Anda di halaman 1dari 7

Membangun Budaya Keselamatan Pasien Sebagai Pondasi Utama

Dalam Pelayanan Kesehatan


Eva Eryanti Harahap/181101054

Evaeryanti333@gmail.com

Abstrak

Keselamatan pasien merupakan komponen terpenting dalam mutu pelayanan kesehatan. Rumah
sakit sebagai organisasi pelayanan kesehatan harus mampu meningkatkan keselamatan pasien
dengan mengusahakan terwujudnya budaya keselamatan. Tahap-tahap membangun budaya
keselamatan ada 3: assesment, merencanakan, dan mempertahankan. Dasar dalam rumah sakit
adalah keselamatan pasien karena itu budaya keselamatan menjadi acuan sebuah rumah sakit
dan dibutuhkan kerja sama tim agar tercapai dan berjalan secara sempurna.

Kata Kunci : Keselamatan Pasien, Budaya Keselamatan, Dasar Rumah Sakit

1. LATAR BELAKANG

Keselamatan pasien merupakan komponen terpenting dalam mutu pelayanan


kesehatan. Rumah sakit sebagai organisasi pelayanan kesehatan harus mampu
meningkatkan keselamatan pasien dengan mengusahakan terwujudnya budaya
keselamatan. Dalam membangun budaya keselamatan, sangat penting bagi rumah sakit
untuk mengukur perkembangan budaya dengan melakukan pengukuran budaya secara
berkala. Pengukuran pertama sangat penting sebagai data dasar yang akan dipergunakan
sebagai acuan penyusunan program. Memiliki budaya keselamatan akan mendorong
untuk dapat terciptanya lingkungan yang dapat mempertimbangkan semua komponen
sebagai faktor-faktor yang ikut berkontribusi terhadap insiden yang telah terjadi. Hal ini
menghindari kecenderungan untuk menyalahkan individu dan lebih melihat kepada
sistem di mana individu tersebut bekerja.

2. TUJUAN
Bertujuan untuk mengetahui bagaimana membangun budaya keselamatan pasien
sebagai pondasi utama dalam pelayanan kesehatan.
3. METODE
Metode yang digunakan adalah pencarian literatur yaitu mencari literatur yang
berhubungan dengan budaya keselamatan pasien sebagai pondasi utama dalam
pelayanan kesehatan. Karena cakupan topik yang terlalu luas maka literatur yang
digunakan dengan batas publikasi 10 tahun terakhir.

4. HASIL

1. Pendekatan Institute For Healthcare Improvement

a. Membentuk Tim keselamatan pasien Rumah sakit Dr Amino Gondohutomo, sudah


membentuk Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit (TKPRS) sejak tahun 2015.
b. Membentuk Tim Respon Kejadian Tidak Diinginkan Tim respon kejadian yang tidak
diinginkan belum terbentuk, karena sudah ada TKPRS yang dianggap cukup untuk
menangani semua kegiatan dan masalah yang berhubungan dengan keselamatan pasien.
c. Membuat Sistem Pelaporan
1) Pembagian Tugas Pekerjaan Pembagian tugas dalam membuat sistem pelaporan, yaitu
ada yang melakukan pencatatan, ada yang melakukan investigasi, ada yang melakukan
sosialisasi. TKPRS juga telah menyediakan form insiden keselamatan pasien untuk
pendokumentasian setiap insiden keselamatan yang terjadi di rumah sakit.
2) Pendelegasian Wewenang Pendelegasian wewenang untuk setiap anggota sudah ada,
tetapi belum dilakukan dengan optimal oleh masing-masing anggota. Karena TKPRS akan
melakukan investigasi untuk kejadian yang parah saja.
3) Koordinasi Koordinasi setiap anggota tim dalam membuat sistem pelaporan berupa
rapat rutin 3 bulan sekali. Komunikasi dalam koordinasi tim juga kadang menggunakan via
telepon apabila ada insiden keselamatan pasien. Feedback untuk setiap kejadian menjadi
lama dan investigasi kadang tidak dilakukan.

2. Budaya keselamatan Pasien

a. Budaya keterbukaan
b. Budaya keadilan
c. Budaya pelaporan
d. Budaya belajar
e. Budaya informasi
5. PEMBAHASAN

a. Budaya keselamatan memiliki 4 pengertian utama:

1. kesadaran (awareness) yang aktif dan konstan tentang potensi terjadinya kesalahan,

2. terbuka dan adil,

3. pendekatan sistem,

4. pembelanjaran dari pelaporan insiden.


b. Komponen budaya keselamatan menurut Reason

Menurut Reason, komponen budaya keselamatan terdiri atas budaya pelaporan, budaya
adil, budaya fleksibel, dan budaya pembelanjaran. Keempat komponen tersebut
mengidentifikasikan nilai-nilai kepercayaan dan perilaku yang ada dalam organisasi
dengan budaya informasi dimana insiden dilaporkan untuk dilakukan tindakan untuk
meningkatkan keamanan.
c. Terbuka dan Adil
Bagian yang paling mendasar dari organisasi dengan budaya keselamatan (culture
of safety ) adalah meyakinkan bahwa organisasi memiliki “keterbukaan dan adil”
(being open and fair ). Ini berarti bahwa (NSPA, 2004):
 Staff yang terlibat dalam insiden merasa bebas untukmenceritakan insiden tersebut
atau terbuka tentang insiden tersebut;
 Staff dan organisasi bertanggung jawab untuk tindakan yangdiambil;
 Staff merasa bisa membicarakan semua insiden yang terjadi kepada teman sejawat
dan atasannya;
 Organisasi kesehatan lebih terbuka dengan pasien-pasien. Jikaterjadi insiden, staff dan
masyarakat akan mengambil pelajaran dari insiden tersebut;
 Perlakuan yang adil terhadap staf jika insiden terjadi
d. Just Culture

Just Culture adalah suatu lingkungan dengan keseimbangan antara


keharusan untuk melaporkan insiden keselamatan pasien (tanpa takut
dihukum) dengan perlunya tindakan disiplin.

e. Pendekatan sistem terhadap keselamatan

Memiliki budaya keselamatan akan mendorong terciptanya


lingkungan yang mempertimbangkan semua komponen sebagai faktor
yang ikut berkontribusi terhadap insiden yang terjadi. Hal ini
menghindari kecenderungan untuk menyalahkan individu dan lebih
melihat kepada sistem di mana individu tersebut bekerja.

Tahap-tahap membangun budaya keselamatan ada 3:

Tahap 1: Assesmen awal dengan assesmen sarana-prasarana, sumber daya, dan lingkungan
keselamatan pasien rumah sakit, serta survey budaya kesalamatan dan pengukuran data.
Berdasarkan pengukuran, apakah rumah sakit siap? Jika belum, menuju pengembangan iklim
keselamatan dan kembali ke survey budaya awal. Jika assesmen awal sudah dilakukan,
langsung ke tahap 2.

Tahap 2: perencanaan, pelatihan, dan implementasi. Pelatihan diselenggarakan untuk


mendukung pelaksanaan intervensi. Intervensi termasuk uji coba dan kemudian dilanjutkan ke
tahap ke-3

Tahap 3: Mempertahankan/memelihara. Tahap ini termasuk mengintegrasikan, monitoring


perencanaan (dengan survey ulang), dan pengembangan berkelanjutan. Pengembangan
perkelanjutan termasuk pelatihan kembali untuk mewujudkan perubahan menuju budaya
keselamatan yang lebih baik.

6. PENUTUP
Dalam membangun budaya keselamatan, sangat penting bagi rumah sakit untuk mengukur
perkembangan budaya dengan melakukan pengukuran budaya secara berkala. Pengukuran
pertama sangat penting sebagai data dasar yang akan dipergunakan sebagai acuan
penyusunan program. Memiliki budaya keselamatan akan mendorong terciptanya lingkungan
yang mempertimbangkan semua komponen sebagai faktor yang ikut berkontribusi terhadap
insiden yang terjadi.

7. REFERENSI
Elrifda, S. (2011). Budaya Patient Safety dan Karakteristik Kesalahan Pelayanan:
Implikasi Kebijakan di Salah Satu Rumah Sakit di Kota Jambi. Jurnal Kesehatan
Masyarakat Nasional Vol. 6, No. 2.

Firawati. (2012). Pelaksanaan Program Keselamatan Pasien di RSUD Solok, Jurnal


Keselamatan Pasien. 6 (2), 74-77.

Ginting, D. (2019). Kebijakan Penunjang Medis Rumah Sakit ( SNARS).


Yogyakarta: Deepublish.

Herawati, Y. T. (2015). Budaya Keselamatan Pasien di Ruang Rawat Inap Rumah


Sakit X Kabupaten Jember. Jurnal Ikatan Kesehatan Masyarakat. 11(1), 54-58.

Isamainar, H. (2019). Keselamatan Pasien di Rumah Sakit. Yogyakarta: Deepublish.

Kamil, H. (2017). Patient Safety. Idea Nursing Journal Vol 1No 1.

Kemenkes RI. (2011). Permenkes RI No. 1691/Menkes/VIII/2011 tentang


Keselamatan Pasien Rimah Sakit.

Panesar. S. S., Stevens. A. C., dkk. (2017). At a Glance Keselamat Pasien dan
Peningkatan Mutu Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Potter, P.A., & Perry, A.G. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,
Proses dan Praktek (edisi 4). Jakarta: EGC.
Potter, P. A., & Perry, A. G. (2010). Fundamental Keperawatan Buku 1 Edisi 7.
Jakarta : Salemba Medika.

Rivai, F., Sidin, A. I. & Kartika, I. (2016). Faktor yang Berhubungan dengan
Implementasi Keselamatan Pasien di RSUD Ajjappannge Soppeng Tahun 2015.
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Vol. 05, No. 4.

Sakinah, S., dkk. (2017). Analisis Sasara Keselamatan Pasien Dilihat dari Aspek
Pelaksanan Identifikasi Pasien dan Keamanan Obat di RS Kepresidenan RSPAD
Gatot Soebroto Jakarta. Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-Journal) Volume 5,
Nomor 4.

Siamamora, R. H. (2019). Buku Ajar : Pelaksanaan Identifikasi Pasien. Ponorogo


Jawa Timur : Uwais Inspirasi Indonesia.

Siamamora, R. H. (2018). Pengaruh Penyuluhan Identifikasi Pasien dengan


Menggunakan Media Audiovisual Terhadap Pengetahuan Pasien Rawat Inap.
Jurnal Keperawatan Silampari vol. 3, No. 1. Hal. 342-351.

Siamamora, R. H. (2018). Documentation of Parient Identification Into The


Electronic System to Improve The Quality of Nursing Services. International
Journal of Scientific & Technology Research. Vol. 8. No. 09. Hal. 1884-1886.

Triwibowo, C., Yuliawati, S., & Husna, N. A. (2016). Hardover sebagai Upaya
Peningkatan Keselamatan Pasien (Patient safety) di Rumah Sakit. Jurnal
Keperawatan Soedirman. Vol 11 (2), Hal 77-79

Whardani, V. (2017). Buku Ajar Manajemen Keselamatan Pasien. Malang: UB


Press.

Anda mungkin juga menyukai