Anda di halaman 1dari 4

Resume Novel "Ayah" Andrea Hirata

Judul Novel
: Ayah
Penulis
: Andrea Hirata
Penerbit
: Bentang Pustaka
Tahun Terbit
: 2015
Tebal
: 20,5 cm
Jumlah halaman : 412 halaman
ISBN
: 978-602-291-102-9
Novel Ayah menceritakan tentang tokoh Sabari, seorang lelaki yang berperawakan
kurus, muka berantakan, telinga macam cantelan wajan, yang mencintai seorang perempuan
cantik bermata indah dan berlesung pipi dalam bernama Marlena. Cinta Sabari pada Marlena
ini mulai tumbuh sejak pertamakali Marlena menyambar kertas ujiannya saat ujian nasional
sekolah menengah pertama dilakukan. Marlena yang diancam ayahnya bakal dijodohkan
kalau tidak lulus SMP, macam orang kesurupan menyontek lembar jawaban ujian Bahasa
Indonesia milik Sabari di detik-detik terakhir ujian berlangsung. Saat itu Marlena sama sekali
tidak mengenal Sabari, begitu juga Sabari, tidak mengenal Marlena. Namun, satu hal yang
Marlena tidak sadari, Sabari adalah seorang Isaac Newton-nya Bahasa Indonesia. Alhasil,
Marlena diselamatkan oleh hasil nilai ujian Bahasa Indonesia-nya,tercetak angka 95 di
pengumuman kelulusan. Nilai yang hampir tidak mungkin terjadi untuk ujian Bahasa
Indonesia. Marlena pun lulus dan tidak jadi dijodohkan ayahnya.
Setelah memasuki babak kehidupan SMA, Sabari yang dulunya menganggap cinta
adalah racun manis penuh tipu muslihat, mendadak berubah menjadi majenun (gila) cinta
pada Marlena. Sabari dan Marlena bersekolah di SMA yang sama, hanya beda kelas. Bagi
Sabari, sepasang mata Marlena bak purnama kedua belas yang selalu membuatnya merinding
saat menatapnya. Sabari yang pandai berpuisi, mengawali dunia SMA-nya dengan membuat
puisi untuk Marlena, cinta pertamanya. Namun, sayang seribu kali sayang, Marlena adalah
gadis cantik yang memiliki perilaku klasik gadis cantik lainnya, Marlena berpacaran dengan
berandalan sekolah, sedang Sabari, sesuai namanya, tetap sabar menerima kenyataan dan
tetap mencintai Marlena bagaimanapun kondisinya.

Air susu dibalas air tuba, begitu pepatah yang cocok bagi cinta Sabari pada Marlena.
Kebencian Marlena pada Sabari nampaknya jauh lebih besar dibanding rasa cinta Sabari pada
Marlenameski Sabari tidak mau mengakuinya, baginya cinta ia pada Marlena tak dapat
dikalahkan apapunhal ini pun membuat ketiga sahabat Sabari jatuh iba pada Sabari. Ketiga
sahabat Sabari yang setia itu bernama Ukun, Tamat, dan Toharun. Masing-masing adalah
siswa peringkat terendah sekolah Sabari. Sudah berkali-kali ketiga sahabat itu mengingatkan
Sabari untuk berpikir rasional dan mengancam Sabari bakal dimasukkan ke rumah sakit jiwa,
tapi Sabari masih juga bebal. Beruntung Sabari masih punya iman, tidak sampailah ia berniat
atau berpikiran bakal bunuh diri karena merananya ia akan cinta tak berbalasnya.
Meski begitu, Sabari adalah tokoh yang tekun, positif, periang, dan amat
menghormati orangtuanya. Insyafi, ayah Sabari adalah seorang guru SD Bahasa Indonesia
yang telah menurunkan bakat berpuisi kepada Sabari. Saban sore menjelang petang, Sabari
sering mengajak ayahnya dengan kursi roda berjalan melintasi padang ilalang dan melihat
mentari terbenam sambil berbalas puisi. Ayah Sabari selalu mengajarkan padanya bahwa
Tuhan selalu menghitung, dan suatu saat Tuhan akan berhenti menghitung. Mungkin pada
saat itu Tuhan sedang menghitung hari-hari penderitaan Sabari dengan cinta tak berbalasnya
pada Marlena dan suatu saat Tuhan akan berhenti menghitung.
Pada saat yang sama, ada seorang lelaki bernama Izmi, mantan orang kaya yang
hidupnya kini melarat lantaran ayahnya ketahuan korupsi, yang terinspirasi oleh ketekunan
Sabari meraih cintanya Marlena. Terkadang, dalam hidup ini, entah bagaimana, dan entah
mengapa, manusia dapat menginspirasi hidup seseorang tanpa kita pernah tahu. Sabari adalah
contoh nyata, bahwa ketika kita bersungguh-sungguh melakukan sesuatu, semangat positif itu
akan menular ke orang lain, memberi orang lain sebuah semangat dan harapan melanjutkan
hidupnya. Izmi pun makin giat belajar dan mencoba membangunkan cita-citanya sebagai
dokter hewan yang sempat pingsan karena tekanan ekonomi keluarganya.
Usai lulus SMA, Sabari sendiri, sesungguhnya bercita-cita menjadi guru Bahasa
Indonesia. Sederhana saja, karena ia amat mencintai sastra dan berpuisi. Ada begitu banyak
hal sederhana di dunia ini, yang mungkin orang lain anggap hal itu sepele, tapi di mata Sabari
dan dunia puisi, hal-hal sepele itu adalah seni yang sangat berharga dan patut dinikmati
dengan takzim. Ironisnya, Sabari justru mencari pekerjaan berat seperti buruh kasar,
pengangkut balok es, dan pekerjaan berat lainnya, alasannya tak lain dan tak bukan karena ia
ingin merasakan sakit di tubuhnya, ia ingin bekerja dengan amat keras hingga ia hampir
pingsan dan tidur dalam keadaan lemah lunglai agar ia dapat mengobati sedikit perasan
rindunya pada Marlena.
Marlena adalah anak Pak Markoni, pengusaha batako yang berhasil mengubah nasib
hidupnya yang nelangsa, menjadi pengusaha terpandang di pulau Belitong. Hal ini
menginspirasi Sabari untuk pindah pekerjaan ke perusahaan batako milik Pak Markoni itu.
Tentu saja, supaya ia bisa mencuri lihat anak Pak Markoni, si manis Marlena yang berjiwa
pemberontak itu.
Selama bekerja di perusahaan batako Pak Markoni, Sabari menggaet gelar pekerja
teladan karena dedikasi tingginya terhadap perusahaan itu. Sabari yang periang dan gemar
berpuisi juga langsung disukai para karyawan perusahaan batako itu. Medali dikalungkan di
lehernya, dan ia ingin sekali Marlena kagum padanya. Sayangnya, Marlena sama sekali tidak
peduli, ia malah makin muak dengan Sabari. Meski begitu, Sabari tetaplah Sabari yang
penyabar dan positif, ia terus berusaha, dan mungkin ia tidak akan pernah lelah berusaha.
Dalam perjalanan mendapatkan hati Marlena, pernah Sabari mengikuti lomba
marathon yang disaksikan seluruh penjuru kabupaten dalam rangka peringatan hari
kemerdekaan, ia pun memenangkan perlombaan itu dan menjadi trending topic seluruh
kabupaten. Namun, tetap saja, Marlena tak peduli meski sudah bersusah payah Sabari
berusaha membuat Marlena setidaknya melirik kerja kerasnya.

Hidup ini memang dipenuhi orang-orang yang kita inginkan, tetapi tak
menginginkan kita, dan sebaliknya itu adalah ironi yang dipahami betul oleh Sabari. Meski
begitu, Sabari tetap tersenyum.
Tibalah pada saatnya, Tuhan selalu menghitung, dan suatu ketika, Tuhan berhenti
menghitung. Akhirnya, benarlah, Tuhan berhenti menghitung. Sabari menikahi Lena lantaran
Lena terjebak peristiwa hamil di luar nikah dengan pacaryang entah ke berapanya. Sabari
dengan sukarela menumbalkan dirinya untuk menikahi Lena karena seperti yang kita tahu,
budaya timur Indonesia sangatlah menjunjung tinggi moral dan kehormatan. Pernikahan itu
berlangsung lantaran keluarga Markoni terpaksa menjaga kehormatan dan nama baik
keluarganya.
Lena? Tentu saja, ia masih membenci Sabari, seperti dahulu. Dan, Sabari, tentu saja
masih mencintai Lena, seperti dahulu. Namun, Sabari tidak peduli akan kenyataan itu, dengan
riang ia menyambut kelahiran bayi mungil yang dikandung Lena. Sabari pun mem-bangun
rumah baru untuk calon putranya. Selama pernikahan itu berlangsung, Sabari dan Lena tidak
tinggal rumah, sungguh unik.
Saat bayi itu lahir, Sabari menyambutnya dengan sukacita, sudah disiapkannya
rumah baru bagi putranya yang ia beri nama Zorro itu. Dibesarkannya Zorro dengan ceritacerita dan puisi, Zorro pun amat lekat dengan Sabari yang bak ayah merangkap ibu, karena
Lena sering kabur dari rumah dan tak tahu di mana rimbanya. Sabari sangat mencintai Zorro,
dan ia merasa bahwa dalam hidup ini, kita akan menemuka masa di mana kita menyadari
untuk apa kita dilahirkan di muka bumi ini. Sabari menyadari satu hal bahwa ia dilahirkan di
muka bumi ini untuk menjadi: Seorang ayah. Hati Sabari riang tak terperi.
Kenyataannya, Lena-lah yang tidak bahagia dengan bahtera rumah tangga itu. Ia
terlalu rebellious dan tidak suka terikat dengan lelaki yang tidak dicintainya. Ia pun menceraikan Sabari dan mengambil Zorro dengan suami barunya saat Sabari sedang meninggalkan
Zorro sebentar untuk membeli balon gas warna-warni di taman kota.
Setelah Marlena menggugat cerai dan mengambil Zorro dari hidupnya, Sabari bagai
orang gila yang merasa hampa selalu. Dihabiskannya waktu untuk melamun di beranda
rumah bersama kucing jantannya yang bernasib sama dengannya: ditinggal bini dan hidup
nelangsa kesepian. Lebih dari itu, kepergian Zorro telah merenggut jati dirinya sebagai
seorang ayah yang selalu mencintai Zorro sepenuh hatinya.
Zorro yang masih berusia tiga tahun saat dipisahkan dari Sabari terus merengek
karena biasanya, sebelum tidur, Sabari selalu berpuisi atau bercerita macam-macam untuk
Zorro. Karena frustasi, Marlena akhirnya memberi kemeja Sabari kepada si kecil Zorro, dan
hanya dengan memeluk kemeja ayahnya itulah ia dapat tertidur lelap.
Zorro yang masih kecil mengalami kehidupan yang tak semestinya dirasakan anak
seumurannya. Kebiasaan Marlena yang cepat merasa bosan dan tidak suka dengan kemapanan, membuatnya kawin-cerai dengan suami-suami barunya. Marlena pun hidup
sebagai single-parent dan berkelana dengan Zorro. Beruntunglah, Zorro adalah anak yang
cerdas dan memahami kondisi ibundanya. Ia tidak pernah mengeluh, selalu menghibur hati
ibunya, dan cemerlang nilai-nilainya di sekolah. Marlena pun makin sayang pada Zorro.
Sementara di Belitong, sedih melihat sahabatnya yang makin gila, Tamat dan Ukun,
sahabat SMA Sabari akhirnya memutuskan untuk mencari di mana Marlena dan Zorro
berada. Pulau Sumatera telah dikelilingi mereka, segala upaya dikerahkan. Bahkan, Sabari
dengan putus asanya menempelkan pelat alumunium berisi pesan untuk mencari di mana
Marlena dan Zorro berada dengan Bahasa Inggris-nya yang menyedihkan, lalu
ditempelkannya pada tempurung penyu. Surat itupun berakhir di Australia dan membuat
geger seorang Niel, yang kemudian merasa terpanggil untuk juga mencari keberadaan Zorro
dan Lena di Australia. Usaha itu tentu saja gagal.

Pada akhirnya, Ukun dan Tamat berhasil menemukan Lena dan Zorro. Lena sudah
menikah lagi dengan lelaki bernama Amirza. Zorro pun dinamai ulang dengan nama Amiru.
Total pernikahan Lena usai bercerai dengan Sabari adalah empat kali, sedangkan Sabari
hanya menikah sekali saja. Lena adalah cinta pertama dan terakhirnya.
Zorro alias Amiru segera mengenali aroma ayahnya, yang saban malam sebelum
tidur, selalu dipeluknya kemeja itu, saat mereka bertemu di pelabuhan. Kedua belahan jiwa
itu akhirnya kembali berpelukan dan saling mengisi rumah mereka yang sempat melamun tak
ditinggali bertahun-tahun itu. Amiru yang cerdas dan mencintai puisi seperti ayahnya, Sabari,
sering menghabiskan waktu berdua dengan Sabari, menunggu matahari tenggelam dan
berbalas puisi.
Saat Sabari meninggal, Lena masih berumah tangga dengan Amirza, dan di makam
Sabari tertulis, Biarkan aku mati dalam keharuman cintamu. Amiru-lah yang mengukir
puisi itu sesuai permintaan Sabari sebelum wafat. Dan, setahun berikutnya, Marlena yang
dalam keadaan sekarat berpesan pada Amiru anaknya untuk menguburkan jasadnya di
sebelah makan Sabari dan ia juga berpesan untuk menulis Purnama kedua belas di
nisannya. Purnama kedua belas adalah panggilan kesayangan Sabari pada Marlena sejak
pertamakali mereka bertemu. Amiru menurutinya, diukirnya tulisan itu pada nisan ibunya.
Sebelumnya, saat ayahnya masih hidup, Amiru bertanya pada ayahnya, apakah
ayahnya masih mencintai ibunya? Sabari menjawab, Ingat, Boi, dalam hidup ini semuanya
terjadi tiga kali. Pertama aku mencintai ibumu, kedua aku mencintai ibumu, ketiga aku
mencintai ibumu.

Anda mungkin juga menyukai