlihatkan tidak adanya harapan dalam penurunan emisi


CO2 ke atmosfer, bahkan beberapa negara yang awalnya telah meratifikasi Protokol Kyoto telah
mundur dari komitmen mereka. Untuk itu, diperlukan upaya terstruktur dalam beradaptasi
terhadap dampak dari perubahan iklim ini, selain upaya kampanye mitigasi tetap terus
digalakkan. Adaptasi menurut IPCC (2007a) adalah penyesuaian terhadap sistem alami atau
manusia dalam merespon perubahan iklim serta efeknya, baik yang terjadi saat ini maupun
antisipasi perubahan di masa mendatang, penyesuaian dapat berupa upaya mengurangi hal buruk
atau juga mengeksploitasi peluang-peluang yang menguntungkan. Beragam tipe adaptasi yang
ada, antara lain: a. adaptasi proaktif yang dilakukan sebelum dampak perubahan iklim diamati
(adaptasi antisipatif), b. adaptasi spontanitas yang dipicu karena adanya perubahan ekologis
dalam sistem alami dan perubahan kesejahteraan dalam sistem manusia, c. adaptasi terencana,
yang merupakan hasil dari keputusan kebijakan yang lahir dari kesadaran bahwa perubahan
sedang atau akan terjadi sehingga membutuhkan langkah nyata untuk mengembalikan ke kondisi
semula atau mengaturnya.

CCMA SEBAGAI KOMPONEN CORAL GOVERNANCE

Dampak perubahan iklim terhadap ekosistem terumbu karang telah mengakibatkan


penurunan proses kalsifikasi yang penting dalam pembentukan karang melalui deposit kalsium
karbonat. De’ath et al. (2009) melaporkan bahwa sejumlah karang massive di Great Barrier
Reef-GBR, Australia telah mengalami penurunan kalisifikasi sebesar 14,2 % sejak tahun 1990.
Kuat dugaan bahwa penurunan kalsifikasi di GBR akibat peningkatan suhu laut dan penurunan
kondisi kelarutan aragonite air laut. Beberapa hal lain yang mengancam ekosistem terumbu
karang adalah asidifikasi laut, yaitu penurunan pH laut akibat penyerapan karbon antropogenik
di atmosfer oleh laut. Asidifikasi dapat mengikis cangkang suatu biota laut ataupun karang yang
terbentuk dari kalsiu karbonat. Selain itu, dampak peningkatan suhu permukaan laut, curah hujan
yang ekstrim dapat memicu pemutihan karang. Dengan demikian, adaptasi dan mitigasi
perubahan iklim menjadi isu penting dalam tata kelola wilayah terumbu karang.

Adaptasi di wilayah terumbu karang menjadi krusial karena berhubungan dengan fungsi
ekologis yang sangat penting bagi sumberdaya perikanan, keanekaragaman hayati serta
kesejahteraan masyarakat sekitar. Namun, hal ini tidak terkait dengan peran terumbu karang
sebagai penyerap atau pelepas karbon ke atmosfer. Isu ini sesungguhnya telah memicu
perdebatan yang cukup panjang pada era 1990-an. Dengan adanya laporan dari Gattuso et al.
(1999), maka cukup tegas dijelaskan bahwa wilayah terumbu karang serta wilayah perairan
lainnya yang memiliki proses kalsifikasi adalah berfungsu sebagai pelepas karbon ke atmosfer.
Persoalan pelepas atau penyerap karbon di wilayah terumbu karang sesungguhnya bukanlah
persoalan yang terkait dengan Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development
Mechanism-CDM) sebagaimana yang dihasilkan dalam Protokol Kyoto. CDM lebih mengarah
pada pengurangan emisi karbon antropogenik dan bukanlah proses alami sebagaimana yang
terjadi dalam ekosistem terumbu karang.

FAKTOR-FAKTOR PENENTU PERUBAHAN IKLIM

Dalam sejarah perkembangan sistem kebumian, perubahan iklim bukanlah hal yang baru
terjadi di muka bumi ini. Dalam hal ini, paling tidak ada 5 faktor penyebab perubahan iklim
alami di waktu lampau yang terjadi sejak 100 juta tahun lampau sampai menjelang periode
industri tahun 1790-an, yaitu: 1) pergeseran lempeng menurut skenario BLAG (Berner et al.,
1983), 2) aktfitas biologis di laut dalam proses glasial-interglasial, 3) siklus presesi (precession
cycle) dari sumbu rotasi bumi, 4) sirkulasi termohalin dan 5) badai matahari.

• Skenario BLAG

Menurut skenario BLAG, mengacu pada nama penulis yaitu Berner, Lasaga dan Garrels
(Berner et al., 1983), perubahan iklim yang terjadi dalam kurun waktu 100 juta tahun yang
lampau adalah melalui proses pergeseran lempeng tektonik. Untuk memahami hal ini, perlu
memahami teori Walker et al. (1981) yang dimulai dari kondisi bumi awal miliaran tahun yang
lampau, dimana radiasi sinar matahari masih sangat lemah dibandingkan dengan saat ini. Kondisi
ini dapat menyebabkan bumi membeku di masa awal pembentukannya, sehingga untuk
kompensasinya maka memerlukan suhu yang panas di permukaan bumi. Pada kondisi 100 juta
tahun lampau, pergeseran lempeng bumi relatif lebih cepat dibanding masa kini, sehingga terjadi
pelepasan CO2 melalui aktifitas pergeseran lempeng ini. Dengan demikian, suhu permukaan
bumi menjadi lebih panas pada era tersebut dibanding saat ini. Dalam skenario BLAG ini, suhu
permukaan bumi lebih panas 10°C dibanding kondisi masa kini. Kondisi saat ini telah terjadi
pelemahan pergeseran lempeng sehingga pelepasan CO2 juga berkurang.

• Periode glasial-interglasial

Periode glasial (periode es) dan interglasial (periode non-es, relatif hangat) teramati di
stasiun Vostok, Antartika melalui rekonstruksi isotop melalui data hasil pengeboran (core) es
(Gambar 8.1). Hasil rekonstruksi untuk CO2 atmosfer dan suhu udara memperlihatkan korelasi
yang erat antar kedua parameter ini, yaitu kenaikan CO2 atmosfer akan diikuti oleh kenaikan
suhu udara dan sebaliknya. Siklus ini membentuk periode sekitar 100 ribu tahun. IPCC (2007b)
menjelaskan bahwa dari sekian banya teori yang berkembang, peranan laut dalam hal ini sangat
besar. Laut merupakan tempat penyimpanan karbon yang besar di banding daratan dan lautan
dengan komposisi sekitar 65:12:1 untuk laut, daratan dan udara. Proses-proses yang terjadi di
laut seperti sirkulasi laut, akitifitas biologi, interaksi laut-sedimen, sistem karbonat laut serta
pertukaran udara-laut diyakini bertanggung jawab dalam mengontrol CO2 di atmosfer dalam
kurun periode glasial-interglasial. Tanpa aktifitas biologi di laut, maka CO2 di atmosfer akan
meningkat tinggi. Dalam hal ini, Martin (1990) yang terkenal akan mengembalikan kondisi bumi
ke periode glasial dengan fertilisasi unsur besi, melihat bahwa banyak lokasi di laut memiliki
faktor pembatas unsur besi untuk pertumbuhan fitoplankton. Masukan unsur besi melalui partikel
debu di udara terjadi beberapa kali dalam jumlah besar saat periode glasial.

Gambar 8.1. Data deret waktu periode glacial-interglasial di stasiun Vostok, Antartika. Deret
waktu menurut skala waktu geologi untuk es (sumbu-x bawah) yang mengacu pada kedalaman
es (sumbu-x atas) dengan sumbu-y sebelah kiri untuk (a) rekonstruksi secara isotop untuk CO2
atmosfer dan (b) rekonstruksi secara isotop untuk suhu udara (dimodifikasi dari Petit et al.,
1999).
• Siklus presesi

Gambar 8.1. juga memperlihatkan bahwa dalam periode glasial, terlihat adanya variasi
musiman dengan periode siklus 22000 tahun. Hal terkait erat dengan siklus presisi sumbu rotasi
bumi dalam mengelilingi matahari. Dengan siklus ini, Broecker (2003) menjelaskan pada
Gambar 8.2 bahwa ada masa bumi relatif dekat dalam mengelilingi matahari atau jauh dari
matahari. Siklus ini memberi dampak terhadap variabilitas radiasi matahari yang sampai ke
permukaan bumi sehingga mempengaruhi suhu udara.

Gambar 8.2. Siklus presisi bumi (Sumber: Broecker, 2003)

• Sirkulasi termohalin

Pencatatan melalui rekostruksi isotop hasil pengeboran es di Greenland memberi


informasi adanya perubahan iklim mendadak (abrupt climate change), khususnya periode
Younger Dryas-YD (Gambar 8.3). Periode ini memperlihatkan adanya penurunan suhu selama
beberapa tahun pada sekitar 15000 tahun yang lampau, kemudian diikuit oleh penaikan suhu
secara tiba-tiba. Kondisi ini memiliki keterkaitan erat dengan sirkulasi termohalin, yaitu sirkulasi
global laut yang membawa massa air hangat dan dingin. Arus Lintas Indonesia yang sedang
hangat dikaji dekade terakhir ini merupakan bagian dari sirkulasi termohalin ini, yang membawa
massa air dari Samudera Pasifik (relatif hangat dan salnitas tinggi) melewati perairan Indonesia
dan menuju ke Samudera Hindia. Massa air ini akan terus terbawa masuk ke Samudera Atlantik
melalui Afrika bagian selatan kemudian melalui permukaan terus ke Samudera Atlantik bagian
utara. Massa air yang melewati perairan tropis akan mencapai utara Samudera Atlantik yang
relatif dingin sehingga densitas massa air ini meningkat dan terjadi penenggelaman. Hal ini
dikenal dengan pembentukan massa air laut dalam utara Atlantik (North Atlantic Bottom Watter-
NABW). NABW selanjutnya akan bergerak ke selatan menuju Southern Ocean melalui lapisan
dalam Samudera Atlantik. Demikian selanjutnya, massa air laut dalam ini akan memasuki
kembali Samudera Pasifik dan Hindia kemudian naik ke permukaan melalui proses upwelling
seperti diperlihatkan pada Gambar 8.4.

Gambar 8.3. Rekonstruksi akumulasi salju dan variabilitas suhu udara di Greenland (Sumber:
Alley, 2004)
Gambar 8.4. Sirkulasi termohalin, dimana merah merupakan pergerakan massa air di permukaan
sedangkan biru adalah pergerakan massa air di lapisan dalam (Sumber: Wikipedia).

Pencairan es yang terjadi pada periode YD terlihat dipengaruhi oleh penurutan suhu
permukaan bumi. Kondisi ini dimungkinkan untuk wilayah Arktik dan Greenland, dimana
sesungguhnya saat itu terjadi pemanasan yang mengakibatkan pencairan es di utara. Pencairan es
ini akan berdampak pada penurunan densitas dan mengganggu proses pembentukan NABW
akibat adanya pelemahan proses penenggelaman sirkulasi termohalin di utara Samudera Atlantik.
Pada akhirnya, periode YD dikaitkan dengan berhentinya sirkulasi termohalin di wilayah
tersebut sehingga memicu kenaikan suhu secara mendadak. Suhu yang turun pada beberapa
tahun sebelum kenaikan suhu mendadak adalah akibat berkurangnya suplai bahang dari tropis
Samudera Atlantik, sebagai respon dari perlambatan sirkulasi termohalin karena penurunan
densitas di utara Samudera Atlantik. Kondisi yang sama terjadi saat ini di Eropa dan Amerika
bagian utara, dimana dalam kurun dekade terakhir terjadi penurunan suhu yang ekstrim serta
badai salju.

• Badai Matahari

Pada Gambar 8.3 juga terlihat adanya periode Medieval Warm Period dan Little Ice Age.
Periode ini terkait erat dengan aktifitas badai Matahari sebagaimana pengamatan oleh Bond et al.
(2001) yang mengkaitkannya dengan material kosmik yang teramati di sedimen. Aktifitas badai
matahari, sayangnya baru tercatat ketika Galileo memulainya seperti terlihat pada Gambar 8.5
(Broeker, 2003). Jumlah badai matahari ini memiliki korelasi kuat dengan radiasi matahari,
sehingga periode dimana aktifitas badai matahari ini kurang (Maunder minimum) terkait erat
dengan Little Ice Age dimulai.

Gambar 8.5. Jumlah badai matahari yang bertanggung jawab terhadap periode Medieval Warm
dan Little Ice Age (Sumber: Broecker, 2003).

INDIKATOR PERUBAHAN IKLIM DI TINGKAT GLOBAL

Uraian di atas memperlihatkan bahwa dalam periode ratusan ribu tahun yang lampau
sampai revolusi industri tahun 1790-an, memperlihatkan bahwa terjadi korelasi kuat antara CO2
di atmosfer dengan suhu udara permukaan bumi. Berdasarkan siklus presisi, bumi saat ini
seharusnya berada relatif jauh dari edarannya dalam mengelilingi matahari. Namun, perubahan
iklim yang dipicu oleh pemanasan global telah terjadi. Alley (2004) mempertanyakan hal
tersebut dengan menambahkan emisi CO2 pasca revolusi industri sampai kini dengan data
pengamatan di stasiun Volstok, Antartika (Gambar 8.6). Kondisi ini sangat sulit dibantah bahwa
konsekuensi emisi CO2 besar-besaran di atmosfer pasca revolusi industri telah berdampak
terhadap kenaikan suhu permukaan bumi sehingga memicu perubahan iklim yang bukan alami,
tetapi akibat aktifitas manusia (antropogenik).

Gambar 8.6. Variabilitas suhu dan CO2 dalam kurun waktu 400 ribu tahun lampau dan
kemungkinan konsekuensi kenaikan emisi CO2 pada masa kini (Sumber: Alley,
2004).

Dengan demikian, pemahaman akan siklus karbon menjadi sangat penting dalam
mengantisipasi dampak perubahan iklim. Data terakhir (29 Mei 2013) yang dikeluarkan oleh
Scripps Institution of Oceanography menunjukkan bahwa konsentrasi CO2 di atmosfer yang
diukur pada stasiun Mauna Loa, Hawaii telah mencapai angka 400,33 ppm. Data Global Carbon
Project (GCP) tahun 2007 melaporkan bahwa dari total emisi karbon global ke atmosfer (9,1 Pg
C per tahun, 1 Pg sama dengan 10 pangkat 15 gram atau 1 milyar ton) maka 26% diserap oleh
lautan global, 29% oleh daratan (hutan) dan sisanya terakumulasi di atmosfer (45%). Dalam hal
ini telah terjadi peningkatan akumulasi CO2 di atmsofer, yaitu pada tahun 1960 berkisar 40% dan
pada tahun 2008 meningkat 45%. Di lain pihak, potensi penyerapan oleh hutan cenderung
konstan dalam kurun waktu tersebut. Ini artinya telah terjadi penurunan tingkat efisiensi laut
dalam menyerap karbon antropogenik di atmosfer.
IPCC (2007b) melaporkan bahwa anomaly suhu udara rata-rata di permukaan bumi telah
mencapai sekitar 0,8°C pada tahun 2005 (Gambar 8.7). Laporan terakhir menunjukan bahwa
suhu naik lebih cepat dari dugaan, sehingga target IPCC untuk 2°C sebagai kondisi ‘aman’ bagi
sistem kebumian dapat terlewati dalam beberapa tahun ke depan. Jika batas kondisi aman ini
terlewati, maka kesetimbangan energi sistem kebumian akan terganggu dan respon iklim akan
semakin sulit terdeteksi. Bahkan, laporan GCP tahun 2011 memperlihatkan bahwa peningkatan
suhu bumi lebih cepat dari yang diprediksi IPCC, yaitu + 1,6 °C pada level konsentrasi CO2
atmosfer sebesar 395 ppm. Hal ini akibat tidak masuknya jenis-jenis gas rumah kaca lainnya
dalam pemodelan iklim seperti N2O dan gas methan. Kenaikan suhu udara juga membawa
konsekuensi pada pencairan es sehingga menaikkan muka laut rata-rata di bumi (Gambar 8.8).
Laju kenaikan rata-rata muka laut di bumi untuk periode 1961 – 2003 menurut IPCC (2007b)
adalah 0.4 ± 0.1 mm/tahun. Dengan demikian, jika tidak ada usaha nyata dalam mengontrol
emisi gas rumah kaca di kemudian hari, maka perubahan-perubahan yang akan terjadi juga
semakin sulit diduga.

Gambar 8.7. Anomali tahunan suhu udara di permukaan bumi (°C) pada 1850 sampai 2005 yang
mengacu pada rata-rata tahun 1961 sampai 1990 (Sumber: IPCC, 2007b)
Gambar 8.8. Pengaruh ekspansi panas terhadap paras laut dan konversi volume es yang mencair.
Merah adalah berdasarkan data rekonstruksi (Church and White, 2006), biru adalah
data tide gauge di pantai (Holgate and Woodworth, 2004) serta hitam berdasarkan
satelit Altimetry (Leuliette et al., 2004) (sumber: IPCC, 2007b).

INDIKATOR PERUBAHAN DI TINGKAT NASIONAL

Perairan Indonesia dalam dekade terakhir ini telah menghadapi ancaman perubahan iklim
yang nyata, seperti cuaca ekstrim akibat badai tropis yang efeknya meluas sampai ke perairan
Indonesia yang notabene dekat dengan ekuator (hal yang tidak mungkin menurut hukum fisika,
karena badai tropis sulit menjangkau ekuator yang efek Coriolis-nya (akibat perputaran bumi
mendekati nol di ekuator) kecil. Beberapa parameter penting yang berkaitan dengan perubahan
iklim di laut adalah kenaikan muka laut, suhu permukaan laut, kecepatan angin dan curah hujan.
IPCC (2007b) memprediksikan bahwa peningkatan suhu permukaan laut tahunan untuk perairan
Asia Tenggara berkisar antara 1,5 – 3,7 °C pada akhir abad 21. Demikian halnya dengan curah
hujan ekstrim dan angin (badai tropis), IPCC (2007b) memperkirakan bahwa akan semakin
meningkat di perairan Asia Tenggara, Asia Timur dan Asia Selatan. Curah hujan tahunan akan
berubah dalam kisaran -2% (penurunan) sampai 15% (kenaikan), bahkan secara khusus pada
periode September – November dapat mencapai peningkatan sebesar 21% (maksimum). Dengan
demikian, perairan Asia Tenggara, termasuk perairan Indonesia, akan mengalami pergeseran
musim hujan, yaitu menjadi lebih cepat dan periodenya menjadi lebih lama, yaitu sekitar
September – Pebruari. Periode Maret – Agustus yang umumnya merupakan musim peralihan dan
musim panas, juga akan mengalami kenaikan curah hujan yang dapat mencapai 17%
(maksimum).

Selain itu, dampak penyerapan karbon antropogenik oleh laut akibat kenaikan emisi CO2
di atmosfer, mampu menurunkan pH di laut yang selanjutnya berdampak terhadap perubahan
ekosistem laut. Untuk kasus perairan Indonesia, terdapat indikasi kuat bahwa emisi CO2 akibat
kebakaran hutan dan gambut di Kalimantan berdampak terhadap pertukaran CO2 udara-laut di
permukaan Laut Jawa (Koropitan, 2013a). Orr et al. (2005) melaporkan bahwa beberapa ratus
tahun sejak revolusi industri, penurunan pH telah mencapai 0.1 akibat penyerapan CO2 atmosfer
oleh laut global.

Perubahan iklim yang diuraikan diatas tentunya akan membawa konsekuensi terhadap
perubahan ekosistem di perairan Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk
itu, dibutuhkan kajian yang terintegrasi, yang dapat memadukan aspek antropogenik dan
perubahan iklim, sehingga diharapkan dapat menjadi landasan kebijakan untuk pelestarian
lingkungan dan strategi adaptasi ekosistem laut menghadapi perubahan iklim. Selain itu, perairan
Indonesia dipercaya oleh banyak ahli sebagai pengontrol iklim dan berperan juga dalam sirkulasi
termohalin global melalui Arus Lintas Indonesia. Namun demikian, peran Laut Indonesia dalam
siklus karbon global terkait dengan gas rumah kaca dan perubahan iklim masih belum banyak
disinggung dalam laporan-laporan ilmiah ataupun dilaporkan dalam pertemuan-pertemuan IPCC.

AGENDA DAN STRATEGI MITIGASI PERUBAHAN IKLIM

Terkait dengan mitigasi perubahan iklim, maka sebagimana yang diuraikan sebelumnya
bahwa mitigasi adalah upaya-upaya yang terkait dengan intervensi antropogenik untuk
mereduksi pembangkit antropogenik dalam sistem iklim, termasuk untuk mereduksi sumber-
sumber gas rumah kaca dan meningkatkan penghilangan (sinks) gas rumah kaca. Secara alami,
lautan tropis pada umumnya berfungsi sebagai pelepas, sementara perairan subtropis dan lintang
tinggi berfungsi sebagai penyerap. Hal ini dikontrol oleh pompa daya larut (solubility pump),
yaitu pompa daya larut gas yang merupakan fungsi dari suhu perairan, DIC (dissolved inorganic
carbon), TA (total alkalinitas) dan angin (piston velocity). Arah fluks itu sendiri ditentukan oleh
gradien tekanan parsial CO2 (pCO2). Jika pCO2 di atmosfer lebih tinggi dari permukaan laut,
maka laut berperan sebagai penyerap, namun sebaliknya jika pCO2 di atmosfer lebih rendah
maka laut berperan sebagai pelepas. Perairan tropis yang memiliki suhu permukaan laut yang
relative tinggi cenderung menurunkan daya larut gas sehingga pCO2 di permukaan laut tinggi.

Hasil perhitungan pertukaran CO2 di lapisan permukaan laut-atmosfer untuk perairan


Indonesia diuraikan oleh Koropitan (2013b), berdasarkan model OCMIP (Ocean Carbon cycle
Model Intercomparison Project). Hasil perhitungan memperlihatkan bahwa perairan Indonesia
berfungsi sebagai pelepas CO2, yaitu berkisar 0,1 mol/m2/tahun atau secara keseluruhan, perairan
Indonesia melepaskan CO2 ke atmosfer sebesar 0,052 PgC/tahun.

Dengan demikian, strategi mitigasi perubahan iklim dari laut perlu melihat aspek lainnya,
dalam hal ini adalah blue carbon seperti yang diusulkan oleh Badan Lingkungan PBB
(Nellemman, et al., 2009). Sebagai catatan, blue carbon yang dimaksud dalam hal ini bukanlah
perairan laut, tetapi vegetasi di pesisir yaitu rawa payau (salt marshes), padang lamun (sea grass)
dan mangrove. Potensi blue carbon yang dimaksud adalah kemampuan vegetasi pesisir tersebut
dalam menyimpan karbon di sedimen. Pada neraca karbon global yang dikeluarkan oleh Sabine,
et al. (2004) menyebutkan bahwa laut global menyimpan karbon sekitar 0,5 Pg C/tahun (atau
500 Tg C/tahun). Namun, dalam laporan UNEP ini, penyimpanan karbon di sedimen semakin
diperjelas, dimana potensi blue carbon global dalam menyimpan di sedimen adalah sekitar 329
Tg C/tahun (atau 329 juta ton C/tahun).

Namun demikian, terumbu karang dalam hal ini tidak termasuk dalam potensi blue
carbon. Uraian Gatusso et al. (1999) pada prinsipnya telah mengakhiri perdebatan selama kurun
waktu 10 tahun sebelumnya mengenai apakah terumbu karang berfungsi sebagai pelepas atau
penyerap karbon di atmosfer. Hasilnya adalah sebagai pelepas, akibat dominannya pengaruh
proses kalsifikasi yang berperan dalam pertumbuhan karang dibading fotosintesis. Proses
kalsifikasi ini berkaitan dengan pertumbuhan karang yang menghasilkan kalsium karbonat dan
sekaligus melepaskan CO2.

Untuk itu, harapan potensi blue carbon lebih tertuju kepada rawa payau dan padang
lamun. Dengan asumsi bahwa wilayah pesisir Indonesia memiliki potensi 1% dari total potensi
blue carbon global (329 Tg C/tahun) maka berarti potensi menyerap karbon di atmosfer oleh
blue carbon Indonesia mencapai sekitar 3,3 juta ton/tahun. Tetapi, terlepas dari potensi
penyerapan tersebut, sistem terumbu-karang, mangrove dan padang lamun di pesisir perlu dijaga
berkaitan dengan fungsi ekologisnya (daerah bertelur dan pembesaran ikan, keanekaragaman
hayati, perlindungan pantai dari kenaikan muka laut dan gelombang, dll).

AGENDA DAN STRATEGI ADAPTASI DAMPAK PERUBAHAN IKLIM

Terkait kegiatan adaptasi, kajian di Desa Marlasi, Pulau Kola, Kepulauan Aru
(Koropitan, 2013c) menjadi contoh pembelajaran yang dapat diterapkan pada wilayah CTI.
Kajian ini terfokus pada penyusunan indeks kerentanan yang mengacu pada prinsip pemetaan
kerentanan (vulnerability) menurut IPCC (2001), yaitu sejauh mana iklim dapat merusak atau
membahayakan suatu sistem; ini tidak hanya tergantung pada sensitivitas sistem, tetapi juga
pada kemampuannya untuk beradaptasi dengan kondisi iklim yang baru. Persamaan yang
digunakan dalam penentuan indeks kerentanan adalah:

Vulnerability = ƒ(exposure, sensitivity, adaptive capacity)


dimana: exposure (E) atau paparan adalah tingkat tekanan terhadap iklim dalam suatu analisis
unit tertentu, dimana dapat mewakili suatu perubahan dalam jangka waktu lama atau perubahan
dalam variabilitas iklim, termasuk besaran dan frekuensi dari masa-masa yang ekstrim,
sensitivity (S) atau sensitifitas adalah respon sejauh mana suatu sistem akan dipengaruhi oleh,
atau responnya terhadap suatu rangsangan, dan adaptive capacity (A) atau kapasitas adaptasi
mengacu pada potensi atau kemampuan sistem untuk menyesuaikan diri dengan perubahan iklim
serta mampu mengelola E/S sehingga menghasilkan dampak yang baik. Jadi, semakin besar E
atau S, semakin besar pula kerentanannya, tetapi A berbanding terbalik, dimana peranan A
mampu mereduksi tingkat kerentanannya. Dalam kajian ini, penentuan tingkat kerentanan lebih
didasari pada penilaian pakar, tanpa melakukan pembobotan nilai. Pada kajian tahap ini, lebih
mengarah pada proses identifikasi parameter penting yang tergolong E, S dan A, dimana proses
adaptasi (A) merupakan suatu proses iteratif yang membutuhkan masukan dari masyarakat
melalui wadah sekolah iklim (yang akan dijelaskan pada sub bab selanjutnya).

• Paparan (E)

Paparan dalam hal ini terdiri dari parameter perubahan iklim, yaitu tren perubahan Suhu
Permukaan Laut (Gambar 8.9) dan tren perubahan curah hujan (Gambar 8.10). Model asimilasi
memperlihatkan kenaikan sebesar 0,66° C dalam 50 tahun terakhir (1960-2010), demikian juga
halnya curah hujan yang memiliki kenaikan 6 mm/bulan. Kenaikan Suhu Permukaan Laut yang
ekstrim di suatu lokasi perairan dapat memicu cuaca ekstrim lokal seperti curah hujan ekstrim,
badai serta gelombang tinggi, sehingga perlu diwaspadai sedini mungkin.

Gambar 8.9. Tren peningkatan suhu permukaan laut di sekitar Pulau Kola (diolah dari hasil
model asimilasi data Geophysical Fluid Dynamic Laboratory-GFDL).
Gambar 8.10. Tren peningkatan curah hujan di sekitar Pulau Kola (diolah dari data Climate
Prediction Center Morphing Technique-CMORPH).

• Sensitivitas (S)

Sejauh ini respon perairan Pulau Kola terhadap kenaikan Suhu Permukaan Laut belum
terdata dengan baik, namun pada lokasi lainnya seperti Wakatobi telah memperlihatkan adanya
indikasi pemutihan karang (coral bleaching) akibat kenaikan suhu perairan. Namun demikian, di
sekitar Pulau Kola terdapat karang patah dan tertutup alga yang kemungkinan besar diakibatkan
adanya masukan nutrien, yang umumnya berasal dari hasil dekomposisi bahan organik atau
limbah domestik (pemukiman) yang besar sehingga mempercepat pertumbuhan alga penutup
karang (turf algae). Kemungkinan lainnya adalah penangkapan ikan-ikan jenis tertentu, seperti
ikan ‘parrot’ (Scaridae), ikan ‘rabbit’ (Siganidae), ikan ’surgeon’ (Achanturidae), ikan ‘damsel’
(Pomacentridae), dan ikan ‘benny’ (Blennidae) yang memiliki kemampuan memangsa turf algae.
Sensitifitas terkait curah hujan, memiliki keterkaitan dengan suplai limbah domerti melalui
sungai ataupun air limpasan. Untuk itu, solusi terhadap limbah domestik menjadi faktor penentu
untuk mereduksi respon yang negatif dari alam.

Isu lain yang perlu diwaspadai terkait sensitifitas ini adalah pengasaman laut yang
sifatnya sangat lambat. Pengasaman laut dapat berdampak negatif terhadap ekosistem laut,
seperti terumbu karang dan plankton jenis tertentu yang memiliki cangkang karbonat.
• Kapasitas Adaptasi (A)

Dalam hal ini, komponen A merupakan proses adaptasi perubahan iklim atau upaya
peningkatan kapasitas adaptasi masyarakat (nelayan). Peningkatan kapasitas adaptasi ini dapat
didekati melalui modal alami, modal teknologi dan infrastruktur, serta modal sosial.

1. Modal Alami

Modal alami yang dimiliki oleh Desa Marlasi adalah ekosistem pesisir yang lengkap
(Mangrove, Lamun dan Terumbu Karang) yang sangat menunjang untuk aktiftas perikanan dan
parawisata. Selain itu, Desa Marlasi dilindungi oleh pulau-pulau kecil yang ditumbuhi oleh
mangrove sehingga mampu melindungi dari cuaca ekstrim serta gelombang tinggi. Sebagai
contoh, cerita turun-temurun yang berkembang di masyarakat Desa Marlasi adalah kejadian
tsunami pada waktu lampau tidak sampai menerjang Desa Marlasi akibat keberadaan pulau-
pulau tersebut. Dengan menjaga ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut dari ancaman
abrasi (tetap mempertahankan mangrove di pulau-pulau kecil), maka modal alami ini dapat
memperkuat kapasitas adaptasi masyarakat Desa Marlasi.

2. Modal Teknologi dan Infrastruktur

Terkait dengan akses informasi, khususnya cuaca ekstrim, saat ini belum memungkinkan
karena jaringan telekomunikasi sedang dalam tahap pembangunan. Namun diharapkan pada
waktu yang akan datang, nelayan Desa Marlasi dapat memiliki akses informasi melalui sistem
informasi internet ataupun layanan SMS. Untuk itu, untuk membantu nelayan Desa Marlasi
dalam beradaptasi terhadap cuaca ekstrim, maka perlu disambungkan dengan SMS Gateway
BMKG untuk bidang kenelayanan. Untuk aktifitas nelayan (penangkapan dan budidaya), para
nelayan Desa Marlasi dapat disambungkan dengan SMS Gateway BPSDM KKP sehingga
memperoleh akses informasi dan penyuluhan terkait berbagai hal dalam bidang perikanan. Selain
itu, kendala yang dihadapi oleh masyarakat Desa Marlasi saat ini adalah akses transportasi yang
sulit, sehingga kebutuhan pangan dasar seperti beras, sayuran dan buah-buahan serta kebutuhan
energi untuk listrik dan melaut mengalami kendala akibat keterbatasan transportasi ini.
Pembangunan pelabuhan yang sedang berlangsung saat ini di Desa Marlasi, diharapkan dapat
menjadi solusi dari akses transportasi ini.

3. Modal Sosial

Modal sosial adalah berupa kearifan lokal seperti sashi serta perjanjian adat untuk batas
laut (termasuk wilayah penangkapan) dapat menjadi modal sosial yang tinggi dalam beradaptasi.
Namun demikian, dewan adat perlu diperkuan peranannya karena akhir-akhir ini semakin
ditinggalkan. Modal sosial lainnya adalah pendidikan. Perlu ada terobosoan dalam hal
pendidikan baik formal maupun non-formal. Pendidikan formal dapat berupa pengintegrasian
pemahaman lokal, khususnya fungsi ekologis ekosistem pesisir, dalam kurikulum pendidikan
dasar, menengah dan atas. Pendidikan non-formal berupa sekolah lapang yang dapat menjangkau
masyarakat luas, seperti nelayan, pegawai kelurahan dan kecamatan serta guru. Untuk
menangkal pengaruh dari luar akibat terbukanya akses transportasi, maka modal sosial ini perlu
diperkuat dengan mendorong lahirnya Peraturan Desa (Perdes) yang mengatur dan melindungi
ekosistem pesisir. Perdes ini diharapkan kedepan dapat diangkat pada tingkat yang lebih tinggi
yaitu kabupaten dan propinsi.

• Kerentanan dan Sekolah Lapang Iklim

Uraian di atas memperlihatkan bahwa kerentanan perubahan iklim di Desa Marlasi, Pulau
Kola tergolong sedang, dimana komponen-komponen penting diperlihatkan pada Tabel 1.
Sekolah Lapang Iklim bertujuan untuk mempersiapkan masyarakat Desa Marlasi dan sekitarnya
dalam beradaptasi dengan perubahan iklim. Kegiatan sekolah ini bertujuan untuk memberikan
pelatihan kepada nelayan dalam memahami perubahan iklim secara global, cara mengakses data
cuaca serta intepretasi menurut kondisi sosial dan budaya masyarakat setempat. Selain itu,
nelayan juga diajarkan untuk menggali kearifan lokal dalam beradaptasi dengan iklim di laut
serta melakukan dokumentasi iklim yang sudah lewat dan yang sedang terjadi. Konsep Sekolah
Lapang Iklim di Desa Marlasi nantinya akan terfokus pada upaya adaptasi seperti yang
diperlihatkan pada Tabel 1. Konsep Sekolah Lapang Iklim Desa Marlasi ini pada prinsipnya
bertujuan: a. meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang perubahan iklim global dan cuaca
ekstrim, b meningkatkan akses terhadap informasi iklim dan pelaporan, c. membantu masyarakat
dalam merumuskan upaya adaptasi.

Tujuan instruksional kurikulum sekolah lapang meliputi:

1. Mampu memahami konsep iklim, perubahan iklim dan cuaca global, prakiraan cuaca dan
akses informasinya, serta pengintegrasian istilah iklim dalam bahasa lokal.
2. Mampu mengenali parameter iklim penting serta membuat data historis untuk
kepentingan komunitas lokal (Desa Marlasi dan sekitarnya) maupun berkontribusi dalam
pelaporan ke institusi nasional.
3. Mampu memahami ekosistem pesisir (Mangrove, Terumbu Karang dan Lamun) serta
fungsi ekologisnya.
4. Mampu menemukan upaya adaptasi dengan meningkatkan modal alami, modal informasi
dan infrastruktur serta modal sosial.
Tabel 8.1. Parameter kunci kerentanan perubahan iklim di Pulau Kola serta upaya adaptasi

Parameter Dampak Upaya Adaptasi

Kenaikan Suhu Permukaan Cuaca ekstrim lokal (curah Memperkuat modal alami
Laut hujan, badai, gelombang) (penanaman kembali
mangrove yang dikonversi),
akses informasi dan
infrastruktur (transportasi,
energi dan listrik)

Kenaikan tingkat curah hujan Suplai organik ke laut Memperkuat modal sosial
meningkat, kematian karang (dewan adat), perbaikan MCK

Pengasaman laut Perusakan karang jangka Memperkuat modal sosial


panjang (sashi dan pengelolaan
perikanan)

Tujuan instruksional kurikulum ini akan dituangkan dalam Materi Kurikulum Sekolah Lapang
secara terpisah yang sasarannya adalah para perwakilan masyarakat yang terdiri atas: LSM,
nelayan, tokoh adat dan agama, serta guru.

Hasil pembelajaran di Desa Marlasi ini dapat diterapkan pada seluruh wilayah CTI. Pada
prinsipnya, upaya adaptasi ini sangat progresif dan memerlukan proses iterasi terus-menerus
sehingga diperoleh kondisi yang tepat untuk beradaptasi. Konssep adaptasi umum untuk wilayah
Kepulauan Indonesia diperlihatkan pada Gambar 8.11.

Gambar 8.11. Proses iterasi adaptasi perubahan iklim secara umum


AGENDA PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

Dengan melihat perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini dalam COP terakhir,
menunjukkan adanya kemunduran dalam hal komitmen negara-negara maju, serta tidak adanya
kejelasan kelanjutan Protokol Kyoto, maka perkembangan perubahan iklim ke depan menjadi
suram. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, hasil pengamatan IPCC memperlihatkan
bahwa kenaikan suhu di udara lebih tinggi dari yang diprediksi, serta kenaikan CO2 di atmosfer
telah mencapai sekitar 400 ppm pada Mei 2013 (dibanding 280 ppm pada era sebelum revolusi
industri). Dampak perubahan iklim umumnya menghasilkan pemanasan global, cuaca ekstrim,
pergeseran periode curah hujan dan pada ekosistem laut dapat mengkibatkan pengasaman laut
(ocean acidification) yang berdampak pada kerusakan cangkang plankton serta penyusutan
terumbu karang, kenaikan suhu laut dapat mengganggu rekruitmen ikan serta perubahan pola
migrasi ikan. Untuk itu, Indonesia harus siap menghadapi ancaman ini, sehingga upaya adaptasi
harus menjadi prioritas dalam kajian-kajian jangka pendek maupun jangka panjang.

Untuk menghasilkan kajian yang fokus dan efektif, maka perlu disusun suatu road map
riset saintifik untuk mengisi gap hasil riset selama ini dengan melibatkan berbagai institusi riset,
pengambilan kebijakan maupun LSM. Penyusunan peta jalan kajian adaptasi dapat mencakup
lingkungan fisik pesisir dan pulau-pulau kecil, biota laut (terumbu karang, ikan, larva, plankton,
dll) dan sosial-ekonomi masyarakat (asuransi iklim, kearifan lokal, dll). Secara ringkas, topik-
topik riset penelitian dan pengembangan adaptasi iklim kelautan diperlihatkan pada Gambar
8.12. Dalam hal ini, aktifitas manusia juga berpengaruh dan dapat menambah daya rusak ketika
bergabung dengan efek perubahan iklim.

Gambar 12. Hipotesis perubahan ekosistem laut Indonesia akibat perubahan iklim dan aktifitas
manusia.
Daftar Pustaka

Alley, R. B. 2004. Abrupt climate changes: oceans, ice and us. Oceanography (17): 194-206
Berner, R. A., A. C. Lasaga, and R. M. Garrels, 1983, The carbonate-silicate geochemical cycle
and its effect on atmospheric carbon dioxide over the past 100 million years, Am. J. Sci.
(283): 641-683.
Bond, G., Kromer, B., Beer, J., Muscheler, R., Evans, M.N., Showers, W., Hoffmann, S., Lotti-
Bond, R., Hajdas, I. and Bonani, G. 2001. Persistent solar influence on North Atlantic
climate during the Holocene. Science (294): 2130-2136,
Broecker, W. 2003. Fossil fuel CO2 and the angry climate beast. Eldigio Press, 115p
Church, J.A., and N.J. White, 2006: A 20th century acceleration in global sea-level rise.
Geophys. Res. Lett., 33, L01602, doi:10.1029/2005GL024826
De’ath, G. J. M. Lough and K. E. Fabricius. 2009. Declining Coral Calcification on the Great
Barrier Reef. Science (323): 116-119.
Gattuso, J-P, M. Frankignoulle and S. V. Smith. 1999. Measurement of community metabolism
and significance in the coral reef CO2 source-sink debate. Proceedings National Academy
of Sciences (96): 13017–13022.
Holgate, S.J., and P.L. Woodworth, 2004: Evidence for enhanced coastal sea level rise during the
1990s. Geophys. Res. Lett., 31, L07305, doi:10.1029/2004GL019626.
IPCC. 2001. Climate Change 2001: The Scientific Basis. Contribution of Working Group I to the
Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change [Houghton,
J.T.,Y. Ding, D.J. Griggs, M. Noguer, P.J. van der Linden, X. Dai, K. Maskell, and C.A.
Johnson (eds.)]. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York,
NY, USA, 881pp.
IPCC, 2007a. Climate Change 2007: Impacts, Adaptation and Vulnerability. Contribution of
Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on
Climate Change, M.L. Parry, O.F. Canziani, J.P. Palutikof, P.J. van der Linden and C.E.
Hanson, Eds., Cambridge University Press, Cambridge, UK, 976pp.
IPCC, 2007b: Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working
Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate
Change [Solomon, S., D. Qin, M. Manning, Z. Chen, M. Marquis, K.B. Averyt, M. Tignor
and H.L. Miller (eds.)]. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and
New York, NY, USA, 996 pp.
Kiehl, J. T. and Trenberth, K. E. 1997. Earth's Annual Global Mean Energy Budget. Bulletin of
the American Meteorological Association (78): 197-208.
Koropitan, A. F. 2013a. Studi pendahuluan pemodelan fluks karbon di Laut Jawa menggunakan
model biogeokimia 1-dimensi. Submitted to Jurnal Ilmu Kelautan.
Koropitan, A. F. 2013b. Fluks pertukaran CO2 di Lapisan Udara-Laut dan Bujet Karbon di
Perairan Indonesia. Manuscript untuk Buku: Perubahan Iklim: Kontribusi Laut Indonesia
dan Upaya Adaptasinya. IPCC Indonesia Gugus Tugas Kelautan.
Koropitan, A. F. 3013c. Peningkatan kapasitas adaptasi perubahan iklim di Desa Marlasi, Pulau
Kola, Kabupaten Kepulauan Aru. Laporan Penelitian. Kerjasama Center for Oceanography
and Marine Technology (COMT), Surya Suniversity dengan Koalisi Rakyat untuk
Keadilan Perikanan (KIARA). Jakarta.
Leuliette, E.W., R.S. Nerem, and G.T. Mitchum, 2004: Calibration of TOPEX/Poseidon and
Jason altimeter data to construct a continuous record of mean sea level change. Mar.
Geodesy, 27(1–2), 79–94.
Martin, J. H., 1990, Glacial-interglacial CO2 change: The iron hypothesis, Paleoceanography, 5,
1-13.
Nellemann, C., E. Corcoran, C. M. Duarte, L. Valdés, C. De Young, L. Fonseca, G. Grimsditch
(Eds). 2009. Blue Carbon. A rapid response assessment. United Nations Environment
Programme, GRID-Arendal, www.grida.no
Orr, J.C., V. J. Fabry, O. Aumont, L. Bopp, S. C. Doney, R. A. Feely, A. Gnanadesikan, N.
Gruber, A. Ishida, F. Joos, R. M. Key, K. Lindsay, E. Maier-Reimer, R. Matear, P.
Monfray, A. Mouchet, R. G. Najjar, G.-K. Plattner, K. B. Rodgers, C. L. Sabine, J. L.
Sarmiento, R. Schlitzer, R. D. Slater, I. J. Totterdell, M.-F. Weirig, Y. Yamanaka and A.
Yool. 2005: Anthropogenic ocean acidification over the twenty first century and its impact
on calcifying organisms. Nature, 437(7059), 681–686.
Petit, J.R., J. Jouzel, D. Raynaud, N.I. Barkov, J.-M. Barnola, I. Basile, M. Benders, J.
Chappellaz, M. Davis, G. Delayque, M. Delmotte, V.M. Kotlyakov, M. Legrand, V.Y.
Lipenkov, C. Lorius, L. Pépin, C. Ritz, E. Saltzman, and M. Stievenard. 1999. Climate and
atmospheric history of the past 420,000 years from the Vostok ice core, Antarctica. Nature
(399): 429-436.
Roy, C. 1996. Variability of sea surface features in the Western lndonesian archipelago:
inferences from the COADS dataset, p. 15-23. In D. Pauly and P. Martosubroto (eds.)
Baseline studies of biodiversity: the fish resources of Western Indonesia. ICLARM Stud.
Rev. 23, 312 p.
Sabine, C.L., R. A. Feely, N. Gruber, R. M. Key, K. Lee, J. L. Bullister, R. Wanninkhof, C. S.
Wong, D. W. R. Wallace, B. Tilbrook, F. J. Millero, T.-H. Peng, A. Kozyr, T. Ono dan A.
F. Rios. 2004. The oceanic sink for anthropogenic CO2. Science (305): 367–371.
Walker, J. C. G., P. B. Hays, and J. F. Kasting, 1981, A negative feedback mechanism for the
long-term stabilization of Earth's surface temperature, Jour. Geophys. Res. (86): 9776-
9782.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai