PENDAHULUAN
Pemphigus vulgaris (PV) merupakan penyakit autoimun yang jarang terjadi yang
dapat menyebabkan munculnya blister dan erosi pada mukosa dan kulit. Jika terlambat
dan tidak dirawat dengan tepat,PV dapat mengancam kehidupan.1 Kata pemphigus
berasa dari bahasa Yunani,pemphix yaitu blister atau buih yang berkaitan dengan
keganasan dari jaringan limfoid2.Pemphigus vulgaris merupakan kasus yang paling
sering terjadi diantara jenis pemphigus lainnya,yaitu hampir dua per tiga dari semua
kasus yang ada. Insidensi terjadinya PV di dunia yaitu diperkirakan 0.076-5.100.000
orang per tahun. Lebih dari 60% kasus manifestasi awal adalah di rongga mulut. PV
juga dapat diikuti oleh lesi pada kulit, namun dalam beberapa kasus,lesi hanya
melibatkan rongga mulut dalam jangka waktu setahun.1
Sampai saat ini etiologi pasti PV masih belum diketahui. Namun banyak studi
tentang kemungkinan hal-hal yang terkait dengan PV,seperti obat-obatan yang
mengandung thiol seperti captopril,penicillmaine, golongan phenol seperti
rifampisin,diclofenak,ACE inhibitors, virus seperti herpes virus,paparan
pestisida,mutasi genetic, PV diteliti juga memiliki keterkaitan dengan penyakit
autoimun lainnya seperti rheumatoid arthtritis,myasthenia gravis,lupus erythematous,
dan pernicious anemia3.
Deteksi dini PV dapat memungkinkan kontrol penyakit dan mencegah keterlibatan
lebih jauh pada mukosa dan kulit serta organ lain. Dokter gigi berperan penting dalam
mendiagnosis awal pasien yang dicurigai menderita PV4. Diagnosis penyakit
vesikulobulosa merupakan hal yang sulit karena memiliki gambaran klinis yang serupa
satu sama lainnya. Diagnosis kerja baru dapat ditegakkan setelah melakukan
pemeriksaan penunjang histologi,imunofluoresence,dan serologi. Banyak kasus PV
yang tidak terdiagnosis diawal,akibat ketidaktelitian klinisi yang akhirnya penyakit
bertambah parah dan tentu saja hal ini tidak diharapkan.Diagnosis yang tepat
diharapkan dapat memberikan penanganan segera dan dapat mengurangi morbiditas
dan mortalitas PV3.
Berdasarkan latar belakang tersebut, laporan ini bertujuan untuk membahas kasus
terkait misdiagnosis yang terjadi pada pemphigus vulgaris.
BAB 2
LAPORAN KASUS
2.1. Kasus 1
Seorang pasien pria berusia 40 tahun dirujuk ke departemen Periodontology and
Implant Dentistry of Masshad University of Medical Science untuk dilakukan terapi
periodontal. Karena keluhan utama pasien adalah perdarahan gingiva, ulserasi dan
sensasi terbakar pada bagian bawah gingiva anterior; diagnosis pertama kali ditegakkan
sebagai plaque induced gingivitis oleh dokter gigi umum. Pada pemeriksaan ekstraoral
oleh periodontis dan mahasiswa pascasarjana bedah mulut dan maksilofasial,ternyata
ditemukan lesi erosif pada kulit kepala, pipi, umbilikus dan area genital. [Gambar 1 dan
2]. Untuk mendapatkan gambaran histopatologis dan diagnosis yang tepat, biopsy insisi
gingiva dilakukan. Pengamatan mikroskopis mengungkapkan adanya epitel para-
keratinized stratified squamous yang menunjukkan pemisahan intraepitel tepat di atas
lapisan basal dan proses acantholysis. Sel acantholytic di dalam blister tepat di atas
lapisan basal juga terlihat. Pemisahan keratinosit pada lapisan terbawah jaringan epitel,
dan proyeksi keratinosit yang melekat pada dasar membran ke rongga blister telah
menghasilkan model histologis khas yang disebut thombstone pattern.Celah intraepitel
menunjukkan adanya acantholytic sel Tzanck bulat. Infiltrat sel inflamasi kronis ringan
sampai sedang terlihat pada jaringan ikat (Gambar 3). Berdasarkan temuan di atas
diagnosis pemfigus vulgaris ditegakkan dan pasien dirujuk ke dokter kulit untuk
perawatan lebih lanjut.
2.2. Kasus 2
Seorang pasien pria berusia 58 tahun dilaporkan ke Departemen Rawat Jalan
rumah sakit gigi dengan keluhan pendarahan gusi dan sensasi terbakar di rongga mulut
sejak 6 bulan. Gusi berdarah sudah sejak 2-3 bulan dan diperparah saat menyikat gigi.
Sensasi terbakar berlangsung terus menerus dan meningkat saat makan makanan asin.
Pasien mengeluh kesulitan dalam konsumsi makanan pedas.
Pasien mengunjungi dokter setempat untuk tujuan yang sama, di mana pasien
didiagnosis menderita gingivitis dan diresepkan obat-obatan tertentu. Tidak ada riwayat
penyembuhan dengan obat-obatan yang diberikan. Riwayat sakit tenggorokan beberapa
bulan yang lalu dan pasien minum obat setelah pasien menyadari adanya vesikel atau
blister di rongga mulutnya. Pasien melaporkan bahwa blister dulu pernah terbentuk di
daerah-daerah tertentu kemudian pecah dan kemudian diikuti oleh pembentukan blister
di daerah lain dalam rongga mulut. Pasien juga memberikan riwayat ruam dan reaksi
alergi pada kulit tungkai atas, tungkai bawah, punggung dan iritasi dan kemerahan di
mata. Tidak ada riwayat rawat inap jangka panjang, penyakit sistemik atau penggunaan
obat jangka panjang. Pasien memiliki riwayat mengunyah sirih dan merokok selama 10
tahun terakhir.
Pada pemeriksaan ekstra oral, kelenjar getah bening submandibula bilateral
membesar dan teraba. Pada pemeriksaan intra oral ditemukan erosi multiple pada
gingiva, ujung lidah, dasar mulut, palatum lunak, mukosa labial dan bukal (Gambar
1A). Terdapat tissue tag pada tepi lesi erosi labial kiri dan mukosa bukal (Gambar 1B).
Pada pemeriksaan mukosa labial kiri,terdapat ulkus berukuran sekitar 0,5cm sampai 1
cm. Ulkus berbentuk oval dengan tepi tidak teratur yang ditutupi dengan
pseudomembran berwarna keputihan (Gambar 2A dan 2B). Pada palpasi terdapat
perdarahan dan lesi lunak saat disentuh. Daerah erosi bulat-oval terlihat di ujung lidah
berukuran sekitar 0,5cm. Pada palpasi terjadi pendarahan dan terasa sakit. Beberapa
area ulserasi dan erosi berukuran kurang dari 1 cm terlihat pada tepi lateral lidah, dasar
mulut, mukosa bukal dan vestibulum bawah yang diiringi dengan perdarahan dan nyeri
tekan pada palpasi. Tanda Nikolsky positif dalam kasus ini.
Gambar 1. A. Gambaran intraoral menunjukkan erosi yang melibatkan ujung lidah dan palatum
lunak. B. erosi pada marginal dan attached gingiva dan mukosa labial bawah. Terdapat tissue tag
pada tepi erosi mukosa labial bawah.
Gambar 2. A. Gambaran intraoral menunjukkan area ulserasi dan erosi multiple pada dasar
mulut. B. Erosi pada mukosa labial kanan atas.
Pada pemeriksaan gingiva terdapat area eritematus dan edema pada gingiva
marginal dan gingiva cekat yang mengindikasikan gingiva deskuamatif (Gambar 3).
Terdapat atrisi pada gigi secara umum dan peradangan gingiva dengan adanya bleeding
on probing. Terdapat riwayat munculnya blister berulang pada rongga mulut, ulserasi
multiple , deskuamasi gingiva dan tanda Nikolsky positif mengarah pada diagnosis
pemphigus vulgaris. Diagnosis banding mucous membrane pemphigoid
dipertimbangkan.
Sitologi eksfoliatif pada mukosa bukal kiri dilakukan. Pendapat medis dari
departemen dermatologi dan oftalmologi diminta. Pasien disarankan untuk biopsi,
imunofluoresensi langsung dan tidak langsung. Pemeriksaan histopatologi
menunjukkan adanya sel epitel bulat dengan pembesaran dan hiperkromatik nukleus
menunjukkan sel Tzanck.Sel-sel inflamasi akut juga terlihat. Berdasarkan gambaran
histopatologis, diagnosis pemphigus vulgaris dibuat (Gambar 4).
Gambar 3. Gambaran intraoral menunjukan area eritematus yang melibatkan gingiva marginal
dan cekat pada region gigi anterior bawah yang mengindikasikan deskuamaasi. Area perdarahan
juga tampak pada regio gigi premolar kiri bawah.
Gambar 4. Gambaran histopatologis menunjukkan sel epitel bulat dengan inti yang membesar
dan hipokromatik menunjukkan adanya sel Tzanck dengan sel-sel inflamasi yang banyak. (Panah
menunjukkan sel Tzanck)
Rencana perawatan terdiri dari prednisolon oral 40 mg / hari selama 2 minggu
bersama dengan obat kumur chlorhexidine. Salep Triamcinolone acetonide 0,1% juga
diresepkan untuk pasien. Pasien melaporkan tentang berkurangnya rasa sakit, sensasi
terbakar dan terdapat penyembuhan lesi ketika dihubungi melalui telepon dan pasien
tidak melaporkan secara pribadi ketika gejalanya membaik.
BAB III
PEMBAHASAN
Pada kasus 1 dan 2 terdapat persamaan akan keluhan utama. Pada kasus 1, Os
mengeluhkan adanya gusi berdarah,ulserasi, dan sensasi terbakar pada gingiva anterior
bawah,dan pasien didiagnosis dengan plaque induced gingivitis. Pada kasus 2, Os juga
mengeluhkan adanya gusi berdarah dan sensasi terbakar yang dirasakan sejak 6 bulan
terakhir, dan pasien didiagnosis dengan gingivitis.
Perbedaan kasus 1 dan 2 dilihat dari lokasi timbulnya lesi. Pada kasus 1,lesi oral
hanya terdapat pada gingiva labial anterior mandibular, dan pada kasus 2 terdapat pada
gingiva,ujung lidah,dasar mulut,palatum lunak,mukosa labial dan mukosa bukal. Selain
lesi oral,pada kasus 1 juga terdapat lesi kulit erosive pada kulit kepala,
pipi,umbilicus,dan area genital,sedangkan pada kasus 2 pasien hanya memberikan
riwayat adanya ruam dan reaksi alergi pada kulit tubuh atas dan bawah,punggung, dan
iritasi serta kemerahan pada mata.
Pemvigus vulgaris merupakan penyakit autoimmune dengan manisfestasi pada
mukokutaneus yang ditandai dengan adanya blister pada kulit dan/atau membrane
mukosa1,2,3. Pemvigus vulgaris biasanya banyak ditemukan pada usia 40-50 tahun, dan
dapat terjadi pada pria maupun wanita. Pada 60% kasus, manisfestasi awal penyakit ini
adalah di rongga mulut2,5,12. Secara klinis, lesi diawali oleh blister kecil yang mudah
ruptur,menghasilkan daerah erosi yang sakit. Lesi dapat muncul pada daerah manapun
pada rongga mulut, namun daerah yang paling sering terpengaruh adalah mukosa bukal,
diikuti lidah,palatum,bibir bawah, dan gingiva1.
Pemvigus vulgaris disebabkan oleh autoantibodi terhadap desmoglein 3 (Dsg3),
yaitu sebuah komponen desmosome keratinosit. Ikatan autoantibodi tersebut
menyebabkan rusaknya struktur desmosome dan hilangnya adhesi keratinosit
(akantolisis), yang bermanifestasi sebagai blister pada lapisan suprabasal epidermis.
Telah diamati bahwa penderita yang memiliki autoantibodi Dsg3 hanya memiliki lesi
oral. Autoantibodi juga dapat menyerang desmoglein1(Dsg1). Dsg 1 lebih jarang
ditemukan pada penderita pemvigus vulgaris, namun jika ada maka akan muncul lesi
pada kulit. Desmoglein 1 terdapat sepanjang epidermis namun paling banyak
terkonsentrasi pada lapisan superfisial. Penderita dengan autoantibodi Dsg1 dan Dsg3
dapat memiliki keterlibatan lesi pada mukosa dan kulitnya5.
Aspek penting dalam manajemen pasien adalah diagnosis awal. Dokter gigi
berperan penting dalam mengamati manisfestasi klinis PV agar dapat memberikan
perawatan segera dan tepat sehingga penyakit dapat terkontrol dengan cepat7.
Pada kasus 1, pasien datang dengan keluhan gusi berdarah,ulserasi, dan sensasi
terbakar pada gingiva anterior bawah,dan pasien didiagnosis dengan plaque induced
gingivitis, kemudian pasien dirujuk ke periodontist untuk dilakukan terapi periodontal.
Pada kasus 2, pasien datang dengan keluhan gusi berdarah, dan sensasi terbakar pada
rongga mulutnya sejak 6 bulan. Oleh dokter,pasien didiagnosa dengan gingivitis
kemudian diresepkan obat-obatan tertentu namun tidak ada riwayat perbaikan dari
keluhannya, sehingga pasien memeriksakan diri kembali ke dokter gigi lain.Keluhan
utama pasien baik pada kasus 1 maupun kasus 2 yaitu gusi berdarah.Gusi berdarah
dapat disebabkan oleh berbagai macam factor baik factor local maupun sistemik. Gusi
berdarah akibat factor local dapat disebabkan akibat inflamasi kronis karena adanya
retensi plak. Pada inflamasi kronis, perubahan pada histopatologis menunjukkan
pelebaran dan pembengkakkan kapiler serta ulserasi pada epitel sulkular. Kapiler
membengkak dan mendekat ke permukaan,epitel yang menipis dan degenerasi kurang
terlindungi,stimulus yang normalnya tidak merusak,menyebabkan rupturnya kapielr
dan perdarahan gingiva. Temuan klinis gingivitis yaitu adanya bleeding on
probing,perubahan warna,konsistensi,tekstur,posisi,dan kontur gingiva. Gingiva
mengalami edema,berwarna kemerahan,permukaan licin dan mengkilap8. Pada kasus
1, pasien didiagnosa dengan diffused plaque induced gingivitis, yaitu gingivitis akibat
adanya retensi plak yang mengenai gingiva bebas,gingiva cekat,dan mukosa alveolar.
Management gingivitis adalah dengan menghilangkan penyebab inflamasi kronis
dengan dilakukannya terapi periodontal8. Jika inflamasi kronis tidak hilang dengan
dilakukannya terapi periodontal, maka dokter gigi perlu mempertimbangkan etiologi
lain yang mungkin jadi penyebabnya.
Pada pemeriksaan gingiva, setelah diperiksa lagi lebih lanjut, terdapat area erosi
dan edematous pada gingiva marginal dan gingiva cekat, yang mengindikasikan
gingivitis deskuamatif. Gingivitis deskuamatif merupakan istilah klinis untuk
mendeskripsikan adanya eritema,deskuamasi, dan ulserasi pada gingiva marginal dan
gingiva cekat. Pasien biasanya tidak memiliki keluhan,namun jika ada, keluhan dapat
berupa adanya sensasi terbakar sampai rasa sakit parah8,9,10. Anamnesis terkait gejala
yang berhubungan dengan kondisi ini seperti kapan lesi mulai muncul,apakah lesi
bertambah parah, apakah ada hal yang membuat lesi eksaserbasi menjadi panduan
dalam pemeriksaan menyeluruh. Informasi terkait terapi sebelumnya untuk
menyembuhkan lesi juga harus dicatat10. Diagnosis kriteria untuk gingivitis
deskuamatif yaitu (1) adanya nonplaque-induced gingival eritema (2) deskuamasi
gingiva (3) lesi intraoral lain atau terkadang lesi ekstraoral , dan (4) rasa sakit pada
rongga mulut ketika makan makanan pedas.8 Hal ini menjelaskan keluhan sensasi
terbakar pada kasus 1 dan kasus 2 yang merupakan manifestasi dari gingivitis
deskuamatif. Gingivitis dengan plaque induced biasanya tidak disertai keluhan dan ini
menjadi pembeda dengan gingivitis deskuamatif8.
Gingivitis deskuamatif dapat menjadi manifestasi klinis dari penyakit penyakit
mukokutaneus kronis yang biasanya diawali dengan adanya riwayat blister pada rongga
mulut. Pertanyaan terkait mengenai riwayat gejala pada mata,nasal dan
tenggorokan,kulit,genital,konsumsi obat-obatan,serta riwayat keluarga juga perlu
ditanyakan. Pada pemeriksaan oral, gingiva labial adalah area yang paling sering
terpengaruh dibandingkan gingiva lingual dan palatal9. Pada kasus 1 dan 2, area yang
terpengaruh adalah gingiva labial. Tanda lain yang dapat mengindikasikan adanya
penyakit mukokutaneus adalah Nikolsky’s sign, dimana blister baru akan terbentuk jika
dilakukan tekanan pada mukosa/kulit normal (tidak terkena lesi)11. Pada kasus 2,
ditemukannya Nikolsky’s sign yang positif dan mengeliminasi diagnosa awal yaitu
plaque induced gingivitis.
Dokter gigi harus lebih teliti dalam menganamnesis dan melihat gambaran klinis
penyakit. Terbukti setelah dilakukan pemeriksaan lebih lanjut oleh periodontist pada
kasus 1, ternyata ditemukan juga lesi erosive pada kulit kepala,pipi,umbilicus, dan area
genital pasien. Begitu juga dengan kasus 2, ditemukan lesi erosi multiple pada
gingiva,ujung lidah,dasar mulut, palatum lunak, mukosa labial, dan mukosa bukal
pasien, serta adanya riwayat munculnya blister pada rongga mulut.
Diagnosis differensial pemvigus vulgaris (PV) adalah mucous membrane
pemphigoid (MMP). Untuk menegakkan diagnosis definitive harus dilakukan biopsy
untuk pemeriksaan histologi, immunofluorescence, dan serologi5,11. PV dan MMP
merupakan penyakit autoimun mukokutaneus yang mempengaruhi mukosa oral dan
kulit dan dapat menimbulkan keraguan terkait inisial diagnosis karena gambaran klinis
yang serupa. PV dan MMP memiliki gambaran histopatologis dan immunofluorescence
yang berbeda. Pada PV gambaran histologis menunjukkan adanya edema interselular
pada lapisan suprabasal stratum spinosum,dan terjadinya akantolisis sehingga
menyebabkan terbentuknya blister. Berbeda dengan PV,gambaran histologis MMP
yaitu terdapat subepitelial blister dengan infiltrate sel inflamasi kronis yaitu
eosinophil,limfosit, dan neutrophil,dan tidak disertai dengan akantolisis. Pemeriksaan
immunofluorescence PV akan memperlihatkan adanya intercellular IgG DAN C3 pada
oral epitelium,sedangkan pada MMP terlihat adanya linear band dari IgG dan C3 pada
membrane basal zone6,17.
Pada kasus 1,hasil pemeriksaan histologis menunjukkan adanya tzank cell pada
intraepithelial tepat di atas lapisan basa,proses akantolisis,dan juga terdapat thombstone
pattern.Infiltrat sel inflamasi kronis juga terlihat pada jaringan konektif dibawahnya.
Pada kasus 2 pemeriksaan histologis juga menunjukkan adanya sel epitel bulat dengan
inti yang membesar dan hipokromatik (Tzank cell). Berdasarkan temuan inilah
diagnosis pemvigus vulgaris ditegakkan.
Pada kasus 2,Os diberikan oral prednisolone 40 mg/hari dan obat kumur
klorheksidin selama 2 minggu serta salap triamcinolone acetonide 0,1 %. Prednisolone
merupakan obat golongan kortikosteroid. Sistemik kortikosteroid hingga sekarang
menjadi terapi awal yang paling baik dalam penanganan PV. Dalam penanganan PV,
terapi imunosuppresif/immunomodulator dengan kombinasi topical antiseptic dan
topical kortikosteroid merupakan terapi yang disarankan. Dosis rendah sistemik
kortikosteroid yang disarankan yaitu 1.0-2.0 mg/kg per hari,dan dosis tinggi 120-150
mg/hari,tergantung dari tingkat keparahan penyakit12,13,14. Pada kasus 1 dan 2 masih
diberikan dosis rendah karena penyakit tidak terlalu parah dan terlihat perbaikan pada
lesi setelah diberikan terapi. Pasien juga diberikan obat kumur klorheksidin.
Komplikasi PV yaitu inadekuatnya control terhadap oral hygiene akibat rasa sakit dan
pendarahan yang dapat menyebabkan bertambahnya plak dan berkontribusi akan
terjadinya penyakit periodontal3. Klorhexidine merupakan substansi kimia
bisbiguanide yang efektif dan tidak mengiratasi dalam control plak dan inflamasi. Obat
kumur yang mengandung klorhexidine merupakan agen antibacterial dan antiinflamasi
yang paling sering digunakan dalam kedokteran gigi dan telah banyak terbukti
efektifitasnya baik secara in vitro maupun in vivo dalam berbagai studi15.Pada pasien
dengan keterlibatan lesi oral, topical kortikosteroid juga dapat diberikan14. Pada kasus
ini,Os diberikan salap triamcinolone acetonide 0,1 %. Os merespon baik terhadap
perawatan yang diberikan.
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
4.3.2 Kulit
Lesi kulit pada PV jarang yang pruritic,tapi terasa sakit. Lesi primer PV adalah
flaccid blister, yang dapat terjadi di mana saja pada permukaan kulit (gambar 1).
Biasanya, blister muncul pada kulit yang tampak normal, tetapi mungkin timbul pada
kulit yang eritematosa. Bahkan blister baru biasanya flaccid atau menjadi seperti itu
dalam waktu singkat. Karena blister ini rentan pecah, blister yang masih utuh mungkin
jarang terlihat. Lesi kulit yang paling umum terjadi pada pasien ini adalah erosi,
menyakitkan, setelah blister pecah. Erosi-erosi ini seringkali cukup besar, karena
memiliki kecenderungan untuk menyebar di pinggirannya. Temuan karakteristik ini
dapat ditimbulkan pada pasien pemfigus dengan blister yang aktif dengan menerapkan
tekanan lateral pada kulit yang tampak normal pada pinggiran lesi aktif.Fenomena ini
yang dikenal sebagai tanda nikolsky. Tanda ini membantu membedakan pemfigus dari
penyakit kulit melepuh lainnya.
Gambar 1. Flaccid blisters
4.4 Diagnosis11
Prosedur diagnostic untuk PV dibagi menjadi 3 kategori yaitu
klinis,histologis,dan molecular (Tabel 1).
Tabel.1 Prosedur diagnostic PV
4.4.1 Nikolsky’s Test
Pertama kali dijelaskan oleh Piotr Vasiliyevich Nikolsky (1858– 1940) seorang
dokter kulit Rusia. Dia menceritakan bagaimana, setelah menggosok kulit pasien yang
memiliki pemfigus foliaceous, terdapat blister pada epidermis permukaan yang berkilau
dan lembab di bawahnya.Menurut penjelasannya, kulit menunjukkan hubungan yang
lemah antara lapisan sel kornea dan granular pada semua permukaan dan bahkan di
tempat-tempat di antara lesi pada kulit yang tampaknya tidak terpengaruh. Pengamatan
Nikolsky kemudian dikonfirmasi oleh Lyell pada tahun 1956, yang menggambarkan
tanda Nikolsky pada pasien dengan epidermal toksik nekrolisis.
Secara karakteristik hal ini dapat terlihat pada intraepidermal bullous disorder;
sedangkan pada penyakit VB subepidermal, tanda ini umumnya tidak ada. Tanda
Nikolsky dikaitkan dengan tanda klasik pemfigus vulgaris. Namun, kondisi lainnya
yang juga diketahui menunjukkan tanda ini termasuk pemfigus foliaceous, pemfigus
paraneoplastik, oral lichen planus, mucous membrane pemphigoid, pemfigoid bulosa,
epidermolisis bullosa, Sindrom Stevens-Johnson, Staphylococcal scalded skin
syndrome (SSSS), toksik epidermal nekrolisis (TEN), penyakit IgA linier, lupus
erythematous (LE), dermatomiositis, eritema multiforme kronis dan penyakit graft-
versus-host.
Tes ini sulit untuk diproduksi di rongga mulut karena blister dan vesikel pecah
sangat dini. Tanda Nikolsky di mulut rongga dikatakan positif ketika ulserasi jaringan
atau lepuh terlihat setelah memberikan tekanan ringan pada mukosa baik dengan
menggunakan instrumen tumpul atau jari. Pada pasien dengan blistering aktif, Tekanan
dengan jari memisahkan epidermis yang tampak normal, menghasilkan erosi.Ini
dilakukan dengan menerapkan tekanan lateral dengan menggunakan jari telunjuk untuk
mengganggu adhesi antar sel dalam tanda klinis Nikolsky. Jika melemahnya adhesi
antar sel ada tetapi tidak terlalu terlihat, hanya dapat ditunjukkan secara mikroskopis.
Tanda Nikolsky secara mikroskopis kadang-kadang hanya mencakup beberapa sel.
Gambar 4. DIF untuk imunoglobulin G (IgG) kulit perilesional dari pasien dengan
pemfigus vulgaris. Catat permukaan sel yang diwarnai di seluruh epidermis.
Indirect Immunofluoresence (IDIF)
IDIF adalah prosedur dua langkah di mana apusan pasien diletakkan pada
substrat diikuti oleh aplikasi floresoresinasi antibodi.IDIF serum pasien dapat
digunakan sebagai tes skrining untuk antibodi yang bersirkulasi terutama IgG dan IgA.
IDIF pada monyet atau kelinci esofagus telah menjadi mode pengujian antibodi serum
pada pemfigus; sedangkan untuk penyakit blister autoimun subepidermal, substrat yang
disukai adalah kulit manusia normal yang telah dipecah dengan larutan natrium klorida
1 M. IDIF mendeteksi antibodi yang bersirkulasi yang ditargetkan ke permukaan sel
epitel (zat anti-interseluler) - pada dasarnya IgG4 dan IgG1, dan lebih jarang IgG3.
Antibodi anti-desmoglein yang bersirkulasi dapat diidentifikasi dengan mikroskop
imunofluoresensi tidak langsung pada 80% - 90% pasien dengan pemfigus vulgaris
aktif, dan titer antibodi yang bersirkulasi ini berkorelasi linier dengan tingkat keparahan
dan luasnya penyakit.
4.4.4 Histopatologi2
Temuan histopatologis khas pada pv adalah suprabasilar blister dengan
acantholysis. Tepat di atas lapisan sel basal, sel-sel epidermis kehilangan kontak sel-
ke-sel normal dan membentuk blister. Sel-sel basal tetap melekat pada membran basal,
tetapi dapat kehilangan kontak dengan sel sebelahnya; sebagai hasilnya, sel dapat
tampak menjadi seperti deretan batu nisan (thombstone). Biasanya, epidermis atas tetap
utuh, karena sel-sel ini mempertahankan adhesi sel mereka (gambar 5 ).
Tabel 4. Median Pemphigus Disease Area Index (PDAI) total activity score, Autoimmune Bullous Skin Disorder Intensity Score (ABSIS) total
score, Physician’s Global Assessment (PGA) score and Dermatology Life Quality Index (DLQI) according to pemphigus severity (moderate,
significant or extensive) defined from the PDAI or ABSIS scoring systems
A B
C D
Gambar 6. (A) Gambaran histologis pada PV,adanya intraepithelial blister dan akantolisis
(B) Gambaran histologis MMP,adanya celah subepitelial (C) DIF pada PV,adanya IgG
pada ruang intercellular (D) DIF pada lesi mukosa yang dieksisi menunjukkan pewarnaan
linear zona membran dasar dengan IgM, IgG, C3 dan fibrinogen (panah merah).