Anda di halaman 1dari 4

Oli Bekas, Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)!

Oli Bekas, limbah yang satu ini banyak kita dapati disekitar kita.

Ketika kita tanya kepada para penghasil, oli bekasnya di kemanakan?


Jawaban yang sering kita dapati dari mereka adalah dipakai untuk meminyaki alat yang ada
dan sebagian disimpan di penampungan nanti ada yang mengambil/membeli.....

Lalu kemana oli bekas tadi?


Dipergunakan untuk apa?
Bagaimana pengelolaannya?

Fenomena semacam ini sering kita dapati di kota-kota, apalagi di kota besar.

Sedemikian sederhanakah, perlakuan oli bekas?...ternyata tidak!

Oli bekas, termasuk dalam kategori Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), hal ini
dapat dilihat pada Lampiran Peraturan Pemerintah No 18 Tahun 1999

Pada posting kali ini mari kita cermati apa itu Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), bagaimana pengelolalan terhadap limbah B3.

Pertama-mari kita buka Ketentuan Umum UU No 32 Tahun 2009, yang memberikan batasan
pengertian istilah dibawah ini :
Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan.
Bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya disingkat B3 adalah zat, energi, dan/atau
komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung
maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau
membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan
makhluk hidup lain.
Limbah bahan berbahaya dan beracun, yang selanjutnya disebut Limbah B3, adalah sisa suatu
usaha dan/atau kegiatan yang mengandung B3.
Pengelolaan limbah B3 adalah kegiatan yang meliputi pengurangan, penyimpanan,
pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan/atau penimbunan.
Lalu bagaimana pengelolaan limbah B3?
Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita lihat Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.

Berikut ini dikutipkan sebagian dari penjelasan atas PP No 18 Tahun 1999 sebagai berikut :

Pengelolaan limbah B3 merupakan suatu rangkaian kegiatan yang mencakup penyimpanan,


pengumpulan, pemanfaatan, pengangkutan, dan pengolahan limbah B3 termasuk penimbunan
hasil pengolahan tersebut. Dalam rangkaian kegiatan tersebut terkait beberapa pihak yang
masing-masing merupakan mata rantai dalam pengelolaan
limbah B3 yaitu :
a. Penghasil Limbah B3 ;
b. Pengumpul Limbah B3;
c. Pengangkut Limbah B3;
d. Pemanfaat Limbah B3 ;
e. Pengolah Limbah B3;
f. Penimbun Limbah B3.
Dengan pengolahan limbah sebagaimana tersebut di atas, maka mata rantai siklus perjalanan
limbah B3 sejak dihasilkan oleh penghasil limbah B3 sampai penimbunan akhir oleh
pengolah limbah B3 dapat diawasi. Setiap mata rantai perlu diatur, sedangkan perjalanan
limbah B3 dikendalikan dengan system manifest berupa dokumen limbah B3.
Dengan system manifest dapat diketahui berapa jumlah B3 yang dihasilkan dan berapa yang
telah dimasukkan ke dalam proses pengolahan dan penimbunan tahap akhir yang telah
memiliki persyaratan lingkungan.

Mengingat bahayanya limbah B3 maka wajar bila pengelolaan limbah B3 harus diawasi dari
penghasil limbah B3 sampai dengan penimbunan limbah B3, bahkan untuk itu sampai
dikendalikan dengan system manifes, semua itu dilakukan untuk melindungi masyarakat dari
dampak yang ditimbulkan dari limbah B3.

Sejalan dengan otonomi daerah, pengendalian lingkungan hidup merupakan urusan wajib
yang menjadi kewenangan pemerintah daerah (pasal 13 dan 14 UU No 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah), dan untuk itu Kementerian Lingkungan hidup telah
menerbitkan Surat Edaran Nomor : 660.2/2176/SJ tentang Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun di Daerah tertanggal 28 Juli 2008, meski mungkin hingga saat ini
belum semua daerah menetapkan Perda sebagaimana diharapkan dalam surat edaran tersebut.

Selanjutnya mari kita cermati peraturan pelaksanaan pengelolaan limbah B3 lainnya,


setidaknya PP dan Permen dibawah ini dapat dipakai rujukan untuk menjelaskan
pengelolaaan limbah B3 oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten
Kota termasuk didalamnya tentang perijinan pengelolaan limbah B3 khususnya oli
bekas/pemulas bekas, sebagaimana bahasan diawal tulisan. Peraturan pelaksanaan tersebut
antara lain :
PP No 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun ;
PP No 85 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 tentang
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun ;
PP No 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun ;
Permen LH No 18 Tahun 2009 tentang Tata Cara Perijinan Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun ;
Permen LH No 30 Tahun 2009 tentang Tata Laksana Perijinan dan Pengawasan Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun Serta Pengawasan Pemulihan Akibat Pencemaran
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun Oleh Pemerintah Daerah
Dalam pasal 2 Permen LH No 18 Tahun 2009 dinyatakan bahwa :

(1) Jenis kegiatan pengelolaan limbah B3 yang wajib dilengkapi dengan izin terdiri atas
kegiatan:
a. pengangkutan;
b. penyimpanan sementara;
c. pengumpulan;
d. pemanfaatan;
e. pengolahan; dan
f. penimbunan.

(2) Penghasil limbah B3 tidak dapat melakukan kegiatan pengumpulan limbah B3


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c.
(3) Kegiatan pengumpulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c hanya dapat
diberikan izin apabila:
a. telah tersedia teknologi pemanfaatan limbah B3; dan/atau
b. telah memiliki kontrak kerja sama dengan pihak pengolah dan/atau penimbun limbah B3.

Dalam pasal 3 ayat (3) Permen LH No 18 Tahun 2009 menyatakan bahwa :

(3) Kegiatan pengumpulan limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c
wajib memiliki izin dari:
a. Menteri untuk pengumpulan limbah B3 skala nasional setelah mendapat rekomendasi dari
gubernur;
b. Gubernur untuk pengumpulan limbah B3 skala provinsi; atau
c. Bupati/Walikota untuk pengumpulan limbah B3 skala kabupaten/kota.

Permen LH No 18 Tahun 2009 tentang Tata Cara Perijinan Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun ditetapkan pada tanggal 22 Mei 2009, dan 3 bulan kemudian
ditetapkan Permen LH No 30 Tahun 2009 Tata Laksana Perijinan dan Pengawasan
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun Serta Pengawasan Pemulihan Akibat
Pencemaran Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun Oleh Pemerintah Daerah, tepatnya pada
tanggal 5 Agustus 2009.

Semangat dari Permen LH No 30 Tahun 2009 untuk mendekatkan pelayanan publik sejalan
dengan otonomi daerah, dengan telah ditetapkannya UU No 32 Tahun 2004 ( dan
perubahannya) ternyata belum maksimal untuk perizinan usaha dan /kegiatan pengumpulan
minyak pelumas/oli bekas.

Hal ini dapat dilihat dari ketentuan pasal 2 Permen LH No 30 Tahun 2009 yang menyatakan
bahwa :

(1) Ruang lingkup yang diatur dalam Peraturan Menteri ini meliputi:
a. perizinan yang meliputi:
1. izin penyimpanan sementara limbah B3; dan
2. izin pengumpulan limbah B3 skala provinsi dan kabupaten/kota;
b. rekomendasi izin pengumpulan limbah B3 skala nasional;
c. pengawasan pengelolaan limbah B3;
d. pengawasan pemulihan akibat pencemaran limbah B3; dan
e. pembinaan.

(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 2 tidak termasuk minyak
pelumas/oli bekas.

Apakah minyak pelumas/oli bekas, lebih berbahaya dari limbah B3 lainnya, sehingga harus
dikecualikan?

Meskipun begitu dengan adanya Permen LH No 30 Tahun 2009, Gubernur dan


Bupati/Walikota diberi kewenangan untuk menerbitkan izin penyimpanan sementara limbah
B3 termasuk minyak pelumas/oli bekas tentunya.

Apakah dalam Revisi PP No 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan
Beracun juga membahas tentang kewenangan perijinan tersebut diatas, kita tunggu hasilnya.

Anda mungkin juga menyukai