Anda di halaman 1dari 7

CLINICAL SCIENCE SECTION

Sudden death in water: Diagnostic challenges

Disusun Oleh:

Enita Harianti - G1A217101

Dosen Pembimbing : dr. Shalahudden Syah, M.Sc

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RADEN MATTAHER JAMBI
2019
CASE REPORT

Sudden death in water: Diagnostic challenges


a,*
Elvira Ventura Spagnolo , Cristina Mondello b, Luigi Cardia c, Stefania Zerbo a, Giulio
Cardia b
aDepartment of Biotechnology and Legal Medicine, University of Palermo, Via del Vespro, 129, 90127, Italy
bDepartment of Biomedical Science and of Morphological and Functional Images, University of Messina, Via
Consolare Valeria,Gazzi, Messina 98125, Italy
cDepartment of Neurosciences, University of Messina, Via Consolare Valeria, Gazzi 98125, Italy

Abstrak: Para penulis melaporkan kasus kematian mendadak pada penyelam yang
menahan nafas dan menyoroti kesulitan diagnostik forensik dalam mengungkapkan
penyebab kematian mendadak di dalam air. Autopsi menunjukkan penebalan pada
dinding ventrikel kiri dengan pola hipertrofi konsentris yang berbeda, terutama pada
septum interventrikular subaortik. Pemeriksaan histologis menunjukkan fibrosis
interstitial difus dan temuan terkait gangguan miosit multifokal terutama pada septum
interventrikular subaortik. Analisis dan diskusi kasus ini memungkinkan untuk
menghubungkan kematian mendadak dengan aritmia yang mematikan setelah rusaknya
miosit dan hipoksia yang merupakan faktor pemicu apnea. Kasus ini menunjukkan
pentingnya investigasi forensik menyeluruh, terutama dalam bidang histologis, pada jasad
yang ditemukan mati di air, untuk memastikan penyebab sebenarnya dari kematian, yang
mungkin tidak selalu disebabkan karena tenggelam.

1. Pendahuluan
Komunitas ilmiah telah lama memperdebatkan perlunya membedakan antara jasad
yang meninggal karena sindrom asfiksia karena tenggelam dan jasad yang
ditemukan mati di air. Pada tahun 1999 Modell et al. mengungkapkan suatu
gagasan yaitu "tenggelam tanpa aspirasi".1
Implikasi ini bahkan lebih penting dalam kasus di mana investigasi forensik
memberikan bukti bahwa keberadaan kondisi patologis yang sudah ada
sebelumnya mungkin telah berkontribusi pada dan / atau menyebabkan kematian
dalam air.
Masalah ini semakin rumit karena sulitnya memastikan bahwa kematian
mendadak dalam air telah terjadi pada tahap awal sehingga tidak ada cairan yang
bisa masuk ke saluran udara dan umumnya saluran pencernaan. Selain itu, selain
dari kematian yang disebabkan oleh mekanisme inhibitor saraf atau sindrom
asfiksik akibat laringospasme, mekanisme utama yang mendasari kematian
mendadak dalam air tidak selalu melibatkan serangan jantung mendadak dan
pernapasan sehingga memungkinkan penyebab tenggelam dapat
dikesampingkan.2
Pertimbangan ini sangat relevan mengingat semakin banyaknya kegiatan
menyelam yang membutuhkan penilaian medis, karena kegiatan menyelam yang
diadakan dengan kompetitif dan / atau tidak kompetitif semakin populer.
Para penulis melaporkan kasus kematian mendadak pada penyelam yang
sedang berburu di bawah air.

2. Laporan Kasus
Seorang lelaki berusia 44 tahun meninggal saat menyelam dengan tertahan saat
berburu di bawah air. Tubuhnya ditemukan di dasar laut sekitar 6 jam setelah
terjun. Otoritas kepolisian kemudian meminta pemeriksaan postmortem.
Pemeriksaan eksternal tubuh, dengan berat 77 kg dan panjang 174 cm,
mengungkapkan hiperemia konjungtiva dan keluarnya cairan kemerahan yang
cukup banyak dari lubang hidung. Tidak ada bukti cedera traumatis pada tubuh
korban.
Pemeriksaan internal menunjukkan secara khusus bahwa jantung berbobot
400 g dan mengalami hipertrofi ventrikel kiri konsentris yang signifikan terutama
pada septum interventrikular subaortik (bentuk asimetris dengan indeks Van
Noorden yang signifikan), pembesaran atrium bilateral dan prolaps ringan dari
katup mitral posterior mitral. Paru-paru menunjukkan adanya petekie subpleural
dan kebocoran bronkial dari busa berwarna merah muda.
Sampel jaringan dan cairan dikumpulkan untuk pengujian histologis dan
toksikologis lebih lanjut.
Tes toksikologi dilakukan pada jantung, darah, urin, dan empedu. Semua
spesimen dinyatakan negatif untuk alkohol, obat-obatan terlarang dan
psikotropika.
Tes histologis melaporkan alveoli hiperventilasi menyatu menjadi ruang
emfisematosa. Tujuh puluh lima persen dari ruang-ruang ini kosong secara optik
(Gambar 1), sedangkan 25% lainnya mengandung sel darah merah yang langka
(Gambar 2). Pemeriksaan jantung mengungkapkan rusaknya miosit multifokal
yang mempengaruhi 35% dari bagian ventrikel kiri yang berhubungan dengan
fibrosis interstitial difus terutama pada septum interventrikular subaorta (Gambar
3). Hasilnya juga menunjukkan hipertrofi miosit yang signifikan dan pola seperti
gelombang multifokal (Gbr. 4). Pemeriksaan organ lain melaporkan tidak ada
tanda-tanda patologis.

Gambar 1 Alveoli hiperventilasi yang Gambar 2 Alveoli disemprotkan dengan sel


menyatu menjadi ruang empisematosa darah merah (EE 40).
yang kosong secara optik (EE 25).

Gambar 3 Fibrosis interstitial difus dan Gambar 4 Ditandai hipertrofi miosit dan
disfungsi miosit multifokal terutama pada pola seperti gelombang multifokal (EE 25).
septum interventrikular subaorta (EE 25).

3. Diskusi
Analisis kasus ini dan khususnya temuan jantung makroskopik dan histologis
menunjukkan bukti kardiomiopati hipertrofik yang sebelumnya tidak terdiagnosis.
Penyakit ini merupakan penyebab umum kematian mendadak pada dewasa
muda. Kasus ini dapat terjadi baik dalam rutinitas sehari-hari dan bahkan saat
aktivitas fisik ringan.3,4 Studi genetik menunjukkan bahwa hal itu terkait dengan
mutasi autosomal dominan dari beberapa gen, termasuk MYH7, MYBPC3 dan
TNNT2. Namun, mutasi ini dilaporkan terjadi pada <50% dari korban yang
menunjukkan gejala klinis.4
Pada penyakit ini, temuan anatomopatologis yang paling khas adalah
menebalnya dinding ventrikel yang asimetris (terutama di septum) dengan potensi
penyusutan pada rongga, fibrosis endokardium umum dari katup mitral,
pembesaran atrium dan penebalan katup mitral. Temuan histologis yang paling
umum adalah pola serat miokard yang membesar dan tidak teratur ('berantakan'),
peningkatan matriks interstitial dan hiperplasia fibrotik arteriol intramural.5-7
Penelitian hemodinamik dan elektrofisiologis menunjukkan bahwa gejala
klinis penyakit jantung hipertrofi disebabkan untuk mekanisme yang terkait
dengan kelainan struktural rongga ventrikel dan ejeksi abnormal karena pelepasan
miosit yang rusak. Mekanisme ini disebabakan karena gerakan sistolik anterior
katup mitral dengan gagal jantung kongestif yang berlangsung.8 Dalam kasus lain,
temuan elektrokardiografi yang abnormal dapat dikaitkan dengan kejadian
iskemik karena peningkatan massa miokard. Namun temuan ini tampaknya
bertentangan dengan tidak adanya bukti infark miokard atau fibrosis yang luas
bahkan pada kardiomiopati hipertrofik yang parah.4,9
Kematian mendadak pada kardiomiopati hipertrofik sering terjadi. Hal ini
umumnya disebabkan oleh aritmia jantung yang berhubungan dengan mekanisme
masuk kembali atau fokus yang tidak baik atau berkurangnya rongga ventrikel
atau penyakit pembuluh darah kecil.5
Meskipun mekanisme mematikan aritmia yang terkait dengan kematian
mendadak dapat dipahami dengan baik, namun tidak sama halnya dengan
penyebab dan waktu yang menjadi faktor pencetusnya. Bahkan masih belum jelas
mengapa beberapa korban meninggal karena kematian mendadak, sementara yang
lain dengan kelainan anatomi yang sama dapat bertahan hidup. Diyakini bahwa
ada beberapa faktor yang berperan, seperti tingkat keparahan pada kelainan
makroskopis dan histologis atau kondisi yang dapat meningkatkan stres metabolik
miosit (faktor pemicu).
Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa faktor pemicu yang paling relevan
adalah menahan napas di bawah air. Dalam kondisi seperti itu, tubuh manusia
mengalami penyesuaian fisiologis dengan redistribusi aliran darah (volume darah
intratoraks yang lebih besar dengan peningkatan perfusi jantung dan serebral),
bradikardia, dan penurunan curah jantung karena peningkatan resistensi perifer.10-
12

Aktivitas olahraga ini melibatkan banyak risiko, seperti barotrauma, yang


merupakan penyebab umum morbiditas dan mortalitas. Risiko lain yang patut
dipertimbangkan, terutama dalam laporan kasus ini, tentu saja adalah timbulnya
aritmia, seperti bradikardia ekstrem (bahkan di bawah 10 denyut per menit),
fibrilasi atrium, ekstrasistol supraventrikular dan ventrikel (kadang-kadang
dikombinasikan), takikardia ventrikel, RBBB, dan blokade atrioventrikular.
Pada 1997, Ferrigno et al. memeriksa sejumlah kegiatan menyelam yang
dilakukan dalam kolam hiperbarik dan mengonfirmasi bradikardia yang muncul
lebih cepat dalam air dingin.13 Pada 2009 Hansel et al. mengamati korelasi yang
jelas antara timbulnya aritmia (tercatat dalam 77% kasus) dan penurunan saturasi
oksigen.14
Aritmia disebabkan oleh hipoksia progresif dan oleh karena itu perubahan
dalam keseimbangan hidroelektrolitik menyebabkan perubahan potensial aksi dan
hipo-anoksia mitokondria karena adanya produksi spesies oksigen reaktif.
Risiko kejadian mematikan selama penyelaman dengan menahan napas juga
dapat dikaitkan dengan pernapasan glossopharyngeal yang meningkatkan aliran
udara di paru-paru dan karenanya dapat menyebabkan fluktuasi hemodinamik
pada sirkulasi sistemik dan paru. Meningkatnya tekanan intrathoracic
menghambat kembalinya darah ke jantung kanan. Hal ini dikaitkan dengan
penurunan signifikan dari tekanan arteri rata-rata, peningkatan denyut jantung
(hingga 103 denyut per menit) dan penurunan tekanan diferensial yang terkait
dengan penurunan curah jantung. 15,16 Mekanisme ini merupakan dasar penurunan
tekanan darah sistemik dan hipoksia jaringan yang menyebabkan sinkop atau
aritmia yang berpotensi mematikan.
Dapat disimpulkan dari berbagai pendapat dan karakteristik kasus ini,
diyakini bahwa dalam patogenesis kematian mendadak kelainan anatomi (myocyte
disarray) bertindak sebagai locus minoris resistentiae terhadap timbulnya
hipoksia setelah menahan nafas saat menyelam. Dalam hal ini menahan nafas
adalah faktor pemicu yang berkontribusi dengan penyakit jantung terhadap
timbulnya aritmia yang dapat mematikan.

4. Kesimpulan
Analisis dan diskusi kasus ini memungkinkan untuk menghubungkan kematian
mendadak dengan aritmia yang mematikan setelah rusaknya miosit dan hipoksia
yang disebabkan oleh nafas yang tertahan. Oleh karena itu, inilah faktor pemicu
yang mengarah pada manifestasi penyakit jantung yang dapat menimbulkan
kematian yang sebelumnya tidak terdiagnosis.
Kasus ini menunjukkan pentingnya investigasi forensik menyeluruh, terutama
dalam hal histologis, pada subjek yang ditemukan mati di air, untuk memastikan
penyebab sebenarnya dari kematian, yang mungkin tidak selalu disebabkan oleh
tenggelam. Oleh karena itu setiap kasus harus diperiksa dalam semua aspek
anatomopatologisnya.
Sebelum melakukan kegiatan menyelam, disarankan untuk menjalani
pemeriksaan kesehatan yang sesuai untuk memastikan kelayakan seseorang yang
ingin melakukan kegiatan ini. Edukasi yang ditujukan untuk meningkatkan
kesadaran akan pentingnya pencegahan harus dipromosikan pada masyarakat.

Pendanaan
Tidak ada

Conflict of interest
Tidak ada yang dinyatakan

Persetujuan etis
Diperlukan persetujuan etis dari institusi Komite Etika

Anda mungkin juga menyukai