Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

Pemphigus vulgaris (PV) merupakan penyakit autoimun yang jarang terjadi yang
dapat menyebabkan munculnya blister dan erosi pada mukosa dan kulit. Jika terlambat
dan tidak dirawat dengan tepat,PV dapat mengancam kehidupan.1 Kata pemphigus
berasa dari bahasa Yunani,pemphix yaitu blister atau buih yang berkaitan dengan
keganasan dari jaringan limfoid2.Pemphigus vulgaris merupakan kasus yang paling
sering terjadi diantara jenis pemphigus lainnya,yaitu hampir dua per tiga dari semua
kasus yang ada. Insidensi terjadinya PV di dunia yaitu diperkirakan 0.076-5.100.000
orang per tahun. Lebih dari 60% kasus manifestasi awal adalah di rongga mulut. PV
juga dapat diikuti oleh lesi pada kulit, namun dalam beberapa kasus,lesi hanya
melibatkan rongga mulut dalam jangka waktu setahun.1
Sampai saat ini etiologi pasti PV masih belum diketahui. Namun banyak studi
tentang kemungkinan hal-hal yang terkait dengan PV,seperti obat-obatan yang
mengandung thiol seperti captopril,penicillmaine, golongan phenol seperti
rifampisin,diclofenak,ACE inhibitors, virus seperti herpes virus,paparan
pestisida,mutasi genetic, PV diteliti juga memiliki keterkaitan dengan penyakit
autoimun lainnya seperti rheumatoid arthtritis,myasthenia gravis,lupus erythematous,
dan pernicious anemia3.
Deteksi dini PV dapat memungkinkan kontrol penyakit dan mencegah keterlibatan
lebih jauh pada mukosa dan kulit serta organ lain. Dokter gigi berperan penting dalam
mendiagnosis awal pasien yang dicurigai menderita PV4. Diagnosis penyakit
vesikulobulosa merupakan hal yang sulit karena memiliki gambaran klinis yang serupa
satu sama lainnya. Diagnosis kerja baru dapat ditegakkan setelah melakukan
pemeriksaan penunjang histologi,imunofluoresence,dan serologi. Banyak kasus PV
yang tidak terdiagnosis diawal,akibat ketidaktelitian klinisi yang akhirnya penyakit
bertambah parah dan tentu saja hal ini tidak diharapkan.Diagnosis yang tepat
diharapkan dapat memberikan penanganan segera dan dapat mengurangi morbiditas
dan mortalitas PV3.
Berdasarkan latar belakang tersebut, laporan ini bertujuan untuk membahas kasus
terkait misdiagnosis yang terjadi pada pemphigus vulgaris.
BAB 2
LAPORAN KASUS

2.1. Kasus 1
Seorang pasien pria berusia 40 tahun dirujuk ke departemen Periodontology and
Implant Dentistry of Masshad University of Medical Science untuk dilakukan terapi
periodontal. Karena keluhan utama pasien adalah perdarahan gingiva, ulserasi dan
sensasi terbakar pada bagian bawah gingiva anterior; diagnosis pertama kali ditegakkan
sebagai plaque induced gingivitis oleh dokter gigi umum. Pada pemeriksaan ekstraoral
oleh periodontis dan mahasiswa pascasarjana bedah mulut dan maksilofasial,ternyata
ditemukan lesi erosif pada kulit kepala, pipi, umbilikus dan area genital. [Gambar 1 dan
2]. Untuk mendapatkan gambaran histopatologis dan diagnosis yang tepat, biopsy insisi
gingiva dilakukan. Pengamatan mikroskopis mengungkapkan adanya epitel para-
keratinized stratified squamous yang menunjukkan pemisahan intraepitel tepat di atas
lapisan basal dan proses acantholysis. Sel acantholytic di dalam blister tepat di atas
lapisan basal juga terlihat. Pemisahan keratinosit pada lapisan terbawah jaringan epitel,
dan proyeksi keratinosit yang melekat pada dasar membran ke rongga blister telah
menghasilkan model histologis khas yang disebut thombstone pattern.Celah intraepitel
menunjukkan adanya acantholytic sel Tzanck bulat. Infiltrat sel inflamasi kronis ringan
sampai sedang terlihat pada jaringan ikat (Gambar 3). Berdasarkan temuan di atas
diagnosis pemfigus vulgaris ditegakkan dan pasien dirujuk ke dokter kulit untuk
perawatan lebih lanjut.

Gambar 1.Lesi pada pipi dan kulit kepala


Gambar 2. Keterlibatan gingiva anterior mandibula, yang misdiagnosa sebagai

diffused plaque induced gingivitis

Gambar 3. Gambaran histopatologis pemphigus vulgaris. Celah intraepitel dengan pola


“thombstone” dari sel basal,yang melekat pada basement membrane pada gambar sebelah kiri.
Akantolisis sel epitel dan adanya sel Tzanck terlihat pada celah intraepitel pada gambar sebelah
kanan. (Pewarnaan Hematoxylin dan eosin ;perbesaranx40:kanan dan x100 kiri)

2.2. Kasus 2
Seorang pasien pria berusia 58 tahun dilaporkan ke Departemen Rawat Jalan
rumah sakit gigi dengan keluhan pendarahan gusi dan sensasi terbakar di rongga mulut
sejak 6 bulan. Gusi berdarah sudah sejak 2-3 bulan dan diperparah saat menyikat gigi.
Sensasi terbakar berlangsung terus menerus dan meningkat saat makan makanan asin.
Pasien mengeluh kesulitan dalam konsumsi makanan pedas.
Pasien mengunjungi dokter setempat untuk tujuan yang sama, di mana pasien
didiagnosis menderita gingivitis dan diresepkan obat-obatan tertentu. Tidak ada riwayat
penyembuhan dengan obat-obatan yang diberikan. Riwayat sakit tenggorokan beberapa
bulan yang lalu dan pasien minum obat setelah pasien menyadari adanya vesikel atau
blister di rongga mulutnya. Pasien melaporkan bahwa blister dulu pernah terbentuk di
daerah-daerah tertentu kemudian pecah dan kemudian diikuti oleh pembentukan blister
di daerah lain dalam rongga mulut. Pasien juga memberikan riwayat ruam dan reaksi
alergi pada kulit tungkai atas, tungkai bawah, punggung dan iritasi dan kemerahan di
mata. Tidak ada riwayat rawat inap jangka panjang, penyakit sistemik atau penggunaan
obat jangka panjang. Pasien memiliki riwayat mengunyah sirih dan merokok selama 10
tahun terakhir.
Pada pemeriksaan ekstra oral, kelenjar getah bening submandibula bilateral
membesar dan teraba. Pada pemeriksaan intra oral ditemukan erosi multiple pada
gingiva, ujung lidah, dasar mulut, palatum lunak, mukosa labial dan bukal (Gambar
1A). Terdapat tissue tag pada tepi lesi erosi labial kiri dan mukosa bukal (Gambar 1B).
Pada pemeriksaan mukosa labial kiri,terdapat ulkus berukuran sekitar 0,5cm sampai 1
cm. Ulkus berbentuk oval dengan tepi tidak teratur yang ditutupi dengan
pseudomembran berwarna keputihan (Gambar 2A dan 2B). Pada palpasi terdapat
perdarahan dan lesi lunak saat disentuh. Daerah erosi bulat-oval terlihat di ujung lidah
berukuran sekitar 0,5cm. Pada palpasi terjadi pendarahan dan terasa sakit. Beberapa
area ulserasi dan erosi berukuran kurang dari 1 cm terlihat pada tepi lateral lidah, dasar
mulut, mukosa bukal dan vestibulum bawah yang diiringi dengan perdarahan dan nyeri
tekan pada palpasi. Tanda Nikolsky positif dalam kasus ini.

Gambar 1. A. Gambaran intraoral menunjukkan erosi yang melibatkan ujung lidah dan palatum
lunak. B. erosi pada marginal dan attached gingiva dan mukosa labial bawah. Terdapat tissue tag
pada tepi erosi mukosa labial bawah.

Gambar 2. A. Gambaran intraoral menunjukkan area ulserasi dan erosi multiple pada dasar
mulut. B. Erosi pada mukosa labial kanan atas.
Pada pemeriksaan gingiva terdapat area eritematus dan edema pada gingiva
marginal dan gingiva cekat yang mengindikasikan gingiva deskuamatif (Gambar 3).
Terdapat atrisi pada gigi secara umum dan peradangan gingiva dengan adanya bleeding
on probing. Terdapat riwayat munculnya blister berulang pada rongga mulut, ulserasi
multiple , deskuamasi gingiva dan tanda Nikolsky positif mengarah pada diagnosis
pemphigus vulgaris. Diagnosis banding mucous membrane pemphigoid
dipertimbangkan.
Sitologi eksfoliatif pada mukosa bukal kiri dilakukan. Pendapat medis dari
departemen dermatologi dan oftalmologi diminta. Pasien disarankan untuk biopsi,
imunofluoresensi langsung dan tidak langsung. Pemeriksaan histopatologi
menunjukkan adanya sel epitel bulat dengan pembesaran dan hiperkromatik nukleus
menunjukkan sel Tzanck.Sel-sel inflamasi akut juga terlihat. Berdasarkan gambaran
histopatologis, diagnosis pemphigus vulgaris dibuat (Gambar 4).

Gambar 3. Gambaran intraoral menunjukan area eritematus yang melibatkan gingiva marginal
dan cekat pada region gigi anterior bawah yang mengindikasikan deskuamaasi. Area perdarahan
juga tampak pada regio gigi premolar kiri bawah.

Gambar 4. Gambaran histopatologis menunjukkan sel epitel bulat dengan inti yang membesar
dan hipokromatik menunjukkan adanya sel Tzanck dengan sel-sel inflamasi yang banyak. (Panah
menunjukkan sel Tzanck)
Rencana perawatan terdiri dari prednisolon oral 40 mg / hari selama 2 minggu
bersama dengan obat kumur chlorhexidine. Salep Triamcinolone acetonide 0,1% juga
diresepkan untuk pasien. Pasien melaporkan tentang berkurangnya rasa sakit, sensasi
terbakar dan terdapat penyembuhan lesi ketika dihubungi melalui telepon dan pasien
tidak melaporkan secara pribadi ketika gejalanya membaik.
BAB III
PEMBAHASAN

Pada kasus 1 dan 2 terdapat persamaan akan keluhan utama. Pada kasus 1, Os
mengeluhkan adanya gusi berdarah,ulserasi, dan sensasi terbakar pada gingiva anterior
bawah,dan pasien didiagnosis dengan plaque induced gingivitis. Pada kasus 2, Os juga
mengeluhkan adanya gusi berdarah dan sensasi terbakar yang dirasakan sejak 6 bulan
terakhir, dan pasien didiagnosis dengan gingivitis.
Perbedaan kasus 1 dan 2 dilihat dari lokasi timbulnya lesi. Pada kasus 1,lesi oral
hanya terdapat pada gingiva labial anterior mandibular, dan pada kasus 2 terdapat pada
gingiva,ujung lidah,dasar mulut,palatum lunak,mukosa labial dan mukosa bukal. Selain
lesi oral,pada kasus 1 juga terdapat lesi kulit erosive pada kulit kepala,
pipi,umbilicus,dan area genital,sedangkan pada kasus 2 pasien hanya memberikan
riwayat adanya ruam dan reaksi alergi pada kulit tubuh atas dan bawah,punggung, dan
iritasi serta kemerahan pada mata.
Pemvigus vulgaris merupakan penyakit autoimmune dengan manisfestasi pada
mukokutaneus yang ditandai dengan adanya blister pada kulit dan/atau membrane
mukosa1,2,3. Pemvigus vulgaris biasanya banyak ditemukan pada usia 40-50 tahun, dan
dapat terjadi pada pria maupun wanita. Pada 60% kasus, manisfestasi awal penyakit ini
adalah di rongga mulut2,5,12. Secara klinis, lesi diawali oleh blister kecil yang mudah
ruptur,menghasilkan daerah erosi yang sakit. Lesi dapat muncul pada daerah manapun
pada rongga mulut, namun daerah yang paling sering terpengaruh adalah mukosa bukal,
diikuti lidah,palatum,bibir bawah, dan gingiva1.
Pemvigus vulgaris disebabkan oleh autoantibodi terhadap desmoglein 3 (Dsg3),
yaitu sebuah komponen desmosome keratinosit. Ikatan autoantibodi tersebut
menyebabkan rusaknya struktur desmosome dan hilangnya adhesi keratinosit
(akantolisis), yang bermanifestasi sebagai blister pada lapisan suprabasal epidermis.
Telah diamati bahwa penderita yang memiliki autoantibodi Dsg3 hanya memiliki lesi
oral. Autoantibodi juga dapat menyerang desmoglein1(Dsg1). Dsg 1 lebih jarang
ditemukan pada penderita pemvigus vulgaris, namun jika ada maka akan muncul lesi
pada kulit. Desmoglein 1 terdapat sepanjang epidermis namun paling banyak
terkonsentrasi pada lapisan superfisial. Penderita dengan autoantibodi Dsg1 dan Dsg3
dapat memiliki keterlibatan lesi pada mukosa dan kulitnya5.
Aspek penting dalam manajemen pasien adalah diagnosis awal. Dokter gigi
berperan penting dalam mengamati manisfestasi klinis PV agar dapat memberikan
perawatan segera dan tepat sehingga penyakit dapat terkontrol dengan cepat7.
Pada kasus 1, pasien datang dengan keluhan gusi berdarah,ulserasi, dan sensasi
terbakar pada gingiva anterior bawah,dan pasien didiagnosis dengan plaque induced
gingivitis, kemudian pasien dirujuk ke periodontist untuk dilakukan terapi periodontal.
Pada kasus 2, pasien datang dengan keluhan gusi berdarah, dan sensasi terbakar pada
rongga mulutnya sejak 6 bulan. Oleh dokter,pasien didiagnosa dengan gingivitis
kemudian diresepkan obat-obatan tertentu namun tidak ada riwayat perbaikan dari
keluhannya, sehingga pasien memeriksakan diri kembali ke dokter gigi lain.Keluhan
utama pasien baik pada kasus 1 maupun kasus 2 yaitu gusi berdarah.Gusi berdarah
dapat disebabkan oleh berbagai macam factor baik factor local maupun sistemik. Gusi
berdarah akibat factor local dapat disebabkan akibat inflamasi kronis karena adanya
retensi plak. Pada inflamasi kronis, perubahan pada histopatologis menunjukkan
pelebaran dan pembengkakkan kapiler serta ulserasi pada epitel sulkular. Kapiler
membengkak dan mendekat ke permukaan,epitel yang menipis dan degenerasi kurang
terlindungi,stimulus yang normalnya tidak merusak,menyebabkan rupturnya kapielr
dan perdarahan gingiva. Temuan klinis gingivitis yaitu adanya bleeding on
probing,perubahan warna,konsistensi,tekstur,posisi,dan kontur gingiva. Gingiva
mengalami edema,berwarna kemerahan,permukaan licin dan mengkilap8. Pada kasus
1, pasien didiagnosa dengan diffused plaque induced gingivitis, yaitu gingivitis akibat
adanya retensi plak yang mengenai gingiva bebas,gingiva cekat,dan mukosa alveolar.
Management gingivitis adalah dengan menghilangkan penyebab inflamasi kronis
dengan dilakukannya terapi periodontal8. Jika inflamasi kronis tidak hilang dengan
dilakukannya terapi periodontal, maka dokter gigi perlu mempertimbangkan etiologi
lain yang mungkin jadi penyebabnya.
Pada pemeriksaan gingiva, setelah diperiksa lagi lebih lanjut, terdapat area erosi
dan edematous pada gingiva marginal dan gingiva cekat, yang mengindikasikan
gingivitis deskuamatif. Gingivitis deskuamatif merupakan istilah klinis untuk
mendeskripsikan adanya eritema,deskuamasi, dan ulserasi pada gingiva marginal dan
gingiva cekat. Pasien biasanya tidak memiliki keluhan,namun jika ada, keluhan dapat
berupa adanya sensasi terbakar sampai rasa sakit parah8,9,10. Anamnesis terkait gejala
yang berhubungan dengan kondisi ini seperti kapan lesi mulai muncul,apakah lesi
bertambah parah, apakah ada hal yang membuat lesi eksaserbasi menjadi panduan
dalam pemeriksaan menyeluruh. Informasi terkait terapi sebelumnya untuk
menyembuhkan lesi juga harus dicatat10. Diagnosis kriteria untuk gingivitis
deskuamatif yaitu (1) adanya nonplaque-induced gingival eritema (2) deskuamasi
gingiva (3) lesi intraoral lain atau terkadang lesi ekstraoral , dan (4) rasa sakit pada
rongga mulut ketika makan makanan pedas.8 Hal ini menjelaskan keluhan sensasi
terbakar pada kasus 1 dan kasus 2 yang merupakan manifestasi dari gingivitis
deskuamatif. Gingivitis dengan plaque induced biasanya tidak disertai keluhan dan ini
menjadi pembeda dengan gingivitis deskuamatif8.
Gingivitis deskuamatif dapat menjadi manifestasi klinis dari penyakit penyakit
mukokutaneus kronis yang biasanya diawali dengan adanya riwayat blister pada rongga
mulut. Pertanyaan terkait mengenai riwayat gejala pada mata,nasal dan
tenggorokan,kulit,genital,konsumsi obat-obatan,serta riwayat keluarga juga perlu
ditanyakan. Pada pemeriksaan oral, gingiva labial adalah area yang paling sering
terpengaruh dibandingkan gingiva lingual dan palatal9. Pada kasus 1 dan 2, area yang
terpengaruh adalah gingiva labial. Tanda lain yang dapat mengindikasikan adanya
penyakit mukokutaneus adalah Nikolsky’s sign, dimana blister baru akan terbentuk jika
dilakukan tekanan pada mukosa/kulit normal (tidak terkena lesi)11. Pada kasus 2,
ditemukannya Nikolsky’s sign yang positif dan mengeliminasi diagnosa awal yaitu
plaque induced gingivitis.
Dokter gigi harus lebih teliti dalam menganamnesis dan melihat gambaran klinis
penyakit. Terbukti setelah dilakukan pemeriksaan lebih lanjut oleh periodontist pada
kasus 1, ternyata ditemukan juga lesi erosive pada kulit kepala,pipi,umbilicus, dan area
genital pasien. Begitu juga dengan kasus 2, ditemukan lesi erosi multiple pada
gingiva,ujung lidah,dasar mulut, palatum lunak, mukosa labial, dan mukosa bukal
pasien, serta adanya riwayat munculnya blister pada rongga mulut.
Diagnosis differensial pemvigus vulgaris (PV) adalah mucous membrane
pemphigoid (MMP). Untuk menegakkan diagnosis definitive harus dilakukan biopsy
untuk pemeriksaan histologi, immunofluorescence, dan serologi5,11. PV dan MMP
merupakan penyakit autoimun mukokutaneus yang mempengaruhi mukosa oral dan
kulit dan dapat menimbulkan keraguan terkait inisial diagnosis karena gambaran klinis
yang serupa. PV dan MMP memiliki gambaran histopatologis dan immunofluorescence
yang berbeda. Pada PV gambaran histologis menunjukkan adanya edema interselular
pada lapisan suprabasal stratum spinosum,dan terjadinya akantolisis sehingga
menyebabkan terbentuknya blister. Berbeda dengan PV,gambaran histologis MMP
yaitu terdapat subepitelial blister dengan infiltrate sel inflamasi kronis yaitu
eosinophil,limfosit, dan neutrophil,dan tidak disertai dengan akantolisis. Pemeriksaan
immunofluorescence PV akan memperlihatkan adanya intercellular IgG DAN C3 pada
oral epitelium,sedangkan pada MMP terlihat adanya linear band dari IgG dan C3 pada
membrane basal zone6,17.
Pada kasus 1,hasil pemeriksaan histologis menunjukkan adanya tzank cell pada
intraepithelial tepat di atas lapisan basa,proses akantolisis,dan juga terdapat thombstone
pattern.Infiltrat sel inflamasi kronis juga terlihat pada jaringan konektif dibawahnya.
Pada kasus 2 pemeriksaan histologis juga menunjukkan adanya sel epitel bulat dengan
inti yang membesar dan hipokromatik (Tzank cell). Berdasarkan temuan inilah
diagnosis pemvigus vulgaris ditegakkan.
Pada kasus 2,Os diberikan oral prednisolone 40 mg/hari dan obat kumur
klorheksidin selama 2 minggu serta salap triamcinolone acetonide 0,1 %. Prednisolone
merupakan obat golongan kortikosteroid. Sistemik kortikosteroid hingga sekarang
menjadi terapi awal yang paling baik dalam penanganan PV. Dalam penanganan PV,
terapi imunosuppresif/immunomodulator dengan kombinasi topical antiseptic dan
topical kortikosteroid merupakan terapi yang disarankan. Dosis rendah sistemik
kortikosteroid yang disarankan yaitu 1.0-2.0 mg/kg per hari,dan dosis tinggi 120-150
mg/hari,tergantung dari tingkat keparahan penyakit12,13,14. Pada kasus 1 dan 2 masih
diberikan dosis rendah karena penyakit tidak terlalu parah dan terlihat perbaikan pada
lesi setelah diberikan terapi. Pasien juga diberikan obat kumur klorheksidin.
Komplikasi PV yaitu inadekuatnya control terhadap oral hygiene akibat rasa sakit dan
pendarahan yang dapat menyebabkan bertambahnya plak dan berkontribusi akan
terjadinya penyakit periodontal3. Klorhexidine merupakan substansi kimia
bisbiguanide yang efektif dan tidak mengiratasi dalam control plak dan inflamasi. Obat
kumur yang mengandung klorhexidine merupakan agen antibacterial dan antiinflamasi
yang paling sering digunakan dalam kedokteran gigi dan telah banyak terbukti
efektifitasnya baik secara in vitro maupun in vivo dalam berbagai studi15.Pada pasien
dengan keterlibatan lesi oral, topical kortikosteroid juga dapat diberikan14. Pada kasus
ini,Os diberikan salap triamcinolone acetonide 0,1 %. Os merespon baik terhadap
perawatan yang diberikan.
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

4.1 Definisi Pemphigus Vulgaris


Istilah pemfigus mengacu pada sekelompok penyakit blistering autoimun pada
kulit dan mucosa yang ditandai secara histologis oleh adanya blister intraepidermal
akibat acantholysis (yaitu, pemisahan sel-sel epidermis satu sama lain) dan secara
imunopatologi yaitu adanya ikatan in vivo dan sirkulasi imunoglobulin G (IgG)
terhadap permukaan sel keratinosit. Pada dasarnya, pemfigus dapat dibagi menjadi
empat jenis utama: vulgaris, foliaceus, paraneoplastik, dan pemfigus IgA. Pada
pemfigus vulgaris, blister terjadi di bagian yang lebih dalam dari epidermis, tepat di
atas lapisan basal.2

4.2 Etiologi dan pathogenesis


Pemfigus telah terbukti disebabkan oleh adanya autoantibodi (IgG) yang
menargetkan satu atau dua antigen permukaan sel keratinosit tertentu, yang
menyebabkan hilangnya adesi intraseluler, akumulasi cairan interselular, dan
pembentukan bllister. Berbagai penelitian telah mengkonfirmasi peran patogenik dari
antibodi ini. Inkubasi antibodi-antibodi ini dalam kultur sel keratinosit menghasilkan
disadesi dari permukaan lempeng. Injeksi autoantibodi intraperitoneal ke tikus neonatal
mereproduksi penyakit secara histologis, imunologis, dan klinis. Sebagai korelasi
klinis, karena autoantibodi IgG dapat melewati plasenta, neonatus yang dilahirkan oleh
wanita dengan pemfigus vulgaris aktif dapat memiliki penyakit sementara yang mereda
sebagai antibodi dikatabolisme. Pembentukan blister dalam PV semata-mata
tergantung pada keberadaan autoantibodi antigen pemfigus. Proses ini tidak tergantung
pada sel atau komplemen, meskipun keberadaan komplemen memang menekankan
temuan diamati dalam model kultur sel16.
Antigen patogenik utama pemfigus vulgaris adalah glikoprotein 130kd,
komponen dari membran sel keratinosit, antigen pemfigus ini disebut sebagai
desmoglein 3 (Dsg 3). Autoantibodi juga dapat berkembang melawan antigen pemfigus
kedua, memiliki berat molekul 160 kD dan dinamai desmoglein 1 (Dsg 1). Dsg 1 lebih
jarang ditemukan dalam hubungannya dengan pemfigus vulgaris dan jauh lebih terkait
dengan pemfigus foliaceus, penyakit bulosa autoimun ditandai dengan blister di lapisan
terata epidermis. Desmoglein 1 diekspresikan di seluruh epidermis tetapi paling
terkonsentrasi di dalam lapisan superfisial. Sebaliknya,desmoglein 3 diekspresikan
dalam lapisan epidermis basal dan suprabasal.Telah diamati bahwa pasien dengan
hanya autoantibodi Dsg 3 biasanya hanya memiliki lesi oral, sedangkan pasien dengan
autoantibodi Dsg 1 dan 3 dapat memiliki keterlibatan mukosa dan kulit,dan pasien yang
hanya memiliki autoantibodi Dsg 1 hanya memiliki keterlibatan kulit (seperti pada
pemphigus foliaceus). Masih tidak jelas mengapa blister hanya ditemukan pada lapisan
suprabasal pada pemfigus vulgaris daripada keseluruhan epitel pada pemfigus
mukokutan, ketika autoantibodi desmoglein 1 dan 3 adalah terdeteksi.16

4.3 Gambaran Klinis 2


4.3.1 Membran Mukosa
Pada sebagian besar pasien, erosi membran mukosa yang menyakitkan
menunjukkan tanda PV dan mungkin merupakan satu-satunya tanda untuk rata-rata 5
bulan sebelum lesi kulit berkembang (Gambar 3). Mukosa yang paling sering terkena
adalah rongga mulut, yang terlibat di hampir semua pasien dengan PV dan seringkali
merupakan satu-satunya mukosa yang terlibat. Blister yang utuh jarang terjadi,
mungkin karena blister tersebut rapuh dan mudah pecah. Erosi yang tersebar dan
seringkali luas dapat muncul di bagian rongga mulut mana pun, walaupun yang paling
sering terjadi adalah pada mukosa bukal. Erosi-erosi ini dapat menyebar untuk
melibatkan pharinx dan laring sehingga menimbulkan suara serak. Sering kali, erosi-
erosi ini sangat tidak nyaman dan pada kenyataannya, menyakitkan sehingga pasien
tidak dapat makan atau minum secara memadai.
Lesi oral pada PV jarang yang bermanifestasi di gingiva. Pada pasien dengan
keterlibatan gingiva biasanya bermanifestasi sebagai gingivitis deskuamatif. Gambaran
klinisnya yaitu gingiva eritematus dan oedema serta pasien merasakan
ketidaknyamanan serta nyeri saat mengunyah dan sering mengeluh adanya gusi
berdarah.
Deskuamatif gingivitis merupakan istilah klinis,bukan sebuah diagnose.Ketika
terdapat tanda klinis adanya gingivitis deskuamatif,pemeriksaan laboratorium harus
dilakukan untuk menegakkan diagnosis. Riwayat klinis penyakit yang menyeluruh
harus ditanyakan dan ditelusuri untuk menilai gingivitis deskuamatif. Data mengenai
gejala yang berhubungan dengan kondisi ini seperti kapan lesi muncul, apakah kesi
bertambah parah, apa yang membuat munculnya lesi, dan riwayat pengobatan
sebelumnya jika ada harus ditanyakan.
Membran mukosa di daerah lain mungkin juga terlibat dengan erosi yang
menyakitkan; ini termasuk mukosa hidung, konjungtiva, anus, vagina, dan labia.
Keterlibatan kulit tanpa keterlibatan membran mukosa dalam PV adalah tidak biasa dan
dalam satu studi hanya 11 persen dari kasus.

Gambar 3. Lesi oral PV

4.3.2 Kulit

Lesi kulit pada PV jarang yang pruritic,tapi terasa sakit. Lesi primer PV adalah
flaccid blister, yang dapat terjadi di mana saja pada permukaan kulit (gambar 1).
Biasanya, blister muncul pada kulit yang tampak normal, tetapi mungkin timbul pada
kulit yang eritematosa. Bahkan blister baru biasanya flaccid atau menjadi seperti itu
dalam waktu singkat. Karena blister ini rentan pecah, blister yang masih utuh mungkin
jarang terlihat. Lesi kulit yang paling umum terjadi pada pasien ini adalah erosi,
menyakitkan, setelah blister pecah. Erosi-erosi ini seringkali cukup besar, karena
memiliki kecenderungan untuk menyebar di pinggirannya. Temuan karakteristik ini
dapat ditimbulkan pada pasien pemfigus dengan blister yang aktif dengan menerapkan
tekanan lateral pada kulit yang tampak normal pada pinggiran lesi aktif.Fenomena ini
yang dikenal sebagai tanda nikolsky. Tanda ini membantu membedakan pemfigus dari
penyakit kulit melepuh lainnya.
Gambar 1. Flaccid blisters

Pada pasien tertentu, erosi memiliki kecenderungan untuk mengembangkan


jaringan granulasi yang berlebihan dan pengerasan kulit. Lesi ini cenderung lebih sering
terjadi di daerah intriginous di kulit kepala, atau di wajah (gambar 2).

Gambar 2. Krusta,lesi vegetasi pada pemphigus vulgaris

4.4 Diagnosis11
Prosedur diagnostic untuk PV dibagi menjadi 3 kategori yaitu
klinis,histologis,dan molecular (Tabel 1).
Tabel.1 Prosedur diagnostic PV
4.4.1 Nikolsky’s Test
Pertama kali dijelaskan oleh Piotr Vasiliyevich Nikolsky (1858– 1940) seorang
dokter kulit Rusia. Dia menceritakan bagaimana, setelah menggosok kulit pasien yang
memiliki pemfigus foliaceous, terdapat blister pada epidermis permukaan yang berkilau
dan lembab di bawahnya.Menurut penjelasannya, kulit menunjukkan hubungan yang
lemah antara lapisan sel kornea dan granular pada semua permukaan dan bahkan di
tempat-tempat di antara lesi pada kulit yang tampaknya tidak terpengaruh. Pengamatan
Nikolsky kemudian dikonfirmasi oleh Lyell pada tahun 1956, yang menggambarkan
tanda Nikolsky pada pasien dengan epidermal toksik nekrolisis.
Secara karakteristik hal ini dapat terlihat pada intraepidermal bullous disorder;
sedangkan pada penyakit VB subepidermal, tanda ini umumnya tidak ada. Tanda
Nikolsky dikaitkan dengan tanda klasik pemfigus vulgaris. Namun, kondisi lainnya
yang juga diketahui menunjukkan tanda ini termasuk pemfigus foliaceous, pemfigus
paraneoplastik, oral lichen planus, mucous membrane pemphigoid, pemfigoid bulosa,
epidermolisis bullosa, Sindrom Stevens-Johnson, Staphylococcal scalded skin
syndrome (SSSS), toksik epidermal nekrolisis (TEN), penyakit IgA linier, lupus
erythematous (LE), dermatomiositis, eritema multiforme kronis dan penyakit graft-
versus-host.
Tes ini sulit untuk diproduksi di rongga mulut karena blister dan vesikel pecah
sangat dini. Tanda Nikolsky di mulut rongga dikatakan positif ketika ulserasi jaringan
atau lepuh terlihat setelah memberikan tekanan ringan pada mukosa baik dengan
menggunakan instrumen tumpul atau jari. Pada pasien dengan blistering aktif, Tekanan
dengan jari memisahkan epidermis yang tampak normal, menghasilkan erosi.Ini
dilakukan dengan menerapkan tekanan lateral dengan menggunakan jari telunjuk untuk
mengganggu adhesi antar sel dalam tanda klinis Nikolsky. Jika melemahnya adhesi
antar sel ada tetapi tidak terlalu terlihat, hanya dapat ditunjukkan secara mikroskopis.
Tanda Nikolsky secara mikroskopis kadang-kadang hanya mencakup beberapa sel.

4.4.2 Tzanck test


George Papanicolaou dianggap sebagai bapak eksfoliatif sitologi, tetapi sitologi
pertama kali digunakan pada gangguan kulit oleh Tzanck pada tahun 1947, untuk
diagnosis gangguan VB, khususnya herpes simpleks. Sejak itu sitologi telah banyak
digunakan oleh dokter kulit untuk diagnosa.
Sel Tzanck yang khas adalah keratinosit bulat besar dengan nukleus
hiperkromatik dengan kondensasi perifer dari kromatin, nukleolus tampak buram atau
menonjol, dan sitoplasma basofilik.Pewarnaan basofilik lebih dalam secara perifer pada
membran sel karena kecenderungan sitoplasma untuk terkondensasi di tepi,
menimbulkan perinuclear halo.
Interpretasi :
- Selain gumpalan sel epitel, apusan Tzanck akan mengandung berbagai sel
inflamasi, eritrosit, dan untaian fibrin
- Badan inklusi tidak terlihat pada pewarnaan Giemsa dan dapat dilihat hanya jika
apusan lebih banyak teknik Papanicolaou atau hematoxylin dan eosin.
- Vesikel dari pemfigus mengandung elemen inflamasi serta sel epitel yang telah
terpisah dari sel yang berdekatan oleh proses acantholysis.
4.4.3 Immunofluoresence
Direct Immunofluoresence (DIF)
DIF adalah prosedur satu langkah yang melibatkan aplikasi antibodi
floresoresinat pada potongan beku kulit.DIF bersifat diagnostik pada pemfigus,
pemfigoid, pemfigoid kehamilan, dermatitis herpatiformis, IgA linier dermatosis
bulosa, dan epidermolisis bulosa acquisita.
Hasil pemeriksaan DIF pada pasien PV akan menunjukkan permukaan sel
epitel, yang mengindikasikan keberadaan deposit imunoglobulin pada membran
keratinosit (intercellular space). Dalam 100% dari kasus endapan IgG diamati di epitel
ruang antar sel, sedangkan keberadaan deposit IgM jauh lebih jarang (Gambar 4).1,12

Gambar 4. DIF untuk imunoglobulin G (IgG) kulit perilesional dari pasien dengan
pemfigus vulgaris. Catat permukaan sel yang diwarnai di seluruh epidermis.
Indirect Immunofluoresence (IDIF)
IDIF adalah prosedur dua langkah di mana apusan pasien diletakkan pada
substrat diikuti oleh aplikasi floresoresinasi antibodi.IDIF serum pasien dapat
digunakan sebagai tes skrining untuk antibodi yang bersirkulasi terutama IgG dan IgA.
IDIF pada monyet atau kelinci esofagus telah menjadi mode pengujian antibodi serum
pada pemfigus; sedangkan untuk penyakit blister autoimun subepidermal, substrat yang
disukai adalah kulit manusia normal yang telah dipecah dengan larutan natrium klorida
1 M. IDIF mendeteksi antibodi yang bersirkulasi yang ditargetkan ke permukaan sel
epitel (zat anti-interseluler) - pada dasarnya IgG4 dan IgG1, dan lebih jarang IgG3.
Antibodi anti-desmoglein yang bersirkulasi dapat diidentifikasi dengan mikroskop
imunofluoresensi tidak langsung pada 80% - 90% pasien dengan pemfigus vulgaris
aktif, dan titer antibodi yang bersirkulasi ini berkorelasi linier dengan tingkat keparahan
dan luasnya penyakit.
4.4.4 Histopatologi2
Temuan histopatologis khas pada pv adalah suprabasilar blister dengan
acantholysis. Tepat di atas lapisan sel basal, sel-sel epidermis kehilangan kontak sel-
ke-sel normal dan membentuk blister. Sel-sel basal tetap melekat pada membran basal,
tetapi dapat kehilangan kontak dengan sel sebelahnya; sebagai hasilnya, sel dapat
tampak menjadi seperti deretan batu nisan (thombstone). Biasanya, epidermis atas tetap
utuh, karena sel-sel ini mempertahankan adhesi sel mereka (gambar 5 ).

Gambar 5. Histopatologi pada PV.Suprabasilar akantolisis.pola “thombstone”.

4.4 Pengukuran Aktivitas Penyakit Pemfigus19


Indeks aktivitas penyakit sangat penting dalam studi klinis untuk memberikan
hasil yang comparable dan interpretable serta untuk memfasilitasi keputusan
berdasarkan evidence-based. Baru-baru ini, dua sistem penilaian baru telah diusulkan
memberikan ukuran obyektif aktivitas penyakit dalam pemphigus,yaitu Pemphigus
Disease Area Index (PDAI) dan Autoimmune Bullous Skin Disorder Intensity Score
(ABSIS).
Pemphigus Disease Area Index (PDAI) dan Autoimmune Bullous Skin
Disorder Intensity Score (ABSIS) merupakan pengukuran tingkat keparahan penyakit
yang independent. PDAI dikembangkan oleh International Pemphigus Committee dan
ABSIS oleh Pfutze et al pada tahun 2007 dan digunakan dalam studi di Eropa. Kedua
pengukuran ini mengukur tingkat erosi kulit dan mukosa, serta salah satu ukuran
ketidaknyamanan pasien dalam skor ABSIS atau ukuran kerusakan kulit pada skor
PDAI. C.Boulard et al,meneliti tentang perhitungan nilai cut-off berdasarkan (ABSIS)
dan (PDAI) untuk mendefinisikan definisi pemphigus moderate, significant dan
extensive (Tabel 4).
Skor PDAI yaitu 0-263,dimana 250 poin merupakan aktifitas penyakit
(120,10,dan 120 poin untuk kulit,kulit kepala,dan mukosa). Untuk penilaian kulit,
terdapat 12 area anatomis yang masing-masing skornya 0 ( tidak ada lesi); 1 (1-3 lesi,1
minimal 1 lesi ukuran > 2cm , semua <6cm) ; 2 (2-3 lesi, minimal 2 lesi ukuran
>2cm,semua <6cm) ; 3 (>3 lesi,ukuran <6cm) ; 5 (>3lesi, satu lesi minimal ukuran
>6cm) ; 10 (>3 lesi,ukuran >6cm). Untuk skor kulit kepala 0 (tidak ada lesi) ; 1 (1
kuadran) ; 2 (2 kuadran) ; 3 (3 kuadran) ; 4 (keseluruhan) ; 10 ( satu lesi minimal ukuran
>6cm). Untuk mukosa, dibagi menjadi 12 area dengan skor 0 (absen) ; 1 (1 lesi) ; 2 (2
atau 3 lesi); 5 (2 atau >3 lesi ukuran >2cm) ; 10 (semua area).
Skor ABSIS untuk keterlibtaan kulit dinilai berdasarkan luas permukaan yang
terlibat menggunakan Wallace’s ‘rule of nine’ dan tipe dari lesi kulit. Persentase luas
permukaan yang terlibat dikalikan dengan : 1,5 (erosif,eksudat,bulla,Nikoslky sign +) ;
1 (lesi erosif,kering) ; 0.5 (lesi reepitelisasi). Skor untuk keterlibatan oral masing-
masing 1 untuk 11 area. Rentangan skor ABSIS yaitu 0-206, 150 poin untuk
keterlibatan kulit,11 untuk keterlibatan oral,dan 45 point untuk keluhan subjektif.

Tabel 4. Median Pemphigus Disease Area Index (PDAI) total activity score, Autoimmune Bullous Skin Disorder Intensity Score (ABSIS) total
score, Physician’s Global Assessment (PGA) score and Dermatology Life Quality Index (DLQI) according to pemphigus severity (moderate,
significant or extensive) defined from the PDAI or ABSIS scoring systems

4.5 Diagnosis Banding


Penyakit Vesiculobullous mewakili kelompok dermatosis heterogen dengan
manifestasi klinis yang sangat bervariasi, yang telah menjadi subjek penyelidikan
intensif baru-baru ini tahun. Meskipun dalam sebagian besar kasus penyakit ini
terutama ditandai dengan adanya lesi vesiculobullous , etiologi, patogenesis,
keparahan, dan lintasannya mungkin berbeda. Ini termasuk pemfigus secara umum atau
pemphigus vulgaris, pemfigus paraneoplastik dan mucous membrane pemphigoid
(MMP) yang secara klinis, sangat mirip ketika muncul dalam mukosa oral. Penyakit-
penyakit ini, ditandai sebagai mukokutan, memiliki dampak signifikan pada kualitas
hidup jika dibandingkan dengan kondisi lain, karena dapat menyebabkan rasa sakit dan
kesulitan dalam makan dan berbicara, tergantung pada luasnya dari ulserasi.5
Di antara penyakit vesiculobullous, pemphigus vulgaris (PV) dan MMP lebih
menonjol.Reaksi antigen-antibodi pada PV dan MMP menghasilkan proses patologis
secara klinis ditandai dengan munculnya blister pada permukaan kulit dan / atau
mukosa. Pemphigus vulgaris (PV) dan mucous membrane pemphigoid (MMP)
merupakan penyakit yang menimbulkan kesulitan diagnostik terbesar untuk dokter gigi,
dengan skor masing-masing 7,35 dan 8,03, dalam skala 0-10. PV dan MMP keduanya
merupakan penyakit autoimun mukokutaneus kronis yang mempengaruhi mukosa
mulut dan bisa menimbulkan keraguan mengenai diagnosis awal. Karakteristik
diagnostik dan pengobatan PV oral dan MP dapat dilihat pada table 2.1

Tabel.2 Karakteristik diangnostik PV dan MMP

PV dan MMP dapat dibedakan dari hasil pemeriksaan histologis dan


immunofluorescence (Gambar 6)

A B
C D

Gambar 6. (A) Gambaran histologis pada PV,adanya intraepithelial blister dan akantolisis
(B) Gambaran histologis MMP,adanya celah subepitelial (C) DIF pada PV,adanya IgG
pada ruang intercellular (D) DIF pada lesi mukosa yang dieksisi menunjukkan pewarnaan
linear zona membran dasar dengan IgM, IgG, C3 dan fibrinogen (panah merah).

4.6 Rencana Perawatan


Tujuan dari pengobatan PV yaitu untuk mempercepat penyembuhan blister dan
erosi, mencegah / membatasi pengembangan blister dan erosi baru, meningkatkan
kualitas hidup dan membatasi efek samping umum yang biasanya terkait dengan
pengobatan imunosupresif atau kortikosteroid jangka panjang17.
PV adalah penyakit yang tidak umum dan berpotensi mengancam jiwa serta
membutuhkan perawatan imunosupresif. Pengobatan PV harus dikelola oleh dokter
yang berpengalaman dalam pengobatan penyakit mukokutan autoimun. Manajemen
oral PV aktif dengan terapi sistemik harus dengan pendekatan yang sama seperti
manajemen penyakit kulit aktif dan bisa ditangani oleh dokter kulit setempat jika
spesialis oral medicine tidak tersedia.14
Manajemen PV dapat terbagi dalam dua fase: induksi dan pemeliharaan . Dalam
induksi tujuan awal pengobatan adalah untuk menginduksi pengendalian penyakit,
yaitu lesi baru dapat berhenti terbentuk dan lesi yang telah ada mulai
sembuh.Kortikosteroid adalah pengobatan yang paling efektif dan bertindak cepat
untuk PV, karenanya mereka sangat penting dalam fase ini13,14,18. Menggunakan
kortikosteroid, pengendalian penyakit biasanya membutuhkan beberapa minggu (kira-
kira 3 minggu). Selama fase ini intensitas perawatan perlu dilakukan dengan cepat
untuk menekan aktivitas penyakit. Meskipun obat ajuvan sering dimulai selama fase
ini, terapi ajuvan manfaat terapeutiknya relatif terbatas karena onset lebih
lambat.Terapi ini jarang digunakan sebagai pengobatan tunggal untuk menginduksi
remisi dalam PV13.
Setelah pengendalian penyakit tercapai, dilakukan fase konsolidasi selama dosis
obat yg digunakan untuk menginduksi kontrol penyakit dilanjutkan. Akhir dari fase
konsolidasi ini tercapai ketika 80% dari lesi telah sembuh, baik mukosa dan kulit, dan
belum ada lesi baru selama setidaknya 2 minggu. Fase ini mungkin relatif pendek, tetapi
bisa jauh lebih lama jika ada ulserasi kulit yang luas. Penyembuhan ulserasi oral
cenderung memakan waktu lebih lama dibandingkan lesi kulit, dengan rongga mulut
yg sering merupakan area terakhir untuk sembuh pada pasien PV mukokutan. Akhir
dari fase konsolidasi adalah titik di mana kebanyakan dokter akan mulai mengurangi
pengobatan, biasanya dosis kortikosteroid.Pengurangan dosis kortikosteroid, sebelum
pengendalian penyakit tercapai tidak direkomendasikan14.
Setelah fase induksi adalah fase pemeliharaan selama perawatan yang mana
secara bertahap dosis dikurangi,untuk meminimalkan efek samping, seminimal
mungkin untuk pengendalian penyakit. Tujuan akhir dari perawatan adalah untuk
mempertahankan remisi pada prednisolon 10 mg setiap hari atau kurang, dengan 10 mg
menjadi dosis yang ditetapkan sebagai 'terapi minimal' oleh konsensus
internasional,karena belum ada panduan dosis optimum yang ditetapkan. Secara umum,
klinisi biasanya menyarankan untuk penyakit yang ringan diberikan dosis rendah dan
untuk penyakit yang meluas diberikan dosis yang tinggi.
PV adalah penyakit kronis, dan dalam satu studi 36% pasien membutuhkan
setidaknya 10 tahun pengobatan. Kortikosteroid sistemik adalah elemen terpenting
induksi remisi dan konsolidasi. Secara umum,terapi ajuvan lebih lambat daripada
kortikosteroid. Peran utama terapi ini adalah dalam pemeliharaan remisi. Terapi ajuvan
dikombinasikan umumnya dengan kortikosteroid dengan tujuan meningkatkan
kesembuhan dan mengurangi dosis pemeliharaan kortikosteroid dan efek samping
kortikosteroid. Namun, sampai 2017 belum ada studi yang dapat menunjukkan secara
meyakinkan dugaan manfaat obat ajuvan dalam PV.Oleh karena itu, beberapa
Pemerintah belum menggunakan obat ajuvan kecuali ada kontraindikasi atau efek
samping kortikosteroid, atau jika penurunan dosis kortikosteroid dikaitkan dengan
kekambuhan penyakit. Beberapa percobaan menunjukkan kortikosteroid kumulatif
yang lebih rendah dosis, yaitu azathioprine, cyclophosphamide dan mycophenolate
mofetil, yang diyakini secara klinis menunjukkan hasil yang relevan. Tinjauan
sistematis dan meta-analisis, yang mencakup 10 uji coba , menyimpulkan bahwa obat-
batan di atas tidak bermanfaat untuk mencapai remisi tetapi secara kolektif mengurangi
risiko kekambuhan sebesar 29% . Meskipun hanya ada sedikit bukti, umumnya diyakini
obat-obatan tersebut dapat bermanfaat, sebagaimana terbukti pada area autoimunitas
lain, dan sebagian besar pusat pengobatan menggunakannya sebagai praktik standar14.
Tinjauan manajemen PV, dengan tujuan menyediakan referensi singkat untuk tujuan
klinis, dapat dilihat dalam Tabel 3.

Tabel 3. Tinjauan manajemen PV


BAB VI
PENUTUP

Pemvigus vulgaris (PV) memang merupakan penyakit autoimun yang jarang


ditemukan,namun dapat mengancam jiwa penderitanya jika tidak segera ditangani.
Manifestasi awal PV yang ternyata adalah di rongga mulut menjadikan PV sebagai
penyakit yang harus diketahui oleh dokter gigi dan harus mencurigai tanda-tanda yang
tidak lazim yang ada pada pasien.Dokter gigi harus teliti dalam melakukan anamnesis
dan pemeriksaan klinis sehingga perawatan dapat segera dilakukan dan ditangani
dengan yang tepat. Pentingnya peran dokter gigi dalam diagnose awal dan deteksi dini
PV telah dibahas dalam laporan ini. Diharapkan nantinya tingkat mortalitas dan
morbiditas PV dapat menurun.
KEPUSTAKAAN

1. Ata-Ali Mahmud F, Ata-Ali Mahmud FJ. Pemphigus vulgaris and mucous


membrane pemphigoid: update on etiopathogenesis, oral manifestations and
managementy.
2. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ.
Fitzpatrick’s dermatology in general medicine, 2 volumes. Transplantation.
2008;85(654).
3. Nagarajappa AK, Pandya D, Dwivedi N, Bhasin M, KS R. Pemphigus vulgaris–
Value of Diagnosis in Dental Setup. International Journal of Current Research
and Academic Review. 2016 Sep 1;4(9):114-31.
4. Arisawa EA, Almeida JD, Carvalho YR, Cabral LA. Clinicopathological
analysis of oral mucous autoimmune disease: A 27-year study. Medicina Oral
Patologia Oral y Cirugia Bucal. 2008 Feb 1;13(2):94.
5. Kneisel A, Hertl M. Autoimmune bullous skin diseases. Part 2: diagnosis and
therapy. JDDG: Journal der Deutschen Dermatologischen Gesellschaft. 2011
Nov;9(11):927-47
6. Bagan J, Jiménez Y, Murillo J, Bagan L. Oral mucous membrane pemphigoid:
A clinical study of 100 low‐risk cases. Oral diseases. 2018 Mar;24(1-2):132-4.
7. Rai A, Arora M, Naikmasur V, Sattur A, Malhotra V. Oral pemphigus vulgaris:
Case report. Ethiopian journal of health sciences. 2015;25(4):637-372
8. Newman MG, Takei H, Klokkevold PR, Carranza FA. Carranza's clinical
periodontology. Elsevier health sciences; 2011 Feb 14
9. Gagari E, Damoulis PD. Desquamative gingivitis as a manifestation of chronic
mucocutaneous disease. JDDG: Journal der Deutschen Dermatologischen
Gesellschaft. 2011 Mar;9(3):184-7.
10. Richards A. Desquamative Gingivitis: Investigation, Diagnosis and Therapeutic
Management in Practice. Periodontal Practice Today. 2005 Jun 1;2(3)
11. Rastogi V, Sharma R, Misra SR, Yadav L. Diagnostic procedures for
autoimmune vesiculobullous diseases: A review. Journal of oral and
maxillofacial pathology: JOMFP. 2014 Sep;18(3):390.
12. Feller L, Ballyram R, Khammissa RA, Altini M, Lemmer J. Immunopathogenic
Oral Diseases: An Overview Focusing on Pemphigus Vulgaris and Mucous
Membrane Pemphigoid. Oral health & preventive dentistry. 2017 Mar
1;15(2):177-82.
13. Eming R, Sticherling M, Hofmann SC, Hunzelmann N, Kern JS, Kramer H,
Pfeiffer C, Schuster V, Zillikens D, Goebeler M, Hertl M. S2k guidelines for
the treatment of pemphigus vulgaris/foliaceus and bullous pemphigoid. JDDG:
Journal der Deutschen Dermatologischen Gesellschaft. 2015 Aug;13(8):833-
44.
14. Harman KE, Brown D, Exton LS, Groves RW, Hampton PJ, Mohd Mustapa
MF, Setterfield JF, Yesudian PD. British Association of Dermatologists’
guidelines for the management of pemphigus vulgaris 2017. British Journal of
Dermatology. 2017 Nov;177(5):1170-201.
15. Collins JR, Olsen J, Cuesta A, Silva-Vetri M, Hernández M, Romanos G,
Santosh AB, Palma P. In vitro microbiological analysis on antibacterial, anti-
inflammatory, and inhibitory action on matrix metalloproteinases-8 of
commercially available chlorhexidine digluconate mouth rinses. Indian Journal
of Dental Research. 2018 Nov 1;29(6):799
16. Broussard KC, Leung TG, Moradi A, Thorne JE, Fine JD. Autoimmune bullous
diseases with skin and eye involvement: cicatricial pemphigoid, pemphigus
vulgaris, and pemphigus paraneoplastica. Clinics in dermatology. 2016 Mar
1;34(2):205-13.
17. Murrell DF, Peña S, Joly P, Marinovic B, Hashimoto T, Diaz LA, Sinha AA,
Payne AS, Daneshpazhooh M, Eming R, Jonkman MF. Diagnosis and
Management of Pemphigus: recommendations by an International Panel of
Experts. Journal of the American Academy of Dermatology. 2018 Feb 10.
18. Cholera M, Chainani-Wu N. Management of pemphigus vulgaris. Advances in
therapy. 2016 Jun 1;33(6):910-58.
19. Boulard C, Duvert Lehembre S, Picard‐Dahan C, Kern JS, Zambruno G,
Feliciani C, Marinovic B, Vabres P, Borradori L, Prost‐Squarcioni C, Labeille
B. Calculation of cut‐off values based on the Autoimmune Bullous Skin
Disorder Intensity Score (ABSIS) and Pemphigus Disease Area Index (PDAI)
pemphigus scoring systems for defining moderate, significant and extensive
types of pemphigus. British journal of dermatology. 2016 Jul;175(1):142-9.

Anda mungkin juga menyukai