Konsep Asuhan Keperawatan KUSTA
Konsep Asuhan Keperawatan KUSTA
DI SUSUN OLEH
2014
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan cinta kasih, rahmat
serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Asuhan
Keperawatan kusta
Makalah ini disusun untuk melengkapi tugas mata kuliah sistem integumen. Kami
harapkan pengetahuan kami mengenai kesehatan dalam kerja
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu
terlaksananya penyusunan makalah ini terutama kepada:
1. Penanggung jawab Matakuliah sistem integumen serta team dosen yang telah
memberikan bimbingan dan arahannya kepada kami
2. Orangtua kami yang senantiasa memberikan dorongan, semangat dan restu sehingga
makalah ini dapat disusun dengan lancar
3. Teman-teman yang telah memberikan masukan dan semangat kepada kami
Tak ada gading yang tak retak, begitu pula dengan makalah yang kami susun. Oleh
karena itu, kritis dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi perbaikan
untuk tugas-tugas berikutnya.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konon penyakit kusta telah menyerang manusia sejak 300 SM dan telah dikenal oleh
peradaban Tiongkok kuno, Mesir kuno, dan India pada 1995 organisasi kesehatan dunia
(WHO) memperkirakan terdapat dua atau tiga juta jiwa yang cacat permanen karena kusta.
Walaupun pengisolasian atau pemisahan penderita dengan masyarakat dirasakan
kurang perlu dan tidak etis beberapa kelompok penderita masih dapat ditemukan dibelahan
dunia seperti India dan Vietnam.
Pengobatan yang efektif pada kusta ditemukan pada akhir 1940-an dengan
diperkenalkanya dapson dan derivatnya. Bagaimanapun juga bakteri penyebab lepra
bertahap menjadi kebal terhadap dapson dan menjadi kian menyebar, hal ini terjadi hingga
ditemukan pengobatan multi obat pada awal 1980-an dan penyakit inipun mampu ditangani
kembali.
Maka dari itu, penulis membuat makalah yang berjudul “Penyakit Kusta (Morbus
Hansen) dan Asuhan Keperawatannya” dimaksudkan agar kita selaku tenaga kesehatan
mengetahui apa itu penyakit kusta, penularan, bagaimana pencegahannya dan asuhan
keperawatannya.
B. Tujuan Masalah
Makalah ini dibuat dengan tujuan sebagai berikut :
a. Untuk menjelaskan definisi kusta.
b. Untuk menjelaskan bagaimanakah klasifikasi kusta.
c. Untuk menjelaskan bagaimanakah etiologi kusta.
d. Untuk menjelaskan bagaimanakah patofisiologi kusta.
e. Untuk menjelaskan bagaimanakah manifestasi klinis kusta.
f. Untuk menjelaskan bagaimanakah konsep pencegahan kusta.
g. Untuk menjelaskan bagaimanakah asuhan keperawatan pada klien kusta.
1
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan maka rumusan masalah dalam penulisan ini
adalah konsep dasar askep kusta
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
3. Epidemiologi Penyakit Kusta
Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan tanda tanya.
Yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita, yakni selaput lendir
hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan penyakit kusta adalah:
a. Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita yang sudah
mengering, diluar masih dapat hidup 2–7 x 24 jam.
b. Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15 tahun,
keduanya harus ada lesi baik mikoskopis maupun makroskopis, dan adanya kontak yang
lama dan berulang-ulang.
Klinis ternyata kontak lama dan berulang-ulang ini bukanlah merupakan faktor yng
penting. Banyak hal-hal yang tidak dapat di terangkan mengenai penularan ini sesuai dengan
hukum-hukum penularan seperti halnya penyakit-penyaki terinfeksi lainnya.
Menurut Cocrane (1959), terlalu sedikit orang yang tertular penyakit kusta secara
kontak kulit dengan kasus-kasus lepra terbuka.
Menurut Ress (1975) dapat ditarik kesimpulan bahwa penularan dan perkembangan
penyakit kusta hanya tergantung dari dua hal yakni jumlah atau keganasan Mycrobacterium
Leprae dan daya tahan tubuh penderita. Disamping itu faktor-faktor yang berperan dalam
penularan ini adalah :
Usia : Anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa.
Jenis kelamin : Laki-laki lebih banyak dijangkiti.
Ras : Bangsa Asia dan Afrika lebih banyak dijangkiti.
Kesadaran social : Umumnya negara-negara endemis kusta adalah negara
dengan tingkat sosial ekonomi rendah.
Lingkungan : Fisik, biologi, sosial, yang kurang sehat.
4
4. Manifestasi Klinis
Menurut WHO (1995) diagnosa kusta ditegakkan bila terdapat satu dari tanda
kardinal berikut:
a. Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas. Lesi kulit dapat tunggal atau
multipel biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-kadang lesi kemerahan atau
berwarna tembaga biasanya berupa: makula, papul, nodul. Kehilangan sensibilitas
pada lesi kulit merupakan gambaran khas. Kerusakan saraf terutama saraf tepi,
bermanifestasi sebagai kehilangan sensibilitas kulit dan kelemahan otot
b. BTA positif. Pada beberapa kasus ditemukan BTA dikerokan jaringan kulit.
Penebalan saraf tepi, nyeri tekan, parastesi.
5. Klasifikasi
Kelainan kulit & hasil
No. Pause Basiler Multiple Basiler
pemeriksaan
1. Bercak (makula) 1-5 Banyak
jumlah Kecil dan besar Kecil-kecil
ukuran Unilateral atau Bilateral, simetris
distribusi bilateral asimetris Halus, berkilat
Konsistensi batas Kering dan kasar Kurang tegas
kehilangan rasa pada Tegas Biasanya tidak jelas,
bercak Selalu ada dan jelas jika ada terjadi pada
kehilangan Bercak tidak yang sudah lanjut
berkemampuan berkeringat, ada bulu Bercak masih
berkeringat,berbulu rontok pada bercak berkeringat, bulu
rontok pada bercak tidak rontok
5
dihidung
3. Ciri hidung punched outlession
”central healing” medarosis
penyembuhan ditengah ginecomastia
hidung pelana
suara sengau
4. Nodulus Tidak ada Kadang-kadang ada
5. Penebalan saraf tepi Lebih sering terjadi dini, Terjadi pada yang lanjut
asimetris biasanya lebih dari 1 dan
simetris
6. Deformitas cacat Biasanya asimetris terjadi Terjadi pada stadium
dini lanjut
7. Apusan BTA negatif BTA positif
6
tahan tubuhnya rendah dalam menghadapi kuman kusta. Kelainan kulit bisa
berupa bercak kamarahan, bisa kecil-kecil dan tersebar diseluruh badan
ataupun sebagai penebalan kulit yang luas (infiltrat) yang tampak mengkilap
dan berminyak. Bila juga sebagai benjolan-benjolan merah sebesar biji jagung
yang sebesar di badan, muka dan daun telinga. Sering disertai rontoknya alis
mata, menebalnya cuping telinga dan kadang-kadang terjadi hidung pelana
karena rusaknya tulang rawan hidung. Kecacatan pada bentuk ini umumnya
terjadi pada fase lanjut dari perjalanan penyakit. Pada bentuk yang parah bisa
terjadi ”muka singa” (facies leonina).
Diantara kedua bentuk klinis ini, didapatkan bentuk pertengahan atau perbatasan
(tipe borderline) yang gejala-gejalanya merupakan peralihan antara keduanya. Bentuk
ini dalam pengobatannya dimasukkan jenis kusta basah.
6. Patogenesis
Setelah mikobakterium leprae masuk kedalam tubuh, perkembangan penyakit
kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respon setelah masa tunas dilampaui
tergantung pada derajat sistem imunitas seluler (celuler midialet immune) pasien.
Kalau sistem imunitas seluler tinggi, penyakit berkembang kearah tuberkoloid dan
bila rendah berkembang kearah lepromatosa. Mikobakterium leprae berpredileksi
didaerah-daerah yang relatif dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang
sedikit. Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena imun
pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi seluler
dari pada intensitas infeksi oleh karena itu penyakit kusta disebut penyakit
imonologik.
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Bakteriologis
Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut:
7
1) Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.
2) Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak
ditemukan lesi ditempat lain.
3) Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila perlu
ditambah dengan lesi kulit yang baru timbul.
4) Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobakterium leprae
ialah:
Cuping telinga kiri atau kanan.
Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain.
5) Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:
Tidak menyenangkan pasien.
Positif palsu karena ada mikobakterium lain.
Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada selaput lendir
hidung apabila sedian apus kulit negatif.
Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir hidung
lebih dulu negatif dari pada sediaan kulit ditempat lain.
6) Indikasi pengambilan sediaan apus kulit:
Semua orang yang dicurigai menderita kusta.
Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasienkusta.
Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karenatersangka
kuman resisten terhadap obat.
Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali.
7) Pemerikaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu
ziehl neelsen atau kinyoun gabett.
8) Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode yaitu cara zig
zag, huruf z, dan setengah atau seperempat lingkaran.
Bentuk kuman yang mungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-pecah
(fragmented), granula (granulates), globus dan clumps.
Indeks Bakteri (IB):
Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan
hapus. IB digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil
8
pengobatan. Penilaian dilakukan menurut skala logaritma RIDLEY sebagai
berikut:
0 :bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
1 :bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang
2 :bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang
3 :bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
4 :bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
5 :bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
6 :bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
Indeks Morfologi (IM)
Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh BTA. IM
digunakan untuk mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi hasil
pengobatan, dan membantu menentukan resistensi terhadap obat.
9
perlindungan terhadap kusta sebesar 50%, sedangkan pemberian dua kali dapat
memberikan perlindungan terhadap kusta sebanyak 80%, namun demikian
penemuan ini belum menjadi kebijakan program di Indonesia karena penelitian
beberapa negara memberikan hasil berbeda pemberian vaksinasi BCG tersebut
(Depkes RI, 2006).
2) Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan :
Pengobatan pada penderita kusta
Pengobatan pada penderita kusta untuk memutuskan mata rantai penularan,
menyembuhkan penyakit penderita, mencegah terjadinya cacat atau mencegah
bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan. Pemberian Multi drug therapy
pada penderita kusta terutama pada tipe Multibaciler karena tipe tersebut merupakan
sumber kuman menularkan kepada orang lain (Depkes RI, 2006).
3) Pencegahan Tersier
a. Pencegahan cacat kusta
Pencegahan tersier dilakukan untuk pencegahan cacat kusta pada penderita.
Upaya pencegahan cacat terdiri atas (Depkes RI, 2006) :
Upaya pencegahan cacat primer meliputi penemuan dini penderita sebelum cacat,
pengobatan secara teratur dan penangan reaksi untuk mencegah terjadinya
kerusakan fungsi saraf.
Upaya pencegahan cacat sekunder meliputi perawatan diri sendiri untuk
mencegah luka dan perawatan mata, tangan, atau kaki yang sudah mengalami
gangguan fungsi saraf.Rehabilitasi kusta
b. Rehabilitasi merupakan proses pemulihan untuk memperoleh fungsi penyesuaian diri
secara maksimal atas usaha untuk mempersiapkan penderita cacat secara fisik,
mental, sosial dan kekaryaan untuk suatu kehidupan yang penuh sesuai dengan
kemampuan yang ada padanya. Tujuan rehabilitasi adalah penyandang cacat secara
umum dapat dikondisikan sehingga memperoleh kesetaraan, kesempatan dan
integrasi sosial dalam masyarakat yang akhirnya mempunyai kualitas hidup yang
lebih baik (Depkes RI, 2006). Rehabilitasi terhadap penderita kusta meliputi :
10
Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah
terjadinya kontraktur.
Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar tidak
mendapat tekanan yang berlebihan.
Bedah plastik untuk mengurangi perluasan infeksi.
Terapi okupsi (kegiatan hidup sehari-hari) dilakukan bila gerakan normal terbatas
pada tangan.
Konseling dilakukan untuk mengurangi depresi pada penderita cacat.
9. Terapi
1. Terapi Medik
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien kusta
dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien
kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan
DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang
semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat,
dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995 sebagai
berikut:
a) Tipe PB ( PAUSE BASILER)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :
Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas DDS tablet 100 mg/hari
diminum di rumah. Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah
selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT (Release From Treatment) meskipun secara
klinis lesinya masih aktif. Menurut WHO(1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi
menggunakan istilah Completion Of Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam
pengawasan.
b) Tipe MB ( MULTI BASILER)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
11
Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas. Klofazimin 300mg/bln
diminum didepan petugas dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg /hari diminum di
rumah. DDS 100 mg/hari diminum dirumah, Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam
waktu maksimal 36 bulan sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun
secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO
(1998) pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18
bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.
c) Dosis untuk anak
Klofazimin:
Umur, dibawah 10 tahun: /blnHarian 50mg/2kali/minggu, Umur 11-14 tahun,
Bulanan 100mg/bln, Harian 50mg/3kali/minggu,DDS:1-2mg /Kg BB,Rifampisin:10-
15mg/Kg BB
d) Pengobatan MDT terbaru
Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO(1998), pasien
kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis tunggal rifampisin 600 mg,
ofloksasim 400mg dan minosiklin 100 mg dan pasien langsung dinyatakan RFT,
sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe
MB diberikan sebagai obat alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis
dalam 24 jam.
e) Putus obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang
seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DO
bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.
12
Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anak-anak dan
dewasa pemberian dosis obatnya berbeda. Pekerjaan, alamat menentukan tingkat
sosial, ekonomi dan tingkat kebersihan lingkungan. Karena pada kenyataannya bahwa
sebagian besar penderita kusta adalah dari golongan ekonomi lemah.
b) Riwayat penyakit sekarang
Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan adanya lesi
dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf) kadang-kadang
gangguan keadaan umum penderita (demam ringan) dan adanya komplikasi pada
organ tubuh.
c) Riwayat kesehatan masa lalu
Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika dalam kondisi
lemah, kehamilan, malaria, stres, sesudah mendapat imunisasi.
d) Riwayat kesehatan keluarga
Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang disebabkan
oleh kuman kusta ( mikobakterium leprae) yang masa inkubasinya diperkirakan 2-5
tahun. Jadi salah satu anggota keluarga yang mempunyai penyakit morbus hansen
akan tertular.
e) Riwayat psikososial
Klien yang menderita morbus hansen akan malu karena sebagian besar
masyarakat akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit kutukan,
sehingga klien akan menutup diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami
gangguan jiwa pada konsep diri karena penurunan fungsi tubuh dan komplikasi yang
diderita.
f) Pola aktivitas sehari-hari
Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan dan kaki
maupun kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada orang lain dalam
perawatan diri karena kondisinya yang tidak memungkinkan
g) Pemeriksaan fisik
Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat pada
tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya gangguan
saraf tepi motorik.
13
- Sistem penglihatan
Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi
sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan, dan
saraf tepi motorik terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi
akan buta. Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi peradangan pada
organ-organ tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan pause basiler
jika ada bercak pada alis mata maka alis mata akan rontok.
- Sistem pernafasan
Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan terdapat gangguan
pada tenggorokan.
- Sistem persarafan
a. Kerusakan fungsi sensorik
Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/ mati rasa. Alibat
kurang/ mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka, sedang pada
kornea mata mengkibatkan kurang/ hilangnya reflek kedip.
b. Kerusakan fungsi motorik
Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh dan lama-lama
ototnya mengecil (atropi) karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki
menjadi bengkok dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur),
bila terjadi pada mata akan mengakibatkan mata tidak dapat dirapatkan
(lagophthalmos).
c. Kerusakan fungsi otonom
Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan
sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan
akhirnya dapat pecah-pecah.
- Sistem muskuloskeletal
Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan atau kelumpuhan
otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.
- Sistem integumen
Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak eritem (kemerah-
merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan). Jika ada kerusakan fungsi
14
otonom terjadi gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan
sirkulasi darah sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah. Rambut:
sering didapati kerontokan jika terdapat bercak.
2. Diagnosa
1) Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi.
2) Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi jaringan
3) Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik.
4) Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan dan
kehilangan fungsi tubuh.
3. Intervensi
.
3. Evaluasi warna lesi 3. Mengevaluasi
dan jaringan yang perkembangan
terjadi inflamasi lesi dan inflamasi
15
perhatikan adakah dan
penyebaran pada mengidentifikasi
jaringan sekitar. terjadinya
4. Bersihan lesi dengan komplikasi.
sabun pada waktu 4. Kulit yang terjadi
direndam. lesi perlu
5. Istirahatkan bagian perawatan khusus
yang terdapat lesi untuk
dari tekanan. mempertahankan
kebersihan lesi.
5. Tekanan pada lesi
bisa
maenghambat
proses
penyembuhan.
16
proses inflamasi berhenti penjalaran nyeri. untuk
dan berangsur-angsur 2. Observasi tanda- membantu
hilang. tanda vital dalam
Kriteria : 3. Ajarkan dan anjurkan memberikan
1. setelah dilakukan melakukan tehnik 2. Untuk
tindakan distraksi dan relaksasi mengetahui
keperawatan proses 4. Atur posisi senyaman perkembangan
inflamasi dapat mungkin atau keadaan
berkurang dan nyeri 5. Kolaborasi untuk pasien
berkurang dan pemberian analgesik 3. Dapat
beraangsur-angsur sesuai indikasi mengurangi
hilang. rasa nyeri
4. Posisi yang
nyaman dapat
menurunkan
rasa nyeri
5. menghilangkan
rasa nyeri
17
teratasi dan aktivitas 2. Perhatikan sirkulasi, 2. Oedema dapat
dapat dilakukan. gerakan, kepekaan mempengaruhi
Kriteria : pada kulit sirkulasi pada
1. Pasien dapat ekstremitas.
melakukan aktivitas 3. Lakukan latihan 3. Mencegah secara
sehari-hari rentang gerak secara progresif
2. Kekuatan otot konsisten, diawali mengencangkan
penuh dengan pasif jaringan,
kemudian aktif. meningkatkan
4. Jadwalkan pemeliharaan
pengobatan dan fungsi otot/ sendi
aktifitas perawatan 4. Meningkatkan
untuk memberikan kekuatan dan
periode istirahat. toleransi pasien
. terhadap aktifitas
5. Dorong dukungan 5. Menampilkan
dan bantuan keluarga/orang
keluaraga/ orang terdekat untuk
yang terdekat pada aktif dalam
latihan. perawatan pasien
dan memberikan
terapi lebih
konstan
18
secara optimal dan 2. Terima dan akui tiba. Ini
konsep diri meningkat. ekspresi frustasi, memerlukan
ketergantungan dan dukungan dalam
Kriteria :
kemarahan. perbaikan
Perhatikan perilaku optimal.
1. Pasien menyatakan
menarik diri. 2. Penerimaan
penerimaan situasi
3. Berikan harapan perasaan sebagai
diri
dalam parameter respon normal
2. Memasukkan
situasi individu, terhadap apa yang
perubahan dalam
jangan memberikan terjadi membantu
konsep diri tanpa
kenyakinan yang perbaikan
harga diri negatif
salah. 3. Meningkatkan
4. Berikan penguatan perilaku positif
positif dan memberikan
5. Berikan kelompok kesempatan untuk
pendukung untuk menyusun tujuan
orang terdekat dan rencana untuk
masa depan
berdasarkan
realitas.
4. Kata-kata
penguatan dapat
mendukung
terjadinya
perilaku koping
positif.
5. Meningkatkan
ventilasi perasaan
dan
memungkinkan
respon yang lebih
19
membantu pasien
BAB IV
PENUTUP
20
A. Kesimpulan
Kusta Adalah Penyakit Infeksi Yang Berlangsung Dalam Waktu lama, penyebabnya
adalah Mycobacterium leprae. Menyerang saraf tepi sebagai tujuan pertama, lalu kulit dan
saluran pernapasan bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.
Nama lainnya adalah Lepra atau Morbus Hansen.Kuman penyebabnya adalah
Mycobacterium leprae yang di temukan G.A. HANSEN pada tahun 1874 di Norwegia,
tahan asam dan alkohol, serta dengan pewarnaan giemsa akan menunjukkan hasil Gram
positif (berwarna ungu).
Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran tanda dan gejala yang dimiliki.
Diantara semuanya, diagnosis secara klinislah yang terpenting dan paling sederhana.
B. Saran
Setelah membaca dan membahas makalah ini mahasiswa sebagai calon perawat
profesional dapat memahami dan mejalankan asuhan keperawatan pada pasien lepra. Prinsip
yang penting diharapkan dapat diajarkan pada pasien perawatan diri sendiri untuk
pencegahan cacat kusta adalah:
Pasien mengerti bahwa daerah yang mati rasa merupakan tempat risiko terjadinya luka.
Pasien dapat melakukan perawatan kulit (merendam, menggosok, melumasi) dan melatih
sendi bila mulai kaku.
Penyembuhan luka dapat dilakukan oleh pasien sendiri dengan membersihkan luka,
mengurangi tekanan pada luka dengan cara istirahat.
DAFTAR PUSTAKA
21
Depkes, 1998, ”Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta”, Cetakan ke-XII, Depkes
Jakarta.
Juall, Lynda, 1995, “Rencana Asuhan Keperawatan Dan Dokumentasi Keperawatan Edisi II”,
EGC, Jakarta.
Mansjoer, Arif, 2000, ”Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Edisi. III”, Media Aeuscualpius,
Jakarta.
Arini Krisnawati, S.Kep.Ns. Penyakit Kusta. Dalam : Asuhan Keperawatan Gangguan
http://yayannerz.blogspot.com/2011/03/askep-klien-dengan-penyakit
kusta.html#ixzz2Q38CBQZ6
22