PENDAHULUAN
Jenis tanah yang banyak mengemisikan CO2 adalah tanah gambut. Tanah
gambut dapat dikatakan sebagai sumber emisi CO 2, karena mengandung materi
organik yang mengalami dekomposisi oleh mikroorganisme, sehingga
menghasilkan gas CO2 dan melepasnya ke udara (Handayani, dkk., 2009).
Apalagi tanah gambut memiliki masa dekomposisi yang lambat, sehingga gas
CO2 yang diemisikan lebih banyak (Saptiani, dkk., 2018). Indonesia memiliki
lahan gambut yang luasnya ± 20 juta ha, dengan 27% sebaran lahan gambut
terdapat di Pulau Kalimantan atau seluas ± 6 juta ha (Wahyunto, Ritung, &
Subagjo, 2004; Tim Publikasi Katadata, 2019). Oleh karena itu, perlu adanya
penanganan atau pengolahan lahan gambut dengan baik. Penghutanan dan
pemeliharaan hutan dapat menjadi upaya untuk menekan emisi gas CO2, karena
tanaman dapat berfungsi sebagai carbon sink yang mampu mengeliminasi gas
CO2 di udara (Goeritno, 2000). Tanaman dapat menyerap CO2 melalui
fotosintesis, mengubahnya menjadi C-organik dan menyimpannya dalam bentuk
biomassa (Subowo, 2010). Namun, karena tanah gambut bersifat asam, maka
tidak banyak jenis tanaman yang dapat bertahan, hanya beberapa di antaranya
yang dapat beradaptasi, tumbuh, dan berproduksi dengan baik, seperti sawit, karet,
akasia, kapur naga, jelutung rawa, resak, dan balangeran (Agung, 2016). Itupun
untuk setiap tanaman yang akan ditanam harus mempertimbangkan tingkat
kesuburan tanah agar tanaman dapat tumbuh dengan baik.
Subowo G. (2010) menyatakan bahwa dalam menentukan evaluasi
kesesuaian lahan, peranan populasi organisme tanah perlu dipertimbangkan untuk
menjaga kelestarian kandungan bahan organik tanah. Dalam hal ini, bahan
organik yang dimaksud yakni dalam bentuk biomassa atau C-organik. Dengan
kondisi wilayah Indonesia yang merupakan daerah beriklim tropis basah
(cenderung memiliki suhu tinggi), maka C-organik tidak dapat bertahan lama
dalam tanah, sehingga banyak terjadi penguapan CO2 dari tanah di wilayah
Indonesia, terutama pada lahan terbuka. Konsentrasi CO2 pada tanah menjadi
salah satu kriteria kesuburan tanah (Pusat Penelitian Tanah, 1983). Apabila bahan
organik pada tanah sedikit, maka organisme tanah tidak mendapat asupan energi
yang cukup untuk menggemburkan tanah. Dengan mengetahui konsentrasi CO 2
tanah, maka dapat diidentifikasi bagaimana tingkat kesuburan tanah berdasarkan
konsentrasi CO2 pada tanah tersebut. Oleh karena itu, diperlukan suatu alat yang
dapat mengukur konsentrasi CO2 tanah.
Pengukuran konsentrasi CO2 tanah masih banyak dilakukan dalam skala
laboratorium, seperti yang dilakukan oleh Taufan Saleh, dkk. (2017) pada
penelitiannya untuk menetukan fluks CO2 dari tanah andosol pada penggunaan
lahan kebun sayur dan hutan di Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor. Penelitian
tersebut dilakukan dengan metode ruang tertutup menggunakan chamber dan
pengukuran menggunakan CO2 analyzer yaitu Infra-Red Gas Analyzer (IRGA)
tipe ZEP9 dari Fuji Electric Systems. Selain itu, pengukuran konsentrasi CO2
tanah menggunakan sensor MG811 telah dilakukan pada penelitian sebelumnya
oleh Peny Saptiani (2018) untuk mengkarakterisasi CO2 pada tanah gambut
terhadap temperatur dan M. Haidzar Aziz (2018) yang merancang alat uji
konsentrasi CO2 tanah berupa chamber tanah dan chamber gas tertutup. Adapun
mengenai sensor MG811 yang digunakan dalam penelitian, yakni merupakan
sensor gas yang pada umumnya digunakan di udara. Sedangkan pengukuran
konsentrasi CO2 tanah secara langsung dilakukan di lapangan masih jarang
ditemukan. Ketersediaan instrumen yang ada masih dalam skala laboratorium
yang mengharuskan pengambilan sampel tanah dari lapangan untuk diuji di
laboratorium. Oleh karena itu, diperlukan alat ukur konsentrasi CO 2 tanah yang
dapat digunakan secara langsung di lapangan untuk memudahkan pengukuran
konsentrasi CO2 tanah. Penelitian ini memberikan rancangan alat ukur emisi CO2
pada tanah menggunakan sensor MG811 dengan fungsi portabel agar mudah
dibawa sehingga dapat digunakan untuk mengukur konsentrasi CO 2 secara
langsung di lapangan. Selain itu, hasil pembuatan alat ukur emisi CO2 tanah
portabel dikalibrasi dengan VAISALA GMP 343 yang sudah tersertifikasi standar
kalibrasi pada ISO/IEC 17025 agar diketahui bahwa alat sudah cukup baik untuk
digunakan.