Anda di halaman 1dari 197

Persiapan Untuk Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan diagnostic adalah penilaian klinis tentang respon individu, keluarga dan
komunikan terhadap suatu masalah kesehatan dan proses kehidupan actual maupun potensial.
Hasil suatu pemeriksaan laboratorium sangat penting dalam membantu diagnosa, memantau
perjalanan penyakit serta menentukan prognosa.
Jenis-jenis pemeriksaan diagnostic, yaitu : usg, rontgen, pap smear, mammografi, endoskopi,
ct.scaning, ekg, ctg.

A. USG ( Ultrasonografi )

Ultrasonografi (USG) adalah pemeriksaan dalam bidang penunjang diagnostik yang


memanfaatkan gelombang ultrasonik dengan frekuensi yang tinggi dalam menghasilkan
imajing, tanpa menggunakan radiasi, tidak menimbulkan rasa sakit (non traumatic), tidak
menimbulkan efek samping (non invasif). Selain itu  ultrasonografi relatif murah,
pemeriksaannya relatif cepat, dan persiapan pasien serta peralatannya relatif
mudah. Gelombang suara ultrasonik memiliki frekuensi lebih dari 20.000 Hz, tapi yang
dimanfaatkan dalam teknik ultrasonografi (kedokteran) gelombang suara dengan frekuensi 1-
10 MHz.
Manfaat dari ultrasonografi adalah untuk pemeriksaan kanker pada hati dan otak,
melihat janin di dalam rahim ibu hamil,  melihat pergerakan serta perkembangan sebuah
janin, mendeteksi perbedaan antar jaringan-jaringan lunak dalam tubuh, yang tidak dapat
dilakukan oleh sinar x, sehingga mampu menemukan tumor atau gumpalan lunak di tubuh
manusia. 

Alat
- Transducer
Transducer adalah alat yang berfungsi sebagai transmitter (pemancar) sekaligus sebagai
recevier     (penerima).
Dalam fungsinya sebagai pemancar, transducer merubah energi listrik menjadi energi
mekanik berupa getaran suara berfrekuensi tinggi. Fungsi recevier pada transducer merubah
energi mekanik menjadi listrik.

1
Monitor yang digunakan dalam USG

- Mesin USG                                   


Mesin USG merupakan bagian dari USG dimana fungsinya untuk mengolah data yang
diterima dalam bentuk gelombang.
Mesin USG adalah CPUnya USG sehingga di dalamnya terdapat komponen-komponen yang
sama seperti pada CPU pada PC.

Adapun komponen USG selain tiga komponen di atas yaitu :


         Pulser adalah alat yang berfungsi sebagai penghasil tegangan untuk merangsang kristal
pada transducer dan membangkitkan pulsa ultrasonik.
         Tabung sinar katoda adalah alat untuk menampilkan gambaran ultrasound. Pada tabung
ini terdapat tabung hampa udara yg memiliki beda potensial yang tinggi antara anoda dan
katoda.
         Printer adalah alat yang digunakan untuk mendokumentasikan gambaran yang
ditampilkan oleh tabung sinar katoda.
         Display adalah alat peraga hasil gambaran scanning pada TV monitor.

a. Prinsip Kerja Alat Ultrasonografi (USG)

Transducer bekerja sebagai pemancar dan sekaligus penerima gelombang suara. Pulsa
listrik yang dihasilkan oleh generator diubah menjadi energi akustik oleh transducer yang
dipancarkan dengan arah tertentu pada bagian tubuh yang akan dipelajari. Sebagian akan

2
dipantulkan dan sebagian lagi akan merambat terus menembus jaringan yang akan
menimbulkan bermacam-macam pantulan sesuai dengan jaringan yang dilaluinya.
Pantulan gema yang berasal dari jaringan-jaringan tersebut akan membentur transducer dan
akan ditangkap oleh transducer, dan kemudian diubah menjadi pulsa listrik lalu diperkuat dan
selanjutnya diperlihatkan dalam bentuk cahaya pada layar monitor. Gelombang ini kemudian
diteruskan ke tabung sinar katoda melalui recevier seterusnya ditampilkan sebagai gambar di
layar monitor.

Diagram Prinsip Dasar USG

a. Persiapan dan Pelaksanaan :


 Lakukan informed consent
 Anjurkan pasien untuk berpuasa makan dan minum 8-12 jam sebelum
pemeriksaan USG aorta abdomen, kantung empedu, hepar, limpa dan pancreas.
 Oleskan Jelly konduktif pada permukaan kulit yang akan dilakukan USG
 Transduser dipegang dengan tangan dan gerakan ke depan dan ke belakang
diatas permukaan kulit.
 Lakukan antara 10-30 menit
 Premedikasi jarang dilakukan, hanya bila pasien dalam keadaan gelisah
 Pasien tidak boleh merokok sebelum pemeriksaan untuk mencegah masuknya udara.
 Pada pemeriksan obstruktif ( Trimester pertama & kedua ) pelvis dan ginjal pasien
ketiga, pemeriksaan dilakukan pada saat kandung kemih kosong.
 Bila pemeriksaan pada jantungn anjurkan untuk bernafas secara perlahan- lahan Bila
pemeriksaan pada otak, lepaskan semua perhiasan dari leher dan jepit rambut dari
kepala.

3
b. Jenis Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)

1. USG 2 Dimensi
  Menampilkan gambar dua bidang (memanjang dan melintang). Kualitas gambar yang
baik sebagian besar keadaan janin dapat ditampilkan.

2. USG 3 Dimensi
Dengan alat USG ini maka ada tambahan 1 bidang gambar lagi yang disebut koronal.
Gambar yang tampil mirip seperti aslinya. Permukaan suatu benda (dalam hal ini tubuh janin)
dapat dilihat dengan jelas. Begitupun keadaan janin dari posisi yang berbeda. Ini
dimungkinkan karena gambarnya dapat diputar (bukan janinnya yang diputar).

3. USG 4 Dimensi
Sebetulnya USG 4 Dimensi ini hanya istilah untuk USG 3 dimensi yang dapat bergerak
(live 3D). Kalau gambar yang diambil dari USG 3 Dimensi statis, sementara pada USG 4
Dimensi, gambar janinnya dapat “bergerak”. Jadi pasien dapat melihat lebih jelas dan
membayangkan keadaan janin di dalam rahim.

4. USG Doppler
Pemeriksaan USG yang mengutamakan pengukuran aliran darah terutama aliran tali
pusat. Alat ini digunakan untuk menilai keadaan/kesejahteraan janin. Penilaian kesejahteraan
janin ini meliputi:
 Gerak napas janin (minimal 2x/10 menit).

4
 Tonus (gerak janin).
 Indeks cairan ketuban (normalnya 10-20 cm).
 Doppler arteri umbilikalis.
 Reaktivitas denyut jantung janin.

5. Kelemahan dan Kelebihan Ultrasonografi (USG)


Berikut adalah kelemahan dan kelebihan Ultrasonografi yaitu:
       Kelemahan:
 Dapat ditahan oleh kertas tipis.
 Antara tranducer (probe) dengan kulit tidak dapat kontak dengan baik
(interface)    sehingga bias terjadi artefak sehingga perlu diberi jelly sebagai
penghantar ultrasound.
 Bila ada celah dan ada udara, gelombang suara akan dihamburkan.
 Tidak 100% akurat

Perlu diketahui, akurasi/ketepatan pemeriksaan USG tidak 100%, melainkan 80%. Artinya,
kemungkinan ada kelainan bawaan/kecacatan pada janin yang tidak terdeteksi atau
interpretasi kelamin janin yang tidak tepat. Hal ini dipengaruhi beberapa faktor antara lain:
o   Keahlian/kompetensi dokter yang memeriksanya.
Tak semua dokter ahli kandungan dapat dengan baik mengoperasikan alat USG.
Sebenarnya untuk pengoperasian alat ini diperlukan sertifikat tersendiri.
o   Posisi bayi
Posisi bayi seperti tengkurap atau meringkuk juga menyulitkan daya jangkau / daya
tembus alat USG. Meski dengan menggunakan USG 3 atau 4 Dimensi sekalipun, tetap ada
keterbatasan.
o   Kehamilan kembar
Kondisi hamil kembar juga menyulitkan alat USG melihat masing-masing keadaan
bayi secara detail.
o   Ketajaman/resolusi alat USG-nya kurang baik.
o   Usia kehamilan di bawah 20 minggu.
o   Air ketuban sedikit.
o   Lokasi kelainan, seperti tumor di daerah perut janin saat usia kehamilan di bawah 20
minggu agak sulit dideteksi.

5
       Kelebihan:
- Pasien dapat diperiksa langsung tanpa persiapan dan memberi hasil yang cepat.
- Bersifat non invasif (tidak terjadi efek samping) sehingga dapat dilakukan pula pada
anak-anak. Aman untuk pasien dan operator, karena tidak tergantung pada radiasi
ionisasi.
- Memberi  informasi dengan batas struktur organ sehingga memberi gambaran
anatomis lebih besar dari informasi fungsi organ.
- Semua organ kecuali yang mengandung udara dapat ditentukan bentuk, ukuran, posisi,
dan ruang interpasial.
- Dapat membedakan jenis jaringan dengan melihat perbedaan interaksi dengan gelombang
suara.
- Dapat mendeteksi struktur yang bergerak seperti pulsasi fetal
- Dapat juga mendeteksi kanker payudara.

1. Rontgen
Rontgen atau dikenal dengan sinar x merupakan pemeriksaan yang memanfaatkan peran sinar
x untuk melakukan skrining dan mendeteksi kelainan pada berbagai organ diantaranya
jantung, abdomen, ginjal, ureter, kandung kemih, tenggorokan dan rangka.
Persiapan dan Pelaksanaan :
1. Lakukan informed consent
2. Tidak ada pembatasan makanan / cairan
3. Pada dada pelaksanaan foto dengan posisi PA ( Posterior Anterior) dapat dilakukan
dengan posisi berdiri dan PA lateral dapat juga dilakukan.
4. Anjurkan pasien untuk tarik nafas dan menahan nafas pada wakru pengambilan foto
sinar x.        
5. Pada jantung, foto PA dan lateral kiri dapat diindikasikan untuk mengevaluasi ukuran
dan bentuk jantung.
6. Pada abdomen, baju harus dilepaskan dan gunakan baju kain, pasien tidur terlentang
dengan tangan menjauh dari tubuh serta testis harus dilindungi.
7. Pada tengkorak, penjepit rambut, kacamata dan gigi palsu harus dlepaskan sebelum
pelaksanaan foto.

6
8. Pada rangka, bila dicurigai terdapat fraktur maka anjurkan puasa dan immobilisasi
pada daerah fraktur.

2. Pap Smear

Pap smear merupakan pemeriksaan sitologi yang digunakan untuk mendeteksi adanya kanker
serviks atau sel prakanker, mengkaji efek pemberian hormon seks serta mengkaji respons
terhadap kemoterapi dan radiasi.
Persiapan dan pelaksanaan :
1. Lakukan informed consen
2. Tidak ada pembatasan makanan dan cairan
3. Anjurkan pasien untuk tidak melakukan irigasi vagina ( pembersihan vagina dengan
zat lain ) memasukan obat melalui vagina atau melakukan hubungan seks sekurang-
kurangnya 24 jam
4. Spekulum yang sudah dilumasi dengan air dengan air megalir dimasukan ke vagina .
5. Pap stick digunakan untuk mengusap serviks kemudian pindahkan ke kaca mikroskop
dan dibenamkan ke dalam cairan fiksasi.
6. Berikan label nama dan tanggal pemeriksaan

papsmear diperlukan bahan dan alat sebagai berikut :


- Spekulum vagina cocor bebek
- Spatula ayre dari kayu model standar dan model modifikasi
- Kapas lidi atau cytobrush

7
- Bahan fiksasi basah berupa cairan fiksasi alkohol 95% dalam tabung atau bahan
fiksasi kering berupa hairspray.
- Kaca objek
- Lampu sorot yang dapat digerakkan
- Formulir permintaan pemeriksaan sitologi apusan pap
- Meja pemeriksaan
- Sekret vaginal
- Sekret servikal
- Sekret endoserviks

3. Mammografi

Merupakan pemeriksaan dengan bantuan sinar x yang dilakukan pada bagian payudara untuk
mendeteksi adanya kista / tumor dan menilai payudara secara periodik.

Persiapan dan Pelaksanaan :


a. Lakukan informed consent
b. Tidak ada pembatasan cairan dan makanan
c. Baju dilepas sampai pinggang dan perhiasan pada leher
d. Gunakan pakaian kertas / gaun bagian depan terbuka
e. Anjurkan pasien untuk duduk dan letakan payudara satu per satu diatas meja kaset
sinar x.
f. Lalu lakukan pemeriksaan

8
4. Endoskopi
Pemeriksaan yang dilakukan pada saluran cerna untuk mendeteksi adanya kelainan pada
saluran cerna.Salah satu alat endoskopi medical adalah fiberskop dimmana bagian dari alat
yang masuk kedalam organ bagian dalam tubuh berbentuk pipa yang lenturdan didalamnya
terdapat serat-serat optikyang berfungsi sebagai pemungut gambar serta pembawa cahaya.
Beberapa kondisi yang dapat didiagnosa atau diselidiki dengan endoskopi adalah : infeksi
saluran kemih, inkontinensia, gangguan pernapasan, perdarahan internal. Sakit maag, irritable
bowel syndrome, dan diare kronis.

5. CT-scanning

9
CT Scan adalah salah satu jenis pemeriksaan penunjang medis dengan menggunakan
sinar X dengan bantuan operator yang handal dapat memeriksa jaringan tubuh yang
diinginkan sesuai dengan kebutuhhan pasien dan dokter.

Persiapan alat dan bahan :


- Pesawat CT Scan
- Tabung oksigen
- Media kontras
- Alat-alat suntik
- Kasa dan kapas
- Alkohol

6. EKG (Elektrokardiograf)
Pemeriksaan elektrokardiogram adalah pemeriksaan kesehatan terrhadap aktivitas
elektrik( listrik ) jantung. Elektrokardiogram adalah rekaman aktivitas elektrik jantung
sebagai grafik jejak garis pada kertas grafik. Bentuk jejak garis yang naik dan turun tersebut
dinamakan gelombang. Proses perekaman aktivitas listrik jantung dalam bentuk grafik
disebut elektrokardiograf.

Persiapan alat:
- Persiapkan alat EKG, misalnya EKG dari ‘fukuda’ model FJC-7110 yang memiliki
dua tombol unntuk power, lengkap dengan kabel power, kabel pasien, kabel ground,
elektroda ekstermitas dan elektroda precordial serta perekam khusus atau termal paper.
- Bengkok

10
Persiapan bahan :

- Pasta / jelly elektroda


- Alkohol 70%
- Kapas

7. CTG (Cardiotograf)
Secara khusus CTG adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur DJJ pada saat
kontraksi maupun tidak. Sedangkan Secara umum CTG merupakan suatu alat untuk
mengetahui kesejahteraan janin di dalam rahim, dengan merekam pola denyut jantung janin
dan hubungannya dengan gerakan janin atau kontraksi rahim.
Pemeriksaan CTG
a. Sebaiknya dilakukan 2 jam setelah makan.
b. Waktu pemeriksaan selama 20 menit,
c. Selama pemeriksaan posisi ibu berbaring nyaman dan tak menyakitkan ibu maupun
bayi.
d. Bila ditemukan kelainan maka pemantauan dilanjutkan dan dapat segera diberikan
pertolongan yang sesuai.
e. Konsultasi langsung dengan dokter kandungan

11
12
Persiapan dan pengambilan specimen
A. PEMERIKSAAN DARAH

Pemeriksaan Darah Lengkap (Complete Blood Count / CBC) yaitu


suatu jenis pemeriksaaan penyaring untuk menunjang diagnosa
suatu penyakit dan atau untuk melihat bagaimana respon tubuh
terhadap suatu penyakit. Disamping itu juga pemeriksaan ini sering
dilakukan untuk melihat kemajuan atau respon terapi pada pasien
yang menderita suatu penyakit infeksi.

Pemeriksaan Darah Lengkap terdiri dari beberapa jenis


parameter pemeriksaan, yaitu

1. Hemoglobin
2. Hematokrit
3. Leukosit (White Blood Cell / WBC)
4. Trombosit (platelet)
5. Eritrosit (Red Blood Cell / RBC)
6. Indeks Eritrosit (MCV, MCH, MCHC)
7. Laju Endap Darah atau Erithrocyte Sedimentation Rate
(ESR)
8. Hitung Jenis Leukosit (Diff Count)
9. Platelet Disribution Width (PDW)
10. Red Cell Distribution Width (RDW)

Pemeriksaan Darah Lengkap biasanya disarankan kepada setiap


pasien yang datang ke suatu Rumah Sakit yang disertai dengan
suatu gejala klinis, dan jika didapatkan hasil yang diluar nilai normal
biasanya dilakukan pemeriksaan lanjutan yang lebih spesifik
terhadap gangguan tersebut, sehingga diagnosa dan terapi yang
tepat bisa segera dilakukan. Lamanya waktu yang dibutuhkan suatu
laboratorium untuk melakukan pemeriksaan ini berkisar maksimal 2
jam.

1. Hemoglobin

13
Hemoglobin adalah molekul protein pada sel darah merah yang
berfungsi sebagai media transport oksigen dari paru paru ke seluruh
jaringan tubuh dan membawa karbondioksida dari jaringan tubuh ke
paru paru. Kandungan zat besi yang terdapat dalam hemoglobin
membuat darah berwarna merah.

Dalam menentukan normal atau tidaknya kadar hemoglobin


seseorang kita harus memperhatikan faktor umur, walaupun hal ini
berbeda-beda di tiap laboratorium klinik, yaitu :

 Bayi baru lahir : 17-22 gram/dl


 Umur 1 minggu : 15-20 gram/dl
 Umur 1 bulan : 11-15 gram/dl
 Anak anak : 11-13 gram/dl
 Lelaki dewasa : 14-18 gram/dl
 Perempuan dewasa : 12-16 gram/dl
 Lelaki tua : 12.4-14.9 gram/dl
 Perempuan tua : 11.7-13.8 gram/dl

Kadar hemoglobin dalam darah yang rendah dikenal dengan


istilah anemia. Ada banyak penyebab anemia diantaranya yang
paling sering adalah perdarahan, kurang gizi, gangguan sumsum
tulang, pengobatan kemoterapi dan penyakit sistemik (kanker,
lupus,dll).
Sedangkan kadar hemoglobin yang tinggi dapat dijumpai
pada orang yang tinggal di daerah dataran tinggi dan perokok.
Beberapa penyakit seperti radang paru paru, tumor,
preeklampsia, hemokonsentrasi, dll.
2. Hematokrit
Hematokrit merupakan ukuran yang menentukan banyaknya
jumlah sel darah merah dalam 100 ml darah yang dinyatakan
dalam persent (%). Nilai normal hematokrit untuk pria berkisar
40,7% - 50,3% sedangkan untuk wanita berkisar 36,1% - 44,3%.
Seperti telah ditulis di atas, bahwa kadar hemoglobin berbanding
lurus dengan kadar hematokrit, sehingga peningkatan dan
penurunan hematokrit terjadi pada penyakit-penyakit yang
sama.

3. Leukosit (White Blood Cell / WBC)

14
Leukosit merupakan komponen darah yang berperanan dalam
memerangi infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri, ataupun
proses metabolik toksin, dll.

Nilai normal leukosit berkisar 4.000 - 10.000 sel/ul darah.

Penurunan kadar leukosit bisa ditemukan pada kasus penyakit


akibat infeksi virus, penyakit sumsum tulang, dll, sedangkan
peningkatannya bisa ditemukan pada penyakit infeksi bakteri,
penyakit inflamasi kronis, perdarahan akut, leukemia, gagal
ginjal, dll

4. Trombosit (platelet)
Trombosit merupakan bagian dari sel darah yang berfungsi
membantu dalam proses pembekuan darah dan menjaga
integritas vaskuler. Beberapa kelainan dalam morfologi trombosit
antara lain giant platelet (trombosit besar) dan platelet clumping
(trombosit bergerombol).
Nilai normal trombosit berkisar antara 150.000 - 400.000 sel/ul
darah.
Trombosit yang tinggi disebut trombositosis dan sebagian
orang biasanya tidak ada keluhan. Trombosit yang rendah
disebut trombositopenia, ini bisa ditemukan pada kasus demam
berdarah (DBD), Idiopatik Trombositopenia Purpura (ITP), supresi
sumsum tulang, dll.

5. Eritrosit (Red Blood Cell / RBC)


Eritrosit atau sel darah merah merupakan komponen darah yang
paling banyak, dan berfungsi sebagai pengangkut / pembawa
oksigen dari paru-paru untuk diedarkan ke seluruh tubuh dan
membawa kardondioksida dari seluruh tubuh ke paru-paru.Nilai
normal eritrosit pada pria berkisar 4,7 juta - 6,1 juta sel/ul darah,
sedangkan pada wanita berkisar 4,2 juta - 5,4 juta sel/ul
darah.Eritrosit yang tinggi bisa ditemukan pada kasus
hemokonsentrasi, PPOK (penyakit paru obstruksif kronik), gagal
jantung kongestif, perokok, preeklamsi, dll, sedangkan eritrosit
yang rendah bisa ditemukan pada anemia, leukemia, hipertiroid,
penyakit sistemik seperti kanker dan lupus, dll.

Indeks eritrosit ( MCV,MCH,MCHV) Biasanya digunakan


untuk membantu mendiagnosis penyebab anemia (Suatu kondisi

15
di mana ada terlalu sedikit sel darah merah). Indeks/nilai yang
biasanya dipakai antara lain :

MCV (Mean Corpuscular Volume) atau Volume Eritrosit Rata-rata


(VER), yaitu volume rata-rata sebuah eritrosit yang dinyatakan
dengan femtoliter (fl)

MCV =  Hematokrit x 10
Eritrosit
Nilai normal = 82-92 fl.

MCH (Mean Corpuscular Hemoglobin) atau Hemoglobin Eritrosit


Rata-Rata (HER), yaitu banyaknya hemoglobin per eritrosit
disebut dengan pikogram (pg).

MCH = Hemoglobin x 10
Eritrosit
Nilai normal = 27-31 pg

MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration)


atau Konsentrasi
Hemoglobin EritrosiRata-rata (KHER), yaitu kadar hemoglobin
yang didapt per eritrosit, dinyatakan dengan persen (%)
(satuan yang lebih tepat adalah “gr/dl”)

MCHC = Hemoglobin x 100


Hematokrit
  Nilai normal = 32-37 % 

6. Laju Endap Darah


Laju Endap Darah atau Erithrocyte Sedimentation Rate (ESR)
adalah kecepatan sedimentasi eritrosit dalam darah yang belum
membeku, dengan satuan mm/jam. LED merupakan uji yang
tidak spesifik. LED dijumpai meningkat selama proses inflamasi
akut, infeksi akut dan kronis, kerusakan jaringan (nekrosis),
penyakit kolagen, rheumatoid, malignansi, dan kondisi stress
fisiologis (misalnya kehamilan).

International Commitee for Standardization in Hematology (ICSH)


merekomendasikan untuk menggunakan metode Westergreen
dalam pemeriksaan LED, hal ini dikarenakan panjang pipet
Westergreen bisa dua kali panjang pipet Wintrobe sehingga hasil
LED yang sangat tinggi masih terdeteksi.

16
Nilai normal LED pada metode Westergreen :

Laki-laki : 0–15mm/jam
Perempuan : 0 – 20 mm/jam    

Hitung Jenis Leukosit (Diff Count)


Hitung jenis leukosit digunakan untuk mengetahui jumlah
berbagai jenis leukosit. Terdapat lima jenis leukosit, yang
masing-masingnya memiliki fungsi yang khusus dalam melawan
patogen. Sel-sel itu adalah neutrofil, limfosit, monosit, eosinofil,
dan basofil. Hasil hitung jenis leukosit memberikan informasi
yang lebih spesifik mengenai infeksi dan proses penyakit.  Hitung
jenis leukosit hanya menunjukkan jumlah relatif dari masing-
masing jenis sel. Untuk mendapatkan jumlah absolut dari
masing-masing jenis sel maka nilai relatif (%) dikalikan jumlah
leukosit total dan hasilnya dinyatakan dalam sel/μl.

Nilai normal : Eosinofil 1-3%, Netrofil 55-70%, Limfosit 20-40%,


Monosit 2-8% 

Platelet distribution width


PDW merupakan koefisien variasi ukuran trombosit. Kadar PDW
tinggi dapat ditemukan pada sickle cell disease dan
trombositosis, sedangkan kadar PDW yang rendah dapat
menunjukan trombosit yang mempunyai ukuran yang kecil.

Red Cell Distribution Width (RDW).


RDW merupakan koefisien variasi dari volume eritrosit. RDW
yang tinggi dapat mengindikasikan ukuran eritrosit yang
heterogen, dan biasanya ditemukan pada anemia defisiensi besi,
defisiensi asam folat dan defisiensi vitamin B12, sedangkan jika
didapat hasil RDW yang rendah dapat menunjukan eritrosit yang
mempunyai ukuran variasi yang kecil.

B. PEMERIKSAAN URINE
Sebelum menilai hasil analisa urine, perlu diketahui tentang

proses pembentukan urine. Urine merupakan hasil metabolisme

17
tubuh yang dikeluarkan melalui ginjal. Dari 1200 ml darah yang

melalui glomeruli permenit akan terbentuk filtrat 120 ml per menit.

Filtrat tersebut akan mengalami reabsorpsi, difusi dan ekskresi oleh

tubuli ginjal yang akhirnya terbentuk 1 ml urin per menit.

Faktor- faktor yang turut mempengaruhi susunan urine

Untuk mendapatkan hasil analisa urin yang baik perlu


diperhatikan beberapa faktor antara lain persiapan penderita dan
cara pengambilan contoh urin.
Beberapa hal perlu diperhatikan dalam persiapan penderita untuk
analisa urin misalnya pada pemeriksaan glukosa urin sebaiknya
penderita jangan makan zat reduktor seperti vitamin C, karena zat
tersebut dapat memberikan hasil positif palsu dengan cara reduksi
dan hasil negatif palsu dengan cara enzimatik.

Pada pemeriksaan urobilin, urobilinogen dan bilirubin


sebaiknya tidak diberikan obat yang memberi warna pada urin,
seperti vitamin B2 (riboflavin), pyridium dan lain lain Pada tes
kehamilan dianjurkan agar mengurangi minum supaya urin menjadi
lebih pekat.

Susunan urin tidak banyak berbeda dari hari ke hari, tetapi pada
pihak lain mungkin banyak berbeda dari waktu ke waktu sepanjang
hari, karena itu penting untuk mengambil contoh urin menurut
tujuan pemeriksaan. Untuk pemeriksaan urin seperti pemeriksaan
protein, glukosa dan sedimen dapat dipergunakan urin - sewaktu,
ialah urin yang dikeluarkan pada waktu yang tidak ditentukan
dengan khusus, kadang kadang bila unsur sedimen tidak ditemukan
karena urin- sewaktu terlalu encer, maka dianjurkan memakai urin

18
pagi. Urin pagi ialah urin yang pertama kali dikeluarkan pada pagi
hari, urin ini baik untuk pemeriksaan berat jenis, protein sedimen
dan tes kehamilan.

Pada penderita yang sedang haid “"leucorrhoe" untuk


mencegah kontaminasi dianjurkan pengambilan contoh urin dengan
cara clean voided specimen yaitu dengan melakukan kateterisasi,
punksi suprapubik atau pengambilan urin midstream dimana urin
yang pertama keluar tidak ditampung, tapi urin yang keluar
kemudian ditampung dan yang keluar tidak di tampung.

a. Pemeriksaan Makroskopikdan mikroskopik dan kimia


urine.

Dikenal pemeriksaan urin rutin dan lengkap. Yang dimaksud


dengan pemeriksaan urin rutin adalah pemeriksaan makroskopik,
mikroskopik dan kimia urin yang meliputi pemeriksaan protein
dan glukosa. Sedangkan yang dimaksud dengan pemeriksaan
urin lengkap adalah pemeriksaan urin rutin yang dilengkapi
dengan pemeriksaan benda keton, bilirubin, urobilingen darah
samar dan nitrit.

1. Pemeriksaan makroskopik.

Yang diperiksa adalah volume, warna, kejernihan, berat jenis,


bau dan pH urin. Pengukuran volume urin berguna untuk
menafsirkan hasil pemeriksaan kuantitatif atau semi kuantitatif
suatu zat dalam urin, dan untuk menentukan kelainan dalam
keseimbangan cairan badan. Pengukuran volume urin yang
dikerjakan bersama dengan berat jenis urin bermanfaat untuk
menentukan gangguan faal ginjal.

a) Volume urine.

19
Banyak sekali faktor yang mempengaruhi volume urin
seperti umur, berat badan, jenis kelamin, makanan dan
minuman, suhu badan, iklim dan aktivitas orang yang
bersangkutan. Rata-rata didaerah tropik volume urin dalam
24 jam antara 800--1300 ml untuk orang dewasa. Bila
didapatkan volume urin selama 24 jam lebih dari 2000 ml
maka keadaan itu disebut poliuri.

Poliuri ini mungkin terjadi pada keadaan fisiologik seperti


pemasukan cairan yang berlebihan, nervositas, minuman
yang mempunyai efek diuretika. Selain itu poliuri dapat
pula disebabkan oleh perubahan patologik seperti diabetes
mellitus, diabetes insipidus, hipertensi, pengeluaran cairan
dari edema. Bila volume urin selama 24 jam 300--750 ml
maka keadaan ini dikatakan oliguri.

Keadaan ini mungkin didapat pada diarrhea, muntah


-muntah, deman edema, nefritis menahun. Anuri adalah
suatu keadaan dimana jumlah urin selama 24 jam kurang
dari 300 ml. Hal ini mungkin dijumpai pada shock dan
kegagalan ginjal. Jumlah urin siang 12 jam dalam keadaan
normal 2 sampai 4 kali lebih banyak dari urin malam 12
jam. Bila perbandingan tersebut terbalik disebut nokturia,
seperti didapat pada diabetes mellitus.

b) Warna urine.

Pemeriksaan terhadap warna urin mempunyai makna


karena kadang-kadang dapat menunjukkan kelainan klinik.
Warna urin dinyatakan dengan tidak berwarna, kuning
muda, kuning, kuning tua, kuning bercampur merah,
merah, coklat, hijau, putih susu dan sebagainya. Warna

20
urin dipengaruhi oleh kepekatan urin, obat yang dimakan
maupun makanan. Pada umumnya warna ditentukan oleh
kepekatan urin, makin banyak diuresa makin muda warna
urin itu. Warna normal urin berkisar antara kuning muda
dan kuning tua yang disebabkan oleh beberapa macam zat
warna seperti urochrom, urobilin dan porphyrin. Bila
didapatkan perubahan warna mungkin disebabkan oleh zat
warna yang normal ada dalam jumlah besar, seperti
urobilin menyebabkan warna coklat.

Disamping itu perlu dipertimbangkan kemungkinan adanya


zat warna abnormal, seperti hemoglobin yang
menyebabkan warna merah dan bilirubin yang
menyebabkan warna coklat. Warna urin yang dapat
disebabkan oleh jenis makanan atau obat yang diberikan
kepada orang sakit seperti obat dirivat fenol yang
memberikan warna coklat kehitaman pada urin. Kejernihan
dinyatakan dengan salah satu pendapat seperti jernih,
agak keruh, keruh atau sangat keruh. Biasanya urin segar
pada orang normal jernih. Kekeruhan ringan disebut
nubecula yang terdiri dari lendir, sel epitel dan leukosit
yang lambat laun mengendap. Dapat pula disebabkan oleh
urat amorf, fosfat amorf yang mengendap dan bakteri dari
botol penampung. Urin yang telah keruh pada waktu
dikeluarkan dapat disebabkan oleh chilus, bakteri, sedimen
seperti epitel, leukosit dan eritrosit dalam jumlah banyak.

c) Berat jenis urine.

Pemeriksaan berat jenis urin bertalian dengan faal


pemekatan ginjal, dapat dilakukan dengan berbagai cara
yaitu dengan memakai falling drop, gravimetri,
menggunakan pikno meter, refraktometer dan reagens
'pita'. Berat jenis urin sewaktu pada orang normal antara

21
1,003 -- 1,030. Berat jenis urin herhubungan erat dengan
diuresa, makin besar diuresa makin rendah berat jenisnya
dan sebaliknya. Makin pekat urin makin tinggi berat
jenisnya, jadi berat jenis bertalian dengan faal pemekat
ginjal. Urin sewaktu yang mempunyai berat jenis 1,020
atau lebih, menunjukkan bahwa faal pemekat ginjal baik.
Keadaan ini dapat dijumpai pada penderita dengan demam
dan dehidrasi. Sedangkan berat jenis urin kurang dari
1,009 dapat disebabkan oleh intake cairan yang
berlebihan, hipotermi, alkalosis dan kegagalan ginjal yang
menahun.

d) Bau urine.

Untuk menilai bau urin dipakai urin segar, yang perlu


diperhatikan adalah bau yang abnormal. Bau urin normal
disebabkan oleh asam organik yang mudah menguap. Bau
yang berlainan dapat disebabkan oleh makanan seperti
jengkol, petai, obat-obatan seperti mentol, bau buah-
buahan seperti pada ketonuria. Bau amoniak disebabkan
perombakan ureum oleh bakteri dan biasanya terjadi pada
urin yang dibiarkan tanpa pengawet. Adanya urin yang
berbau busuk dari semula dapat berasal dari perombakan
protein dalam saluran kemih umpamanya pada karsinoma
saluran kemih.

e) pH urine.

Penetapan pH diperlukan pada gangguan keseimbangan


asam basa, kerena dapat memberi kesan tentang keadaan
dalam badan. pH urin normal berkisar antar 4,5 -- 8,0.
Selain itu penetapan pH pada infeksi saluran kemih dapat
memberi petunjuk ke arah etiologi. Pada infeksi oleh
Escherichia coli biasanya urin bereaksi asam, sedangkan

22
pada infeksi dengan kuman Proteus yang dapat merombak
ureum menjadi atnoniak akan menyebabkan urin bersifat
basa. Dalam pengobatan batu karbonat atau kalsium fosfat
urin dipertahankan asam, sedangkan untuk mencegah
terbentuknya batu urat atau oksalat pH urin sebaiknya
dipertahankan basa.

2. Pemeriksaan Mikroskopik

Yang dimaksud dengan pemeriksaan mikroskopik urin yaitu


pemeriksaan sedimen urin. Ini penting untuk mengetahui
adanya kelainan pada ginjal dan saluran kemih serta berat
ringannya penyakit. Urin yang dipakai ialah urin sewaktu
yang segar atau urin yang dikumpulkan dengan pengawet
formalin. Pemeriksaan sedimen dilakukan dengan memakai
lensa objektif kecil (10X) yang dinamakan lapangan
penglihatan kecil atau LPK. Selain itu dipakai lensa objektif
besar (40X) yang dinamakan lapangan penglihatan besar
atau LPB. Jumlah unsur sedimen bermakna dilaporkan
secara semi kuantitatif, yaitu jumlah rata-rata per LPK
untuk silinder dan per LPB untuk eritrosit dan leukosit.
Unsur sedimen yang kurang bermakna seperti epitel atau
kristal cukup dilaporkan dengan + (ada), ++ (banyak) dan
+++ (banyak sekali). Lazimnya unsur sedimen dibagi atas
dua golongan yaitu unsur organik dan tak organik. Unsur
organik berasal dari sesuatu organ atau jaringan antara
lain epitel, eritrosit, leukosit, silinder, potongan jaringan,
sperma, bakteri, parasit dan yang tak organik tidak berasal
dari sesuatu organ atau jaringan seperti urat amorf dan
kristal.

23
a) Eritrosit atau leukosit

Eritrosit atau leukosit di dalam sedimen urin mungkin


terdapat dalam urin wanita yang haid atau berasal dari
saluran kernih. Dalam keadaan normal tidak dijumpai
eritrosit dalam sedimen urin, sedangkan leukosit hanya
terdapat 0 - 5/LPK dan pada wanita dapat pula karena
kontaminasi dari genitalia. Adanya eritrosit dalam urin
disebut hematuria. Hematuria dapat disebabkan oleh
perdarahan dalam saluran kemih, seperti infark ginjal,
nephrolithiasis, infeksi saluran kemih dan pada penyakit
dengan diatesa hemoragik. Terdapatnya leukosit dalam
jumlah banyak di urin disebut piuria. Keadaan ini sering
dijumpai pada infeksi saluran kemih atau kontaminasi
dengan sekret vagina pada penderita dengan fluor
albus.

b) Silinder

Silinder adalah endapan protein yang terbentuk di


dalam tubulus ginjal, mempunyai matrix berupa
glikoprotein (protein Tamm Horsfall) dan kadang-kadang
dipermukaannya terdapat leukosit, eritrosit dan epitel.
Pembentukan silinder dipengaruhi oleh berbagai faktor
antara lain osmolalitas, volume, pH dan adanya
glikoprotein yang disekresi oleh tubuli ginjal.

Dikenal bermacam-macam silinder yang


berhubungan dengan berat ringannya penyakit ginjal.
Banyak peneliti setuju bahwa dalam keadaan normal
bisa didapatkan sedikit eritrosit, leukosit dan silinder
hialin. Terdapatnya silinder seluler seperti silinder
leukosit, silinder eritrosit, silinder epitel dan sunder
berbutir selalu menunjukkan penyakit yang serius. Pada

24
pielonefritis dapat dijumpai silinder lekosit dan pada
glomerulonefritis akut dapat ditemukan silinder eritrosit.
Sedangkan pada penyakit ginjal yang berjalan lanjut
didapat silinder berbutir dan silinder lilin.

c) Kristal

Kristal dalam urin tidak ada hubungan langsung


dengan batu di dalam saluran kemih. Kristal asam urat,
kalsium oksalat, triple fosfat dan bahan amorf
merupakan kristal yang sering ditemukan dalam
sedimen dan tidak mempunyai arti, karena kristal-kristal
itu merupakan hasil metabolisme yang normal.
Terdapatnya unsur tersebut tergantung dari jenis
makanan, banyak makanan, kecepatan metabolisme
dan kepekatan urin. Di samping itu mungkin didapatkan
kristal lain yang berasal dari obat-obatan atau kristal-
kristal lain seperti kristal tirosin, kristal leucin.

d) Epitel

Merupakan unsur sedimen organik yang dalam


keadaan normal didapatkan dalam sedimen urin. Dalam
keadaan patologik jumlah epitel ini dapat meningkat,
seperti pada infeksi, radang dan batu dalam saluran
kemih. Pada sindroma nefrotik di dalam sedimen urin
mungkin didapatkan oval fat bodies. Ini merupakan
epitel tubuli ginjal yang telah mengalami degenerasi
lemak, dapat dilihat dengan memakai zat warna Sudan
III/IV atau diperiksa dengan menggunakan mikroskop
polarisasi.

25
e) Pemeriksaan Kimia Urin.

Disamping cara konvensional, pemeriksaan kimia


urin dapat dilakukan dengan cara yang lebih sederhana
dengan hasil cepat, tepat, spesifik dan sensitif yaitu
memakai reagens pita. Reagens pita (strip) dari
berbagai pabrik telah banyak beredar di Indonesia.
Reagens pita ini dapat dipakai untuk pemeriksaan pH,
protein, glukosa, keton, bilirubin, darah, urobilinogen
dan nitrit. Untuk mendapatkan hasil pemeriksaan yang
optimum, aktivitas reagens harus dipertahankan,
penggunaan haruslah mengikuti petunjuk dengan tepat;
baik mengenai cara penyimpanan, pemakaian reagnes
pita dan bahan pemeriksaan. Urin dikumpulkan dalam
penampung yang bersih dan pemeriksaan baiknya
segera dilakukan. Bila pemeriksaan harus ditunda
selama lebih dari satu jam, sebaiknya urin tersebut
disimpan dulu dalam lemari es, dan bila akan dilakukan
pemeriksaan, suhu urin disesuaikan dulu dengan suhu
kamar. Agar didapatkan hasil yang optimal pada tes
nitrit, hendaknya dipakai urin pagi atau urin yang telah
berada dalam buli-buli minimal selama 4 jam. Untuk
pemeriksaan bilirubin, urobilinogen dipergunakan urin
segar karena zat-zat ini bersifat labil, pada suhu kamar
bila kena cahaya. Bila urin dibiarkan pada suhu kamar,
bakteri akan berkembang biak yang menyebabkan pH
menjadi alkali dan menyebabkan hasil positif palsu
untuk protein. Pertumbuhan bakteri karena kontaminasi
dapat memberikan basil positif palsu untuk pemeriksaan
darah samar dalam urin karena terbentuknya
peroksidase dari bakteri.

Reagens pita untuk pemeriksaan protein lebih


peka terhadap albumin dibandingkan protein lain seperti

26
globulin, hemoglobin, protein Bence Jones dan
mukoprotein. Oleh karena itu hasil pemeriksaan
proteinuri yang negatif tidak dapat menyingkirkan
kemungkinan terdapatnya protein tersebut didalam
urin. Urin yang terlalu lindi, misalnya urin yang
mengandung amonium kuartener dan urin yang
terkontaminasi oleh kuman, dapat memberikan hasil
positif palsu dengan cara ini. Proteinuria dapat terjadi
karena kelainan prerenal, renal dan post-renal. Kelainan
pre-renal disebabkan karena penyakit sistemik seperti
anemia hemolitik yang disertai hemoglobinuria,
mieloma, makroglobulinemia dan dapat timbul karena
gangguan perfusi glomerulus seperti pada hipertensi
dan payah jantung. Proteinuria karena kelainan ginjal
dapat disebabkan karena kelainan glomerulus atau
tubuli ginjal seperti pada penyakit glomerulunofritis akut
atau kronik, sindroma nefrotik, pielonefritis akut atau
kronik, nekrosis tubuler akut dan lain-lain.

f) Pemeriksaan glukosa

Dalam urin dapat dilakukan dengan memakai


reagens pita. Selain itu penetapan glukosa dapat
dilakukan dengan cara reduksi ion cupri menjadi cupro.
Dengan cara reduksi mungkin didapati hasil positip
palsu pada urin yang mengandung bahan reduktor
selain glukosa seperti : galaktosa, fruktosa, laktosa,
pentosa, formalin, glukuronat dan obat-obatan seperti
streptomycin, salisilat, vitamin C. Cara enzimatik lebih
sensitif dibandingkan dengan cara reduksi. Cara
enzimatik dapat mendeteksi kadar glukosa urin sampai

27
100 mg/dl, sedangkan pada cara reduksi hanya sampai
250 mg/dl.

Cara ini Juga lebih spesifik untuk glukosa, karena


gula lain seperti galaktosa, laktosa, fruktosa dan
pentosa tidak bereaksi. Dengan cara enzimatik mungkin
didapatkan hasil negatip palsu pada urin yang
mengandung kadar vitamin C melebihi 75 mg/dl atau
benda keton melebihi 40 mg/dl.

Pada orang normal tidak didapati glukosa dalam


urin. Glukosuria dapat terjadi karena peningkatan kadar
glukosa dalam darah yang melebihi kepasitas
maksimum tubulus untuk mereabsorpsi glukosa seperti
pada diabetes mellitus, tirotoksikosis, sindroma Cushing,
phaeochromocytoma, peningkatan tekanan intrakranial
atau karena ambang rangsang ginjal yang menurun
seperti pada renal glukosuria, kehamilan dan sindroma
Fanconi.

g) Benda- benda keton

Dalam urin terdiri atas aseton, asam asetoasetat


dan asam 13-hidroksi butirat. Karena aseton mudah
menguap, maka urin yang diperiksa harus segar.
Pemeriksaan benda keton dengan reagens pita ini dapat
mendeteksi asam asetoasetat lebllh dari 5--10 mg/dl,
tetapi cara ini kurang peka untuk aseton dan tidak
bereaksi dengan asam beta hidroksi butirat. Hasil positif
palsu mungkin didapat bila urin mengandung
bromsulphthalein, metabolit levodopa dan pengawet 8-
hidroksi-quinoline yang berlebihan. Dalam keadaan
normal pemeriksaan benda keton dalam urin negatif.
Pada keadaan puasa yang lama, kelainan metabolisme

28
karbohidrat seperti pada diabetes mellitus, kelainan
metabolisme lemak didalam urin didapatkan benda
keton dalam jumlah yang tinggi. Hal ini terjadi sebelum
kadar benda keton dalam serum meningkat.

h) Pemeriksaan bilirubin

Dalam urin berdasarkan reaksi antara garam


diazonium dengan bilirubin dalam suasana asam, yang
menimbulkan warna biru atau ungu tua. Garam
diazonium terdiri dari p-nitrobenzene diazonium dan p-
toluene sulfonate, sedangkan asam yang dipakai adalah
asam sulfo salisilat.
Adanya bilirubin 0,05-1 mg/dl urin akan memberikan
basil positif dan keadaan ini menunjukkan kelainan hati
atau saluran empedu. Hasil positif palsu dapat terjadi
bila dalam urin terdapat mefenamic acid,
chlorpromazine dengan kadar yang tinggi sedangkan
negatif palsu dapat terjadi bila urin mengandung
metabolit pyridium atau serenium.

C. PEMERIKSAAN FAECES

Definisi feses 
Sisa hasil pencernaan dan absorbsi dari makanan yang kita makan,
dikeluarkan lewat anus dari saluran cerna.

INDIKASI PEMERIKSAAN:

 Adanya diare dan konstipasi                        


  Adanya ikterus
 Adanya gangguan pencernaan                       
 Adanya lendir dalam tinja
 Kecurigaan penyakit gastrointestinal            

29
 Adanya darah dalam tinja

SYARAT PENGUMPULAN FECES :

1. Tempat harus bersih, kedap, bebas dari urine, diperiksa 30 – 40


menit sejak dikeluarkan. Bila   pemeriksaan ditunda simpan pada
almari es.
2. Pasien dilarang menelan Barium, Bismuth, dan Minyak dalam 5
hari sebelum pemeriksaan.
3. Diambil dari bagian yang paling mungkin memberi kelainan.
Paling baik dari defekasi spontan atau Rectal Toucher  pemeriksaan
tinja sewaktu :
a. Pasien konstipasi      
b. Kasus Oxyuris          
4. Alur  pemeriksaan :
5. Pengumpulan bahan Pemeriksaan, Pengiriman dan Pengawetan
bahan tinja, Pemeriksaan tinja, serta Pelaporan hasil
pemeriksaan.

Teknik Pengambilan Feses


Alat dan bahan.
 Sarung tangan
 Spatel steril.
 Penampung feses.
Prosedur
1. Cuci tangan.
2. Gunakan sarung tangan.
3. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan.
4. Tampung bahan dengan menggunakan spatel steril.
5. Tempatkan ke dalam wadah steril dan ditutup rapat.
6. Feses jangan tercampur dengan urine.
7. Jangan diberikan barium atau minyak mineral yang dapat
menghambat pertumbuhan bakteri.
8. Buka sarung tangan.

30
9. Catat tanggal pengambilan dan beri label.
Pemeriksaan Makroskopis

a. Jumlah
Dalam keadaan normal jumlah tinja berkisar antara 100-
250gram per hari. Banyaknya tinja dipengaruhi jenis makanan
bila banyak makan sayur jumlah tinja meningkat.

b. Konsistensi
Tinja normal mempunyai konsistensi agak lunak dan
berbentuk. Pada diare konsistensi menjadi sangat lunak atau
cair, sedangkan sebaliknya tinja yang keras atau skibala
didapatkan pada konstipasi. Peragian karbohidrat dalam usus
menghasilkan tinja yang lunak dan bercampur gas.

c.  Warna
Tinja normal kuning coklat dan warna ini dapat berubah
mejadi lebih tua dengan terbentuknya Urobilin lebih banyak.
Selain urobilin warna tinja dipengaruhi oleh berbagai jenis
makanan, kelainan dalam saluran pencernaan dan obat yang
dimakan. Warna kuning dapat disebabkan karena
susu,jagung, lemak dan obat santonin. Tinja yang berwarna
hijau dapat disebabkan oleh sayuran yangmengandung
khlorofil atau pada bayi yang baru lahir disebabkan oleh
biliverdin dan porphyrin dalam mekonium. Kelabu mungkin
disebabkan karena tidak ada urobilinogen dalam saluran
pencernaan yang didapat pada ikterus obstruktif, tinja
tersebut disebut akholis. Keadaan tersebut mungkin didapat
pada defisiensi enzim pankreas seperti pada steatorrhoe yang
menyebabkan makanan mengandung banyak lemak yang
tidak dapat dicerna dan juga setelah pemberian garam barium
setelah pemeriksaan radiologik. Tinja yang berwarna merah
muda dapat disebabkan oleh perdarahan yang segar dibagian
distal, mungkin pula oleh makanan seperti bit atau tomat.
Warna coklat mungkin disebabkan adanya perdarahan
dibagian proksimal saluran pencernaan atau karena makanan
seperti coklat, kopi dan lain-lain. Warna coklat tua disebabkan
urobilin yang berlebihan seperti pada anemia hemolitik.
Sedangkan warna hitam dapat disebabkan obat yang yang
mengandung besi, arang atau bismuth dan mungkin juga oleh
melena.

31
d.      Bau
Indol, Skatol dan Asam butirat menyebabkan
bau normal pada tinja. Bau busuk didapatkan jika dalam usus
terjadi pembusukan protein yang tidak dicerna dan dirombak
oleh kuman. Reaksi tinja menjadi lindi oleh pembusukan
semacam itu. Tinja yang berbau tengik atau asam disebabkan
oleh peragian gula yang tidak dicerna seperti pada diare.
Reaksi tinja pada keadaan itu menjadi asam.
e.       Darah
Adanya darah dalam tinja dapat berwarna merah
muda,coklat atau hitam. Darah itu mungkin terdapat di bagian
luar tinja atau bercampur baur dengan tinja. Pada perdarahan
proksimal saluran pencernaan darah akan bercampur dengan
tinja dan warna menjadi hitam, ini disebut melena seperti
pada tukak lambung atau varices dalam oesophagus.
Sedangkan pada perdarahan di bagian distal saluran
pencernaan darah terdapat di bagian luar tinja yang berwarna
merah muda yang dijumpai pada hemoroid atau karsinoma
rectum.
f.       Lendir
Dalam keadaan normal didapatkan sedikit sekali lendir
dalam tinja. Terdapatnya lendir yang banyak berarti ada
rangsangan atau radang pada dinding usus. Kalau lendir itu
hanya didapat di bagian luar tinja, lokalisasi iritasi itu mungkin
terletak pada usus besar. Sedangkan bila lendir bercampur
baur dengan tinja mungkin sekali iritasi terjadi pada usus
halus. Pada disentri, intususepsi dan ileokolitis bisa
didapatkan lendir saja tanpa tinja.
g.      Parasita
Diperiksa pula adanya cacing Ascaris, Anylostoma dan
lain-lain yang mungkin didapatkan dalam tinja.

PEMERIKSAAN MIKROSKOPIS
Untuk mengetahui adanya Sel epitel, Makrofag, Eritrosit, Lekosit,
Kristal, sisa makanan, Butir lemak, Butir Karbohidrat, Serat
tumbuhan / otot Sel ragi, Protozoa, Telur dan larva cacing. Metode
yang digunakan dengan penambahan larutan Cat antara lain:
 Lemak  à Sudan III
 Protozoa   à Eosin 1 – 2%

32
 Amylum à Lugol 1 – 2 %
 Lekosit à asam asetat 10 %
 Pemeriksaan rutin à NaCl 0,9%   

a. Protozoa
Biasanya didapati dalam bentuk kista, bila konsistensi tinja cair baru
didapatkan bentuk trofozoit.

b. Telur cacing
Telur cacing yang mungkin didapat yaitu Ascaris lumbricoides,
Necator americanus, Enterobius vermicularis, Trichuris trichiura,
Strongyloides stercoralis dan sebagainya
telur
Ascaris lumbricoides telur Trichuris trichiura telur enterobius
vermicularis

c. Leukosit
Dalam keadaan normal dapat terlihat beberapa leukosit dalam
seluruh sediaan. Pada disentri basiler, kolitis ulserosa dan
peradangan didapatkan peningkatan jumlah leukosit.Eosinofil
mungkin ditemukan pada bagian tinja yang berlendir pada
penderita dengan alergi saluran pencenaan.

d. Eritrosit
Eritrosit hanya terlihat bila terdapat lesi dalam kolon, rektum
atau anus. Sedangkan bila lokalisasi lebih proksimal eritrosit telah
hancur. Adanya eritrosit dalam tinja selalu berarti abnormal.

33
f. Epitel
Dalam keadaan normal dapat ditemukan beberapa sel epitel yaitu
yang berasal dari dinding usus bagian distal. Sel epitel yang berasal
dari bagian proksimal jarang terlihat karena sel ini biasanya telah
rusak. Jumlah sel epitel bertambah banyak kalau ada perangsangan
atau peradangan dinding usus bagian distal.

g. Kristal
Kristal dalam tinja tidak banyak artinya. Dalam tinja normal
mungkin terlihat kristal tripel fosfat, kalsium oksalat dan asam
lemak. Kristal Tripel Fosfat dan Kalsium Oksalat didapatkan setelah
memakan bayam atau strawberi, sedangkan kristal asam lemak
didapatkan setelah banyak makan lemak. Sebagai kelainan mungkin
dijumpai kristal Charcoat Leyden Tinja Lugol Butir-butir amilum dan
kristal hematoidin. Kristal Charcoat Leyden didapat pada ulkus
saluran pencernaan seperti yang disebabkan amubiasis. Pada
perdarahan saluran pencernaan mungkin didapatkan kristal

hematoidin.
h. Sisa makanan
Hampir selalu dapat ditemukan juga pada keadaan normal, tetapi
dalam keadaan tertentu jumlahnya meningkat dan hal ini
dihubungkan dengan keadaan abnormal.Sisa makanan sebagian
berasal dari makanan daun-daunan dan sebagian lagi berasal dari
hewan seperti serat otot, serat elastis dan lain-lain. Untuk
identifikasi lebih lanjut emulsi tinja dicampur dengan larutan lugol
untuk menunjukkan adanya amilum yang tidak sempurna dicerna.
Larutan jenuh Sudan III atau IV dipakai untuk menunjukkan adanya
lemak netral seperti pada steatorrhoe. Sisa makanan ini akan
meningkat jumlahnya pada sindroma malabsorpsi.
D. CAIRAN PERVAGINA

34
1. Pengertian
Keluar cairan pervagianam bisa dikatakan keluarnya cairan

amnion,sekret berupa keputihan. Jika cairan yang keluar berupa

cairan amnion disebut sebagai ketuban pecah dini. Di mana

Ketuban Pecah Dini adalah pecahnya selaput ketuban sebelum

terjadi proses persalinan yang dapat terjadi pada usia kehamilan

cukup waktu atau kurang waktu.

Cairan pervaginam dalam kehamilan normal apabila tidak berupa

perdarahan banyak, air ketuban maupun keputihan

(leukhore)yang patologis. Penyebab terbesar persalinan

prematur adalah ketuban pecah sebelum waktunya. Insidensi

ketuban pecah dini 10 % mendekati dari semua persalinan dan 4

% pada kehamilan kurang 34 mg.

Penyebabnya adalah serviks inkompeten, ketegangan rahim

berlebihan (kehamilan ganda, hidramnion), kelainan bawaan dari

selaput ketuban,dan infeksi. Penatalaksanaan : pertahankan

kehamilan sampai matur, pemberian kortikosteroid untuk

35
kematangan paru janin, pada UK 24-32 minggu untuk janin tidak

dapat diselamatkan perlu dipertimbangkan melakukan induksi,

pada UK aterm dianjurkan terminasi kehamilan dalam waktu 6

jam sampai 24 jam bila tidak ada his spontan.

keluar cairan sekret pervaginam

KEPUTIHAN
1. Keputihan Normal.

Setiap pengeluaran cairan melalui vagina lebih dari normal dan

bukan berupa darah.

 Salah satu gejala kanker serviks, dengan disertai darah.


 Normal : berwarna jernih, tidak berbau, tidak gatal, tidak
dikeluhkan.
 Terjadi : saat menarche, ovulasi, keinginan seks meningkat,
kehamilan, bayi baru lahir, sedang stress.
2. Keputihan Abnormal.
 Berbau amis, apek, busuk, kadang bercampur darah,
berwarna putih susu, kuning tua, coklat, kehijauan.
 Disertai infeksi kelamin lainnya.
3. Pemeriksaan fisik.
 Sering di temukan luka,benjolan-benjolan
 Penderita biasanya mengeluhkan gatal,agak
lengket,panas,nyeri saat buang air kecil.
Penyebab keputihan :

36
a. Infeksi bakteri : Gonococcus, Chlamydia, Treponema pallidum,
Gardenella.
b. Infeksi jamur : Candida.
c. Infeksi parasit : Trichomonas vaginalis.
d. Infeksi virus : Herpes, Condyloma acuminata.
e. Pemakaian antiseptic vagina yang terus menerus.
f. Penurunan daya tahan tubuh: kurang gizi, sakit dalam waktu
lama, anemia.
g. Pemakaian kondom, KB, tisu wangi, parfum.
h. Penyakit ganas : tumor, kencing manis
i. PMS :AIDS, Gonorrhoea,
j. Kontrasepsi dalam rahim (AKDR).

Keputihan pada kanker kandungan:


a. Gejala : Perasaan tidak enak diperut bagian bawah, merasakan
adanya benjolan pada perut bagian bawah, atau perut terasa
semakin membesar/membuncit, disertai berat badan yang
semakin menurun, nafsu makan yang berkurang, wajah, mata,
bibir pucat akibat anemia.
b. Haid menjadi tidak keluar sama sekali, lebih panjang, atau
disertai rasa nyeri yang lebih dari biasanya.

Pencegahan:
1. Menjaga kebersihan vagina.
2. Hindari pembilasan vagina yang terlalu mendalam.
3. Mencuci tangan sebelum dan sesudah membasuh vagina.
4. Pergantian pembalut dilakukan lebih sering pada saat
menstruasi.
5. Hindarkan segala pemakaian bahan kimia.
6. Hindari suasana vagina yang lembab berkepanjangan.
7. Menjaga kebersihan sanitasi lingkungan.
8. Menjaga kebersihan pasangan seksual.

37
Pengobatan:

1. Bakteri : diberikan antibiotik golongan metronidazole.


2. Jamur : diberikan anti jamur.
3. Trichomonas : diberikan anti trichomonas.

Cara Pengobatan:
1. Obat oral (diminum).
2. Dimasukkan ke vagina.

E. PENGAMBILAN SEKRET .
Tujuan dari pengambilan cairan pervagina dan sekret yaitu untuk mencegah terjadinya
keputihan yang abnormal dan mendeteksi adanya kuman yang berupa tuberculosis pulmonal,
pneumonia bakteri, bronchitis kronis dan bronkhietaksis. 

1. Persiapan dan Prosedur Dalam Pengambilan Cairan Perva
ginam dan 
Sekret.
a. Persiapan alat
1. Sarung tangan steril
2. Kapas lidi steril
3. Kassa steril
4. Larutan klorin 0,5%
5. Kapas Sublimat
6. Krim Antiseptik
7. Objek glass
8. Piring petri
9. 2 buah bengkok
10. Spekulum
11. Perlak
12. Dua buah wadah
13. Stetoskop
14. Celemek

38
15. Kain sekali pakai

b. Prosedur pengambilan secret 
1. Menjelaskan prosedur yang akan dilakukan kepada klien.
2. Mempersiapkan alat dan bahan, mendekatkan kepada pasi
en.
3. Memasang sampiran.
4. Membuka atau menganjurkan pasien menanggalkan pakaia
n bawah (Tetap jaga Privasi pasien).
5. Mengasang perlak di bawah bokong pasien.
6. Mengatur posisi pasien dengan kaki ditekuk (dorsal recumb
ent).
7. Mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, mengering
kan dengan handuk bersih.
8. Gunakan sarung tangan.
9. Buka labia mayora dengan ibu jari dan jari telunjuk tangan 
yang tidak dominan.
10. Mengambil sekret Vagina dengan kapas lidi tangan yang d
ominan sesuai deng-an kebutuhan.
11. Menghapuskan sekret vagina pada objek glass yang disedi
akan.
12. Membuang kapas lidi dalam bengkok.
13. Masukan objek glass dalam piring petri / kedalam tabung k
imia dan ditutup.
14. Memberi label dan mengisi formulir pengiriman spesimen 
untuk dikirim  `ke laboratorium.
15. Membereskan alat.
16. Mencuci sarung tangan: klorin 0,5%, lepas sarung tangan 
secara terbalik 
dan rendam dalam klorin selama 10 menit.
17. Mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, mengerin
gkannya dengan
 handuk bersih.
18. Melakukan dokumentasi tindakan yang telah dilakukan.

39
“PERSIAPAN UNTUK PEMERIKSAAN USG, ROENTGEN, CTG DAN
LAPARASKOPI”
Persiapan untuk Pemeriksaan

Pemeriksaan diagnostik adalah penilaian klinis tentang respon individu, keluarga dan
komunikan terhadap suatu masalah kesehatan dan proses kehidupan aktual maupun potensial.
Hasil suatu pemeriksaan laboratorium sangat penting dalam membantu diagnosa, memantau
perjalanan penyakit serta menentukan prognosa. Karena itu perlu diketahui faktor yang
mempengaruhi hasil pemeriksaan laboratorium.

1. Persiapan untuk Pemeriksaan USG (Ultrasonografi)


a. Pengertian USG
o Alat yang bekerja dengan prinsip pantulan gelombang suara yang tidak dapat
didengar oleh manusia (ultrasound) dan yang dipengaruhi sifat organ atau
jaringan tubuh manusia.
o USG merupakan suatu prosedur diagnosis yang digunakan untuk melihat struktur
jaringan tubuh atau analisis dari gelombang. Doppler, yang pemeriksaannya
dilakukan diatas permukaan kulit atau diatas rongga tubuh untuk menghasilkan
suatu ultrasound didalam jaringan.
o Komputer berfungsi menterjemahkan pantulan gelombang suara tersebut
kedalam bentuk visual yang mudah diinterpresentasikan oleh dokter. Selain itu
juga dapat mengukur gambar yang dibuat sendiri.
o USG merupakan prosedur yang menggunakan gelombang suara frekuensi tinggi
untuk memidahi perut dan rongga rahim, menghasilkan suatu citra (sonogram)
dari janin dan plasenta.
o Jadi dalam hal ini tidak seperti X-Ray (sinar rontgen) yang berbahaya bagi bayi,
USG menggunakan gelombang suara yang dipantulkan untuk membentuk
gambaran bayi dilayar komputer yang aman untuk bayi dan ibu.

b. Indikasi pemeriksaan USG


Indikasi merupakan salah satu prasyarat penting yang harus dipenuhi sebelum
pemeriksaan USG dilakukan. Pemeriksaan USG janganlah dilakukan secara rutin
atau setiap melakukan pemeriksaan pasien, terutama bila pasien hamil. Untuk
mempermudah memilah indikasi pemeriksaan, penulis menyarankan pembagian

40
indikasi tersebut atas indikasi obstetri, ginekologi onkologi, endokrinologi
reproduksi, dan indikasi non obstetri ginekologi.
Dalam bidang obstetri, indikasi yang dianut adalah melakukan pemeriksaan
USG begitu diketahui hamil, penapisan USG pada trimester pertama (kehamilan 10 –
14 minggu), penapisan USG pada kehamilan trimester kedua (18 – 20 minggu), dan
pemeriksaan tambahan yang diperlukan untuk memantau tumbuh kembang janin.
Dalam bidang ginekologi onkologi pemeriksaannya diindikasikan bila ditemukan
kelainan secara fisik atau dicurigai ada kelainan tetapi pada pemeriksaan fisik tidak
jelas adanya kelainan tersebut.
Dalam bidang endokrinologi reproduksi pemeriksaan USG diperlukan untuk
mencari kausa gangguan hormon, pemantauan folikel dan terapi infertilitas, dan
pemeriksaan pada pasien dengan gangguan haid. Sedangkan indikasi non obstetrik
bila kelainan yang dicurigai berasal dari disiplin ilmu lain, misalnya dari bagian
pediatri, rujukan pasien dengan kecurigaan metastasis dari organ ginekologi dll.
Berikut ini diberikan contoh indikasi yang dikeluarkan oleh NIH:
National Institute of Health (NIH), USA (1983 – 1984) menentukan indikasi
untuk dilakukannya pemeriksaan USG sebagai berikut :
o Menentukan usia gestasi secara lebih tepat pada kasus yang akan menjalani
seksio sesarea berencana, induksi persalinan atau pengakhiran kehamilan secara
elektif.
o Evaluasi pertumbuhan janin, pada pasien yang telah diketahui menderita
insufisiensi uteroplasenter, misalnya preeklampsia berat, hipertensi kronik,
penyakit ginjal kronik, atau diabetes mellitus berat; atau menderita gangguan
nutrisi sehingga dicurigai terjadi pertumbuhan janin terhambat, atau makrosomia.
o Perdarahan per vaginam pada kehamilan yang penyebabnya belum diketahui.
o Menentukan bagian terendah janin bila pada saat persalinan bagian terendahnya
sulit ditentukan atau letak janin masih berubah-ubah pada trimester ketiga akhir.
o Kecurigaan adanya kehamilan ganda berdasarkan ditemukannya dua DJJ yang
berbeda frekuensinya atau tinggi fundus uteri tidak sesuai dengan usia gestasi,
dan atau ada riwayat pemakaian obat-obat pemicu ovulasi.
o Membantu tindakan amniosentesis atau biopsi villi koriales.
o Perbedaan bermakna antara besar uterus dengan usia gestasi berdasarkan tanggal
hari pertama haid terakhir.

41
o Teraba masa pada daerah pelvik.
o Kecurigaan adanya mola hidatidosa.
o Evaluasi tindakan pengikatan serviks uteri (cervical cerclage).
o Suspek kehamilan ektopik, dll.

Indikasi USG :

1) Dalam bidang obstetri, indikasi yang dianut adalah melakukan pemeriksaan USG
dilakukan begitu diketahui hamil, penapisan USG pada trimester pertama
(kehamilan 10 – 14 minggu), penapisan USG pada kehamilan trimester kedua (18
– 20 minggu), dan pemeriksaan tambahan yang diperlukan untuk memantau
tumbuh kembang janin.
2) Dalam bidang ginekologi onkologi pemeriksaannya diindikasikan bila
ditemukan kelainan secara fisik atau dicurigai ada kelainan tetapi pada
pemeriksaan fisik tidak jelas adanya kelainan tersebut.
3) Dalam bidang endokrinologi reproduksi pemeriksaan USG diperlukan untuk
mencari kausa gangguan hormon, pemantauan folikel dan terapi infertilitas, dan
pemeriksaan pada pasien dengan gangguan haid.
4) Sedangkan indikasi non obstetrik bila kelainan yang dicurigai berasal dari
disiplin ilmu lain, misalnya dari bagian pediatri, rujukan pasien dengan
kecurigaan metastasis dari organ ginekologi dll.

c. Persiapan USG
 Persiapan Pemeriksaan
Cuci tangan sebelum dan setelah kontak langsung dengan pasien, setelah
kontak dengan darah atau cairan tubuh lainnya, dan setelah melepas sarung
tangan, telah terbukti dapat mencegah penyebaran infeksi. Epidemi HIV telah
menjadikan pencegahan infeksi kembali menjadi perhatian utama, termasuk
dalam kegiatan pemeriksaan USG dimana infeksi silang dapat saja terjadi.
Kemungkinan penularan infeksi lebih besar pada waktu pemeriiksaan USG
transvaginal karena terjadi kontak dengan cairan tubuh dan mukosa vagina.
Resiko penularan dibagi dalam tiga tingkatan, yaitu tinggi, sedang, dan
ringan. Resiko penularan tinggi terjadi pada pemeriksaan USG intervensi
(misalnya punksi menembus kulit, membran mukosa atau jaringan lainnya);

42
peralatan yang dipakai memerlukan sterilisasi (misalnya dengan autoklaf atau
etilen oksida) dan dipergunakan sekali pakai dibuang.
Resiko penularan sedang terjadi pada pemeriksaan USG yang
mengadakan kontak dengan mukosa yang intak, misalnya USG transvaginal;
peralatan yang dipakai minimal memerlukan sterilisasi tingkat tinggi (lebih baik
bila dilakukan sterilisasi).
Resiko penularan ringan terjadi pada pemeriksaan kontak langsung
dengan kulit intak, misalnya USG transabdominal; peralatan yang dipakai cukup
dibersihkan dengan alkohol 70% (sudah dapat membunuh bakteri vegetatif, virus
mengandung lemak, fungisidal, dan tuberkulosidal) atau dicuci dengan sabun dan
air.Panduan di bawah ini dapat membantu mencegah penyebaran infeksi :
1) Semua jeli yang terdapat pada transduser harus selalu dibersihkan, bisa
memakai kain halus atau kertas tissue halus.
2) Semua peralatan yang terkontaminasi atau mengandung kotoran harus
dibersihkan dengan sabun dan air. Perhatikan petunjuk pabrik tentang
tatacara membersihkan peralatan USG.
3) Transduser kemudian dibersihkan dengan alkohol 70% atau direndam selama
dua menit dalam larutan yang mengandung sodium hypochlorite (kadar 500
ppm10 dan diganti setiap hari), kemudian dicuci dengan air mengalir dan
selanjutnya dikeringkan.
4) Transduser harus diberi pelapis sebelum dipakai untuk pemeriksaan USG
transvaginal, bisa memakai sarung tangan karet, atau kondom.
5) Pemeriksa harus memakai sarung tangan sekali pakai (tidak steril) pada
tangan yang akan membuka labia sebelum transduser vagina dimasukkan.
Perhatikan jangan sampai sarung tangan tersebut mengotori peralatan USG
dan tempat pemeriksaan.
6) Setelah melakukan pemeriksaan, sarung tangan harus dimasukkan pada
tempat khusus untuk mencegah penyebaran infeksi, dan pemeriksa mencuci
tangan.
7) Pada pemeriksaan USG invasif, persiapan yang dilakukan sama seperti akan
melakukan tindakan operasi, misalnya peralatan yang dipakai harus steril,
operator mencuci tangan dengan larutan mengandung khlorheksidine 3%,
memakai sarung tangan dan masker, serta memakai kacamata. Kulit
dibersihkan dengan memakai etil alkohol 70%, isopropil alkohol 60%,

43
khlorheksidin alkohol, atau povidone iodine. Transduser dibersihkan dan
dilakukan desinfeksi, kemudian dibungkus dengan plastik khusus yang steril.
Membran mukosa vagina dibersihkan dengan larutan yang mengandung
khlorheksidin 0,015% ditambah larutan cetrimide 0,15%.

 Persiapan Alat
Perawatan peralatan yang baik akan membuat hasil pemeriksaan juga tetap
baik. Hidupkan peralatan USG sesuai dengan tatacara yang dianjurkan oleh
pabrik pembuat peralatan tersebut. Panduan pengoperasian peralatan USG
sebaiknya diletakkan di dekat mesin USG, hal ini sangat penting untuk mencegah
kerusakan alat akibat ketidaktahuan operator USG.
Perhatikan tegangan listrik pada kamar USG, karena tegangan yang terlalu
naik-turun akan membuat peralatan elektronik mudah rusak. Bila perlu pasang
stabilisator tegangan listrik dan UPS.
Setiap kali selesai melakukan pemeriksaan USG, bersihkan semua peralatan
dengan hati-hati, terutama pada transduser (penjejak) yang mudah rusak.
Bersihkan transduser dengan memakai kain yang lembut dan cuci dengan larutan
anti kuman yang tidak merusak transduser (informasi ini dapat diperoleh dari
setiap pabrik pembuat mesin USG).
Selanjutnya taruh kembali transduser pada tempatnya, rapikan dan bersihkan
kabel-kabelnya, jangan sampai terinjak atau terjepit. Setelah semua rapih,
tutuplah mesin USG dengan plastik penutupnya. Hal ini penting untuk mencegah
mesin USG dari siraman air atau zat kimia lainnya.
Agar alat ini tidak mudah rusak, tentukan seseorang sebagai penanggung
jawab pemeliharaan alat tersebut.

 Persiapan Pasien
Sebelum pasien menjalani pemeriksaan USG, ia sudah harus memperoleh
informasi yang cukup mengenai pemeriksaan USG yang akan dijalaninya.
Informasi penting yang harus diketahui pasien adalah harapan dari hasil
pemeriksaan, cara pemeriksaan (termasuk posisi pasien) dan berapa biaya
pemeriksaan.
Caranya dapat dengan memberikan brosur atau leaflet atau bisa juga
melalui penjelasan secara langsung oleh dokter sonografer atau sonologist.

44
Sebelum melakukan pemeriksaan USG, pastikan bahwa pasien benar-benar telah
mengerti dan memberikan persetujuan untuk dilakukan pemeriksaan USG atas
dirinya.
Bila akan melakukan pemeriksaan USG transvaginal, tanyakan kembali
apakah ia seorang nona atau nyonya ?, jelaskan dan perlihatkan tentang
pemakaian kondom yang baru pada setiap pemeriksaan (kondom penting untuk
mencegah penularan infeksi).
Pada pemeriksaan USG transrektal, kondom yang dipasang sebanyak dua
buah, hal ini penting untuk mencegah penyebaran infeksi.
Terangkan secara benar dan penuh pengertian bahwa USG bukanlah
suatu alat yang dapat melihat seluruh tubuh janin atau organ kandungan, hal ini
untuk menghindarkan kesalahan harapan dari pasien. Sering terjadi bahwa pasien
mengeluh “Kok sudah dikomputer masih juga tidak dikatahui adanya cacat
bawaan janin atau ada kista indung telur ?” USG hanyalah salah satu dari alat
bantu diagnostik didalam bidang kedokteran. Mungkin saja masih diperlukan
pemeriksaan lainnya agar diagnosis kelainan dapat diketahui lebih tepat dan
cepat.

d. Cara Pemeriksaan USG

Pemeriksaan USG dapat dilakukan dengan dua cara yaitu:

1. Pervaginam
a) Memasukkan probe USG transvaginal/seperti melakukan pemeriksaan
dalam.
b) Dilakukan pada kehamilan di bawah 8 minggu.
c) Lebih mudah dan ibu tidak perlu menahan kencing.
d) Lebih jelas karena bisa lebih dekat pada rahim.
e) Daya tembusnya 8-10 cm dengan resolusi tinggi.
f) Tidak menyebabkan keguguran.

2. Perabdominan
a) Probe USG di atas perut.
b) Biasa dilakukan pada kehamilan lebih dari 12 minggu.

45
c) Karena dari atas perut maka daya tembusnya akan melewati otot perut,
lemak baru menembus rahim.

e. Jenis pemeriksaan USG


1. USG 2 Dimensi
Menampilkan gambar dua bidang (memanjang dan melintang).
Kualitas gambar yang baik sebagian besar keadaan janin dapat ditampilkan.
2. USG 3 Dimensi
Dengan alat USG ini maka ada tambahan 1 bidang gambar lagi yang
disebut koronal. Gambar yang tampil mirip seperti aslinya. Permukaan suatu
benda (dalam hal ini tubuh janin) dapat dilihat dengan jelas. Begitupun
keadaan janin dari posisi yang berbeda. Ini dimungkinkan karena gambarnya
dapat diputar (bukan janinnya yang diputar).
3. USG 4 Dimensi
Sebetulnya USG 4 Dimensi ini hanya istilah untuk USG 3 dimensi
yang dapat bergerak (live 3D). Kalau gambar yang diambil dari USG 3
Dimensi statis, sementara pada USG 4 Dimensi, gambar janinnya dapat
“bergerak”. Jadi pasien dapat melihat lebih jelas dan membayangkan keadaan
janin di dalam rahim.
4. USG Doppler
Pemeriksaan USG yang mengutamakan pengukuran aliran darah
terutama aliran tali pusat. Alat ini digunakan untuk menilai
keadaan/kesejahteraan janin. Penilaian kesejahteraan janin ini meliputi: Gerak
napas janin (minimal 2x/10 menit), Tonus (gerak janin), Indeks cairan ketuban
(normalnya 10-20 cm), Doppler arteri umbilikalis, Reaktivitas denyut jantung
janin.

2. Persiapan untukPemeriksaan Rontgen


a. Pengertian Rontgen Dan Hal-Hal Yang Berkaitan Dengan Rontgen     :
o Rontgen atau dikenal dengan sinar X merupakan pemeriksaan yang
memanfaatkan peran sinar X dalam mendeteksi kelainan pada berbagai organ
diantaranya dada, jantung, abdomen, ginjal, ureter, kandung kemih, tengkorak,
rangka.

46
o Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan radiasi radiasi sinar X yang
sedikit karena tingginya kualitas film sinar X dan digunakan untuk melakukan
skrinning dari berbagai kelainan yang ada pada organ.

b. Indikasi Pemeriksaan Foto Thoraks Secara Khusus    


1) Sesak napas pada bayi:
a. Untuk memastikan ada tidaknya kelainan di thoraksnya (rongga dada)
b. Dokter membutuhkan foto rontgen agar penanganannya tepat.
2) Bayi muntah hijau terus menerus:
a. Bila dokter mencurigai muntahnya disebabkan sumbatan di saluran cerna,
maka pengambilan foto rontgen pun akan dilakukan.
b. Pertimbangan dokter untuk melakukan tindakan ini tidak semata-mata
berdasarkan usia,melainkan lebih pada resiko dan manfaatkannya.
3) Deteksi masalah pada tulang, paru-paru, usus, dan organ dalam lainnya. Bagi
balita sampai kalangan dewasa, foto rontgen lazimnya dimanfaatkan untuk
mendeteksi masalah pada tulang, paru-paru, usus, dan organ dalam lainnya.

c. Persiapan Pemeriksaan
Persiapan sebelum pemeriksaan dengan menggunakan sinar rontgen dapat dibedakan
sebagai berikut:
1. Radiografi konvesional tanpa persiapan:
a. Maksudnya, saat anak datang bisa langsung difoto.
b. Biasanya ini untuk pemeriksaan tulang atau thoraks.
2. Radiografi konvesional dengan persiapan:
Pemeriksaan radiografi konvensional yang memerlukan persiapan di
antaranya untuk foto rontgen perut. Sebelum pelaksanaan, anak diminta untuk
puasa beberapa jam atau hanya makan bubur kecap. Dengan begitu ususnya
bersih dan hasil fotonya pun dapat dengan jelas memperlihatkan kelainan yang
dideritanya.

47
3. Pemeriksaan dengan kontras 
Sebelum dirontgen, kontras dimasukkan ke dalam tubuh dengan cara
diminum, atau dimasukkan lewat anus, atau disuntikkan ke pembuluh vena.

Langkah-langkah untuk melakukan persiapan pemeriksaan Rontgen adalah sebagai


berikut :
1) Lepaskan benda-benda yang terbuatdari logam pada daerah yang akan difoto
(Misal: Foto Thorax, maka melepaskan kalung, bros, dll).
2) Bila pemeriksaan rontgen membutuhkan persiapan (urus-urus), pasien datang ke
radiologi sudahmelakukan persiapan (untuk: BNO/FPA. FPA/UIV, COLON IN
LOOP)
3) Untuk foto ulang/kontrol harap membawa harapmembawa foto sebelumnya
(sebagai perbandingan keberhasilanterapi/pengobatan)
4) Bila anda wanita dalam usia subur, beritahukan petugas apabila anda hamil.
5) Untuk keterangan lebih lanjut, silahkan tanyakan kepada petugas

Persiapan dan Pelaksanaan Pemeriksaan Rontgen


1. Lakukan informed consent
2. Tidak ada pembatasan makanan atau cairan.
3. Pada dada pelaksanaan foto dengan posisi PA (posterior anterior) dapat
dilakukan dengan posisi berdiri dan foto AP (anterior posterior) lateral dapat juga
dilakukan,baju harus diturunkan sampai ke pinggang, baju kertas atau baju kain
dapat digunakan dan perhiasan dapat dilepas, anjurkan pasien untuk tarik nafas
dan menahan nafas pada waktu penambilan foto sinar X.
4. Pada jantung foto PA  dan lateral kiri dapat diindikasi untuk mengevaluasi
ukuran dan bentuk jantung, perhiasan pada leher harus dilepaskan, baju
diturunkan hingga ke pinggang.
5. Pada abdomen pelaksanaan fotoharus dilakukan sebelum pemeriksaan IVP, baju
harus dilepaskan dan digunakan baju kain/kertas. Pasien tidur telentang dengan
tangan menjauh dari tubuh,testis harus dilindungi.
6. Pada tengkorak, sebelum pelaksanaan foto, penjepit rambut harus dilepaskan,
kaca mata gigi palsu sebelum pemeriksaan.
7. Pada rangka bila dicurigai terdapat fraktur anjurkan puasa, dan imobilisasi pada
daerah fraktur.

48
3. Persiapan untuk Pemeriksaan CTG (Kardiotokografi)
1) Pengertian
a. Secara khusus
CTG adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur DJJ pada saat kontraksi
maupun tidak.
b. Secara umum
CTG merupakan suatu alat untuk mengetahui kesejahteraan janin di dalam rahim,
dengan merekam pola denyut jantung janin dan hubungannya dengan gerakan
janin atau kontraksi rahim.

Jadi bila doppler hanya menghasilkan DJJ maka pada CTG kontraksi ibu juga
terekam dan kemudian dilihat perubahan DJJ pada saat kontraksi dan diluar
kontraksi. Bila terdapat perlambatan maka itu menandakan adanya gawat janin
akibat fungsi plasenta yang sudah tidak baik.Cara pengukuran CTG hampir sama
dengan doppler hanya pada CTG yang ditempelkan 2 alat yang satu untuk
mendeteksi DJJ yang satu untuk mendeteksi kontraksi, alat ini ditempelkan selama
kurang lebih 10-15 menit.

2) Indikasi Pemeriksaan CTG


a. Kehamilan dengan komplikasi (darah tinggi, kencing manis, tiroid, penyakit
infeksi kronis,dll)
b. Kehamilan dengan berat badan janin rendah (Intra Uterine Growth Retriction)
c. Oligohidramnion (air ketuban sedikit sekali)
d. Polihidramnion (air ketuban berlebih)

3) Pemeriksaan CTG
a. Sebaiknya dilakukan 2 jam setelah makan.
b. Waktu pemeriksaan selama 20 menit,
c. Selama pemeriksaan posisi ibu berbaring nyaman dan tak menyakitkan ibu
maupun bayi.
d. Bila ditemukan kelainan maka pemantauan dilanjutkan dan dapat segera
diberikan pertolongan yang sesuai.
e. Konsultasi langsung dengan dokter kandungan

49
4. Persiapan untuk Pemeriksaan Laparoskopi
a. Pengertian
Laparoskopi adalah suatu tindakan medis dengan menggunakan teropong
kedalam rongga perut guna membantu menegakkan diagnosis penyakit maupun
mengobati penyakit, proses operasi dapat disaksikan lewat TV monitor dan direkam.
Tindakan ini hanya menimbulkan luka kecil di kulit perut sehingga secara kosmetik
cukup baik.
b. Tindakan dan Persiapan untuk pemeriksaan Laparaskopi
o Tindakan
Tindakan yang dilakukan dengan laparoskopi:
1. menilai status kesuburan
2. memperbaiki posisi rahim
3. memisahkan perlengketan
4. endometriosis (misal: kista coklat)
5. terapi hamil diluar kandungan
6. kistektomi (mengangkat kista)
7. miomektomi (mengangkat miom)
8. histerektomi (pengangkatan rahim)
9. sterilisasi / ligasi
10. terapi abses rongga panggul

o Persiapan
Persiapan sebelum laparoskopi
1. Pasien dirawat minimal 12 jam pra operasi dengan membawa hasil
pemeriksaan laboratorium, rontgen dada, konsultasi ahli jantung dan lainnya
sesuai indikasi.
2. Puasa selama 8 jam sebelum tindakan opersai
3. Kulit bagian pusar dibersihkan dan ditutup dengan kain kassa yang telah
dibasahi dengan alcohol
4. Dilakukan pengosongan usus besar untuk membuang sisa-sisa kotoran
(klisma)
5. Diberikan obat pencahar, premedikasi, antibiotik profilaksis

50
TEKNIK PEMBERIAN OBAT-OBATAN DALAM PRAKTIK KEBIDANAN 1

1.2 Pengertian Dan Pembahasan Teknik Pemberian Obat-Obatan Dalam Praktik

Kebidanan dengan Oral, Sublingual

a. Pemberian Obat Secara Oral

Pemberian obat dengan cara oral merupakan cara pemberian obat melalui mulut dengan

tujuan mencegah, mengobati, mengurangi rasa sakit sesuai dengan efek terapi dari jenis obat.

Alat dan Bahan:

1. Daftar buku obat/ catatan, jadual pemberian obat.

2. Obat dan tempatnya.

3. Air minum dalam tempatnya.

Prosedur Kerja:

1. Cuci tangan.

2. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan.

3. Baca obat, dengan berprinsip tepat obat, tepat pasien, tepat dosis, tepat waktu dan tepat tempat.

4. Bantu untuk meminumkannya dengan cara:

 Apabila memberikan obat berbentuk tablet atau kapsul dari botol, maka tuangkan jumlah

yang dibutuhkan ke dalam tutup botol dan pindahkan ke tempat obat. Jangan sentuh obat

dengan tangan. Untuk obat berupa kapsul jangan dilepaskan pembungkusnya.

 Kaji kesulitan menelan, bila ada jadikan tablet dalam bentuk bubuk dan campur dengan

minuman.

 Kaji denyut nadi dan tekanan darah sebelum pemberian obat yang membutuhkan pengkajian.

51
5. Catat perubahan, reaksi terhadap pemberian, dan evaluasi respon terhadap obat dengan mencatat

hasil pemberian obat.

6. Cuci tangan.

B.Pemberian Obat Per oral

            Pemberian obat per oral merupakan cara yang paling banyak dipakai karena merupakan cara

yang paling mudah, murah, aman, dan nyaman bagi pasien. Berbagai bentuk obat dapat diberikan

secara oral baik dalam bentuk tablet, sirup, kapsul atau puyer. Kelemahan dari pemberian obat

per oral adalah pada aksinya yang lambat sehingga cara ini tidak dapat dipakai pada keadaan

gawat. Obat yang diberikan per oral biasanya membutuhkan waktu 30 sampai dengan 45 menit

sebelum diabsorbsi dan efek puncaknya dicapai setelah 1 sampai 1jam. Rasa dan bau obat yang

tidak enak sering menganggu pasien.

Cara kerja pemberian obat per oral:

Peralatan :

1.      Baki berisi obat- obatan atau kereta sorong obat- obat (tergantung sarana yang ada)

2.      Kartu rencana pengobatan

3.      Cangkir disposable untuk tempat obat

4.      Martil dan lumping penggerus (bila diperlukan).

Tahap kerja :

1.      Siapan peralatan dan cuci tangan

2.      Kaji kemammpuan pasien untuk dapat minum obat per oral (kemapuan menelan, mual dan

muntah, akan dilakuakn penghisapan caiaran lambung, atau tidak boleh makan/ minum).

3.      Periksa kembali order pengobatan (nama pasien,nama dan dosis obat, waktu dan cara

pemberian). Bila ada keragu- raguan laporkan ke perawat jaga atau dokter.

52
4.      Ambil obat sesuai yang diperlukan (Baca order pengobatan dan ambil obat di almari, rak atau

lemari es sesuai yang di perlukan).

5.      Siapkan obat- obatan yang akan diberikan (gunakan teknik asptik, jangan menyentuh obat dan

cocokkan dengan order pengobatan).

6.      Berikan obat pada waktu dan cara yang benar yaitu dengan cara :

 Yakin bahwa tidak pada pasien yang salah

 Atur posisi pasien duduk bila mungkin

 Berikan cairan/ aiar yang cukup untuk membantu menelan, bila sulit menelan

anjurkan pasien meletakkan obat di lidah bagian belakang, kemudian pasien dianjurkan

minum.

 Bila obat mempunyai rasa tidak enak, beri pasien berapa butir es batu untuk diisap

sebelumnya, atau berikan obat dengan menggunakan lumatan apael atau pisang.

 Tetap bersama pasien sampai obat ditelan. 

7.      Catat tindakkan yang telah dilakukan meliputi nama dan dosis obat yang diberikan, setiap

keluhan dan hasil pengkajian pada pasien. Bila obat tidak dapat masuk, catat secara jelas dan

tulis tanda tangan anda dengan jelas.

8.      Kemudian semua peralatan yang dipakai dengan tepat dan benar kemudian cuci tangan.

9.      Lakukan evaluasi mengenai efek obat pada pasien kurang lebih 30 menit sewaktu pemberian.

C. Pemberian Secara Sublingual

Obat dapat diberikan pada pasien secara sublingual yaitu dengan cara meletakkan obat di bawah

lidah. Meskipun cara ini jarang dilakukan, namun perawat harus mampu melakukannya. Dengan

cara ini, aksi kerja obat lebih cepat yaitu setelah hancur di bawah lidah maka obat segera

mengalami absorbsi ke dalam pembuluh darah. Untuk mencegah obat tidak di telan, maka pasien

diberitahu untuk membiarkan obat tetap di bawah lidah sampai obat menjadi hancur dan terserap.

53
Obat yang sering diberikan dengan cara ini adalah nitrogliserin yaitu obat vasodilator yang

mempunyai efek vasodilatasi pembuluh darah.

1.3 Pengertian Dan Pembahasan Teknik Pemberian Obat-Obatan Dalam

Praktik Kebidanan dengan Parenteral

a) Pemberian obat secara parenteral merupakan pemberian obat melalui injeksi atau infuse. Sediaan

parenteral merupakan sediaan steril. Sediaan ini diberikan melalui beberapa rute pemberian, yaitu

Intra Vena (IV), Intra Spinal (IS), Intra Muskular (IM), Subcutaneus (SC), dan Intra Cutaneus (IC).

Obat yang diberikan secara parenteral akan di absorbs lebih banyak dan bereaksi lebih cepat

dibandingkan dengan obat yang diberikan secara topical atau oral. Komplikasi yang seringv terjadi

adalah bila pH osmolalitas dan kepekatan cairan obat yang diinjeksikan tidak sesuai dengan tempat

penusukan sehingga dapat mengakibatkan kerusakan jaringan sekitar tempat injeksi.

Pada umumnya pemberian obat secara parenteral di bagi menjadi 4, yaitu :

1. Pemberian Obat Via Jaringan Intra Kutan

A). Pengertian Intra Kutan

Merupakan cara memberikan atau memasukkan obat ke dalam jaringan kulit. Intra kutan biasanya di

gunakan untuk mengetahui sensivitas tubuh terhadap obat yang disuntikkan.

B). Tujuan

Pemberian obat intra kutan bertujuan untuk melakukan skintest atau tes terhadap reaksi alergi jenis

obat yang akan digunakan. Pemberian obat melalui jaringan intra kutan ini dilakukan di bawah dermis

atau epidermis, secara umum dilakukan pada daerah lengan tangan bagian ventral.

C). Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah :

1. Tempat injeksi

2. Jenis spuit dan jarum yang digunakan

3. Infeksi yang mungkin terjadi selama infeksi

4. Kondisi atau penyakit klien

54
5. Pasien yang benar

6. Obat yang benar

7. Dosis yang benar

8. Cara atau rute pemberian obat yang benar

9. Waktu yang benar

D. Indikasi dan Kontra Indikasi

- Indikasi : bisa dilkakukan pada pasien yang tidak sadar, tidak mau bekerja sama karena tidak

memungkinkan untuk diberikan obat secara oral, tidak alergi. Lokasinya yang ideal adalah lengan

bawah dalam dan pungguang bagian atas.

- Kontra Indikasi : luka, berbulu, alergi, infeksi kulit

E. Alat dan Bahan

1. Daftar buku obat/catatan, jadwal pemberian obat.

2. Obat dalam tempatnya.

3. Spuit 1 cc/spuit insulin.

4. Cairan pelarut.

5. Bak steril dilapisi kas steril (tempat spuit).

6. Bengkok.

7. Perlak dan alasnya.

F). Prosedur Kerja

1. Cuci tangan

2. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan pada pasien

3. Bebaskan daerha yang akan disuntik, bila menggunakan baju lengan panjang terbuka dan keatasan

4. Pasang perlak/pengalas di bawah bagian yang akan disuntik

5. Ambil obat untuk tes alergi kemudian larutkan/encerkan dengan aquades. Kemudian ambil 0,5 cc

55
dan encerkan lagi sampai kurang lebih 1 cc dan siapkan pada bak injeksi atau steril.

6. Desinfeksi dengan kapas alcohol pada daerah yang akan dilakukan suntikan.

7. Tegangkan dengan tangan kiri daerah yang akan disuntik.

8. Lakukan penusukan dengan lubang jarum suntik menghadap ke atas dengan sudut 15-20 derajat di

permukaan kulit.

9. Suntikkkan sampai terjadi gelembung.

10. Tarik spuit dan tidak boleh dilakukan masase.

11. Cuci tangan dan catat hasil pemberian obat/tes obat, waktu, tanggal dan jenis obat.

2. Pemberian Obat Via Jaringan SubKutan

A) . PengertiaMerupakan cara memberikan obat melalui suntikan di bawah kulit yang dapat dilakukan

pada daerah lengan bagian atas sebelah luar atau sepertiga bagian dairi bahu, paha sebelah luar,

daerah dada dan sekitar umbilicus (abdomen).

B) . Tujuan

Pemberian obat melalui jaringan sub kutan ini pada umumnya dilakukan dengan program pemberian

insulin yang digunakan untuk mengontrol kadar gula darah. Pemberian insulin terdapat 2 tipe larutan

yaitu jernih dan keruh karena adanya penambahan protein sehingga memperlambat absorbs obat atau

juga termasuk tipe lambat.

C) . Hal-hal yang perlu diperhatikan

1. Tempat injeksi.

2. Jenis spuit dan jarum suntik yang akan digunakan.

3. Infeksi nyang mungkin terjadi selama injeksi.

4. Kondisi atau penyakit klien.

5. Apakah pasien yang akan di injeksi adalah pasien yang tepat.

6. Obat yang akan diberikan harus benar.

56
7. Dosis yang akan diberikan harus benar.

8. Cara atau rute pemberian yang benar.

9. Waktu yang tepat dan benar.

D) . Indikasi dan kontra indikasi

- Indikasi : bias dilakukan pada pasien yang tidak sadar dan tidak mau bekerja sama, karena tidak

memungkinkan diberikan obat secara oral, bebas dari infeksi, lesi kulit, jaringan parut, tonjolan

tulang, otot atau saras besar di bawahnya, obat dosis kecil yang larut dalam air.

- Kontra indikasi : obat yang merangsang, obat dalam dosis besar dan tidak larut dalam air atau

minyak.

E) . Alat dan bahan

1. Daftar buku obat/catatan dan jadual pemberian obat.

2. Obat dalam tempatnya.

3. Spuit insulin.

4. Kapas alcohol dalam tempatnya.

5. Cairan pelarut.

6. Bak injeksi.

7. Bengkok perlak dan alasnya.

F) . Prosedur kerja

1. Cuci tangan

2. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan

3. Bebaskan daerah yang akan disuntik atau bebaskan suntikan dari pakaian. Apabila menggunakan

pakaian, maka buka pakaian dan di keataskan.

4. Ambil obat dalam tempatnya sesuai dosis yang akan diberikan. Setelah itu tempatkan pada bak

injeksi.

57
5. Desinfeksi dengan kapas alcohol.

6. Regangkan dengan tangan kiri (daerah yang akan dilakukan suntikan subkutan).

7. Lakukan penusukan dengan lubang jarum menghadap ke atas dengan sudut 45 derajat dari

permukaan kulit.

8. Lakukan aspirasi, bila tidak ada darah, suntikkan secara perlahan-lahan hingga habis.

9. Tarik spuit dan tahan dengan kapas alcohol dan spuit yang telah dipakai masukkan ke dalam

bengkok.

10. Catat hasil pemberian, tanggal, waktu pemberian, dan jenis serta dosis obat.

11. Cuci tangan.

3. Pemberian Obat Via Intra Vena :

A.) Pemberian Obat Via Jaringan Intra Vena langsung

1. Pengertian

Cara memberikan obat pada vena secara langsung. Diantaranya vena mediana kubiti/vena cephalika

(lengan), vena sephanous (tungkai), vena jugularis (leher), vena frontalis/temporalis (kepala).

2. Tujuan

pemberian obat intra vena secara langsung bertujuan agar obat dapat bereaksi langsung dan masuk ke

dalam pembuluh darah.

3. Hal-hal yang diperhatikan

> Setiap injeksi intra vena dilakukan amat perlahan antara 50 sampai 70 detik lamanya.

>Tempat injeksi harus tepat kena pada daerha vena

>Jenis spuit dan jarum yang digunakan.

>Infeksi yang mungkin terjadi selama injeksi.

>Kondisi atau penyakit klien.

>Obat yang baik dan benar.

>Pasien yang akan di injeksi adalah pasien yang tepat dan benar.

58
>Dosis yang diberikan harus tepat.

>Cara atau rute pemberian obat melalui injeksi harus benar.

4. Indikasi dan kontra indikasi

- indikasi : bias dilakukan pada pasien yang tidak sadar dan tidak mau bekerja sama karena tidak

memungkinkan untuk diberikan obat secara oral dan steril.

- kontra indikasi : tidak steril, obat yang tidak dapat larut dalam air, atau menimbulkan endapan

dengan protein atau butiran darah.

5. Alat dan bahan

- Daftar buku obat/catatan dan jadual pemberian obat.

- Obat dalam tempatnya.

- Spuit sesuai dengan jenis ukuran

- Kapas alcohol dalam tempatnya.

- Cairan pelarut (aquades).

- Bak injeksi.

- Bengkok.

- Perlak dan alasnya.

- Karena pembendungan.

6. Prosedur kerja

1. cuci tangan.

2. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan.

3. Bebaskan daerah yang akan disuntik dengan cara membebaskan pakaian pada daerah penyuntikan,

apabila tertutup, buka dan ke ataskan.

4. Ambil obat pada tempatnya sesuai dosi yang telah ditentukan. Apabila obat dalam bentuk sediaan

bubuk, maka larutkan dengan aquades steril.

5. Pasang perlak atau pengalas di bawah vena yang akan dilakukan injeksi.

59
6. Tempatkan obat yang telah di ambil ke dalam bak injeksi.

7. Desinfeksi dengan kapas alcohol.

8. Lakukan pengikatan dengan karet pembendung pada bagian atas daerah yang akan dilakukakn

pemberian obat atau minta bantuan untuk membendung daerah yang akan dilakukan penyuntikan dan

lakukan penekanan.

9. Ambil spuit yang berisi obat.

10. Lakukan penusukan dengan lubang menghadap ke atas dengan memasukkan ke pembuluh darah.

11. Lakukan aspirasi, bila sudah ada darah lepaskan karet pembendung dan langsung semprotkan

hingga habis.

12. Setelah selesai ambil spuit dengan menarik secara perlahan-lahan dan lakukan masase pada daerah

penusukan dengan kapas alcohol, spuit yang telah digunakan di masukkan ke dalam bengkok.

13. Catat hasil pemberian, tanggal, waktu, dan dosis pemberian obat.

14. Cuci tangan.

B) . Pemberian Obat Via Jaringan Intra Vena Secara tidak Langsung.

1. Pengertian

Merupakan cara memberikan obat dengan menambahkan atau memasukkan obat ke dalam wadah

cairan intra vena.

2. Tujuan

Pemberian obat intra vena secara tidak langsung bertujuan untuk meminimalkan efek samping dan

mempertahankan kadar terapeutik dalam darah.

3. Hal-hal yang perlu diperhatikan

* Injeksi intra vena secara tidak langsung hanya dengan memasukkan cairan obat ke dalam botol

infuse yang telah di pasang sebelumnya dengan hati-hati.

*Jenis spuit dan jarum yang digunakan.

*Infeksi yang mungkin terjadi selama injeksi.

*Obat yang baik dan benar.

60
*Pasien yang akan di berikan injeksi tidak langsung adalah pasien yang tepat dan benar.

*Dosis yang diberikan harus tepat.

*Cara atau rute pemberian obat melalui injeksi tidak langsung harus tepat dan benar.

4. Indikasi dan kontra indikasi

- indikasi : bias dilakukan pada pasien yang tidak sadar dan tidak mau bekerja sama karena tidak

memungkinkan untuk diberikan obat secara oral dan steril.

- kontra indikasi : tidak steril, obat yang tidak dapat larut dalam air, atau menimbulkan endapan

dengan protein atau butiran darah.

5. Alat dan bahan

1. Spuit dan jarum sesuai ukuran.

2. Obat dalam tempatnya.

3. Wadah cairan (kantung/botol).

4. Kapas alcohol dalam tempatnya

6. Prosedur kerja

1. cuci tangan.

2. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan.

3. Periksa identitas pasien dan ambil obat dan masukkan ke dalam spuit.

4. Cari tempat penyuntikan obat pada daerah kantung. Alangkah baiknya penyuntikan pada kantung

infuse ini dilakukan pada bagian atas kantung/botol infuse.

5. Lakukan desinfeksi dengan kapas alcohol pada kantung/botol dan kunci aliran infuse.

6. Lakukan penyuntikan dengan memasukkan jarum spuit hingga menembus bagian tengah dan

masukkan obat secara perlahan-lahan ke dalam kantong/botol infuse/cairan.

7. Setelah selesai, tarik spuit dan campur larutan dengan membalikkan kantung cairan dengan

perlahan-lahan dari satu ujung ke ujung yang lain.

61
8. Ganti wadah atau botol infuse dengan cairan yang sudah di injeksikan obat di dalamnya. Kemudian

gantungkan pada tiang infuse.

9. Periksa kecepatan infuse.

10. Cuci tangan.

11. Catat reaksi pemberian, tanggal, waktu dan dosis pemberian.

4. Pemberian Obat Via Intra Muskular 

1. Pengertian

Merupakan cara memasukkan obat ke dalam jaringan otot. Lokasi penyuntikan dapat dilakukan pada

daerah paha (vastus lateralis) dengan posisi ventrogluteal (posisi berbaring), dorsogluteal (posisi

tengkurap), atau lengan atas (deltoid).

2. Tujuan

Agar obat di absorbs tubuh dengan cepat.

3. Hal-hal yang perlu diperhatikan

~ Tempat injeksi.

~Jenis spuit dan jarum yang digunakan.

~Infeksi yang mungkin terjadi selama injeksi.

~Kondisi atau penyakit klien.

~Obat yang tepat dan benar.

~Dosis yang diberikan harus tepat.

~Pasien yang tepat.

~Cara atau rute pemberian obat harus tepat dan benar.

4. Indikasi dan kontra indikasi

- indikasi : bias dilakukan pada pasien yang tidak sadar dan tidak mau bekerja sama karena tidak

62
memungkinkan untuk diberikan obat secara oral, bebas dari infeksi, lesi kulit, jaringan parut, tonjolan

tulang, otot atau saras besar di bawahnya.

- kontra indikasi : Infeksi, lesi kulit, jaringan parut, tonjolan tulang, otot atau saraf besar di bawahnya.

5. Alat dan bahan

~Daftar buku obat/catatan dan jadual pemberian obat.

~Obat dalam tempatnya.

~Spuit da jarum suntik sesuai dengan ukuran. Untuk dewasa panjangnya 2,5-3 cm, untuk anak-anak

panjangnya 1,25-2,5 cm.

~Kapas alcohol dalam tempatnya.

~Cairan pelarut.

~Bak injeksi.

~Bengkok.

6. Prosedur kerja

1. cuci tangan.

2. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan.

3. Ambil obat dan masukkan ke dalam spuit sesuai dengan dosisnya. Setelah itu letakkan dalam bak

injeksi.

4. Periksa tempat yang akan di lakukan penyuntikan (perhatikan lokasi penyuntikan).

5. Desinfeksi dengan kapas alcohol pada tempat yang akan dilakukan injeksi.

6. Lakukan penyuntikan :

Pada daerah paha (vastus lateralis) dengan cara, anjurkan pasien untuk berbaring telentang dengan

lutut sedikit fleksi.

Pada ventrogluteal dengan cara, anjurkan pasien untuk miring, tengkurap atau telentang dengan lutut

dan pinggul pada sisi yang akan dilakukan penyuntikan dalam keadaan fleksi.

Pada daerah dorsogluteal dengan cara, anjurkan pasien untuk tengkurap dengan lutut di putar kea rah

dalam atau miring dengan lutut bagian atas dan diletakkan di depan tungkai bawah.

63
Pada daerah deltoid (lengan atas) dilakukan dengan cara, anjurkan pasien untuk duduk atau berbaring

mendatar lengan atas fleksi.

7. Lakukan penusukan dengan posisi jarum tegak lurus.

8. Setelah jarum masuk, lakukan aspirasi spuit, bila tidak ada darah yang tertarik dalam spuit, maka

tekanlah spuit hingga obat masuk secara perlahan-lahan hingga habis.

9. Setelah selesai, tarik spuit dan tekan sambuil di masase daerah penyuntikan dengan kapas alcohol,

kemudian spuit yang telah di gunakan letakkan dalam bengkok.

10. Catat reaksi pemberian, jumlah dosis, dan waktu pemberian.

11. Cuci tangan.

2.3 Pengertian Dan Pembahasan Teknik Pemberian Obat-Obatan Dalam Praktik

Kebidanan dengan Inhalasi

Terapi inhalasi merupakan satu teknik pengobatan penting dalam proses pengobatan

penyakit respiratori (saluran pernafasan) akut dan kronik. Penumpukan mukus di dalam

saluran napas, peradangan dan pengecilan saluran napas ketika serangan asma dapat

dikurangi secara cepat dengan obat dan teknik penggunaan inhaler yang sesuai. 

Setelah sekian lama, terapi inhalasi memainkan peranan penting di dalam merawat

penyakit asma dan penyakit paru lainnya. Obat yang diberikan dengan cara ini absorpsi

terjadi secara cepat karena permukaan absorpsinya luas, terhindar dari eliminasi lintas

pertama di hati, dan pada penyakit paru-paru misalnya asma bronkial, obat dapat diberikan

langsung pada bronkus. Tidak seperti penggunaan obat secara oral (tablet dan sirup) yang

terpaksa melalui sistem penghadangan oleh pelbagai sistem tubuh, seperti eleminasi di hati. 

Terapi inhalasi dapat menghantarkan obat langsung ke paru-paru untuk segera bekerja.

Dengan demikian, efek samping dapat dikurangi dan jumlah obat yang perlu diberikan adalah

64
lebih sedikit dibanding cara pemberian lainnya. Sayangnya pada cara pemberian ini

diperlukan alat dan metoda khusus yang agak sulit dikerjakan, sukar mengatur dosis, dan

sering obatnya mengiritasi epitel paru. 

65
TEKNIK PEMEBERIAN OBAT-OBATAN DALAM PRAKTIK
KEBIDANAN 2

A. Pemberian Obat Pada Vagina


 Pengertian Pemberian Obat pada Vagina
Vagina adalah saluran yang dindingnya dilapisi oleh membran mukosa dan
membentang dari serviks uteri hingga valua dinding vagina normalnya berwarna merah
mudah dan bebas dari rabas dan lesi.
Pemberian obat pada vagina merupakan cara memberikan obat dengan memasukkan
obat melalui vagina, yang bertujuan untuk mendapatkan efek terapi obat dan mengobati
saluran vagina atau serviks. Oleh karena itu, khususnya untuk para wanita perlu mengetahui
hal ini dalam menjaga organ reproduksinya.

 Tujuan Pemberian Obat pada Vagina


- Untuk mengobati infeksi pada vagina
- Untuk menghilangkan nyeri,rasa terbakar, dan ketidaknyamanan pada
vagina
- Untuk mengurangi peradangan
- Mendapat kan efek terapi obat dan mengobati saluran vagina atau serviks.

 Indikasi Pemberian Obat pada Vagina


Pada bagianVaginitis, keputihan vagina dan serviks (leher rahim) karena berbagai
etiologi, ektropia dan parsio dan serviks. Servik sebagai hemoestasis setelah biopsy dan
pengangkatan polip di serviks, erosi uretra eksterna dan popiloma uretra kondiloma
akuminata. Luka akibat penggunaan instrument ginekologi untuk mempercepat proses
penyembuhan setelah elektron koagulasi.

 Kontra Indikasi Obat pada Vagina


Jangan diberikan pada orang yang mempunyai kecenderungan hipersensitif atau
alergi.

66
 Macam-Macam Obat pada Vagina
Macam-macam obat pervagina, yaitu tersedia dalam bentuk krim dan suppositoria
yang digunakan untuk mengobati infeksi lokal. Satu ovula dimasukan sedalam mungkin ke
dalam vagina setiap hari sebelum tidur selama 1-2 minggu boleh dipakai sebagai pengobatan
tersendiri atau sebagai terapi interval pada kontensasi. Pamakaian selama masa haid
(menstruasi) tidak dianjurkan.
Contoh Obat Suppositoria pervagina:
a) Flagil Suppositoria
b) Vagistin Suppositoria
c) Albotil Suppositoria
d) Mistatin Suppositoria
e) Tri Costatis Suppositoria
f) Neoginoksa Suppositoria

 Keuntungan dan Kerugian Pemberian Obat pada Vagina


a) Keuntungan
- Proses penyembuhan lebih cepat, dimana jaringan nekrotik dikoagulasi
dan kemudian dikeluarkan
- Mengobati infeksi pada vagina.
- Mengurangi peradangan
b) Kerugian
Dapat menimbulkan pengeluaran jaringan rusak, dan dalam vagina berupa bau
dan rasa tidak nyaman.

 Persiapan Alat dalam Pemberian Obat pada Vagina


Alat dan bahan yang diperlukan adalah:
1. Sarung tangan sekali pakai
2. Obat dalam tempatnya
3. Kain kasa, kapas
4. Pelumas untuk supositoria

67
5. Handuk bersih
6. Pengalas
7. Gorden

 Prosedur Kerja dalam Pemberian Obat pada Vagina


a) Cek kembali order pengobatan,mengenai jenis pengobatan,waktu,jumlah dan dosis
b) Siapkan klien
- Identifikasikan klien dengan tepat dan tanyakan namanya
- Jaga privasi,dan mintalah klien untuk berkemih terlebih dahulu
- Atur posisi klien berbaring supinasi dengan kaki fleksi dan pinggul
supinasi eksternal
- Tutup dengan selimut mandi dan ekspose hanya pada area perineal saja.
c) Pakai sarung tangan
d) Inspeksi orifisium vagina,catat adanya pengeluaran,bau atu rasa yang tidak nyaman
e) Lakukan tindakan perawatan perinium
f) Suppositoria
- Buka bungkus alumunium foil suppositoria dan oleskan sejumlah pelumas
yang larut dalam air pada ujung suppositoria yang bulat dan
halus.lumaskan jari telunjuk yang telah dipasang sarung tangan dari tangan
dominan.
- Dengan tangan non dominan yang sudah terpasang sarung
tangan,regangkan lipatan labia
- Masukkan suppositoria 8-10 cm sepanjang dinding vagina posterior.
- Tarik jari tangan dan bersihkan pelumas yang tersisa sekitar orifisium dan
labia
- Mintalah klien untuk tetap barada pada posisi tersebut selama 5-10 menit
setelah insersi
- Lepaskan sarung tangan dan buang ketempat yang sesuai
- Cuci tangan
- Kaji respon klien
- Dokumentasikan seluruh tindakan
g) Cream,vagina,jelly atau foam
- Isi aplikator,ikuti petunjuk yang tertera pada kemasan

68
- Regangkan lipatan labia secara parlahan dengan tangan non dominan yang
memakai sarung tangan
- Dengan tangan dominan yang telah memakai sarung tangan ,masukkan
aplikator kedalam vagina sekitar 5 cm.dorong penarik aplikator untuk
mangeluarkan obat hingga aplikator kosong
- Tarik aplikator dan letakkan di atas handuk.bersihkan sisa krim pada labia
dan orivisium vagina
- Buang aplikator atau bersihkan kembali sesuai dengan petunjuk
penggunaan dari pabriknya
- Intruksikan klien untuk tetap berada pada posisi semula selama 5-10 menit
- Lepaskan sarung tangan,buang ditempat semestinya
- Cuci tangn
- Kaji respon klien
- Dokumentasikan semua tindakan

B. Pemberian Obat pada Rectum


 Pengertian pemberian obat pada rectum
Pemberian obat pada rectum merupakan cara memberikan obat dengan memasukkan
obat melalui anus atau rektum, dengan tujuan memberikan efek lokal dan sistemik. Tindakan
pengobatan ini disebut pemberian obat suppositoria yang bertujuan untuk mendapatkan efek
terapi obat, menjadikan lunak pada daerah feses dan merangsang buang air besar.
Merupakan pemberian obat dengan memasukan obat melalui anus dan kemudian
rectum dalam bentuk suppositoria, salep (cream), cairan (larutan).
Suppositoria adalah sediaan padat dalam berbagai bobot dan bentuk, yang diberikan
melalui anus atau rektum. Umumnya berbentuk torpedo dapat meleleh, melunak atau melarut
pada suhu tubuh. Suppositoria dapat bertindak sebagai pelindung jaringan setempat, sebagai
pembawa zat terapetik yang bersifat local atau sistematik. (Farmakope Indonesia Edisi IV).
Suppositoria merupakan obat luar karena penggunaannya tidak melewati mulut dan
tidak menuju ke arah lambung, hanya dimetabolisme dalam darah dan dinding usus.

69
Salep (cream) adalah sediaan yang digunakan untuk pemberian topikal ke area
perianal. Sebagian besar digunakan untuk terapi kondisi lokal pruritis anorektal, inflamasi
dan nyeri atau ketidaknyamanan akibat wasir. Contohnya:
- Astrigents (Zinc oxide)
- Pelindung dan pelicin (cocoa butter dan lanolin)
- Anestesi lokal (Pramoxine HCl)
- Antipruritis serta agen antiinflamasi (Hidrokortisone)
Beberapa produk rectal cream, gel, dan ointment komersial yaitu : ANUSOL ointment,
TRONOLANE cream, ANALPRAM-HC cream, dan DIASTAT Gel.
Cair (larutan) Rektal adalah sediaan rektal yang sangat sedikit digunakan, karena tidak
menyenangkan dan kepatuhan pasien rendah. Dalam banyak kasus, sediaan ini digunakan
untuk memasukkan media atau agen untuk rontgen saluran pencernaan bagian bawah.
Walaupun absorpsi obat dari larutan lebih baik daripada dari suppositoria solid, tetapi
penggunaan jarang sekali. Contoh : ROWASA rectal suspension enema (mesalamine),
ASACOL rectal suspension enema (mesalazine).
Rektal aerosol atau busa rektal aerosol disertai dengan aplikator untuk memudahkan
penggunaannya.
Aplikator dimasukkan ke dalam wadah berisi produk, serta terdapat alat pengatur dosis obat
aerosol. Aplikator dimasukkan ke dalam anus dan obat dapat diberikan melalui rektal.
Beberapa contoh rektal aerosol : PROCTOFOAM HC (Hidrocortisone dan
Pramoxine), CORTIFOAM (Hidrocortisone).

 Tujuan pemberian obat pada rectum


a) Untuk memperoleh efek obat lokal maupun sistemik.
b) Untuk melunakkan feses sehingga mudah untuk dikeluarkan.

 Indikasi pemberian obat pada rectum


Mengobati gejala-gejala rematoid, spondistis ankiloksa, gout akut dan osteoritis.

 Kontra indikasi pemberian obat pada rectum


a) Hipersensitif terhadap ketoprofen, esetosal dan ains lain.

70
b) Pasien yang menderita ulkus pentrikum atau peradangan aktif (inflamasi akut) pada
saluran cerna.
c) Bionkospasme berat atau pasien dengan riwayat asma bronchial atau alergi.
d) Gagal fungsi ginjal dan hati yang berat.
e) Supositoria sebaiknya tidak di gunakan pada penderita piotitis atau hemoroid.
f) Pembedahan rektal.

 Macam-macam obat pada rectum


Pemberian obat yang memiliki efek lokal seperti obat dulcolac suppositoria yang
berfungsi secara local untuk meringankan defekasi. Dan efek sistemik seperti pada obat
aminofilin suppositoria dengan berfungsi mendilatasi bronkus. Pemberian obat suppositoria
ini diberikan tepat pada dinding rectal yang melewati sfinkter ani interna.
Jika dikombinasikan dengan preparat obat oral, maka pada umumnya dosis perhari
adalah 1 supositoria yang dimasukan ke dalam rectum. Jika tidak dikombinasikan, dosis
lazim adalah 1 dosis 2 kali sehari.
Contoh obat supositoria :
a) Kaltrofen supositoria
b) Profeid supositoria
c) Ketoprofen supositoria
d) Dulcolax supositoria
e) Profiretrik supositoria
f) Stesolid supositoria
g) Boraginol supositoria
h) Tromos supositoria
i) Propis supositoria
j) Dumin supositoria

 Keuntungan dan kerugian pemberian obat pada rectum


a) Keuntungan
- Bisa mengobati secara bertahap
- Kalau missal obat menimbulkan kejang, atau panas reaksinya lebih cepat,
dapat memberikan efek local dan sistemik.
Contoh memberikan efek local dulcolax untuk meningkatkan defeksasi.

71
b) Kerugian
- Sakit tidak nyaman daya fiksasi lebih lama dari pada IV.
- Kalau pemasangan obat tidak benar, obat akan keluar lagi.
- Tidak boleh diberikan pada pasien yang mengalami pembedahan rekrtal.

 Persiapan alat dalam pemberian obat pada rectum


Alat dan bahan yang diperlukan adalah:
1. Obat suppositoria dalam tempatnya
2. Sarung tangan.
3. Kain kasa.
4. Vaselin/pelicin/pelumas.
5. Kertas tisu.

 Prosedur kerja dalam pemberian obat pada rectum


1. Cuci tangan
2. Jelaskana prosedur yang akan dilakukan
3. Gunakan sarung tangan
4. Buka pembungkus obat dan pegang dengan kain kasa
5. Oleskan ujung pada obat suppositoria dengan pelicin
6. Regangkan glutea dengan tangan kiri, kemudian masukkan suppositoria dengan
perlahan melalui anus, sfingter anal interna dan mengenai dinding rektal kurang lebih
10 cm pada orang dewasa, 5 cm pada bayi atau anak.
7. Setelah selesai tarik jari tangan dan bersihkan daerah sekitar anal dengan tisu
8. Anjurkan pasien untuk tetap berbaring telentang atau miring selama kurang lebih 5
menit
9. Setelah selesai lepaskan sarung tangan ke dalam bengkok
10. Cuci tangan
11. Catat obat, jumlah dosis, dan cara pemberian

C) Pemberian Obat pada Topical


 Pengertian pemberian obat pada topical

72
Pemberian obat melalui kulit adalah cara memberikan obat pada kulit dengan
mengoleskan yang bertujuan mempertahankan hidrasi, melindungi permukaan kulit,
mengurangi iritasi kulit, atau mengatasi infeksi. Pemberian obat kulit dapat bermacam-
macam seperti krim, losion, aerosol, dan sprei.
Pemberian obat topikal pada kulit merupakan cara memberikan obat pada kulit
dengan mengoleskan obat yang akan diberikan. Pemberian obat topikal pada kulit memiliki
tujuan yang lokal, seperti pada superficial epidermis. Obat ini diberikan untuk mempercepat
proses penyembuhan, bila pemberian per-oral tidak dapat mencapai superficial epidermis
yang miskin pembuluh darah kapiler. Efek sistemik tidak diharapkan pada pemberian obat
topikal pada kulit ini. Apabila terjadi kerusakan kulit setelah penggunaan obat topikal pada
kulit, maka kemungkinan besar efek sistemik akan terjadi.
Pemberian obat topikal pada kulit terbatas hanya pada obat-obat tertentu karena tidak
banyak obat yang dapat menembus kulit yang utuh. Keberhasilan pengobatan topical pada
kulit tergantung pada:
- Umur
- Pemilihan agen topikal yang tepat
- Lokasi dan luas tubuh yang terkena atau yang sakit
- Stadium penyakit
- Konsentrasi bahan aktif dalam vehikulum
- Metode aplikasi
- Penentuan lama pemakaian obat
Penetrasi obat topical pada kulit, melalui: stratum korneum à epidermis à papilla
dermis à aliran darah
Proses penyerapan obat topikal jika diberikan pada kulit, yaitu:
- Lag phase - hanya di atas kulit, tidak masuk ke dalam darah
- Rising - dari stratum korneum diserap sampai ke kapiler dermis darah
- Falling - obat habis di stratum korneum. Jika terus diserap kedalam,
khasiatnya akan semakin berkurang
Kurangnya konsentrasi obat yang sampai ke tempat sasaran bisa karena proses
eksfoliasi (bagian atas kulit mengelupas), terhapus atau juga karena tercuci.
Faktor-faktor yang berperan dalam penyerapan obat, diantaranya adalah:
- Keadaan stratum korneum yang berperan sebagai sawar kulit untuk obat.
- Oklusi, yaitu penutup kedap udara pada salep berminyak yang dapat
meningkatkan penetrasi dan mencegah terhapusnya obat akibat gesekan,

73
usapan serta pencucian. Namun dapat mempercepat efek samping, infeksi,
folikulitis dan miliaria jika penggunaannya bersama obat atau
kombinasinya tidak tepat.
- Frekuensi aplikasi, seperti pada obat kortikosteroid yang kebanyakan
cukup diaplikasikan satu kali sehari, serta beberapa emolien (krim
protektif) yang akan meningkat penyerapannya setelah pemakaian
berulang, bukan karena lama kontaknya.
- Kuantitas obat yang diaplikasi
Jumlah pemakaian obat topikal pada kulit ini harus cukup, jika pemakaiannya
berlebihan justru malah tidak berguna. Jumlah yang akan dipakai, sesuai dengan luas
permukaan kulit yang terkena infeksi (setiap 3% luas permukaan kulit membutuhkan 1 gram
krim atau salep).
Faktor lain seprti peningkatan penyerapan, dapat terjadi apabila:
- Obat dipakaikan dengan cara digosok sambil dipijat perlahan
- Dioles searah dengan pertumbuhan folikel rambut
- Ukuran partikel obat diperkecil
- Sifat kelarutan dan penetrasi obat diperbaiki
- Konsentrasi obat yang diberikan tepat
Contoh obat topikal untuk kulit :
1) Anti jamur    : ketoconazol, miconazol, terbinafin
2) Antibiotik     : oxytetrasiklin
3) Kortikosteroid : betametason, hidrokortison
 Tujuan pemberian obat pada topical
Pemberian obat topikal pada kulit bertujuan untuk mempertahankan hidrasi atau
cairan tubuh untuk mencapai homeostasis, melindungi permukaan kulit, mengurangi iritasi
kulit, menghilangkan gejala atau mengatasi infeksi.

 Macam-macam Obat Topical


a) Lotion
Ini mirip dengan solusi tapi lebih tebal dan cenderung lebih emollient di alam
dibandingakan dengan solusi. Biasanya minyak dicampur dengan air dan lebih sering tidak
memiliki alcohol kurang dari solusi. Bisa lotion pengeringan jika mereka mengandung

74
jumlah alkohol tinggi.Ada variasi yang signifikan dalam bahan dasar lotion generic bila
dibandingkan dengan nama merek lotion.

b) Shake Lotion
Campuran yang memissahkan menjadi dua atau tiga bagian dengan waktu.Sering
minyak dicampur dengan dengan solusi berbasis air. Perlu dikocok kedalam suspensis
sebelum digunakan.

c) Cream
Cream lebih tebal daripada lotion,dan memperrtahankan bentuknya ketika
dikeluarkan darri wadahnya. Hal ini cenderung moderat dalam pelembab kecenderungan.
Untuk produk steroid topical, minyak dalam air emulsi adalah umum. Krim memiliki resiko
yang signifikan untuk menyebabkan sensitisasi imunologi karena pengawet. Ini memiliki
tingkat penerimaan yang tinggi oleh pasien. Ada variasi besar dalam bahan, komposisi,
pH,dan toleransi anatara merek generic.

d) Salep
Adalah sebuah homogeny kental, semi padat persiapan, paling sering,
tebal,berminyak dengan viskositas tinggi,yang dimaksudkan untuk aplikasi eksternal untuk
kulit atau selaput lendir. Mereka digunakan sebagai pelembab atau untuk aplikasi bahan aktif
untuk kulit untuk tujuan perlindungan, terapi, atau profilakssis dan dimana tingkat oklusi
yang diinginkan. Salep digunakan topical pada berbagai permukaan tubuh, ini termasuk kulit
dan selaput lender dari mata (salep mata), vagina, anus, dan hidung. Sebuah salep mungkin
atau tidak mungkin obat.
Salep biasanya sangat pelembab dan baik untuk  kulit kering. Mereka memiliki  resiko
rendah sensitisas akibat beberapa bahan yang luar minyak dasar atau lemak,dan resiko iritasi
rendah. Ada sedikit biasanya variabelitas antarra merrek obat generic dan obat-obatan name
brand. Mereka sering tidak disukai oleh pasien karena sifat berminyak.Kendaraan dari sebuah
salep dikenal dengan basis salep. Pemilihan bassa tergantung pada indikasi klinis untuk salep.
Berbagai jenis basis salep adalah  : Hydrrocarbon bases,eg hard paraffin,soft paraffin
Hidrrokarbon, basis,misalnya paraffin keras, paraffin lunak, Absorption bases, eg wool
fat,beeswax Penyerapan bases, misalnya lemak wol, beeswax,water soluble bases, eg
macrogols 200,300,400 Basis larut dalam air,misalnya macrogols 200,300,400 Emulsifiying

75
bases, eg emulsifying wax, centrimide Emulsfying basis, misalnya lilin, emulsffyinng,
centrimide.
Minyak nabati misalnya  minyak zaitun, minyak arachis, minyak kelapa obat-obatan
yang terrsebar di pangkalan dan kemudian dapat dibagi setelah penetrasi obat ke dalam kulit.
Salep dirumuskan dengan hidrofobik, hidrofilik, atau air emulsifying basis untuk memberikan
persiapan yang tidak saling larut,larut, atau emulsiffiable dengan sekresi kulit. Mereka juga
bias berasal dari hidrokarbon(lemak),penyerapan,air-dilepas,atau basa larut dalam air.

 Indikasi pemberian obat pada topical


Indikasi: infeksi lokal, dermatitis, psoriasis ringan, keloid, parut hipertrofik, alopesia
areata, aknekistik dan prurigo

 Kontra indikasi pemberian obat pada topical


Kontraindikasi: ulkus

 Keuntungan dan kerugian pemberian obat pada topical


a) Keuntungan
- Untuk efek lokal, mencegah first-pass effect serta meminimalkan efek
samping sistemik.
- Untuk efek sistemik, menyerupai cara pemberian obat melalui intravena
(zero-order)
b) Kerugian
Secara kosmetik kurang menarik dan Absorbsinya tidak menentu

 Persiapan alat dalam pemberian obat pada topical


1) Troli
2) Baki dan alas
3) Perlak dan alas
4) Bengkok (nierbekken)
5) Air DTT dalam kom
6) Kapas
7) Sarung tangan
8) Kassa kecil steril (sesuai kebutuhan)

76
9) Kassa balutan, penutup plastik dan plester (sesuai kebutuhan) 
10) Lidi kapas atau tongue spatel
11) Obat topikal sesuai yang dipesankan (krim, salep, lotion, lotion yang mengandung
suspensi, bubuk atau powder, spray aerosol)
12) Buku obat (ISO)
13) Baskom
14) Larutan klorin 0.5% dalam tempatnya
15) Sabun cuci tangan 
16) Lap handuk
17) Tempat sampah basah dan kering

 Prosedur kerja dalam pemberian obat pada topical


1) Cuci tangan.
2) Jelaskan pada pasien mengenai prosedur yang akan dilakukan.
3) Pasang pengalas dibawah daerah yang akan dilakukan tindakan.
4) Gunakan sarung tangan.
5) Bersihkan daerah yang akan diberi obat dengan air hangat (apabila terdapat kulit
mengeras) dan gunakan pinset anatomis.
6) Berikan obat sesuai dengan indikasi dan cara pemakaian seperti mengoleskan dan
mengompres.
7) Kalau perlu, tutup dengan kain kasa atau balutan pada daerah yang diobati.
8) Cuci tangan.
9) Evaluasi dan dokumentasi

77
Teknik Pemberian Obat dalam Praktik Kebidanan 3

A. Teknik Pemberian Obat Melalui Mata


Pengertian, Jenis-Jenis Dan Tujuan
Banyak klien menerima resep obat-obatan oftalmic untuk kondisi mata seperti
glaukoma dan untuk terapi setelah suatu pengobatan, misalnya ekstraksi katarak. Kebahyakan
yang menerima obat mata ialah klien yang sudah usia lanjut. Masalah yang berhubungan
dengan usia termasuk penglihatan yang buruk, tremor tangan dan kesulitan dalam memegang
atau menggunakan botol obat, mempengaruhi kemudahan lansia menggunakan obat mata
secara mandiri. Perawat atau bidan memberi penjelasan kepada klien dan anggota keluarga
tentang teknik yang digunakan dalam pemberian obat mata. (Donnelly. 1987) menganjurkan
untuk memperlihatkan klien setiap langkah prosedur pemberian obat tetes mata untuk
meningkatkan kepatuhan klien.
Golongan-golongan obat mata
a.      Obat mata golongan antiseptik dan antiinfeksi
b.      Obat mata golongan kortikosteroid
c.      Obat mata lainnya
Tujuan diberikannya obat mata
   Persiapan pemeriksaan struktur internal dengan mendilatasi pupil mata, untuk pengukuran
refraksi lensa dengan cara melemahkan otot lensa,
   Menghilangkan iritasi mata
   Obat mata golongan antiseptik dan antiinfeksi digunakan pada gangguan mata karena adanya
infeksi oleh mikroba, masuknya benda asing ke dalam kornea mata atau kornea mata yang
luka/ ulkus.
   Obat mata kortikosteroid digunakan untuk radang atau alergi mata atau juga bengkak yang
bisa disebabkan oleh alergi itu sendiri atau oleh virus. Karena infeksi mata oleh virus itu
resisten terhadap pengobatan biasanya digunakan obat mata golongan kortikosteroid untuk
menghilangkan gejalanya saja. Kalaupun dengan antiseptik hal itu menghindari infksi
sekunder.
   Gabungan antiseptik dengan kortikosteroid digunakan untuk masalah mata yang disebabkan
oleh mikroba dan dengan keluhan bengkak/ radang juga gatal atau alergi.
   Digunakan sehabis operasi yang mengalami iritasi pada mata

78
Prinsip pemberian obat mata
1.  Menghindari obat apapun yang langsung mengenai kornea karena kornea banyak memiliki
serabut nyeri
2.  Menghindari menyentuh kelopak mata atau struktur mata yang lain dengan alat tetes mata
atau tube salep. Karena resiko penularan sangatlah tinggi
3.   Perawat atau bidan menggunakan obat mata hana untuk mata yang terinfeksi.

Indikasi dan kontra indikasi pemberian obat pada mata


Indikasi:
Biasanya obat tetes mata digunakan dengan indikasi sebagai berikut
   Meredakan sementara mata merah akibat iritasi ringan yang dapat disebabkan oleh debu,
sengatan sinar matahari, pemakaian lensa kontak, alergi atau sehabis berenang.
   Antiseptik dan antiinfeksi.
    Radang atau alergi mata.

Kontraindikasi:
Obat tetes mata yang mengandung nafazolin hidroksida tidak boleh digunakan pada penderita
glaukoma atau penyakit mata lainnya yang hebat, bayi dan anak. Kecuali dalam pegawasan
dan nasehat dokter.
Persiapan Alat dan Bahan
Alat dan Bahan:
1. Obat dalam tempatnya dengan penetes steril atau berupa salep.
2. Pipet.
3. Pinset anatomi dalam tempatnya.
4. Korentang dalam tempatnya.
5. Plestier.
6. Kain kasa.
7. Kertas tisu.
8. Balutan.
9. Sarung tangan.
10. Air hangat/kapas pelembab.
a.       tetes atau salep mata
1.      botol obat dengan tetes mata steril atau tube salep.

79
2.      Patch dan plester mata (bila perlu).
3.      Kartu, format, atau huruf cetak nama obat.
4.      Bola kapas atau tisu.
5.      Wadah cuci berisi air hangat atau lap.
6.      Sarung tangan sekali pakai.
b.      cakram intraokuler
1.Cakram obat.
2. Kartu, format, atau huruf cetak nama obat.
3. Sarung tangan sekali pakai.

Prosedur kerja
No Langkah Rasional Gambar
.
1. Tinjau kembali program obat Memastika kelepatan
dari dokter, termasuk nama pemberian obat.
klien, nama obat, konsentrasi
obat, jumlah tetesan obat (jika
dalam bentuk cair), waktu dan
mata (kanan atau kiri) yang
menerima obat.
2. Cuci tangan Mengurangi penularan
mikroorganisme.

3. Siapkan peralatan dan suplai Tetes mata tersedia


c.       tetes atau salep mata dalam bemtuk botol
7.      botol obat dengan tetes mata plastik atau kaca.
steril atau tube salep. Salep dignakan dalam
8.      Patch dan plester mata (bila tube kecil.
perlu).
9.      Kartu, format, atau huruf
cetak nama obat.
10.  Bola kapas atau tisu.
11.  Wadah cuci berisi air hangat
atau lap.
12.  Sarung tangan sekali pakai.

80
d.      cakram intraokuler
4.      cakram obat.
5.      Kartu, format, atau huruf
cetak nama obat.
6.      Sarung tangan sekali pakai.
4. Periksa atau identifikasi klien Memastikan klien yang
dengan membaca gelang menerima obat benar.
identifikasi atau menanyakan
nama klien
5. Jika tercapai patch mata,
lepaskan.
6. Kaji kondisi stuktur mata luar. Memberi data dasar
yang selanjutnya
digunakan untuk
menentukan apakah
timbul respon lokal
terhadap pengobatan
juga mengindikasikan
perlunya
membersihkan mata
sebelum obat
diberikan.
7. Periksa apakah klien alergi Klien akan megalami
terhadap lateks, jika alergi respons
gunakan sarung tangan yang hipersensitivitas jika
buka lateks. sarung tangan
menyentuh membran
mukosa.
8. Jelaskan prosedur kepada Klien sering merasa
klien. cemas tentang obat
yang dimasukan ke
mata karena adanya
kemungkinan
ketidaknyamanan.
9. Atur suplai di sisi tempat tidur Memastikan prosedur

81
dan gunakan sarung tangan. yang lancar dan teratur.
Sarunng tangan
mengurangi pajanan
terhadap drainase yang
infeksius.
10. Minta klien untuk berbaring Memudahkan obat
terlentang atau duduk dikursi dimasukkan dan
dengan kepala sedikit memudahkan drainase
hiperekstensi. yang ekluar dari mata.
11. Jika ada krusta (keropeng) Krusta atau drainase
atau drainase disepanjang merupakan tempat
kelopak mata atau kantus mikroorganisme
dalam, buang dengan berkumpul.
perlahan. Basahi kerak yang Membasahi krusta
kering dan sulit dipindahkan akan mempermudah
dengan menggunakan kain pembuangannya,
atau bola kapas lembab dengan demikian
selama beberapa menit. Selalu mencegah tekanan
mengusap dari kantus ke langsung pada mata.
kantus luar.
12. Masukan obat tetes, salep atau Kapas atau tisu
cakram: mengabsorpsi obat
a.       Jika memasukkan obat tetes yang keluar dari mata.
atau salep, dengan tangan Teknik ini
yang tidak dominan, pegang memenjankan kantong
bola kapas atau tisu pembersih konjungtiva. Menarik
pada tulang pipi klien tepat di kembali (retraksi)
bawah kelopak mata. lingkaran tulang mata.
b.      Jika memasukan obat tetes Mencegah tekanan dan
atau salep, dengan tisu atau trauma pada bola mata
kapas diletakkan dibawah dan mencegah jari
kelopak mata bawah, tekan menyentuh mata.
kebawah dengan lembut, Tindakan ini menarik
dengan ibu jari atau telunjuk kornea ke atas dan

82
pada lingkaran tulang mata. menjauhi kantong
c.       Minta klien melihat konjungtiva dan
kelangit-langit. mengurangi stimulasi
refleks mengedip.
d.      Memasukkan tetes mata: Membantu mencegah
1.      Dengan tangan yang alat tetes mata
dominan pada dahi klien, menyentuh struktur
pegang alat tetes mata berisi mata secara tidak
obat kira-kira sampai 2 cm sengaja sehingga
diatas kantong konungtiva. mengurangi resiko
2.      Teteskan sejumlah tetesan cedera pada mata dan
yang diresepkan ke dalam perpindahan infeksi ke
kantong konjungtiva. alat tetes mata. Obat
3.      Jika klien mengedip atau mata sudah disterilkan.
menutup mata atau jika tetes Kantong konjungtiva
mata jatuh dibatas mata luar, biasanya menampung 1
ulangi prosedur. sampai 2 tetes.
4.      Ketika memberikan obat Memasukkan tetesan
yang dapat menimbulkan efek ke dalam kantong mata
sistemik, lindungi jari anda memungkinkan
dengan tisu bersih dan beri distribusi yang merata.
tekanan lembut pada duktus Efek terapeutik
nasolakrimalis klien selama diperoleh hanya jika
30 sampai 60 detik. tetesan mata masuk ke
5.      Setelah memasukkan obat, kantong konjungtiva.
minta klien untuk menutup Mencegah aliran obat
mata dengan lembut. berlebihan ke dalam
saluran hidung dan
faring. Mencegah
absorpsi ke sirkulasi
sistemik.
Membantu distribusi
obat, mendorong obat
dari kantong

83
konjungtiva
e.       Memasukkan salep mata: Obat didistribusi
1.      Dengan memegang aplikator merata dalam mata
salep diatas batas kelopak mata dan batas kelopak
mata, berikan aliran salep tipis mata.
mrata disepanjang sisi dalam Mengurangi refleks
kelopak mata bawah pada mengedip selama
konjungtiva. pemberian salep.
2.      Minta klien melihat Mendistribusikan obat
kebawah. merata dalam mata dan
3.      Berikan aliran tipis salep batas kelopak mata
konjungtiva di sepanjang Mendistribusikan obat
kelopak atas mata. lebih lanjut tanpa
4.      Minta klien menutup mata menimbulkan trauma
dan menggosok kelopak pada mata.
dengan lembut dalam gerakan Meningkatkan rasa
memutar menggunakan kapas. nyaman dan mencegah
5.      Jika terdapat kelebihan obat trauma pada mata
pada kelopak mata, seka obat Mengurangi peluang
tersebut dengan lembut dari infeksi
bagian dalam ke bagian luar
kantus.
6.      Jiak klien menggunakan
patch mata, kenakan dengan
menempatkan patch  yang
bersih diatas  mata yang
diobati, sehingga yang bersih
diatas  mata yang diobati,
sehingga yang bersih diatas 
mata yang diobati, sehingga
yang bersih diatas  mata yang
diobati, sehingga yang bersih
diatas  mata yang diobati,
sehingga yang bersih diatas 

84
mata yang diobati, sehingga
yang bersih diatas  mata yang
diobati, sehingga seluruh mata
tertutup. Plester dengan baik
tanpa menekan mata.
f.       Memasang  cakram inokuler Memungkinkan
1.      Buka kemasan berisi cakram perawat atau bidan
obat dengan lembut, tekan menginspeksi adanya
cakram pada ujung jari kerusakan atau
sehingga cakram melekat pada deformitas cakram
jari. sebelelum diberikan.
2.      Dengan tangan yang lain, Menyiapkan kantong
tarik kelopak mata bawah konjungtiva untuk
klien menjauhi matanya. menerima cakram obat.
Minta klien melihat ke atas. Menjamin pengantaran
3.      Tempatkan cakram didalam obat.
kantong konjungtiva, sehingga Menjamin keakuratan
cakram mengapung pada pengantaran obat.
sklera antara iris dan kelopak
mata bawah.
4.      Tarik kelopak mata bawah
klien keluar dan keatas
cakram. Seharusnya tidak bisa
melihat cakram pada saat ini.
Ulangi tindakan ini jika dapat
melihat cakram obat.
13. Keluarkan cakram intraokuler Mengurangi penularan
a.       Cuci tangan dan kenakan mikroorganisme.
sarung tangan. Menyiapkan klien
b.      Jelaskan prosedur kepada untuk menjalani
klien. prosedur.
c.       Dengan lembut tarik
kelopak mata bawah klien
untuk memajankan cakram.

85
d.      Dengan jri telunjuk dan ibu
jari tangan yang lain, jepit
cakram obat dan angkat keluar
dari mata klien.
14. Buang  suplai yang kotor ke Mempertahankan
dalam wadah yang tepat. lingkungan yang rapi
Lepas dan buang sarung pada sisi tempat tidur
tangan dan cuci tangan. dan mengurangi
penularan
mikroorganisme.
15. Observasi resons klien Mengevaluasi reaksi
terhadap pengobatan, terhadap obat.
perhatikan tanda dan gejala
efek sistemik yang potensial
dan kondisi mata.
16. Catat konsentrasi obat, jumlah Pencatatan yang tepat
tetesan atau cakram waktu pada waktunya
pemberian dan mata yang mencegah kesalahan
menerima obat (kanan atau dalam pemberian obat
kiri). (misal, pengulangan
pemberian dosis obat
atau pemberian obat
terlewat)

Secara singkat, teknik pemberian obat mata jenis tetes dan salep adalah sebagai berikut:
Cara Pemberian Tetes Mata
1. Cuci Tangan
2. Beritahu klien untuk berbaring atau duduk dan melihat ke atas.
3. Perlahan tarik kulit kelopak mata yang sakit ke bawah sehingga terlihat sakus
konjungtiva.

86
4. Teteskan sebanyak yang diresepkan ke tengah-tengah sakus. Penetesan langsung pada
kornea dapat menimbulkan rasa tidak enak dan atau kerusakan. Usahakan supaya
penetesan tidak menyentuh lipatan mata atau bulu mata.
5. Dengan lembut tekan duktus lakrimalis dengan bola kapas atau tissue steril 1-2 menit
setelah penetesan untuk mencegah absorpi sistemik melalui kanalis lakrimalis.
6. Klien harus menjaga agar mata tetap tertutup selama 1-2 menit setelah penetesan
untuk meningkatkan absorpsi.
Cara Pemberian Salep Mata
1. Cuci tangan
2. Beritahu klien untuk berbaring atau duduk dan melihat ke atas.
3. Perlahan tarik kulit kelopak mata yang sakit ke bawah sehingga terlihat sakus
konjungtiva.
4. Pencet ujung strip salep (kira-kira ¼ inci kecuali ada petunjuk lainnya) pada sakus
konjungtiva. Pemberian obat langsung pada kornea dapat menimbulkan rasa tidak
enak dan atau kerusakan.
5. Beritahu klien untuk menutup mata selama 2-3 menit.
6. Beritahu klien bahwa penglihatannya akan kabur sebentar.
7. Berikan pada waktu tidur, jika memungkinkan.

B. Teknik Pemberian Obat Melalui Epidural


Teknik ini dilakukan dengan memasukkan obat keruang epidural diruas tulang
belakang dengan menggunakan suntikan dan selang kateter. Obat akan bekerja 30-45 menit
setelah penyuntikan. Masa kerja obat bius inni lebih pendek, yaitu sekitar 3-4 jam karena
tidak menggunakan morfin. Kateter terus digunakan sampai proses oprasi cesar selesai.
Gunanya untuk mengalirkan obat keruang epidural kembali jika diperkirakan masa kerja obat
telah berakhir, sementar proses oprasi belum selesai.
Keterampilan dokter ahli anestesi mutlak diperlukan. Bila tidak terampil, ibu
bersalinlah yang banyak menanggung penderitaan. Karena, pada waktu proses pemberian
obat bius, banyak hal rawan bisa terjadi seperti tidak mampu menemukan ruang epidural,
kesalahan memasang kateter, dan pemberian dosis obat bius.
Salah satu pertanda bahaya adalah adanya bercak darah didaerah kateter. Ini pertanda
bahwa kemungkinan besar obat bius masuk kepembuluh darah. Akibatnya, calaon ibu
mungkin akan menderita gejala keracunan, seperti kejang dan henti nafas. Keracunan juga
disebabkan dosis obat. Dibandingkan ILA, dosis obat anestesi epidural sangat tinggi. Efek
samping yang lainnya adalah timbulnya rasa sakit kepala setelah oprasi.
Untuk menjaga oprasi berjalan dengan aman, pelaksanaan anestesi epidural harus
ditunjang dengan perlengkapan bedah lain seperti alat bantu nafas maupun alat monitor
jantung dan pembuluh darah. Hal ini disebabkan, obat bius bisa mengancam saraf pada
jantung dan pembuluh darah, sistem pernapasan, sistem pencernaan, dan kandung kemih.

87
Mekanisme kerja epidural sebagai berikut. Tulang punggung terdiri dari tulang
belakang yang terpisah-pisah. Tulang belakang melindungi urat saraf tulang belakang yang
membentang dari pinggul hingga ke pangkal leher. Urat saraf tulang belakang terdiri dari
jutaan serabut saraf. Semuanya terhubung ke otak dan ke seluruh bagian tubuh dengan rute
berbeda-beda. Secara fungsi, serabut saraf dibagi dua jenis, yaitu serabut urat saraf sensoris
dan serabut urat saraf motoris. Serabut saraf sensoris berfungsi menyampaikan pesan, seperti
rasa sakit, panas, dan dingin dari tubuh ke otak. Serabut saraf motoris bekerja sebaliknya,
yaitu menyampaikan pesan dari otak ke bagian tubuh, antara lain “menyuruh” tubuh bergerak
atau berkontraksi.
Pada pembiusan epidural, bagian yang dibius atau diberi penawar sakit adalah urat
saraf sensoris sehingga sakit saat kontraksi di rahim tidak sampai ke otak. Akibatnya, ibu pun
tidak merasakan sakit. Namun, pembiusan ini tidak boleh terkena urat saraf motoris sehingga
otak tetap dapat “memerintahkan” otot-otot rahim berkontraksi.
Di punggung, urat saraf dikelilingi selubung berisi air yang disebut dura. Antara dura
dengan tulang terdapat rongga yang dilalui serabut urat saraf menuju dan dari berbagai
bagian tubuh yang disebut epidura. Pembiusan dilakukan dengan memasukkan jarum kecil
berisi tabung (kateter) yang sangat kecil melalui otot punggung ibu hingga ke epidura, dan
dengan sangat hati-hati menarik ujung jarum hingga tabung polythene tertinggal di dalam
rongga epidura. Sekarang, dokter dapat memberi pembiusan melalui tabung di dalam rongga
tersebut.
Pembiusan epidural harus dilakukan dokter spesialis anestesi. Ketika memasukkan
jarum suntik, ibu diminta menekuk seperti posisi bayi dalam perut. Setelah itu, ibu harus
diawasi karena dapat mengalami efek samping, seperti mual, kejang, dingin, sakit kepala,
hingga penurunan tekanan darah sampai titik sangat rendah yang tentu tidak balk bagi ibu
maupun janin. Untuk mengatasi penurunan tekanan darah, kadang dokter menyertai
pembiusan epidural dengan suntikan 500 ml cairan ke pembuluh darah sebelum pembiusan.
Selain itu, karena tidak merasakan sakit akibat suntikan epidural, mungkin ibu
menjadi sulit untuk membantu kelahiran bayi dengan mengandalkan otot perutnya dan
mendorong ketika terjadi kontraksi rahim. Hal ini menyebabkan persalinan tahap kedua lebih
lama dibanding ibu yang tidak mendapat epidural. Ada kemungkinan, bayi dikeluarkan
dengan bantuan forsep atau vacum.

Di bawah ini keuntungan penggunaan epidural.

 Delapan puluh persen ibu berhasil mengatasi rasa sakit.


 Tidak mengacaukan pikiran.
 Membantu dalam mengontrol tekanan darah tinggi.
 Mengembalikan kemampuan ibu mengontrol persalinan sehingga mengembalikan
rasa percaya diri.
 Kini, epidural lebih canggih. Penggunaannya tidak memberi efek kebas pada kaki dan
tangan.
Kerugian penggunaan epidural:

 Mati rasa hanya pada sebagian tubuh, di perut tidak mendapat efek pembiusan
 Menggigil dan harus di tempat tidur.

88
 Menggunakan infus karena dapat menurunkan tekanan darah dan dapat berefek pada
suplai oksigen ke bayi. Cara mencegahnya dengan menambah volume darah agar
tekanan darah tetap normal.
 Ibu kencing secara otomatis karena tidak dapat memperkirakan kapan saat ia
kencing.
 Ibu merasa tidak sepenuhnya sadar. Dengan terpasangnya tiga tabung di tubuhnya,
ibu harus diberi tahu saatnya mengejan jika efek pembiusan belum hilang pada tahap
melahirkan.
 Epidural dapat memperpanjang waktu persalinan, khususnya fase mengejan dan
melahirkan bayi.
 Denyut jantung bayi harus dimonitor sepanjang waktu.
 Ada kemungkinan penggunaan forsep atau vacum untuk membantu kelahiran bayi
karena seringkali epidural membuat bayi tidak dapat bergerak ke posisi yang pas
untuk dikeluarkan.
 Pada saat jarum epidural dicabut dan tabungnya dilepas, kemungkinan ada kebocoran
cairan rongga epidura. Cairan ini dapat bergesekan dengan serabut saraf tulang
belakang. Padahal, pergesekan sedikit saja dapat menimbulkan sakit kepala berat. Hal
ini dapat diatasi dengan mengambil sedikit darah dari tangan ibu. Biasanya, sehari
setelah kelahiran bayi dan menyuntikkannya ke punggung untuk menutup lubang
akibat jarum epidural.
 Beberapa ibu mendapat masalah berkemih setelah menggunakan epidural.
 Epidural tidak dapat digunakan pada persalinan di rumah.
Tips-tips penggunaan epidural:
1. Usahakan diam tidak bergerak saat ahli anestesi memasang epidural di punggung ibu.
Posisi ibu dapat berbaring menyamping atau menekuk seperti posisi bayi dalam
perut. Konsentrasilah pada pernapasan. Tarik napas panjang melalui hidung,
kemudian keluarkan perlahanlahan melalui mulut. Pegang tangan pendamping
persalinan dan pertahankan kontak mata dengannya.
2. Diskusikan dengan dokter kemungkinan melepas epidural pada tahap mengejan. Jika
ibu dapat merasakan kontraksi saat itu, ibu lebih efektif mengejan.

C. Teknik Pemberian Obat Melalui Zad Bath


Pemeriksaan suhu merupakan salah satu pemeriksan yang digunakan untuk menilai
kondisi metabolisme dalam tubuh, dimana tubuh menghasilkan panas secara kimiawi melalui
metabolisme darah
Kompres atau Zid bath adalah bantalan dari linen atau meteri lainnya yang dilipat-
lipat, dikenakan dengan tekanan; kadang-kadang mengandung obat dan dapat bersih ataupun
kering, panas ataupun dingin (Kamus Dorland, 1996)
Zid Bath atau kompres dibagi menjadi 2 :
• Kompres Hangat
Memberikan rasa hangat pada daerah tertentu dengan menggunakan cairan atau alat yang
menimbulkan hangat pada bagian tubuh yang memerlukan. Kompres hangat diberikan satu
jam atau lebih.
• Kompres Dingin

89
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kompres adalah kain pembebat yang dibasahi
dengan air dingin (es, dan sebagainya) untuk menyejukkan kepala dan sebagainya.
Kompres panas dan dingin mempengaruhi tubuh dengan cara yang berbeda.
1. Kompres dingin mempengaruhi tubuh dengan cara :
a. Menyebabkan pengecilan pembuluh darah (Vasokonstriksi).
b. Mengurangi oedema dengan mengurangi aliran darah ke area.
c. Mematirasakan sensasi nyeri.
d. Memperlambat proses kehidupan.
e. Memperlambat proses inflamasi/peradangan(bengkak,kemerahan )
f. Mengurangi rasa gatal.
2. Kompres Panas (diatermi) mempengaruhi tubuh dengan cara :
a. Memperlebar pembuluh darah (Vasodilatasi).
b. Memberi tambahan nutrisi dan oksigen untuk sel dan membuang sampah-
sampah tubuh.
c. Meningkatkan suplai darah ke area-area tubuh.
d. Mempercepat penyembuhan.
e. Dapat menyejukkan
f. Pemberian kompres panas/hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal
ke hypothalamus melalui sumsum tulang belakang. Ketika reseptor yang peka
terhadap panas dihypotalamus dirangsang, system effektor mengeluarkan
sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi perifer. Perubahan ukuran
pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata dari
tangkai otak, dibawah pengaruh hypotalamik bagian anterior sehigga terjadi
vasodilatasi (Wolf, 1984). Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan
pembuangan/kehilangan energi/panas melalui kulit meningkat.
1. Tujuan Kompres
Tujuan pemberian kompres :
a. kompres panas
Pada umunya bertujuan untuk meningkatkan perbaikan dan pemulihan jaringan. Tujuan
khususnya yaitu :
• memperlancar sirkulasi darah
• mengurangi rasa sakit
• memberi rasa hangat, nyaman, dan tenang pada klien
• merangsang peristatik usus
• memperlancar pengeluaran eksudat

90
b. Kompres dingin
• menurunkan suhu tubuh
• mencegah peradangan meluas
• mengurangi kongesti (akumulasi abnormal atau berlebihan dari cairan tubuh)
• mengurangi perdarahan setempat
• mengurangi rasa sakit pada daerah setempat

Kompres panas dan dingin pada tubuh bertujuan untuk meningkatkan perbaikan dan
pemulihan jaringan. Bentuk kompres termal biasanya bergantung pada tujuannya. Kompres
dingin pada bagian tubuh akan menyerap panas dari area tersebut; kompres panas, tentu saja
akan menghangatkan area tubuh tersebut. Kompres panas atau dingin menghasilkan
perubahan fisiologis suhu jaringan, ukuran pembuluh darah, tekanan darah kapiler, area
permukaan kapiler untuk pertukaran cairan dan elektrolit, dan metabolisme jaringan. Durasi
kompres juga mempengaruhi respons.
2. Penggunaan Kompres
A. Penggunaan Kompres Hangat

 Penanganan demam bukanlah dengan dikompres air dingin seperti yang biasa
dilakukan dahulu kala karena orang demam jika dikompres dingin akan lebih demam
lagi saat kompres dihentikan. Karena pada saat dikompres dingin, pusat pengatur
suhu menerima sinyal bahwa suhu tubuh sedang dingin maka tubuh harus segera
dihangatkan. Jadi justru akan bertentangan dengan hasil yang diharapkan. Lain
halnya bila dilakukan kompres hangat. Pusat suhu akan menerima informasi bahwa
suhu tubuh sedang hangat, maka suhu tubuh harus segera diturunkan. Inilah pengaruh
yang diharapkan. Ketika demam kita memang merasa kedinginan meskipun tubuh
kita sebenarnya panas. Kompres hangat membantu mengurangi rasa dingin &
menjadikan tubuh terasa lebih nyaman.
 Untuk cedera lama/kondisi kronis, yang mana bisa membantu membuat rileks,
mengurangi tekanan pada jaringan serta merangsang aliran darah ke daerah.
 Untuk pengobatan nyeri dan merelaksasi otot-otot yang tegang tetapi tidak boleh
digunakan untuk yang cedera akut atau ketika masih ada bengkak, karena panas dapat
memperparah bengkak yang sudah ada.
B. Penggunaan Kompres Dingin

 Digunakan untuk cedera tiba-tiba atau yang baru terjadi/ akut. Jika cedera baru terjadi
(dalam waktu 48 jam terakhir) yang lalu timbul pembengkakan, maka dengan
kompres dingin bisa membantu meminimalkan pembengkakan di sekitar cedera
karena suhu dingin mengurangi aliran darah di daerah cidera sehingga memperlambat
metabolisme sel dan yang paling penting adalah dapat mengurangi rasa sakit.
 Untuk keseleo pergelangan kaki, cedera berlebihan pada atlet atau luka memar.
 Membantu mengobati luka bakar dan jerawat.
3. Kompres Panas

91
1. kompres panas basah
Persiapan alat :
a. kom berisi air hangat (40-46c)
b. bak steril berisi 2buah kasa beberapa potong dengan ukuran yang sesuai
c. kasa perban/kain segitiga
d. pengalas
e. sarung tangan bersih di tempatnya
f. bengkok 2buah (satu kosong, satu berisi larutan Lysol 3%)
g. waslap 4 buah
h. pinset anatomi 2 buah
i. korentang
Cara kerja
a. Dekatkan alat-alat kedekat klien
b. Perhatikan privacy klien
c. Cuci tangan
d. Atur posisi klien yang nyaman
e. Pasang pengalas dibawah daerah yang akan dikompres
f. Kenakan sarung tangan lalu buka balutan perban bila diperban. Kemudian, buang
bekas balutan ke dalam bengkok kosong
g. Ambil beberapa potong kasa dengan pinset dari bak seteril, lalu masukkan ke dalam
kom yang berisi cairan hangat.
h. Kemudian ambil kasa tersebut, lalu bentangkan dan letakkan pada area yang akan
dikompres
i. Bila klien menoleransi kompres hangat tersebut, lalu ditutup/dilapisi dengan kasa
kering. selanjutnya dibalut dengan kasa perban atau kain segitiga
j. Lakukan prasat ini selama 15-30 menit atau sesuai program dengan anti balutan
kompres tiap 5 menit
k. Lepaskan sarung tangan
l. Atur kembali posisi klien dengan posisi yang nyaman
m. Bereskan semua alat-alat untuk disimpan kembali
n. Cuci tangan
o. Dokumentasikan tindakan ini beserta responnya.
Hal yang perlu diperhatikan :
1. Kain kasa harus diganti pada waktunya dan suhu kompres di pertahankan tetap
hangat
2. Cairan jangan terlalu panas, agar kulit jangan sampai kulit terbakar
3. Kain kompres harus lebih besar dari pada area yang akan dikompres
4. Untuk kompres hangat pada luka terbuka, peralatan harus steril. Pada luka memar
atau bengkak, peralatan tidak perlu steril yang penting bersih.
2. Kompres panas kering menggunakan buli-buli panas
Persipan alat :
a. buli-buli panas dan sarung
b. termos berisi air panas/termometer air panas
c. lap kerja http://joviardan.blogspot.com/2013/05/
92
Cara Kerja :
a. Cuci tangan
b. Lakukan pemasangan telebih dahulu pada buli-buli panas dengan cara : mengisi buli-
buli dengan air panas, kencangkan penutupnya kemudian membalik posisi buli-buli
berulang-ulang, lalu kosongkan isinya. Siapkan dan ukur air yang di inginkan (50-
60ºc)
c. Isi buli-buli dengan air panas sebanyak kurang lebih setengah bagian dari buli-buli
tesebut.
Lalu keluarkan udaranya dengan cara :
a. Letakkan atau tidurkan buli-buli di atas meja atau tempat datar.
b. Bagian atas buli-buli di lipat sampai kelihatan permukaan air di leher buli-buli
c. Kemudian penutup buli-buli di tutup dengan rapat/benar
d. Periksa apakah buli-buli bocor atau tidak lalu keringkn dengan lap kerja dan
masukkan ke dalam sarung buli-buli
e. Bawa buli-buli tersebut ke dekat klien
f. Letakkan atau pasang buli-buli pada area yang memerlukan
g. Kaji secara teratur kondisi klien untuk mengetaui kelainan yang timbul akibat
pemberian kompres dengan buli-buli panas, seperti kemerahan, ketidak nyamanan,
kebocoran.
h. Ganti buli-buli panas setelah 30 menit di pasang dengn air anas lagi, sesuai yang di
kehendaki
i. Bereskan alat alat bila sudah selesai
j. Cuci tangan
k. Dokumentasikan

Hal-hal yang perlu di perhatikan :


1. Buli-buli panas tidak boleh diberikan pada klien pendarahan
2. Pemakaian buli-buli panas ada bagian abdomen, tutup buli-buli mengarah ke
atas/samping
3. Bagian kaki, tutup buli-buli mengarah ke bawah/samping
4. Buli-buli harus diperiksa dulu/cincin karet pada penutupnya

Kompres Hangat dilakukan:


1. Pada radang persendian
2. Pada kekejangan otot
3. Bila perut kembung
4. Bila ada bengkak (abses) akibat pemberian suntikan
5. Bila pasien kedinginan (misalnya akibat narkose, iklim atauketegangan dll)
6. Pada bagian tubuh yang abses
7. Bila ada haematoom Sekilas Info
4. Kompres Basah

93
Kompres basah diberikan pada bagian tubuh untuk memberi efek lokal. Kompres
dingin sering kali digunakan untuk meredakan perdarahan dengan cara mengkonstriksi
pembuluh darah, meredakan inflamasi dengan vasokonstrisi, dan meredakan nyeri dengan
memperlambat kecepatan konduksi saraf, menyebabkan mati rasa, dan bekerja sebagai
counterirritant
1. Kompres dingin basah dengan larutan obat anti septic
Persiapan alat :
a. Mangkok bertutup steril
b. Bak steril berisi pinset steril anatomi 2buah
c. Cairan anti septic berupa PK 1:4000, revanol 1:1000 sampai 1:3000 larutan betadin
d. Pembalut dan sampiran bila perlu
e. Perlak, pengalas dan kain kasa (bila perlu)
Cara Kerja :
a. Dekatkan alat ke dekat klien
b. Pasang sampiran
c. Cuci tangan
d. Pasang perlak pada area yang akan di kompres
e. Mengocok obat atau larutan bila terdapat endapan
f. Tuangkan cairan kedalam mangok steril
g. Masukkan beberapa potong kasa kedalam mangkok tersebut
h. Peras kain kasa trsbt dg menggunkan pingset
i. Bentangkan kain kasa dan letakkan kasa di atas area yang dikompres dan di balut
j. Rapikan posisi klien
k. Bereskan alat-alat setelah selesai tindakan
l. Cuci tangan
m. Dokumentasikan
Hal yang perhatikan :
1. Kain kasa harus sering dibasai agar tetap basah
2. Pada luka bakar kotor kasa diganti tiap 1-2 jam
3. Perhatikan kulit setempat/sekitarnya. Bila terjadi iritasi segera laporkan
4. Pada malam hari agar kelembapan kompres bertahan lama, tutupi dengan kapas sublimat.
2. Kompres dingin basah dengan air biasa/air es
Kompres basah adalah balutan kasa basah yang sering diletakkan di atas luka terbuka.
Kompres kasa dan kemasan basah dapat diberikan dalam bentuk panas atau dingin.
Tujuannya:
1. Membersihkan luka
2. Mengobati luka
3. Mencegah kekeringan pada luka tertentu

94
Dilakukan pada :
1. Luka yang kotor
2. Pasien colostomi sebelum dilakukan opersi
Persiapan alat :
a. Kom kecil berisi air biasa/air es
b. Pengalas dan sampiran (bila perlu)
c. Beberapa buah waslap/kain kasa dengan ukuran tertentu
Cara Kerja :
a. Dekatkan alat-alat ke klien
b. Pasang sampiran bila perlu
c. Cuci tngan
d. Pasang pengalas pada area yang akan dikompres
e. Masukkan waslap/kain kasa kedalam air biasa atau air es lalu diperas sampai lembab
f. Letakkan waslap/kain kasa tersebut pada area yang akan dikompres
g. Ganti waslap/kain kasa tiap kali dengan waslap/kain kasa yang sudah terendam
dalam air biasa atau air es.
h. Diulang-ulang sampai suhu tubuh turun
i. Rapikan klien dan bereskan alat-alat bila prasat ini sudah selesai
j. Cuci tangan
k. Dokumentasikan
Hal yang harus diperhatikan :
1. Bila suhu tubuh 39c/lebih, kompres dilipat paha/ketiak
2. Pada pemberian kompres dilipat paha, selimut diangkat dan dipasang busur selimut di
atas dada dan perut klien agar seprei atas tidak basah
3. Kompres dingin kering dengan kirbat es (eskap)
Merupakan memberikan kompres dingin kepada pasien yang memerlukannya, dengan
menggunakan kirbat es yang telah diisi dengan potongan es.
Tujuan nya :
1. Membantu menurunkan suhu tubuh
2. Mengurangi rasa sakit atau nyeri
3. Membantu mengurangi perdarahan
4. Membatasi peradangan
Dilakukan pada :
1. Pasien yang suhunya tinggi
2. Pasien perdarahan hebat
3. Pasien yang kesakitan

95
Persiapan alat :
a. Kirbat es/eskap dengan sarungnya
b. Kom berisi berisi potongan-potongan kecil es dan satu sendok teh garam agar es
tidak cepat mencair
c. Air dalam kom dan Lap kerja
d. Perlak pengalas selimut bila perlu
Cara Kerja :
a. Bawa alat-alat ke dekat klien
b. Cuci tangan
c. Masukkan batnan es ke dalam kom air supaya pinggir es tidak tajam
d. Isi kirbat es dengan potongan es sebanyak kurang lebih setengah bagian dari kirbat
tersebut
e. Keluarkan udara dari eskap dengan melipat bagian yang kosong, lalu di tutup rapat
f. Periksa skap, adakah kebocoran atau tidak
g. Keringkan eskap dengan lap, lalu masukkan ke dalam sarungnya
h. Buka area yang akan di kompres dan atur yang nyaman pada klien
i. Pasang perlak pengalas pada bagian tubuh yang akan di kompres
j. Letakkan eskap pada bagian yang memerlukan kompres
k. Kaji keadaan kulit setiap 20 menit terhadap nyeri, mati rasa, dan suhu tubuh
l. Angkat eskap bila sudah selesai
m. Atur posisi klien kembali pada posisi yang nyaman
n. Bereskan alat setelah selesi melakukan prasat ini
o. Cuci tangan
p. Dokumentasikan
Hal-hal yang perlu di perhatikan :
1. Bila klien kedinginan atau sianosis, kirbat es harus segera di angkat
2. Selama pemberian kirbat es, perhatikan kult klien terhadap keberadaan iritasi dan
lain-lain
3. Pemberian kirbat es untuk menurukan suhu tubuh, maka suhu tubuh harus di control
setiap 30-60 menit.bila suhu sudah turun kompres di hentikan
4. Bila tdak ada kirbat es bias menggunakan kantong plastic
5. Bila es dalam kirbat es sudah mencair harus segera diganti (bila perlu)

Perawatan Luka dalam Kasus Kebidanan


A. Pengertian Luka

Kulit merupakan bagian tubuh paling luar yang berguna melindungi diri dari trauma
luar serta masuknya benda asing.Apabila kulit terkena trauma ,maka dapat menyebabkan
luka ,yaitu suatu keadaan terputusnya kontinuitas jaringan tubuh , yang dapat
menyebabkan terganggunya fungsi tubuh sehingga dapat menganggu aktivitas sehari-hari.

B. Jenis- jenis luka

96
Berdasarkan sifat kerjadian ,luka dibagi menjadi dua jenis ,yaitu luka disengaja dan
luka tidak disengaja .Luka disengaja misalnya luka terkena radiasi atau bedah , sedangkan
luka tidak disengaja contohnya adalah luka terkena trauma.luka yang tidak disengaja
(trauma) juga dibagi menjadi luka tertutup dan luka terbuka.Disebut luka tertutup jika
tidak terjadi robekan ,sedangkan luka terbuka jika terjadi robekan dan kelihatan seperti
luka abrasi ,yakni luka akibat gesekan ,Luka puncture ,yakni luka akibat tusukan dan
hautration (luka akibat alat-alat perawatan luka) .Dibidang kebidanan luka yang sering
terjadi adalah luka episiotomi, luka bedah section cesana atau luka dalam proses
persalinan.

Jenis-Jenis Luka, yakni:


Berdasarkan penyebabnya, luka dibagi menjadi 2, yaitu luka mekanik dan luka
nonmekanik.
Luka mekanik terdiri atas :
1. Vulnus scissum atau luka sayat akibat benda tajam. Pinggir luka kelihatan rapi.
2. Vulnus contusum, luka memar dikarenakan cedera pada jaringan bawah kulit
akibat benturan benda tumpul.
3. Vulnus kaceratum, luka robek akibat terkena mesin atau benda lainnya yang
menyebabkan roibeknya jaringan rusak dalam.
4. Vulnus punctum, luka tusuk yang kecil dibagian luar (bagian mulut luka) akan
tetapi besar dibagian dalam luka
5. Vulnus seloferadum, luka tembak akibat tembakan peluru. Bagian tepi luka
tampak kehitam-hitaman.
6. Vulnus morcum, luka gigitan yang tidak jelas bentuknya pada bagian luka.
7. Vulnus abrasion, luka terkikis yang terjadi pada bagian luka dan tidak sampai ke
pembuluh darah.
Luka Nonmekanik terdiri atas luka akibat zat kimia ,termik,radiasi ,atau serangan
listrik.

C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka


Proses penyembuhan luka dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu :
1. Vaskularisasi, memengaruhi luka karena luka membutuhkan keadaan peredaran
darah yang baik untuk pertumbuhan atau perbaikan sel.
2. Anemia, memperlambat proses penyembuhan luka mengingat perbaikan sel
membutuhkan kadar protein yang cukup. Oleh sebab itu, orang yang mengalami
kekurangan kadar hemoglobin dalam darah akan mengalami proses penyembuhan
lama.
3. Usia, kecepatan perbaikan sel berlangsung sejalan dengan pertumbuhan atau
kematangan usia seseorang. Namun selanjutnya, proses penuaan dapat
menurunkan sistem perbaikan sel sehingga dapat memperlambat proses
penyembuhan luka.
4. Penyakit lain, memengaruhi proses penyembuhan luka. Adanya penyakit seperti
diabetes mellitus dan ginjal dapat memperlambat proses penyembuhan luka.

97
5. Nutrisi, merupakan unsur utama dalam membantu perbaikan sel, terutama karena
kandungan zat gizi yang terdapat didalamnya. Sebagai contoh vitamin A
diperlukan untuk membantu proses epitelisasi atau penutupan luka dan sintesis
kolagen, vitamin B kompleks sebagai kofaktor pada sistem enzim yang menatur
metabolism protein, karbohidrat dan lemak, vitamin C dapat berfungsi sebagai
fibroblast dan mencegah adanya infeksi serta membentuk kapiler-kapiler darah
dan vitamin K membantu sintesis protombin dan berfungsi sebagai zat pembekuan
darah.
6. Kegemukan, obat-obatan, merokok dan stress, memengaruhi proses penyembuhan
luka. Orang yang terlalu gemuk, banyak mengkonsumsi obat-obatan, merokok
atau stress akan mengalami proses penyembuhan luka yang lebih lama.

D. Penyembuhan Luka
Penyembuhan lukaadalah prosespenggantian dan perbaikan fungsi jaringan yang rusak.

Penyembuhan luka melibatkanintegrasi proses fisiologis. Sifat penyembuhan pada

semua luka sama,dengan variasinya bergantung pada lokasi, keparahan dan luasnya

cedera.

Penyembuhan Luka dapat dibagi ke dalam 4 fase utama, yaitu:


 Penyembuhan Primer :

1. Hemostasis
Hemostatis : Pada fase ini terjadi peningkatan perlekatan platelet. Platelet akan
bekerja untuk menutup kerusakan pembuluh darah. Jaringan yang rusak akan
merangsang adenosin diphosphat (ADP) membentuk platelet. Platelet yang dibentuk
berfungsi untuk merekatkan kolagen dan mensekresi faktor yang merangsang
pembekuan darah. Pembekuan darah diawali dengan produksi trombin yang akan
membentuk fibrin dari fibrinogen. Hubungan fibrin diperkuat oleh agregasi platelet
menjadi hemostatik yang stabil.Platelet juga mensekresi platelet yang terkait dengan
faktor pertumbuhan jaringan (platelet-associated growth factor).Hemostatis terjadi
dalam waktu beberapa menit setelah injuri kecuali ada gangguan faktor pembekuan.

2. Inflamasi
Pada proses penyembuhan ini biasanya terjadi proses pembersihan debris. Respon
jaringan yang rusak : jaringan yang rusak dan sel mast melepaskan plasma dan
polimorfonuklear ke sekitar jaringan. Neutropil memfagositosis mikroorganisme dan
98
berperan sebagai pertahanan awal terhadap infeksi. Jaringan yang rusak juga akan
menyebabkan vasodilatasi dari pembuluh darah sekeliling yang masih utuh serta
meningkatkan penyediaan darah ke daerah tersebut, sehingga menjadi merah dan
hangat. Permeabilitas kapiler-kapiler darah meningkat dan cairan yang kaya
akanprotein mengalir kedalam spasium intertisial, menyebabkan edema lokal dan
mungkin hilangnya fungsi di atas sendi tersebut. Makrofag mengadakan migrasi ke
luar dari kapiler dan masuk ke dalam darah yang rusak sebagai reaksi terhadap agens
kemotaktik yang dipacu oleh adanya cedera.Makrofag mampu memfagosit
bakteri.Makrofag juga mensekresi faktor pertumbuhan seperti faktor pertumbuhan
fibrobalas (FGF), faktor pertumbuhan epidermal (EGF), faktor pertumbuhan beta
trasformasi (tgf) dan interleukin-1 (IL-1).

3. Fase Proliferasi
Fibroblas meletakkan subtansi dasar dan serabut-serabut kolagen serta pembuluh
darah baru mulai menginfiltrasi luka.Begitu kolagen diletakkan, maka terjadi
peningkatan yang cepat pada kekuatan regangan luka. Kapiler-kapiler dibentuk oleh
tunas endothelial, suatu proses yang disebut angiogenesis. Bekuan fibrin yang
dihasilkan pada fase I dikeluarkan begitu kapiler baru menyediakanenzim yang
diperlukan.Tanda-tanda inflamasi mulai berkurang.Jaringan yang dibentuk dari
gelung kapiler baru, yang menopang kolagen dan subtansi dasar, disebut jaringan
granulasi karena penampakannya yang granuler dan warnanya merah terang.Fase ini
berlangsung selama 3-24 hari.

4. Maturasi (Remodelling)
Pada tahap maturasi terjadi proses epitelisasi, kontraksi dan reorganisasi jaringan
ikat. Setiap cedera yang mengakibatkan hilangnya kulit, sel epitel pada pinggir luka
dan sisa-sisa folikel rambut, serta glandula sebasea dan glandula sudorivera
membelah dan mulai bermigrasi diatas jaringan glandula baru.Karena jaringan
tersebut hanya dapat bergerak diatas jaringan yang hidup, maka mereka hidup
dibawah eskar atau dermis yang mengering. Apabila jaringan tersebut bertemu
dengan sel-sel epitel lain, yang juga mengalami migrasi, maka mitosis berhenti, akibat
inhibisi kontak. Kontraksi luka disebabkan karena miofibroblas kontraktil membantu
menyatukan tepi-tepi luka.Terdapat suatu penurunan progresif alam vaskularitas
jaringan parut, yang berubah dalam penampilannya dari merah kehitaman menjadi
putih.Serabut- serabut kolagen mengadakan reorganisasi dan kekuatan regangan
meningkat (O’Leary, 2007).

 Penyembuhan Sekunder

Luka dengan jaringan yang hilang, seperti : luka bakar,luka tekan atau luka
laserasi yang parah akanmengalami penyembuhan sekunder. Penyembuhansekunder
memerlukan waktu yang lebih lamasehingga kemungkinan terjadinya infeksi
lebihbesar.Tepi luka tidak saling berdekatan. Luka akantetap terbuka hingga terisi

99
oleh jaringan parut. Lukaterbuka yang besar biasanya lebih banyakmengeluarkan
cairan dari pada luka tertutup.Inflamasi yang terjadi sering kali bersifat kronik
danjaringan yang ruasak lebih banyak dipenuhi oleh jaringan granulasi yangrapuh
daripada dipenuhioleh kolagen.

Perawatan Luka Berdasarkan Karakteristik Luka

a. Perawatan luka yang memiliki jaringan nekrotik


Jaringan nekrotik sering dijumpai pada luka kronis seperti ulkus iskemi, ulkus
neuropatik, ulkus vena, dan ulkus dekubitus.Debridemen adalah pengangkatan
jaringan yang sudah mengalami nekrosis yang bertujuan untuk menyokong
pemulihan luka.Indikasi debridemen adalah luka akut atau kronik dengan jaringan
nekrosis, luka terinfeksi dengan jaringan nekrotik.Pemilihan metode debridemen
harus berdasarkan karakteristik jaringan nekrotik yang ada pada luka klien.

Ada beberapa cara debridemen diantaranya :


1. Debridemen mekanik, yaitu dengan kompres basah kering (wet to dry),
hidroterapi, dan irigasi luka. Metode debridemen mekanik ini diindikasikan untuk
luka dengan jumlah jaringan nekrotik yang banyak dan luka infeksi.Dengan
demikian pemantauaan untuk daerah yang terkena mudah untuk dilakukan.
2. Debridemen pembedahan (surgical), yaitu dengan bedah insisi. Metode ini
merupakan cara yang paling cepat untuk membuang jaringan nekrotik dalam
jumlah banyak. Dampak negatif dari debridemen ini adalah peningkatan resiko
pasien terhadap perdarahan, anestesi, dan sepsis.Fakta yang sering terjadi adalah
banyak infeksi yang terjadi setelah operasi terutama pada orang-orang yang
memiliki status kesehatan yang tidak optimal.

3. Debridemen autolisis, yaitu lisisnya jaringan nekrotik dengan sendirinya oleh


enzim badan sel darah putih, yang memasuki daerah luka selama proses inflamasi.
Debridemen autolisis hanya digunakan pada klien yang tidak terinfeksi dengan
jumlah jaringan nekrotik yang terbatas.Debridemen autolisis ini dapat dilakukan
dengan menggunakan balutan yang dapat mempertahankan kelembaban seperti
hidrokoloid, hidrogel, alginate.

100
Luka Bedah dan Cara Menjahit Luka
A. MASALAH YANG TERJADI PADA LUKA BEDAH
1. Infeksi
Invasi bakteri pada luka dapat terjadi pada saat trauma, selama pembedahan atau
setelah pembedahan. Gejala dari infeksi sering muncul dalam 2 – 7 hari setelah
pembedahan. Gejalanya berupa infeksi termasuk adanya purulent, peningkatan
drainase, nyeri, kemerahan dan bengkak di sekeliling luka, peningkatan suhu, dan
peningkatan jumlah sel darah putih.

2. Perdarahan

101
Perdarahan dapat menunjukkan adanya pelepasan jahitan, darah sulit membeku pada
garis jahitan, infeksi, atau erosi dari pembuluh darah oleh benda asing (seperti
drain). Waspadai terjadinya perdarahan tersembunyi yang akan mengakibatkan
hipovolemia. Sehingga balutan (dan luka di bawah balutan) jika mungkin harus
sering dilihat selama 48 jam pertama setelah pembedahan dan tiap 8 jam setelah itu.
Jika perdarahan berlebihan terjadi, penambahan tekanan luka dan perawatan balutan
luka steril mungkin diperlukan. Pemberian cairan dan intervensi pembedahan juga
mungkin diperlukan.

3. Dehiscence dan Eviscerasi


Dehiscence dan eviscerasi adalah komplikasi operasi yang paling serius. Dehiscence
adalah terbukanya lapisan luka partial atau total. Eviscerasi adalah keluarnya
pembuluh melalui daerah irisan. Sejumlah faktor meliputi, kegemukan, kurang
nutrisi, ,multiple trauma, gagal untuk menyatu, batuk yang berlebihan, muntah, dan
dehidrasi, mempertinggi resiko klien mengalami dehiscence luka. Dehiscence luka
dapat terjadi 4 – 5 hari setelah operasi sebelum kollagen meluas di daerah luka.
Ketika dehiscence dan eviscerasi terjadi luka harus segera ditutup dengan balutan
steril yang lebar, kompres dengan normal saline. Klien disiapkan untuk segera
dilakukan perbaikan pada daerah luka.

102
B. CARA MENJAHIT LUKA

Pengertian

a. Menjahit luka merupakan cara yang dilakukan untuk menutup luka melalui jahitan.
Tindakan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya perdarahan, mencegah infeksi
silang, dan mempercepat proses penyembuhan.
b. Suatu tindakan untuk mendekatkan tepi luka (menutup luka) dengan benang, sampai
sembuh dan cukup untuk menahan beban fisiologis.
c. Teknik yang digunakan untuk hemostasis atau untuk menghubungkan struktur
anatomi yang terpotong
d. Penjahitan merupakan tindakan menghubungkan jaringan yang terputus atau
terpotong untuk mencegah pendarahan dengan menggunakan benang

Tujuan Penjahitan

a. Penutupan ruang mati


b. Mendukung dan memperkuat penyembuhan luka sampai meningkatkan kekuatan
tarik mereka
c. Mendekatkan tepi kulit untuk hasil estetika dan fungsional
d. Meminimalkan risiko perdarahan dan infeksi

Prinsip Umum Penjahitan Luka


a. Penyembuhan akan terjadi lebih cepat bila tepi-tepi kulit dirapatkan satu sama lain
dengan hati-hati.
b. Tegangan dari tepi–tepi kulit harus seminimal mungkin atau kalau mungkin tidak
ada sama sekali. Ini dapat dicapai dengan memotong atau merapikan kulit secara
hati–hati sebelum dijahit.

103
c. Tepi kulit harus ditarik dengan ringan, ini dilakukan dengan memakai traksi ringan
pada tepi–tepi kulit dan lebih rentan lagi pada lapisan dermal daripada kulit yang
dijahit.
d. Setiap ruang mati harus ditutup, baik dengan jahitan subcutaneus yang dapat diserap
atau dengan mengikutsertakan lapisan ini pada waktu menjahit kulit.
e. Jahitan halus tetapi banyak yang dijahit pada jarak yang sama lebih disukai daripada
jahitan yang lebih besar dan berjauhan.
f. Setiap jahitan dibiarkan pada tempatnya hanya selama diperlukan. Oleh karena itu
jahitan pada wajah harus dilepas secepat mungkin (48 jam–5 hari), sedangkan
jahitan pada dinding abdomen dan kaki harus dibiarkan selama 10 hari atau lebih.
g. Semua luka harus ditutup sebersih mungkin.
h. Pemakaian forsep dan trauma jaringan (pincet cirugis) diusahakan seminimal
mungkin.

Komplikasi Penjahitan
a. Overlapping : terjadi sebagai akibat tidak dilakukan adaptasi luka sehingga luka
menjadi tumpang tindih dan luka mengalami penyembuhan yang lambat dan apabila
sembuh maka hasilnya akan buruk.
b. Nekrosis : jahitan yang terlalu tegang dapat menyebabkan avaskularisasi sehingga
menyebabkan kematian jaringan.
c. Infeksi : infeksi dapat terjadi karena tehnik penjahitan yang tidak steril, luka yang
telah terkontaminasi, dan adanya benda asing yang masih tertinggal.
d. Perdarahan : terapi antikoagulan atau pada pasien dengan hipertensi.
e. Hematoma : terjadi pada pasien dengan pembuluh darah arteri terpotong dan tidak
dilakukan ligasi/pengikatan sehingga perdarahan terus berlangsung dan menyebabkan
bengkak.
f. Dead space (ruang/rongga mati) : yaitu adanya rongga pada luka yang terjadi
karena penjahitan yang tidak lapis demi lapis.
g. Sinus : bila luka infeksi sembuh dengan meninggalkan saluran sinus, biasanya ada
jahitan multifilament yaitu benang pada dasar sinus yang bertindak sebagai benda
asing.
h. Dehisensi : adalah luka yang membuka sebelum waktunya disebabkan karena jahitan
yang terlalu kuat atau penggunaan bahan benang yang buruk.
i. Abses : infeksi hebat yang telah menghasilkan produk pus / nanah.

104
Persiapan Alat dan Bahan :

1) pinset anatomi
2) pinset sirughi
3) gunting steril
4) naald voerder
5) jarum
6) benang
7) larutan betadine
8) alkohol 70%
9) obat anestesia
10) spuit
11) duk steril
12) pisau steril
13) guntung perban
14) plester / pembalut
15) bengkok
16) kasa steril
17) mangkok kecil
18) handskone steril

105
Prosedur Kerja :

1) Cuci tangan
2) Jelaskan pada pasien mengenai prosedur yang akan dilaksanakan.
3) Gunakan sarung tangan steril
4) Lakukan desinfeksi pada daerah yang akan dijahit (dengan betadine dan alkohol
70%), kemudian lakukan anestesia pada daerah yang akan dijahit
5) Lakukan jahitan pada daerah yang dikehendaki dengan menggunakan teknik
menjahit yang telah disesuaikan dengan kondisi luka.
6) Berikan obat betadine
7) Tutup luka dengan menggunakan kasa steril
8) Lakuka pembalutan
9) Catat perubahan keadaan luka
10) Cuci tangan

Teknik Penjahitan

106
a. Simple Interupted Suture (Jahitan Terputus/Satu-Satu
Teknik penjahitan ini dapat dilakukan pada semua luka, dan apabila tidak ada teknik
penjahitan lain yang memungkinkan untuk diterapkan. Terbanyak digunakan karena
sederhana dan mudah. Tiap jahitan disimpul sendiri. Dapat dilakukan pada kulit atau
bagian tubuh lain, dan cocok untuk daerah yang banyak bergerak karena tiap jahitan
saling menunjang satu dengan lain. Digunakan juga untuk jahitan situasi. Cara
jahitan terputus dibuat dengan jarak kira-kira 1 cm antar jahitan. Keuntungan jahitan
ini adalah bila benang putus, hanya satu tempat yang terbuka, dan bila terjadi infeksi
luka, cukup dibuka jahitan di tempat yang terinfeksi. Akan tetapi, dibutuhkan waktu
lebih lama untuk mengerjakannya. Teknik jahitan terputus sederhana dilakukan
sebagai berikut:
1) Jarum ditusukkan jauh dari kulit sisi luka, melintasi luka dan kulit sisi lainnya,
kemudian keluar pada kulit tepi yang jauh, sisi yang kedua.
2) Jarum kemudian ditusukkan kembali pada tepi kulit sisi kedua secara tipis,
menyeberangi luka dan dikeluarkan kembali pada tepi dekat kulit sisi yang
pertama
3) Dibuat simpul dan benang diikat

b. Running Suture/ Simple Continous Suture (Jahitan Jelujur)


Jahitan jelujur menempatkan simpul hanya pada ujung-ujung jahitan, jadi hanya dua
simpul. Bila salah satu simpul terbuka, maka jahitan akan terbuka seluruhnya.
Jahitan ini sangat sederhana, sama dengan kita menjelujur baju. Biasanya
menghasilkan hasil kosmetik yang baik, tidak disarankan penggunaannya pada
jaringan ikat yang longgar, dan sebaiknya tidak dipakai untuk menjahit kulit. Teknik
jahitan jelujur dilakukan sebagai berikut:
1) Diawali dengan menempatkan simpul 1 cm di atas puncak luka yang terikat
tetapi tidak dipotong
2) Serangkaian jahitan sederhana ditempatkan berturut-turut tanpa mengikat atau
memotong bahan jahitan setelah melalui satu simpul
3) Spasi jahitan dan ketegangan harus merata, sepanjang garis jahitan
4) Setelah selesai pada ujung luka, maka dilakukan pengikatan pada simpul
terakhir pada akhir garis jahitan
5) Simpul diikat di antara ujung ekor dari benang yang keluar dari luka/
penempatan jahitan terakhir.

c. Running Locked Suture (Jahitan Pengunci/ Jelujur Terkunci/ Feston)


Jahitan jelujur terkunci merupakan variasi jahitan jelujur biasa, dikenal sebagai
stitch bisbol, karena penampilan akhir dari garis jahitan berjalan terkunci. Teknik ini
biasa digunakan untuk menutup peritoneum. Teknik jahitan ini dikunci bukan
disimpul, dengan simpul pertama dan terakhir dari jahitan jelujur terkunci adalah
terikat. Cara melakukan penjahitan dengan teknik ini hampir sama dengan teknik
jahitan jelujur, bedanya pada jahitan jelujur terkunci dilakukan dengan mengaitkan
benang pada jahitan sebelumnya, sebelum beralih ke tusukan berikutnya.

107
d. Subcuticuler Continuous Suture (Subkutis)
Jahitan subkutis dilakukan untuk luka pada daerah yang memerlukan kosmetik,
untuk menyatukan jaringan dermis/ kulit. Teknik ini tidak dapat diterapkan untuk
jaringan luka dengan tegangan besar. Pada teknik ini benang ditempatkan
bersembunyi di bawah jaringan dermis sehingga yang terlihat hanya bagian kedua
ujung benang yang terletak di dekat kedua ujung luka. Hasil akhir pada teknik ini
berupa satu garis saja. Teknik ini dilakukan sebagai berikut :
a. Tusukkan jarum pada kulit sekitar 1-2 cm dari ujung luka keluar di daerah
dermis kulit salah satu dari tepi luka
b. Benang kemudian dilewatkan pada jaringan dermis kulit sisi yang lain, secara
bergantian terus menerus sampai pada ujung luka yang lain, untuk kemudian
dikeluarkan pada kulit 1-2 cm dari ujung luka yang lain
c. Dengan demikian maka benang berjalan menyusuri kulit pada kedua sisi secara
parallel di sepanjang luka tersebut

e. Mattress Suture (Matras : Vertikal dan Horisontal)


Jahitan matras dibagi menjadi dua, yaitu matras vertical dan matras horizontal.
Prinsip teknik penjahitan ini sama, yang berbeda adalah hasil akhir tampilan
permukaan. Teknik ini sangat berguna dalam memaksimalkan eversi luka,
mengurangi ruang mati, dan mengurangi ketegangan luka. Namun, salah satu
kelemahan teknik penjahitan ini adalah penggarisan silang. Risiko penggarisan
silang lebih besar karena peningkatan ketegangan di seluruh luka dan masuknya 4
dan exit point dari jahitan di kulit. Teknik jahitan matras vertical dilakukan dengan
menjahit secara mendalam di bawah luka kemudian dilanjutkan dengan menjahit
tepi-tepi luka. Biasanya menghasilkan penyembuhan luka yang cepat karena
didekatkannya tepi-tepi luka oleh jahitan ini. Teknik jahitan matras horizontal
dilakukan dengan penusukan seperti simpul, sebelum disimpul dilanjutkan dengan
penusukan sejajar sejauh 1 cm dari tusukan pertama. keuntungannya adalah
memberikan hasil jahitan yang kuat. Waktu yang dianjurkan untuk menghilangkan
benang ini adalah 5-7 hari (sebelum pembentukan epitel trek jahit selesai) untuk
mengurangi risiko jaringan parut. Penggunaan bantalan pada luka, dapat
meminimalkan pencekikan jaringan ketika luka membengkak dalam menanggapi
edema pascaoperasi. Menempatkan/mengambil tusukan pada setiap jahitan secara
tepat dan simetris sangat penting dalam teknik jahitan ini.

108
Teknik Penjahitan

109
Perawatan Luka dan Cara Mengangkat Jahitan

1.1. Pengertian Luka


Secara definisi suatu luka adalah terputusnya kontinuitas suatu jaringan oleh
karena adanya cedera atau pembedahan. Luka ini bisa diklasifikasikan berdasarkan
struktur anatomis, sifat, proses penyembuhan dan lama penyembuhan. Luka adalah
rusaknya kesatuan/komponen jaringan, dimana secara spesifik terdapat substansi
jaringan yang rusak atau hilang. Ketika luka timbul, beberapa efek akan muncul :    
1. Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ                                  
2. Respon stres simpatis                                                   
3. Perdarahan dan pembekuan darah
4. Kontaminasi bakteri
5. Kematian sel

Sedangkan klasifikasi berdasarkan struktur lapisan kulit meliputi: superfisial, yang


melibatkan lapisan epidermis; partial thickness, yang melibatkan lapisan epidermis
dan dermis; dan full thickness yang melibatkan epidermis, dermis, lapisan lemak,
fascia dan bahkan sampai ke tulang. Berdasarkan proses penyembuhan, dapat
dikategorikan menjadi tiga, yaitu:

a. Healing by primary intention


Tepi luka bisa menyatu kembali, permukan bersih, biasanya terjadi
karena suatu insisi, tidak ada jaringan yang hilang. Penyembuhan luka
berlangsung dari bagian internal ke ekseternal.

b.    Healing by secondary intention


Terdapat sebagian jaringan yang hilang, proses penyembuhan akan
berlangsung mulai dari pembentukan jaringan granulasi pada dasar luka
dan sekitarnya. 

c.     Delayed primary healing (tertiary healing)


Penyembuhan luka berlangsung lambat, biasanya sering disertai
dengan infeksi, diperlukan penutupan luka secara manual.

110
Berdasarkan klasifikasi berdasarkan lama penyembuhan bisa dibedakan
menjadi dua yaitu: akut dan kronis. Luka dikatakan akut jika penyembuhan yang
terjadi dalam jangka waktu 2-3 minggu. Sedangkan luka kronis adalah segala jenis
luka yang tidak tanda-tanda untuk sembuh dalam jangka lebih dari 4-6 minggu. Luka
insisi bisa dikategorikan luka akut jika proses penyembuhan berlangsung sesuai
dengan kaidah penyembuhan normal tetapi bisa juga dikatakan luka kronis jika
mengalami keterlambatan penyembuhan (delayed healing) atau jika menunjukkan
tanda-tanda infeksi.

1.2 Mekanisme Terjadinya Luka

a. Luka insisi (Incised wounds)


Terjadi karena teriris oleh instrumen yang tajam. Misal yang terjadi
akibat pembedahan. Luka bersih (aseptik) biasanya tertutup oleh sutura
seterah seluruh pembuluh darah yang luka diikat (Ligasi)

b. Luka memar (Contusion Wound)


Terjadi akibat benturan oleh suatu tekanan dan dikarakteristikkan oleh
cedera pada jaringan lunak, perdarahan dan bengkak.

c. Luka lecet (Abraded Wound)


Terjadi akibat kulit bergesekan dengan benda lain yang biasanya
dengan benda yang tidak tajam.

d. Luka tusuk (Punctured Wound)


Terjadi akibat adanya benda, seperti peluru atau pisau yang masuk
kedalam kulit dengan diameter yang kecil.

e. Luka gores (Lacerated Wound)


Terjadi akibat benda yang tajam seperti oleh kaca atau oleh kawat.

f. Luka tembus (Penetrating Wound)

111
Yaitu luka yang menembus organ tubuh biasanya pada bagian awal
luka masuk diameternya kecil tetapi pada bagian ujung biasanya lukanya
akan melebar.

g.  Luka Bakar (Combustio)

1.3 Menurut tingkat Kontaminasi terhadap luka :

1) Clean Wounds (Luka bersih)


Yaitu luka bedah tak terinfeksi yang mana tidak terjadi proses
peradangan (inflamasi) dan infeksi pada sistem pernafasan, pencernaan,
genital dan urinari tidak terjadi. Luka bersih biasanya menghasilkan luka
yang tertutup; jika diperlukan dimasukkan drainase tertutup (misal;
Jackson – Pratt). Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1% - 5%.

2) Clean-contamined Wounds (Luka bersih terkontaminasi)


3) Merupakan luka pembedahan dimana saluran respirasi, pencernaan, genital
atau perkemihan dalam kondisi terkontrol, kontaminasi tidak selalu terjadi,
kemungkinan timbulnya infeksi luka adalah 3% - 11%.Contamined
Wounds (Luka terkontaminasi)
Luka terbuka, fresh, luka akibat kecelakaan dan operasi dengan
kerusakan besar dengan teknik aseptik atau kontaminasi dari saluran cerna;
pada kategori ini juga termasuk insisi akut, inflamasi nonpurulen.
Kemungkinan infeksi luka 10% – 17%.

4) Dirty or Infected Wounds (Luka kotor atau infeksi)


Yaitu terdapatnya mikroorganisme pada luka.

1.4 KEDALAMAN DAN LUAS LUKA


Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka, dibagi menjadi :
 Stadium I : Luka Superfisial (“Non-Blanching Erithema) : yaitu luka yang
terjadi pada lapisan epidermis kulit.

112
 Stadium II : Luka “Partial Thickness” : yaitu hilangnya lapisan kulit pada
lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis. Merupakan luka superficial
dan adanya tanda klinis seperti abrasi, blister atau lubang yang dangkal.

 Stadium III : Luka “Full Thickness” : yaitu hilangnya kulit keseluruhan


meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas
sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan yang mendasarinya. Lukanya
sampai pada lapisan epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak mengenai
otot. Luka timbul secara klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan
atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.

 Stadium IV : Luka “Full Thickness” yang telah mencapai lapisan otot,


tendon dan tulang dengan adanya destruksi/kerusakan yang luas.

2.5 PROSES WAKTU PENYEMBUHAN LUKA


Menurut proses penyembuhan luka dibagi menjadi :
1) Luka akan sembuh sesuai dengan tahapan yang spesifik dimana bisa
terjadi tumpang tindih (overlap).
2) Proses penyembuhan luka tergantung pada jenis jaringan yang rusak serta
penyebab luka tersebut.
3) Fase penyembuhan luka :
a. Fase inflamasi :
 Hari ke 0-5
 Respon segera setelah terjadi injuri
 Pembekuan darah
 Untuk mencegah kehilangan darah
 Karakteristik : tumor, rubor, dolor, color, functio laesa
 Fase awal terjadi haemostasis
  Fase akhir terjadi fagositosis
 Lama fase ini bisa singkat jika tidak terjadi infeksi

b.  Fase proliferasi or epitelisasi

113
 Hari 3 – 14
 Disebut juga dengan fase granulasi adanya pembentukan jaringan granulasi
pada luka.
 Luka nampak merah segar, mengkilat
 Jaringan granulasi terdiri dari kombinasi : Fibroblasts, sel inflamasi,
pembuluh darah yang baru, fibronectin and hyularonic acid.
 Epitelisasi terjadi pada 24 jam pertama ditandai dengan penebalan  lapisan
epidermis pada tepian luka
 Epitelisasi terjadi pada 48 jam pertama pada luka insisi

c.   Fase maturasi atau remodelling


 Berlangsung dari beberapa minggu sampai dengan 2 tahun
 Terbentuknya kolagen yang baru yang mengubah bentuk luka
serta   peningkatan kekuatan jaringan (tensile strength).
 Terbentuk jaringan parut (scar tissue).
 50-80% sama kuatnya dengan jaringan sebelumnya
 Terdapat pengurangan secara bertahap pada aktivitas selular and
vaskularisasi jaringan yang mengalami perbaikan.
2.6 Faktor Yang Mempengaruhi Proses Penyembuhan Luka

1. Status Imunologi.
2.  Kadar gula darah (impaired white cell function)
3.  Hidrasi (slows metabolism)
4. Nutriisi
5. Kadar albumin darah (‘building blocks’ for repair, colloid osmotic pressure –
oedema)
6.  Suplai oksigen dan vaskularisasi
7. Nyeri (causes vasoconstriction)
8.  Corticosteroids (depress immune function)

114
2.6 BERDASARKAN SIFAT KEJADIAN
Luka dibagi menjadi dua, yaitu luka disengaja dan luka tidak disengaja. Luka
disengaja seperti luka radiasi atau bedah, sedangkan luka tidak disengaja contohnya
luka terkena trauma. Luka yang tidak disengaja (trauma) dapat dibagi menjadi luka
tertutup dan luka terbuka. Disebut luka tertutup jika tidak terjadi robekan sedangkan
luka terbuka jika terjadi robekan atau kelihatan seperti luka abrasio (luka akibat
gesekan), luka puncture (luka akibat tusukan) dan hautration (luka akibat alat
perawatan luka).

a. Tipe Luka
1) Aberasi
Aberasi adalah luka dimana lapisan terluar dari kulit tergores. Luka tersebut
akan sangat nyeri dan mempunyai resiko tinggi terhadap infeksi, karena benda
asing dapat masuk ke lapisan kulit yang lebih dalam dan dalam jaringan subkutan.
Perdarahan biasanya sedikit.

2) Punktur (Luka Tusuk)


Luka tusuk merupakan cedera penetrasi. Penyebabnya berkisar dari paku
sampai pisau atau peluru. Walaupun perdarahan nyata seringkali sedikit,
kerusakan jaringan internal dan perdarahan dapat sangat meluas dan mempunyai
resiko tinggi terhadap infeksi sehubungan adanya benda asing pada tubuh.
3) Avulsi
Avulsi terjadi sebagai akibat jaringan tubuh tersobek. Avulsi seringkali
dihubungkan dengan perdarahan yang hebat. Kulit kepala dapat tersobek dari
tengkorak pada cedera degloving. Cedera dramatis seringkali dapat diperbaiki
dengan scar-scar kecil.

4) Insisi (Luka sayatan)


Insisi adalah terpotong dengan kedalaman yang bervariasi. Hal ini
seringkali menimbulkan perdarahan hebat dan kemungkinan bisa terdapat
kerusakan pada struktur dibawahnya sedemikian rupa, seperti saraf, otot atau
tendon. Luka-luka ini harus dilindungi utuk menghambat terjadinya infeksi,
bersamaan dengan pengontrolan perdarahan.

115
5) Laserasi
Laserasi adalah luka bergerigi yang tidak teratur. Seringkali meliputi
kerusakan jaringan yang berat. Luka-luka ini seringkali menyebabkan perdarahan
yang serius dan kemudian pasien akan mengalami syok.
b. Proses Penyembuhan
Tubuh secara normal akan berespon terhadap cedera dengan jalan “proses
peradangan”, yang dikarakteristikkan dengan lima tanda utama: bengkak
(swelling), kemerahan (redness), panas (heat), Nyeri (pain) dan kerusakan fungsi
(impaired function).

Proses penyembuhannya mencakup beberapa fase :

1) Fase Inflamasi
Fase inflamasi adalah adanya respon vaskuler dan seluler yang terjadi akibat
perlukaan yang terjadi pada jaringan lunak. Tujuan yang hendak dicapai adalah
menghentikan perdarahan dan membersihkan area luka dari benda asing, sel-sel mati
dan bakteri untuk mempersiapkan dimulainya proses penyembuhan. Periode ini
berlangsung 5-10 menit.

2) Fase Proliferatif
Proses kegiatan seluler yang penting pada fase ini adalah memperbaiki dan
menyembuhkan luka dan ditandai dengan proliferasi sel. Peran fibroblas sangat besar
pada proses perbaikan yaitu bertanggung jawab pada persiapan menghasilkan produk
struktur protein yang akan digunakan selama proses rekonstruksi jaringan.Pada
jaringan lunak yang normal (tanpa perlukaan), pemaparan sel fibroblas sangat jarang
dan biasanya bersembunyi di matriks jaringan penunjang. Sesudah terjadi luka,
fibroblas akan aktif bergerak dari jaringan sekitar luka ke dalam daerah luka,
kemudian akan berkembang (proliferasi) serta mengeluarkan beberapa substansi
(kolagen, elastin, hyaluronic acid, fibronectin dan proteoglycans) yang berperan
dalam membangun (rekontruksi) jaringan baru. Fungsi kolagen yang lebih spesifik
adalah membentuk cikal bakal jaringan baru (connective tissue matrix) dan dengan
dikeluarkannya substrat oleh fibroblas, memberikan pertanda bahwa makrofag,
pembuluh darah baru dan juga fibroblas sebagai kesatuan unit dapat memasuki
kawasan luka. Tahap ini berlangsung dari hari ke 6 sampai dengan 3 minggu.
116
Fibroblast (sel jaringan penyambung) memiliki peran yang besar dalam fase
proliferasi.

3) Fase Maturasi
Tahap ini berlangsung mulai pada hari ke 21 dan dapat berlangsung sampai
berbulan-bulan dan berakhir bila tanda radang sudah hilang. Dalam fase ini terdapat
remodeling luka yang merupakan hasil dari peningkatan jaringan kolagen, pemecahan
kolagen yang berlebih dan regresi vaskularitas luka.Tujuan dari fase maturasi adalah,
menyempurnakan terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan penyembuhan yang
kuatdanbermutu.

2.8 PENATALAKSANAAN DAN PERAWWATAN LUKA

Dalam manajemen perawatan luka ada beberapa tahap yang dilakukan yaitu evaluasi
luka, tindakan antiseptik, pembersihan luka, penjahitan luka, penutupan luka, pembalutan,
pemberian antiboitik dan pengangkatan jahitan.

1. Evaluasi luka meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik (lokasi dan


eksplorasi).

2. Tindakan Antiseptik, prinsipnya untuk mencuci kulit.


Untuk melakukan pencucian/pembersihan luka biasanya digunakan cairan atau
larutan antiseptik.

3.  Pembersihan Luka
Tujuan dilakukannya pembersihan luka adalah meningkatkan,
memperbaiki dan mempercepat proses penyembuhan luka serta menghindari
terjadinya infeksi.

4.  Penjahitan luka
Luka bersih dan diyakini tidak mengalami infeksi serta berumur kurang
dari 8 jam sedangkan luka yang terkontaminasi berat dan atau tidak berbatas
tegas sebaiknya dibiarkan sembuh
.

117
5.  Penutupan Luka
Penutupan luka adalah mengupayakan kondisi lingkungan yang baik
pada luka sehingga proses penyembuhan berlangsung optimal.

2.9 FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYEMBUHAN LUKA


1. Usia
Semakin tua seseorang maka akan menurunkan kemampuan penyembuhan jaringan.
2. Infeksi
Infeksi tidak hanya menghambat proses penyembuhan luka tetapi dapat juga
menyebabkan kerusakan pada jaringan sel penunjang, sehingga akan menambah
ukuran dari luka itu sendiri, baik panjang maupun kedalaman luka.
3. Hipovolemia
Kurangnya volume darah akan mengakibatkan vasokonstriksi dan menurunnya
ketersediaan oksigen dan nutrisi untuk penyembuhan luka.
4. Hematoma
Hematoma merupakan bekuan darah. Seringkali darah pada luka secara bertahap
diabsorbsi oleh tubuh masuk kedalam sirkulasi. Tetapi jika terdapat bekuan yang
besar hal tersebut memerlukan waktu untuk dapat diabsorbsi tubuh, sehingga
menghambat proses penyembuhan luka.
5. Benda asing
Benda asing seperti pasir atau mikroorganisme akan menyebabkan terbentuknya suatu
abses sebelum benda tersebut diangkat. Abses ini timbul dari serum, fibrin, jaringan
sel mati dan lekosit (sel darah merah), yang membentuk suatu cairan yang kental yang
disebut dengan nanah (“Pus”).
6. Nutrisi,merupakan unsur utama dalam membantu perbaikan sel terutama karena
kandungan zat gizi yang terdapat didalamnya. Kemungkinan,obat-obatan,merokok
dan stress,mempengaruhi proses penyembuhan luka.

2.10 MENGANGKAT JAHITAN


Mengangkat jahitan adalah tindakan untuk mengangkat atau membuka jahitan pada
luka yang dijahit. Guna dari mengangkat jahitan adalah untuk mencegah timbulnya
infeksi silang dan mempercepat proses penyembuhan.
Mengangkat jahitan ini dilakukan pada :
1. Luka operasi yang sudah sudah waktunya diangkat.

118
2. Luka pasca bedah yang sudah sembuh.
Luka infeksi oleh karena jahitan.
2.11 CARA MENGANGKAT JAHITAN
Tujuannya untuk mencegah infeksi silang dan mempercepat proses penyembuhan.
Persiapan Alat dan Bahan:
A. Alat dan Bahan
1) Pingset anatomi
2) Pinset cirurghi
3) Arteri klem.
4) Gunting angkat jahitan steril.
5) Lidi kapas (lidi yang diberi/dilapisi kapas pada ujungnya).
6) Kassa steril.
7) Mangkok steril.
8) Gunting pembalut
9) Plester
10) PlesterAlkohol 70%
11) Larutan H2O2,salvon/lisol atau larutan lainnya sesuai dengan kebutuhan.
12) Obat luka
13) Gunting perban.
14) Bengkok

Handskon steril. B. Prosedur kerja:

1. Cuci tangan.
2. Jelaskan pada
3. pasien mengenai prosedur yang akan dilaksanakan.
4. Gunakan sarung tangan steril.
5. Buka plester dan balutan dengan steril.
6. Bersihkan luka dengan sublimat/salvon,H2O2,Boorwater,NACL 0,9 % atau nahan
lain yang telah disesuaikan dengan keadaan luka.lakukan hingga bersih.
7. Angakat jahitan dengan menaarik simpul jahitan keaatas,kemudian gunting benang
dan tarik dengan hati-hati lalu benang di buang pada kasa yang disediakan.
8. Tekan daerah sekitar luka hingga pus/nanah tidak ada.
9. Berikan obat luka.

119
10. Tutup luka dengan menggunakan kasa steril.
11. Lakukan pembalutan.
12.  Catat perubahan keadaan luka.
13. Cuci tangan.

120
Melaksanakan Resusitasi

2.1 Pengertian

Resusitasi merupakan sebuah upaya menyediakan oksigen ke otak, jantung dan organ-
organ vital lainnya melalui sebuah tindakan yang meliputi pemijatan jantung dan menjamin
ventilasi yang adekuat (Rilantono, 1999).

Resusitasi (respirasi artifisialis) adalah usaha dalam memberikan ventilasi yang


adekuat, pemberian oksigen dan curah jantung yang cukup untuk menyalurkan oksigen
kepada otak, jantung dan alat-alat vital lainnya. (Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal, 2002).

Resusitasi adalah pernafasan dengan menerapkan masase jantung dan pernafasan


buatan.(Kamus Kedokteran, Edisi 2000).

Resusitasi adalah tindakan untuk menghidupkan kembali atau memulihkan kembali


kesadaran seseorang yang tampaknya mati sebagai akibat berhentinya fungsi jantung dan
paru, yang berorientasi pada otak (Tjokronegoro, 1998).

Sehingga dapat disimpulkan resusitasi merupakan upaya untuk mengembalikan bayi


baru lahir dengan asfiksia berat menjadi keadaan yang lebih baik dapat bernafas atau
menangis spontan dan denyut jantung menjadi teratur.

TUJUAN RESUSITASI

1. Memberikan ventilasi yang adekuat

2. Membatasi kerusakan serebi

3. Pemberian oksigen dan curah jantung yang cukup untuk menyalurkan oksigen
kepada otak, jantung dan alat – alat vital lainnya

121
4. Untuk memulai atau mempertahankan kehidupan ekstra uteri

TANDA – TANDA RESUSITASI PERLU DILAKUKAN

1. Pernafasan

Apabila penilaian pernafasan menunjukkan bahwa bayi tidak bernafas atau bahwa
pernafasan tidak adekuat. Lihat gerakan dada naik turun, frekuensi dan dalamnya
pernafasan selama 1 menit. Nafas tersengal-sengal berarti nafas tidak efektif dan perlu
tindakan, misalnya apneu. Jika pernafasan telah efektif yaitu pada bayi normal biasanya
30 – 50 x/menit dan menangis, kita melangkah ke penilaian selanjutnya.

2. Denyut jantung – frekuensi

Apabila penilaian denyut jantung menunjukkan bahwa denyut jantung bayi tidak teratur.
Frekuensi denyut jantung harus > 100 per menit. Cara yang termudah dan cepat adalah
dengan menggunakan stetoskop atau meraba denyut tali pusat. Meraba arteria
mempunyai keuntungan karena dapat memantau frekuensi denyut jantung secara terus
menerus, dihitung selama 6 detik (hasilnya dikalikan 10 =frekuensi denyut jantung
selama 1 menit) Hasil penilaian ;

122
ü Apabila frekuensi>100x / menit dan bayi bernafas spontan, dilanjutkan dengan
menilai warna kulit.

ü Apabila frekuensi < 100x / menit walaupun bayi bernafas spontan menjadi indikasi
untuk dilakukan VTP (Ventilasi Tekanan Positif)

3. Warna Kulit

Apabila penilaian warna kulit menunjukkan bahwa warna kulit bayi pucat atau bisa
sampai sianosis. Setelah pernafasan dan frekuensi jantung baik, seharusnya kulit menjadi
kemerahan. Jika masih ada sianosis central, oksigen tetap diberikan. Bila terdapat
sianosis purifier, oksigen tidak perlu diberikan, disebabkan karena peredaran darah yang
masih lamban, antara lain karena suhu ruang bersalin yang dingin.

KONDISI YANG MEMERLUKAN RESUSITASI

 Sumbatan jalan napas : akibat lendir / darah / mekonium, atau akibat lidah yang
jatuh ke posterior.

 Kondisi depresi pernapasan akibat obat-obatan yang diberikan kepada ibu


misalnya obat anestetik, analgetik lokal, narkotik, diazepam, magnesium sulfat,
dan sebagainya

 Kerusakan neurologis.

 Kelainan / kerusakan saluran napas atau kardiovaskular atau susunan saraf pusat,
dan / atau kelainan-kelainan kongenital yang dapat menyebabkan gangguan
pernapasan / sirkulasi.

 Syok hipovolemik misalnya akibat kompresi tali pusat atau perdarahan


Resusitasi lebih penting diperlukan pada menit-menit pertama kehidupan. Jika terlambat,
bisa berpengaruh buruk bagi kualitas hidup individu selanjutnya.

123
E.HAL – HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN DALAM RESUSITASI

 Tenaga yang terampil, tim kerja yang baik.

 Pemahaman tentang fisiologi dasar pernapasan, kardiovaskular, serta proses


asfiksiayang progresif.

 Kemampuan / alat pengaturan suhu, ventilasi, monitoring.

 Obat-obatan dan cairan yang diperlukan.

PERSIAPAN RESUSITASI BAYI BARU LAHIR

Di dalam setiap persalinan, penolong harus selalu siap melakukan tindakan resusitasi
bayi baru lahir. Kesiapan untuk bertindak dapat menghindarkan kehilangan waktu yang
sangat berharga bagi upaya pertolongan. Walaupun hanya beberapa menit tidak
bernapas, bayi baru lahir dapat mengalami kerusakan otak yang berat atau meninggal.

1. Persiapan Keluarga

Sebelum menolong persalinan, bicarakan dengan keluarga mengenai kemungkinan-


kemungkinan yang dapat terjadi pada ibu dan bayinya serta persiapan yang dilakukan
oleh penolong untuk membantu kelancaran persalinan dan melakukan tindakan yang
diperlukan.

2. Persiapan Tempat Resusitasi

124
Persiapan yang diperlukan meliputi ruang bersalin dan tempat resusitasi. Gunakan
ruangan yang hangat dan terang. Tempat resusitasi hendaknya rata, keras, bersih dan
kering, misalnya meja, dipan atau di atas lantai beralas tikar. Kondisi yang rata
diperlukan untuk mengatur posisi kepala bayi. Tempat resusitasi sebaiknya di dekat
sumber pemanas (misalnya; lampu sorot) dan tidak banyak tiupan angin (jendela atau
pintu yang terbuka). Biasanya digunakan lampu sorot atau bohlam berdaya 60 watt atau
lampu gas minyak bumi (petromax). Nyalakan lampu menjelang kelahiran bayi.

3. Persiapan Alat Resusitasi

2.2 Persiapan Alat-Alat yang Dibutuhkan


Sebelum menolong persalinan, selain menyiapkan alat-alat persalinan juga harus
disiapkan alat-alat resusitasi dalam keadaan siap pakai, yaitu:

1. 2 helai kain / handuk

2. Bahan ganjal bahu bayi. Bahan ganjal dapat berupa kain, kaos, selendang, handuk
kecil, digulung setinggi 5 cm dan mudah disesuaikan untuk mengatur posisi kepala
bayi.

3. Alat penghisap lendir de Lee atau bola karet

125
4. Tabung dan sungkup atau balon dan sungkup neonatal

5. Kotak alat resusitasi.

6. Jam atau pencatat waktu.

7. Sarung tangan

126
2.3 Prosedur Pelaksaan Resusitasi

1. Resusitasi pada Bayi


Tahap I : Langkah Awal (dilakukan dalam 30 detik)

a. Jaga bayi tetap hangat.


1) Letakkan bayi di atas kain yang ada di atas perut ibu atau dekat perineum.
2) Selimuti bayi dengan kain tersebut, potong tali pusat.
3) Pindahkan bayi ke atas kain ketempat resusitasi.
b. Atur posisi bayi.
1) Baringkan bayi terlentang dengan kepala di dekat penolong.
2) Ganjal bahu agar kepala sedikit ekstensi.
c. Isap lendir.
1) Pertama, isap lendir di dalam mulut dengan kedalaman tidak lebih dari 5 cm,
kemudian baru isap lenidr di hidung dengan kedalaman kurang dari 3 cm.
2) Hisap lendir sambil menarik keluar pengisap (bukan pada saat memasukkan)
d. Keringkan dan Rangsang taktil
1) Keringkan bayi mulai dari muka, kepala, dan bagian tubuh lainnya dengan sedikit
tekanna. Rangsangan ini dapat memulai pernafasan bayi atau bernafas lebih baik.
2) Lakkan rangsangan taktil dengan beberapa cara dibawah ini:
a) Menepuk atau menyetil telapak kaki
b) Menggosok punggung, perut, dada, atau tungkai bayi dengan telapak tangan.
e. Reposisi
1) Ganti kain yang telah basah dengan kain bersih dan kering yang baru

127
2) Selimuti bayi dengan kian tersebut, jangan tutupi bagian muka dan dada agar
pemantauan pernafasan bayi dapat diteruskan.
3) Atur kembali posisi terbaik kepala bayi (sedikit ekstensi)
f. Lakukan penilaian apakah bayi menangis, bernafas spontan, teratur, bernafas normal,
megap-megap, atau tidak bernafas.

Tahap II Ventilasi
Ventilasi adalah bagian dari tindakan resusitasi untuk memasukkan sejumlah udara ke
dalam paru dengan tekanan positif yang memadai untuk membuka alveoli paru agar bayi bisa
bernafas spontan dan teratur.
a. Pasang sungkup, perhatikan lekatan
Pasang dan pegang sungkup agar menutupi mulut dan hidung bayi.
b. Ventilasi 2 kali dengan tekanan 30 cm air, amati gerakan dada bayi
1) Lakukan tiupan udara dengan tekanan 30 cm air
Tiupan awal ini sangat penting untuk membuka alveoli paru agar bayi bisa mulai
bernafas dan sekalgus menguji apakah jalan nafas terbuka atau bebas.
2) Lihat apakah dada bayi mengembang
3) Bila tidak mengembang:
a) Periksa posisi kepala, pastikan posisinya sudah benar
b) Periksa pemasangan sungkup dan pastikan tidak terjadi kebocoran.
c) Periksa ulang apakah jalan nafas tersumbat cairan atau lendir (isap kembali).
4) Bila dada mengembang, lakukan tahap berikutnya.
c. Ventilasi 20 kali dengan tekanan 20 cm air dalam 30 detik
1) Lakukan tiupan dengan tekanan 20 cm air, 20 kali dalam 30 detik.
2) Pastikan udara masuk (dada mengembang) dalam 30 detik tindakan.
d. Lakukan penilaian
Bila bayi sudah bernafas normal, hentikan ventilasi, dan pantau bayi. Bayi diberikan
asuhan pasca resusitasi.
1) Bila bayi belum bernafas atau megap-megap, lanjutkan ventilisasi
a) Lanjutkan ventilasi dengan tekanan 20 cm air, 20x untuk 30 detik berikutnya.
b) Evaluasi hasil ventilasi setiap 30 detik.
c) Lakukan penilaian bayi apakah bernafas, tidak bernafas atau megap-megap.
(1) Bila bayi sudah mulai bernafas normal, hentikan ventilasi dan pantau bayi
dengan seksama, dan berikan asuhan pasca resusitasi.

128
(2) Bila bayi tidak bernafas atau megap-megap, teruskan ventilasi dengan
tekanan 20 cm air, 20 cm air, 20x untuk 30 detik berikutnya, dan nilai
hasilnya setiap 30 detik.
2) Siapkan rujukan bila bayi belum bernafas normal sesudah 2 menit diventilasi
a) Mintalah keluarga membantu persiapan rujukan.
b) Teruskan resusitasi sementara persiapan rujukan dilakukan.
3) Bila bayi tidak bisa dirujuk
a) Lanjutkan ventilasi sampai 20 menit.
b) Pertimbangan untuk menghentikan tindakan resusitasi jika setelah 20 menit,
upaya ventilasi tidak berhasil. Bayi yang tidak bernafas normal setelah 20
menit diresusitasi akan mengalami kerusakan otak sehingga bayi akan
menderita kecacatan yang berat atau meninggal.

Tahap III. Asuhan Pasca Resusitasi


a. Lakukan pemantauan mengenai tali pusat dan tanda-tanda vital.
b. Lakukan pencegahan hiportermi dengan menghindari terjadinya proses kehilangan
panas pada bayi.
c. Lakukan inisiasi menyusu dini.
d. Berikan vitamin K1 di paha kiri anterolateral 1 mg IM.
e. Lakukan tindakan pencegahan infeksi dengan memberikan salep mata, imunisasi
Hepatitis B di paha kanan 0,5 ml IM, satu jam setelah vitamin K1, dan lakukan teknik
pencegahan infeksi.
f. Lakukan pemeriksaan fisik secara sistematis.
g. Lakukan pencatatan dan pelaporan.

2. Resusitasi Jantung Paru


Resusitasi jantung paru adalah suatu tindakan gawat darurat akibat kegagalan sirkulasi
dan pernafasan untuk dikembalikan ke fungsi optimal guna mencegah kematian biologis.
Resusitasi jantung paru (RJP), atau juga dikenal dengan cardio pulmonier resusitation
(CPR), merupakan gabungan antara pijat jantung dan pernafasan buatan. Teknik ini diberikan
pada korban yang mengalami henti jantung dan nafas, tetapi masih hidup.
Komplikasi dari teknik ini adalah pendarahan hebat. Jika korban mengalami
pendarahan hebat, maka pelaksanaan RJP akan memperbanyak darah yang keluar sehingga

129
kemungkinan korban meninggal dunia lebih besar. Namun, jika korban tidak segera diberi
RJP, korban juga akan meninggal dunia.
RJP harus segera dilakukan dalam 4-6 menit setelah ditemukan telah terjadi henti nafas
dan henti jantung untuk mencegah kerusakan sel-sel otak dan lain-lain. Jika penderita
ditemukan bernafas namun tidak sadar maka posisikan dalm keadaan mantap agar jalan nafas
tetap bebas dan sekret dapat keluar dengan sendirinya.
Mati Klinis                   RJP                  Mati Biologik
( Reversibel )           4-6 menit           ( Ireversibel )

Keterangan:
1.   Mati Klinis
Tidak ditemukan adanya pernapasan dan denyut nadi, bersifat reversibel, penderita
punya kesempatan waktu 4-6 menit untuk dilakukan resusitasi tanpa kerusakan otak.
2.   Mati Biologis
Biasanya terjadi dalam waktu 8-10 menit dari henti jantung, dimulai dengan kematian
sel otak, bersifat irreversibel. (kecuali berada di suhu yang ekstrim dingin, pernah
dilaporkan melakukan resusitasi selama 1 jam/ lebih dan berhasil).

Catatan:
Pada korban yang sudah tidak ada refleks mata dan terjadi kerusakan batang otak tidak
perlu dilakukan RJP.

B. Indikasi Melakukan RJP


1.  Henti Napas (Apneu)
Dapat disebabkan oleh sumbatan jalan napas atau akibat depresi pernapasan baik di
sentral maupun perifer. Berkurangnya oksigen di dalam tubuh akan memberikan suatu
keadaan yang disebut hipoksia. Frekuensi napas akan lebih cepat dari pada keadaan normal.
Bila perlangsungannya lama akan memberikan kelelahan pada otot-otot pernapasan.
Kelelahan otot-otot napas akan mengakibatkan terjadinya penumpukan sisa-sisa pembakaran
berupa gas CO2, kemudian mempengaruhi SSP dengan menekan pusat napas. Keadaan inilah
yang dikenal sebagai henti nafas.
2.  Henti Jantung (Cardiac Arrest)

130
Otot jantung juga membutuhkan oksigen untuk berkontraksi agar darah dapat dipompa
keluar dari jantung ke seluruh tubuh. Dengan berhentinya napas, maka oksigen akan tidak
ada sama sekali di dalam tubuh sehingga jantung tidak dapat berkontraksi dan akibatnya henti
jantung (cardiac arrest).
C.   Langkah Sebelum Memulai Resusitasi Jantung Paru (RJP)
1. Penentuan Tingkat Kesadaran ( Respon Korban )    
Dilakukan dengan menggoyangkan korban. Bila korban menjawab, maka ABC dalam
keadaan baik. Dan bila tidak ada respon, maka perlu ditindaki segera.
2.   Memanggil bantuan (call for help)
Bila petugas hanya seorang diri, jangan memulai RJP sebelum memanggil bantuan.
3.    Posisikan Korban
Korban harus dalam keadaan terlentang pada dasar yang keras (lantai, long board). 
Bila dalam keadaan telungkup, korban dibalikkan. Bila dalam keadaan trauma, pembalikan
dilakukan dengan ”Log Roll”
4.    Posisi Penolong
Korban di lantai, penolong berlutut di sisi kanan korban   .
5.    Pemeriksaan Pernafasan
Yang pertama harus selalu dipastikan adalah airway dalam keadaan baik. Tidak terlihat
gerakan otot napas, tidak ada aliran udara via hidung. Dapat dilakukan dengan menggunakan
teknik lihat, dengan dan rasa, bila korban bernapas, korban tidak memerlukan RJP.
6.    Pemeriksaan Sirkulasi
Pada orang dewasa tidak ada denyut nadi carotis. Pada bayi dan anak kecil tidak ada
denyut nadi brachialis. Tidak ada tanda-tanda sirkulasi. Bila ada pulsasi dan korban pernapas,
napas buatan dapat dihentikan. Tetapi bila ada pulsasi dan korban tidak bernapas, napas
buatan diteruskan. Dan bila tidak ada pulsasi, dilakukan RJP.

D. Henti Napas
Pernapasan buatan diberikan dengan cara :
1.    Mouth to Mouth Ventilation
Cara langsung sudah tidak dianjurkan karena bahaya infeksi (terutama hepatitis, HIV)
karena itu harus memakai ”barrier device”  (alat perantara). Dengan cara ini akan dicapai
konsentrasi oksigen hanya 18 %.
Tangan kiri penolong menutup hidung korban dengan cara memijitnya dengan jari
telunjuk dan ibu jari, tangan kanan penolong menarik dagu korban ke atas.

131
Penolong menarik napas dalam-dalam, kemudian letakkan mulut penolong ke atas mulut
korban sampai menutupi seluruh mulut korban secara pelan-pelan sambil memperhatikan
adanya gerakan dada korban sebagai akibat dari tiupan napas penolong. Gerakan ini
menunjukkan bahwa udara yang ditiupkan oleh penolong itu masuk ke dalam paru-paru
korban.
Setelah itu angkat mulut penolong dan lepaskan jari penolong dari hidung korban. Hal ini
memberikan kesempatan pada dada korban kembali ke posisi semula.

2.  Mouth to Stoma
Dapat dilakukan dengan membuat Krikotiroidektomi yang kemudian dihembuskan
udara melalui jalan yang telah dibuat melalui prosedur Krikotiroidektomi tadi.

3.  Mouth to Mask ventilation


Pada cara ini, udara ditiupkan ke dalam mulut penderita dengan bantuan face mask.

4.  Bag Valve Mask Ventilation ( Ambu Bag)


Dipakai alat yang ada bag dan mask dengan di antaranya ada katup. Untuk
mendapatkan penutupan masker yang baik, maka sebaiknya masker dipegang satu
petugas sedangkan petugas yang lain memompa.

5.  Flow restricted Oxygen Powered Ventilation (FROP)


Pada ambulans dikenal sebagai “ OXY – Viva “. Alat ini secara otomatis akan
memberikan oksigen sesuai ukuran aliran (flow) yang diinginkan.
Bantuan jalan napas dilakukan dengan sebelumnya mengevaluasi jalan napas korban
apakah terdapat sumbatan atau tidak. Jika terdapat sumbatan maka hendaknya
dibebaskan terlebih dahulu.

E.   Henti Jantung
RJP dapat dilakukan oleh satu orang penolong atau dua orang penolong.
Lokasi titik tumpu kompresi.
1.   1/3 distal sternum atau 2 jari proksimal Proc. Xiphoideus
2.   Jari tengah tangan kanan diletakkan di Proc. Xiphoideus, sedangkan jari telunjuk
mengikuti
3.   Tempatkan  tumit tangan di atas jari telunjuk tersebut

132
4.   Tumit tangan satunya diletakkan di atas tangan yang sudah berada tepat di titik pijat
jantung
5.   Jari-jari tangan dapat dirangkum, namun tidak boleh menyinggung dada korban

F.     Teknik Resusitasi Jantung Paru (Kompresi)


1.   Kedua lengan lurus dan tegak lurus pada sternum
2.   Tekan ke bawah sedalam 4-5 cm
a.    Tekanan tidak terlalu kuat
b.    Tidak menyentak
c.     Tidak bergeser / berubah tempat
3.    Kompresi ritmik 100 kali / menit ( 2 pijatan / detik )
4.    Fase pijitan dan relaksasi sama ( 1 : 1)
5.    Rasio pijat dan napas 30 : 2 (15 kali kompresi : 2 kali hembusan napas)
6.    Setelah empat siklus pijat napas, evaluasi sirkulasi 

133
Pre dan Pasca Bedah pada Kasus Kebidanan ( Sectio Ceasaria)

Sectio Caesarea berasal dari bahasa Latin, Caedere, artinya memotong. Sectio
Caesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat sayatan pada dinding rahim.
Pada pasien yang dilakukan operasi pembedahan untuk tindakan sectio cesarea ini
memerlukan beberapa perhatian karena ibu nifas yang melahirkan dengan operasi caesarea
agar dapat melewati fase penyembuhan pasca operasi tanpa komplikasi.
Sectio caesaria adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan melalui suatu
insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh
serta berat janin di atas 500 gram (Sarwono, 2009).

A. PRE OPERASI

1. Persiapan Fisik Pre-op Sectio caesaria

Berbagai persiapan fisik yang harus dilakukan terhadap pasien sebelum operasi antara
lain :

a.    Status Kesehatan fisik Secara Umum

Sebelum dilakukan pembedahan, penting dilakukan pemeriksaan status kesehatan


secara umum, meliputi identitas klien, riwayat penyakit, seperti kesehatan masa lalu, riwayat
kesehatan keluarga, pemeriksaan fisik lengkap, status kardiovaskuler, status pernapasan,
fungsi ginjal dan hepatic, fungsi endokrin, fungsi imunologi, dan lain-lain. Selain itu pasien
harus istirahat yang cukup karena dengan istirahat dan tidur yang cukup pasien tidak akan
mengalami stress fisik, tubuh lebih rileks, sehingga bagi pasien yang memiliki riwayat
hipertensi, tekanan darahnya dapat stabil.

b.    Status Nutrisi

Kebutuhan nutrisi ditentukan dengan mengukur tinggi badan dan berat badan, lipat
kulit trisep, lingkar lengan atas, kadar protein darah (albumin dan globulin) dan
keseimbangan nitrogen. Segala bentuk defenisi Nutrisi harus di koreksi sebelum pembedahan
untuk memberikan protein yang cukup untuk perbaikan jaringan. Kondisi gizi buruk dapat
mengakibatkan pasien mengalami berbagai komplikasi pasca operasi dan mengakibatkan
pasien menjadi lebih lama dirawat di Rumah Sakit. Komplikasi yang paling sering terjadi
adalah infeksi pasca operasi, dehisiensi (terlepasnya jahitan sehingga luka tidak bisa
menyatu), demam dan penyembuhan luka yang lama. Pada kondisi yang serius pasien dapat
mengalami sepsis yang bisa mengakibatkan kematian.

c.    Keseimbangan Cairan Dan Elektrolit

134
Balance cairan perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan input dan output
cairan.Keseimbangan cairan dan elektrolit terkait erat dengan fungsi ginjal. Dimana ginjal
berfungsi mengatur mekanisme asam basa dan ekskresi metabolit obat-obat anestesi. Jika
fungsi ginjal baik maka operasi dapat dilakukan dengan baik. Namun jika ginjal mengalami
gangguan seperti oliguri/anuria, nefritis akut maka operasi harus ditunda menunggu
perbaikan fungsi ginjal.Kecuali pada kasus – kasus yang mengancam jiwa.

d.   Kebersihan Lambung Dan Kolon

Lambung dan kolon harus dibersihkan terlebih dahulu. Intervensi keperawatan yang
bisa diberikan adalah pasien dipuasakan dan dilakukan tindakan pengosongan lambung dan
kolon dengan tindakan enema. Lamanya puasa berkisar antara 7 sampai 8 jam (biasanya
puasa dilakukan mulai pukul 24.00 WIB). Tujuan dari pengosongan lambung dan kolon
adalah menghindari kontaminasi feses ke area pembedahan sehingga menghindarkan
terjadinya infeksi pasca pembedahan. Khusus pada pasien yang membutuhkan operasi CITO
(segera) maka pengosongan lambung dapat dilakukan dengan cara pemasangan NGT (naso
gastric tube)

e.    Pencukuran daerah operasi

Ditujukan untuk menghindari terjadinya infeksi pada daerah yang dilakukan


pembedahan. Daerah yang dilakukan pencukuran tergantung pada jenis operasi dan daerah
yang akan dioperasi. Biasanya daerah sekitar alat kelamin ( pubis ) dilakukan pencukuran jika
yang dilakukan operasi pada daerah sekitar perut dan paha. Misalnya appendioktomi,
herniotomi, uretrolithiasis, operasi pemasangan plate pada fraktur femur, hemoroidektomi.
Selain terkait daerah pembedahan pencukuran pada lengan juga dilakukan pada pemasangan
infus sebelum pembedahan.

f.     Personal Hygiene

Kebersihan tubuh pasien sangat penting untuk persiapan operasi karena tubuh yang
kotor dapat merupakan sumber kuman dan dapat mengakibatkan infeksi pada daerah yang
dioperasi.

g.    Pengosongan kandung kemih

Dilakukan dengan pemasangan kateter. Selain untuk pengosongan isi bladder tindakan
kateterisasi juga diperlukan untuk mengobservasi balance.

2. Persiapan Penunjang Pre-Op Sectio Caesarea

135
Persiapan penunjang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari tindakan
pembedahan. Tanpa adanya hasil pemeriksaan penunjang,maka dokter bedah tidak mungkin
bisa menentukan tindakan operasi yang harus dilakukan pada pasien. Pemeriksaan penunjang
yang dimaksud adalah berbagai pemeriksaan radiologi, laboratorium maupun pemeriksaan
lain seperti ECG (elektrocardiography) dan lain-lain.

Di bawah ini adalah berbagai jenis pemeriksaan penunjang yang sering dilakukan pada
pasien sebelum operasi (tidak semua jenis pemeriksaan dilakukan pada pasien, namun
tergantung pada jenis penyakit dan operasi yang dijalani oleh pasien). Pemeriksaan
penunjang antara lain :

a. Pemeriksaan Radiologi dan Diagnostik,

Seperti : foto thoraks, abdomen, foto tulang, ( daerah fraktur ), USG ( Ultra Sono Grafi ),
CT scan ( computerized Tomography Scan ), MRI ( Magnetic Resonance Imagine ), BNO –
IVP, Renogram, Cystoscopy, Mammography, CIL (Colon In Loop), EKG, dan lain lain.

b. Pemeriksaan Laboratorium,

Berupa pemeriksaan darah : hemoglobin, angka leukosit, Limfosit, LED ( laju endap
darah ), jumlah Trombosit, protein total, elektrolit , CT ( clooting time ) BT ( blooding time ),
Ureum kreatinin, dll. Bisa juga dilakukan pemeriksaan pada sumsum tulang jika penyakit
terkait dengan kelainan darah.

c. Biopsi

Yaitu tindakan sebelum operasi berupa pengambilan bahan jaringan tubuh untuk
memastikan penyakit pasien sebelum operasi. Biopsi biasanya dilakukan untuk memastikan
apakah ada tumor ganas / jinak atau hanya berupa infeksi kronis saja.

d. Pemeriksaan Kadar Gula Darah ( KGD ).

Pemeriksaan KGD dilakukan untuk mengetahui apakah kadar gula darah pasien dalam
batas normal atau tidak. Uji KGD biasanya dilakukan dengan puasa 10 jam dan juga
dilakukan pemeriksaan KGD 2 jam PP ( Post Prandial ).

e. Inform consent

Selain dilakukannya pemeriksaan penunjang terhadap pasien, hal lain yang sangat
penting terkait dengan aspek hukum dan tanggung jawab dan tanggung gugat, yaitu Inform
Consent. Baik pasien maupun keluarganya harus menyadari bahwa tindakan medis, operasi
sekecil apapun mempunyai resiko. Oleh karena itu setiap pasien yang akan menjalani
tindakan medis wajib menuliskan surat pernyataan persetujuan dilakukan tindakan medis
(pembedahan dan anastesi).

f.     Latihan pra operasi

136
Berbagai latihan sangat diperlukan pada pasien sebelum operasi, hal ini sangat
penting sebagai persiapan pasien dalam menghadapi kondisi pasca operasi. Latihan yang
diberikan pada pasien sebelum operasi antara lain :

1) Latihan napas dalam.

Latihan napas dalam sangat bermanfaat bagi pasien untuk mengurangi nyeri setelah
operasi dan dapat membantu pasien relaksasi sehingga pasien lebih mampu beradaptasi
dengan nyeri.

2) Latihan batuk efektif

Latihan batuk efektif juga sangat diperlukan bagi klien terutama yang mengalami operasi
dengan anestesi general. Karena pasien akan mengalami pemasangan alat bantu napas selama
dalam kondisi teranestesi, sehingga ketika sadar pasien akan mengalami rasa tidak nyaman
pada tenggorokan, kareana banyak lendir. Latihan batuk efektif sangat bermanfaat bagi
pasien setelah operasi untuk mengeluarkan lendir atau secret.

3) Latihan gerak sendi.

Setelah operasi, pasien dapat segera melakukan berbagai pergerakan yang diperlukan
untuk mempercepat proses penyembuhan karena akan lebih cepat merangsang
usus(peristaltic usus) sehingga pasien akan lebih cepat flatus. Keuntungan lain adalah
menghindarkan penumpukan lendir pada saluran pernafasan dan terhindar dari kontraktur
sendi dan terjadinya dekubitus. Tujuan lainnya adalah memperlancar sirkulasi untuk
mencegah statis vena dan menunjang fungsi pernafasan optimal.

3. Persiapan Mental atau Psikis Pre-op Sectio Ceasarea

Persiapan mental merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dalam proses persiapan
operasi karena mental pasien yang tidak siap atau labil dapat berpengaruh terhadap kondisi
fisiknya. Tindakan pembedahan merupakan ancaman potensial maupun aktual pada integritas
seseorang yang dapat membangkitkan reaksi strees fisiologis maupun psikologis. (Barbara C.
Long, 2005).

Secara mental penderita harus dipersiapkan untuk menghadapi pembedahan, karena


selalu ada rasa cemas, takut terhadap penyuntikan, nyeri luka, anestesi, bahkan terhadap
kemungkinan cacat atau mati. Dalam hal ini hubungan baik antara penderita,
keluarga,perawat dan dokter sangat menentukan. Atas dasar pengertian, penderita dan
keluarganya dapat memberikan persetujuan dan ijin untuk pembedahan (Sjamsuhidajat dan
Jong 2004 : 426).

Respon psikologis secara umum berhubungan dengan adanya ketakutan-ketakutan


terhadap anestesi, diagnosis yang belum pasti, keganasan, nyeri, cerita yang mengerikan dari
orang lain dan sebagainya. Itu adalah gambaran atau fakta tentang kecemasan pre operasi.

137
Pasien yang akan menjalani pembedahan sangat membutuhkan informasi yang berhubungan
dengan prosedur tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya. (Depkes RI,1989).

B. PASCA OPERASI

Proses persalinan operasi caesar umumnya berlangsung sekitar satu jam. Pada pasien
dengan pembiusan total, kesadaran akan berlangsung pulih secara bertahap seusai penjahitan
luka operasi. Sedangkan pada pembiusan regional, dengan anasthesi epidural atau spinal
(memasukkan obat bius melalui suntikan pada punggung), ibu bersalin akan tetap sadar
hingga operasi selesai dan hanya bagian perut ke bawah akan hilang sensasi rasa sementara.

Pasca operasi caesar, dilakukan pengawasan oleh perawat dan bidan dalam ruangan
pulih sadar sementara sebelum ibu di pindah ke ruang perawatan nifas. Di sini tenaga
kesehatan akan memantau tekanan darah, suhu, jumlah urine yang tertampung, kondisi 
rahim, jumlah darah yang keluar pascaoperasi, dan pemeriksaan laboratorium bila diperlukan.
Setelah ibu dipindah ke ruang nifas untuk perawatan selanjutnya yang perlu diperhatikan
adalah :

A. Efek Pembiusan

Pada pembiusan dengan teknik regional hampir tidak ada keluhan. Perasaan tidak nyaman
antara lain karena kaki belum bisa digerakkan sementara waktu, secara bertahap dalam 6 jam
pertama kaki mulai bisa aktif digerakkan kembali. Tidak perlu cemas akibat hilangnya
sensasi rasa pada kedua kaki. Ini hanya bersifat sementara. Lama pulih setiap pasien berbeda,
namun dapat dipastikan semua berlangsung aman dan lancar melewati proses hilangnya efek
bius ini. Bila pembiusan umum, Pasca operasi caesar, ibu akan merasa mengantuk, rasa
kering pada mulut dan bibir, dan ini juga tak akan berlangsung lama. Secara bertahap ibu
akan pulih dan sadar kembali. Berapa lama akan pulih tergantung  jenis obat dan dosis
pembiusan yang diberikan. Setiap pasien tidak sama. Namun setelah 2 jam dari ruang
observasi pascaoperasi, kesadaran ibu perlahan akan pulih.

B. Indikasi SC

1. Indikasi ibu

 Panggul sempit absolute


 Tumor – tumor jalan lahir yang menimbulkan obstruksi
 Stenosis servik
 Plasenta previa
 Disproporsi sefalopelvik
 Ruptur uteri mebakat

138
2. Indikasi janin

 Kelainan letak (letak lintang, bokong, presentasi dahi dan muka


 Gawat janin

Prinsip perawatan pasca operasi


Perawatan di Pacu
 Letakan pasien dalam posisi pemulihan
 Pasang pengaman tempat tidur.
 Periksa kondisi pasien, cek tanda vital tiap 5 menit.
 Periksa tingkat kesadaran tiap 5 menit sampai sadar
 Yakinkan jalan nafas bersih dan cukup ventilasi
 Transfusu jika diperlukan
 Jika tanda vital dan hematokrit turun walau diberikan transfusi, segera kembalikan ke
kamar bedah kemungkinan terjadi perdarahan pasca bedah.
 Mengukur skala aldrete skore dan bromege skore.

Pembalutan dan perawatan luka


1. Jika pada pembalut luka terjadi perdarahan atau keluar cairan tidak terlalu banyak jangan
mengganti pembalut
2. Jika pembalut agak kendor , jangan ganti pembalut, tapi beri plester untuk
mengencangkan
3. Ganti pembalut dengan cara steril
4. Luka harus dijaga agar tetap kering dan bersih
5. Jahitan fasia adalah utama dalam bedah abdomen, angkat jahitan kulit dilakukan pada
hari kelima pasca SC
6. Jika masih terdapat perdarahan lakukan masase uterus, beri oksitosin 10 unit dalam 500
ml cairan I.V. (garam fisiologik atau RL) 60 tetes/menit, ergometrin 0,2 mg I.M. dan
prostaglandin
7. Jika terdapat tanda infeksi, berikan antibiotika kombinasi sampai pasien bebas demam  
selama    48 jam :
 Ampisilin 2 g I.V. setiap 6 jam
 Ditambah gentamisin 5 mg/kg berat badan I.V. setiap 8 jam

139
 Ditambah metronidazol 500 mg I.V. setiap 8 jam
8. Analgesik dan obat untuk memperlancar kerja saluran pencernaan
 Pemberian analgesia sesudah bedah sangat penting
 Supositoria            = ketopropen sup 2x/ 24 jam
 Oral                       = tramadol tiap 6 jam atau paracetamol
 Injeksi                   = penitidine 90-75 mg diberikan setiap 6 jam bila perlu
9. Obat-obatan lain
 Untuk meningkatkan vitalitas dan keadaan umum penderita dapat diberikan
caboransia seperti neurobian I vit. C

   Hal – Hal lain yang perlu diperhatikan

1. Pasca bedah penderita dirawat dan diobservasi kemungkinan komplikasi berupa perdarahan
dan hematoma pada daerah operasi
2. Pasca operasi perlu dilakukan drainase untuk mencegah terjadinya hematoma.
3. Pasien dibaringkan dengan posisi semi fowler (berbaring dengan lutut ditekuk) agar diding
abdomen tidak tegang.
4. Diusahakan agar penderita tidak batuk atau menangis.
5. Lakukan perawatan luka untuk mencegah terjadiny infeksi
6. Dalam waktu 1 bulan jangan mengangkut barang yang berat.
7. Selama waktu 3 bulan tidak boleh melakukan kegiatan yang dapat menaikkan tekanan intra
abdomen
8. pengkajian difokuskan pada kelancaran saluran nafas, karena bila terjadi obstruksi
kemungkinan terjadi gangguan ventilasi yang mungkin disebab-kan karena pengaruh obat-
obatan, anestetik, narkotik dan karena tekanan diafragma.  Selain itu juga penting untuk
mempertahankan sirkulasi dengan mewaspadai terjadinya hipotensi dan aritmia kardiak. 
Oleh karena itu perlu memantau TTV setiap 10-15 menit dan kesadaran selama 2 jam dan 4
jam sekali.
9. Keseimbangan cairan dan elektrolit, kenyamanan fisik berupa nyeri dan kenya-manan
psikologis juga perlu dikaji sehingga perlu adanya orientasi dan bimbingan kegi-atan post op
seperti ambulasi dan nafas dalam untuk mempercepat hilangnya pengaruh anestesi.
10. Perawatan pasca operasi, Jadwal pemeriksaan ulang tekanan darah, frekuensi nadi dan nafas.
Jadwal pengukuran jumlah produksi urin Berikan infus dengan jelas, singkat dan terinci bila
dijumpai adanya penyimpangan

140
11. Penatalaksanaan medis, Cairan IV sesuai indikasi. Anestesia; regional atau general Perjanjian
dari orang terdekat untuk tujuan sectio caesaria. Tes laboratorium/diagnostik sesuai indikasi.
Pemberian oksitosin sesuai indikasi. Tanda vital per protokol ruangan pemulihan, Persiapan
kulit pembedahan abdomen, Persetujuan ditandatangani. Pemasangan kateter fole

C. JENIS-JENIS ANASTESI DAN PEMBEDAHAN

ANESTESI SPINAL (SUB ARACHNOID NERVE BLOCK)


Anestesi spinal merupakan teknik anestesi regional yang baik untuk tindakan-
tindakan bedah, obstetrik, operasi operasi bagian bawah abdomen dan ekstremitas bawah.
Teknik ini baik sekali bagi penderita-penderita yang mempunyai kelainan paru-paru, diabetes
mellitus, penyakit hati yang difus dan kegagalan fungsi ginjal, sehubungan dengan gangguan
metabolisme dan ekskresi dari obat-obatan.

1. Anastesi

 Anastesi umum : mempunyai pengaruh pada pusat pernafasan janin


 Anastesi Spiral : baik buat janin tapi tekanan darah pasien dapat menurun
 Anastesi local : cara yang paling aman

Jenis –jenis anastesi yang dapat dilakukan pada Operasi Seksio Sesaria

a. Anastesi Spinal

Merupakan tehnik anastesi yang paling sering dilakukan dengan


perhitungankecepatan dan keefisienanya dibandingkan dengan tehnik epidural. Alirandarah
plasenta terus diberikan sehingga menghindari dari keadaan hipotensi Point praktik
pelaksanaan anestesi spinal :

 Hindari kompresi aortokava


 Atropin (0,6 mg) dan efedrin (30 mg yang dilarutkan kedalam 3 mg.ml-1) harus
disiapkan , dengan obat-obat untuk anastesi umum siap tersedia.
 Pasang invus IV (dengan kanula 14 atau 16 g)
 Semua obat untuk inejeksi subarakhnoid harus disiapkan menggunakan saringan
partikulat
 Bupivakain Hiperbarik (berat) 0,5% 2, 5 ml tepat untuk sebagian besar ibu.
 Morfin 0,1 mg bebas bahan pengawet yang dicampur dengan anastesia lokal akan
memberikan analgesia pasca operasi yang lama dibantu denganparasetamol reguler dan
obat-obatan non steroid anti inflamasi kecuali dikontraindikasikan.

141
 Berikan infus harthmann atau satu liter salin 0,9% dengan cepat. Pertahankan tekanan
arteri sistolik diatas 100 mmHg dengan pemberian bolus IV efedrin 3 mg.
Hipotensi dengan takikardia paling baik diobati dengan peningkatan fenilefrin 50-100
mikrogram, yang cenderung meningkatkan tekanan darah dengan diiringi penurunan
denyut jantung. Fenilefrin harus dilarutkan dalam 100 mikrogram/ml sebelum
digunakan.
 Anestia(ketidak mampuan untuk merasakan sentuhan lembut) harus diperluas sampai
T4 pada saat pelahiran.
 Pada kondisi blok yang tidak adekuat, injeksi intratekal kedua tidak boleh diberikan,
karena sulit memperkirakan dosis aman yang tepat. Jika waktu memungkinkan ,
pasang kateter epidural dan isi dengan bupivakain 0,5% secara hati-hati.

b. Anastesi Epidural

Anastesi ini paling sering digunakan apabila analgesia epidural telah ditetapkan selama
persalinan.

Indikasi

 Sangat sedikit kejadian ketika ibu yang sedang mendapatkan epidural dalam persalinan
memerlukan C.anastesi umum untuk seksio sesaria dengan alasan tidak cukup waktu
tersedia untuk melakukan anastesi bedah
 Anastesi epidural dianjurkan pada beberap kondisi klinis(misalnya penyakit jantung
kongenital) jika tehnik regional lebih disukai daripada anastesi umum tetapi anastesi
spinal secara relaitf dikontraindikasikan karena memungkinkan terjadinya blok
simpatis yang mendadak
 Anastesia epidural dapat lebih dipilih jika pemberian analgesia pasca operasi dengan
infus bupivakain/fentanilpada kondisi ketergantungan tinggi diperlukan, misalnya
preeklampsia berat.
Point pelaksanaan anastesi epidural
 Pengisian untuk mencapai anastesia bedah harus diberikan diruang operasi dengan
pemantauan penuh, bukan dikamar bersalin
 Bupivakain 0,5% 15-20 ml bekerja secepat dan lebih dapat diandalkan dibandingkan
larutan lain untuk transformasi analgesia epidural dosis rendah kedalam anastesia
bedah. Dicatat bahwa sekitar 7 kali D.anastesi lokal diperlukan untuk efek yang
sebanding dengan efek obat yang diberikan kedalam epidural yang berlawanan dengan
rongga subarakhnoid.
 Opioid meningkatkan kualitas blok tersebut selama pembedahan(misalnya ketika
uterus harus dikeluaran) dan memberikan analgesia pasca operasi yang dibantu dengan
NSAID. Fentanil epidural dalam persalinan tidak menghalangi dosis pra operasi
sampai 100 mikrogram(misalnya 50 mikrogram selama blok diberikan dan 50

142
mikrogram berikutnya setelah pelahiran. Pemberian epidural berikutnya yaitu
diamorfin 2,5 mg akan memberikan analgesia pasca operasi yang sangat baik.
 Anastesi epidural dapat meninggalkan sensasi normal pada sebagian besar dermatoma
kaudal(sakral). Blok serabut sakral penting untuk mencegah nyeri selama traksi dan
penekanan pada vagina. Semua dermatoma dari S5 –T4 harus diuji terhadap dingin dan
pada kedua sisinya, serta batas atas dan bawah blok tersebut (dan semua segmen yang
dilewati) didokumentasikan.
 Nyeri intra operatif lebih mungkin terjadi pada epidural bukan spinal. Alfentanil
intravena dengan peningkatan 0,5 mg dapat digunakan untuk mengendalikan nyeri
tembus, dan seharusnya tidak boleh tidak diberikan karena alasan khawatir
menyebabkan depresi pernapasan neonatal. Isofluran 0,25% dalam oksigen 50% nitrus
oksida 50% yang diberikan dengan sistem pernafasan anestetik juga efektif. Nyeri
yang tidak dapat hilang dan menetap harus diatasi dengan anastesi umum. Anastesi
Umum Poin kunci pelaksana.
 Mesin anastetik dan peralatan untuk penatalaksnaan pembukaan jalan nafas yang sulit,
misalnya laringoskopi McCoy, pembuka gusi elastis, laryngeal mask airway(LMA),
dan peralatan krikotirotomi harus diperiksa.Janganmenggunakan alat yang tidak
dikenal untuk saat pertama krisis.
 Asisten yang telah terlatih harus tersedia untuk memberikan tekanan pada kartilago
krikoid, untuk menyingkirkan esofagus.
 Pasang kanula 14 g atau 16 g ditangan atau pergelangan tangan dengan l
larutan Hartmann atau salin 0,9%. Pastikan penentuan posisi agak miring kekiri
 Pastikan posisi kepala dan leher untuk intubasi.Selain agak miring kekiri, posisi kepala
agak keatas seharusnya memberikan perlindungan terhadap refluks gastroesofageal.
 Praoksigenasi melalui masker yang rapat selama 3 menit atau sampai konsentrasi
oksigen tidal akhir sampai 90%.
 Berikan bolus tiopental prakalkulasi 5-7 mg/kg atau 0,3 mg/kg . Berikan suksinilkolin
100mg atau rokuronium 0,6 mg/kg dan instrusikan asisten untuk melakukantekanan
pada krikoid.
 Pada kegagalan intubasi trakea, pertahankan tekanan krikoid dan usahakan untuk
melakukanventilasi paru dengan oksien 100% melalui masker wajah. Jika ventilasi
ternyata tidak memungkinkan, lepaskan tekanan krikoid (yang dapat mengakibatkan
obstruksi jalan nafas). Regurgitasi dan aspirasi paru oleh gaster tidak terelakkan dan
berakibat fatal.
 LMA dapat mengembalikan kepatenan jalan nafas dengan memindahkan lidah,
epiglotis atau laring dari dinding faringeal posterior. Selain itu, peningkatan resiko
regurgitasi dibandingkan dengan menggunakan selang trakea merupakan kepentingan
sekunder dalam melakukan oksigenasi. Jika pemulihan dari suksametonium telah
terjadi, pembedahan dapat dilakukan dengan respirasi spontan dialiri oleh 02 100%.
 Ventilasi mekanis harus dilakukan setelah berhasil melakukan intubasi trakea atau
pemasangan LMA jika blok neuromuskular yang tidak didepolarisasi telah digunakan.
Periksa pengembangan paru yang kontinu dan sesuaikan volume semenit untuk
mempertahankan tidal akhir CO2 sekitar 4,0 kPa.

143
 Jika jalan nafas terjaga dan pemulihandari blok suksinilkolin dipastikan, berikan
peningkatan relaksan yang tidak terdepolarisasi, misalnya atrakurium 25 mg atau
rekuronium 30 mg, yang ditunjukkan oleh respons terhadap stimulasi saraf perifer.
Dosis yang lebih kecil akan diperlukan dengan adanya konsentrasi magnesium serum
terapeutik.
 Sesuaikan pencampuran gas segar dengan 33-50% O2 dalam N2O dengan paling
sedikit 1,0 konsentasi alveolar minimal(minimum alveolar cocentation,MAC) (yang
diinspirasi) isofluran atau sevofluran . Jika as segar dengan aliran rendah digunakan
pada sistem lingkaran, pandu dengan aliran tidal akhir dan konsentrasi N2O.
 Kekhawatiran tentang efek agens anastetik pada bati baru lahir dan tonus uterus telah
sangat ditekankan pada masa lampau. Anastesi umum ringan yang berlebihan
mengakibatkan resiko gangguan kesadaran dan mengakibatkan efek yang merusak
aliran darah uteroplasenter
 Setelah tali pusat diklem, berikan morfin IV 10-20 m. Jangan menghentikan anastesia
inhalasi samapai pembedahan selesai.
 Balikkan blok neuromuskular dengan menggunakan stimulator saraf perifer u
ntuk memastikan pemulihan sepenuhnya.

Analgesia Pasca Operasi

 Jika tidak dikontraindikasian, diklofenak 100 mg suposituria harus diberikan pada


akhir pembedahan. Peresepan diklofenak secara teratur, 50 mg setiap 8 jam
ditambah parasetamol 1 g setiap 4-6 jam, maksimal 4 g/24 jam oral atau per
rektum. Dihidrokodein 30-60 mg oral, setiap 4 jam (maksimal 240 mg/24 jam)
diresepkan”sesuai kebutuhan”.
 Karena resiko depresi pernafasan, dapat dilakukan pembatasan pemberian opioid
parenteral untuk paling tidak 6 jam setelah pemberian fentanil spinal atau epidural
dan 12 jam setelah pemberian morfin atau diamorfin. Setelah anastesi umum,
lakukan titrasi morfin secara intravena. Untuk analgesia postnatal, resepkan morfin
10-15 mg IM setiap 3 jam “sesuai kebutuhan” atau 1 mg bolus(dihentikan 5 menit)
melalui patient controlled analgesia system (PCAS).
 Pastikan low molecular weight heparin (LMWH) telah diresepkan (emboli paru
merupakan penyebab utama kematian ibu di inggris).

144
Pre dan Pasca Bedah Pada Kasus Kebidanan (Laparatomi)

2.1 Pengertian
Laparatomi yaitu insisi pembedahan melalui pinggang (kurang begitu tepat), tapi
lebih umum pembedahan perut (Harjono. M, 1996). Pembedahan yang dilakukan pada
usus akibat terjadinya perlekatan usus dan biasanya terjadi pada usus halus. (Arif
Mansjoer, 2000). Ramali Ahmad (2000) mengatakan bahwa laparatomy yaitu pembedahan
perut, membuka selaput perut dengan operasi.  Sedangkan menurut Sanusi (1999),
laparatomi adalah insisi pembedahan melalui dinding perut atau abdomen.

Etiologi
Laparatomy dilakukan karena dari penyakit seperti :
1. Obstruksi usus halus disebabkan oleh perlekatan usus, hernia, neoplasma, intususepsi,
volvulus, benda asing, batu empedu yang masuk ke usus melalui fistula
kolesisenterik, penyakit radang usus (inflammatory bowel disease), striktur,
fibrokistik, dan hematoma.
2. Obstruksi usus besar disebabkan oleh karsinoma, volvulus, kelainan divertikular,
inflamasi, tumor jinak, imfaksi fekal dll.
3. Tumor kolorektal adalah adenokarsinoma yang berkembang dari polyp adenoma.
Kanker kolorektal merupakan penyakit keganasan ketiga paling sering ditemui dan
menjadi penyebab kematian akibat kanker.
4. Apendisitis adalah peradangan dari apendik vermiforis, dan merupakan penyebab
abdomen akut yang paling sering.
5. Adenocarcinoma endometrium adalah karsinoma endometrium. Peningkatan angka
kejadian karsinoma endometrium berhubungan dengan meningkatnya status
kesehatan sehingga usia harapan hidup kaum wanita semakin tinggi yang
mengakibatkan jumlah wanita yang berusia lanjut semakin banyak yang diiringi
dengan penggunaan preparat estrogen eksogen atau penggunaan terapi hormon
pengganti untuk mengatasi gejala-gejala menopausenya.
6. Kanker Indung Telur merupakan tumor ganas pada ovarium (indung telur). Kanker
ovarium paling sering ditemukan pada wanita yang berusia 50-70 tahun dan 1 dari 70
wanita menderita kanker ovarium.

145
Patofisiologi
            Rongga abdomen memuat baik organ-organ yang padat maupun yang berongga.
Trauma tumpul kemungkinan besar menyebabkan kerusakan yang serius bagi organ-organ
padat, dan trauma penetrasi sebagian besar melukai organ-organ berongga. Kompresi dan
perlambatan dari trauma tumpul menyebabkan fraktur pada kapsula dan parenkim organ
padat, sementara organ berongga dapat kolaps dan menyerap energi benturan.
Bagaimanapun usus yang menempati sebagian besar rongga abdomen, rentan untuk
mengalami oleh trauma penetrasi. Secara umum, organ-organ padat berespons terhadap
trauma dengan perdarahan. Organ-organ berongga pecah dan mengeluarkan isinya dan ke
dalam rongga peritoneal menyebabkan peradangan dan infeksi.
            Diagnosis dini adalah penting pada trauma abdomen. Pasien yang memperlihatkan
adanya cedera abdomen penetrasi fasia dalam peritoneal, ketidakstabilan hemodinamik,
atau tanda-tanda dan gejala-gejala abdomen akut dilakukan eksplorasi dengan
pembedahan. Pada kebanyakan kasus trauma abdomen lainnya, dilakukan lavase
peritoneal diagnostic (LPD). LPD yang positif juga mengharuskan dilakukan ekplorasi
pembedahan.
            Baik LPD ataupun scan CT adalah 100 % diagnostic, sehingga pasien-pasien
trauma dengan hasil negatif harus diobservasi. Dilakukan serangkaian pengukuran tingkat
hematokrit dan amylase. Pengobatan nyeri mungkin ditunda sehingga tidak mengaburkan
tanda-tanda dan gejala-gejala yang potensial. Masukan per oral juga ditunda untuk
berjaga-jaga jika diperlukan pembedahan. Pasien dikaji untuk mendapatkan tanda-tanda
abdomen akut : distensi, rigiditas, guarding dan nyeri lepas. Eksplorasi pembedahan
menjadi perlu dengan adanya awitan setiap tanda-tanda dan gejala-gejala yang
mengindikasikan cedera. Penggunaan T abdomen telah memperoleh popularitas dan sering
digunakan atau sebagai tambahan pada LPD. Cedera retroperitoneal, seringkali
terlewatkan dengan LPD dan bahkan dengan pembedahan eksplorasi, sering dapat
diidentifikasi dengan CT san. Namun CT scan tidak terlalu diandalkan dalam mendeteksi
cedera pada organ-organ berongga.

2.2 Jenis Laparotomi

2.2.1 Menurut Tekhnik Pembedahan

1. Insisi pada garis tengah abdomen (mid-line incision)


a) Paparan bidang pembedahan yang baik

146
b) Dapat diperluas ke cephalad ( ke arah “kranial” )
c) Penyembuhan dan kosmetik tidak sebaik insisi tranversal
d) Dipilih cara ini bila insisi tranversal diperkirakan tidak dapat memberikan
paparan bidang pembedahan yang memadai
e) Dipilih pada kasus gawat-darurat

Gambar : A. Pemotongan pada linea alba dengan scalpel pada insisi garis tengah ; B. Insisi
diperdalam sehingga memotong lemak subkutis, anteror dan posterior sheath dari
m.rectus serta peritoneum ; C. Membuka peritoneum dengan scalpel secara hati-
hati dan terlihat usus kecil yang menonjol dibalik insisi peritoneum ; D. Insisi
peritoneum diperluas ke cephalad dengan gunting Mayo kearah umbilicus.

2. Insisi pada garis tranversal abdomen (Pfannenstiel incision)

Sering digunakan pada pembedahan obstetri dan ginekologi.

Keuntungan:

147
 Jarang terjadi herniasi pasca bedah
 Kosmetik lebih baik
 Kenyamanan pasca bedah bagi pasien lebih baik

Kerugian:

 Daerah pemaparan (lapangan operasi) lebih terbatas


 Tehnik relatif lebih sulit
 Perdarahan akibat pemisahan fascia dari lemak lebih banyak

148
Jenis insisi tranversal :

1. Insisi PFANNENSTIEL :
a) Kekuatan pasca bedah : BAIK
b) Paparan bidang bedah : KURANG
c) Insisi kulit tranversal semilunar 2 cm suprasimfis
d) Insisi diperdalam sampai fascia rectus dan fascia rectus dibuka secara
tranversal dengan gunting “Mayo” atau “scalpel”.
e) Tepi atas fascia rectus dijepit dengan “kocher” dan dipisahkan dari m.rectus
abdominalis serta m.pyramidalis secara tumpul dan waspada terhadap trauma
pembuluh darah disekitar garis tengah.
f) Setelah pemisahan diatas sudah lengkap – tepi bawah fascia rectus dijepit
dengan “kocher” dan dipisahkan dari m.pyramidalis secara tumpul sampai
mencapai simfsis pubis.
g) m.Rectus kiri dan kanan dipisahkan kearah lateral sehingga fascia tranversal
dan peritoneum terpapar.
h) Lapisan tersebut dijepit dengan 2 buah klem dan diangkat.
i) Hati-hati agar tidak mencederai vesica urinaria.
j) Hati-hati agar tidak mencederai omentum atau usus terutama pada pasca
pembedahan intra abdominal – endometriosis atau infeksi intra abdominal.
k) Lapisan tersebut dibuka kearah kranial dengan gunting “Metzenbaum”.
l) Lapisan tersebut dibuka lebih lanjut ke kaudal secara tajam.
m) Hati-hati mencederai vesica urinaria.
n) Lakukan pemeriksaan “transilluminasi” untuk menghindari cedera pada
kandung kemih
o) Untuk pemapaparan bidang operasi m.pyramidalis perlu dipisahkan digaris
tengah.
p) Bila langkah-langkah ditas sudah dilakukan, operator dapat masuk ke rongga
abdomen.
q) Bila pemaparan masih kurang optimal maka lakukan insisi CHERNEY
(jangan melakukan insisi Maylard !!!! ).

149
Gambar 5

1. Insisi kulit tranversal semilunar didaerah suprapubis, Jaringan subkutan dibuka


untuk memaparkan “anterior rectus sheath”
2. “anterior rectus sheath” dibuka untuk memaparkan m.rectus abdominalis
3. “anterior rectus sheath” dipisahkan dari m.rectus abdominalis secara tajam dan
tumpul ; pemisahan dimulai dari bagian kaudal

150
Gambar 6 : Pemisahan otot rectus abdominalis dari “anterior rectus sheath” kearah cranial

Gambar 7 : Identifikasi peritoneum antara muskulus rectus kiri dan kanan – peritoneum
dijepit dengan “pinset” dan dibuka pada bagian kranial garis tengah

151
Gambar 8 : Ujung jari operator dimasukkan dibawah peritoneum kearah kaudal dan dibuka
kearah bawah dengan menghindari tepi atas vesika urinaria

2. Insisi MAYLARD :
a) Paparan bidang bedah lebih baik dibanding PFANNENSTIEL oleh karena
dilakukan pemotongan pada m.rectus abdominalis dan disisihkan ke arah kranial
dan kaudal
b) Dapat digunakan untuk melakukan diseksi Lnn. Pelvik dan Lnn.Paraaortal
c) Dibanding insisi MIDLINE :
- Nyeri pasca bedah kurang.
- Penyembuhan lebih kuat dan pelekatan minimal namun
- Ekstensi ke bagian kranial sangat terbatas sehingga akses pada organ abdomen
bagian atas sangat kurang.
d) Insisi melintang kulit 2 – 3 cm diatas simfisis pubis dan diperdalam sampai fascia
rectus (seperti pada PFANNENSTIEL)
e) Identifikasi fascia rectus – dijepit – dibuka secara tajam bilateral.
f) Perbedaan dengan PFANNENSTIEL : m.rectus abdominalis tidak perlu
dipisahkan dari fascia rectus.
g) Identifikasi arteria epigastrica inferior – sisihkan dari jaringan ikat sepanjang tepi
lateral m.rectus :

o Identifikasi dengan palpasi dan pemisahan secara tumpul


o Setelah identifikasi – ikat secara ganda dan potong

152
h) Transeksi secara “zig-zag” m.rectus abdominalis kira-kira 3 – 5 cm diatas origo di
simfsis pubis.
i) Bila perlu elevasi masing-masing m.rectus abdominalis dengan “penrose drain”
untuk memudahkan transeksi dan melindungi jaringan dibawah otot.
j) Setelah transeksi – m.rectus disisihkan ke kranial dan kaudal dan peritoneum
dibuka secara TRANVERSAL (seperti insisi pada kulit) dengan tehnik yang
sama.
k) Saat menutup luka operasi: m.rectus tidak perlu didekatkan dengan menjahit oleh
karena akan sembuh secara spontan.

Gambar 9 : A. Insisi kulit melintang 5 cm diatas simfsis pubis B. “anterior rectus sheath”
dibuka dengan arah yang sama sehingga m.rectus abdominalis terpapar C. Belahan m.rectus
kiri dan kanan dipisahkan secara tumpul dan dilakukan traseksi dengan kauter dengan
gerakan “zig-zag” untuk hemostasis

153
Gambar 10 : D. Fascia tranversalis dan peritoneum dibuka dan potongan mrectus
abdominalis bagian atas di jahit pada “anterior rectus sheat” dengan jahitan matras. E.
Insisi peritoneum diperluas ke lateral dan vasa epigastrica inferior harus dipotong dan
diikat.

3. Insisi CHERNEY :
a) Perbedaan dengan insisi MAYLARD : pemotongan m.rectus dilakukan pada
origo di simfisis pubis.
b) Penyembuhan bedah dengan kekuatan yang baik dan paparan bidang
pembedahan terbatas.

Teknik :

1. Insisi kulit sampai fascia musculus rectus dilakukan dengan cara yang sama dengan insisi
Pfannestiel atau insisi Cherney.
2. Fascia m.rectus dijepit di garis tengah kemudian dilakukan insisi tranversal .
3. Potongan inferior fascia m.rectus dijepit dengan “kocher Clamps” – di elevasi dan
dibebaskan dari m.rectus abdominalis dan m.pyramidalis secara tumpul dan tajam ke arah
simfisis pubis sehingga apponeurosis m.rectus dan m.pyramidalis dapat di identifikasi.
4. Tendon dipotong dengan gunting “MAYO” untuk membebaskan otot dari origo pada
simfisis pubis.

154
5. M.rectus abdominalis mengalami rektraksi ke superior .
6. Fascia tranversalis serta peritoneum dibuka dengan cara yang sama.
7. Penutupan luka : tendon m.rectus abdominalis dan m.pyramidalis didekatkan denfgan
jahitan terputus permanen.
8. Bila pada insisi Pfannenstiel bidang pembedahan kurang luas – dapat dilakukan
perubahan ke arah insisi CHERNEY tanpa menggangu intergritas muskulatur di garis
tengah.

Gambar 11 : Insisi elipsoid pada kulit dan jaringan subkutis secara melintang.Tendon
m.rectus dan m.pyramidalis dilakukan transeksi masing-masing sisi sepertiterlihat pada
garis terputus. Otot disihkan ke kranial dan fascia tranversalis serta peritoneum dijepit dan
dibuka secara tranversal.

155
Gambar 12 : Pada akhir pembedahan:tendon m.rectus dijahit pada bagian permukaan
“rectus sheath” dengan beberapa jahitan terputus dan luka insisi apponeurosis

4. Paramedian, yaitu sedikit ke tepi dari garis tengah (± 2,5 cm), panjang (12,5 cm).
5. Transverse upper abdomen incision, yaitu insisi di bagian atas, misalnya
pembedahan colesistotomy dan splenektomy.

PENUTUPAN LUKA OPERASI PADA INSISI MIDLINE

Gambar 13 : Di empat tempat peritoneum parietalie dipasang klem Mickulicz untuk


pemaparan peritoneum yang akan ditutup. Jahitan diawali di bagian sudut cephalad.

Penutupan perittoneum dilakukan dengan menggunakan jahitan jelujur sederhana dengan


menjaga agar jangan sampai menjahit organ intraabdominal dan omentum dengan
memasang spatula

156
Gambar 14 : A. Peritoneum ditutup dengan jahitan jelujur sederhana dan fascia m.rectus
dijahit dengan jahitan horisontal “angka 8” ; B. Jahitan horisontal “angka 8” ganda ; C.
Lemak didekatkan dengan jahitan terputus ; D. Jahitan kulit dengan matras horisontal

PENUTUPAN LUKA OPERASI PADA INSISI TRANVERSAL

 Pada insisi Pfannenstiel, peritoneum dan fascia ditutup secara terpisah sebagaimana
halnya dengan penutupan pada insisi mid-line.
 Jaringan lemak subkutis ditautkan dengan 2 – 3 jahitan terputus untuk menghindari
dead space.
 Kulit ditutup dengan jahitan jelujur subkutikuler dengan plain cat-gut atau benang
lainnya # 0-3
 Bila m.rectus dipotong, penutupan peritoneum dilakukan secara tranversal dan
menyambung otot bersamaan dengan fascia dengan jahitan “angka 8” ; kemudian
jaringan subkutis dan kulit ditutup dengan cara yang sama dengan metode insisi
Pfannenstiel.

PENUTUPAN LUKA OPERASI PADA LAPAROTOMI KASUS INFEKSI

Untuk memperkuat dinding abdomen pada insisi mid-line kasus infeksi, digunakan 2 – 3
jahitan penguat (tension suture) dengan benang sutra (silk)

157
Gambar 15 : Metode penempatan jahitan penguat (tension suture)

A. Jarum tajam panjang dengan benang sutra ditempatkan dalam tabung plastik; B. Jahitan
menembus kulit, lemak dan fascia sekaligus ; C. Diagram lapisan luka dan posisi jahitan
penguat

PENUTUPAN ULANG PADA LUKA OPERASI YANG TERBUKA

Gambar 16 : Penutupan ulang kasus luka terbuka (wound dehiscence) dengan benang sutra
besar atau logam ; A. Metode penutupan ; B. Setelah dikerjakan pembersihan tepi luka
(debridemant), tepi luka operasi yang terbuka didekatkan dengan satu jahitan yang
menembus sampai lapisan peritoneum

158
2.2.2 Jenis Laparatomi Menurut Indikasi
1) Adrenalektomi: pengangkatan salah satu atau kedua kelenjar adrenalin
2) Apendiktomi: operasi pengangkatan apendiks
3) Gasterektomi: pengangkatan sepertiga distal lambung (duodenum/jejunum,
mengangkat sel-sel penghasil gastrin dalam bagian sel parietal)
4) Histerektomi: pengangkatan bagian uterus
5) Kolektomi: seksisi bagian kolon atau seluruh kolon
6) Nefrektomi: operasi pengangkatan ginjal
7) Pankreatomi: pengangkatan pancreas
8) Seksiosesaria: pengangkatan janin dengan membuka dinding ovarium melalui
abdomen.
9) Siksetomi: operasi pengangkatan kandung kemih
10) Selfigo oofarektomi: pengangkatan salah satu atau kedua tuba valopi dan
ovarium

2.3 Indikasi Bedah Laparatomi


Tindakan laparatomi bisa ditegakkan atas indikasi pada klien dengan apendiksitis,
pangkreatitis, hernia, kista ovarium, kangker serviks, kangker ovarium, kangker tuba falopi,
kangker hati, kangker lambung, kangker kolon, kangker kandung kemih, kehamilan ektopik,
mioma uteri, peritonitis, trauma abdomen, pendarahan abdomen, massa abdomen, dll.

2.4 Manifestasi Klinik Tindakan Laparatomi


1. Nyeri tekan
2. Perubahan tekanan darah, nadi dan pernafasan
3. Kelemahan
4. Gangguan integumuen dan jaringan subkutan
5. Konstipasi
6. Mual dan muntah, anoreksia

2.5 Topografi anatomi abdomen

Ada dua macam cara pembagian topografi abdomen yang umum dipakai untuk
menentukan lokalisasi kelainan, yaitu:

159
1. Pembagian atas empat kuadran, dengan membuat garis vertikal dan horizontal
melalui umbilicus, sehingga terdapat daerah kuadran kanan atas, kiri atas, kanan
bawah, dan kiri bawah.

Anatomic Location of Organs by Quadrant


RIGHT UPPER QUADRANT LEFT UPPER QUADRANT
(RUQ ) (LUQ)
Liver Stomach
Gallbladder Spleen
Duodenum Left lobe of liver
Head of pancreas Body of pancreas
Right kidney and adrenal Left kidney and adrenal
Hepatic flexure of colon Splenic flexure of colon
Part of ascending and transverse Part of transverse and descending

160
colon colon
RIGHT UPPER QUADRANT LEFT UPPER QUADRANT
(RUQ ) (LUQ)
Liver Stomach
Gallbladder Spleen
Duodenum Left lobe of liver
Head of pancreas Body of pancreas
Right kidney and adrenal Left kidney and adrenal
Hepatic flexure of colon Splenic flexure of colon
Part of ascending and transverse Part of transverse and descending
colon colon
RIGHT LOWER QUADRANT LEFT LOWER QUADRANT
(RLQ) (LLQ)
Cecum Part of descending colon
Appendix Sigmoid colon
Right ovary and tube Left ovary and tube
Right ureter Left ureter
Right spermatic cord Left spermatic cord

MIDLINE
Aorta
Uterus (if enlarged)
Bladder (if distended)
2. Pembagian atas sembilan daerah, dengan membuat dua garis horizontal dan dua
garis vertikal.
3. Garis horizontal pertama dibuat melalui tepi bawah tulang rawan iga kesepuluh
dan yang kedua dibuat melalui titik spina iliaka anterior superior (SIAS).
4. Garis vertikal dibuat masing-masing melalui titik pertengahan antara SIAS dan
mid-line abdomen.
5. Terbentuklah daerah hipokondrium kanan, epigastrium, hipokondrium kiri, lumbal
kanan, umbilical, lumbal kanan, iliaka kanan, hipogastrium/ suprapubik, dan iliak

Pada keadaan normal, di daerah umbilical pada orang yang agak kurus dapat terlihat
dan teraba pulsasi arteri iliaka. Beberapa organ dalam keadaan normal dapat teraba di daerah

161
tertentu, misalnya kolon sigmoid teraba agak kaku di daerah kuadaran kiri bawah, kolon
asendens dan saecum teraba lebih lunak di kuadran kanan bawah. Ginjal yang merupakan
organ retroperitoneal dalam keadaan normal tidak teraba. Kandung kemih pada retensio urine
dan uterus gravid teraba di daerah suprapubik.
2.6 Komplikasi
1. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis.
Tromboplebitis postoperasi biasanya timbul 7 - 14 hari setelah operasi. Bahaya besar
tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari dinding pembuluh darah vena dan
ikut aliran darah sebagai emboli ke paru-paru, hati, dan otak. Pencegahan
tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi, ambulatif dini.
2. Infeksi
Infeksi luka sering muncul pada 36 - 46 jam setelah operasi. Organisme yang paling
sering menimbulkan infeksi adalah stapilokokus aurens, organisme; gram positif.
Stapilokokus mengakibatkan pernanahan. Untuk menghindari infeksi luka yang
paling penting adalah perawatan luka dengan memperhatikan aseptik dan antiseptik.
3. Kerusakan integritas kulit sehubungan dengan dehisensi luka atau eviserasi.
Dehisensi luka merupakan terbukanya tepi-tepi luka. Eviserasi luka adalah keluarnya
organ-organ dalam melalui insisi. Faktor penyebab dehisensi atau eviserasi adalah
infeksi luka, kesalahan menutup waktu pembedahan, ketegangan yang berat pada
dinding abdomen sebagai akibat dari batuk dan muntah.
4. Ventilasi paru tidak adekuat
5. Gangguan kardiovaskuler : hipertensi, aritmia jantung
6. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
7. Gangguan rasa nyaman dan kecelakaan

2.7 Proses Penyembuhan Luka


1. Fase inflamasi
Fase ini berlangsung selama dua sampai lima hari, proses yang terjadi didalamnya, yaitu :

 Homestasis
 Vasokontriksi, vasokontriksi pembuluh darah sehingga menghentikan perdarahan
dan menurunkan masuknya mikroorganisme.
 Platelet aggregation
162
 Tromboplastin yang menggumpal.

 Inflamasi
 Vasodilatasi, vasodilatasi pembuluh darah dapat menghantarkan nutrisi dan
fagosit terhadap luka saat timbul tanda-tanda peradangan.
 Fagositosis, pada saat terjadi peradangan atau infeksi sel fagosit memakan atau
menghancurkan bakteri, benda asing.

2. Fase proliferase
Fase ini berlangsung selama lima hari sampai tiga minggu, proses yang terjadi
didalamnya, yaitu:
 Granulasi, pembentukan fibrobals dari kolagen, mengisi luka dan menghasilkan
kapiler baru.
 Epitelisasi, sel ini menyebar kesegala penjuru untuk menutup luka sekitar tiga cm
sehingga luka dapat tertutup.

3. Fase remodeling atau maturasi


Fase ini berlangsung selama tiga minggu sampai dua tahun, proses penyerapan
kembali jaringan yang berlebih dan membentuk jaringan baru yang tipis dan lemas,
kekuatannya hanta 80 persen dari jaringan yang asli. Upaya untuk mempercepat
penyembuhan luka:
1. Meningkatkan intake makanan tinggi protein dan vitamin C.
2. Menghindari obat-obat anti radang seperti steroid.
3. Pencegahan infeksi.
4. Pengembalian Fungsi fisik. Pengembalian fungsi fisik dilakukan segera setelah
operasi dengan latihan napas dan batuk efektif, latihan mobilisasi dini.
5. Mempertahankan konsep diri.

Pada gangguan konsep diri : Body image bisa terjadi pada pasien post
laparatomy karena adanya perubahan sehubungan dengan pembedahan. Intervensi
perawatan terutama ditujukan pada pemberian support psikologis, ajak klien dan
kerabat dekatnya berdiskusi tentang perubahan-perubahan yang terjadi dan bagaimana
perasaan pasien setelah operasi.

163
164
ANALISA KASUS SEMU

I. Pengkajian

1. Identitas

Nama : Ny. K  


Tgl MRS : 11 Oktober 2011
Umur               : 24 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku/bangsa : Jawa/Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan : Tidak bekerja ( Ibu Rumah tangga )
Pendidikan : SMA ( tamat )
Nama Suami : Tn. As
Umur               : 28 tahun
Pendidikan : SMU ( tamat )
Pekerjaan : Karyawan Pabrik
Alamat : Gadung No.100, Surabaya
Alasan dirawat : Nyeri luka operasi
Keluhan Utama sebelumnya    :  Nyeri perut kanan bawah
Upaya yang telah dilakukan     : operasi ( Apendiktomy ) tanggal 7 Oktober 2011 jam 13.35
WIB.

2. Riwayat Keperawatan
2.1 Riwayat Penyakit sebelumnya :
Klien mengatakan :
 Sering mengalami tekanan darah renda
 Waktu SMA pernah sakit typhus dan sakit kuning, dengan berobat jalan sembuh

2.2 Riwayat Penyakit Sekarang :


Nyeri luka operasi daerah perut kanan bawah. Nyeri bertambah hebat terutama bila  
bergerak, oleh karena itu klien sangat berhati-hati saat bergerak. Nyeri seperti
ditusuk-tusuk hilang timbul tiap 10 menit.

165
2.3 Riwayat Kesehatan Keluarga :
Dari keluarga ayah maupun ibunya tidak ada yang menderita sakit kencing manis,
ataupun sakit berat yang lainnya.

3. Pemeriksaan Fisik :
 Keadaan umum :
Klien terbaring terlentang dengan posisi tangan kiri memegang perut saat bergerak,
merintih kesakitan dan ekspresi wajah gelisah.
 Tanda Vital :
Suhu axilla 36,1 ° C   Nadi 88 x/menit,  Tensi 120/70 mmHg, RR 22 x/menit

4. Pengkajian Sistem :
4.1 Sistem Pernafasan :
Hidung bersih, pernafasan spontan, bentuk dada bulat datar tidak ditemukan tarikan 
otot bantu pernafasan saat bernafas, suara nafas vesikuler, tidak ditemukan suara
nafas tambahan.
4.2 Sistem Cardiovaskuler :
Suara jantung S1 S2 suara tunggal lupdub. Ictus Cordis teraba 1 cm pada ICS med
Clavicula kiri, percusi sonor, tidak ditemukan oedema pada palpebrae maupun
extremitas, KRT kembali dalam detik pertama. Tensi : 120/70 mmHg, Nadi :
88x/menit, Suhu 36,1 ° C.
4.3 Sistem Persyarafan :
 Kesadaran Composmentis, GCS :
E 4  V 5  M 6 dengan total nilai 15.
 Mata :
Konjungtiva merah muda , Sklera : Warna putih terdapat gambaran tipis
pembuluh darah, Pupil isocor.
 Leher :
Pergerakan bebas, tidak ditemukan pembesaran/bendungan vena jugularis,
pembesaran kelenjar gondok maupun limphe.
 Persepsi Sensori :

166
Klien mampu mendengar suara berbisik, mampu membedakan rasa manis, asin
dan pahit, penglihatan sampai tak terhingga, ambang rasa raba terhadap hangat,
dingin dan raba masih mampu membedakan.

4.4 Sistem Perkemihan :


Bak lancar warna kuning jernih 5-6 kali sehari, jumlah  ± 1500-200 cc perhari , baik
sebelum sakit maupun selama dirawat dirumah sakit, tidak ada keluhan nyeri saat
BAK.

4.5 Sistem Pencernaan :


 Mulut dan tenggorok :
Bibir dan lidah kering tidak ditemukan stomatitis maupun aptea, gigi bersih tidak
ada caries, tonsil/ovula warna merah muda tidak ada oedema.

167
 Abdomen :
Saat bergerak, klien menahan perut , terdapat luka operasi  abdomen bagian kanan
bawah dengan panjang ± 15 cm, luka bersih dengan jahitan. Luka tertutup oleh
kasa steril, rembesan darah minimal, luka kering, tidak bengkak, jahiten belum
menutup sempurna.

4.5 Sistem Tulang Otot – Integumen


Kemampuan pergerakan sendi bebas, ekstremitas pergerakan bebas. Kekuatan tot 5,
Flaping tremor -, KRT dan turgor kulit kembali detik pertama. Akral hangat.

4.6 Sistem Endokrin :


Klien mengatakan tidak pertumbuhan dan perkembangan fisiknya berjalan sebagaimana
orang lainnya. Tidak mempunyai keluhan yang berkaitan dengan hormonal misalnya
poluri, polidipsi maupun kelemahan.

Pemeriksaan Penunjang :
Pada pemeriksaan laboratorium pada 6 oktober 2011
Hb        12 gr %
Leukosit   9830 g/dL
Trombosit 162000

Analisa Data
No Symptom Etiologi     Problem
.
1. DS : Adanya insisi Gangguan rasa
          Klien mengeluh nyeri bedah nyaman (nyeri)
luka operasi daerah perut
kanan bawah, nyeri
bertambah hebat terutama
bila bergerak.
          Nyeri seperti ditusuk-
tusuk
          Skala 2 (0-4)
          Nyeri hilang timbul tiap

168
10 menit
DO :
          Klien merintih kesakitan
          Ekspresi wajah gelisah
          Post operasi hari 4

2. DS : - trauma Kerusakan
DO : pembedahan integritas kulit
          terdapat luka operasi 
abdomen bagian kanan
bawah dengan panjang ± 15
cm
          luka bersih dengan jahitan
          Luka tertutup oleh kasa
steril
          rembesan darah minimal
          luka kering
          tidak bengkak
          jahitan belum menutup
sempurna.

Diagnosa Keperawatan menurut Dongoes (1999):


1.        Gangguan rasa nyaman ( nyeri ) b/d Adanya insisi bedah
2.      Kerusakan integritas kulit b/d trauma pembedahan

Rencana Tindakan Keperawatan menurut Dongoes (1999)


No. Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional Nama
Dx. hasil Ns.
1. Tujuan: Setelah
1.        Kaji nyeri, catat Berguna dalam Ns. A
diberikan tindakan lokasi,        pengawasan
keperawatan selama karakteristik, keefektifan obat,
3x24 jam nyeri beratnya (skala 0-4), kemajuan

169
hilang/terkontrol selidiki dan laporkan penyembuhan.
Kriteria hasil : nyri dengan tepat. Perubahan pada
          Klien karakteristik nyeri
menyatakan sudah menunjukkan
tidak nyeri atau nyeri terjadinya
berkurang. abses/peritonitis,
          Klien tampak memerlukan upaya
rileks, mampu evaluasi medic dan
istirahat dengan intervensi
tenang 2.      Dorong ambulasi Meningkatkan
dini normalisasi fungsi
organ (merangsang
peristaltik dan
kelancaran flatus,
menurunkan
ketidaknyamanan
abdomen)
3.      Berikan aktivitas
hiburan Meningkatkan
relaksasi dan
kemampuan koping.

4.      Kolaborasi dalam Menghilangkan nyeri,


pemerian analgesik mempermudah
sesuai indikasi kerjasamna dengan
intervensi terapi lain.
2. Tujuan: setelah
1.        Observasi insisi Mempengaruhi pilihan Ns. A
dilakukan tindakan secara periodic, catat intervensi
keperawatan selama penyambungan tepi
3x24 jam diharapkan luka, pembentukan
integritas kulit klien hematoma dan
tetap terjaga. penyembuhan, Menurunkan
perdarahan/drainase. kemungkinan dehisens
Kriteria hasil: dan hernia insisi

170
          Menunjukkan
2.      Sokong insisi bila lanjut.
penyembuhan luka mengubah posisi, Meningkatkan
sesuai waktu tanpa batuk, napas dalam penyembuhan.
komplikasi dan ambulasi Akumulasi drainase
          Menunjukkan seroanguinosa pada
perilaku untuk
3.      Berikan perawatan lapisan subkutan
menurunkan insisi hati-hati untuk meningkatkan
tegangan jahitan mempertahankan tegangan jahitan,
balutan kering dan sehingga dapat
steril memperlambat
penyembuhan luka
dan memberikan
medium pertumbuhsn
bakteri

Kelembaban atau
ekskoriasi
meningkatkan
pertumbuhan bakteri
4.      Berikan perawatan yang menimbulkan
kulit; berikan infeksi pasca operasi.
perhatian khusus Menurunkan tekanan
pada lipatan kulit kulit dan
meningkatkan
sirkulasi
5.      Kolaborasi dalam
pemberian terapi
kinetic sesuai
indikasi
Implementasi dan evaluasi keperawatan
No Hari, Implementasi Nama Hari, Catatan Nama
. Tgl, jam Perawa Tgl. perkembanga perawa
dx t jam n dan t
Evaluasi

171
1 Selasa,29 Mengkaji nyeri, Ns.A SelasaS: Klien Ns.A
-11-2011 mencatat , mengatakan
07.00 lokasi,        29-11- masih nyeri.
08.00 karakteristik, 2011 Nyeri seperti
09.00 beratnya (skala 0- 14.00 ditusuk-tusuk
4), selidiki dan Skala 1 (0-4)
12.30 laporkan nyeri
dengan tepat. O: Klien
merintih
Mendorong kesakitan
ambulasi dini Ekspresi
wajah agak
Memberikan tenang
aktivitas hiburan Tampak
sedikit rileks,
Berkolaborasi tapi belum
dalam pemerian bisa istirahat
analgesik sesuai dengan
indikasi tenang

A: Masalah
belum teratasi

P: Lanjutkan
intervensi No.
1,2,3,4,5
2 Selasa,29 Mengobservasi Ns.A SelasaS: - Ns.A
-11-2011 insisi secara , 29-
O: luka bersih
07.00 periodic, mencatat 11- dengan
penyambungan tepi 2011 jahitan, Luka
08.15 luka, pembentukan 14.00 tertutup oleh
hematoma dan kasa steril,
11.00 penyembuhan, rembesan
perdarahan/drainas darah

172
11.15 e. minimal, luka
kering, tidak
Menyokong insisi bengkak,
12.30 bila mengubah jahitan belum
posisi, batuk, napas menutup
dalam dan ambulasi sempurna.
A: masalah
Memberikan teratasi
perawatan insisi sebagian
hati-hati untuk P: lanjutkan
mempertahankan intervensi no.
balutan kering dan 1,2,3,4,5
steril

Memberikan
perawatan kulit;
berikan perhatian
khusus pada lipatan
kulit

Berkolaborasi
dalam pemberian
terapi kinetic sesuai
indikasi

173
Pre dan Pasca Bedah pada Kasus Kebidanan 1

A.   Pengertian Perioprasi

Perioprasi merupakan tahapan dalam proses pembedahan yang dimulai prebedah (preoperasi),
bedah (intraoperasi), dan pasca bedah (postoperasi).

Prabedah merupakan masa sebelum dilakukannya tindakan pembedahan, dimulai sejak persiapan
pembedahan dan berakhir sampai pasien di meja bedah.

Intrabedah merupakan masa pembedahan yang dimulai sejak ditransfer ke meja bedah dan berakhir
sampai pasien dibawa ke ruang pemulihan.

Pascabedah merupakan  masa setelah dilakukan  pembedahan yang dimulai sejak pasien memasuki
ruang pemulihan  dan berakhir sampai evaluasi selanjutnya.

2.2   Jenis-Jenis Pembedahan

Jenis-jenis pembedahan berdasarkan lokasi

berdasarkan lokasinya , pembedahan dapat dibagi menjadi bedah toraks kardiovaskuler, bedah
neurologi, bedah orthopedi, bedah kepala, bedah  dan lain-lain.

Jenis-jenis pembedahan berdasarkan tujuan

 Berdasarkan tujuaannya pembedahan dibagi menjadi:

1.       Pembedahan diagnosis, ditujukan untuk menentukan sebab terjadinya gejala penyakit seperti
biopsi, eksplorasi, dan laparotomi.

2.      Pembedahan kuratif, dilakukan untuk mengambil bagian dari penyakit, misalnya pembedahan
apendektomi.

3.      Pembedahan restoratif, dilakukan untuk memperbaikideformitas, menyambungdaerah yang


terpisah.

4.      Pembedahan paliatif, dilakukan untuk mengurangi gejala tanpa menyembuhkan penyakit.

5.      Pembedahan kosmetik, dilakukan untuk memperbaiki bentuk dalam tubuh seperti rhinoplasti.

2.3   Pengertian  Anestesia

Anestesia adalah penghilangan kesadaran sementara sehingga menyebabkan hilang rasa pada tubuh
tersebut. Tujuannya untuk penghilang rasa sakit ketika dilakukan tindakan pembedahan.  Hal yang
perlu diperhatikan yaitu dosis yang diberikan sesuai dengan jenis pembedahan atau operasi
kecil/besar sesuai waktu yang dibutuhkan selama operasi dilakukan.

ü  Jenis-jenis anestesia

174
1.      Anestesia umum, dilakukan umtuk memblok pusat kesadaran otak dengan menghilangkan
kesadaran, menimbulkan relaksasi, dan hilangnya rasa. Pada umumnya, metode pemberiannya
adalah dengan inhalasi dan intravena.

2.      Anestesia regional, dilakukan pada pasien yang masih dalam keadaan sadar untuk meniadakan
proses konduktivitas pada ujung atau serabut saraf sensoris di bagian tubuh tertentu, sehingga
dapat menyebabkan adanya hilang rasa pada daerah tubuh tersebut. Metode umum yang digunakan
adalah melakukan blok saraf, memblok regional intravena  dengan torniquet, blok daerah spinal, dan
melalui epidural.

3.      Anestesia lokal, dilakukan untuk memblok transmisi impuls saraf pada daerah yang akan
dilakukan anestesia dan pasien dalam keadaan sadar. Metode yang digunakan adalah infiltrasi atau
topikal.

4.      Hipoanestesia, dilakukan untuk membuat status kesadaran menjadi pasif secara artifisial
sehingga terjadi peningkatan ketaatan pada saran atau perintah serta untuk mengurangi  kesadaran
sehingga perhatian menjadi terbatas. Metode yang digunakan adalah hipnotis.

5.      Akupuntur, anestesia yang dilakukan untuk memblok rangsangan nyeri dengan merangsang
keluarnya endofrin tanpa menghilangkan kesadaran. Metode yang banyak digunakan adalah jarum
atau penggunaan elektrode pada permukaan kulit.

2.4   Asuhan Dan Persiapan Pasien Preoperasi (Pra Bedah)

Hal-hal yang perlu dikaji dalam tahap prabedah adalah pegetahuan tentang persiapan pembedahan,
dan kesiapan psikologis. Prioritas pada prosedur pembedahan yang utama adalah inform consent
yaitu pernyataan persetujuan klien dan keluarga tentang tindakan yang akan dilakukan yang berguna
untuk mencegah ketidaktahuan klien tentang prosedur yang akan dilaksanakan dan juga menjaga
rumah sakit serta petugas kesehatan dari klien dan keluarganya mengenai tindakan tersebut.

ü  Rencana tindakan :

1.      Pemberian pendidikan kesehatan prabedah.

Pendidikan kesehatan yang perlu diberikan mencangkup penjelasan mengenai berbagai informasi
dalam tindakan pembedahan. Informasi tersebut diantaranya tentang jenis pemeriksaan yang
dilakukan sebelum bedah, alat-alat khusus yang di perlukan, pengiriman ke kamar bedah, ruang
pemulihan, dan kemungkinan pengobatan setelah bedah.

2.      Persiapan diet

Sehari sebelum bedah, pasien boleh menerima makanan biasa. Namun, 8 jam sebelum bedah
tersebut dilakukan, pasien tidak diperbolehkan makan. Sedangkan cairan tidak diperbolehkan 4 jam
sebelum operasi, sebab makanan dan cairan dalam lambung dapat menyebabkan aspirasi.

3.      Persiapan kulit

175
Dilakukan dengan cara membebaskan daerah yang akan dibedah dari mikroorganisme dengan cara
menyiram kulit dengan sabun heksakloforin atau sejenisnya yang sesuai dengan jenis pembedahan.
Bila pada kulit terdapat rambut, maka harus di cukur.

4.      Latihan napas dan latihan batuk

Latihan ini dilakukan untuk meningkatkan kemampuan pengembangan paru-paru. Pernapasan yang
dianjurkan adalah pernapasan diafragma, dengan cara berikut :

a.      Atur posisi tidur semifowler, lutut dilipat untuk mengembangkan toraks.

b.      Tempatkan tangan diatas perut.

c.       Tarik napas perlahan-lahan melalui hidung, biarkan dada mengembang.

d.      Tahan napas 3 detik.

e.      Keluarkan napas dengan mulut yang dimoncongkan.

f.        Tarik napas dan keluarkan kembali, lakukan hal yang sama hingga tiga kali setelah napas
terakhir, batukkan untuk mengeluarkan lendir.

g.      Istirahat.

5.      Latihan kaki

Latihan ini dapat dilakukan untuk mencegah dampak tromboflebitis. Latihan kaki yang dianjurkan
antara lain latihan memompa otot, latihan quadrisep, dan latihan mengencangkan glutea. Latihan
memompa otot dapat dilakukan dengan mengontraksi otot betis dan paha, kemudian istirahatkan
otot kaki, dan ulangi hingga sepuluh kaki. Latihan quadrisep dapat dilakukan dengan
membengkokkan lutut kaki rata pada tempat tidur, kemudian meluruskan kaki pada tempat tidur,
mengangkat tumit, melipat lutut rata pada tempat tidur, dan ulangi hingga lima kali. Latihan
mengencangkan glutea dapat dilakukan dengan menekan otot pantat, kemudian coba gerakkan kaki
ke tepi tempat tidur, lalu istirahat, dan ulangi hingga lima kali.

6.      Latihan mobilitas

Latihan ini dilakukan untuk mencegah komplikasi sirkulasi, mencegah dekubitus, merangsang
peristaltik, serta mengurangi adanya nyeri. Melalui latihan mobilitas, pasien harus mampu
menggunakan alat di tempat tidur, seperti menggunakan penghalang  agar bsa memutar badan,
melatih duduk di sisi tempat tidur, atau dengan menggeser pasiem ke sisi tempat tidur. Melatih
duduk diawali dengan tidur fowler, kemudian duduk tegak dengan kaki menggantung di sisi tempat
tidur.

7.      Pencegahan cedera

Untuk mengatasi risiko terjadinya cedera, tindakan yang perlu dilakukan sebelum pelaksanaan
bedah adalah:

a.      Cek identitas pasien.

176
b.      Lepaskan perhiasan pada pasien yang dapat mengganggu, misalnya cincin, gelang, dan lain-lain.

c.       Bersihkan cat kuku untuk memudahkan penilaian sirkulasi.

d.      Lepaskan kontak lensa.

e.      Lepaskan protesis..

f.        Alat bantu pendengaran dapat dapat digunakan jika pasien tidak dapat mendengar.

g.      Anjurkan pasien untukmengosongkan kandung kemih.

h.      Gunakan kaos kaki anti emboli jika pasien berisiko terjadi tromboflebitis.

2.5    Perawatan intaoperasi  (Bedah)

Hal yang perlu di dikaji dalam intrabedah adalah pengaturan posisi pasien. Berbagai masalah yang
terjadi selama pembedahan mencakup aspek pemantauanfisiologis perubahan tanda vital, sistem
kardiovaskular, keseimbangan cairan, dan pernafasan. Selain itu lakukan pengkajian trhadap tim,
dan instrumen pembedahan, serta anestesia yang diberikan.

ü  Rencana tindakan:

1.      Penggunaan baju seragam bedah.

Penggunaan baju seragam bedah didesain khusus dengan harapan dapat mencegah kontaminasi dari
luar. Hal itu dilakukan dengan berprinsip bahwa semua baju dari luar harus diganti dengan baju
bedah yang steril, atau baju harus dimasukkan ke dalam celana atau harus menutupi pinggang untuk
mengurangi menyebarnya bakteri, serta gunakan tutup kepala, masker, sarung tangan, dan celemek
steril.

2.      Mencuci tangan sebelum pembedahan.

3.      Menerima pasien di daerah bedah.

Sebelum memasuki wilayah bedah, pasien harus melakukan pemeriksaan ulang di ruang penerimaan
untuk mengecek kembali nama, bedah apa yang akan dilakukan, nomor status registrasi pasien,
berbagai hasil laboratorium dan X-ray, persiapan darah setelah dilakukan pemeriksaan silang dan
golongan darah, alat protesis, dan lain-lain.

4.      Pengiriman dan pengaturan posisi ke kamar bedah.

Posisi yang dianjurkan pada umumnya adalah telentang, telungkup, trendelenburg, litotomi, lateral,
atau disesuaikan dengan jenis operasi yang akan dilakukan.

5.      Pembersihan dan persiapan kulit.

Pelaksanaan tindakan ini bertujuan untuk membuat daerah yang akan dibedah bebas dari kotoran
dan lemak kulit, serta mengurangi adanya mikroba. Bahan yang digunakan dalam membersihkan
kulit ini harus memiliki spektrum khasiat, kecepatan khasiat, potensi yang baik dan tidak menurun
apabila terdapat kadar alkhohol, sabun deterjen, atau bahan organik lainnya.

177
6.      Penutupan daerah steril.

Penutupan daerah steril dilakukan dengan menggunakan duk steril agar tetap sterilnya di daerah
seputar bedah dan mencegah berpindahnya mikroorganisme antara daerah steril dan tidak.

7.      Pelaksanaan anestesia.

Pelaksanaan anestesia dapat dilakukan dengan berbagai macam, antara lain anestesia umum,
inhalasi atau intravena, anestesia regional, dan anestesia lokal.

8.      Pelaksanaan pembedahan.

Setelah dilakukan anestesia, tim bedah akan melaksanakan pembedahan sesuai dengan ketentuan
embedahan.

2.6   Asuhan Dan Persiapan Pasien  Postroperasi (Pasca Bedah)

Setelah tindakan pembedahan (pascabedah), beberapa hal yang perlu dikaji diantaranya adalah
status kesadaran, kualitas jalan napas, sirkulasi dan perubahan tanda vital yang lain, keseimbangan
elektrolit,  kardivaskular, lokasi daerah pembedahan dan sekitarnya, serta alat-alat yang digunakan
dalam pembedahan. Selama periode ini proses asuhan diarahkan pada menstabilkan kondisi pasien
pada keadaan equlibrium fisiologis pasien, menghilangkan nyeri dan pencegahan komplikasi.
Pengkajian yang cermat dan intervensi segera membantu pasien kembali pada fungsi optimalnya
dengan cepat, aman dan nyaman.

Upaya yang dapat dilakukan diarahkan untuk mengantisipasi dan mencegah masalah yang
kemungkinan mucul pada tahap ini. Pengkajian dan penanganan yang cepat dan akurat sangat
dibutuhkan untuk mencegah komplikasi yang memperlama perawatan di rumah sakit atau
membahayakan diri pasien. Memperhatikan hal ini, asuhan  postoperasi  sama pentingnya dengan
prosedur pembedahan itu sendiri.

ü  Faktor yang Berpengaruh Postoperasi

Faktor yang berpengaruh postopersi, yaitu:


1. Mempertahankan jalan nafas
Dengan mengatur posisi, memasang suction dan pemasangan mayo/gudel.
2. Mempertahankan ventilasi/oksigenasi
Ventilasi dan oksigenasi dapat dipertahankan dengan pemberian bantuan nafas melalui ventilaot
mekanik atau nasal kanul.
3. Mempertahakan sirkulasi darah
Mempertahankan sirkulasi darah dapat dilakukan dengan pemberian caiaran plasma ekspander.
4. Observasi keadaan umum, observasi vomitus dan drainase
Keadaan umum dari pasien harus diobservasi untuk mengetahui keadaan pasien, seperti kesadaran
dan sebagainya. Vomitus atau muntahan mungkin saja terjadi akibat penagaruh anastesi sehingga
perlu dipantau kondisi vomitusnya. Selain itu drainase sangat penting untuk dilakukan obeservasi
terkait dengan kondisi perdarahan yang dialami pasien.
5. Balance cairan

178
Harus diperhatikan untuk mengetahui input dan output caiaran klien. Cairan harus balance untuk
mencegah komplikasi lanjutan, seperti dehidrasi akibat perdarahan atau justru kelebihan cairan yang
justru menjadi beban bagi jantung dan juga mungkin terkait dengan fungsi eleminasi pasien.
6. Mempertahanakan kenyamanan dan mencegah resiko injury.
Pasien post anastesi biasanya akan mengalami kecemasan, disorientasi dan beresiko besar untuk
jatuh. Tempatkan pasien pada tempat tidur yang nyaman dan pasang side railnya. Nyeri biasanya
sangat dirasakan pasien, diperlukan intervensi keperawatan yang tepat juga kolaborasi dengan medi
terkait dengan agen pemblok nyerinya. 

ü  Tindakan:

1.      Meningkatkan proses penyembuhan luka dan mengurangi rasa nyeri dapat dilakukan
manajemen  luka. Amati kondisi luka operasi dan jahitannya, pastikan luka tidak mengalami
perdarahan abnormal. Observasi discharge untuk mencegah komplikasi lebih lanjut. Manajemen
luka meliputi perawatan luka sampai dengan pengangkatan jahitan. Kemudian  memperbaiki asupan
makanan tinggi protein dan vitamin C. Protein dan vitamin C dapat membantu pembentukan
kolagen dan mempertahankan integritas dinding kapiler.

2.      Mempertahankan respirasi yang sempurna dengan latihan napas, tarik napas yang dalam
dengan mulut terbuka, lalu tahan napas selama 3 detik dan hembuskan. Atau, dapat pula dilakukan
dengan menarik napas melalui hidung dan menggunakan diafragma, kemudian napas dikeluarkan
secara perlahan-lahan melalui mulut yang dikuncupkan.

3.      Mempertahankan sirkulasi, dengan stoking pada pasien yang berisiko tromboflebitis atau
pasien dilatih agar tidak duduk terlalu lama dan harus meninggikan kaki pada tempat duduk guna
untuk memperlancar vena.

4.      Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit, dengan memberikan cairan sesuai
kebutuhan pasien, monitor input dan output , serta mempertahankan nutrisi yang cukup.

5.      Mempertahankan eliminasi, dengan mempertahankan asupan dan output, serta mencegah
terjadinya retensi urine.

6.      Mobilisasi dini,  dilakukan meliputi ROM, nafas dalam dan juga batuk efektif yang penting untuk
mengaktifkan kembali fungsi neuromuskuler dan mengeluarkan sekret dan lendir. Mempertahankan
aktivitas dengan latihan yang memperkuat otot sebelum ambulatori.

7.      Mengurangi kecemasan dengan melakukan komunikasi secara  terapeutik.

8.      Rehabilitasi, diperlukan oleh pasien untuk memulihkan kondisi pasien kembali. Rehabilitasi
dapat berupa berbagai macam latihan spesifik yang diperlukan untuk memaksimalkan kondisi pasien
seperti sedia kala.

9.      Discharge Planning. Merencanakan  kepulangan pasien dan memberikan informasi kepada klien
dan keluarganya tentang hal-hal yang perlu dihindari dan dilakukan sehubungan dengan
kondis/penyakitnya post operasi.

179
Ada 2 macam discharge planning :
1) Untuk perawat/bidan : berisi point-point discahrge planing yang diberikan kepada klien (sebagai
dokumentasi)
2) Untuk pasien : dengan bahasa yang bisa dimengerti pasien dan lebih detail.

2.7   Manajemen Luka

A.     Pengertian luka

Luka merupakan suatu keadaan terputusnya kontinuitas jaringan tubuh, yang dapat menyebabkan
terganggunya fungsi tubuh sehingga megganggu aktivitas sehari-hari.

B.      Jenis luka

Berdasarkan sifat kejadiannya, luka dibagi dua jenis, yaitu luka disengaja dan luka tidak disengaja.
Luka disengaja misalnya luka terkena radiasi atau bedah, sedangkan luka tidak disengaja misalnya
luka terkena trauma. Luka yang tidak disengaja juga dibagi menjadi luka tertutup dan luka terbuka.
Luka tertutup yaitu tidak terjadi robekan, sedangkan luka terbuka yaitu jika terjadi robekan dan
terlihat. Luka terbuka seperti luka abrasi (akibat gesekan), luka puncture (akibat tusukan), dan luka
hautration (akibat alat-alat yang digunakan dalam perawatan luka). Di bidang kebidanan, luka yang
sering terjadi adalah luka episiotomi, luka bedah seksio caesarea, atau luka saat proses persalinan.

Berdasarkan penyebabnya, dibagi menjadi dua jenis, yaitu:

1.      Luka mekanik, diantaranya:

a.      Vulnus scissum, luka sayat akibat benda tajam. Pinggir lukanya terlihat rapi.

b.      vulnus contusum, luka memar karena cedera pada jaringan bawah kulit akibat benturan benda
tumpul.

c.       vulnus lateratum, luka robek akibat terkena mesin atau benda lainnya yang menyebabkan
robeknya jaringan rusak dalam.

d.      vulnus puncture, luka tusuk yang kecil di bagian luar, tetapi besar di bagian dalam.

e.      vulnus sclopetorum, luka tembak akibat tembakan peluru.

f.        vulnus morsum, luka gigitan yang tidak jelas bentuknya pada bagian luka.

g.      vulnus abrasio, luka terkikis yang terjadi pada bagian luka dan tidak sampai ke pembuluh darah.

2.      Luka nonmekanik, terdiri atas luka akibat zat kimia, termik, radiasi, atau sengatan listrik.

C.      Proses penyembuhan luka

Poses penyembuhan luka melalui empat tahap, yaitu:

1.      Tahap respons inflamasi akut terhadap cedera. Tahap ini dimulai saat terjadinya luka. Pada
tahap ini, terjadi proses hemostasis yang ditandai dengan pelepasan histamin dan mediator lain

180
lebih dari sel-sel yang rusak, disertai proses peradangan dan migrasi sel darah putih ke daerah yang
rusak.

2.      Tahap destruktif. Pada tahap ini, terjadi pembersihan jaringan yang mati oleh leukosit dan
makrofag.

3.      Tahap poliferatif. Pada tahap ini, pembuluh darah baru diperkuat oleh jaringan ikat dan
menginfiltrasi luka.

4.      Tahap maturasi. Pada tahap ini, terjadi reepitelisasi, kontraksi luka, dan organisasi jaringan ikat.

D.     Faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka

Proses penyembuhan luka di pengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu:

1.      Vaskularisasi, memengaruhi luka karena luka membutuhkan keadaan peredaan darah yang baik
untuk pertumbuhan atau perbaikan sel.

2.      Anemia, memperlambat proses penyembuhan luka mengingat perbaikan sel membutuhkan
kadar protein yang cukup. Oleh sebab itu, orang yang mengalami kekurangan kadar hemoglobin
dalam darah akan mengalami proses penyembuhan lama.

3.      Usia, kecepatan perbaikan sel  berlangsung sejalan dengan pertumbuhan  atau kematangan
usia seseorang. Namun selanjutnya, proses penuaan dapat menurunkan sistem perbaikan sel
sehingga dapat memperlambat proses penyembuhan.

4.      Penyakit lain, misalnya seperti diabetes melitus dan ginjal, dapat memperlambat proses
penyembuhan luka.

5.      Nutrisi, merupakan unsur utama dalam membantu perbaikan sel karena kandungan zat gizi
didalam. Sebagai contoh, vitamin A berfungsi untuk membantu proses epitelisasi atau penutupan
luka dan sintesis kolagen; vitamin B kompleks sebagai kofaktor pada sistem enzin yang mengatur
metabolisme protein, karbohidrat, dan lemak; vitamin C dapat berfungsi sebagai fibroblas, dan
mencegah adanya infeksi, serta membentuk kapiler-kapiler darah; dan vitamin K yang membantu
sintesis protombin dan berfungsi sebagai zat pembekuan darah.

6.      Kegemukan, obat-obatan, merokok, dan stres, memengaruhi proses penyembuhan luka yang
lebih lama.

E.      Masalah yang terjadi pada luka bedah

1.      Pendarahan, masalah yang ditandai dengan adanya pendarahan yang disertai perubahan tanda
vital seperti adanya denyut nadi, kenaikan pernefasan, penurunan tekanan darah, melemahnya
kondisi tubuh, kehausan, serta keadaan kulit yang dingin dan lembab.

181
2.      Infeksi, terjadi bila terdapat tanda-tanda seperti kulit  kemerahan, demam atau panas rasa
nyeri dan timbul bengkak, jaringan di sekitar luka mengeras, serta adanya kenaikan leukosit.

3.      Dehiscene , merupakan pecahnya luka secara sebagian atau seluruhnya yang dapat dipengaruhi
oleh berbagai faktor, seperti kegemukan, kekurangan nutrisi, terjadinya trauma, dan lain-lain. Sering
ditandai dengan kenaikan suhu tubuh (demam), takikardia, dan rasa nyeri pada daerah luka.

F.       Cara menjahit luka

Menjahit luka merupakan cara yang dilakukan untuk menutup luka melalui jahitan. Tindakan ini
bertujuan untuk mencegah terjadinya pendarahan, infeksi silang, dan mempercepat proses
penyembuhan.

Persiapan alat dan bahan:

1.      Pinset anatomi.

2.      Pinset cirurghi.

3.      Gunting steril.

4.      Naald voerder.

5.      Jarum.

6.      Benang.

7.      Larutan betadine.

8.      Alkohol 70%.

9.      Obat anestesia.

10.  Spuit.

11.  Duk steril.

12.  Pisau steril.

13.  Gunting perban.

14.  Plester/pembalut.

15.  Bengkok.

16.  Kasa steril.

17.  Mangkok kecil.

18.  Handscoon steril.

182
Prosedur kerja: 

1.      Menyapa dan memperkenalkan diri kepada  klien dengan ramah dan sopan.

2.      Jelaskan kepada pasien mengenai tindakan yang akan dilakukan.

3.      Cuci tangan

4.      Menutup sampiran

5.      Persiapan alat

6.      Gunakan handscoon steril.

7.      Larutkan desinfeksi pada daerah yang akan dijahit dengan betadin dan alkohol 70%, kemudian
lakukan anestesia pada daerah yang akan dijahit.

8.      Lakukan jahitan pada daerah yang dikehendaki dengan menggunakan teknik mejahit yang telah
disesuaikan dengan kondisi luka.

9.      Berikan obat betadine.

10.  Tutup luka dengan menggunakan kasa steril.

11.  Lakukan pembalutan.

12.  Catat perubahan keadaan luka.

13.  Cuci tangan.

G.     Perawatan luka

Merupakan tindakan untuk merawat luka dan melakukan pembalutan. Hal tersebut dilakukan untuk
mencegah infeksi silang (masuk melalui luka) dan mempercepat proses penyembuhan luka.

Persiapan alat dan bahan:

1.      Pinset anatomi.

2.      Pinsen cirughi.

3.      Gunting steril.

4.      Kapas sublimat/savlon dalam tempatnya.

5.      Larutan H2O2.

6.      Larutan boorwater.

7.      NaCl 0,9 %.

8.      Gunting perban.

183
9.      Pester/pembalut.

10.  Bengkok.

11.  Kasa steril.

12.  Mangkok steril.

13.  Handscoon steril.

14.  Obat luka/betadin.

Prosedur kerja:

1.      Menyapa dan memperkenalkan diri kepada  klien dengan ramah dan sopan.

2.      Jelaskan kepada pasien mengenai tindakan yang akan dilakukan.

3.      Cuci tangan

4.      Menutup sampiran

5.      Persiapan alat

6.      Menggunakan sarung tangan steril.

7.      Buka plester dan balutan dengan menggunakan pinset.

8.      Bersihkan luka dengan menggunakan kapas/savlon, H 2O2, Boorwater, atau NaCl 0.9 %.
Penggunaannya  dengan keadaan luka. Lakukan hingga bersih.

9.      Berikan obat luka.

10.  Tutup luka dengan kasa steril.

11.  Balut luka.

12.  Catat perubahan keadaan luka.

13.  Cuci tangan.

H.     Cara mengangkat dan mengambil jahitan

Mengangkat atau mengambil jahitan pada luka bedah dilakukan dengan memotongsimpul jahitan.
Tujuannya untuk mencegah infeksi silang dan mempercepat proses penyembuhan luka.

Persiapan alat dan bahan:

1.      Pinset anatomi.

2.      Pinsen cirughi.

184
3.      Gunting angkat jahitan steril.

4.      Arteri klem.

5.      Larutan H2O2, boorwater, savlon/lisol atau larutan yang lainnya sesuai kebutuhan.

6.      Lidi kapas (lidi yang dilapisi kapas pada ujungnya)

7.      Alkohol 70%.

8.      Gunting perban.

9.      Pester/pembalut.

10.  Bengkok.

11.  Kasa steril.

12.  Mangkok steril.

13.  Handscoon steril.

14.  Obat luka.

15.  Gunting pembalut.

Prosedur kerja:

1.      Menyapa dan memperkenalkan diri kepada  klien dengan ramah dan sopan.

2.      Jelaskan kepada pasien mengenai tindakan yang akan dilakukan.

3.      Cuci tangan

4.      Menutup sampiran

5.      Persiapan alat

6.      Menggunakan sarung tangan steril.

7.      Buka plester dan balutan dengan menggunakan pinset.

8.      Bersihkan luka dengan menggunakan kapas/savlon, H 2O2, Boorwater, atau NaCl 0.9 %.
Penggunaannya  dengan keadaan luka. Lakukan hingga bersih.

9.      Angkat jahitan dengan menarik simpul jahitan sedikit ke atas, kemudian gunting benang dan
tarik dengan hati-hati. Lalu benang dibuang pada kasa yang disediakan.

10.  Tekan daerah sekitar luka hingga nanah tidak ada.

11.  Berikan obat luka.

185
12.  Tutup luka dengan kasa steril.

13.  Catat perubahan keadaan luka.

14.  Cuci tangan.

186
Pre dan Pasca Bedah pada Kasus Kebidanan 2

A.   Pengertian Perioprasi
Perioprasi merupakan tahapan dalam proses pembedahan yang dimulai prebedah
(preoperasi), bedah (intraoperasi), dan pasca bedah (postoperasi).
Prabedah merupakan masa sebelum dilakukannya tindakan pembedahan, dimulai sejak
persiapan pembedahan dan berakhir sampai pasien di meja bedah.
Intrabedah merupakan masa pembedahan yang dimulai sejak ditransfer ke meja bedah dan
berakhir sampai pasien dibawa ke ruang pemulihan.
Pascabedah merupakan  masa setelah dilakukan  pembedahan yang dimulai sejak pasien
memasuki ruang pemulihan  dan berakhir sampai evaluasi selanjutnya.

D.    Asuhan Dan Persiapan Pasien Preoperasi (Pra Bedah)


Hal-hal yang perlu dikaji dalam tahap prabedah adalah pegetahuan tentang persiapan
pembedahan, dan kesiapan psikologis. Prioritas pada prosedur pembedahan yang utama
adalah inform consent yaitu pernyataan persetujuan klien dan keluarga tentang tindakan yang
akan dilakukan yang berguna untuk mencegah ketidaktahuan klien tentang prosedur yang
akan dilaksanakan dan juga menjaga rumah sakit serta petugas kesehatan dari klien dan
keluarganya mengenai tindakan tersebut.

  Rencana tindakan :
1.      Pemberian pendidikan kesehatan prabedah.
Pendidikan kesehatan yang perlu diberikan mencangkup penjelasan mengenai berbagai
informasi dalam tindakan pembedahan. Informasi tersebut diantaranya tentang jenis
pemeriksaan yang dilakukan sebelum bedah, alat-alat khusus yang di perlukan, pengiriman
ke kamar bedah, ruang pemulihan, dan kemungkinan pengobatan setelah bedah.

2.      Persiapan diet
Sehari sebelum bedah, pasien boleh menerima makanan biasa. Namun, 8 jam sebelum bedah
tersebut dilakukan, pasien tidak diperbolehkan makan. Sedangkan cairan tidak diperbolehkan
4 jam sebelum operasi, sebab makanan dan cairan dalam lambung dapat menyebabkan
aspirasi.

187
3.      Persiapan kulit
Dilakukan dengan cara membebaskan daerah yang akan dibedah dari mikroorganisme dengan
cara menyiram kulit dengan sabun heksakloforin atau sejenisnya yang sesuai dengan jenis
pembedahan. Bila pada kulit terdapat rambut, maka harus di cukur.

4.      Latihan napas dan latihan batuk


Latihan ini dilakukan untuk meningkatkan kemampuan pengembangan paru-paru.
Pernapasan yang dianjurkan adalah pernapasan diafragma, dengan cara berikut :
a.      Atur posisi tidur semifowler, lutut dilipat untuk mengembangkan toraks.
b.      Tempatkan tangan diatas perut.
c.       Tarik napas perlahan-lahan melalui hidung, biarkan dada mengembang.
d.      Tahan napas 3 detik.
e.      Keluarkan napas dengan mulut yang dimoncongkan.
f.        Tarik napas dan keluarkan kembali, lakukan hal yang sama hingga tiga kali setelah napas
terakhir, batukkan untuk mengeluarkan lendir.
g.      Istirahat.

5.      Latihan kaki
Latihan ini dapat dilakukan untuk mencegah dampak tromboflebitis. Latihan kaki yang
dianjurkan antara lain latihan memompa otot, latihan quadrisep, dan latihan mengencangkan
glutea. Latihan memompa otot dapat dilakukan dengan mengontraksi otot betis dan paha,
kemudian istirahatkan otot kaki, dan ulangi hingga sepuluh kaki. Latihan quadrisep dapat
dilakukan dengan membengkokkan lutut kaki rata pada tempat tidur, kemudian meluruskan
kaki pada tempat tidur, mengangkat tumit, melipat lutut rata pada tempat tidur, dan ulangi
hingga lima kali. Latihan mengencangkan glutea dapat dilakukan dengan menekan otot
pantat, kemudian coba gerakkan kaki ke tepi tempat tidur, lalu istirahat, dan ulangi hingga
lima kali.

6.      Latihan mobilitas
Latihan ini dilakukan untuk mencegah komplikasi sirkulasi, mencegah dekubitus,
merangsang peristaltik, serta mengurangi adanya nyeri. Melalui latihan mobilitas, pasien
harus mampu menggunakan alat di tempat tidur, seperti menggunakan penghalang  agar bsa
memutar badan, melatih duduk di sisi tempat tidur, atau dengan menggeser pasiem ke sisi

188
tempat tidur. Melatih duduk diawali dengan tidur fowler, kemudian duduk tegak dengan kaki
menggantung di sisi tempat tidur.

7.      Pencegahan cedera
Untuk mengatasi risiko terjadinya cedera, tindakan yang perlu dilakukan sebelum
pelaksanaan bedah adalah:
a.      Cek identitas pasien.
b.      Lepaskan perhiasan pada pasien yang dapat mengganggu, misalnya cincin, gelang, dan
lain-lain.
c.       Bersihkan cat kuku untuk memudahkan penilaian sirkulasi.
d.      Lepaskan kontak lensa.
e.      Lepaskan protesis..
f.        Alat bantu pendengaran dapat dapat digunakan jika pasien tidak dapat mendengar.
g.      Anjurkan pasien untukmengosongkan kandung kemih.
h.      Gunakan kaos kaki anti emboli jika pasien berisiko terjadi tromboflebitis.

E.     Perawatan dan Asuhan intraoperasi  (Bedah)


Hal yang perlu di dikaji dalam intrabedah adalah pengaturan posisi pasien. Berbagai
masalah yang terjadi selama pembedahan mencakup aspek pemantauanfisiologis perubahan
tanda vital, sistem kardiovaskular, keseimbangan cairan, dan pernafasan. Selain itu lakukan
pengkajian trhadap tim, dan instrumen pembedahan, serta anestesia yang diberikan.

  Rencana tindakan:
1.      Penggunaan baju seragam bedah.
Penggunaan baju seragam bedah didesain khusus dengan harapan dapat mencegah
kontaminasi dari luar. Hal itu dilakukan dengan berprinsip bahwa semua baju dari luar harus
diganti dengan baju bedah yang steril, atau baju harus dimasukkan ke dalam celana atau
harus menutupi pinggang untuk mengurangi menyebarnya bakteri, serta gunakan tutup
kepala, masker, sarung tangan, dan celemek steril.
2.      Mencuci tangan sebelum pembedahan.
3.      Menerima pasien di daerah bedah.
Sebelum memasuki wilayah bedah, pasien harus melakukan pemeriksaan ulang di ruang
penerimaan untuk mengecek kembali nama, bedah apa yang akan dilakukan, nomor status

189
registrasi pasien, berbagai hasil laboratorium dan X-ray, persiapan darah setelah dilakukan
pemeriksaan silang dan golongan darah, alat protesis, dan lain-lain.
4.      Pengiriman dan pengaturan posisi ke kamar bedah.
Posisi yang dianjurkan pada umumnya adalah telentang, telungkup,trendelenburg, litotomi,
lateral, atau disesuaikan dengan jenis operasi yang akan dilakukan.
5.      Pembersihan dan persiapan kulit.
Pelaksanaan tindakan ini bertujuan untuk membuat daerah yang akan dibedah bebas dari
kotoran dan lemak kulit, serta mengurangi adanya mikroba. Bahan yang digunakan dalam
membersihkan kulit ini harus memiliki spektrum khasiat, kecepatan khasiat, potensi yang
baik dan tidak menurun apabila terdapat kadar alkhohol, sabun deterjen, atau bahan organik
lainnya.
6.      Penutupan daerah steril.
Penutupan daerah steril dilakukan dengan menggunakan duk steril agar tetap sterilnya di
daerah seputar bedah dan mencegah berpindahnya mikroorganisme antara daerah steril dan
tidak.
7.      Pelaksanaan anestesia.
Pelaksanaan anestesia dapat dilakukan dengan berbagai macam, antara lain anestesia umum,
inhalasi atau intravena, anestesia regional, dan anestesia lokal.
8.      Pelaksanaan pembedahan.
Setelah dilakukan anestesia, tim bedah akan melaksanakan pembedahan sesuai dengan
ketentuan embedahan.

F.    Asuhan Dan Persiapan Pasien  Post operasi (Pasca Bedah)


Setelah tindakan pembedahan (pascabedah), beberapa hal yang perlu dikaji diantaranya
adalah status kesadaran, kualitas jalan napas, sirkulasi dan perubahan tanda vital yang lain,
keseimbangan elektrolit,  kardivaskular, lokasi daerah pembedahan dan sekitarnya, serta alat-
alat yang digunakan dalam pembedahan. Selama periode ini proses asuhan diarahkan pada
menstabilkan kondisi pasien pada keadaan equlibrium fisiologis pasien, menghilangkan nyeri
dan pencegahan komplikasi. Pengkajian yang cermat dan intervensi segera membantu pasien
kembali pada fungsi optimalnya dengan cepat, aman dan nyaman.
Upaya yang dapat dilakukan diarahkan untuk mengantisipasi dan mencegah masalah yang
kemungkinan mucul pada tahap ini. Pengkajian dan penanganan yang cepat dan akurat sangat
dibutuhkan untuk mencegah komplikasi yang memperlama perawatan di rumah sakit atau

190
membahayakan diri pasien. Memperhatikan hal ini, asuhan  postoperasi  sama pentingnya
dengan prosedur pembedahan itu sendiri.

  Faktor yang Berpengaruh Postoperasi


Faktor – faktor yang harus diperhatikan pada postoperasi, yaitu:
1. Mempertahankan jalan nafas
Dengan mengatur posisi, memasang suction dan pemasangan mayo/gudel.

2. Mempertahankan ventilasi/oksigenasi
Ventilasi dan oksigenasi dapat dipertahankan dengan pemberian bantuan nafas melalui
ventilaot mekanik atau nasal kanul.

3. Mempertahakan sirkulasi darah


Mempertahankan sirkulasi darah dapat dilakukan dengan pemberian caiaran plasma
ekspander.

4. Observasi keadaan umum, observasi vomitus dan drainase


Keadaan umum dari pasien harus diobservasi untuk mengetahui keadaan pasien, seperti
kesadaran dan sebagainya. Vomitus atau muntahan mungkin saja terjadi akibat penagaruh
anastesi sehingga perlu dipantau kondisi vomitusnya. Selain itu drainase sangat penting untuk
dilakukan obeservasi terkait dengan kondisi perdarahan yang dialami pasien.

5. Balance cairan
Harus diperhatikan untuk mengetahui input dan output cairan klien. Cairan harus balance
( seimbang) untuk mencegah komplikasi lanjutan, seperti dehidrasi akibat perdarahan atau
justru kelebihan cairan yang justru menjadi beban bagi jantung dan juga mungkin terkait
dengan fungsi eleminasi pasien.

6. Mempertahanakan kenyamanan dan mencegah resiko injury.


Pasien post anastesi biasanya akan mengalami kecemasan, disorientasi dan beresiko besar
untuk jatuh. Tempatkan pasien pada tempat tidur yang nyaman dan pasang side railnya. Nyeri
biasanya sangat dirasakan pasien, diperlukan intervensi keperawatan yang tepat juga
kolaborasi dengan medi terkait dengan agen pemblok nyerinya. 

191
  Tindakan:
1.      Meningkatkan proses penyembuhan luka dan mengurangi rasa nyeri dapat dilakukan
manajemen  luka. Amati kondisi luka operasi dan jahitannya, pastikan luka tidak mengalami
perdarahan abnormal. Observasi discharge untuk mencegah komplikasi lebih lanjut.
Manajemen luka meliputi perawatan luka sampai dengan pengangkatan jahitan.
Kemudian  memperbaiki asupan makanan tinggi protein dan vitamin C. Protein dan vitamin
C dapat membantu pembentukan kolagen dan mempertahankan integritas dinding kapiler.
2.      Mempertahankan respirasi yang sempurna dengan latihan napas, tarik napas yang dalam
dengan mulut terbuka, lalu tahan napas selama 3 detik dan hembuskan. Atau, dapat pula
dilakukan dengan menarik napas melalui hidung dan menggunakan diafragma, kemudian
napas dikeluarkan secara perlahan-lahan melalui mulut yang dikuncupkan.
3.      Mempertahankan sirkulasi, dengan stoking pada pasien yang berisiko tromboflebitis atau
pasien dilatih agar tidak duduk terlalu lama dan harus meninggikan kaki pada tempat duduk
guna untuk memperlancar vena.
4.      Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit, dengan memberikan cairan sesuai
kebutuhan pasien, monitor input dan output , serta mempertahankan nutrisi yang cukup.
5.      Mempertahankan eliminasi, dengan mempertahankan asupan dan output, serta mencegah
terjadinya retensi urine.
6.      Mobilisasi dini,  dilakukan meliputi ROM, nafas dalam dan juga batuk efektif yang penting
untuk mengaktifkan kembali fungsi neuromuskuler dan mengeluarkan sekret dan
lendir. Mempertahankan aktivitas dengan latihan yang memperkuat otot sebelum ambulatori.
7.      Mengurangi kecemasan dengan melakukan komunikasi secara  terapeutik.
8.      Rehabilitasi, diperlukan oleh pasien untuk memulihkan kondisi pasien kembali. Rehabilitasi
dapat berupa berbagai macam latihan spesifik yang diperlukan untuk memaksimalkan kondisi
pasien seperti sedia kala.
9.      Discharge Planning. Merencanakan  kepulangan pasien dan memberikan informasi kepada
klien dan keluarganya tentang hal-hal yang perlu dihindari dan dilakukan sehubungan dengan
kondis/penyakitnya post operasi.
Ada 2 macam discharge planning :
1) Untuk perawat/bidan : berisi point-point discahrge planing yang diberikan kepada klien
(sebagai dokumentasi)
2) Untuk pasien : dengan bahasa yang bisa dimengerti pasien dan lebih detail.

192
Contoh kasus pre operasi :

1. Ny. A di diagnosa terdapat miom di rahim nya, oleh karena itu dokter
menyarankan agar ibu tersebut menjalani operasi pengangkatan miom. Tapi ibu
tersebut mengalami rasa takut untuk menjalani operasi. Peran bidan dalam
masalah ini adalah...

Jawaban : Bidan memberikan monitoring psikologis , dukungan psikologis yang


dilakukan antara lain :

- Memberikan dukungan emosional pada pasien


- Berdiri didekat klien dan memberikan sentuhan selama prosedur induksi
- Mengkaji status emosional klien
- Mengkomunikasikan status emosional klien kepada tim kesehatan ( jika ada
perubahan )
- Pengaturan dan koordinasi paramedis dan tindakan yang dilakukan anatara
lain :
a. Me-manage keamanan fisik pasien
b. Mempertahankan prinsip dan teknik asepsis

193
DaftarPustaka

Endjun, Judi Januadi. (2007). Ultrasonografi Dasar Obstetri dan Ginekologi. Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Uliyah, Musrifal. 2008. KeterampilanDasarKebidanan 2.Salemba Medika. Jakarta

Mochtar, Rustam.1998. SinopsisOstetri .Penerbitbukukedokteran EGC. Jakarta

http : // enyratna ambarwati.blogspot.com/2010/02/pemeriksaan diagnostic : htm

http://www.referensi-tentang-pengkajian-ctg.html

Endjun, Judi Januadi. (2007). Ultrasonografi Dasar Obstetri dan Ginekologi. Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Maryunani, anik. (2011). Keterampilan Dasar Praktik Klinik Kebidanan. Jakarta:Trans Info
Media

Margono. 2014. KeterampilanDasarKebidanan 2. DiandraPrimamitra. Jakarta

Uliyah, Musrifal. 2008. KeterampilanDasarKebidanan 2.Salemba Medika. Jakarta

Mochtar, Rustam.1998. SinopsisOstetri .Penerbitbukukedokteran EGC. Jakarta

http://fourseasonnews.blogspot.com/2012/04/persiapan-dan-indikasi-pemeriksaan-usg.html

http://silvia0810.blogspot.co.id/2015/03/pemberian-obat-pervagina-perrektum-dan.html

http://nissa-uchil.blogspot.co.id/2014/03/v-behaviorurldefaultvmlo_20.html

http://dianhusadanindyputri.blogspot.co.id/p/pemberian-obat-pada-vagina.html

http://dianhusadanindyputri.blogspot.co.id/p/pemberian-obat-pada-rectum.html

http://selinanovela.blogspot.co.id/2014/12/teknik-pemberian-obat-topikal-rektal.html

http://nissa-uchil.blogspot.co.id/2014/03/pemberian-obat-secara-topikal.html

194
http://indylaurenz.blogspot.co.id/p/pemberian-obat-pada-kulit.html

Kusyati, Eni.2006.Keterampilan danProsuderLaboratorium.Jakarta:BukuKedokteran EGC

Windiyati.2009.Keterampilan DasarPraktekKebidanan.Pontianak.

Bandiyah,Siti.2009.KeterampilanDasardanPraktekKlinikKeperawatandanKebidanan.Yogyak
arta:Nuha Offset

Uliyah dan A.AizAlimunHidayat . 2006. KDPK untuk Kebidanan. Surabaya: Salemba-


Medika.

Bobak, K. Jensen. 2005. PerawatanMaternitas. Jakarta, EGC.

Dudley HAF, Eckersley JRT, Paterson-Brown S. 2000. Pedoman Tindakan Medik dan
Bedah. Jakarta:EGC.

Johnson, Ruth, Taylor. 1997. Buku Ajar Praktek Kebidanan. Jakarta:EGC.

Uliyah, Musrifatul.(2008).Keterampilan Dasar Praktik Klinik untuk


Kebidanan.Surabaya:Salemba Medika

Gita.(2013)

https://oshigita.files.wordpress.com/2013/05/perawatan-luka-bedah-
kbdnn.pdfdiaksespadatanggal 10 Maretpukul 20:03

Asmadi. 2008. TeknikProseduralKeperawatan: KonsepdanAplikasiKebutuhanDasarKlien.


Jakarta: SalembaMedika

Bobak, K. Jensen. 2005. PerawatanMaternitas. Jakarta: EGC.

Dudley HAF, Eckersley JRT, Paterson-Brown S. 2000. PedomanTindakanMedikdanBedah.


Jakarta: EGC.

Effendy, Christantiedan Ag. Sri OktriHastuti. 2005. KiatSuksesmenghadapiOperasi.


Yogyakarta: SahabatSetia.

Potter & Perry. 2005. BukuAjar Fundamental Keperawatan. Jakarta: EGC

Kattwinkel, John. 2000. ResusitasiNeonatus. Jakarta : American Academy of Pediatrics.

195
Klaus, Marshall H. dkk. 1998. Penatalaksanaan Neonatus Resiko Tinggi. Jakarta : Buku

Kedokteran.

Melda, Gradika. 2011. https://thefuturisticlovers.wordpress.com/2012/03/18/kgd-i-resusitasi-

jantung-paru-pada-bayi-anak-dan-dewasa/. Di akses tanggal 11 Maret 2015 20.08 WIB.

Moore, J. George.dkk. 2001. EsensialObstetridanGinekologi. Jakarta: Hipokrates.

Prawirohardjo, Sarwono. 2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta : PT. Bina Pustaka Sarwono

Prawirohardjo.

Achadiat,M,chrisdiono (2001).Obstetridanginekologi.EGC, Jakarta.

Gail Wiscarz Stuart (1995). Askep Sectio Caesaria. Diakses 12-1-2011


http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/03/26

Harnawatiaj (2008) AskepSectioCaesaria.Diakses 26-3-2011


http://harnawatiaj.wordpress.com

Syahlan (1996). Ilmu kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, Jakarta.

Sarwono (1991).Kontra indikasi sc Diakses pada 12-1-2011 http://harnawatiaj.wordpress.com

Saifudin, Bari, Abdul (2001). Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo,
Jakarta.

Brunner and suddart. 1988. Textbook of Medical Surgical Nursing. Sixth Edition.Philadelpia:
J.B. Lippincott Campany

Doenges, Marilynn E. 2000. RencanaAsuhanKeperawatan. Jakarta: EGC

Fitzpatrick, JK. 1997. Abdominal Surgical Approaches in Danakas GT Pietrantoni M (ed)


“The Care Of The Gynecologic / Obstetric Patient”. St Louis, Missouri, Mosby.

Long, Barbara C. 1996.PerawatanMedikalBedah. Bandung: Yayasan IAPK Pajajaran


Bandung

Soeparman, dkk. 1987. IlmuPenyakitDalam. Edisi II. Jakarta: BalaiPenerbit FKUI

Fitzpatrick JK: Abdominal Surgical Approaches in Danakas GT Pietrantoni M (ed) “The


Care Of The Gynecologic / Obstetric Patient”. St Louis, Missouri, Mosby, 1997

196
Matingly RF: TeLinde’s Operative Gynecology 5thed, Philadelphia-Toronto, JB Lippincot
Company, 1977

Nichols DH , editor : Gynecologic and Obstetric Surgery, St Louis, 1993, Mosby

Nurachmah, Elly.2000. BukuSakauProsedurKeperwatanmedikal-bedah.Jakarta : EGC.

Effendy, Christantiedan Ag. Sri OktriHastuti. 2005. KiatSuksesmenghadapiOperasi.Yogyakarta


:SahabatSetia.

Sjamsulhidayat, R. danWim de Jong. 1998. Buku Ajar ImuBedahEdisirevisi. Jakarta : EGC.

http://enyretnaambarwati.blogspot.com/2010/02/perawatan-bedah-kebidanan.html

http://makalah-kesehatan-online.blogspot.com/2009/01/konsep-dasarkeperawatan-
perioperatif.html, di akses 16 Mei 2011

Hidayat, Musrifatul. 2009. KeterampilanDasarPraktikKlinikuntukKebidanan.Jakarta :SalembaMedika.

http://enyretnaambarwati.blogspot.com/2010/02/perawatan-bedah-kebidanan.html

http://makalah-kesehatan-online.blogspot.com/2009/01/konsep-dasarkeperawatan-
perioperatif.html, di akses 16 Mei 2011

Hidayat, Musrifatul. 2009. KeterampilanDasarPraktikKlinikuntukKebidanan.Jakarta


:SalembaMedika.

197

Anda mungkin juga menyukai