A. Latar Belakang
Kurangnya kemanan dan sistem yang baik merupakan
masalah yang dihadapi oleh penyedia pelayanan kesehatan
untuk menyeberangi jurang dari perawatan yang bisa diberikan
saat ini untuk mencapai perawatan yang seharusnya diberikan
(IOM, 2000). Keselamatan Pasien/KP (Patient Safety)
merupakan issue Global dan Nasional bagi rumah sakit dan
merupakan komponen penting dari mutu pelayanan kesehatan,
serta merupakan prinsip dasar dalam pelayanan pasien dan
komponen kritis dalam manajemen mutu (WHO, 2004).
Perhatian dan Fokus terhadap Keselamatan Pasien ini didorong
oleh masih tingginya angka kejadian Tak Diinginkan (KTD) atau
Adverse Event (AE) di rumah sakit baik secara global maupun
nasional. KTD yang terjadi di berbagai negara dipekirakan
sekitar 4.0 – 16.6 % (Vincent 2005 dalam Raleigh, 2009) dan
hampir 50 % diantaranya adalah kejadian yang dapat dicegah
(Cahyono, 2008, Yahya, 2011). Adanya KTD tersebut selain
berdampak pada peningkatan biaya pelayanan juga dapat
membawa rumah sakit ke area blamming, menimbulkan
konflik antara dokter/petugas kesehatan lain dan pasien, dan
tidak jarang berakhir dengan tuntutan hukum yang dapat
merugikan bagi rumah sakit (Depkes RI, 2006). Data KTD di
Indonesia masih sangat sulit diperoleh secara lengkap dan
akurat, tetapi dapat diasumsikan tidaklah kecil (KKP-RS,
2006).
Sebagai upaya memecahkan masalah tersebut dan
mewujudkan pelayanan kesehatan yang lebih aman diperlukan
suatu perubahan budaya dalam pelayanan kesehatan dari
budaya yang menyalahkan individu menjadi suatu budaya di
mana insiden dipandang sebagai kesempatan untuk
memperbaiki sistem (IOM, 2000). Sistem pelaporan yang
1
mengutamakan pembelanjaran dari kesalahan dan perbaikkan
sistem pelayanan merupakan dasar budaya keselamatan
(Reason, 1997). Meningkatnya kesadaran pelayanan kesehatan
mengenai pentingnya mewujudkan budaya keselamatan pasien
menyebabkan meningkatnya pula kebutuhan untuk mengukur
budaya keselamatan. Perubahan budaya keselamatan dapat
dipergunakan sebagai bukti keberhasilan implementasi
program keselamatan pasien.
RS. dr Agoesdjam memulai gerakan keselamatan pasien
pada tahun 2006 dengan dibentuknya Tim keselamatan Pasien
RS, namun sampai tahun 2009 belum ada data yang pasti
mengenai jumlah KTD. Minimnya data insiden mengakibatkan
rendahnya proses pembelajaran yang berdampak buruk pada
usaha pencegahan dan pengurangan cedera pada pasien.
Akibatnya, rumah sakit mengalami kesuitan untuk
mengidentifikasi potensi bahaya atau risiko yang dihadapi
dalam sistem pelayanan kesehatan.
Rendahnya sistem pelaporan dan pembelajaran insiden
di RS Panti Rapih tersebut merupakan bukti nyata bahwa
kesadaran staf rumah sakit akan potensi timbulnya kesalahan-
kesalahan masih rendah, masih tingginya budaya
menyalahkan (blamming culture) dan rasa takut untuk terbuka
dalam pelaporan jika terdapat insiden. Oleh sebab itu
dibutuhkan suatu upaya untuk meningkatkan keberhasilan
sistem pelaporan dan pembelanjaran yang berfokus pada
sistem mengurangi terjadinya cedera pasien di RS dr
Agoesdjam.
Langkah penting yang harus dilakukan adalah
membangun budaya keselamatan. Langkah pertama dalam
membangun budaya keselamatan adalah melakukan survey
budaya keselamatan pasien rumah sakit. Survey budaya
bermamfaat untuk mengetahui tingkat budaya keselamatan
rumah sakit sebagai acuan menyusun program kerja dan
melakukan evaluasi keberhasilan program keselamatan pasien
(Nieva, Sorra, 2003). Assesmen dalam survey ini
2
menggambarkan tingkat budaya keselamatan pasien dalam
satu waktu tertentu saja sehingga membutuhkan pengulangan
assesmen secara berkala untuk menilai perkembangannya.
Berdasarkan uraian di atas , maka dibuat laporan hasil
survey budaya keselamatan pasien di RS dr Agoesdjam
Ketapang.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana gambaran tingkat keberhasilan implementasi
program kerja Panitia Keselamatan Pasien RS dr Agoesdjam
dalam membangun budaya keselamatan pasien ?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum:
Melakukan evaluasi terhadap program kerja yang telah
dilakukan sebagai upaya membangun budaya keselamatan
di RS dr Agoesdjam dan pembelanjaran.
2. Tujuan Khusus:
a. Meningkatkan kesadaran tentang budaya keselamatan
pasien
b. Mengidentifikasi area membutuhkan pengembangan
dalam budaya keselamatan sesuai komponen Reason
untuk menyusun program kerja selanjutnya.
c. Mengetahui faktor pendukung dan penghambat dalam
pelaksanaan program keselamatan pasien khususnya
pelaporan insiden dan pembelanjaran.
D. Manfaat penelitian
1. Bagi pimpinan Rumah Sakit dr Agoesdjam
a. Memberikan masukan tentang gambaran budaya
keselamatan pasien yang ada di RS dr Agoesdjam
Ketapang
b. Sebagai bahan masukan dalam menentukan kebijakan
terkait dengan pelaksanaan program keselamatan pasien,
khususnya dalam membangun budaya keselamatan.
2. Bagi Panitia Keselamatan Pasien RS dr Agoesdjam
a. Dapat dipergunakan untuk melakukan evaluasi tingkat
keberhasilan program kerja panitia keselamatan pasien.
3
b. dapat digunakan sebagai acuan untuk menyusun
program kerja keselamatan pasien yang sesuai dengan
karakteristik rumah sakit
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
2. Komponen Budaya Keselamatan
Menurut Reason, komponen budaya keselamatan terdiri
atas budaya pelaporan, budaya adil, budaya fleksibel, dan
budaya pembelanjaran. Keempat komponen tersebut
mengidentifikasikan nilai-nilai kepercayaan dan perilaku yang
ada dalam organisasi dengan budaya informasi dimana
insiden dilaporkan untuk dilakukan tindakan untuk
meningkatkan keamanan. Organisasi yang aman tergantung
pada kesediaan karyawan untuk melaporkan kejadian cedera
dan nearmiss (learning culture). Kerelaan karyawan dalam
melaporkan insiden karena kepercayaan bahwa manajemen
akan memberikan support dan penghargaan terhadap
pelaporan insiden dan tindakan disiplin diambil berdasarkan
akibat dari resiko (risk taking), merupakan pelaksanaan budaya
adil. Kerelaan karyawan untuk melaporkan insiden karena
atasan bersikap tenang ketika informasi disampaikan sebagai
bentuk penghargaan terhadap pengetahuan petugas,
merupakan pelaksanaan budaya fleksibel. Terpenting, kerelaan
karyawan untuk melaporkan insiden karena kepercayaan
bahwa organisasi akan melakukan analisa informasi insiden
untuk kemudian dilakukan perbaikan sistem, merupakan
pelaksanaan budaya pembelanjaran. Interaksi antara keempat
komponen tersebut akan mewujudkan budaya keselamatan
yang kuat.
6
and fair ). Ini berarti bahwa (NSPA, 2004):
a. Staff yang terlibat dalam insiden merasa bebas
untukmenceritakan insiden tersebut atau terbuka tentang
insiden tersebut;
b. Staff dan organisasi bertanggung jawab untuk tindakan
yangdiambil;
c. Staff merasa bisa membicarakan semua insiden yang terjadi
kepada teman sejawat dan atasannya;
d. Organisasi kesehatan lebih terbuka dengan pasien-pasien.
Jikaterjadi insiden, staff dan masyarakat akan mengambil
pelajaran dari insiden tersebut;
e. Perlakuan yang adil terhadap staf jika insiden terjadi
Untuk menciptakan lingkungan yang terbuka dan adil kita
harus menyingkirkan dua mitos utama:
a. Mitos kesempurnaan: jika seseorang berusaha cukup keras,
mereka tidak akan berbuat kesalahan
b. Mitos hukuman: jika kita menghukum seseorang yang
melakukan kesalahan, kesalahan yang terjadi akan
berkurang; tindakan remedial dan disipliner akan membawa
perbaikan dengan meningkatnya motivasi.
Terbuka dan adil sangat penting diterapkan karena staff tidak
akan membuat laporan insiden jika mereka yakin kalau laporan
tersebut akan menyebabkan mereka atau koleganya kena
hukuman atau tindakan disiplin. Lingkungan yang terbuka dan
adil akan membantu staff untuk yakin membuat laporan insiden
yang bisa menjadi pelajaran untuk perbaikan.
4. Just Culture
Just Culture adalah suatu lingkungan dengan
keseimbangan antara keharusan untuk melaporkan insiden
keselamatan pasien (tanpa takut dihukum) dengan perlunya
tindakan disiplin.
Organisasi perlu memahami dan mengakui bahwa
petugas garis depan rentan melakukan kesalahan yang
biasanya bukan disebabkan oleh kesalahan tunggal individu
7
namun karena sistem organisasi yang buruk.
8
Training Tumbuhkan Tindakan
Desain kesadaran hukuman
akan safety
DUKUNGAN PELATIHAN HUKUMAN
9
untuk tidak mengikuti prosedur yang baku karena alasan
tertentu,termasuk: kemungkinan tidak mengetahui SOP;
situasi tertentu yang mengakibatkan penyimpangan dari
SOP/kebijakan yang ada; karena kebiasaan; SOP/kebijakan
tidak ditemukan pada saat pekerjaan akan dilakukan;
prosedur yang dilakukan secara berlebihan tapi tidak
dituliskan pada prosedur yang berlaku.
d. Faktor-faktor yang memberi kontribusi (Contributory
factors) terjadinya insiden adalah:
1) Pasien: Pasien bisa menjadi faktor yang memberi
kontribusi terjadinya insiden seperti umur atau
perbedaan bahasa.
2) Individual: Faktor individual termasuk faktor psikologis,
faktor kenyamanan, dan hubungan kerja.
3) Komunikasi (Communication): Komunikasi termasuk
komunikasi tertulis, verbal dan nonverbal. Komuikasi
bisa mengkontribusi terjadinya insiden jika komunikasi
tidak efektif, tidak adekuat, membingungkan atau
komunikasi terlambat. Faktor-faktorini berkaitan antar
individual, dalam atau antar organisasi.
4) Tim dan faktor sosial, yang termasuk dalam faktor-faktor
ini adalah: komunikasi dalam satu tim; gaya
kepemimpinan; struktur hierarki tradisional; kurang
menghargai anggota senior dalam tim dan persepsi staf
terhadap tugas/tanggung jawab.
5) Pendidikan dan pelatihan: Ketersediaan dan kualitas
pelatihan untuk staff sangat berpengaruh pada
kemampuan staff melakukan pekerjaannya atau untuk
merespon pada situasi darurat/emergency.
6) Peralatan dan sumber daya (Equipment and resources),
yang termasuk pada faktor peralatan adalah apakah
peralatan tersebut sesuai dengan kebutuhannya;
apakah staf mengetahui cara menggunakan alat
tersebut; dimana menyimpannya dan seberapa sering
peralatan diperiksa.
10
7) Faktor lingkungan (environment factors) dan kondisi
kerja (Working conditions): hal ini mempengaruhi
kemampuan staff untuk bekerja, termasuk gangguan
dan interupsi dalam bekerja seperti: suhu ruangan yang
tidak menyenangkan; penerangan yang tidak adekuat;
keributan dan ruang kerja yang sempit.
8) Waktu (Timing): Faktor waktu ini adalah kombinasi
antara faktor penyebab dengan kegagalan pada system
(pencegahan atau control) yang merupakan penyebab
insiden terjadi.
9) Konsekuensi (Consequences): Ini adalah akibat atau
dampak dari insiden yang bisa terjadi, yaitu: level rendah
(low), level menengah (moderate), level parah (severe) dan
kematian(death).
10) Faktor yang mengurangi akibat insiden (Mitigating
factors):Beberapa faktor, baik kejadian yang merupakan
kesempatan ataukeberuntungan, kemungkinan
mempunyai faktor yang bisa mengurangi akibat insiden
yang lebih serius. Sangat penting jika faktor-faktor ini
dijabarkan pada saat investigasi sehingga faktor tersebut
bisa mendukung praktek keselamatan (Safety Practice).
11
sikap dan kedua adalah pernyataan-pernyataan untuk
mengukur aktifitas atau perilaku yang bertujuan untuk
pengembangan budaya patient safety, seperti kepemimpinan,
kebijakan dan prosedur. Pertanyaan kunci untuk penilaian
budaya patient safety
1. Apakah patient safety menjadi prioritas utama dari
organisasi pelayanan kesehatan, termasuk pemimpinnya?
2. Apakah patient safety dipandang sebagai sesuatu yang
positive dan mendapatkan fokus perhatian pada semua
aktivitas?
3. Apakah ada sistem blame free untuk mengidentifikasi ancaman-
ancaman pada patient safety, berbagi informasi dan
belajar dari pengalaman?
4. Apakah ada penilaian resiko pada semua aktivitas yang
terjadi di dalam organisasi pelayanan kesehatan?
5. Apakah ada lingkungan kerjasama yang baik sehingga
semua anggota tim bisa berbagi informasi mengenai patient
safety?
6. Apakah pasien dan keluarga pasien terlibat dalam proses
pengembangan patient safety?
12
2. Komunikasi dan Staf diberi informasi mengenai insiden yang
Umpan Balik terjadi, diberi umpan balik mengenai
mengenai insiden implementasi perbaikan, dan
mendiskusikan cara untuk mencegah
3. Frekuensi pelaporan Kesalahan
kesalahan dengan tipe berikut
insiden ini dilaporkan: (1)kesalahan diketahui dan
dikoreksi sebelum mempengaruhi pasien
(2)kesalahan tanpa potensi cedera pada
pasien (3)kesalahan yang dapat mencederai
14
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Rancangan dalam Penelitian ini adalah penelitian deskriptif.
B. Variabel dan Definisi Operasional
C. Subyek Penelitian
1) Populasi
Populasi adalah keseluruhan obyek penelitian yang diteliti
(Arikunto, 2006; Notoatmojo, 2005). Populasi adalah
sejumlah besar subyek yang mempunyai karakteristik
tertentu. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh
karyawan yang bekerja di RS dr. Agoesdjam Ketapang
dengan jumlah 602 orang karyawan.
15
2) Sampel
Sampel adalah sebagian dari keseluruhan subyek yang
diteliti dan dipilih dengan cara tertentu yang dianggap dapat
mewakili populasi (Notoatmojo, 2005; Arikunto, 2006). Jenis
Sampel dalam penelitian ini adalah probability sampling
yaitu setiap subyek dalam populasi mempunyai kesempatan
yang sama untuk terpilih dan tidak terpilih sebagai sampel
yang representatif (Nursalam, 2003). Teknik pengambilan
sampel secara konsekutif sampling, sejumlah 20 % dari
total populasi yaitu 121 karyawan. Menurut AHRQ (2004),
bila menghendaki respon rate (angka formulir dijawab
lengkap) >60%, maka dibutuhkan formulir survey 30- 50%
lebih banyak dari jumlah total responden. Apabila dalam
penelitian ini menggunakan 121 responden maka
membutuhkan 300 formulir survey.
3) Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan seluruh unit yang ada di
Rumah Sakit dr Agoesdjam Ketapang.
4) Waktu Penelitian
Penelitian ini mulai dilaksanakan pada bulan April sampai
dengan Agustus 2019 , sedangkan pengambilan data akan
dilaksanankan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2019.
D. Instrumen Penelitian
Penelitian ini menggunakan instrumen “Hospital Survey
on Patient Safety Culture” (Survey Budaya Keselamatan Pasien
Rumah Sakit) yang disusun oleh AHRQ yang sudah teruji
validitas dan reabilitasnya dan sudah digunakan dibeberapa
negara untuk mengukur tingkat budaya keselamatan pasien di
rumah sakit. Instrumen ini dirancang untuk mengukur
persepsi karyawan rumah sakit terhadap issue keselamatan
pasien, medical errors, dan pelaporan insiden. Instrumen ini
terdiri atas 42 item pertanyaan dalam 12 aspek keselamatan
pasien yang menilai persepsi karyawan.
16
E. Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan secara bertahap, meliputi :
editing, coding, dan tabulating dengan menggunakan
menggunakan program SPSS Statisic 23.
17
BAB IV
A. Demografi Responden
Dari hasil survey jumlah responden berdasarkan posisi di
RS dr Agoesdjam Ketapang yakni terdiri dari dr spesialis/drg
speliasis 8.5%, dr umum/ drg umum 4%, perawat 40%, bidan
7.5%, terapis 1.5%, ahli gizi 2.5%, laboratorium 4%, farmasi 2%,
dan bekerja di bagian lainnya 30%. Berdasarkan data tersebut
dapat digambarkan sebagai berikut.
40
30
8.5 7.5
4 2.5 4
1.5 2
presentase
18
presentase
22.5 22.5
18.5
15.5
13.5
7.5
<tahun 1-5 tahun 6-10 tahun 11-15 tahun 16-20 tahun >21 tahun
presentase
35.5 35.5
22.5
15 15
<1 tahun 1-5 tahun 6-10 tahun 11-15 tahun 16-20 tahun >21 tahun
Presentase
19
presentase
47
2 3.5
presentase
presentase
70
30
presentase
20
32
22
16 15
8.5
6.5
<1 tahun 1-5 tahun 6-10 tahun 11-15 tahun 16-20 tahun >21 tahun
Presentase
21
presentase
92 90 91
70 71
65
53 55
48
22 24
13
22
c. A17 “Kami mempunyai masalah keselamatan pasien di
bagian/departemen ini” hasil respon positifnya adalah
23% dan hasil respon negatifnya adalah 77%
d. A 18 “Prosedur sistem di bagian/departemen ini dapat
mencegah terjadinya kesalahan” hasil respon positifna
adalah 66% dan hasil respon negative adalah 34%
Dari hasil tersebut didapatkan rata-rata respon positif
48% dan hal tersebut masih dibawah standar. Dari data
tersebut dapat digambarkan grafik sebagai berikut :
95
89
77
66
34
23
11
5
23
hasil respon positif nya adalah 11% dan hasil respon
negatif nya adalah 89%
D 3 “Ketika kesalahan terjadi yang mungkin
membahayakan pasien, tetapi hal tersebut tidak terjadi,
seberapa seringkah hal tersebut dilaporkan ?” hasil
respon positif nya adalah 15% dan hasil respon negatif
nya adalah 85% Dari hasil tersebut didapatkan rata-rata
respon positif 13% dan hal tersebut masih dibawah
standar. Dari data tersebut dapat digambarkan grafik
sebagai berikut
88 89
85
15
12 11
D1 D2 D3
24
3. Supervisi
Respon untuk komponen supervisi diukur dengan kuesioner
;
a. B 1” Supervisor/kepala saya senang ketika dia melihat
pekerjaan yang dilakukan sesuai prosedur keselamatan
pasien”. Hasil respon positif nya adalah 89% dan hasil
respon negatif nya adalah 11%.
b. B 2 “Supervisor/ kepala saya sangat serius
mempertimbangkan saran stafnya guna peningkatan
keselamatan pasien”. Hasil respon positif nya adalah 83%
dan hasil respon negatif nya adalah 17%.
c. B 3 “Ketika tercipta suatu tekanan kerja,
supervisor/kepala saya menginginkan semua dilakukan
dengan cepat walaupun itu berarti mengambil jalan
pintas”. Hasil respon positif nya adalah 23% dan hasil
respon negatif nya adalah 77%.
d. B 4 “Supervisor/ kepala saya selalu membahas masalah
keselamatan pasien terus menerus”. Hasil respon positif
nya adalah 17% dan hasil respon negatif nya adalah 83%.
89
83 83
77
23
17 17
11
B1 B2 B3 B4
25
Berdasarkan data diatas komponen supervisi di RS dr
Agoesdjam Ketapang dinilai masih kurang. Hal ini
menunjukan bahwa kepemimpinan yang ada pada unit
kerja di rumah sakit masih perlu ditingkatkan lagi,
sehingga tugas supervisi dapat berjalan dengan baik
sesuai dengan tanggung jawa nya atas departemen/unit
yang mereka pimpin.
4. Sangsi Kesalahan
Respon komponen sangsi kesalahan dapat diukur dengan
kuesioner ;
a. A8 “Staf merasa kesalahan yang ada selalu diselesaikan
bersama”. Hasil respon positif nya adalah 1% dan hasil
respon negatif nya adalah 99%.
b. A 12 “Ketika ada pelaporan kasus, yang menjadi fokus
individu bukan masalahnya”. Hasil respon positif nya
adalah 46% dan hasil respon negatif nya adalah 54%.
c. A 16 “Para staf takut jika kesalahan mereka akan
disimpan dalam file rumah sakit”. Hasil respon positif nya
adalah 21% dan hasil respon negatif nya adalah 29%.
Dari hasil tersebut didapatkan rata-rata respon positif
22% dan hal tersebut masih dibawah standar. Dari data
tersebut dapat digambarkan grafik sebagai berikut
99
54
46
29
21
A8 A12 A16
26
Gambar 12. Grafik persentasi komponen sangsi
kesalahan
Berdasarkan data diatas komponen sangsi kesalahan di
RS dr Agoesdjam Ketapang dinilai masih kurang.
Pemberian sanksi kepada unit kerja atau individu yang
melakukan kesalahan adalah hal yang paling sulit
dilakukan oleh pihak rumah sakit. Padahal sanksi
terhadap kesalahan harus digunakan sebagai pelajaran
yang berharga dan jika perlu disertai dengan sanksi yang
sesuai dengan prosedur untuk mencegah terjadinya atu
terulangnya kekeliruan yang sama. Tetapi hal ini harus
dijauhkan dengan blaming culture, melainkan sebagai
upaya untuk perbaikan dalam upaya meningkatkan
keselamatan pasien.
5. Staf /pegawai
Respon komponen sangsi kesalahan dapat diukur dengan
kuesioner ;
a. A 2 “Kami mempunyai jumlah staf memadai guna
menanggulangi pekerjaan yang ada”. Hasil respon positif
nya adalah 52% dan hasil respon negatif nya adalah 48%.
b. A 5 “Staf di bagian ini akan bekerja lebih lama dari jam
kerja demi pelayanan pasien”. Hasil respon positif nya
adalah 20% dan hasil respon negatif nya adalah 80%.
c. A 7 “Terkadang kami menggunakan staf tambahan/
sementara demi keselamatan pasien”. Hasil respon positif
nya adalah 21% dan hasil respon negatif nya adalah 79%.
d. A 14 “Kami bekerja dengan pola “kritikal”, banyak bekerja
dan harus cepat”. Hasil respon positif nya adalah 4% dan
hasil respon negatif nya adalah 96%.
27
Chart Title
96
80 79
52 48
20 21
4
A2 A5 A7 A14
28
c. F 2 “Antar bagian/departemen di rumah sakit tidak
terkoordinasi dengan baik”. Hasil respon positif nya
adalah 41% dan hasil respon negatif nya adalah 59%.
d. F 6 “Tidak menyenangkan jika berkerja dengan
bagian/departemen lain di rumah sakit”. Hasil respon
positif nya adalah 59% dan hasil respon negatif nya
adalah 41%. Dari hasil tersebut didapatkan rata-rata
respon positif 65% dan hal tersebut masih dibawah
standar. Dari data tersebut dapat digambarkan grafik
sebagai berikut.
Chart Title
87
76
59 59
41 41
24
12
F4 F10 F2 F6
29