Oli Bekas, limbah yang satu ini banyak kita dapati disekitar kita.
Fenomena semacam ini sering kita dapati di kota-kota, apalagi di kota besar.
Oli bekas, termasuk dalam kategori Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), hal ini
dapat dilihat pada Lampiran Peraturan Pemerintah No 18 Tahun 1999
Pada posting kali ini mari kita cermati apa itu Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), bagaimana pengelolalan terhadap limbah B3.
Pertama-mari kita buka Ketentuan Umum UU No 32 Tahun 2009, yang memberikan batasan
pengertian istilah dibawah ini :
Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan.
Bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya disingkat B3 adalah zat, energi, dan/atau
komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung
maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau
membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan
makhluk hidup lain.
Limbah bahan berbahaya dan beracun, yang selanjutnya disebut Limbah B3, adalah sisa suatu
usaha dan/atau kegiatan yang mengandung B3.
Pengelolaan limbah B3 adalah kegiatan yang meliputi pengurangan, penyimpanan,
pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan/atau penimbunan.
Lalu bagaimana pengelolaan limbah B3?
Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita lihat Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
Berikut ini dikutipkan sebagian dari penjelasan atas PP No 18 Tahun 1999 sebagai berikut :
Mengingat bahayanya limbah B3 maka wajar bila pengelolaan limbah B3 harus diawasi dari
penghasil limbah B3 sampai dengan penimbunan limbah B3, bahkan untuk itu sampai
dikendalikan dengan system manifes, semua itu dilakukan untuk melindungi masyarakat dari
dampak yang ditimbulkan dari limbah B3.
Sejalan dengan otonomi daerah, pengendalian lingkungan hidup merupakan urusan wajib
yang menjadi kewenangan pemerintah daerah (pasal 13 dan 14 UU No 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah), dan untuk itu Kementerian Lingkungan hidup telah
menerbitkan Surat Edaran Nomor : 660.2/2176/SJ tentang Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun di Daerah tertanggal 28 Juli 2008, meski mungkin hingga saat ini
belum semua daerah menetapkan Perda sebagaimana diharapkan dalam surat edaran tersebut.
(1) Jenis kegiatan pengelolaan limbah B3 yang wajib dilengkapi dengan izin terdiri atas
kegiatan:
a. pengangkutan;
b. penyimpanan sementara;
c. pengumpulan;
d. pemanfaatan;
e. pengolahan; dan
f. penimbunan.
(3) Kegiatan pengumpulan limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c
wajib memiliki izin dari:
a. Menteri untuk pengumpulan limbah B3 skala nasional setelah mendapat rekomendasi dari
gubernur;
b. Gubernur untuk pengumpulan limbah B3 skala provinsi; atau
c. Bupati/Walikota untuk pengumpulan limbah B3 skala kabupaten/kota.
Permen LH No 18 Tahun 2009 tentang Tata Cara Perijinan Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun ditetapkan pada tanggal 22 Mei 2009, dan 3 bulan kemudian
ditetapkan Permen LH No 30 Tahun 2009 Tata Laksana Perijinan dan Pengawasan
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun Serta Pengawasan Pemulihan Akibat
Pencemaran Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun Oleh Pemerintah Daerah, tepatnya pada
tanggal 5 Agustus 2009.
Semangat dari Permen LH No 30 Tahun 2009 untuk mendekatkan pelayanan publik sejalan
dengan otonomi daerah, dengan telah ditetapkannya UU No 32 Tahun 2004 ( dan
perubahannya) ternyata belum maksimal untuk perizinan usaha dan /kegiatan pengumpulan
minyak pelumas/oli bekas.
Hal ini dapat dilihat dari ketentuan pasal 2 Permen LH No 30 Tahun 2009 yang menyatakan
bahwa :
(1) Ruang lingkup yang diatur dalam Peraturan Menteri ini meliputi:
a. perizinan yang meliputi:
1. izin penyimpanan sementara limbah B3; dan
2. izin pengumpulan limbah B3 skala provinsi dan kabupaten/kota;
b. rekomendasi izin pengumpulan limbah B3 skala nasional;
c. pengawasan pengelolaan limbah B3;
d. pengawasan pemulihan akibat pencemaran limbah B3; dan
e. pembinaan.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 2 tidak termasuk minyak
pelumas/oli bekas.
Apakah minyak pelumas/oli bekas, lebih berbahaya dari limbah B3 lainnya, sehingga harus
dikecualikan?
Apakah dalam Revisi PP No 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan
Beracun juga membahas tentang kewenangan perijinan tersebut diatas, kita tunggu hasilnya.