Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Syphilis adalah penyakit seksual akut dan kronis yang menular. Syphilis
disebabkan oleh mikroorganisme, Troponema pallidum yang menyebabkan lesi
membran lendir dan kulit. Pada 1530, Girolamo Fracastoro, seorang dokter juga
penyair dari Italia, mencetuskan ‘syphilis’, dan menyebutkan pada judul sajaknya
“Syphilis sive morbus glalicus” (bahasa latin dari Syphilis atau penyakit Perancis).
Syphilus (yang kemungkinan ejaan dari varian Siphylus, tokoh dalam Ovid’s
Metamorfosa), si gembala, adalah nama dari tokoh utama pada syair tersebut.
Syphilis disebutkan berevolusi antara 15.000 dan 3.000 BC, dan di dibawa ke Asia
oleh para pelaut Portugal yang dipimpin oleh Vasco da Gama. Sifilis sekunder
memproduksi lesi multipel yang sering mempengaruhi beberapa bagian mulut,
biasanya bermanifestasi sebagai plak putih (mucous patches), yang bergabung
membentuk snail track ulcers. Kami menyajikan kasus ini karena masih jarang
penyajian terhadap localized oral lesions pada sifilis sekunder untuk satu setengah
tahun terakhir dengan tidak adanya lesi kulit. Hanya ada sedikit laporan tentang
sifilis sekunder yang disajikan dengan isolated oral lessions. Selain itu, kami
menekankan durasi jangka panjang keterlibatan oral dengan sifilis sekunder,
dimana merupakan penyakit yang sangat menular .

1
BAB II

LAPORAN KASUS

Seorang pasien laki-laki 27 tahun dilaporkan ke Departemen Oral


Medicine dan Radiologi dengan keluhan ulkus di mulut sejak 3 minggu lalu.
Pasien mengatakan riwayat ulkus berulang pada 1 tahun terakhir di selang waktu
sekitar 6 bulan. Ini adalah ketiga kalinya ulkus terjadi selama 3 minggu terakhir.
Pada awalnya ukuran nya kecil yang secara bertahap meningkat ke ukuran seperti
sekarang, dikaitkan dengan nyeri ringan, kusam dan nyeri intermiten. Tidak ada
riwayat alergi, transfusi darah dan pengobatan.
Pada pemeriksaan fisik, pasien terlihat sehat dan semua tanda vital normal.
Palpasi kelenjar getah bening di regio submandibular bilateral, terasa bergerak
jika disentuh dan keras. Pemeriksaan intra oral didapatkan ulkus dangkal dengan
bentuk tidak beraturan yang ditutupi dengan pseudomembran putih ke abu-abuan
berbatas eritematosa pada kedua mukosa kanan dan kiri, atas dan bawah mukosa
labial berukuran sekitar 1 x 1,5 cm, 1 x 3,5 cm , 0,5x 1cm , 0,5 x 1 cm , terjadi
pengerasan kulit pada vermilion border dan mukosa labial bagian atas. Semua lesi
ulkus teraba keras, dan tidak berdarah saat di palpasi (Gambar 2.1 dan 2.2).
Berdasarkan riwayat dan pemeriksaan klinis didapat diagnosis sementara
pemvigus vulgaris dengan diagnosis pembanding : Eritoma multiforme, erosive
lichen planus, allergic stomatitis, erythematous candidiasis dan penyakit menular
seksual.

Gambar 2.1 Lesi pada mukosa bukal kanan (a), mukosa bukal kiri (b)

2
Gambar 2.2 Lesi pada mukosa labial atas (a), mukosa labial bawah (b)

Pemeriksaan hematologi menunjukkan bahwa semua hasil dalam batas


normal kecuali ESR yang meningkat. Biopsi insisi dilakukan pada lesi mukosa
bukal dan histopatologi menyatakan epitel hiperplastik serta keratin dengan focal
ulserasi dan eksudat. Terdapat infiltrasi sel plasma padat pada lapisan luar dan
dalam dari jaringan ikat dengan hystiocytes yang tidak jelas [Gambar 2.3 dan b].
Dapat disimpulkan ulkus intraoral pada kasus adalah lesi sifilis sekunder.
Berdarkan analisis histopatolgi, pasien dievaluasi kembali dan tidak ditemukan
lesi di kulit dan genital. Pasien membantah melakukan hubungan seksual di luar
nikah. Tes serologis lebih lanjut yang dilakukan menunjukkan hasil positif
penyakit kelamin (VDLR), Treponema pallidum hemagglutination assay (TPHA)
dengan nilai 1/160 dan tes ELISA negatif untuk HIV.

Gambar 2.3 Fotomikograf pada pembesaran rendah menunjukkan


infiltrasi sel plasma yang padat (a), dan pembesaran yang lebih tinggi
menunjukkan infiltrasi sel plasma dengan hystiocytes

Data klinis, analisis histopatologi dan hasil tes serologi mendukung


penegakan diagnosis yaitu sifilis sekunder. Pasien dirawat dengan penisilin G
benzatin, 1,2 juta unit setiap minggu, selama 3 minggu disertai injeksi

3
betametason 4 mg injeksi intramuscular setiap minggu selama 2 minggu untuk
menghindari reaksi Jarisch-Herxheimer. Evaluasi lesi kembali dilakukan dalam
10 hari [Gambar 2.4]. Tidak ada kekambuhan lesi setelah masa follow-up selama
3 bulan.

Gambar 2.4 Hasil evaluasi lesi pada mukosa labial atas (a), mukosa
labial bawah (b), dan mukosa bukal kanan (c)

4
BAB III

KAITAN DENGAN TEORI

3.1 Sifilis
3.1.1 Definisi
Sifilis adalah penyakit seksual yang menular seksual yang
disebabkan oleh spirochete bakteri Treponema pallidum (Regezi dkk, 2012).
Terdapat peningkatan prevalensi kasus sifilis baik pada negara maju maupun
berkembang. Sebagian besar kasus sifilis berkaitan dengan HIV dan seks
bebas. Penyakit sifilis dilaporkan memiliki jumlah yang signifikan pada laki-
laki homoseksual dan memiliki risiko transmisi yang tinggi pada aktivitas
seksual yang tidak terprokteksi (Greenberg dkk, 2008).

3.1.2 Klasifikasi
Menurut Regezi dkk (2012), sifilis dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
1. Sifilis yang diperoleh atau dipatkan
a. Awal
● Primer
● Sekunder
● Laten
b. Akhir
● Laten
2. Kongenital
● Awal
● Akhir (laten)

3.1.3 Etiologi dan Patofisiologi


Sifilis disebabkan oleh spirochete bakteri Treponema pallidum.
Penyakit sifilis diperoleh melalui kontak seksual dengan pasangan yang
memiliki lesi aktif, transfusi dari darah yang terinfeksi atau secara vertikal

5
dari ibu yang terinfeksi kepada janin (Regezi dkk, 2012). Treponema
pallidum dapat masuk ke tubuh melalui berbagai kerusakan pada kulit atau
melalui tetesan mikrospkopik pada permukaan mukosa saluran kelamin.
Setelah terpapar sifilis, terdapat waktu inkubasi dalam rentang 10 sampai 90
hari (rerata 21 hari). Kemudian, akan timbul chancre atau ulser (lesi primer)
pada tempat masuknya spirochetes. Apabila chancre tersebut tidak
mendapatkan perawatan, maka akan sembuh dengan sendirinya dalam waktu
2 sampai 6 minggu dan kemudian berkembangan menjadi stadium sekunder.
Pada stadium sekunder, manifestasi sifilis sudah menyebar secara sistemik,
seperti pada kulit, mukosa, terjadi limphadenopathy dan spirochetemia yang
berlangsung selama 2 hingga 6 minggu dan kemudian menghilang secara
spontan. Setelah berakhirnya stadium sekunder, kemudian memasuki stadium
laten. Pada stadium ini, tidak terdapat manifestasi klinis dari penyakit sifilis.
Stadium laten awal berlangsung selama kurang dari 1 tahun dan stadium laten
akhir berlangsung lebih dari 1 tahun. Pada individu dengan stadium primer,
sekunder atau laten awal telah terjadi replikasi organisme Treponema dan
dapat menularkan sifilis pada host yang berisiko. Selama kehamilan,
Treponema Pallidum ditransfer kepada janin dari ibu dengan stadium laten
akhir. Tanpa adanya pengobatan, sekitar sepertiga pasien berlanjut menjadi
stadium tersier dengan kerusakan progresif pada sistem saraf pusat, sistem
kardiovaskular, sistem muskoloskeletal atau perenchyma lain (Sweer dan
Gibbs, 2009)
.

3.2 Manifestasi Sifilis Sekunder pada Rongga Mulut


Manifestasi klinis sifilis sekunder pada mukosa mulut, yang paling
umum terjadi yaitu mucous patches. Lesi ini memiliki karakteristik putih
keabu-abuan, sedikit lebih tinggi dari permukaan disekitarnya dan mengkilap.
Mucous patches dapat ditemukan pada lidah, palatum molle, tonsil atau pipi,
namun jarang ditemui pada jaringan gingiva. Mucous patches pada selaput
lendir dua subtipe: slightly elevated-type plaques dan, kadang mengalami
ulserasi, yang biasanya oval dan ditutupi dengan pseudomembran abu-abu

6
atau putih; atau banyak mukosa tambahan yang mungkin menyatu untuk
menimbulkan serpiginous lesions. Plak putih dengan aspek verrucous, yang
disebut sebagai '‘leukoplakia like’ juga merupakan manifestasi penyakit sifilis
yang sering terjadi pada rongga mulut. Namun, beberapa kasus dapat
bermanifestasi secara atipikal, dan diagnosis dapat tertunda atau bahkan
hilang (Erikson, 2015)

Gambar 3.1. Gambaran klinis mucous patch

Beberapa ulser dapat bergabung menjadi satu sehingga memberikan


karakteristik seperti 'snail tracts' dan mucous patch. Lesi ini, memiliki sifat
seperti primer chancre yaitu sangat menular. Erupsi makulopapular juga
merupakan salah satu manifestasi klinis sifilis pada rongga mulut dan
terjadi terutama pada langit-langit mulut, tetapi kadang-kadang melibatkan
seluruh mukosa mulut (Greenberg dkk, 2008)

Gambar 3.2. Gambaran klinis ‘‘ mucous patch ’. Serpiginous lesi yang mempengaruhi
mukosa mulut, digambarkan sebagai snail tracks ulcer (Erikson, 2015)

7
.

Gambar 3.3. Gambaran klinis dari ‘‘ leukoplakia like ’’. Permukaan terangkat
dengan batas yang jelas yang merupakan plak putih bergelombang dan
nonhomogen di mukosa mulut (Erikson, 2015)

3.3 Pemeriksaan Serologis Sifilis


Menurut Pedoman Nasional Tatalaksana IMS tahun 2011, diagnosis
sifilis dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu berdasarkan sindrom dan
pemeriksaan serologis. Secara umum, tes serologi sifilis terdiri atas dua jenis,
yaitu:
1. Tes non-treponema
Termasuk dalam kategori ini adalah tes RPR (Rapid Plasma Reagin)
dan VDRL (Venereal Disease ResearchLaboratory). Tes serologis yang
termasuk dalam kelompok ini mendeteksi imunoglobulin yang merupakan
antibodi terhadap bahan-bahan lipid sel-sel T. Pallidum yang hancur.
Antibodi ini dapat timbul sebagai reaksi terhadap infeksi sifilis. Namun
antibodi ini juga dapat timbul pada berbagai kondisi lain, yaitu pada
infeksi akut (misalnya: infeksi virus akut) dan penyakit kronis (misalnya:
penyakit otoimun kronis). Oleh karena itu, tes ini bersifat non-spesifik dan
bisa menunjukkan hasil positif palsu. Tes non-spesifik dipakai untuk
mendeteksi infeksi dan reinfeksi yang bersifat aktif, serta memantau
keberhasilan terapi. Karena tes non spesifik ini jauh lebih murah
dibandingkan tes spesifik Treponema, maka tes ini sering dipakai untuk
screening. Jika tes non-spesifik menunjukkan hasil reaktif, selanjutnya

8
dilakukan tes spesifik treponema, untuk menghemat biaya (Kemenkes,
2013).

2. Tes spesifik treponema


Termasuk dalam kategori ini adalah tes TPHA (Treponema
Pallidum Haemagglutination Assay), TP Rapid (Treponema Pallidum
Rapid), TP-PA (Treponema Pallidum Particle Agglutination Assay), FTA-
ABS (Fluorescent Treponemal Antibody Absorption). Tes serologis yang
termasuk dalam kelompok ini mendeteksi antibodi yang bersifat spesifik
terhadap Treponema. Oleh karena itu, tes ini jarang memberikan hasil
positif palsu. Tes ini dapat menunjukkan hasil positif/reaktif seumur hidup
walaupun terapi sifilis telah berhasil .Tes jenis ini tidak dapat digunakan
untuk membedakan antara infeksi aktif dan infeksi yang telah diterapi
secara adekuat. Tes Treponema hanya menunjukkan bahwa seseorang
pernah terinfeksi Treponema, namun tidak dapat menunjukkan apakah
seseorang sedang mengalami infeksi aktif. Tes ini juga tidak dapat
membedakan infeksi T pallidum dari infeksi Treponema lainnya.
Anamnesis mengenai perilaku seksual, riwayat pajanan dan riwayat
perjalanan ke daerah endemis treponematosis lainnya dibutuhkan untuk
menentukan diagnosis banding (Kemenkes, 2013)..

3. Rapid test Syphilis


Belakangan ini, telah tersedia rapid test untuk sifilis yaitu
(Treponema Pallidum Rapid). Penggunaan rapid test ini sangat mudah dan
memberikan hasil dalam waktu yang relatif singkat (10 – 15 menit). Jika
dibandingkan dengan TPHA atau TPPA, sensitivitas rapid test ini berkisar
antara 85% sampai 98%, dan spesifisitasnya berkisar antara 93% sampai
98%. Rapid test sifilis yang tersedia saat ini TP Rapid termasuk kategori
spesifik treponema yang mendeteksi antibodi spesifik terhadap berbagai
membedakan infeksi aktif dari infeksi yang telah diterapi dengan baik. TP
Rapid hanya menunjukkan bahwa seseorang pernah terinfeksi treponema,
namun tidak dapat menunjukkan seseorang sedang mengalami infeksi

9
aktif. TP Rapid dapat digunakan hanya sebagai pengganti pemeriksaan
TPHA, dalam rangkaian pemeriksaan bersama dengan RPR. Penggunaan
TP Rapid tetap harus didahului dengan pemeriksaan RPR. Jika hasil tes
positif, harus dilanjutkan dengan memeriksa titer RPR, untuk diagnosis
dan menentukan pengobatan. Pemakaian TP Rapid dapat menghemat
waktu, namun harganya jauh lebih mahal dibandingkan dengan TPHA.
Bagi daerah yang masih mempunyai TPHA konvensional/bukan rapid
masih bisa digunakan. spesies treponema (tidak selalu T pallidum),
sehingga tidak dapat digunakan (Kemenkes, 2013).

10
3.4 Perawatan Sifilis
Perawatan yang disarankan untuk sifilis primer, sekunder, dan early
laten adalah dosis tunggal benzathine penicillin G. Perawatan alternatif untuk
pasien dengan alergi penisilin diantaranya penggunaan doxycycline 100 mg
secara oral dua kali sehari, tetrasiklin 500 mg oral 4 kali sehari, atau
eritromisin 500 mg per oral 4 kali sehari selama 2 minggu. Data mengenai
efisiensi dari azitromisin dosis tunggal kurang dan kegagalan pengobatan
telah dilaporkan. Perlawanan dengan antibiotik makrolida juga telah
dilaporkan (Bernard, 2009).
Alergi penisilin menimbulkan masalah dalam pengobatan sifilis. Untuk
pengobatan neurosifilis, telah disarankan bahwa pasien alergi penisilin akan
peka untuk menerima terapi obat standar. Untuk menurunkan kepekaan
pasien, pencillin diberikan secara terkontrol dalam dosis yang meningkat
secara bertahap, yang memungkinkan pasien untuk mentoleransi obat tanpa
reaksi alergi. Desensitisasi sebaiknya tidak dilakukan pada pasien dengan
riwayat reaksi tertentu, seperti sindrom Stevens-Johnson dan nekrolisis
epidermal toksik (Bernard, 2009).
Dalam beberapa jam setelah pengobatan awal antibiotik untuk sifilis,
reaksi Jarisch-Herxheimer dapat berkembang. Reaksi ini bermanifestasi
dengan demam, menggigil, dan kekakuan dan dapat terjadi diawal sejak 2 jam
terpapar antibiotik. Meskipun sering keliru untuk reaksi alergi, reaksinya
sebenarnya adalah respons inflamasi demam. Reaksi Jarisch-Herxheimer
dapat terjadi dalam setiap tahap sifilis tetapi lebih umum selama tahap
sekunder. Reaksi Jarisch-Herxheimer terbatas dan pengobatannya mendukung
agen antipiretik dan anti inflamasi (Bernard, 2009).

3.5 Diskusi
Sifilis disebabkan oleh spirochaeta T. pallidum dan ditandai oleh
episode penyakit aktif yang terganggu oleh periode latensi. Treponema
pallidum adalah bakteri gram positif, berkembang biak dengan cepat,
ramping, rapuh, dan spirochaeta mikrosefalik yang bersifat patogen pada
manusia dan dapat ditunjukkan jelas oleh mikroskop medan gelap.

11
Treponema pallidum dipercaya bahwa tidak menginvasi melalui epitelium
mukosa yang utuh, luka lecet kecil, atau dari folikel rambut. Dalam beberapa
jam setelah invasi, akan terjadi penyebaran bakteri ke limfatik dan aliran
darah , dimana kondisi ini akan menyebabkan penyebaran penyakit yang luas
di tahap awal. Respon awal terhadap invasi bakteri ini adalah endarteitis dan
periarteritis.
Sifilis merupakan penyakit yang umum dan telah menginfeksi 8-14%
populasi pada pertengahan abad ke-20 sebelum ditemukannya penisilin.
Transmisi penyakit ini dapat terjadi melalui oral-genital, oral-anal, atau
kontak seksual lainnya dengan material yang terkontaminasi, dan juga
melalui transmisi intra-uterus. Sifilis dapat diklasifikasikan sebagai penyakit
yang didapat (acquired) dan penyakit kongenital. Penyakit yang didapat
berupa sifilis primer, sekunder, laten, dan tersier. Hal ini didasarkan pada
waktu setelah eksposur. Infeksi primer terjadi setelah 2-3 minggu, infeksi
sekunder terjadi 4-6 minggu setelah infeksi dan laten yang baru muncul
setelah lebih dari 1 tahun. Penyakit kongenital dapat dilihat pada bayi yang
belum lahir pada wanita dengan sifilis yang tidak diobati selama kehamilan.
Gejala dan tanda-tanda sifilis sekunder antara lain demam, lemas dan
adanya manifestasi umum pada kulit dan membran mukosa. Manifestasi oral
sifilis sekunder bervariasi antara lain adanya bercak mukosa yang bersifat
menular karena mengandung banyak bakteri patologis. Lesi pada tahap
sekunder biasanya mengalami remisi spontan dalam beberapa minggu, tetapi
eksaserbasi, dapat terus terjadi selama berbulan-bulan atau beberapa tahun.
Adanya manifestasi berupa ulserasi oral pada sifilis sekunder jarang terjadi.
Ulserasi mulut merupakan satu-satunya manifestasi infeksi. Dalam kasus ini,
terdapat lesi ulseratif dangkal yang tidak teratur diselimuti dengan
pseudomembran dan berbatas eritematosa, tanda ini merupakan satu-satunya
manifestasi sifilis sekunder dalam rongga mulut. Lesi membran mukosa
merupakan erosi atau ulkus dangkal dengan diameter sekitar 1 cm yang
cenderung berbentuk oval sampai tapal, ditutupi oleh eksudat mukoid abu-
abu dengan batas eritematosa. Lesi ini biasanya muncul secara bilateral pada
permukaan mukosa rongga mulut yang bergerak. Faring, gingiva, amandel

12
dan palatum durum merupakan permukaan yang sangat jarang terinfeksi.
Dalam beberapa kasus, bercak-bercak mukosa berfusi membentuk lesi
serpiginous yang disebut sebagai snail track ulcers.
Teknik serologis pertama untuk mendiagnosis sifilis dijelaskan oleh
Wasserman pada tahun 1904. Tes serologi untuk sifilis dibagi menjadi dua
kategori, tes serologi non-treponemal dan treponemal. Dalam tes serologi
non-treponemal, seperti VDRL dan Rapid Plasma Reagin (RPR), antibodi
yang akan diukur adalah antibodi treponema non spesifik. Tes serologi
treponemal seperti Fluorescent Treponemal Absorption Antibodi (FTA-
ABS), TPHA dan Enzyme Immunoassay (EIA) merupakan tes serologi yang
bersifat lebih kompleks yaitu berdasarkan deteksi antibodi spesifik untuk
komponen seluler T. paladium. Gambaran detail dari histopatologis sifilis
dalam rongga mulut bersifat langka, kemungkinan karena jarang penyakit
mulut yang dilakukan biopsi. Salah satu ciri mikroskopis utama pada sifilis
adalah adanya infiltrasi sel plasma, baik pada penyakit sifilis primer dan
sekunder. Infiltrasi perivaskular didominasi sel plasma. Untuk biopsy rongga
mulut biasanya diperlukan pengambilan jaringan lebih jauh sampai
submukosa. Perawatan medis untuk sifilis saat ini adalah penggunaan
penisilin benzathine long-acting secara parenteral (injeksi dikulit atau
dibawah kulit). Untuk pasien yang alergi terhadap obat golongan penisilin,
maka alternative obat yang dapat diberikan adalah doxycycline oral dan
tetracycline oral.
Pada tahap sifilis primer, setelah pasien terpapar sifilis terdapat waktu
inkubasi dalam rentang 1 sampai 90 hari yang diikuti dengan timbulnya
chancre atau ulkus. Apabila ulkus tidak mendapatkan perawatan lebih lanjut
maka akan sembuh dengan sendirinya dalam waktu 2 sampai 6 minggu dan
kemudian akan berkembang menjadi stadium sekunder, hal ini sesuai dengan
kasus yang menyatakan bahwa riwayat ulkus berulang pada 1 tahun terakhir
di selang waktu sekitar 6 bulan. Sudah tiga kali ulkus terjadi selama 3 minggu
terakhir. Sedangkan untuk kasus sifilis laten tidak terdapat manifestasi klinis
dari penyakit sifilis dan berlangsung lebih dari setahun sehingga tidak
dikategorikan sebagai sifilis laten.

13
Lesi pada sifilis sekunder memiliki karakteristik putih keabu-abuan dan
pada kasus dikatakan bahwa ulkus dangkal dengan bentuk tidak beraturan
yang ditutupi dengan pseudomembran putih ke abu-abuan berbatas
eritematosa pada kedua mukosa kanan dan kiri, atas dan bawah mukosa labial
Berdasarkan Greenberg, dkk (2008) sebagian besar kasus sifilis berkaitan
dengan HIV dan seks bebas sehingga pada kasus dilakukan tes ELISA dan
dinyatakan pasien negatif HIV dan ditanyakan riwayat seks bebas pasien
membantah. Tes serologis yang dapat dilakukan untuk penegakan diagnosis
secara umum ada dua, pertama tes non-treponema yang merupakan tes non
spesifik untuk dilakukannya skrining, dilakukan tes VDLR yang merupakan
salah satu tes non spesifik dan hasilnya positif. Apabila tes non spesifik
menunjukan hasil positif maka dapat dilanjutkan dengan tes spesifik
treponema sehingga dilakukan tes TPHA dengan hasil 1/160. Dari
keseluruhan data klinis, analisis histopatologi dan hasil tes serologi
menudukung penegakan diagnosis yaitu sifilis sekunder yang sesuai pula
dengan teori yang ada.
Perawatan yang disarankan untuk sifilis primer, sekunder, dan early laten
adalah dosis tunggal penisilin G benzatin, maka sesuai dengan kasus yaitu
pasien diberikan penisilin G benzatin 1,2 juta unit setiap minggu selama 3
minggu karena tidak ada riwayat alergi penisilin. Setelah dilakukan
pengobatan awal sifilis dengan antibiotik selama beberapa jam, reaksi
Jarisch-Herxheimer dapat berkembang yang merupakan respon inflamasi
demam. Reaksi ini secara umum dapat terjadi selama tahap sekunder
sehingga dilakukan perawatan tambahan yaitu injeksi betametason 4 mg
injeksi intramuscular setiap minggu selama 2 minggu untuk menghindari
reaksi ini.

14
BAB IV

KESIMPULAN

Sifilis merupakan penyakit yang sangat mudah menular dengan berbagai


macam manifestasinya. Pada kasus di atas, telah dilakukan pengamatan dan
pembahasan lesi sifilis sekunder atipikal pada rongga mulut dalam rentang waktu
yang panjang.

15
DAFTAR PUSTAKA

Bernard, M.K.,. 2008, Manifestation of Shypilis. Hospytal Physician. 46.

Eskild P. dan Aarhus,. 2015, Medical Imagery Oral Manifestation of Secondary


Sypilis. International journal of Infectious. Elsevier : Denmark. 35 :40–42

Fahmi Sjaiful, dkk. Pedoman Tata Laksana Sifilis Untuk Pengendalian Sifilis Di
Layanan Kesehatan Dasar. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Maret 2013

Greenberg, M.S., Glick, M., Ship, J.A, 2008, 11 th ed, Burket’s Oral Medicine, BC
Decker Inc, India.

Regezi, J.A., Sciubba, J.J., Jordan, R.C.K, 2012, 6 th ed, Oral Pathology Clinical
Pathologic Corelation, Elsevier, Missouri.

Sweer R.L dan Gibbs R.S., 2009, 5th ed, Infectious Diseases of the Female
Genital Tract, Wolter Kluwer Health.

16

Anda mungkin juga menyukai