Anda di halaman 1dari 6

RESENSI BUKU

A. Identitas Buku

Judul : Ayah

Penulis : Andrea Hirata

Penerbit : PT Bentang Pustaka

Tahun Terbit : Mei 2015

ISBN : 9786022911029

Jumlah Halaman : 432 Halaman

Berat Buku : 500 gr

B. Sinopsis

Novel Ayah menceritakan tentang tokoh Sabari, seorang lelaki yang berperawakan kurus, muka
berantakan, telinga macam cantelan wajan, yang mencintai seorang perempuan cantik bermata
indah dan berlesung pipi dalam bernama Marlena. Cinta Sabari pada Marlena ini mulai tumbuh
sejak pertamakali Marlena menyambar kertas ujiannya saat ujian nasional sekolah menengah
pertama dilakukan. Marlena yang diancam ayahnya bakal dijodohkan kalau tidak lulus SMP,
macam orang kesurupan menyontek lembar jawaban ujian Bahasa Indonesia milik Sabari di
detik-detik terakhir ujian berlangsung. Saat itu Marlena sama sekali tidak mengenal Sabari,
begitu juga Sabari, tidak mengenal Marlena. Namun, satu hal yang Marlena tidak sadari, Sabari
adalah seorang Isaac Newton-nya Bahasa Indonesia. Alhasil, Marlena diselamatkan oleh hasil
nilai ujian Bahasa Indonesia-nya, tercetak angka 95 di pengumuman kelulusan. Nilai yang
hampir tidak mungkin terjadi untuk ujian Bahasa Indonesia. Marlena pun lulus dan tidak jadi
dijodohkan ayahnya.

Setelah memasuki babak kehidupan SMA, Sabari yang dulunya menganggap cinta adalah racun
manis penuh tipu muslihat, mendadak berubah menjadi majenun (gila) cinta pada Marlena.
Sabari dan Marlena bersekolah di SMA yang sama, hanya beda kelas. Bagi Sabari, sepasang
mata Marlena bak purnama kedua belas yang selalu membuatnya merinding saat menatapnya.
Sabari yang pandai berpuisi, mengawali dunia SMA-nya dengan membuat puisi untuk Marlena,
cinta pertamanya. Namun, sayang seribu kali sayang, Marlena adalah gadis cantik yang memiliki
perilaku klasik gadis cantik lainnya, Marlena berpacaran dengan berandalan sekolah, sedang
Sabari, sesuai namanya, tetap sabar menerima kenyataan dan tetap mencintai Marlena
bagaimanapun kondisinya.

Air susu dibalas air tuba, begitu pepatah yang cocok bagi cinta Sabari pada Marlena. Kebencian
Marlena pada Sabari nampaknya jauh lebih besar dibanding rasa cinta Sabari pada Marlena—
meski Sabari tidak mau mengakuinya, baginya cintanya pada Marlena takdapat dikalahkan
apapun—hal ini pun membuat ketiga sahabat Sabari jatuh iba pada Sabari. Ketiga sahabat
Sabari yang setia itu bernama Ukun, Tamat, dan Toharun. Masing-masing adalah siswa peringkat
terendah sekolah Sabari. Sudah berkali-kali ketiga sahabat itu mengingatkan Sabari untuk
berpikir rasional dan mengancam Sabari bakal dimasukkan ke rumah sakit jiwa, tapi Sabari
masih juga bebal. Beruntung Sabari masih punya iman, tidak sampailah ia berniat atau
berpikiran bakal bunuh diri karena merana cintanya tidak berbalas.

Meski begitu, Sabari adalah tokoh yang tekun, positif, periang, dan amat menghormati
orangtuanya. Insyafi, ayah Sabari adalah seorang guru SD Bahasa Indonesia yang telah
menurunkan bakat berpuisi kepada Sabari. Saban sore menjelang petang, Sabari sering
mengajak ayahnya dengan kursi roda berjalan melintasi padang ilalang dan melihat mentari
terbenam sambil berbalas puisi. Ayah Sabari selalu mengajarkan padanya bahwa Tuhan selalu
menghitung, dan suatu saat Tuhan akan berhenti menghitung. Mungkin pada saat itu Tuhan
sedang menghitung hari-hari penderitaan Sabari dengan cinta tidak berbalasnya pada Marlena
dan suatu saat Tuhan akan berhenti menghitung.

Pada saat yang sama, ada seorang lelaki bernama Izmi, mantan orang kaya yang hidupnya kini
melarat lantaran ayahnya ketahuan korupsi, yang terinspirasi oleh ketekunan Sabari meraih
cintanya Marlena. Terkadang, dalam hidup ini, entah bagaimana, dan entah mengapa, manusia
dapat menginspirasi hidup seseorang tanpa kita pernah tahu. Sabari adalah contoh nyata,
bahwa ketika kita bersungguh-sungguh melakukan sesuatu, semangat positif itu akan menular
ke orang lain, memberi orang lain sebuah semangat dan harapan melanjutkan hidup. Izmi pun
makin giat belajar dan mencoba membangun cita-citanya sebagai dokter hewan yang sempat
pingsan karena tekanan ekonomi keluarganya.

Usai lulus SMA, Sabari sendiri, sesungguhnya bercita-cita menjadi guru Bahasa Indonesia.
Sederhana saja, karena ia amat mencintai sastra dan berpuisi. Ada begitu banyak hal sederhana
di dunia ini, yang mungkin orang lain anggap hal itu sepele, tapi di mata Sabari dan dunia puisi,
hal-hal sepele itu adalah seni yang sangat berharga dan patut dinikmati dengan takzim.
Ironisnya, Sabari justru mencari pekerjaan berat seperti buruh kasar, pengangkut balok es, dan
pekerjaan berat lainnya. Alasannya tidak lain dan tidak bukan karena ia ingin merasakan sakit di
tubuhnya, ia ingin bekerja dengan amat keras hingga ia hampir pingsan dan tidur dalam
keadaan lemah lunglai agar ia dapat mengobati sedikit perasan rindunya pada Marlena.

Marlena adalah anak Pak Markoni, pengusaha batako yang berhasil mengubah nasib hidupnya
yang nelangsa, menjadi pengusaha terpandang di pulau Belitong. Hal ini menginspirasi Sabari
untuk pindah pekerjaan ke perusahaan batako milik Pak Markoni itu. Tentu saja, supaya ia bisa
mencuri lihat anak Pak Markoni, si manis Marlena yang berjiwa pemberontak itu.

Selama bekerja di perusahaan batako Pak Markoni, Sabari menggaet gelar pekerja teladan
karena dedikasi tingginya terhadap perusahaan itu. Sabari yang periang dan gemar berpuisi juga
langsung disukai para karyawan perusahaan batako itu. Medali dikalungkan di lehernya, dan ia
ingin sekali Marlena kagum padanya. Sayangnya, Marlena sama sekali tidak peduli, ia malah
makin muak dengan Sabari. Meski begitu, Sabari tetaplah Sabari yang penyabar dan positif, ia
terus berusaha, dan mungkin ia tidak akan pernah lelah berusaha.

Dalam perjalanan mendapatkan hati Marlena, pernah Sabari mengikuti lomba maraton yang
disaksikan seluruh penjuru kabupaten dalam rangka peringatan hari kemerdekaan, ia pun
memenangkan perlombaan itu dan menjadi trending topic seluruh kabupaten. Namun, tetap
saja, Marlena takpeduli meski sudah bersusah payah Sabari berusaha membuat Marlena
setidaknya melirik kerja kerasnya.

“Hidup ini memang dipenuhi orang-orang yang kita inginkan, tetapi tak menginginkan kita, dan
sebaliknya” itu adalah ironi yang dipahami betul oleh Sabari. Meski begitu, Sabari tetap
tersenyum.

Tibalah pada saatnya, Tuhan selalu menghitung, dan suatu ketika, Tuhan berhenti menghitung.
Akhirnya, benarlah, Tuhan berhenti menghitung. Sabari menikahi Lena lantaran Lena terjebak
peristiwa hamil di luar nikah dengan pacar—yang entah ke berapanya. Sabari dengan sukarela
“menumbalkan” dirinya untuk menikahi Lena karena seperti yang kita tahu, budaya timur
Indonesia sangatlah menjunjung tinggi moral dan kehormatan. Pernikahan itu berlangsung
lantaran keluarga Markoni terpaksa menjaga kehormatan dan nama baik keluarganya.

Lena? Tentu saja, ia masih membenci Sabari, seperti dahulu. Dan, Sabari, tentu saja masih
mencintai Lena, seperti dahulu. Namun, Sabari tidak peduli akan kenyataan itu, dengan riang ia
menyambut kelahiran bayi mungil yang dikandung Lena. Sabari pun membangun rumah baru
untuk calon putranya. Selama pernikahan itu berlangsung, Sabari dan Lena tidak tinggal
serumah. Sungguh unik.
Saat bayi itu lahir, Sabari menyambutnya dengan sukacita, sudah disiapkannya rumah baru bagi
putranya yang ia beri nama Zorro itu. Dibesarkannya Zorro dengan cerita-cerita dan puisi, Zorro
pun amat lekat dengan Sabari yang bak ayah merangkap ibu, karena Lena sering kabur dari
rumah dan taktahu di mana rimbanya. Sabari sangat mencintai Zorro, dan ia merasa bahwa
dalam hidup ini, kita akan menemukan masa ketika akhirnya kita menyadari untuk apa kita
dilahirkan di muka bumi ini. Sabari menyadari satu hal bahwa ia dilahirkan di muka bumi ini
untuk menjadi seorang “ayah”. Hati Sabari riang tidak terperi.

Kenyataannya, Lena lah yang tidak bahagia dengan bahtera rumah tangga itu. Ia terlalu
rebellious dan tidak suka terikat dengan lelaki yang tidak dicintainya. Ia pun menceraikan Sabari
dan mengambil Zorro dengan suami barunya saat Sabari sedang meninggalkan Zorro sebentar
untuk membeli balon gas warna-warni di taman kota.

Setelah Marlena menggugat cerai dan mengambil Zorro dari hidupnya, Sabari bagai orang gila
yang merasa hampa selalu. Dihabiskannya waktu untuk melamun di beranda rumah bersama
kucing jantannya yang bernasib sama dengannya: ditinggal bini dan hidup nelangsa kesepian.
Lebih dari itu, kepergian Zorro telah merenggut jati dirinya sebagai seorang ayah yang selalu
mencintai Zorro sepenuh hatinya.

Zorro yang masih berusia tiga tahun saat dipisahkan dari Sabari terus merengek karena
biasanya, sebelum tidur, Sabari selalu berpuisi atau bercerita macam-macam untuk Zorro.
Karena frustasi, Marlena akhirnya memberi kemeja Sabari kepada si kecil Zorro, dan hanya
dengan memeluk kemeja ayahnya itulah ia dapat tertidur lelap.

Zorro yang masih kecil mengalami kehidupan yang tidak semestinya dirasakan anak
seumurannya. Kebiasaan Marlena yang cepat merasa bosan dan tidak suka dengan kemapanan,
membuatnya kawin-cerai dengan suami-suami barunya. Marlena pun hidup sebagai single
parent dan berkelana dengan Zorro. Beruntunglah, Zorro adalah anak yang cerdas dan
memahami kondisi ibundanya. Ia tidak pernah mengeluh, selalu menghibur hati ibunya, dan
cemerlang nilai-nilainya di sekolah. Marlena pun makin sayang pada Zorro.

Sementara di Belitong, sedih melihat sahabatnya yang makin gila, Tamat dan Ukun, sahabat
SMA Sabari akhirnya memutuskan untuk mencari di mana Marlena dan Zorro berada. Pulau
Sumatera telah dikelilingi mereka, segala upaya dikerahkan. Bahkan, Sabari dengan putus
asanya menempelkan pelat alumunium berisi pesan untuk mencari di mana Marlena dan Zorro
berada dengan bahasa Inggris-nya yang menyedihkan, lalu ditempelkannya pada tempurung
penyu. Surat itupun berakhir di Australia dan membuat geger seorang Niel, yang kemudian
merasa terpanggil untuk juga mencari keberadaan Zorro dan Lena di Australia. Usaha itu tentu
saja gagal.

Pada akhirnya, Ukun dan Tamat berhasil menemukan Lena dan Zorro. Lena sudah menikah lagi
dengan lelaki bernama Amirza. Zorro pun dinamai ulang dengan nama Amiru. Total pernikahan
Lena usai bercerai dengan Sabari adalah empat kali, sedangkan Sabari hanya menikah sekali
saja. Lena adalah cinta pertama dan terakhirnya.

Saat bertemu di pelabuhan, Zorro alias Amiru segera mengenali aroma ayahnya dari kemeja
yang saban malam sebelum tidur selalu dipeluknya. Kedua belahan jiwa itu akhirnya berpelukan
dan kembali mengisi rumah mereka yang tidak ditinggali selama bertahun-tahun. Amiru yang
cerdas dan mencintai puisi seperti ayahnya, Sabari, sering menghabiskan waktu berdua dengan
Sabari, menunggu matahari tenggelam sembari berbalas puisi.

Saat Sabari meninggal, Lena masih berumah tangga dengan Amirza, dan di makam Sabari
tertulis: “Biarkan aku mati dalam keharuman cintamu”. Amiru lah yang mengukir puisi itu sesuai
permintaan Sabari sebelum wafat. Dan, setahun berikutnya, Marlena yang dalam keadaan
sekarat berpesan pada Amiru, anaknya, untuk menguburkan jasadnya di sebelah makan Sabari,
dan ia juga berpesan untuk menulis “Purnama kedua belas” di nisannya. Purnama kedua belas
adalah panggilan kesayangan Sabari pada Marlena sejak pertama kali mereka bertemu. Amiru
menurutinya, diukirnya tulisan itu pada nisan ibunya.

Sebelumnya, saat ayahnya masih hidup, Amiru bertanya pada ayahnya, apakah ayahnya masih
mencintai ibunya? Sabari menjawab, “Ingat, Boi, dalam hidup ini semuanya terjadi tiga kali.
Pertama aku mencintai ibumu, kedua aku mencintai ibumu, ketiga aku mencintai ibumu.”

C. Keunggulan Buku

Buku ini ditulis dengan gaya bahasa yang tidak jauh beda apabila dibandingakn dengan gaya
bahsa Andrea Hirata pada buku-buku lainnya. Jika kamu penikmat tulisan Andrea Hirata, maka
novel Ayah ini bukanlah sesuatu yang mengecewakan. Justru buku ini membuat kamu semakin
cinta dengan karya-karya penulis kebanggaan kita yang satu ini.

Buku ini begitu mendidik, sekaligus menghibur. Mendidik kita supaya menjadi manusia yang
tahu adat, tahu bagaimana harus menjalani hidup, tahu bagaiman harus memosisikan orang-
orang yang ada di sekitar kita, khususnya mereka yang mencintai kita.

Buku ini adalah gambaran sempurna tentang cinta ayah kepada anaknya. Memang tidak begitu
mengharukan, namun apa yang terjadi pada Sabari adalah sesuatu yang unik, indah,
memilukan, membahagiakan, di waktu yang bersamaan. Lagi-lagi, tentu saja ada momen kita
tertawa terpingkal-pingkal ketika membaca tulisan Andrea Hirata. Novel Ayah ini bukanlah
sebuah pengecualian.

D. Kelemahan Buku

Kekurangannya Saya merasa tidak nyaman ketika membaca bagaimana gaya bahasa Ukun dan
Tamat yang berlebihan ketika bertemu dengan orang asing (kamu akan tahu siapa itu Ukun dan
Tamat ketika membaca novel ini). Namun lama kelamaan, akhirnya saya merasa bahwa cara
mereka berbicara bisa dibilang lucu juga.

Alur campuran yang membuat mereka yang jarang membaca akan kebingungan apabila
membaca buku ini secara tidak runtut.

Anda mungkin juga menyukai