Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Laut merupakan ekosistem dan habitat terbesar bagi berbagai jenis mahluk
hidup di bumi. Lebih dari 70% bagian bumi dikelilingi oleh lautan, sehingga terdapat
asumsi bahwa kehidupan di bumi bermula dari laut. Laut memiliki peranan penting
dalam kehidupan sehari-hari, salah satunya yaitu sebagai reservoir atau penampung
panas radiasi sinar matahari ke bumi, karena fungsinya ini sehingga laut dapat
mempertahankan iklim baik secara lokal maupun global.
Isu yang tengah hangat pada abad ke-20 di era industrialisasi yaitu pemanasan
global yang timbul akibat aktivitas manusia (antropogenik). Menurut Murdiyarso
(2003), pemanasan global adalah fenomena naiknya suhu rata-rata permukaan bumi
yang diakibatkan oleh radiasi panas bumi yang lepas ke udara ditahan oleh selimut
gas rumah kaca. Pada dasarnya atmosfir bumi menangkap radiasi panas sehingga
udara bumi bersuhu nyaman bagi kehidupan mahluk hidup, namun revolusi industri
telah meningkatkan gas rumahkaca seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan
nitous oksida (N2O). Pemanasan global mempunyai pengaruh besar terhadap
perubahan iklim, dan berdampak langsung terhadap kenaikan suhu permukaan air laut
(Keller et al. 2009). Naiknya suhu permukaan air laut mengancam keberadaan
ekosistem terumbu karang, dan memicu terjadinya bleaching atau pemutihan karang
(Keller, et al. 2009; Guldberg 2009; Banin et al. 2000; Fit et al 2001; Barton et
al 2005; Oxenford 2007).
Perubahan iklim mengubah ekosistem pada tingkat yang skala luar biasa. Setiap
spesies menanggapi lingkungannya berubah, interaksi dengan dunia fisik dan
makhluk di sekitarnya berubah yang memicu hadirnya dampak seluruh ekosistem,
seperti ekspansi ke daerah baru, percampuran sebelumnya tidak tumpang tindih
spesies, dan bahkan spesies kepunahan.
Perubahan iklim terjadi secara perlahan dalam jangka waktu yang cukup
panjang, antara 50-100 tahun. Meskipun perlahan, dampaknya sebagaian besar
permukaan bumi menjadi panas. Perubahan iklim merupakan sesuatu yang sulit untuk
dihindari dan memberikan dampak terhadap berbagai segi kehidupan. Dampak
ekstrem dari perubahan iklim terutama adalah terjadinya kenaikan temperatur serta
pergeseran musim. Kenaikan temperatur menyebabkan es dan gletser di Kutub Utara
dan Selatan mencair. Peristiwa ini menyebabkan terjadinya pemuaian massa air laut
1

dan kenaikan permukaan air laut. Hal ini akan menurunkan produksi tambak ikan dan
udang serta mengancam kehidupan masyarakat pesisir pantai.
Ancaman iklim global sudah menjadi kepedulian komunitas internasional.
Berbagai kalangan sudah menggelar pelbagai pertemuan multilateral maupun regional
untuk menghadapi ancaman itu. Terakhir, pertemuan Konferensi Perubahan Iklim
Desember 2007 di Bali. Pertemuan World Ocean Conference (WOC) yang akan
berlangsung 11-15 Mei 2009 di Manado juga mengagendakannya. Hal ini penting
karena perubahan iklim global berdampak serius terhadap kehidupan nelayan
tradisional di negeri ini. Setidaknya ada dua fenomena ekstrem terhadap lautan akibat
perubahan iklim global yakni kenaikan suhu air laut dan permukaan laut.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas tentang pengaruh perubahan iklim terhadap
ketinggian muka laut, maka melalui makalah ini penulis mengangkat permasalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana perubahan iklim bisa terjadi?
2. Bagaimana pengaruh perubahan iklim terhadap ketinggian muka laut?
3. Bagaimana upaya untuk menanggulangi perubahan iklim yang terjadi?
1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini sebagai berikut:
1. Mengetahui perubahan iklim yang terjadi,
2. Mengetahui pengaruh perubahan iklim terhadap ketinggian muka laut,
3. Mengetahui upaya penganggulangan perubahan iklim yang terjadi.
Diharapkan kedepannya makalah ini menjadi dapat membantu untuk penulisan
makalah lainnya yang berkaitan dengan perubahan iklim sehingga dapat mengurangi
dampak-dampak negatif dari perubahan iklim.

BAB II
ISI

2.1 Perubahan Iklim


Laut menjadi tempat penyimpanan panas matahari, dan arus laut global
menggerakkan energi yang tersimpan tersebut, menyebabkan adanya iklim global,
2

dari angin sepoi-sepoi sampai adanya badai lautan. Studi mengenai perubahan
kecerlangan matahari, memunculkan dugaan adanya kaitan dengan perubahan iklim.
Meskipun masih lebih dipercaya bahwa perubahan iklim lebih disebabkan karena
peningkatan kadar karbon dioksida di bumi, tetapi tidak tertutup kemungkinan bahwa
matahari-pun memberikan sumbangan pada perubahan iklim.
Cuaca dan iklim merupakan dua kondisi yang hampir sama tetapi berbeda
pengertian khususnya terhadap kurun waktu. Cuaca adalah keadaan atmosfer yang
dinyatakan dengan nilai berbagai parameter, antara lain suhu, tekanan, angin,
kelembaban dan berbagai fenomena hujan, disuatu tempat atau wilayah selama kurun
waktu yang pendek (menit, jam, hari, bulan, musim, tahun). Sementara iklim
didefinisikan sebagai Peluang statistik berbagai keadaan atmosfer, antara lain suhu,
tekanan, angin kelembaban, yang terjadi disuatu daerah selama kurun waktu yang
panjang (Gibbs,1987).
Iklim adalah rata-rata peristiwa cuaca di suatu daerah tertentu, termasuk
perubahan ekstrem musiman dan variasinya dalam waktu yang relatif lama, baik
secara lokal, regional atau meliputi seluruh bumi kita dan diakibatkan oleh perubahanperubahan yang cukup lama dari aspek-aspek seperti orbit bumi, perubahan samudera,
atau keluaran energi dari matahari. Iklim dipengaruhi oleh letak geografis dan
topografi tempat tersebut. Pengaruh posisi relatif matahari terhadap suatu tempat di
bumi menimbulkan musim, suatu penciri yang membedakan iklim satu dari yang lain.
Perbedaan iklim menghasilkan beberapa sistem klasifikasi iklim.
Perubahan iklim adalah perubahan yang terjadi pada alam dan merujuk pada
faktor iklim seperti suhu, dan hujan yang terjadi di seluruh dunia dengan berbagai
tingkat dan berbagai cara. Beberapa contoh nya adalah pada abad ke-20 usa lebih
basah dan daerah sahel lebih kering.

Gambar 1. Sebaran Iklim di Dunia

Ciri-ciri perubahan iklim :


Meningkatnya pemanasan
Jumlah karbondioksida yang lebih banyak di atmosfer
Lebih banyak air, tetapi penyebarannya tidak merata
Kenaikan permukaan laut
Pengurangan tutupan salju
Gletser yang mencair
Benua arktik menghangat

2.2 Penyebab Perubahan Iklim


Perubahan iklim global sebagai implikasi dari pemanasan global telah
mengakibatkan ketidakstabilan atmosfer di lapisan bawah terutama yang dekat
dengan permukaan bumi. Pemanasan global ini disebabkan disebabkan antara lain
oleh peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) akibat berbagai aktivitas yang
dominan ditimbulkan oleh industri-industri dimana dapat mendorong peningkatan
suhu bumi. Gas-gas rumah kaca yang meningkat ini menimbulkan efek pemantulan
dan penyerapan terhadap gelombang panjang yang bersifat panas (inframerah) yang
diemisikan oleh permukaan bumi kembali ke permukaan bumi.
Perubahan iklim tidak terjadi secara tiba-tiba, peristiwa ini terjadi oleh berbagai
sebab. Ada yang disebabkan oleh ulah manusia, ada pula yang terjadi karena factor
alam. Beberapa penyebab perubahan iklim karena factor alam, adalah sebagai berikut:
1. Pemanasan Bumi
Bumi memiliki system tersendiri untuk memanaskan temperaturnya dengan
cara menghasilkan efek gas rumah kaca. Karena jika tidak ada gas rumah
kaca, bumi sebetulnya akan 33 lebih dingin dari yang sekarang dan
perbedaan suhu siang dan malam akan sangat kentara, sehingga tidak
memungkinkan untuk dihuni oleh makhluk hidup. Namun karena adanya gas
rumah kaca, bumi tidak terlalu panas juga tidak terlalu dingin. Gas rumah
kaca ini berada pada ambang batas normal, sehingga tidak mengakibatkan
bencana alam.
2. Aktivitas Matahari
4

Sejumlah variasi dari aktivitas matahari yang telah diamati dari penelitian
sunspot dan isotope berilium. Matahari memancarkan radiasi kebumi yang
selanjutnya akan diserap oleh bumi. Namun jika pancaran panas matahari ini
terlalu banyak, bumi tidak dapat menyerapnya dan yang terjadi adalah panas
ini terperangkap didalam bumi dan menyebabkan bumi menjadi lebih panas
dari yang seharusnya.
3. Bervariasinya Jalur Orbit Bumi
Jalur orbit bumi bervariasi dari mulai hampir berbentuk lingkaran sampai
sedikit elips dalam siklus sekitar 100.000 tahun, menyebabkan variasi dalam
jarak bumi-matahari. Poros bumi pun bervariasi kemiringannya dalam siklus
sekitar 42.000 tahun, menyebabkan variasi luas permukaan bumi yang
terpapar kepada matahari. Periode-periode variasi orbit dan gerak poros bumi
itu telah mempengaruhi perubahan iklim sepanjang zaman.
4. Pergeseran Lempeng Tektonik
Bumi ini terdiri dari lempeng tektonik yang saling bergerak dan bergesekan
satu sama lain. Hal ini menyebabkan reposisi benua, keausan, penyimpanan
karbon, sulfur, besar-besaran dan peningkatan glaciation. Gas karbon (CO 2)
terkandung dalam lempeng tanah, danau dan kolam magma yang gunungnya
masih aktif. Jika terjadi pergeseran lempeng, maka struktur tanah akan
berubah, menyebabkan perubahan susunan atas karbon yang tadinya ada
dibawah akan berpindah keatas permukaan. Bahaya dari co 2 adalah dapat
mengurangi hemoglobin dalam pengikatan o2 sehingga makhluk hidup akan
kesulitan bernapas, dan juga co2 memiliki karakteristik yang kasat mata
sehingga sulit dideteksi. Peneliti dari university of iowa roy j. And lucille a.
Carver college of medicine menemukan bahwa inhalasi nanopartikel karbon
aktif dapat meningkatkan sumber inflamasi paru-paru hingga dua kali lipat.
Dalam perjalanan vulkanisme, bahan dari inti dan mantel bumi dibawa
kepermukaan, sebagai akibat dari panas dan tekanan yang dihasilkan di
dalamnya. Fenomena letusan gunung berapi dan geiser, melepaskan
partikulat ke atmosfer yang dapat mempengaruhi iklim.
5. El Nino dan La Nina

El nino adalah proses terjadinya peningkatan temperature atau suhu air laut
didaerah peru dan ekuador yang dapat berdampak mengganggu iklim secara
global. Peristiwa ini umumnya terjadi dalam waktu dua sampai tujuh tahun
sekali. Sedangkan la nina adalah kebalikan dari el nino, yaitu ketika suhu
atau temperatur air laut didaerah peru dan ekuador menjadi dingin. Peristiwa
la nina bisa menyebabkan angina kencang, hujan lebat dan juga banjir
didaerah-daerah sekitar Indonesia.
Beberapa penyebab perubahan iklim karena faktor manusia, adalah sebagai
berikut:
1. Gas Rumah Kaca
Salah satu aktifitas manusia yang merusak lingkungan adalah penggunaan
barang yang menggunakan pembakaran fosil sebagai bahan bakar utamanya,
seperti mobil dan motor. Hasil pembakaran bahan bakar fosil ini adalah gas
CO2. Gas ini dapat mengakibatkan efek rumah kaca. Efek rumah kaca adalah
terjadinya peningkatan suhu udara di muka bumi akibat semakin banyaknya
gas pencemar di dalam udara, hasil dari polusi buangan pabrik dan bahan
samping dari pembakaran bahan bakar fosil berupa gas CO 2, CO, NO2, SO2,
HCN, HCl, H2S, HF, dan NH4. Semakin hari zat-zat ini makin terakumulasi
dan semakin tinggi kadarnya dan hal tersebut menghambat radiasi matahari
yang mencapai permukaan bumi. Sebagian sinar matahari dipantulkan ke
angkasa, tetapi tertahan oleh gas lain yang kembali dipantulkan ke bumi,
hingga berakibat semakin panasnya udara di permukaan bumi. Kenaikan
suhu ini kan berakibat pada pencairan es di kutub lalu meningkatnya
permukaan air laut hingga terendamnya area di sekitar tepi pantai hingga
berkuragnya wilayah kepulauan.

Gambar 2. Radiasi Matahari

2. Aktifitas Manusia
Kegiatan manusia merupakan penyebab terjadinya perubahan iklim, terlebih
aktivitas manusia yang melakukan pengrusakan lingkungan seperti
penebangan hutan, pembangun pemukiman didaerah resapan air, membuang
limbah pabrik sembarangan, dan lain sebagainya. Salah satunya yaitu
melakukan penebangan hutan sembarangan. Pohon adalah sebagai salah satu
sumber daya alami yang akan menyerap CO2 yang kita keluarkan. Apabila
terlalu banyak pohon yang ditebang akan menyebabkan CO 2 yang ada tidak
akan mampu terserap oleh pohon sehingga menyebabkan pemanasan global.
2.3 Dampak Perubahan Iklim
Setiap bidang kehidupan di bumi pasti akan terpapar oleh perubahan iklim. Ada
dampak positif dan ada pula dampak negatifnya. Glasier di wilayah tropis berada di
beberapa pegunungan di Asia, Afrika dan Amerika latin. Mereka sangat berguna untuk
memenuhi kebutuhan air bagi orang-orang yang tinggal di bawahnya. Sebagai contoh
lelehan dari glasier di pegunungan Himalaya menyumbang pada aliran sungai
Gangga, Brahmaputra, Indus di India dan sistem sungai yang lain seperti dataran
tinggi kaldera di Peru, salju yang terbentuk pada musim dingin akan meleleh pada
musim panas dan menjadi sumber air bagi banyak sungai di Amerika latin. Selain itu
glasier bertindak sebagai penyangga yang mengatur run off suplai air dari pegunungan
7

ke dataran-dataran rendah selama bulan-bulan kering dan basah. Sehingga glasier di


wilayah tropis merupakan alat penting dalam mengamankan produksi pangan. Glasier
itu lebih sensitif terhadap perubahan iklim dari pada glasier di tempat lain. Beberapa
dekade terakhir menunjukkan adanya kemunduran atau pengurangan area glasier di
Himalaya dan daerah tropis yang lain sehingga berdampak pada ketersediaan air.
Berbagai studi melaporkan adanya peningkatan kejadian malaria, cholera, dan
banyak penyakit infeksi yang lain. Di belahan bumi utara terjadi peningkatan daya
tahan beberapa hama serangga di musim dingin. Di Afrika dan Australia banyak
kehilangan lahan basah dan rentan terhadap kekeringan. Peningkatan muka laut akibat
peningkatan temperatur sampai 2 0C menyebabkan habitat burung-burung pantai
terancam, seperti yang terjadi di Amerika Serikat.
Perubahan-perubahan iklim telah nampak berpengaruh pada sistem biologi.
Perubahan iklim yang berlanjut dapat mengancam sejumlah besar sistem biologi.
Contoh nyata spesies-spesies yang bisa terancam oleh perubahan iklim adalah burungburung hutan di Tanzania, gorila gunung di Afrika, amfibi endemik hutan-hutan
tropis, dan beruang di Andes.
Dampak-dampak yang ditimbulkan oleh perubahan iklim tersebut diantaranya
adalah :
1. Semakin banyak penyakit (Tifus, Malaria, Demam, dll.)
Dampak dalam bidang kesehatan misalnya terlihat dari peningkatan
kelembapan yang berpengaruh pada meluasnya penyebaran nyamuk
penyebar malaria. Selain itu cuaca yang hangat akan meningkatkan
penyebaran penyakit demam. Luas pemukiman bisa berkurang oleh
kenaikan muka laut akibat perubahan iklim, seperti juga telah disebut secara
eksplisit sebelumnya. Badai di daerah pantai yang mengancam ratusan juta
penduduk juga makin sering terjadi.
Selain itu, dampak fisik dari perubahan iklim yang paling mencolok adalah
meningkatnya temperatur rata-rata global dan ekstrimnya siklus hidrologi.
Berubahnya frekuensi dan intensitas termal secara ekstrim dan terjadinya
cuaca ekstrim (seperti banjir dan kekeringan) akan langsung mempengaruhi
kesehatan manusia. Tapi ada juga dampak variabilitas iklim yang
mempengaruhi kesehatan manusia secara tidak langsung. Dampak yang
mempengaruhi manusia secara tidak langsung:
Meningkatnya potensi terkena asthma. Ternyata ada hubungan antara
terjadinya

hujan badai dan banyaknya

spora Alternaria dan

Cladosporium (salah satu penyebab asthma), yaitu berbanding lurus.


8

Berkembangbiaknya bakteri patogen akibat lingkungan (temperatur


dan kelembaban) yang mendukung berkembangnya bakteri tersebut.
Sebagai contoh, berikut adalah diagram alir bagaimana pengaruh iklim
pada penyakit diare.

Gambar 3. Pengaruh Iklim pada Penyakit Diare

2. Meningkatnya frekuensi bencana alam/cuaca ekstrim (tanah longsor, banjir,


kekeringan, badai tropis, dll.),
Cuaca ekstrim yang akhir-akhir ini makin sering terjadi dipercaya juga
dipengaruhi oleh perubahan iklim. Salju yang menggila di benua Eropa atau
di Amerika utara, salju yang turun di padang pasir di Timur tengah,
hurricane dan topan yang makin sering terjadi dengan kekuatan yang besar
menunjukkan hal ini. Bahkan beberapa waktu yang lalu, air terjun Niagara
pun membeku, yang disinyalir juga merupakan dampak dari perubahan
iklim. Banjir dan kekeringan di Asia dan Australia yang sangat merugikan
berbagai sektor kehidupan juga dipandang dipengaruhi oleh perubahan
iklim.
Pemanasan global ditenggarai meningkatkan frekuensi badai di wilayah
pesisir.Setiaptahun,sekitar120jutapendudukduniadiwilayahpesisir
menghadapi bencana alam tersebut, dan 250 ribu jiwa menjadi korban
hanyadalamkurun20tahunterakhir(tahun19802000).Penelitibidang
MeteorologidiASmencatatadanyapeningkatanfrekuensibadaitropisdi
Laut Atlantik dalam seratus tahun terakhir (KCM, 31 Juli 2007). Pada
periode19051930diwilayahpantaiTelukAtlantikterjadiratarataenam
badaitropispertahun.Rataratatahunanitumelonjakhampirduakalilipat
(10kalibadaitropispertahun)padaperiodetahun19311994danhampir
9

tigakalilipat(15kalibadaitropis)mulaitahun1995hingga2005.Pada
tahun2006yangdikenalsebagaitahuntenangsajamasihterjadi10badai
tropis di wilayah pesisir ini. Juga dilaporkan pola peningkatan kejadian
badaitropisinitetapakanberlangsungsepanjangpemanasanglobalmasih
terjadi.
Puting beliung yang akhir-akhir ini melanda Indonesia khususnya pulau
Jawa mengalami tren penguatan. Memang belum ada penelitian yang
mengaitkan antara kejadian puting beliung dengan perubahan iklim, tapi
karena puting beliung dimasukkan dalam kejadian cuaca ekstrim, mungkin
ada kaitan atau korelasi di antara keduanya.
3. Mengancam ketersediaan air,
Cuaca ekstrim dapat mempengaruhi manusia secara langsung dengan
bencana banjir dan kekeringan. Indonesia sangat bergantung pada hasil
agrikultur (pertanian) untuk konsumsi pangan sehari-hari. Ketersediaan air
akan mempengaruhi ketersediaan hasil pertanian kita. Jika terjadi cuaca
ekstrim (sebagai konsekuensi dari variabilitas iklim), banyak dari petani
kita yang akan mengalami gagal panen dikarenakan banjir bandang maupun
kekeringan.
4. Mengakibatkan pergeseran musim dan perubahan pola hujan,
Laporan IPCC (2007) menyatakan bahwa pada akhir abad ini bumi telah
mengalami 2 kali periode penghangatan atmosfer yaitu pada tahun 19101940 (0,35oC) dan 1970-2006 (0,55oC). Pada periode penghangatan
pertama faktor alami dan akibat aktivitas manusia terjadi secara bersamaan
tapi pada periode penghangatan kedua maka faktor yang paling dominan
adalah akibat aktivitas manusia (era industri). Penghangatan atmosfer
karena peningkatan suhu udara akan mengakibatkan naiknya kandungan
uap air di atmosfer (terutama pada lintang rendah). Uap air tersebut akan
dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain karena adanya sirkulasi lautan
dan atmosfer (atmospheric and oceanic circulation) sehingga pada suatu
wilayah mendapatkan hujan berlebih tapi di tempat lain mengalami
kekurangan hujan atau kekeringan sehingga dapat dikatakan bahwa wilayah
tersebut mengalami perubahan iklim terutama perubahan pola hujan.
Berdasarkan data hujan observasi, kecenderungan hujan di muka bumi pada
tahun 1900-2005 menunjukkan adanya pergeseran jumlah hujan (lebih
basah/wetter atau kering/drier) dibeberapa lokasi. Amerika Selatan dan
10

Amerika Utara bagian timur, Eropa bagian utara dan Asia bagian tengah
dan utara mengalami peningkatan jumlah hujan atau lebih basah, tetapi
Sahel, Afrika bagian selatan, Mediterania dan Asia bagian selatan menjadi
lebih kering (IPCC, 2007). Di wilayah utara, presipitasi yang jatuh pada
saat sekarang umumnya lebih banyak yang berbentuk air hujan daripada
salju (IPCC, 2007).
5. Menurunkan produktivitas pertanian,
Dampak perubahan iklim mempengaruhi beberapa sektor ekonomi
masyarakat, seperti pertanian, peternakan, perikanan, dan kurangnya
cadangan air. Terlambatnya musim hujan dan naiknya intensitas hujan,
membawa kerugiancukup besar bagi masyarakat. Salah satu sektor yang
paling terpengaruh denganperubahan iklim adalah sektor pertanian.
Pertama, perubahan iklim akanberdampak pada pergeseran musim, yakni
semakin singkatnya musim hujan namun dengan curah hujan yang lebih
besar. Kerusakan pertanaman terjadi karena intensitas curah hujan yang
tinggi yang berdampak pada banjir dan tanah longsor serta angin.
Kedua, fluktuasi suhu dan kelembapan udara yang semakin meningkat yang
mampu

menstimulasi

pertumbuhan

dan

perkembangan

Organisme

Pengganggu Tanaman (OPT). Ketiga, menurunnya kesejahteraan ekonomi


petani. Dua hal diatas jelasmerugikan petani dan sektor pertanian karena
akan semakin menyusutkan danmenurunkan hasil pertanian yang
berpengaruh pada menurunnya pendapatan petani. Sebab perekonomian
petani bergantung pada keberhasilan panen, jika terjadi kegagalan panen,
maka petani akan mengalami kerugian.
Diproyeksikan bahwa lahan pertanian akan makin bergeser ke arah utara,
sedangkan

wilayah-wilayah

tropis

banyak

mengalami

kerusakan.

Peningkatan pemanasan beberapa derajat Celcius dan penurunan jumlah


curah hujan akan banyak berdampak pada menurunnya produksi pertanian.
Pada beberapa wilayah, berkurangnya wilayah dan produktivitas lahan akan
memaksa para petani merambah wilayah-wilayah yang dilindungi seperti
misalnya hutan-hutan di pegunungan. Wilayah sub Sahara Afrika sering
dijadikan contoh betapa dahsyatnya dampak perubahan iklim. Wilayah
tersebut merupakan wilayah dengan ketergantungan air untuk bidang
pertanian sebesar 85%. Oleh karena perubahan iklim produksi pangan di
wilayah tersebut bisa turun 8-16%. Ini tentu saja akan meningkatkan
11

ketergantungan pangan pada wilayah-wilayah lain, malnutrisi dan


sebagainya.
Namun, perubahan iklim yang terjadi juga memberikan efek positif
terhadap sektor pertanian.

Peningkatan temperatur, kebasahan dan

penyebaran hama dan penyakit berdampak negatif pada menurunnya


produktivitas pertanian. Namun demikian dengan adanya peningkatan
konsentrasi CO2 di atmosfer bisa berdampak positif pada peningkatan
produktivitas pertanian. Ini karena terjadi peningkatan laju pertumbuhan
dan berkurangnya laju transpirasi tanaman. Pada kondisi tingkat CO2 yang
tinggi, tanaman-tanaman budidaya akan lebih efisien penggunaan airnya.
Peningkatan temperatur bisa pula berdampak positif pada memanjangnya
musim tumbuh dan berkurangnya periode untuk pemasakan (mature)
tanaman. Ini tidak hanya terjadi pada wilayah-wilayah dataran tinggi tetapi
juga untuk wilayah-wilayah lintang tinggi. Meskipun demikian, faktor
tanah juga turut membatasi produksi. Tidak setiap potensi di atas bisa
direalisasikan tanpa memperhatikan faktor tanah. Faktor hujan yang lebih
tinggi bisa memungkinkan produksi pangan yang lebih tinggi dan
memberikan lebih banyak air untuk irigasi.
6. Peningkatan temperatur akan mengakibatkan kebakaran hutan,
Ekosistemhutanmengalamiancamankebakaranhutanyangterjadiakibat
panjangnya musim kemarau. Jika kebakaran hutan terjadi secara terus
menerus, maka akan mengancam spesies flora dan fauna dan merusak
sumberpenghidupanmasyarakat.
Indonesiamempunyailahanbasah(termasukhutanrawagambut)terluasdi
Asia, yaitu 38 juta ha yang tersebar mulai dari bagian timur Sumatera,
Kalimantan,Sulawesi,Jawa,MalukusampaiPapua.Tetapiluaslahanbasah
tersebuttelahmenyusutmenjadikuranglebih25,8jutaha(Suryadiputra,
1994). Penyusutan lahan basah dikarenakan berubahnya fungsi rawa
sebesar 37,2 persen dan mangrove 32,4 persen. Luas hutan mangrove
berkurangdari5,2jutahatahun1982menjadi3,2jutahatahun1987dan
menciut lagi menjadi 2,4 juta ha tahun 1993 akibat maraknya konversi
mangrovemenjadikawasanbudidaya(Suryadiputra,1994,Dahurietal,
2001).
7. Mengancam biodiversitas dan keanekaragaman hayati,

12

AdabeberapafaktayangdisampaikanolehAlGorepadabukunyaEarthin
The Balance tentang pengaruh perubahan iklim terhadap biodiversitas
antaralain:
Terjadinyaperubahaniklimmenyebabkanterjadinyaperubahaniklimdi
hutanAmazon.AwanyangbiasanyadiatashutanAmazonselaluHitam
menunjukanbahwaintensitashujansangattinggi,akantetapisekarang
intensitas hujan berkurang ditandai dengan awan yang berada diatas
hutan Amazon menjadi terang. Hal tersebut menyebabkan terjadinya
penurunan jumlah burung di hutan Amazon. Akan tetapi hubungan
antara hilangnya beberapa spesies burung apakah ada berhubungan

langsungdenganberkurangnyacurahhujanmasihdipertanyakan.
Naiknyasuhulautmenyebabkanterjadinyakematianterumbukarang.
Memangdibeberapatempatterumbukarangmengalamikamatian,akan
tetapikematianterumbukaranglebihbanyakdisebabkaneksploitasi

yangberlebihanolehmanusiasepertipenggunaanbomikan.
Terjadinyapenurunanbiodiversitasyangeksponensialsejakterjadinya
revolusi industri dan berbanding lurus dengan pertambahan populasi
manusia.Haltersebutsangateratsekalidenganeksploitasisepertidiburu
atauhabitatnyaberubahuntukmenjadipemukimandanpertanian,bukan

karenaperubahaniklim.
8. Kenaikan muka laut menyebabkan banjir permanen dan kerusakan
infrastruktur di daerah pantai,
Pemanasanglobaldiperkirakanakanmeningkatkansuhuairlautberkisar
antara13C.Darisisibiologis,kenaikansuhuairlautiniberakibatpada
meningkatnyapotensikematiandanpemutihanterumbukarangdiperairan
tropis.
Terdapat dua dampak yang menjadi isu utama berkenaan dengan perubahan
iklim, yaitu fluktuasi curah hujan yang tinggi dan kenaikan muka laut yang
menyebabkan tergenangnya air di wilayah daratan dekat pantai. Dampak lain yang
diakibatkan oleh naiknya muka laut adalah erosi pantai, berkurangnya salinitas air
laut, menurunnya kualitas air permukaan, dan meningkatnya resiko banjir.
Dari uraian di atas sangat jelas kelihatan bahwa perubahan iklim lebih sering
membawa dampak negatif daripada dampak positifnya. Oleh sebab itu sudah
sewajibnya bagi kita untuk turut serta mengerem laju perubahan iklim melalui
13

berbagai kegiatan positif yang peduli pada lingkungan. Akhir-akhir ini banyak
digelorakan kegiatan peduli lingkungan dari yang bersifat lokal sampai dengan
berskala global dengan melakukan Reuse, Reduce, dan Recycle (3R).

2.4 Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Ketinggian Permukaan Air Laut


Pengamatan temperatur global sejak abad 19 menunjukkan adanya perubahan
rata-rata temperatur yang menjadi indikator adanya perubahan iklim. Perubahan
temperatur global ini ditunjukkan dengan naiknya rata-rata temperatur hingga 0,74 oC
antara tahun 1906 hingga tahun 2005. Temperatur rata-rata global ini diproyeksikan
akan terus meningkat sekitar 1,8 4,0 oC di abad sekarang ini, dan bahkan menurut
kajian lain dalam IPCC diproyeksikan berkisar antara 1,1 6,4oC.
Perubahan temperatur atmosfer menyebabkan kondisi fisis atmosfer kian tak
stabil dan menimbulkan terjadinya anomali-anomali terhadap parameter cuaca yang
berlangsung lama. Dalam jangka panjang anomali-anomali parameter cuaca tersebut
akan menyebabkan terjadinya perubahan iklim. Perubahan iklim merupakan sesuatu
yang sulit untuk dihindari dan memberikan dampak terhadap berbagai segi kehidupan.
Dampak ekstrem dari perubahan iklim terutama adalah terjadinya kenaikan
temperatur serta pergeseran musim. Kenaikan temperatur menyebabkan es dan gletser
di kutub Utara dan Selatan mencair.
Muka laut rata-rata lokal (local mean sea level atau disingkat LMSL)
didefinisikan sebagai tinggi laut terhadap titik acu (benchmark) di darat, dirataratakan terhadap suatu periode waktu tertentu yang cukup panjang, sebulan atau
setahun, sehingga fluktuasi akibat gelombang dan pasang surut sebisa mungkin
dapat dihilangkan. Kita juga harus menyesuaikan perubahan LMSL yang diketahui
untuk memasukkan pergerakan vertikal daratan yang bisa jadi memiliki orde yang
sama dengan orde perubahan muka air laut (mm/tahun). Pergerakan daratan terjadi
karena penyesuaian isostatik mantel akibat melelehnya lempengan es di akhir zaman
es terakhir. Tekanan atmosferik (efek inversi barometrik), arus laut, dan perubahan
temperatur air laut setempat semua dapat memengaruhi LMSL.
Menurut riset yang ada, pemanasan global dari efek rumah kaca yang
menyebabkan perubahan iklim dapat menaikan permukaan air laut hingga 5 200 cm
untuk abad selanjutnya. Ketinggian air laut memang selalu berfluktuasi dengan
perubahan dari temperatur global. Ketika zaman es dimana temperatur global sebesar
5 derajat Celsius lebih rendah dari sekarang, kebanyakan dari air laut terikat dalam
gletser dan ketinggian permukaan air lautnya sekitar 100 meter lebih rendah dari
14

sekarang. Tetapi, saat periode terakhir interglacial (100,000 tahun yang lalu),
permukaan air laut lebih tinggi 6 meter dari sekarang dan temperaturnya berkisar 1
derajat Celsius lebih hangat dari sekarang. Tren permukaan air laut global telah
diestimasi dengan cara mengkombinasikan trentren dari tidal stations di seluruh
dunia. Rekor-rekor ini memperlihatkan bahwa selama abad terakhir ini, permukaan air
laut di seluruh dunia telah naik hingga 10 25 cm yang sebagian besar diakibatkan
oleh pemanasan global dari abad terakhir.
Kutub Utara berada di atas es yang lebih kecil dan lebih tipis dibandingkan
dengan sebelumnya, sementara es tua yang kuat mulai digantikan es muda yang cepat
mencair. Demikian dikatakan beberapa peneliti di NASA dan National Snow and Ice
Data Center di Colorado. Menurut para peneliti tersebut, maksimum es laut Artik pada
musim dingin ini bertambah 15 juta dan 150.000 kilometer persegi, sekitar 720.000
kilometer persegi lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata wilayah Kutub Utara
antara tahun 1979 dan 2000. Pada musim dingin normal, es seringkali memiliki
ketebalan tiga meter atau lebih, Namun, pada tahun 2010, ketebalan lapisan es
hampir-hampir tak dapat menembus sasaran yang tepat. Jumlah es laut tebal mencapai
tingkat rendah pada musim dingin dengan luas 680.400 kilometer persegi sehingga
turun 43 persen dari tahun sebelumnya.
Bila suhu bumi meningkat hingga 30C, diramalkan sebagian belahan bumi
akan tenggelam, karena meningkatnya muka air laut akibat melelehnya es di daerah
kutub. Sebagai contoh di negara Venesia pernah mengalami banjir parah pada bulan
November 2009, ketika tingkat air mencapai 131 cm. Venesia telah lama tenggelam,
tapi naiknya permukaan air laut telah membuat situasi lebih mengerikan. Frekuensi
banjir meningkat setiap tahun, meninggalkan banyak pertanyaan berapa lama lagi
Venesia bisa tinggal di atas air.

Gambar 4. Perubahan temperatur di Indonesia untuk tahun 1950 2001(Susandi, 2004)

15

Gambar 5. Tren suhu rata-rata udara di Jakarta dan Semarang periode 1860 hingga 2000

Gambar 6. Tren kenaikan temperatur permukaan laut berdasarkan data NOAA OI (Sofian,
2009)

Pada 2007, IPCC melaporkan bahwa suhu rata-rata bumi jelas menandakan
pemanasan (IPCC2007b). Beberapa baris menunjukkan bukti ilmiah bahwa rata-rata
suhu permukaan global bumi telah meningkat 0,750C sejak 1850 (titik awal untuk
jaringan global pengukuran suhu bumi) seperti tampak pada gambar di bawah ini
(Gambar 7).

16

Gambar 7. Tren Temperatur Rata-rata Permukaan Global

Tidak setiap bagian dari permukaan planet memanas dengan kecepatan yang
sama. Beberapa bagian adalah pemanasan lebih cepat, terutama atas tanah dan
beberapa bagian (di Antartika, misalnya) telah didinginkan sedikit (Gambar 8). Tetapi
daerah yang lebih jauh adalah pemanasan dari pendinginan.

17

Gambar 8. Tren suhu global. Peta atas menunjukkan rata-rata perubahan suhu per dekade
1870 2005. Suhu di daerah oranye tampak naik antara 0,1 0,2 0C per dekade, sehingga
mereka rata-rata 1,35 - 2,7 0C lebih hangat di tahun 2005 dibandingkan tahun 1870. Peta
bawah menunjukkan rata-rata perubahan suhu per dekade 1950 2005. Daerah di merah tua
tampak kenaikan suhu rata-rata pada lebih dari 0,4 0C per dekade, sehingga mereka rata-rata
lebih dari 20C lebih hangat di tahun 2005 sibandingkan tahun 1950. (Sumber: Joint Institute
for the Study of the Atmosphere and Ocean, University of Washington).

Menurut NASA Goddard Institute for Space Studies, telah terjadi delapan tahun
terpanas dalam 100 tahun terakhir sejak 1998. Selama paruh kedua abad ke-20, lautan
juga menjadi lebih hangat. Perairan laut lebih hangat menyebabkan es laut mencair,
memicu pemutihan karang, mengakibatkan banyak spesies pergeseran rentang
geografis mereka, banyaj spesies lain mengalami stress yang tidak dapat pindah ke
tempat lain, berkontribusi terhadap kenaikan permukaan laut.
2.5 Dampak Kenaikan Permukaan Air Laut

18

Mencairnya es di kutub Utara dan kutub Selatan berdampak langsung pada


naiknya level permukaan air laut. Peningkatan suhu atmosfer akan diikuti oleh
peningkatan suhu di permukaan air laut, sehingga volume air laut meningkat maka
tinggi permukaan air laut juga akan meningkat. Pemanasan atmosfer akan mencairkan
es di daerah kutub terutama di sekitar pulau Greenland (di sebelah Utara Kanada),
sehingga akan meningkatkan volume air laut. Kejadian tersebut menyebabkan tinggi
muka air laut di seluruh dunia meningkat antara 10 - 25 cm selama abad ke-20. Para
ilmuwan IPCC memprediksi peningkatan lebih lanjut akan terjadi pada abad ke-21
sekitar 9 - 88 cm, yakni seperti:
1. Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir,
Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir disebabkan oleh terjadinya
pola hujan yang acak dan musim hujan yang pendek sementara curah hujan
sangat tinggi (kejadian ekstrim). Kemungkinan lainnya adalah akibat
terjadinya efek backwater dari wilayah pesisir ke darat. Frekuensi dan
intensitas banjir diprediksikan terjadi 9 kali lebih besar pada dekade
mendatang dimana 80% peningkatan banjir tersebut terjadi di Asia Selatan
dan Tenggara (termasuk Indonesia) dengan luas genangan banjir mencapai 2
juta mil persegi. Sebagai contoh, di wilayah kota Tarakan khususnya di
Sebengkok, Karang Anyar, Karang Balik sering mengalami banjir apabila
memasuki musim hujan yang sangat tinggi. Air rata-rata mencapai
ketinggian antara 30 sampai 50 cm mengakibatkan lumpuhnya sistem
transportasi dan mengganggu rutinitas warga.
Perubahan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi kehidupan di daerah
pantai. Dengan meningkatnya permukaan air laut, peluang terjadi erosi
tebing, pantai, dan bukit pasir juga akan meningkat. Bila tinggi lautan
mencapai muara sungai, maka banjir akibat air pasang akan meningkat di
daratan. Bahkan dengan sedikit peningkatan tinggi muka laut sudah cukup
mempengaruhi ekosistem pantai, dan menenggelamkan sebagian dari rawarawa pantai. Negara-negara kaya akan menghabiskan dana yang sangat
besar untuk melindungi daerah pantainya, sedangkan negara-negara miskin
mungkin hanya dapat melakukan evakuasi penduduk dari daerah pantai.
2. Perubahan arus laut dan meluasnya kerusakan mangrove,
Kenaikan muka air laut selain mengakibatkan perubahan arus laut pada
wilayah pesisir juga mengakibatkan rusaknya ekosistem mangrove, yang
pada saat ini saja kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan. Luas hutan
19

mangrove di Indonesia terus mengalami penurunan dari 5.209.543 ha (1982)


menurun menjadi 3.235.700 ha (1987) dan menurun lagi hingga 2.496.185
ha (1993). Dalam kurun waktu 10 tahun (1982-1993), telah terjadi
penurunan hutan mangrove 50% dari total luasan semula. Apabila
keberadaan mangrove tidak dapat dipertahankan lagi, maka abrasi pantai
akan kerap terjadi karena tidak adanya penahan gelombang, pencemaran
dari sungai ke laut akan meningkat karena tidak adanya filter polutan, dan
zona budidaya aquaculture pun akan terancam dengan sendirinya.
3. Meluasnya intrusi air laut,
Meluasnya intrusi air laut selain diakibatkan oleh terjadinya kenaikan muka
air laut juga dipicu oleh terjadinya land subsidence akibat penghisapan air
tanah secara berlebihan. Sebagai contoh, diperkirakan pada periode antara
2050 hingga 2070, maka intrusi air laut akan mencakup 50% dari luas
wilayah Jakarta Utara.
4. Ancaman terhadap kegiatan sosial-ekonomi,
Kenaikan permukaan air laut akan membanjiri rawa-rawa dan dataran
rendah, mempercepat erosi dan memperburuk banjir di pesisir pantai,
mengancam bangunanbangunan di daerah pesisir, kehilangan kawasan
wisata pantai yang indah dan juga meningkatkan salinitas (pencemaran
kadar garam) di daerah sungai, teluk, dan air di dalam tanah (aquifers).
Gangguan terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang terjadi
diantaranya adalah gangguan terhadap jaringan jalan lintas dan kereta api di
Pantura Jawa dan Timur-Selatan Sumatera; genangan terhadap permukiman
penduduk pada kota-kota pesisir yang berada pada wilayah Pantura Jawa,
Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat
Daya, dan beberapa spot pesisir di Papua; hilangnya lahan-lahan budidaya
seperti sawah, payau, kolam ikan, dan mangrove seluas 3,4 juta hektar atau
setara dengan US$ 11,307 juta; gambaran ini bahkan menjadi lebih buram
apabila dikaitkan dengan keberadaan sentra-sentra produksi pangan yang
hanya berkisar 4% saja dari keseluruhan luas wilayah nasional, dan
penurunan produktivitas lahan pada sentra-sentra pangan, seperti di DAS
Citarum, Brantas, dan Saddang yang sangat krusial bagi kelangsungan
swasembada pangan di Indonesia.
5. Berkurangnya luas daratan atau hilangnya pulau-pulau kecil,
Perubahan iklim yang mengakibatkan kenaikan permukaan air laut akan
dapat memberikan dampak negative terhadap ekosistem pulau-pulau kecil,
20

dimana ekosistem pulau-pulau kecil akan menjadi rusak, sehingga akan


mempengaruhi kehidupan manusia yang tinggal di pulau-pulau kecil
tersebut. Terutama yang topografinya datar (low-lying island) yang memiliki
ketinggian rata-rata satu meter di atas permukaan laut akan menjadi sangat
rentan, sehingga dapat tenggelam atau hilang secara fisik.
Dampak paling serius dari naiknya tinggi muka air laut ini adalah hilangnya
pulau-pulau kecil. Diperkirakan dari 44 anggota SIDS, 14 negara kecil di
antaranya terancam hilang akibat naiknya permukaan laut, antara lain
beberapa negara pulau di Samudra Pasifik, yaitu Sychelles, Tuvalu, Kiribati,
dan Palau, serta Maladewa di Samudra Hindia. Akibat pemanasan global,
minimal 18 pulau di muka bumi ini telah tenggelam, antara lain tujuh pulau
di Manus, sebuah provinsi di Papua Niugini. Kiribati, negara pulau yang
berpenduduk 107.800 orang, sekitar 30 pulaunya saat ini sedang tenggelam,
sedangkan tiga pulau karangnya telah tenggelam. Maladewa yang
berpenduduk

369.000

jiwa,

presidennya

telah

menyatakan

akan

merelokasikan seluruh negeri itu. Sementara itu, Vanuatu yang didiami


212.000 penduduk, sebagian telah diungsikan dan desa-desa di pesisir
direlokasikan karena ancaman nyata itu, delegasi dari negara kepulauan
tersebut serta Aljazair dan Tanzania sangat mendukung WOC dan akan hadir
di Manado, mengingat negara tersebut terancam hilang dari muka bumi ini
akibat perubahan iklim.
Indonesia, Amerika Serikat, dan Bangladesh adalah beberapa negara yang
paling terancam tenggelam. Bahkan beberapa pulau di Indonesia sudah
hilang tenggelam. Ini disebabkan mencairnya permukaan gletser di kutub
yang membuat volume air laut meningkat drastis. Satu lagi pulau Indonesia
terancam tenggelam yang di beritakan beberapa media pada April 2010.
Setelah diketahui 13 pulau hilang sejak terjadi tsunami pada 1907 di periran
Kabupaten Simueulu hingga tsunami 2005 di Nias, Sumatra Utara, sekarang
di-informasikan ada satu pulau lagi mulai timbul tenggelam di permukaan
laut yakni pulau Gosong Kasih. Kondisi Pulau Gosong Kasih sekarang
sering timbul tenggelam. Ketika terjadi pasang, daratan itu tenggelam oleh
air laut, sedangkan saat sedang surut tampak kembali ke atas permukaan
perairan Samudera Hindia. Daratannya tidak hilang tapi sering tenggelam
karena permukaan air laut naik. Hal ini tidak lain akibat dari efek pemanasan
21

global atau pengaruh gempa bumi yang sering terjadi di perairan barat
selatan Aceh. Oleh karena itu, pemukaan air semakin naik atau struktur
daratan pulau turun dari posisi semula. Naiknya permukaan laut akan
menggenangi wilayah pesisir sehingga akan menghancurkan tambak-tambak
ikan dan udang di Jawa, Aceh, Kalimantan dan Sulawesi (UNDP, 2007).
akibat pemanasan global pada tahun 2050 akan mendegradasi 98 persen
terumbu karang dan 50% biota laut.
Di antara negara kepulauan di dunia, agaknya kerugian terbesar bakal
dihadapi Indonesia, sebagai negara yang memiliki jumlah pulau terbanyak.
Pada tahun 2030 potensi kehilangan pulaunya sudah mencapai sekitar 2.000
bila tidak ada program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, urai
Indroyono, Sekretaris Menko Kesra yang juga mantan Kepala Badan Riset
Kelautan dan Perikanan DKP. Saat ini belum diketahui berapa sesungguhnya
jumlah pulau di Nusantara ini yang telah hilang karena dampak kenaikan
permukaan laut. Namun, pengamatan Badan Koordinasi Survei dan
Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) menunjukkan penciutan daerah pantai
sudah terlihat di pulau-pulau yang berada di Paparan Sunda dan Paparan
Sahul, ungkap Aris Poniman, Deputi Sumber Dasar Sumber Daya Alam
Bakosurtanal. Paparan Sunda meliputi pantai timur Pulau Sumatera,
Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan serta pantai utara Pulau Jawa.
Adapun Paparan Sahul berada di sekitar wilayah Papua. Penjelasan Aris
didasari pada pemantauan pasang surut yang dilakukan Bakosurtanal di
berbagai wilayah pantai Nusantara sejak 30 tahun terakhir.
Dari semua uraian di atas, kenaikan tinggi muka laut juga memiliki dampak
dalam sektor sosial ekonomi, diantaranya yakni:
1. Terganggunya lalu lintas jalan raya,

2.
3.
4.

Munculnya genangan-genangan air di wilayah perkotaan,


Berkurangnya lahan-lahan produktif di sektor pertanian,
Bekunya

aktifitas-aktifitas

industri

dan

bisnis

diakibatkan

kerusakan/terganggunya infrastruktur-infrastruktur.
Selanjutnya, kenaikan suhu air laut ini juga mempengaruhi ekosistem terumbu
karang yang menjadi fishing ground dan nursery ground ikan yang hidup di wilayah
itu. Ikan-ikan yang hidup di daerah karang akan mengalami penurunan populasi. Hasil
penelitian Ove Hoegh-Guldberg yang dipublikasikan di jurnal Science edisi
Desember 2007 meramalkan bahwa akibat pemanasan global pada tahun 2050 akan
22

mendegradasi 98 persen terumbu karang dan 50 persen biota laut. Bahkan,


memprediksikan apabila suhu air laut naik 1,5 0C setiap tahunnya sampai 2050 akan
memusnakan 98 persen terumbu karang di Great Barrier Reef, Australia. Barangkali
nantinya di Indonesia kita tak akan lagi menikmati lobster, cumi-cumi dan rajungan.
Akibat dari kenaikan suhu air laut lainnya yakni terputusnya rantai makanan.
Gretchen Hofmann (2008), Profesor Biologi dari University of California, Santa
Barbara menjustifikasi bahwa pemanasan global (peningkatan suhu dan keasaman)
akan berdampak pada hilangnya rantai makanan yang berperan sebagai katastropik
yakni organisme pteropoda. Dampak selanjutnya memengaruhi populasi ikan salmon,
mackerel, herring, dan cod, karena organisme itu sebagai sumber makanannya.
Sementara itu, kenaikan permukaan air laut berdampak luas terhadap aktivitas
nelayan budi daya di wilayah pesisir. Naiknya permukaan laut akan menggenangi
wilayah pesisir sehingga akan menghancurkan tambak-tambak ikan dan udang di
Jawa, Aceh, Kalimantan dan Sulawesi (UNDP, 2007). Akibatnya, nelayan pembudi
daya akan mengalami kerugian yang tak sedikit dan kehilangan sumber
kehidupannya.
Gejala ini sebetulnya sudah terjadi di kawasan Delta Mahakam Kalimantan
Timur, walaupun perlu riset mendalam. Menurunnya produktivitas udang secara
drastis di kawasan itu disinyalir salah satu penyebabnya adalah perubahan iklim
global. Tak hanya itu, naiknya permukaan laut akan menghancurkan kawasan
permukiman nelayan yang berlokasi di desa-desa pesisir. Terjadinya fenomena rob
yang menggenangi pesisir Teluk Jakarta beberapa waktu lalu adalah fakta empiris.
Dampak lanjutannya adalah mewabahnya penyakit menular jenis disentri atau tipes.
Ketiga, perubahan iklim global juga menyebabkan cuaca yang tidak menentu dan
gelombang laut yang tinggi disertai badai/angin topan. Di Maluku, misalnya, nelayan
amat sulit memperkirakan waktu dan lokasi yang sesuai untuk menangkap ikan
karena pola iklim yang berubah. Tak hanya itu, infrastruktur pedesaan pesisir akan
mengalami kehancuran akibat hantaman gelombang maupun badai topan. Para ahli
meramalkan pulau-pulau kecil di Pasifik maupun Karibia akan tenggelam akibat
kenaikan permukaan laut yang terus meningkat dalam kurun waktu lama.
Ini tak hanya menimbulkan problem demografi akibat kehilangan permukiman,
melainkan juga akan memusnahkan spesies endemin di perairan sekitar pulau maupun
yang hidup dalam pulau itu. Bahkan, infrastruktur ekonomi maupun sosial yang
mendukung kehidupan nelayan akan mengalami hal yang sama (IPCC, 2007).
23

Umpamanya, pelabuhan perikanan, cold strorage, dan kapal ikan. Akibatnya, nelayan
penangkap maupun pembudi daya ikan di wilayah pesisir akan miskin selamanya.
2.6 Upaya Penanggulangan Perubahan Iklim
Menghadapi ancaman hilangnya kawasan pantai dan pulau kecil yang
kemungkinan akan terus berlanjut pada masa mendatang, Aris yang juga pengajar di
IPB menyarankan penyusunan peta skala besar, yaitu 1:5.000 dan 1:1.000. Saat ini
baru tiga kota besar, yaitu Jakarta, Semarang, dan Makassar, yang memiliki peta
berskala tersebut, ujarnya. Pada peta tampak detail wilayah pantai yang terbenam di
tiga kota tersebut. Peta ini disusun Bakosurtanal bekerja sama dengan Japan
International Cooperation Agency (JICA). Selain itu, pembuatan peta skala besar juga
dilaksanakan untuk wilayah barat Sumatera dan selatan Jawa Bali - Nusa Tenggara.
Hal ini terkait dengan pembangunan Sistem Peringatan Dini Tsunami (TEWS).
Sementara itu, untuk wilayah timur Sumatera dan wilayah lain yang tergolong rawan
genangan air laut akibat pemanasan global peta yang ada masih berskala kecil, sekitar
1:25.000. Pembuatan peta genangan perlu menjadi prioritas agar setiap daerah dapat
melakukan langkah antisipasi dan adaptasi pada wilayah yang bakal tergenang dalam
5 hingga 20 tahun mendatang, ujarnya. Data spasial dan penginderaan jauh yang
merekam dampak pemanasan global juga akan menjadi materi untuk pengambilan
kebijakan di setiap instansi terkait pada waktu mendatang.
Selain itu, upaya penanggulangan juga dilakukan dalam beberapa sektor oleh
seluruh warga negara mulai dari pemerintah hingga masyarakat bahkan teknologi juga
diikutsertakan untuk mengurangi dampak perubahan iklim.
1. Usaha Pemerintah
1.1 Dalam Lingkungan Masyarakat
Sosialisasi mengenai perubahan iklim national summit perubahan
iklim

untuk

mengetahui

kemajuan

kebijakan

pelaksanaan

inventarisasi dan penurunan emisi gas rumah kaca (grk).


1.2 Sektor Pertanian
Kementerian pertanian telah melakukan inventarisasi grk pada tahun
2012. Hal ini di lakukan melalui berbagai aksi mitigasi, seperti :
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT)
System of Rice Intensification (SRI)
Introduksi Unit Pengelola Pupuk Organik (UPPO)
Pengembangan Biogas Asal Ternak Masyarakat (BATAMAS).
Introduksi varietas padi yang memiliki produktivitas tinggi dan
rendah emisi.
1.3 Sektor Energi
24

Kebijakan energi nasional, dimana ketergantungan terhadap


minyak akan pelan-pelan dikurangi yang saat ini mencapai 50

persen akan dikurangi menjadi kira-kira 23 persen.


Mengidentifikasi berbagai kegiatan nasional dan sektoral yang
dapat mempercepat pencapaian target penurunan emisi GRK,
seperti :
Program

pemanfaatan

teknologi

energi

bersih

di

pembangkitan listrik.
Pengurangan pemakaian bbm bersubsidi, khususnya dengan
gas dan energi terbarukan.
Program konservasi energi dan lain-lain.
1.4 Sektor Transportasi

Kebijakan dan langkah-langkah penurunan emisi grk dan inventarisasi


GRK di sub sektor perhubungan darat, perkeretaapian, perhubungan
laut, dan perhubungan udara.
1.5 Sektor Industri
Pemberian penghargaan industri hijau.
Penerapan program restrukturisasi permesinan industri tekstil dan

produk tekstil, alas kaki dan gula.


2. Usaha Masyarakat
2.1 Mitigasi

Mitigasi pada prinsipnya adalah berbagai tindakan aktif untuk


mencegah, memperlambat terjadinya perubahan iklim dan pemanasan
global dan mengurangi dampak perubahan iklim melalui penurunan
emisi gas rumah kaca dan peningkatan penyerapan gas rumah kaca.
Cara mitigasi dilakukan dengan cara sebagai berikut :
Eliminasi, dengan cara menghindari penggunaan

alat-alat

penghasil emisi gas rumah kaca,


Pengurangan, dengan cara mengganti peralatan lama dan/atau

mengoptimalkan struktur yang sudah ada,


Substitusi: penggunaan energi terbarukan untuk memenuhi

kebutuhan listrik dan/atau pemanas,


Offset: cara ini berbiaya rendah, tetapi memiliki manfaat yang
cukup besar. Langkah yang diambil adalah melalui reboisasi dan
reforestasi. Cara ini harus dilakukan dengan cakupan yang besar
sehingga sering menjadi kendala.

2.2 Adaptasi

25

Adaptasi terhadap perubahan iklim merupakan proses yang terjadi


secara alamiah yang dilakukan oleh manusia dan makhluk hidup lain
dalam habitat dan ekosistemnya sebagai sebuah reaksi atas perubahan
yang terjadi. 4 prinsip dalam proses adaptasi perubahan iklim, yaitu:
Menempatkan adaptasi dalam konteks pembangunan.,
Membangun pengalaman beradaptasi untuk mengantisipasi
variabilitas perubahan iklim,
Memahami bahwa adaptasi berlangsung dalam level yang berbeda,

terkhusus di level lokal,


Memahami bahwa adaptasi adalah proses yang terus berjalan.
3. Teknologi dalam Mengatasi Perubahan Iklim
3.1 Sektor Pertanian
Kalender tanam,
Varietas unggul baru yang adaptif,
Teknologi panen hujan dan aliran permukaan,
Teknologi pengelolaan sumber daya lahan/tanah seperti
pemupukan.
3.2 Rencana penggunaan teknologi dalam mengatasi perubahan iklim
Pemasangan dan penggunaan teknologi hemat energi di

bangunan komersial.
Rumah dan fasilitas industry manufaktur.
Pengembangan energy terbarukan.
Penggantian bahan bakar dari bahan bakar fosil ke sumber energi

terbarukan.
Penggunaan teknologi untuk pengelolaan hutan lebih lestari dan

budidaya pertanian secara lebih efisien.


Dan penyediaan subsidi dan kompensasi bagi masyarakat dan
dunia usaha yang harus mengubah mata pencaharian mereka

karena kebijakan pembangunan ekonomi hijau oleh pemerintah.


3.3 Teknologi Mitigasi
Energi : energi surya dan transportasi massa.
Kehutanan dan tata guna lahan : pengukuran dan monitoring
emisi karbon.
Limbah : mechanical biological treatment.
3.4 Teknologi Adaptasi

Ketahanan pangan : tanaman padi yang tahan oanas dan banjir.

26

Sumber daya air : daur ulang limbah domestic.

Kerantanan pesisir : teknologi tembok laut dan dinding laut.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perubahan iklim dunia tidak dapat dielakkan. Suhu permukaan bumi terus
meningkat dan tingkat gas rumah kaca (GRK) terus bertambah. Perubahan ini akan
berdampak pada ekosistem di darat dan laut, keterkaitan antar spesies, pertumbuhan
populasi dan sebagian tidak mampu beradaptasi sehingga dapat mendekati kepunahan.
Perubahan iklim adalah proses yang berskala global, tetapi dengan manifestasi
wilayah dan daerah beragam. Dampak ekologi lazimnya berlangsung lokal dan
bervariasi dari tempat ke tempat untuk menerangkan bagaimana perubahan iklim telah
mempengaruhi spesies tertentu dan ekosistem khususnya ekosistem laut. Dampak
perubahan iklim terhadap ekosistem laut antara lain kenaikan muka air laut karena
mencairnya es di kutub; cuaca ekstrim seperti badai dan gelombang tinggi; pemutihan
terumbu karang; dan perubahan ekologi lainnya.
Perubahan iklim tidak terjadi secara tiba-tiba, peristiwa ini terjadi oleh berbagai
sebab. Ada yang disebabkan oleh ulah manusia, ada pula yang terjadi karena factor
alam. Beberapa penyebab perubahan iklim karena factor alam, adalah sebagai berikut:
1. Pemanasan Bumi
2. Aktivitas Matahari

27

3. Bervariasinya Jalur Orbit Bumi


4. Pergeseran Lempeng Tektonik
5. El Nino dan La Nina
Beberapa penyebab perubahan iklim karena faktor manusia, adalah sebagai
berikut:
1. Gas Rumah Kaca
2. Aktivitas Manusia
Terdapat dua dampak yang menjadi isu utama berkenaan dengan perubahan
iklim, yaitu fluktuasi curah hujan yang tinggi dan kenaikan muka laut yang
menyebabkan tergenangnya air di wilayah daratan dekat pantai. Dampak lain yang
diakibatkan oleh naiknya muka laut adalah erosi pantai, berkurangnya salinitas air
laut, menurunnya kualitas air permukaan, dan meningkatnya resiko banjir.
Perubahan temperatur atmosfer menyebabkan kondisi fisis atmosfer kian tak
stabil dan menimbulkan terjadinya anomali-anomali terhadap parameter cuaca yang
berlangsung lama. Dalam jangka panjang anomali-anomali parameter cuaca tersebut
akan menyebabkan terjadinya perubahan iklim. Perubahan iklim merupakan sesuatu
yang sulit untuk dihindari dan memberikan dampak terhadap berbagai segi kehidupan.
Dampak ekstrem dari perubahan iklim terutama adalah terjadinya kenaikan
temperatur serta pergeseran musim. Kenaikan temperatur menyebabkan es dan gletser
di kutub Utara dan Selatan mencair.
Peningkatan suhu atmosfer akan diikuti oleh peningkatan suhu di permukaan air
laut, sehingga volume air laut meningkat maka tinggi permukaan air laut juga akan
meningkat. Pemanasan atmosfer akan mencairkan es di daerah kutub terutama di
sekitar pulau Greenland (di sebelah Utara Kanada), sehingga akan meningkatkan
volume air laut.
Suhu permukaan air laut yang tinggi, menyebabkan simbiosis antara karang host
dan fotosintetik microalgae (zooxantella) terganggu. Naiknya suhu permukaan air laut
juga direspon positif oleh virus, bakteri dan jamur karang, sehingga karang lebih
rentan terserang penyakit dan ikut memicu terjadinya bleaching. Peningkatan suhu
permukaan yang terjadi terus-menerus meberikan ancaman terhadap kelestarian
terumbu karang di masa mendatang.
Oleh karenya, dibutuhkan upaya-upaya untuk mengurangi dampak perubahan
iklim. Aris yang juga pengajar di IPB menyarankan penyusunan peta skala besar,
28

yaitu 1:5.000 dan 1:1.000. Pada peta tampak detail wilayah pantai yang terbenam di
tiga kota tersebut. Peta ini disusun Bakosurtanal bekerja sama dengan Japan
International Cooperation Agency (JICA). Sementara itu, untuk wilayah timur
Sumatera dan wilayah lain yang tergolong rawan genangan air laut akibat pemanasan
global peta yang ada masih berskala kecil, sekitar 1:25.000.
Selain itu, upaya penanggulangan juga dilakukan dalam beberapa sektor oleh
seluruh warga negara mulai dari pemerintah hingga masyarakat bahkan teknologi juga
diikutsertakan untuk mengurangi dampak perubahan iklim, yaitu:
1. Usaha Pemerintah
1.1 Dalam Lingkungan Masyarakat
1.2 Sektor Pertanian
1.3 Sektor Energi
1.4 Sektor Transportasi
1.5 Sektor Industri
2. Usaha Masyarakat
2.1 Mitigasi
Cara mitigasi dilakukan dengan cara sebagai berikut :
Eliminasi,
Pengurangan,
Substitusi
Offset
2.2 Adaptasi
4 prinsip dalam proses adaptasi perubahan iklim, yaitu:
Menempatkan adaptasi dalam konteks pembangunan.,
Membangun pengalaman beradaptasi untuk mengantisipasi
variabilitas perubahan iklim,
Memahami bahwa adaptasi berlangsung dalam level yang berbeda,

terkhusus di level lokal,


Memahami bahwa adaptasi adalah proses yang terus berjalan.
3. Teknologi dalam Mengatasi Perubahan Iklim
3.1 Sektor Pertanian
3.2 Rencana penggunaan teknologi dalam mengatasi perubahan iklim
3.3 Teknologi Mitigasi
Energi : energi surya dan transportasi massa.
Kehutanan dan tata guna lahan : pengukuran dan monitoring
emisi karbon.
Limbah : mechanical biological treatment.
3.4 Teknologi Adaptasi

Ketahanan pangan : tanaman padi yang tahan oanas dan banjir.


29

Sumber daya air : daur ulang limbah domestic.

Kerantanan pesisir : teknologi tembok laut dan dinding laut.

.
3.2 Saran
Makalah ini hanya membahas pengaruh perubahan iklim terhadap ketinggian
muka air laut dan sebagian kecil dampak dari perubahan iklim sehingga diharapkan
akan ada yang menulis mengenai pengaruuh perubahan iklim terhadap sektor-sektor
lainnya.
Dari penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa aktivitas manusia
memiliki pengaruh yang besar terhadap perubahan iklim. Oleh karena itu, masyarakat
juga harus berperan aktif dalam upaya-upaya mengurangi dampak perubahan iklim di
masa mendatang, seperti tidak menebangi pohon yang merupakan sumber oksigen
terbesar bagi makhluk hidup termasuk manusia, tidak membangun pemukiman di
daerah resapan air yang dapat menyebabkan banjir di beberapa wilayah, tidak
membuang limbah pabrik sembarangan, dan lain sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA

30

Numberi Freddy. Perubahan Iklim, Implikasinya Terhadap Kehidupan Di Laut, Pesisir dan
pulau-pulau Kecil. Jakarta : Fortuna Prima Makmur, 2009.
Asian Development Bank, Climate Change in Asia ; Indonesia Country Report on Socioeconomic Impacts of Climate Change and a National Response Strategy, Regional
Study on Global Environmental Issues, July 1994.
Center for Global Environmental Research, Data Book of Sea Level Rise, National Institute
for Environmental Studies, Environment Agency of Japan, 1996.
Diposaptono S., Pengaruh Pemanasan Global terhadap Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di
Indonesia, Direktorat Bina Pesisir Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil - DKP,
2002.
http://www.slideshare.net/SetiawanDady/dampak-perubahan-iklim-terhadap-ekologi-laut
diakses tanggal 27 November 2016.
http://armisusandi.com/articles/journal/Dampak%20Perubahan%20Iklim%20Terhadap
%20Ketinggian%20Muka%20Laut diakses tanggal 27 November 2016.
https://januariksan.wordpress.com/2010/01/04/pengaruh-perubahan-iklim-terhadapkenaikan-muka-air-laut/ diakses tanggal 27 November 2016.
http://leosejati.blogspot.co.id/2009/02/pengertian-perubahan-iklim.html diakses tanggal 27
November 2016.
http://rangkeum.blogspot.co.id/2015/01/pengaruh-perubahan-iklim-global-climate.html
diakses tanggal 27 November 2016.
http://dederatna28.blogspot.co.id/2014/05/perubahan-cuaca-yang-ekstrim.html

diakses

tanggal 27 November 2016.


https://theboundarylayer.wordpress.com/2012/09/18/dampak-dari-variabilitas-iklim/ diakses
tanggal 27 November 2016.
http://geosman1.blogspot.co.id/2015/02/makalah-meteorologi.html

diakses

tanggal

27

November 2016.
Susandi A., Indriani H., dkk. 2008. Dampak Perubahan Iklim Terhadap Ketinggian Muka
Laut Di Wilayah Banjarmasin. Jurnal Ekonomi Lingkungan. No. 2. Volume 12.
Surakusumah, Wahyu. Perubahan Iklim dan Pengaruhnya Terhadap Keanekaragaman Hayati.
Makalah Perubahan Lingkungan Global. Universitas Pendidikan Indonesia.
Bandung.

31

Anda mungkin juga menyukai