Anda di halaman 1dari 66

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keluarga merupakan sekumpulan orang yang dihubungkan oleh


perkawinan, adopsi dan kelahiran yang bertujuan menciptakan dan
mempertahankan budaya yang umum, meningkatkan perkembangan fisik,
mental, emosional dan sosial dari individu-individu untuk mencapai tujuan
bersama (Friedman,2009). Keluarga merupakan sentral pelayanan
keperawatan karena keluarga merupakan sumber kritikal untuk pemberian
pelayanan keperawatan, intervensi yang dilakukan pada keluarga merupakan
hal penting untuk pemenuhan kebutuhan individu. Disfungsi apapun yang
terjadi pada keluarga akan berdampak pada satu atau lebih anggota keluarga
atau keseluruhan keluarga. Adanya hubungan yang kuat antara keluarga dan
status kesehatan setiap anggota keluarga, sangat memerlukan peran keluarga
pada saat menghadapi masalah yang terjadi pada keluarga (Komang Ayu,
2010).
Masalah-masalah yang terjadi pada keluarga tidak lepas dari tugas
keluarga dalam pemeliharan fisik keluarga dan para anggotanya. Keluarga
sebagai kelompok yang dapat menimbulkan, mencegah, mengabaikan atau
memperbaiki masalah kesehatan yang ada. Kondisi lingkungan yang tidak
terjaga, pola hidup keluarga yang tidak sehat, kondisi keuangan yang tidak
stabil, stress dalam keluarga berkepanjangan masalah ini dapat timbul dalam
keluarga yang menyebabkan masalah kesehatan. Semua hal tersebut dapat
memicu timbulnya penyakit, salah satu penyakit yang sering muncul
dikeluarga yaitu hipertensi (Friedman, 2010).
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah yang melebihi >140 mmHg
untuk tekanan sistolik dan >90 mmHg untuk tekanan diastolik. Terdapat
beberapa faktor resiko yang menyebabkan hipertensi, usia, riwayat hipertensi
dalam keluarga, obesitas, nutrisi yang tidak seimbang, pola hidup yang tidak
sehat dan jarang berolahraga. Makanan secara langsung atau tidak langsung
berpengaruh terhadap kestabilan tekanan darah. Kandungan zat gizi seperti
lemak dan natrium memiliki kaitan yang erat dengan munculnya hipertensi
(Julianti, 2005).
Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Departemen Kesehatan
Republik Indonesia pada tahun 2013, menyebutkan bahwa prevalensi
penderita hipertensi yang berada di Indonesia mencapai angka 25,8%
(Riskesdas, 2013). Di Sulawesi Tenggara hipertensi menempati urutan
pertama dari sepuluh penyakit tidak menular terbesar dalam tahun 2016,
prevalensi penderita hipertensi disulawesi tenggara melebihi persentase
prevalensi nasional (Dinkes Sultra, 2013). Dari hasil pengambilan data awal,
data yang didapatkan dari Puskesmas Soropia hipertensi juga termasuk dalam
sepuluh besar penyakit kunjungan tertinggi yang menempati urutan pertama.
Penderita hipertensi cenderung meningkat seiring dengan gaya hidup yang
jauh dari prilaku hidup sehat (Suoth Meylin dkk, 2014)
Perubahan gaya hidup yang merupakan bagian dari penatalaksanaan
hipertensi dapat menurunkan tekanan darah, meningkatkan efektivitas obat
antihipertensi, dan menurunkan risiko kardiovaskular. Modifikasi pola asupan
makanan sehari-hari merupakan salah satu komponen perubahan gaya hidup
yang mempunyai peran paling besar dalam menurunkan tekanan darah.
Modifikasi pola asupan makanan dimaksud adalah mengikuti pedoman umum
gizi seimbang misalnya dengan Dietary Approach to Stop Hypertension
(DASH) (Kumala, 2014)
Diet berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi pada penderita
hipertensi. Diet yang sangat direkomendasikan untuk penderita hipertensi
adalah diet DASH singkatan dari Dietary Approaches to Stop Hypertention,
diet ini berfokus untuk mengurangi asupan natrium dan lemak dengan cara
meningkatkan asupan protein, serat, serta memastikan kecukupan vitamin dan
mineral (Hartono, 2006).
Peran perawat dalam keperawatan keluarga adalah memberikan asuhan
keperawatan kesehatan keluarga melalui pengenalan kesehatan, pemberi
pelayanan pada anggota keluarga yang sakit, pendidikan kesehatan, penyuluh
dan konseling khususnya pada keluarga yang mengalami masalah kesehatan
(Padila, 2012).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka rumusan
masalah studi kasus ini adalah bagaimana “Asuhan Keperawatan Keluarga
dengan Hipertensi dalam Penerapan Terapi Diet DASH Di Desa Mekar
Wilayah Kerja Puskesmas Soropia Kabupaten Konawe 2018” ?

C. Tujuan Studi Kasus


1. Tujuan umum
Mampu mendeskripsikan “Asuhan Keperawatan Keluarga dengan
Hipertensi dalam Penerapan Terapi Diet DASH “

2. Tujuan khusus
Mengidentifikasi efektifitas perencanaan tindakan keperawatan
pendidikan kesehatan terapi Diet DASH dalam “Asuhan Keperawatan
Keluarga dengan Hipertensi dalam Penerapan Terapi Diet DASH "

D. Manfaat Studi Kasus


Studi kasus ini, diharapkan memberikan manfaat bagi :
1. Bagi puskesmas dan keluarga
Laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran
diaplikasikan dan menambah wawasan ilmu pengetahuan serta
kemampuan penulis dalam menerapkan asuhan keperawatan
keluarga dengan hipertensi dalam penerapan diet DASH di Desa
Mekar wilayah kerja Puskesmas Soropia

2. Penulis:
Laporan kasus ini dapat diaplikasikan dan menambah wawasan ilmu
pengetahuan serta kemampuan penulis dalam menerapkan asuhan
keperawatan keluarga dengan hipertensi dalam penerapan diet
DASH di desa Mekar wilayah Kerja Puskesmas Soropia.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep keluarga
1. Pengertian Keluarga
Keluarga adalah dua atau lebih individu yang tergabung karena
ikatan tertentu untuk saling berbagi pengalaman dan melakukan
pendekatan emosional, serta mengidentifikasikan diri mereka sebagai
bagian dari keluarga (Friedman, 2010). Berbeda halnya dengan Padila
(2012), keluarga adalah suatu arena berlangsungnya interaksi kepribadian
atau sebagai sosial terkecil yang terdiri dari seperangkat komponen yang
sangat tergantung dan dipengaruhi oleh struktur internal dan system-
sistem lain.
Sudiharto (2007), mendefinisikan keluarga adalah unit pelayanan
kesehatan yang terdepan dalam meningkatkan derajat kesehatan
komunitas. Masalah kesehatan yang dialami oleh salah satu anggota
keluarga dapat mempengaruhi anggota keluarga lain. Dari beberapa
pengertian keluarga disimpulkan keluarga adalah dua orang atau lebih
yang hidup bersama dan diikat oleh suatu ikatan pernikahan yang sah
untuk berbagi pengalaman satu sama lain dan mampu memenuhi
kebutuhan jasmani dan rohani pasangan.

2. Tipe keluarga
Berbagai bentuk keluarga digolongkan sebagai keluarga tradisional dan
non tradisional adalah sebagai berikut.
a. Keluarga tradisional
1) Keluarga inti, yaitu terdiri dari suami, istri dan anak. Biasanya
keluarga yang melakukan perkawinan pertama atau keluarga
dengan orang tua campuran atau orang tua tiri (Padila,2012).
2) Keluarga adopsi
Adopsi merupakan sebuah cara lain untuk membentuk keluarga.
Dengan menyerahkan secara sah tanggung jawab sebagai orang
tua adopsi, biasanya menimbulkan keadaan saling
menguntungkan baik bagi orang tua maupun anak. Disatu pihak
orang tua adopsi mampu member asuhan dan kasih sayangnya
pada anak adopsinya sementara anak adopsi diberi sebuah
keluarga yang sangat menginginkan mereka (Friedman,2010).
3) Keluarga besar
Keluarga dengan pasangan yang berbagai pengaturan rumah
tangga dan pengeluaran keuangan dengan orang tua, kakak/adik,
dan keluarga dekat lainnya. Anak-anak kemudian dibesarkan
oleh generasi dan memiliki pilihan model pada prilaku yang akan
membentuk pola prilaku mereka (Friedman,2010).
4) Keluarga orang tua tunggal
Keluarga orang tua tunggal adalah keluarga dengan ibu atau ayah
sebagai kepala keluarg. Keluarga orang tua tunggal tradisional
adalah keluarga dengan kepala rumah tangga duda/janda yang
bercerai, ditelantarkan, atau berpisah. Keluarga orang tua tunggal
nontradisional adalah keluarga yang kepala keluarganya tidak
menikah (Friedman,2010).
5) Dewasa lajang dan tinggal sendiri
Kebanyakan individu yang tinggal sendiri adalah bagian dari
beberapa bentuk jaringan keluarga yang longgar. Jika jaringan ini
tidak terdiri atas kerabat, jaringan ini dapat terdiri atas teman-
teman. Hewan peliharaan juga dapat menjadi anggota keluarga
yang penting (Friedman,2010).
6) Keluarga orang tua tiri
Keluargayang pada awalnya mengalami proses penyatuan yang
kompleksdan penuh dengan strees. Banyak penyesuaian yang
perlu dilakukan dan sering kali individu yang berada atau
subkelompok keluhan yang baru terbentuk ini beradaptasi
dengan kecepatan yang tidak sama (Friedman,2010).
7) Keluarga binuklir
Keluarga yang terbentuk setelah perceraian yaitu anak
merupakan anggota dari sebuah system keluarga yang terdiri atas
dua rumah tangga inti, maternal dan paternal dengan keragaman
dalam hal tingkat kerja sama dan waktu yang dihabiskan dalam
setiap rumah tangga (Friedman,2010).

b. Keluarga non tradisional


Menurut Padila (2012) keluarga tradisional terdiri dari:
1) Keluarga dengan orang tua beranak tanpa menikah, biasanya
ibu dan anak.
2) Pasangan yang memiliki anak tapi tidak menikah, didasarkan
pada hukum tertentu.
3) Pasangan kumpul kebo, kumpul bersama tanpa menikah.
4) Keluarga gay atau lesbian, orang-orang berjenis kelamin yang
sama hidup bersama sebagai pasangan yang menikah.
5) Keluarga komuni, keluarga yang terdiri dari lebih dari satu
pasangan monogamy dengan anak-anak secara bersama
menggunakan fasilitas, sumber yang sama.

3. Fungsi keluarga
Menurut Friedman (2010), lima fungsi keluarga menjadi saling
berhubungan erat pada saat mengkaji dan melakukan intervensi
dengan keluarga. Lima fungsi itu adalah:
a. Fungsi Afektif
Fungsi afektif merupakan dasar utama baik untuk pembentukan
maupun berkelanjutan unit keluarga itu sendiri, sehingga fungsi
afektif merupakan salah satu fungsi keluarga yang paling
penting. Manfaat fungsi afektif didalam anggota keluarga
dijumpai paling kuat diantara keluarga kelas menengah dan
kelas atas, karena pada keluarga tersebut mempunyai lebih
banyak pilihan. Sedangkan pada keluarga kelas bawah, fungsi
afektif sering terhiraukan.
b. Fungsi sosialisasi dan status social
Sosialisasi anggota keluarga adalah fungsi yang universal dan
lintas budaya yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup
masyarakat menurut Lislie dan Korman (1989 dalam
Friedman,2010).
c. Fungsi perawatan kesehatan
Fungsi fisik keluarga dipenuhi oleh orang tua yang
menyediakan makanan, pakaian, tempat tinggal, perawatan
kesehatan, dan perlindungan terhadap bahaya. Pelayanan dan
praktik kesehatan (yang mempengaruhi status kesehatan
anggota keluarga secara individual) adalah fungsi keluarga
yang paling relevan bagi perawat keluarga (Friedman,2010).
Kurangnya pengetahuan keluarga dalam pemenuhhan
kebutuhan nutrisi pada anggota keluarga yang mengalami
hipertensi terutama pada asupan natrium menyebabkan
peningkatan penderita hipertensi.
d. Fungsi Reproduksi
Salah satu fungsi dasar keluarga adalah untuk menjamin
kontinuitas antar-generasi keluarga masyarakat menurut Lislie
dan Korman (1989 dalam Friedman,2010).
e. Fungsi Ekonomi
Fungsi ekonomi melibatkan penyediaan keluarga akan sumber
daya yang cukup financial, ruang dan materi sertaalokasinya
yang sesuai melalui proses pengambilan keputusan. Pendapatan
keluarga yang terlalu rendah menyebabkan keluarga tidak
mampu memenuhi kebutuhan nutrisi sehingga keluarga
mengalami kesenjangan nutrisi (Friedman,2010).

4. Tahap Perkembangan Kehidupan Keluarga


a. Tahap I : Keluarga Pasangan Baru (beginning family)
Pembentukan pasangan menandakan permulaan suatu keluarga
baru dengan pergerakan dari membentuk keluarga asli sampai
ke hubungan intim yang baru. Tahap ini juga disebut tahap
pernikahan. Tugas perkembangan keluarga tahap I adalah
membentuk pernikahan yang memuaskan bagi satu sama lain,
berhubungan secara harmonis dengan jaringan kekerabatan
dan merencanakan sebuah keluarga (Friedman,2010).
b. Tahap II : Keluarga Kelahiran Anak Pertama (childbearing
family)
Mulai dengan kelahiran anak pertama dan berlanjut sampai bayi
berusia 30 bulan. Transisi ke masa menjadi orang tua adalah salah
satu kunci dalam siklus kehidupan keluarga. Tugas perkembangan
keluarga disini adalah setelah hadirnya anak pertama, keluarga
memiliki beberapa tugas perkembangan penting. Suami, istri, dan
anak harus memepelajari peran barunya, sementara unit keluarga
inti mengalami pengembangan fungsi dan tanggung jawab
(Friedman, 2010).
c. Tahap III : Keluarga dengan Anak Prasekolah (families with
preschool)
Tahap ini dimulai ketika anak pertama berusia 2,5 tahun dan
diakhiri ketika anak berusia 5 tahun. Keluarga saat ini dapat
terdiri dari tigasampai lima orang, dengan posisi pasangan
suami-ayah, istri-ibu, putra-saudara laki-laki, dan putri-saudara
perempuan. Tugas perkembangan keluarga saat ini berkembang
baik secara jumlah maupun kompleksitas. Kebutuhan anak
prasekolah dan anak kecil lainnya untuk mengekplorasi dunia
di sekitar mereka, dan kebutuhan orang tua akan privasi diri,
membuat rumah dan jarak yang adekuat menjadi masalah
utama. Peralatan dan fasilitas juga harus aman untuk anak-anak
(Friedman, 2010).
d. Tahap IV : Keluarga dengan Anak Sekolah (families with
school children)
Tahap ini dimulai pada saat tertua memasuki sekolah dalam
waktu penuh, biasanya pada usia 5 tahun, dan diakhiri ketika ia
mencapai pubertas, sekitar usia 13 tahun. Keluarga biasanya
mencapai jumlah anggota keluarga yang maksimal dan
hubungan akhir tahap ini juga maksimal menurut Duvall dan
Miller (1985 dalam Friedman, 2010). Tugas perkembangan
keluarga pada tahap ini adalah keluarga dapat
mensosialisasikan anak-anak, dapat meningkatkan prestasi
sekolah dan mempertahankan hubungan pernikahan yang
memuaskan (Friedman, 2010).
e. Tahap V : Keluarga dengan Anak Remaja (families with
teenagers)
Biasanya tahap ini berlangsung selama enam atau tujuh tahun,
walaupun dapat lebih singkat jika anak meninggalkan keluarga
lebih awal atau lebih lama jika anak tetap tinggal di rumah pada
usia lebih dari 19 atau 20 tahun. Anak lainnya yang tinggal
dirumah biasanya anak usia sekolah. Tujuan keluarga pada
tahap ini adalah melonggarkan ikatan keluarga untuk
memberikan tanggung jawab dan kebebasan remaja yang lebih
besar dalam mempersiapkan diri menjadi seorang dewasa muda
menurut Duvall dan Miller (1985 dalam Friedman, 2010).
Tugas perkembangan keluarga pada tahap ini adalah
menyeimbangkan kebebasan dengan tanggung jawab seiring
dengan kematangan remaja dan semakin meningkatnya
otonomi (Friedman,2010).
f. Tahap VI : Keluarga Melepaskan Anak Dewasa Muda
(launching center families)
Tahap ini dimulai pada saat perginya anak pertama dari rumah
orang tua dan berakhir dengan “kosongnya rumah”, ketika anak
terakhir juga telah meninggalkan rumah. Tahap ini dapat cukup
singkat atau cukup lama, bergantung pada jumlah anak dalam
keluarga atau jika anak yang belum menikah tetap tinggal di
rumah setelah mereka menyelesaikan SMU atau kuliahnya.
Tahap perkembangan keluarga disini adalah keluarga
membantu anak tertua untuk terjun ke duania luar, orang tua
juga terlibat dengan anak terkecilnya, yaitu membantu mereka
menjadi mandiri (Friedman, 2010).
g. Tahap VII : Orang Tua Paruh Baya (middle age families)
Tahapan ini dimulai ketika anak terakhir meninggalkan rumah
dan berakhir dengan pensiunan atau kematian salah satu
pasangan. Tahap ini dimulai ketika orang tua berusia sekitar 45
tahun sampai 55 tahun dan berakhir dengan persiunannya
pasangan, biasanya 16 sampai 18 tahun kemudian. Tahap
perkembangan keluarga pada tahap ini adalah wanita
memprogramkan kembali energi mereka dan bersiap-siap untuk
hidup dalam kesepian dan sebagai pendorong anak mereka yang
sedang berkembang untuk lebih mandiri (Friedman, 2010).
h. Tahap VIII : Keluarga Lanjut Usia dan Pensiunan
Tahap terakhir perkembangan keluarga ini adalah dimulai pada saat
pensiunan salah satu atau kedua pasangan, berlanjut sampai
kehilangan salah satu pasangan, dan berakhir dengan kematian
pasangan yang lain menurut Duvall dan Miller (1985 dalam
Friedman,2010). Tugas perkembangan keluarga pada tahap ini
adalah mempertahankan penataan kehidupan yang memuaskan.
Kembali kerumah setelah individu pensiun/berhenti bekerja dapat
menjadi problematik (Friedman, 2010).

5. Tingkat Kemandirian Keluarga


Keberhasilan asuhan keperawatan keluarga yang dilakukan perawat
keluarga dapat dinilai seberapa tingkat kemandirian keluarga dengan
mengetahui kriteria atau ciri-ciri yang menjadi ketentuan tingkatan mulai
dari tingkat kemandirian I sampai tingkat kemandirian IV menurut Depkes
(2006 dalam Achjar, 2012), adalah sebagai berikut :
a. Tingkat kemandirian I (keluarga mandiri tingkat I / KM-I)
1) Menerima petugas Perawatan Kesehatan Masyarakat
2) Menerima pelayanan keperawatan yang diberikan sesuai
dengan rencana keperawatan
b. Tingkat kemandirian II (keluarga mandiri tingkat II / KM-II)
1) Menerima petugas Perawatan Kesehatan Masyarakat
2) Menerima pelayanan keperawatan yang diberikan sesuai
dengan rencana keperawatan
3) Tahu dan dapat mengungkapkan masalah kesehatan secara
benar
4) Melakukan tindakan keperawatan sederhana sesuai yang
5) Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan secara aktif
c. Tingkat Kemandirian III (keluarga mandiri tingkat III / KM-III)
1) Menerima petugas Perawatan Kesehatan Masyarakat
2) Menerima pelayanan keperawatan yang diberikan sesuai
dengan rencana keperawatan
3) Tahu dan dapat mengungkapkan masalah kesehatan secara
benar
4) Melakukan tindakan keperawatan sederhana sesuai yang
dianjurkan
5) Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan secara aktif
6) Melaksanakan tindakan pencegahan sesuai anjuran

d. Tingkat kemandirian IV (keluarga mandiri tingkat IV / KM-IV)


1) Menerima petugas Perawatan Kesehatan Masyarakat
2) Menerima pelayanan keperawatan yang diberikan sesuai dengan
rencana keperawatan
3) Tahu dan dapat mengungkapkan masalah kesehatan secara benar
4) Melakukan tindakan keperawatan sederhana sesuai yang
dianjurkan
5) Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan secara aktif
6) Melaksanakan tindakan pencegahan sesuai anjuran
7) Melakukan tindakan promotif secara aktif

6. Tugas Keluarga dalam Bidang Kesehatan


Ada 5 pokok tugas keluarga dalam bidang kesehatan menurut Friedman
(1998) dalam Dion & Betan (2013) adalalah sebagai berikut :
a. Mengenal masalah kesehatan keluarga
Keluarga perlu mengenal keadaan kesehatan dan perubahan-
perubahan yang dialami anggota keluarga. Perubahan sekecil
apapun yang dialami anggota keluarga secara tidak langsung
menjadi perhatian keluarga dan orang tua. Sejauh mana keluarga
mengetahui dan mengenal fakta-fakta dari masalah kesehatan yang
meliputi pengertian, tanda dan gejala, factor penyebab yang
mempengaruhinya, serta persepsi keluarga terhadap masalah.
b. Membuat keputusan tindakan yang tepat
Sebelum keluarga dapat membuat keputusan yang tepat mengenai
masalah kesehatan yang dialaminya, perawat harus dapat mengkaji
keadaan keluarga tersebut agar dapat menfasilitasi keluarga dalam
membuat keputusan.
c. Memberi perawatan pada anggota keluarga yang sakit.
Ketika memberiakn perawatan kepada anggota keluarga yang
sakit, keluarga harus mengetahui hal-hal sebagai berikut :
1) Keadaan penyakitnya (sifat, penyebaran, komplikasi,
prognosis dan perawatannya).
2) Sifat dan perkembangan perawatan yang dibutuhkan.
3) Keberadaan fasilitas yang dibutuhkan untuk perawatan.
4) Sumber-sumber yang ada dalam keluarga (anggota keluarga
yang bertanggung jawab, sumber keuangan dan financial,
fasilitas fisik, psikososial).
5) Sikap keluarga terhadap yang sakit.
d. Mempertahankan atau mengusahakan suasana rumah yang sehat
Ketika memodifikasi lingkungan atau menciptakan suasana rumah
yang sehat, keluarga harus mengetahui hal-hal sebagai berikut
1) Sumber-sumber yang dimilki oleh keluarga.
2) Keuntungan atau manfaat pemeliharaan lingkungan.
3) Pentingnya hiegine sanitasi.
4) Upaya pencegahan penyakit.
5) Sikap atau pandangan keluarga terhadap hiegine sanitasi.
6) Kekompakan antar anggota kelompok.
e. Menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada di
masyarakat.Ketika merujuk anggota keluarga ke fasilitas
kesehatan, keluarga harus mengetahui hal-hal sebagai berikut :
1) Keberadaan fasilitas keluarga.
2) Keuntungan-keuntungan yang diperoleh oleh fasilitas
kesehatan.
3) Pengalaman yang kurang baik terhadap petugas kesehatan.
4) Fasilitas kesehatan yang ada terjangkau oleh keluarga.
7. Peran Perawat Keluarga
Ada tujuh peran perawat keluarga menurut Sudiharto (2012) adalah
sebagai berikut:
a. Sebagai pendidik
Perawat bertanggung jawab memberikan pendidikan kesehatan pada
keluarga, terutama untuk memandirikan keluarga dalam merawat
anggota keluarga yang memiliki masalah kesehatan.
b. Sebagai koordinator pelaksan pelayanan kesehatan
Perawat bertanggung jawab memberikan pelayanan keperawatan
yang komprehensif.Pelayanan keperawatan yang bersinambungan
diberikan untuk menghindari kesenjangan antara keluarga dan unit
pelayanan kesehatan.
Sebagai pelaksana pelayanan perawatan. Pelayanan keperawatan
dapat diberikan kepada keluarga melalui kontak pertama dengan
anggota keluarga yang sakit yang memiliki masalah
kesehatan.Dengan demikian, anggota keluarga yang sakit dapat
menjadi “entry point” bagi perawatan untuk memberikan asuhan
keperawatan keluarga secara komprehensif.
d. Sebagai supervisor pelayanan keperawatan
Perawat melakukan supervisi ataupun pembinaan terhadap keluarga
melalui kunjungan rumah secara teratur, baik terhadap keluarga
berisiko tinggi maupun yang tidak.Kunjungan rumah tersebut dapat
direncanakan terlebih dahulu atau secara mendadak, sehingga
perawat mengetahui apakah keluarga menerapkan asuhan yang
diberikan oleh perawat
e. Sebagai pembela (advokat)
Perawat berperan sebagai advokat keluarga untuk melindungi hak-
hak keluarga klien. Perawat diharapkan mampu mengetahui harapan
serta memodifikasi system pada perawatan yang diberikan untuk
memenuhi hak dan kebutuhan keluarga. Pemahaman yang baik oleh
keluarga terhadap hak dan kewajiban mereka sebagai klien
mempermudah tugas perawat untuk memandirikan keluarga.
f. Sebagai fasilitator
Perawat dapat menjadi tempat bertanya individu, keluarga dan
masyarakat untuk memecahkan masalah kesehatan dan keperawatan
yang mereka hadapi sehari-hari serta dapat membantu jalan keluar
dalam mengatasi masalah.
g. Sebagai peneliti
Perawat keluarga melatih keluarga untuk dapat memahai masalah-
masalah kesehatan yang dialami oleh angota keluarga.Masalah
kesehatan yang muncul didalam keluarga biasanya terjadi menurut
siklus atau budaya yang dipraktikkan keluarga.
Peran perawat keluarga dalam asuhan keperawatan berpusat pada
keluarga sebagai unit fungsional terkecil dan bertujuan memenuhi
kebutuhan dasar manusia pada tingkat keluarga sehingga tercapai
kesehatan yang optimal untuk setiap anggota keluarga.Melalui
asuhan keperawatan keluarga, fungsi keluarga menjadi optimal,
setiap individu didalam keluarga tersebut memiliki karakter yang
kuat, tidak mudah dipengaruhi oleh hal-hal yang sifatnya negative
sehingga memiliki kemampuan berpikir yang cerdas.

B. Konsep Hipertensi

1. Pengertian
Hipertensi adalah tekanan darah tinggi yang bersifat abnormal dan
diukur paling tidak pada tiga kesempatan yang berbeda. Secara umum,
sesorang dianggap mengalami hipertensi apabila tekanan darahnya lebih
dari 140/90 mmHg. Elizabeth j. Corwin, 2009 (dikutip dari Medikal
Bedah). Hipertensi sering juga diartikan sebagai suatu keadaan dimana
tekanan darah sistolik lebih dari 120 mmHg dan tekanan diastolik lebih
dari 80 mmHg. Arif Muttaqin, 2009. (dikutip dari Medikal Bedah).

2. Etiologi
a. Hipertensi Primer
Hipertensi primer atau esensial adalah tidak dapat diketahuin
penyebabnya. Hipertensi esensial biasanya dimulai sebagai proses
labil (intermiten) pada individu pada akhir 30-an dan 50-an dan
secara bertahap “ menetap “ pada suatu saat dapat juga terjadi
mendadak dan berat, perjalanannya dipercepat atau “maligna“ yang
menyebabkan kondisi pasien memburuk dengan cepat. Penyebab
hipertensi primer atau esensial adalah gangguan emosi, obesitas,
konsumsi alkohol yang berlebihan, pola makan tidak seimbang,
kopi, obat – obatan, faktor keturunan (Brunner & Suddart, 2015).
Sedangkan menurut Robbins (2007), beberpa faktor yang berperan
dalam hipertensi primer atau esensial mencakup pengaruh genetik
dan pengaruh lingkungan seperti, stress, kegemukan, merokok,
aktivitas fisik yang kurang, dan konsumsi garam dalam jumlah
besar dianggap sebagai faktor eksogen dalam hipertensi.
b. Hipertensi Sekunder
Hipertensi sekunder adalah kenaikan tekanan darah dengan
penyebab tertentu seperti penyempitan arteri renalis, penyakit
parenkim ginjal, berbagai obat, disfungsi organ, tumor dan
kehamilan (Brunner & Suddart, 2015). Sedangkan menurut
Wijaya& Putri (2013), penyebab hipertensi sekunder diantaranya
berupa kelainan ginjal seperti tumor, diabetes, kelainan adrenal,
kelainan aorta, kelianan endokrin lainnya seperti obesitas, resistensi
insulin, hipertiroidisme dan pemakaian obat-obatan seperti
kontasepsi oral.

3. Patofisiologi
Tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dan tahanan perifer
(periphral resistance). Tekanan darah membutuhkan aliran darah
melalui pembuluh darah yang ditentukar oleh kekuatan pompa jantung
(cardiac output) dan tahanan perifer. Sedangkan cardiac output dan
tahanan perifer dipengaruhi oleh faktor-faktor yang saling berinteraksi
yaitu natrium, sttress, obesitas, genetik, dan faktor risiko hipertensi
lainnya.
Menurut Anies 2006 (dikutip dari trend desease) peningkatan
tekanan darah melalui mekanisme :
a. Jantung memompa lebih kuat sehingga mengalirkan darah lebih
banyak cairan setiap detiknya.
b. Arteri besar kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku sehingga
tidak dapat mengembang saat jantung memompa darah melalui arteri
tersebut.
c. Bertambahnya cairan dalam sirkulasi dapat meningkatkan tekanan
darah.

4. Manifestasi Klinis
Menurut Ardiansyah (2012). Sebagian manifestasi klinis timbul setelah
penderita mengalami hipertensi selama bertahun-tahun. Gejalanya
berupa:
a. Nyeri kepala saat terjaga, terkadang disertai mual dan muntah akibat
peningkatan tekanan darah interakranium.
b. Penglihatan kabur karena terjadi kerusakan pada retina sebagai
dampak dari hipertensi.
c. Ayunan langkah yang tidak mantap karena terjadi kerusakan susunan
saraf pusat.
d. Nokturia (sering berkemih dimalam hari) karena adanya
peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomelurus.
e. Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan
kapiler.

5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan menurut Ardiansyah (2012). Terapi obat pada
penderita hipertensi dimulai dengan salah satu obat berkut :
a. Terapi Farmakologi
1) Hidroklorotiazid (HCT) 12,5-25 mg per hari dengan dosis
tunggal pada pagi hari (pada hipertensi dalam kehamilan, hanya
digunakan bila disertai hemokonsentrasi/udem paru).
2) Reserpin 0,1 - 0,25 mg sehari sebagai dosis tunggal.
3) Propanolol mulai dari 10 mg dua kali sehari yang dapat
dinaikkan 20 mg dua kali sehari (kontraindikasi untuk penderita
asma).
4) Kaptopril 12,5-25 mg sebanyak dua sampai tiga kali sehari
(kontraindikasi pada kehamilan selama janin hidup dan untuk
penderita asma).

b. Terapi Non Farmakologi


Langkah awal biasanya adalah dengan mengubah pola hidup
penderita, yakni dengan cara :
1) Menurunkan berat badan sampai batas ideal.
2) Mengubah pola makan mengikuti program diet pada penderita
diabetes, kegemukan, atau kadar kolesterol darah tinggi.
3) Mengurangi pemakaian garam sampai kurang dari 2,3 gram
natrium atau 6 gram natrium klorida setiap harinya (disertai
dengan asupan kalsium, magnesium, dan kalsium yang cukup).
4) Mengurangi mengkonsumsi alkohol.
5) Berhenti merokok
6) Olahraga aerobik yang tidak terlalu berat (penderita hipertensi
esensial tidak perlu membatasi aktivitasnya selama tekanan
darahnya terkendali).

C. Diet DASH
DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension) yang didirikan oleh
National Health, Lung, and Blood Institute menyarankan untuk mengkonsumsi
makanan yang banyak mengandung kalium, kalsium, magnesium, rendah lemak,
dan tinggi serat. Contoh makanan yang disarankan DASH untuk diet penyakit
hipertensi adalah serealia dan produknya, sayur, buah, susu rendah lemak, dan
olahannya, daging dan ikan, serta kacang-kacangan dan umbi-umbian. Diet yang
disarankan DASH ini merekomendasikan untuk lebih banyak mengkonsumsi
sayur dan buah, dari aspek gizi, buah dan sayur banyak mengandung mineral
penting, seperti kalium, magnesium, dan serat yang mampu menjaga tekanan
darah tetap stabil. Dengan cukup mengkonsumsi kalium, konsentrasi ion Na+
dalam tubuh dapat dikontrol secara hati-hati (Julianti 2005). Pola makan yang
sesuai merupakan suatu penatalaksanaan yang perlu diperhatikan oleh penderita
hipertensi, hal tersebut akan sangat membantu mengendalikan tekanan darah.
Oleh karena itu terapi diet dapat dilakukan untuk menormalkan hipetensi.
Berikut ini hal-hal yang dapat dilakukan.
1. Kurangi konsumsi natrium (Na)
Batasi penggunaan garam dalam masakan, jangan lebih bahkan lebih baik
kurang dari 1 sendok teh (tidak lebih dari 2.400 mg/hari). Kandungan
natrium yang terlalu tinggi dikeluarkan melalui urin bersama kalium
dalam jumlah besar. Kondisi ini bukan sesuatu yang baik bagi jantung.
Pasalnya, kalium sangat diperlukan jantung untuk aktivitasnya. Semakin
lama, kehilangan kalium dalam jumlah besar memperberat kerja jantung
yang pada akhirnya terjadi peningkatan tekanan darah. Selain itu, natrium
yang berlebihan menimbulkan pengendapan kalsium dalam persendian
dan tulang belakang serta menarik dan menahan air dalam tubuh.
2. Kurangi konsumsi energi dalam bentuk karbohidrat dan lemak
Konsumsi kalori dalam bentuk karbohidrat dan lemak akan meningkatkan
aktivitas sistem saraf simpatik yang akhirnya akan menyebabkan
hipertensi. Peningkatan tekanan darah terutama terjadi jika fleksibilitas
pembuluh darah menurun akibat adanya aterosklerosis, yaitu penumpukan
lemak dan kolesterol pada pembuluh darah hal ini juga yang memicu
terjadinya penyakit jantung dan obesitas. Dari total energi yang
dibutuhkan, penuhi 50%--65% dari karbohidrat dan kurang dari 30% dari
lemak.
3. Batasi konsumsi pangan hewani dan tingkatan konsumsi pangan nabati
Selain memiliki kandungan lemak tinggi, umumnya panganan hewani
juga memiliki kandungan natrium tinggi.
4. Tingkatkan konsumsi bahan makan yang banyak mengandung mineral
kalium (K) dan kalsium (Ca)
Tabel 2.1 Penurunan tekanan darah berdasarkan modifikasi gaya hidup
yang berkaitan dengan diet
Perubahan Rekomendasi Estimasi Penurunan
Gaya Hidup Tekanan
Darah Sistole
Penurunan Dipertahankan BB normal 50-20 mmHg/10 kg
berat badan (IMT=18,5 – 24,9 kg/m2) penurunan berat
badan
Perencanaan Konsumsi Banyak sayuran, 18 – 14 mmHg
makan DASH buah dan hasil olahan susu
rendah lemak, dan
mengurangi asupan lemak
jenuh dan kolesterol
Mengurangi Asupan Natrium khlorida 2 – 8 mmHg
asupan natrium antara 1500 – 2400 mg
natrium atau 3,8 – 6 gram
NaCl per hari
Meningkatkan Meningkatkan asupan kalium 4 – 9 mmHg
asupan kalium Sampai Sampai 120 gram
mm.mol/hari (4,7 perhari)
Membatasi Bagi yang minum alkohol 2 – 4 mmHg
asupan alkohol

Sumber: Sientific Statment from AHA (American Heart Association) 2006

Berikut gambaran pola makan dan menu harian diet DASH


berdasarkan
hitungan 2000 kalori/hari :
Tabel 2.2 Perencanaan Makan dengan DASH 2000 kalori/hari

Kelompok Makanan Jumlah Ukuran Porsi


Porsi
Produk gandum 6-8 / hari 1 helai roti
½ mangkuk sedang nasi, pasta,
atau sereal
*diutamakan memilih produk
whole grain
Daging, unggas, dan ≤6 / hari 30 gram daging, unggas, ikan
Ikan 1 butir telur
Sayuran 4-5 / hari 1 mangkuk sayur mentah
½ mangkuk sayur matang
½ gelas sayuran
Buah-buahan 4-5 / hari 1 buah segar
½ mangkuk buah kalengan
½ gelas jus buah segar
Produk susu rendah 2-3 / hari 1 gelas susu
Lemak 40 gram keju
Lemak dan minyak 2-3 / hari 1 sendok teh margarin
1 sendok makan mayonnaise
2 sendok makan salad dressing
Kacang-kacangan 4-5 / hari 40 gram kacang-kacangan
2 sendok makan selai kacang

Sumber: Julianti:”Bebas Hipertensi dengan Terapi Jus”2005


Tabel 2.3 Contoh menu sehari dengan kombinasi jus buah dan sayur.
Kandungan gizi: kalori ±2054,4 kkl, Protein ±75,52 g, Lemak ±47,63 g,
Karbohidrat ±333,54 g, Natrium ±472,99 mg, Kalium ±3618,31 mg,
Kalsium ±1095,56 mg

Waktu Jenis Makanan Ukuran


Nasi 7 sdm munjung*
1 potong (1 butir
Omlet sayuran telur,
20 g wortel, 20 g
Makan pagi
bawang daun)
Tomat 2 iris
Susu skim 1 gelas
Makan selingan Jus kacang kedelai 1 gelas (20 g kacang
kering,
(pukul 10.00) kedelai ½ Gelas
susu skim
bubuk)
10 sdm
Makan siang Nasi munjung*
Ikan kakap bakar 1 potong sedang
Tumis kacang panjang 1 mangkok
1 gelas (50 g wortel,
Jus wortel nanas 100
g nanas, ½ gelas air
matang)
1 gelas (1 buah
Makan selingan Jus belimbing blimbing
(17.00) manis, 2 sdm susu skim
bubuk, 1 sdm jeruk
nipis).

Makan malam Nasi 10 sdm munjung


Ayam goreng tepung 1 potong sedang
Sayur bayam bening 1 mangkok sedang
1 gelas
Jus apel seledri (2 buah apel, 20
g seledri, ½ gelas air
matang dingin).
Sumber: Julianti:”Bebas Hipertensi dengan Terapi Jus”2005

D. Konsep Asuhan keperawatan Keluarga dengan Hipetensi dalam


Penerapan Diet DASH

1. Pengkajian
Proses pengakajian keluarga ditandai dengan pengumpulan
informasi terus menerus dan keputusan professional yang mengandung arti
terhadap informasi yang dikumpulkan. Pengumpulan data keluarga berasal
dari berbagai sumber : wawancara, observasi rumah keluarga dan
fasilitasnya, pengalaman yang dilaporkan anggota keluarga. Pengkajian
keluarga dengan anggota keluarga hipertensi Format pengkajian keluarga
model Friedman yang diaplikasikan ke kasus dengan masalah utama
Hipertensi menurut Friedman (2010), meliputi :
a. Data umum
Menurut Friedman (2010), data umum yang perlu dikaji adalah :
1) Nama kepala keluarga dan anggota keluarga, alamat, jenis
kelamin, umur, pekerjaan dan pendidikan. Pada pengkajian
pendidikan diketahui bahwa pendidikan atau pengetahuan
berpengaruh pada kemampuan dalam mengatur pola makan dan
pentingnya diet pada penderita hipertensi. Sedangkan pekerjaan
yang terlalu sibuk dapat mengakibatkan kurangnya perhatian bagi
penderita hipertensi (Raihan, 2014).
2) Tipe keluarga
Menjelaskan mengenai jenis/tipe keluarga beserta kendala atau
masalah-masalah yang terjadi dengan jenis/tipe keluarga yang
mengalami hipertensi.
3) Suku bangsa
Identifikasi budaya suku bangsa tersebut terkait dengan
kesehatan. Biasanya keluarga dengan penderita hipertensi
mempunyai budaya tidak terlalu memperhatikan menu makanan
bagi penderita.
4) Status sosial ekonomi keluarga
Status sosial ekonomi keluarga ditentukan oleh pendapatan baik
dari kepala keluarga maupun dari anggota keluarga lainnya. Pada
pengkajian status sosial ekonomi diketahui bahwa tingkat status
sosial ekonomi berpengaruh pada tingkat kesehatan seseorang.
Dampak dari ketidakmampuan keluarga membuat seseorang tidak
bisa mencukupi kebutuhan nutrisi keluarga (Padila, 2012).
Biasanya keluarga dengan hipertensi tidak mengenal tingkatan
ekonomi semua kalangan berpotensi mengalami kejadian tersebut.

b. Riwayat dan tahap perkembangan keluarga


1) Tahap perkembangan keluarga saat ini

Tahap perkembangan keluarga ditentukan dengan anak tertua dari


keluarga inti. Biasanya keluarga dengan hipertensi berada pada tahap
perkembangan usia pertengahan (40 – 60 tahun) (Friedman,2010).
2) Tahap perkembangan keluarga yang belum terpenuhi
Menjelaskan mengenai tugas perkembangan keluarga yang belum
terpenuhi oleh keluarga serta kendala-kendala yang dialami (Padila,
2012). Biasanya keluarga belum mampu mempertahankan kesehatan
keluarga.
3) Riwayat keluarga inti
Menjelaskan riwayat kesehatan masing-masing anggota keluarga inti,
upaya pencegahan dan pengobatan pada anggota keluarga yang sakit,
serta pemanfaatan fasilitas kesehatan yang ada. Biasanya keluarga
dengan hipertensi tidak menyadari kondisi tanda dan gejala pada
penderita.

c. Pengkajian Lingkungan
 Karakteristik rumah
karakteristik rumah diidentifikasi dengan melihat tipe rumah, jumlah
ruangan, jenis ruang, jumlah jendela, jarak septic tank dengan sumber air,
sumber air minum yang digunakan, tanda cat yang sudah mengelupas, serta
dilengkapi dengan denah rumah (Friedman, 2010). Kondisi lingkungan yang
tidak stabil dan jauh dari prilaku hidup bersih dan sehat dapat menimbulkan
stress berkepanjangan yang merupakan salah satu faktor terjadinya
hipertensi.

d. Fungsi Keluarga
1. Fungsi afektif
Hal yang perlu dikaji seberapa jauh keluarga saling asuh dan saling
mendukung, hubungan baik dengan orang lain, menunjukkan rasa
empati, perhatian terhadap perasaan (Friedman, 2010). Ketidak
mampuan keluarga melakukan fungsi afektif membawa pengaruh
besar terhadap anggota keluarga yang mengalami hipertensi.

2. Fungsi sosialisasi
Dikaji bagaimana interaksi atau hubungan dalam keluarga, sejauh
mana anggota keluarga belajar disiplin, penghargaan, hukuman, serta
memberi dan menerima cinta (Friedman, 2010).

3. Fungsi perawatan kesehatan


a) Keyakinan, nilai, dan prilaku kesehatan : menjelaskan nilai yang
dianut keluarga, pencegahan, promosi kesehatan yang dilakukan
dan tujuan kesehatan keluarga (Friedman, 2010). Biasanya
keluarga tidak mengetahui pencegahan yang harus dilakukan
terhadap penderita hipetensi.

b) Status kesehatan keluarga dan kerentanan terhadap sakit yang


dirasa : keluarga mengkaji status kesehatan, masalah kesehatan
yang membuat kelurga rentan terkena sakit dan jumlah kontrol
kesehatan (Friedman, 2010). Bisanya keluarga tidak mampu
mengkaji status kesehatan anggota keluarga yang mengalami
hipertensi.

c) Praktik diet keluarga : keluarga menegtahui sumber makanan


yang dikonsumsi, cara menyiapkan makanan, banyak makanan
yang dikonsumsi perhari dan kebiasaan mengkonsumsi makanan
kudapan (Friedman, 2010). Biasanya keluarga tidak terlalu
memperhatikan menu makanan, sumber makanan dan banyak
makanan yang tersedia untuk penderita hipertensi.
d) Peran keluarga dalam praktik keperawatan diri : tindakan yang
dilakukan dalam memperbaiki status kesehatan, pencegahan
penyakit, perawatn keluarga dirumah dan keyakinan keluarga
dalam perawatan dirumah (Friedman, 2010). Biasanya keluarga
dengan hipertensi tidak tau cara pencegahan penyakit dan
mengenal penyakit.
e) Tindakan pencegahan secara medis : kepatuhan terapi obat,
pemeriksaan riwayat kesehatan. Biasanya keluarga tidak
memperhatikan kepatuhan terapi pengobatan pada penderita
hipertensi.
4. Fungsi sosialisasi
Pada kasus penderita hipertensi, dapat mengalami gangguan fungsi
sosial baik didalam keluarga maupun didalam komunitas sekitar
keluarga (Padila, 2012).
5. Fungsi reproduksi
Hal yang perlu dikaji mengenai fungsi reproduksi keluarga adalah :
berapa jumlah anak, apa rencana keluarga berkaitan dengan jumlah
anggota keluarga, metode yang digunakan keluarga dalam upaya
mengendalikan jumlah anggota keluarga (Padila, 2012). Jumlah
anggota keluarga sangat berpengaruh dengan kebutuhan nutrisi, dan
pemilihan alat kontrasepsi juga berpengaruh terhadap penderita
hipertensi.
6. Fungsi ekonomi
Untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarga seperti makanan,
pakaian dan rumah, maka keluarga memerlukan sumber keuangan.
Biasanya kebutuhan tersebut belum sepenuhnya bisa terpenuhi oleh
keluarga dengan penderita hipertensi.

e. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan pada semua anggota keluarga. Metode yang
di gunakan pada pemeriksaan fisik head to toe untuk pemeriksaan fisik
untuk Hipertensi adalah sebagai berikut:
1) Status kesehatan umum
Meliputi keadaan penderita, kesadaran, suara bicara, tinggi badan,
berat badan dan tanda-tanda vital. Biasanya penderita hipertensi
mempunyai berat badan diatas normal atau obesitas dan tanda-tanda
vital diatas normal sistole >140 mmHg dan diastole >90 mmHg.
2) Kepala dan leher
Kaji bentuk kepala, keadaan rambut, adakah pembesaran pada vena
jagularis, kebershan telinga, adakah gangguan pendengaran,
kebersihan mulut dan gigi. Identifikasi apakah ada sensasi nyeri dan
pusing.
3) Sistem integumen
Elastisitas kulit, adanya edema, adanya lipatan kulit trisep untuk
penderita dipertensi dengan peningkatan berat badan (Alimul
Aziz,2012).
4) Sistem pernafasan
Pada system pernafasan penderita hipertensi didapatkan sering
didapatkan keluhan sesak nafas saat ktivitas, riwayat merokok,batuk
dengan atau tanpa sputum.
5) Sistem Kardiovaskular
Pada sistem kardiovaskular didapatkan tekanan darah meningkat, nadi
meningkat, denyut jantung meningkat, disritmia, pengisian kapiler
lambat (>2 detik).
6) Sistem Gastrointestinal
Riwayat mengkonsumsi makanan tinggi lemak atau kolesterol, tinggi
garam, dan tinggi kalori. Selain itu, juga melaporkan mual, muntah,
perubahan berat badan, dan riwayat pemakaian deuretik. Temuan fisik
meliputi berat badan diatasnormal atau obesitas, edema, kongesti
vena, distensi vena jagularis, dan glikosuria (Wajan Juni,2011).
7) Sistem Urinary
Riwayat penyakit ginjal (obstruksi atau infeksi). Temuan fisik:
produksi urine <50 ml/jam atau oliguri.
8) Sistem Muskuluskletal
Melaporkan angina, nyeri intermiten pada paha-claudication (indikasi
arteriosklerosis pada ekstremitas bawah), sakit kepala hebat di
oksipital, nyeri atau teraba massa diabdomen.
9) Sistem Neurolgis
Melaporkan serangan pusing/pening, sakit kepala berdenyut
disubokspital, episode mati rasa, atau kelumpuhan salah satu sisi
badan.

2. Perumusan Diagnosa Keperawatan Keluarga


Diagnosa keperawatan keluarga dirumuskan berdasarkan masalah
keperawatan yang didapat dari data pada pengkajian yang berhubungan
dengan etiologi dan pengkajian fungsi perawatan keluarga. Diagnosa
keperawatan mengacu pada rumusan PES (problem,etiologi, dan simtom)
dimana untuk problem menggunakan rumusan masalah dari NANDA,
sedangkan untuk etiologi dapat menggunakan pendekatan lima tugas
keluarga atau dengan menggambarkan pohon masalah (Padila,2012).
Tipologi dari diagnosa keperawatan keluarga terdiri dari diagnosa
keperawatan keluarga terdiri dari diagnosa keperawatan keluarga actual
(terjadi defisit/gangguan kesehatan), resiko (ancaman kesehatan) dan
keadaan sejahtera (wellness).
Penulisan diagnosa kepewaratan keluarga :
a. Diagnosa keperawatan keluarga: aktual
b. Diagnosa keperawatan keluarga : resiko (ancaman)
Diagnosa keperawatan keluarga resiko dirumuskan apabila sudah
ada data yang menunjang namun belum terjadi gangguan,misalnya
pola hidup yang tidak sehat, jarang berolahraga.
c. Diagnosa keperawatan keluarga: sejahtera (potensial)
Diagnosa keperawatan keluarga sejahtera merupakan suatu
keadaan dimana keluarga didalam kondisi sejahtera sehingga
kesehatan keluarga dapat di tingkatkan. Rumusan diagnosanya
boleh tidak menggunakan etiologi.
Berikut disajikan rumusan masalah keperawatan terkait dengan
kondisi kesehatan keluarga berdasarkan NANDA dalam friedman
(1989).
Tabel 2.4 Rumusan Diagnosa Keperawatan Keluarga

Aspek Rumusan Diagnosa


Kesehatan Kerusakan pemeliharaan rumah
lingkungan
keluarga
Pola dan proses Kerusakan komunikasi verbal
komunikasi
keluarga
Struktur Konflik menyangkut ketulusan
kekuatan (power)
Keluarga
Struktur peran 1. Berduka yang diantisipasi
(role) keluarga 2. Berduka disfungsional
3. Isolasi sosial
4. Perubahan dalam parenting
5. Perubahan kinerja peran
6. Gangguan citra tubuh
Nilai – nilai Konflik lain
keluarga
1
Fungsi efektif . Gangguan proses keluarga
2. Gangguan menjadi orang tua
3. Berkabung yang disfungsional
4. Koping keluarga tidak efektif
5. Resiko terjadi kekerasan
Fungsi sosialisasi 1. Perubahan proses keluarga
2. Kurang pengetahuan
3. Kurang peran orang tua
4. Perubahan menjadi orangtua
5. Prilaku mencari pertolongan
kesehatan (diagnosa wellness)
Fungsi perawatan 1. Perubahan pemeliharaan
kesehatan kesehatan
2. Perilaku mencari kesehatan
Proses dan strategi 3. Koping keluarga tidak efektif
koping keluarga 4. Resiko kekerasan
Sumber:Padila
2012

Pada satu keluarga mungkin saja perawat menemukan lebih dari


satu diagnosa keperawatan, maka selanjutnya bersama keluarga harus
menentukan prioritas dengan menggunakan skala perhitungan sebagai
berikut:

Tabel 2.5 : Skala prioritas masalah keluarga

Kriteria Skor Bobot


1. Sifat masalah
a. Aktual (tidak/kurang sehat 3 1
b. Ancaman kesehatan 2
c. Keadaan sejahtera 1
2. Kemungkinan masalah dapat
diubah 2 2
a. Mudah 1
b. Sebagian 0
c. Tidak dapat
3. Potensi masalah untuk dicegah
a. Tinggi 3 1
b. Cukup 2
c. Rendah 1

Sumber: Padila, 2012

Diagnosa keperawatan untuk klien hipertensi dalam pemenuhan


kebutuhan nutrisi menurut NANDA (2015) diantaranya:
a. Obesitas
b. Berat badan berlebih
c. Resiko berat badan berlebih
d. Kurang pengetahuan
3. Intervensi Keperawatan
Menurut Padila (2012), Perencanaan perawatan keluarga terdiri dari
penetapan tujuan, mencakup tujuan umum dan khusus, rencana intervensi
serta dilengkapi dengan rencana evaluasi yang memuat criteria dan
standar. Tujuan dirumuskan secara spesifik , dapat diukur (merusable),
dapat dicapai (achivable), rasional dan menunjukan waktu (SMART).
Rencana intervensi ditetapkan untuk mencapai tujuan. Selanjutnya
intervensi keperawatan keluarga diklasifikasikan menjadi intervensi yang
mengarah pada aspek kognitif, efektif dan psikomotor (prilaku). Semua
intervensi baik berupa pendidikan kesehatan, terapi modalitas ataupun
terapi koplementer pada akhirnya ditujukan untuk meningkatnkan
kemampuan keluarga melaksanakan lima tugas keluarga dalam
kesehatan.Kriteria dan standar merupakan rencana evaluasi, berupa
pernyataan spesifik tentang hasil yang diharapkan dari setiap tindakan
berdasarkan tujuan khusus yang ditetapkan. Kriteria dapat berupa respon
verbal, sikap atau psikomotor, sedangkan standar berupa patokan/ukuran
yang kita tentukan berdasarkan kemampuan keluarga, sehingga dalam
menentukan standar antara klien satu dengan klien yang lainnya walaupun
masalahnya sama, standarnya bisa jadi berbeda.
Berikut rencana keperawatan keluarga pada keluarga dengan
hipertensi dalam penerapan diet DASH:

a. Diagnosa Keperawatan
Kurang pengetahuan diet DASH: ketiadaan atau defisiensi informasi
kognitif yang berkaitan dengan topik tertentu. Batasan karakteristik;
ketidak akuratan mengikuti perintah, kurang pengetahuan, apatis,
pengungkapan masalah. Faktor yang berhubungan; keterbatasan
kognitif, kurang informasi, tidak familier dengan sumber informasi.

b. Tujuan
1) Tujuan Umum
Setelah dilakukan kunjungan sebanyak enam kali empat puluh lima
menit, keluarga mampu mengenal, memutuskan dan merawat
anggota keluarga dengan kurang pengetahuan tentang diet DASH.
2) Tujuan Khusus
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 45 menit,
keluarga mampu:

a) Mengenal masalah (menjelaskan kembali Pengertian, tujuan,


klasifikasi , serta makanan yang dianjurkan dan tidak di
anjurkan diet DASH).
Evaluasi:
(1) Kriteria, keluarga mampu menjelaskan pengertian diet
DASH secara mandiri, tujuan dan klasifikasi diet DASH
(2) Standar :
(a) Diet DASH adalah salah satu metode diet yang
diterapkan pada penderita hipertensi dengan
menyarankan untuk mengkonsumsi makanan
mengandung kalium, kalsium, magnesium rendah
lemak, dan tinggi serat.
(b) Tujuan diet DASH membantu menurunkan
tekanan darah, menurunkan berat badan,
mengurangi resiko penyakit jantung dll.
(c) Dampak dari kurang pengetahuan, keluarga tidak
mampu merawat anggota keluarga dengan
hipertensi.

3) Rencana
a) Kaji, Pengetahuan keluarga, diskusikan bersama keluarga
tentang pengertian diet DASH, jelaskan kepada keluarga
tentang tujuan diet DASH, jelaskan dampak yang ditimbulkan
akibat kurang pengetahuan, beri kesempatan kepada keluarga
untuk bertanya, bantu keluarga untuk mengulangi apa yang
telah dijelaskan, beri pujian atas perilaku yang benar.
b) Mengambil keputusan untuk mengatasi hipertensi pada anggota
keluarga.
Evaluasi:
Respon verbal, keluarga mampu mengambil keputusan.
Standar , keluarga mengatakan keputusan dalam mengatasi
keluarga yang mengalami hipertensi.
Intervensi:
Kaji pengetahuan keluarga, jelaskan pada keluarga mengenai
tindakan yang harus dilakukan saat anggota keluarga mengalami
hipertensi, bimbing dan motivasi keluarga untuk mengambil
keputusan dalam menangani masalah hipertensi, berikan pujian
atas keputusan yang diambil untuk mengatasi masalah hipertensi
pada anggota keluarga.
c) Merawat anggota keluarga yang hipertensi dengan
mendemonstrasikan cara penerapan diet DASH untuk penderita
hipertensi.
Evaluasi:
Respon verbal; keluarga mampu mendemonstrasikan cara
mengatur menu makanan bagi penderita hipertensi Intervensi:
Kaji pengetahuan keluarga, jelaskan pada keluarga cara
mengatur menu diet pada anggota keluarga yang mengalami
hipertensi: menyajikan makanan yang sesuai terapi diet DASH,
beri pujian kepada keluarga atas keberhasilan keluarga mengatur
diet pada anggota keluarga yang mengalami hipertensi.

8. Implementasi Keperawatan Keluarga


Pelaksanaan atau implementasi adalah serangkaian tindakan perawat pada
keluarga berdasarkan perencanaan sebelumnya. Tindakan perawat terhadap
keluarga mencakup dapat berupa:
a. Menstimulasi kesadaran atau penerimaan keluarga mengenal masalah dan
kebutuhan kesehatan, dengan cara:
1) Memberikan informasi : penyuluhan atau konseling
2) Mengidentifikasi kebutuhan dan harapan tentang kesehatan
3) Mendorong sikap emosi yang sehat terhadap masalah
b. Menstimulasi keluarga untuk memutuskan cara perawatan yang tepat,
dengan cara:
1) Mengidentifikasi konsekuensi tidak melakukan tindakan
2) Mengidentifikasi sumber-sumber yang dimiliki keluarga
3) Mendiskusikan tentang konsekuensi setiap tindakan
c. Memberikan kepercayaan diri dalam merawat anggota keluarga yang sakit
:
1) Mendemonstrasikan cara perawatan
2) Menggunakan alat dan fasilitas yang ada dirumah
3) Mengawasi keluarga melakukan tindakan perawatan
d. Membantu keluarga menemukan cara bagaimana membuat lingkungan
menjadi :
1) Menemukan sumber-sumber yang dapat digunakan keluarga
2) Melakukan perubahan lingkungan keluarga seoptimal mungkin
e. Memotivasi keluarga untuk memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada,
dengan cara :
1) Memperkenalkan fasilitas kesehatan yang ada dalam lingkungan
keluarga
2) Membantu keluarga menggunakan fasilitas kesehatan yang ada

Pada saat melakukan pelaksanaan rencana keperawatan, tenaga


kesehatan menjelaskan tentang kebubutuhan nutrisi dan akibat yang
ditimbulkan pada penderita hipertensi, mendikusikan dengan keluarga
dalam pengambilan keputusan, mendemonstrasikan cara membuat menu
makanan bagi penderita hipertensi, serta memodifikasi lingkungan yang
nyaman bagi anggota keluarga yang mengalami sakit.

9. Evaluasi Keperawatan Keluarga


Evaluasi keperawatan keluarga adalah proses untuk menilai keberhasilan
keluarga dalam melaksanakan tugas kesehatannya sehingga memiliki
produktivitas yang tinggi dalam mengembangkan setiap anggota keluarga.
Sebagai komponen kelima dalam proses kelerawatan, evaluasi adalaah tahap
yang menentukan apakah tujuan yang telaah ditetapkan akan menentukan
mudah atau sulitnya dalam melaksanakan evaluasi (Sugiarto,2012). Untuk
penilaina keberhasilan tindakan maka selanjutnya dilakukan panilaian.
Tindakan-tindakan keperawatan keluarga mungkin saja tidak dapat dilakukan
dalam satu kali kunjungan, untuk itu dilakukan secara bertahap, demikian
halnya dengan penilaian. Penilaian dilaksanakan dengan menggunakan
pendekatan SOAP (subyaktif,obyektif,analisa, dan planing) (Padila,2012).
BAB III
MANAGEMENT SELF CARE

A. Edukasi Manajemen Diri


a. Pengertian Edukasi Manajemen Diri
Edukasi pasien adalah suatu proses untuk membantu orang mempelajari
perilaku yang ada kaitannya dengan kesehatan sehingga dapat menerapkan dalam
kehidupan sehari-hari untuk mencapai kesehatan yang optimum dan kemandirian
dalam perawatan diri (Bastable, 2002). Edukasi pasien merupakan proses interaksi
antara perawat dan pasien serta perawat dan keluarga, memberikan informasi
kesehatan pasien serta menambah pengetahuan pasien dan keluarga sehingga dapat
menciptakan pelayanan praktik keperawatan yang efektif dan efisien (Potter &
Perry, 2009). Edukasi merupakan rangkaian tindakan yang sistematik, berurutan,
dan terencana sehingga tidak hanya diperlukan partisipasi aktif dari tenaga dan
motivasi dari pasien (Bastable, 2002).
Menurut Davies (2011) Model teoritis memberikan dasar untuk memilih
intervensi keperawatan dalam mendukung perubahan perilaku untuk pasien dengan
penyakit kronis. Hal tersebut dikarenakan pemahaman terhadap teori yang baik
terhadap tekhnik perubahan perilaku dapat meningkatkan keberhasilan profesi
kesehatan dalam menjelaskan perubahan komunikasi pada pasien dan
mengidentifikasi teknik dan strategi untuk membantu orang mengadopsi gaya hidup
sehat. Beberapa tinjauan model dan teori pilihan menurut Bastable (2002) dapat
digunakan sehubungan dengan edukasi perawatan diri dan perilaku sehat seperti
Health belief model (Becker, 1990), Health promotion model (Pender, 1987) dan
Self-efficacy theory (Bandura, 1977) dan Theory of reasoned action (Ajzen dan
Fishbein, 1980). Health belief model, digunakan untuk mempelajari perilaku pasien
berhubungan dengan perilaku preventif dan penyakit akut serta penyakit kronis.
Model ini menjelaskan tentang permasalahan terhadap program pencegahan penyakit
dan penyembuhan yang memerlukan kepatuhan pasien untuk berpartisipasi dan
keyakinan bahwa kesehatan sangat dihargai. Health promotion model, menjelaskan
komponen dan mekanisme yang menjadi faktor penentu pada gaya hidup yang
mempromosikan kesehatan. Self-efficacy theory, merupakan teori prediktif perihal
suatu keyakinan bahwa seseorang dapat mengerjakan perilaku tertentu. Penggunaan
teori ini pada perawat sangat relevan dalam memahami kemungkinan partisipasi
dalam pengembangan program-program pendidikan. Theory of reasoned action,
menjelaskan alasan pasien sebagai pembuat keputusan yang rasional yang
memanfaatkan informasi apapun yang tersedia untuk mereka. Teori ini berguna untuk
memprediksi perilaku kesehatan dengan niat untuk mengubah perilaku kesehatan
tertentu .

Manajemen diri adalah edukasi kelompok interdisiplin berbasis pada prinsip


pembelajaran orang dewasa, pengobatan individu dan teori manajemen kasus
(Barlow, Wright, Sheasby, Turner & Hainsworth, 2002). Salah satu program edukasi
manajemen diri hipertensi yaitu program manajemen diri penyakit kronis yang
merupakan edukasi berbasis komunitas. Manajemen diri ini efektif digunakan dalam
memodifikasi perilaku untuk meminimalkan hasil yang tidak diinginkan,
menyesuaikan kehidupan kerja dan sosial pasien untuk mengakomodasi gejala dan
keterbatasan fungsi dan berhubungan dengan konsekuensi emosional (Lorig et al,
2001).
b. Tujuan Edukasi Manajemen Diri

Tujuan edukasi manajemen diri penyakit kronis di desain untuk membantu


pasien dengan penyakit kronik dengan mengembangkan keterampilan manajemen
diri. Tujuan edukasi manajemen diri yaitu 1) Meningkatkan perilaku sehat (seperti
I. olahraga, manajemen kognitif gejala, diet sehat, komunikasi dengan tenaga
kesehatan), 2) Meningkatkan penilaian kesehatan diri dan partisipasi dalam peran dan
aktivitas sosial, 3) Mengurangi kecacatan, fatig, dan distress kesehatan, dan 4)
Menurunkan hari rawatan dan hospitalisasi di rumah sakit (Lorig et al, 2001).
Edukasi pasien menunjukkan potensi untuk meningkatkan kepuasan
konsumen, memperbaiki kualitas kehidupan, memastikan kelangsungan perawatan,
secara efektif mengurangi insiden komplikasi penyakit, mensosialisasikan masalah
kepatuhan terhadap rencana pemberian perawatan kesehatan, menurunkan ansietas
pasien, dan memaksimalkan kemandirian dalam melakukan aktivitas kehidupan
sehari-hari (Bastable, 2002).

c. Prinsip Edukasi Manajemen Diri


Dalam memberikan edukasi pada pasien terdapat beberapa prinsip yang harus
diperhatikan oleh perawat (Perry & Potter, 2009), yaitu ;
1. Gaya belajar seseorang mempengaruhi dalam belajar.
2. Rencana pembelajaran yang efektif dapat menggunakan kombinasi
berbagai metode pembelajaran.
3. Perhatian merupakan hal utama agar pasien siap menerima pembelajaran
yang disampaikan
4. Motivasi diperlukan agar tujuan pembelajaran dapat tercapai.
5. Pemakaian pendekatan teori yang sesuai dalam memberikan edukasi
memungkinkan tujuan edukasi dapat tercapai dengan efektif.
6. Adaptasi psikososial terhadap penyakit yang dialami pasien dapat
mempengaruhi kemampuan individu untuk memusatkan perhatian pada
informasi yang disampaikan.
7. Partisipasi pasien diperlukan selama edukasi agar pembelajaran tercapai
dengan efektif.
8. Kemampuan belajar harus diperhatikan oleh perawat sesuai dengan
kemampuan perkembangan kognitif dan kemampuan fisik.
9. Strategi pemberian edukasi sesuai tingkat kemampuan kognitif dan
kemampuan fisik pasien.
10. Lingkungan belajar yang ideal membantu pasien fokus terhadap informasi
yang disampaikan selama edukasi.

d. Metode dan Media Edukasi Manajemen Diri


Dalam memberikan edukasi pada pasien, perawat dapat menggabungkan
beberapa metode pembelajaran seperti diskusi atau tanya jawab, penggunaan
materi audiovisual, seperti video, proyektor, atau slide, juga memberikan variasi
pada presentasi. Ini berguna agar aspek yang penting tercakup secara akurat, logis,
kohesif dan menarik. Untuk itu fakta yang berlebihan dan contoh yang rancu
sebaiknya dikurangi dan dapat dibantu dengan dilengkapi handout atau audiovisual
(Bastable, 2002). Media utama dalam penyampaian edukasi pasien adalah media
yang menggunakan indera penglihatan atau visual seperti media cetak (booklet,
leaflet, flipchart, poster dan tulisan), media elektronik (televisi dan slide) dan
media papan atau billboard (Notoadmodjo, 2007).

B. Manajemen Diri Hipertensi


a. Pengertian Manajemen Diri Hipertensi
Manajemen diri adalah kemampuan mengenal dan mengevaluasi perubahan fisik
yang terjadi, mengambil keputusan untuk penanganan dan mengevaluasi respon tindakan.
Program manajemen diri penyakit kronik merupakan intervensi pendidikan kesehatan
berbasis komunitas (Lorig et al, 2001).
Manajemen perawatan diri (Self care management) menurut Riegel, Jaarsma
dan Stomberg (2012), yaitu mengevaluasi perubahan tanda-tanda fisik, emosional dan
gejala untuk menentukan tindakan yang diperlukan dalam merespon ketika terjadi
tanda-tanda dan gejala tersebut.
Manajemen diri merupakan pengobatan yang menggunakan intervensi
kombinasi dari tekhnik biologi, psikologi dan sosial untuk memaksimalkan fungsi
proses regulasi perawatan diri yang digunakan sebagai strategi pencegahan sehingga
manajemen diri di interpretasikan sebagai tugas-tugas individu sehari-hari yang harus
diambil untuk mengontrol atau mengurangi dampak penyakit terhadap status
kesehatan fisik dengan kolaborasi dan panduan dari dokter dan pemberi pelayanan
perawatan kesehatan lainnya (Davies, 2011).

b. Tujuan Manajemen Diri Hipertensi

Menurut Packer, Boldy, Grahan, Melling, Parsons dan Osborn (2011) manfaat
manajemen diri yaitu, Manajemen diri mendukung partisipasi aktif pasien terhadap
pengobatan, meminimalkan dampak penyakit kronik pada fungsi dan status kesehatan
serta kolaborasi pasien dengan tenaga kesehatan. Selain itu menurut Balduino,
Mantovani, Lacerda dan Meier (2013), tujuan manajemen diri hipertensi adalah
memperoleh informasi untuk berhenti merokok, mengontrol berat badan, melakukan
aktivitas fisik secara teratur, nutrisi yang tepat, mengurangi garam dan memonitor
tekanan darah. Manajemen diri pada pasien hipertensi mendorong individu sadar
terhadap perilaku mereka ke depan terhadap status kesehatan untuk mengkaji adanya
potensi yang berbahaya.

c. Sasaran dan Strategi Manajemen Diri Hipertensi

Sasaran dan strategi edukasi kegiatan ditujukan untuk penyakit-penyakit


kronis dengan jumlah partisipan 10-15 orang dengan diagnosa dan usia yang
bervariasi. Prinsip asumsi program ini adalah bahwa penyakit kronik yang berbeda-
beda punya kesamaan masalah manajemen diri dan sehubungan dengan tugas-tugas
penyakit, pasien dapat belajar untuk merespon dari hari ke hari terkait manajemen
penyakit, dan kepercayaan diri terkait dengan pengetahuan pasien tentang praktik
manajemen diri mendukung status kesehatan dan menggunakan sumber-sumber
perawatan kesehatan. Terdapat 2 intervensi manajemen diri yang dikembangakan
yaitu manajemen diri untuk penyakit kronik (seperti penyakit paru, penyakit jantung,
stroke dan artritis) dan diabetes (Lorig, Sobel, Stewart, Brawn, Bandura, Ritter, et al,
1999).

d. Isi Kegiatan Manajemen Diri Hipertensi


Isi kegiatan meliputi adopsi program latihan atau olahraga, menggunakan
teknik manajemen kognitif gejala (seperti relaksasi dan distraksi), pengelolaan nutrisi,
manajemen fatig dan tidur, menggunakan obatan-obatan dan sumber komunitas,
manajemen emosi pada ketakutan, marah dan depresi, latihan berkomunikasi dengan
professional kesehatan lainnya dan pemecahan masalah berhubungan dengan
kesehatan dan membuat keputusan (Lorig et al, 2001).
Menurut Barlow, Wright, Sheasby, Turner dan Hainsworth (2002) isi kegiatan
mendukung informasi, manajemen obat, manajemen gejala, konsekuensi psikososial
yang diterima, gaya hidup (meningkatkan latihan), dukungan sosial, komunikasi dan
strategi manajemen diri lainnya seperti perencanaan karir, pencapaian tujuan, dan
dukungan akses ke pelayanan.
Selain itu menurut Balduino, Mantovani, Lacerda dan Meier (2013), kegiatan
manajemen diri hipertensi adalah kesadaran untuk berhenti merokok, mengontrol
berat badan, melakukan aktivitas fisik secara teratur, nutrisi yang tepat, mengurangi
garam dan memonitor tekanan darah.

e. Metode Pembelajaran Manajemen Diri Hipertensi

Metode belajar yang dapat digunakan mencakup konseling face to face pada
individu dan keluarga atau kelompok, edukasi dan demonstrasi menggunakan
booklet, workshop, dan follow up melalui telepon. Materi disampaikan dalam bentuk
tertulis seperti booklet, handout, manual, buku kerja atau videotape. Tempat
pelaksanaan mencakup edukasi pada orang dewasa, komunitas, rumah sakit,
perawatan primer, pusat rehabilitasi, rumah, sekolah, pusat perawatan tersier dan
jaringan kerja (Barlow et al, 2002).

f. Kegiatan Manajemen Diri Hipertensi


Kegiatan manajemen diri Hipertensi mencakup modifikasi gaya hidup yang
tidak hanya penting untuk mengontrol tekanan darah tetapi juga sebagai landasan
manajemen global pada banyak faktor risiko aterosklerosis (RNAO, 2009).
1. Aktivitas Fisik, latihan aerobik merupakan cara yang mendukung dalam
menurunkan tekanan darah. Pasien secara bertahap pasien dapat
meningkatkan latihan selama 30 sampai 45 menit 3 sampai 5 kali per minggu.
Berjalan, berenang, dan jogging merupakan latihan aerobik yang baik sekali
(White, Duncan & Baumle, 2013). Intensitas sedang seperti berjalan, jogging,
dan berenang dapat meningkatkan relaksasi, menurunkan atau mengontrol
berat badan (Lewis, Heitkemper & Shannon, 2000). Aktivitas fisik dapat
menurunkan tekanan darah yang mungkin sebagian menjelaskan melalui
penurunan resistensi vaskuler sistemik yang mana system saraf otonom dan
system renin-angiotensin yang mungkin mendasari mekanisme regulasi (Hu,
Li, & Arao, 2013).
2. Diet garam, pengurangan intake sodium dari 2 ke 3 gram sodium atau 6
gram sodium klorida per hari mendukung penurunan tekanan darah.
Menghindari makanan olahan, minuman berkarbon, dan banyak
mengkonsumsi sereal dapat menurunkan intake sodium. Mendorong pasien
untuk kecukupan intake potassium, magnesium, dan kalsium (White, Duncan,
Baumle, 2013). Batas sodium pada 65-100 mmol/hari, setara dengan 2/3-1
sendok teh garam meja. Dengan penghitungan 100 mmol Na = 2400 mg = 1
sendok teh (6 gram) garam meja. Strategi untuk mengurangi intake garam
mengandung ; pemilihan makanan rendah garam (buah-buahan dan sayuran),
menghindari makanan cepat saji, menahan diri dari penambahan garam,
meminimalkan penggunaan garam dalam memasak dan kesadaran pada
makanan yang mengandung asinan di rumah makan (CMA, 1999; CHEP,
2005 dalam RNAO, 2009).
3. Konsumsi Alkohol dan Kafein, perawat mengkaji penggunaan alkohol dan
kafein pasien termasuk kuantitas dan frekuensi. Perawat berdiskusi secara
rutin dengan pasien tentang konsumsi alkohol dan kopi terutama yang
terkandung dalam bahan makanan seperti tape dan kopi yang dapat
menaikkan tekanan darah. Pantangan kopi berhubungan dengan risiko
hipertensi lebih rendah dari konsumsi kopi yang rendah (RNAO, 2009;
Uiterwaal et al, 2007).
4. Merokok, perawat memberikan penjelasan tentang hubungan antara merokok
dan risiko gangguan kardiovaskuler. Nikotin yang terkandung dalam tembakau menyebabkan
vasokontriksi dan meningkatkan tekanan darah pasien hipertensi (Lewis, Heitkemper &
Shannon, 2000).
5. Stres, perawat mengkaji pasien dengan diagnosis hipertensi untuk mengetahui
bagaimana reaksi pada kejadian stress dan belajar bagaimana membangun
koping dan manajemen stress yang efektif. Stres berhubungan dengan depresi,
isolasi sosial, dan kurangnya kualitas dukungan meningkatkan risiko
gangguan penyakit jantung koroner yang sama besarnya seperti merokok,
dislipidemia, dan hipertensi itu sendiri. Dukungan terhadap manajemen stress
efektif dalam mengontrol tekanan darah yang optimal (RNAO, 2009).
C. Perilaku Sehat
Perilaku diartikan sebagai suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang
bersangkutan, baik yang dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung
terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Perilaku manusia
merupakan dorongan yang dipelajari menurut keinginan dalam melakukan sesuatu.
Adanya nilai-nilai yang diyakini seseorang dapat menjadikan perilaku sebagai
kebiasaan (Triwibowo & Pusphandani, 2015) .
Perilaku kesehatan oleh Triwibowo dan Pusphandani (2015) diartikan sebagai
perilaku nyata dari anggota masyarakat yang secara langsung berkaitan dengan
kesehatan. Perilaku kesehatan adalah tanggapan seseorang terhadap rangsangan yang
berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan
lingkungan. Perilaku sehat adalah tindakan yang dilakukan individu untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatannya, termasuk pencegahan penyakit,
perawatan kebersihan diri dan penjagaan kebugaran melalui olahraga dan makanan
bergizi.
Perilaku kesehatan adalah semua atribut-atribut pribadi seperti keyakinan,
harapan, motif, nilai-nilai, persepsi, dan unsur-unsur kognitif lainnya; karakteristik
kepribadian, termasuk status emosional, afektif dan sifat, dan pola perilaku terbuka,
tindakan, dan kebiasaan yang berhubungan dengan pemeliharaan kesehatan,
pemulihan kesehatan, dan peningkatan kesehatan. Perilaku sehat berbeda dengan
gaya hidup (Lifestyle). Perilaku sehat dapat dilakukan sekali, secara berkala, untuk
diri sendiri atau perilaku yang dapat mempengaruhi orang lain. Perilaku kesehatan
lainnya adalah tindakan yang dilakukan selama periode waktu yang panjang, seperti
makan makanan yang sehat, melakukan aktivitas fisik secara teratur, dan menghindari
penggunaan tembakau.
Gaya hidup (Lifestyle) itu sendiri merupakan pola-pola perilaku yang
kompleks. Sedangkan gabungan dari berbagai perilaku sehat sering disebut sebagai
Gaya hidup sehat. Tindakan-tindakan seseorang yang menunjukkan perilaku yang
bervariasi dalam cara meningkatkan kesehatan dapat digambarkan sebagai Gaya
hidup sehat. Perilaku berhubungan dengan kesehatan adalah setiap tindakan yang
berkaitan dengan pencegahan penyakit, pemeliharaan kesehatan, peningkatan
kesehatan, atau pemulihan kesehatan (Glanz & Maddock, (2002) dalam Encyclopedia
Self-care behavior (2016)).
Mcgowan (2002) menjelaskan Self-Care Behavior yaitu perilaku perawatan
diri melibatkan pengambilan tindakan untuk memperbaiki atau menjaga kesehatan
seseorang. Contoh perilaku perawatan diri termasuk mencari informasi (misalnya,
membaca buku atau pamflet, pencarian di Internet, menghadiri kelas, bergabung
dengan kelompok swadaya); berolahraga; berkunjung ke dokter secara teratur;
istirahat yang cukup; perubahan gaya hidup; seperti diet rendah lemak; pemantauan
tanda-tanda vital; dan mencari saran melalui jalur perawatan mandiri dan alternatif,
mengevaluasi informasi, dan membuat keputusan untuk bertindak atau melakukan
suatu tindakan. Perawatan diri umumnya dipandang sebagai pelengkap perawatan
kesehatan profesional pada orang dengan kondisi kesehatan kronis. Perilaku
perawatan diri lebih luas dari hanya mengikuti saran dokter .Hal ini juga mencakup
pembelajaran individu dari pengalaman yang terjadi di masa lalu.

a. Perilaku latihan (Exercise Behavior)


Menurut Kemenkes RI (2013), Aktivitas fisik secara teratur bermanfaat untuk
mengatur berat badan serta menguatkan sistem jantung dan pembuluh darah.
Aktivitas fisik dapat menurunkan tekanan darah yang mungkin sebagian menjelaskan
melalui penurunan resistensi vaskuler sistemik yang mana system saraf otonom dan
system renin-angiotensin yang mungkin mendasari mekanisme regulasi (Hu, Li, &
Arao, 2013). Contoh aktivitas fisik (olahraga) yang dapat dilakukan untuk
menurunkan tekanan darah tinggi adalah jalan pagi, jalan kaki, sebam, bersepeda dan
berenang. Kegiatan aktivitas ini disarankan agar dilakukan
6.30 menit per hari dan ≥ 3 hari per minggu (Kemenkes RI, 2014).
Latihan yang dapat di lakukan untuk menurunkan tekanan darah secara umum
dibagi menjadi :
a) Latihan Aerobik
Latihan aerobik adalah aktivitas apapun yang membuat otot-otot tubuh
menggunakan oksigen. Ketika melakukannya, jantung bekerja keras untuk
mengambil oksigen untuk otot-otot. Hal ini membuat jantung menjadi kuat. Latihan
ketahanan seperti bersepeda, jogging, berjalan, berenang atau bermain bola
merupakan latihan aerobik.
Manfaat latihan aerobik yaitu :
1. Menurunkan tekanan darah, dimana dapat menurunkan risiko serangan
jantung atau stroke
2. Menurunkan denyut jantung saat istirahat dengan mengurangi tekanan pada
jantung
3. Meningkatkan kadar HDL (kolesterol baik dalam darah), meningkatkan
kardiak output dimana rata-rata jantung memompa banyak darah setiap
detiknya
4. Menurunkan frekuensi pernapasan saat istirahat, dimana paru-paru tidak
bekerja keras ketika istirahat
5. Meningkatkan aliran darah ke paru-paru dengan membantu mengambil
banyak oksigen
6. Membakar lemak sehingga membantu menurunkan berat badan.

b) Latihan Aerobik
Latihan anaerobik adalah latihan intensitas tinggi, aktivitas berat seperti mengangkat
beban atau berlari. Hal ini dilakukan untuk membangun kekuatan, meningkatkan
kecepatan dan mengurangi lemak tubuh. Pasien punya peluang untuk melakukan
bermacam latihan dengan sering setiap hari. Membawa belanjaan atau berlari
mengejar bus merupakan latihan anaerobik. Interval latihan pada latihan anaerobik
besar. Interval latihan dapat dilakukan dengan banyak tipe latihan (sebagai contoh
berlari, bersepeda, berenang, atau mengangkat beban). Interval dapat dilakukan
melalui peningkatan kecepatan untuk waktu jangka pendek (contoh, antara 10-60
detik) kemudian mengambil periode pemulihan yang lambat setidaknya 3 kali
sepanjang interval. Untuk interval latihan dapat mengulangi saat tidak sedang
bekerja. Sebagai contoh, berlari selama 30 detik kemudian berjalan selama 2 menit,
berlari 30 detik, berjalan selama 2 menit dan selanjutnya. Salah satu manfaat dari
latihan anaerobik yaitu meningkatkan metabolisme tubuh hampir 18 jam setelah
aktivitas berakhir. Ini berarti dapat membakar kalori pada tingkat yang lebih cepat
setelah selesai latihan. Ini dapat membantu menurunkan berat badan. Sebaiknya
latihan anaerobik hanya meningkatkan tingkat metabolisme tubuh untuk 2 jam.

c) Waktu pelaksanaan
Ada 3 cara untuk mengukur latihan yaitu frekuensi, durasi, dan intensitas.
1. Frekuensi : adalah seberapa sering latihan. Latihan aerobik dapat
dicoba paling sedikit 3 kali seminggu. Terlalu banyak latihan aerobik
dapat menyebabkan overtraining dan cedera berlebihan. Latihan
dilakukan selama 2 atau 3 kali seminggu.
2. Durasi : adalah berapa lama latihan. Tujuannya adalah setiap latihan
dilakukan 30-60 menit. Pasien mungkin perlu melakukannya secara
bertahap.
3. Intensitas : adalah seberapa keras bekerja ketika melakukan latihan.
Ketika melakukan latihan aerobik, harus menjaga kondisi jantung.
Untuk meyakinkan hasil dari latihan, perlu mengecek denyut nadi
selama latihan.
Pasien perlu mengatur target denyut jantung untuk diri sendiri untuk
meyakinkan bahwa latihan cukup keras tidak membahayakan jantung,
namun cukup mudah sehingga dapat melakukan latihan dengan aman.

Tujuan latihan aerobik adalah memelihara target denyut jantung selama latihan
selama 20 menit. Pasien dapat juga menggunakan target denyut jantung untuk
memeriksa perkembangan setiap waktu. Untuk latihan anaerobik, menggunakan
monitor denyut jantung selama interval istirahat ke monitor pemulihan. Pasien akan
melakukan lari cepat, istirahat, kemudian melakukan lari cepat lainnya sekali sampai
memasuki zona pemulihan. Setelah beberapa minggu latihan, dapat melanjutkan
meningkatkan level fitness melalui peningkatan frekuensi, durasi atau intensitas
latihan (NIHNH, 2016).
Penelitian oleh Song dan Nam (2015) tentang efektifitas intervensi
manajemen diri risiko stroke pada orang dewasa dengan prehipertensi menunjukkan
adanya aktivitas fisik yang teratur dan dipertahankan dari waktu ke waktu setelah
mendapatkan intervensi. Penelitian tentang hasil dari program manajemen diri
penyakit kronis terhadap status kesehatan, perilaku sehat dan perawatan kesehatan
didapatkan peningkatan pada latihan aerobik (Brady et al, 2013).
Penelitian Katzmarzyk dan Lee (2012) di USA tentang perilaku sedentari dan
harapan hidup dalam menghilangkan penyebab langsung melalui tabel analisis yang
menggunakan cut off points < 3 jam, 3-5, 9 jam,≥ 6 jam, menunjukkan bahwa
pengurangan aktivitas sedentari sampai dengan < 3 jam per hari dapat meningkatkan
umur harapan hidup sebesar 2 tahun.

Aktivitas fisik yang rendah merupakan faktor risiko yang paling umum untuk
kondisi jangka panjang, dengan 95% dari populasi orang dewasa tidak melakukan
aktivitas fisik yang disarankan minimal 30 menit dengan intensitas sedang dalam lima
hari atau lebih dalam seminggu (Davies, 2011). Aktivitas fisik yang mengangkat
beban sebaiknya dihindari karena dapat meningkatkan tekanan darah secara
mendadak sebagai respon vagal yang terjadi selama kontraksi otot isometrik ketika
mengangkat beban (Black & Hawks, 2014).

b. Manajemen kognitif gejala (Cognitive Symptom Managemen)


Kewaspadaan terhadap perubahan tanda-tanda fisik dan emosional dan gejala
untuk menentukan tindakan yang diperlukan dalam merespon ketika terjadi tanda-
tanda dan gejala. Ini meliputi upaya untuk mempertahankan kesehatan dengan
mengatur aktifitas yaitu dapat mengenal perubahan yang terjadi, dapat mengambil
keputusan yang tepat untuk penanganan, melaksanakan pengobatan, dan
mengevaluasi terhadap tindakan yang telah dilakukan. Pasien Hipertensi mungkin
membutuhkan terapi obat untuk menurunkan tekanan darah (Riegel, Jaarson &
Stromberg, 2012).
Strategi kognitif koping, strategi kognitif mungkin bermanfaat untuk
menghilangkan tekanan, kecemasan berlebihan, menurunkan ketakutan, dan
meningkatkan relaksasi. Contohnya seperti beberapa strategi sebagai berikut :
imageri : pasien berkonsentrasi pada pengalaman yang menyenangkan atau
pemandangan yang tenang, Distraksi : pasien berpikir pada kisah yang
menyenangkan atau cerita syair atau lagu yang di sukai, berkata pada diri sendiri
dengan optimis : pasien membacakan pikiran dengan optimis (“Aku tahu semua akan
baik-baik saja”), terapi musik : pasien mendengarkan musik yang menenangkan
(mudah dikelola, tidak mahal, intervensi non invasif) (Smeltzer & Bare, 2010).
1. Relaksasi Sebagai Manajemen Kognitif Gejala
Tekhnik relaksasi dapat membantu dalam manajemen berbagai kondisi
kesehatan, termasuk cemas yang berhubungan dengan penyakit atau prosedur medis,
kesulitan tidur, nyeri persalinan, mual induksi kemoterapi, dan disfungsi join
tempomandibular. Terapi psikologi, yang mengandung teknik relaksasi, dapat
membantu memanajemen sakit kepala kronik dan tipe nyeri kronik lainnya pada
anak-anak dan dewasa. Teknik relaksasi secara umum aman untuk orang sehat,
walaupun ada beberapa laporan pengalaman kurang menyenangkan seperti
peningkatan cemas. Orang dengan gangguan fisik serius atau masalah kesehatan
mental harus mendiskusikan pelaksanaan teknik relaksasi dengan pemberi layanan
kesehatan. Teknik relaksasi merupakan keterampilan, dan keterampilan yang sama
lainnya, membutuhkan sebuah praktik. Orang yang sering menggunakan teknik
relaksasi memberikan manfaat yang baik untuk kesehatan. Secara rutin, frekuensi
praktik merupakan hal yang utama jika menggunakan tekhnik relaksasi untuk
membantu manajemen masalah kesehatan kronik. Penggunaan berkelanjutan sangat
efektif dibandingkan penggunaan jangka pendek.
Manfaat Relaksasi Bagi Hipertensi yaitu membantu mengelola stres. Stres
dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah jangka pendek, dan respons relaksasi
menunjukkan penurunan tekanan darah dalam jangka pendek, ini memungkinkan
seseorang membutuhkannya untuk pengobatan hipertensi. Stress dapat dicegah, tapi
pasien dapat menetralkan efek negatif dengan belajar bagaimana membangkitkan
respon relaksasi, keadaan istirahat yang tenang adalah respon sebaliknya dari stress.
Respon relaksasi membawa tubuh kembali dalam keseimbangan yaitu dengan :
menarik napas dalam, mengurangi hormon stress, menurunkan denyut jantung dan
tekanan darah dan merilekskan otot-otot tubuh. Sebagai tambahan untuk efek pada
tubuh, penelitian menunjukkan bahwa respon relaksasi juga meningkatkan energi dan
fokus, melawan penyakit, meredakan nyeri, meningkatkan kemampuan memecahkan
masalah dan meningkatkan motivasi dan produktivitas. Dari semuanya yang baik
adalah dengan sedikit latihan siapapun dapat mendapatkan manfaat yang banyak.

2. Nafas Dalam
Dengan fokus penuh, napas bersih, bernapas dalam sederhana namun kuat
teknik relaksasi. Mudah dipelajari, dapat dipraktekkan hampir di mana saja, dan
menyediakan cara cepat untuk mengecek tingkat stres bernapas adalah landasan
dari banyak praktik relaksasi lainnya, juga dapat dikombinasikan dengan elemen
santai lain seperti aromaterapi dan musik. Hal ini hanya memerlukan beberapa
menit dan tempat untuk berbaring. Kunci untuk bernapas dalam adalah bernapas
dalam dari perut, mendapatkan udara segar sebanyak mungkin dalam paru-paru.
Ketika mengambil napas dalam dari perut, bukan napas dangkal dari bagian atas
dada, menghirup lebih banyak oksigen. Semakin banyak oksigen yang
didapatkan, mengurangi ketegangan, sesak napas, dan cemas.

3. Relaksasi otot progresif untuk menghilangkan stress


Relaksasi otot progresif adalah strategi lain yang efektif dan banyak digunakan
untuk menghilangkan stres. Ini melibatkan dua langkah proses di mana ketika
kelompok otot yang berbeda sistematis tegang dan rileks dalam tubuh. Dengan
latihan teratur, relaksasi otot progresif memberi kebiasaan dengan ketegangan sebagai
relaksasi yang komplit yang terasa di berbagai bagian tubuh. Kesadaran ini
membantu melihat dan menangkal tanda-tanda pertama dari ketegangan otot yang
menyertai stres. Dan semua tubuh relaks, sehingga membuat pikiran menjadi tenang.
Dapat menggabungkan pernapasan dalam dengan relaksasi otot progresif sebagai
tambahan untuk menghilangkan tingkat stress.

4. Visualisasi (Imajinasi terbimbing/Guide Imagery)


Imajinasi terbimbing dapat digunakan untuk menghilangkan stress.
Visualisasi, atau citra dipandu adalah variasi pada meditasi tradisional yang dapat
membantu menghilangkan stres. Ketika digunakan sebagai teknik relaksasi, citra
dipandu melibatkan membayangkan sebuah adegan di mana seseorang merasa damai,
bebas untuk melepaskan semua ketegangan dan kecemasan. Pilih pengaturan apa pun
yang paling menenangkan untuk, apakah suasana tropis pantai, tempat masa kecil
favorit, atau lembah berhutan yang tenang. Pasien dapat melakukan latihan visualisasi
ini pada diri sendiri, dengan bantuan seorang terapis, atau menggunakan rekaman
audio (USDH & HSNC, 2016; FCS, 2016)
Penelitian tentang hasil dari program manajemen diri penyakit kronis terhadap status
kesehatan, perilaku sehat dan perawatan kesehatan didapatkan adanya peningkatan
manajemen kognitif gejala (Brady et al, 2013). Hasil penelitian yang menilai
efektifitas relaksasi audio pada lansia dengan hipertensi menunjukkan selama 4
minggu untuk menurunkan tekanan darah dan denyut jantung di dapatkan adanya
penurunan tekanan darah sistolik sebesar 3% dengan mean penurunan 5,1 mmHg.
Pada tekanan darah diastolik rata-rata penurunan 4,8% dengan mean penurunan 3,3
mmHg setelah intervensi. Latihan relaksasi dapat mendukung penurunan gejala
seperti stress, penurunan denyut jantung dan menurunkan tekanan darah (Tang,
Harms & Vezeau, 2008). Peran tenaga kesehatan adalah menyediakan banyak waktu
dan mendukung proses perawatan pasien hipertensi untuk meningkatkan efisiensi
perilaku manajemen diri. Kepercayaan diri yang rendah dapat menurunkan motivasi
pasien untuk mencoba atau memelihara perilaku manajemen diri (Balduino et al,
2013).

c. Diet Sehat
Perbedaan individu yang hidup di masa transisi ke modern akan diikuti
dengan perubahan perilaku dan berpengaruh pada kesehatan. Perilaku tersebut dapat
terlihat dari kebiasaan konsumsi makanan cepat saji (junk food) yang sarat dengan
resiko penyakit jantung dan pembuluh darah (Triwibowo & Pusphandani, 2015).
Intake sodium yang berlebihan responnya dianggap dalam menginisiasi hipertensi
pada beberapa pasien (Lewis, Heikemper & Shannon, 2000). Natrium dan kalsium
dapat berpengaruh pada tekanan darah. Natrium bersifat menahan air sehingga
menambah beban darah yang masuk ke jantung dan berakibat pada kenaikan tekanan
darah. Sedangkan kalsium bersifat menguatkan kerja jantung. Kalium dan
magnesium berpengaruh dalam membantu menurunkan tekanan darah. Kalium
bersifat mendorong keluar natrium yang berlebihan sehingga mengurangi beban
jantung dan menurunkan tekanan darah. Sementara magnesium mengurangi kekuatan
otot jantung (Hartono & Hartono, 2014). Diet yang saat ini dikembangkan dan
direkomendasikan oleh JNC untuk pasien hipertensi dikenal dengan DASH (Dietary
approaches to stop hypertension) (NIHNH, 2010). Prinsip diet DASH yaitu
menurunkan masukan sodium, kolesterol, lemak, dan gula dan meningkatkan
masukan buah-buahan, sayuran dan produk harian rendah lemak untuk membantu
manajemen hipertensi (Wahyuningsih, 2013). Selain diet DASH tersebut pasien
hipertensi dapat menurunkan tekanan darah dengan beralih dari diet kaya protein
hewani menjadi diet yang kaya akan protein nabati (Hartono & Hartono, 2014).
Hal-hal yang perlu diperhatikan di dalam pengaturan diet pada penderita
hipertensi adalah pertama, membatasi jumlah garam sesuai dengan kesehatan pasien
dan jenis makanan dalam daftar diet. Garam yang dikonsumsi yang dimaksud adalah
garam natrium yang terdapat dalam hampir semua bahan makanan yang berasal dari
hewan dan tumbuh-tumbuhan. Salah satu sumber utama garam natrium adalah garam
dapur. Oleh karena itu, dianjurkan konsumsi garam dapur tidak lebih dari ¼- ½
sendok teh/hari atau dapat menggunakan garam lain diluar natrium.
Anjuran diet sesuai dengan kandungan garam/natrium, yakni : Diet rendah
garam I (200-400 mg Na), untuk hipertensi berat, dengan edema, asites, pada
pengolahan masakannya tidak menambahkan garam dapur ; Diet rendah garam II
(600-800 mg Na), untuk hipertensi tidak terlalu berat, edema, asites, pada pengolahan
masakannya boleh ditambahkan ½ sdt garam dapur (2 gram); Diet rendah garam III
(1000-1200 mg Na) untuk hipertensi ringan, pada pengolahan masakannya boleh
ditambah dengan 1 sdt garam dapur (4 gram).
Kedua, menghindari atau membatasi makanan yang berkadar lemak jenuh
tinggi (otak, ginjal, paru, minyak kelapa, gajih), makanan yang diolah dengan
menggunakan garam natrium (biskuit, krackers, keripik dan makanan kering yang
asin), makanan dan minuman dalam kaleng (sarden, sosis, korned, sayuran serta
buah-buahan dalam kaleng, soft drink), makanan yang diawetkan (dendeng, asinan
sayur/buah, abon, ikan asin, pindang, udang kering, telur asin, selai kacang), susu full
cream, mentega, margarin, keju mayonnaise, serta sumber protein hewani yang tinggi
kolesterol seperti daging merah (sapi/kambing), kuning telur, kulit ayam), bumbu-
bumbu seperti kecap, maggi, terasi, saus tomat, saus sambal, tauco serta bumbu
penyedap lain yang pada umumnya mengandung garam natrium, serta minum
alkohol dan makanan yang mengandung alkohol seperti durian, tape. Konsumsi
kafein terutama yang didapat dari konsumsi kopi. Kafein memiliki pengaruh
meningkatkan tekanan darah dengan mengaktifkan sistem saraf simpatik yang
meningkatkan vasokontriksi (Uiterwaal et al, 2007).
Ketiga, meningkatkan pemasukan kalium. Konsumsi kalium dapat menurunkan
tekanan darah (bila asupan natrium tinggi), karena kalium berfungsi sebagai diuretik
(merangsang pengeluaran urin) sehingga pengeluaran natrium cairan meningkat serta
kalium menghambat pengeluaran renin sehingga mengubah sistem renin angiotensin.
Selain itu, pemberian kalium juga membantu untuk mengganti kehilangan kalium
akibat dari rendah natrium. Kandungan kalium dalam bahan makanan pada umumnya
dapat di temukan dalam buah-buahan dengan mengkonsumsi porsi ukuran sedang (50
gram) dari apel (159 mg kalium) jeruk (250 mg kalium), tomat (366 mg kalium),
pisang (451 mg kalium), kentang panggang (503 mg kalium) dan susu skim 1 gelas
(406 mg kalium). Meningkatkan magnesium. Magnesium berfungsi sebagai
vasodilator pada koroner dan arteri peripheral. Hipomagnesemia (keadaan rendah
magnesium) banyak terjadi pada hipertensi, sehingga membutuhkan dosis
antihipertensi lebih tinggi untuk mengontrol tekanan darah.
Hasil penelitian Appel, Brands, Daniels, Karanja, Elmer, Sacks, et al (2006) di
dapatkan bahwa diet DASH menurunkan tekanan darah sistolik sebesar 7,1 mmHg
pada orang yang tidak hipertensi dan 11,5 mmHg pada orang dengan hipertensi. Pola
diet DASH yaitu mengkonsumsi diet kaya buah dan sayuran (8-10 sajian/hari),
produk harian rendah lemak (2-3 sajian/hari), dan mengurangi lemak jenuh dan
kolesterol. Batasan garam yang di rekomendasikan yaitu 2400 mg/hari atau 6
gram/hari dan masukan kalium 4,7 gram/hari. Hasil penelitian Lau (2015) bertujuan
untuk menganalisa dampak pada individu, edukasi diet dengan penerapan budaya diet
DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension) selama 4 minggu pada perubahan
perilaku diet, pengetahuan tentang hipertensi, dan kepercayaan diri untuk manajemen
hipertensi pada orang Hispanik Amerika yang berbatasan dengan Mexico didapatkan
terjadi peningkatan pada skor median pada berat badan, tekanan darah sistolik dan
diastolik, REAP-S (untuk menilai masukan diet pada perawatan primer, yang
meliputi kemauan untuk mengubah kebiasaan diet) pada periode 2 minggu dan 4
minggu setelah intervensi pemberian edukasi pada pasien.

D. Tekanan Darah
Dalam pengukuran tekanan darah terdapat 2 (dua) istilah yang perlu diketahui
dalam menentukan hipertensi. Pertama, tekanan darah sistolik yaitu tekanan darah
yang terukur oleh alat tensimeter ketika jantung menguncup sehingga mencapai
angka tertinggi. Kedua, tekanan darah diastolik yaitu tekanan yang terukur saat
jantung mengembang sehingga angkanya terendah. Pada pasien hipertensi tekanan
darah dari hasil pengukuran dapat menunjukkan kenaikan tekanan darah sistolik di
atas 140 mmHg dan tekanan darah diastolik di atas 90 mmHg (Hartono & Hartono,
2014).
Tekanan darah arteri dapat diukur baik secara langsung maupun tidak
langsung. Metode langsung menggunakan insersi kateter arteri dan metode tidak
langsungpaling umum menggunakan sphigmomanometer dan stetoskop (Potter &
Perry, 2009). Pengukuran dilakukan pada posisi duduk di kursi setelah pasien
istirahat selama 5 menit, kaki dilantai dan lengan pada posisi setinggi jantung. Pada
saat pengukuran pasien dalam kondisi tenang dan tidak berbicara. Ukuran dan
peletakan manset (panjang 12-13 cm, lebar 35 cm untuk standar orang dewasa).
Pengukuran diulang satu kali, dengan sela antara 1-5 menit, pengukuran tambahan
dilakukan jika hasil kedua pengukuran sebelumnya sangat berbeda. Manset dipasang
melingkari lengan bagian atas (3 cm diatas lengan atas dan lebarnya minimal 40%
dari lingkar lengan) dengan kontrol manometer, dipompa hingga kira-kira 30 mmHg
sampai pulsasi radialis yang teraba menghilang. Kemudian stetoskop diletakkan
diatas arteri brakhialis pada lipat siku, disisi bawah manset, dan tekanan manset
kemudian diturunkan secara perlahan-lahan (2-4 mmHg/detik). Bunyi pertama yang
terdengar yang sinkron dengan nadi (bunyi ketukan yang jelas; fase 1 korotkoff
dinamakan tekanan darah sistolik). Secara normal bunyi ini awalnya lemah (fase 2)
sebelum menjadi lebih keras (fase 3), kemudian menjadi redup pada fase 4, dan
seluruhnya menghilang pada fase 5. Fase 5 ini disebut dinamakan tekanan darah
sistolik (CHEP 2005 dalam RNAO, 2009).

E. Hipertensi
Menurut JNC 8 (2015), Hipertensi (HTN) dikenal sebagai tekanan darah
tinggi yang mempengaruhi jutaan orang. Tekanan darah tinggi didefinisikan sebagai
tekanan darah pada ambang≥140 / 90 mmHg. Hipertensi juga dikenal sebagai tekanan
darah tinggi, yang didefinisikan sebagai meningkatnya tekanan darah arteri. Apabila
tekanan darah sistolik pada atau di atas 140 mmHg atau tekanan darah diastolik pada
atau di atas 90 mmHg menunjukkan Hipertensi (White, Duncan & Baumle, 2013).
Menurut HSA (2005) dalam RNAO (2009) Tekanan darah adalah pengukuran
tekanan atau kekuatan darah terhadap dinding pembuluh darah. Tekanan diukur
dalam milimeter air raksa (mmHg). Sedangkan Hipertensi atau tekanan darah tinggi
itu sendiri merupakan suatu kondisi medis di mana tekanan darah secara konsisten di
atas kisaran normal. Didefinisikan sebagai Hipertensi jika pernah didiagnosis
menderita hipertensi/penyakit tekanan darah tinggi oleh tenaga kesehatan
(dokter/perawat/bidan) atau belum pernah didiagnosis menderita hipertensi tetapi saat
diwawancara sedang minum obat medis untuk tekanan darah tinggi (minum obat
sendiri) (Riskesdas, 2013).
Hipertensi primer, idiopatik atau esensial adalah tekanan darah tinggi
persisten atau patologis yang tidak ditemukan penyebab spesifiknya. Sedangkan,
Hipertensi sekunder adalah Hipertensi yang disebabkan oleh penyakit lain. Sekitar 5
sampai 10% dari kasus tekanan darah tinggi disebabkan oleh masalah medis seperti
jantung atau penyakit ginjal, atau sebagai efek samping dari obat-obatan (HSA, 2005
dalam RNAO (2009). Hipertensi maligna cepat berkembang, elevasi tekanan darah
berat (diastolik 120 mmHg). Terdapat kerusakan arteriol dalam organ-organ penting.
Peradangan arteri di mata merupakan temuan penting. Hal ini paling umum
ditemukan pada laki-laki ras kulit hitam yang berusia lebih muda dari 40 tahun.
Penyebab lain hipertensi adalah penyakit ginjal yang mengganggu aliran darah ke
ginjal yang menyebabkan pengeluaran enzim yang disebut renin. renin yang
dihasilkan berinteraksi dengan plasma (White, Duncan & Baumle, 2013).
Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC 8 (2015)
TDS (mmHg) TDD (mmHg) Klasifikasi JNC 8
< 120 < 80 Normal
120-139 80-89 Pre Hipertensi
140-159 90-99 Hipertensi derajat I
> 160 >100 Hipertensi derajat II

Menurut JNC 8, (2015) Sebagian besar pasien dengan tekanan darah tinggi,
Penyebabnya tidak diketahui. Hipertensi diklasifikasikan sebagai Hipertensi primer
atau esensial. Sebagian kecil pasien memiliki penyebab spesifik dari tekanan darah
tinggi, yang diklasifikasikan sebagai Hipertensi sekunder. Lebih dari 90% pasien
dengan tekanan darah tinggi memiliki Hipertensi primer. Hipertensi Primer tidak
dapat disembuhkan, tetapi bisa dikendalikan dengan terapi yang tepat (termasuk
modifikasi gaya hidup dan obat). Faktor genetik mungkin memainkan peran penting
dalam pengembangan Hipertensi primer. Bentuk tekanan darah tinggi ini cenderung
berkembang secara bertahap selama bertahun-tahun. Kurang dari 10% pasien dengan
tekanan darah tinggi mengalami Hipertensi sekunder. Hipertensi sekunder disebabkan
oleh kondisi medis yang mendasari atau medikasi. Kontrol terhadap kondisi medis
yang mendasari atau menghilangkan penyebab medikasi, akan menurunkan tekanan
darah sehingga menghilangkan Hipertensi sekunder. Penyebab paling umum dari
Hipertensi sekunder dikaitkan dengan gangguan ginjal seperti penyakit ginjal kronis
(CKD) atau penyakit renovaskular. Bentuk tekanan darah tinggi ini cenderung
muncul secara tiba-tiba dan sering menyebabkan tekanan darah tinggi dari Hipertensi
primer.
Menurut JNC 8, (2015) Berbagai faktor meningkatkan risiko seseorang untuk
mengembangkan Hipertensi. Faktor risiko meliputi kondisi kesehatan, gaya hidup,
dan riwayat keluarga. Beberapa faktor risiko, seperti riwayat keluarga, usia, jenis
kelamin, ras dan obesitas tidak dapat dikendalikan. Namun, ada faktor-faktor risiko
seperti aktivitas fisik dan diet yang dapat dikendalikan untuk mengurangi
kemungkinan pasien mengembangkan Hipertensi. Menurut RNAO (2009) tentang
Manajemen keperawatan pada Hipertensi, faktor-faktor gaya hidup yang
mempengaruhi tekanan darah yaitu : Diet, Berat Badan, Latihan, Konsumsi Alkohol,
Merokok dan Stress.
Hipertensi dikenal sebagai "Silent Killer" karena biasanya tidak memiliki
tanda-tanda peringatan atau gejala, dan banyak orang tidak tahu bahwa mereka
memiliki Hipertensi. Bahkan ketika tingkat tekanan darah yang sangat tinggi,
kebanyakan orang tidak memiliki tanda-tanda atau gejala. Sejumlah kecil orang
mungkin mengalami gejala seperti sakit kepala, muntah, pusing, dan sering mimisan.
Gejala ini biasanya tidak terjadi sampai tingkat tekanan darah telah mencapai tahap
yang berat atau mengancam jiwa. Satu-satunya cara untuk mengetahui secara pasti
jika seseorang memiliki Hipertensi adalah memeriksakan tekanan darah ke dokter
atau perawatan kesehatan profesional lainnya (JNC 8, 2015).
Hipertensi merupakan faktor risiko yang sangat penting dalam pencegahan
kematian dini di seluruh dunia. Hal ini dikarenakan dapat meningkatkan risiko pada
penyakit Jantung dan stroke iskemik, penyakit vaskuler perifer, dan penyakit jantung
lainnya,seperti gagal jantung, anurisme aorta, aterosklerosis difus, penyakit ginjal
kronik dan emboli paru. Hipertensi juga merupakan faktor risiko terjadinya gangguan
kognitif dan demensia. Komplikasi lainnya seperti retinopati Hipertensi dan nefropati
Hipertensi (Smeltzer & Bare, 2010).
Modifikasi gaya hidup harus diterapkan pada semua pasien hipertensi antara
terapi definitif dan terapi tambahan. Modifikasi gaya hidup diarahkan untuk
menurunkan tekanan darah dan risiko penyakit jantung dan pembuluh darah.
Modifikasi gaya hidup seperti aktivitas fisik, diet garam, konsumsi alkohol dan
kafein, merokok dan stres. Modifikasi perilaku biasanya diteruskan sampai 1 tahun
sebelum terapi obat digunakan. Faktor-faktor yang mungkin mempercepat keputusan
terapi obat dini terkait hipertensi derajat 2 dan derajat 3. Adanya faktor risiko,
gangguan organ target, gangguan jantung klinis, atau gangguan serebrovaskular dan
diabetes (RNAO, 2009).

F. Konsep Teori rentang Menengah manajemen diri penyakit kronik (A Middle-Range


Theory of Self-Care of Chronic Illness)
Tidak ada definisi tunggal perilaku perawatan diri yang di setujui. Definisi
bervariasi yang diistilahkan sebagai siapa yang terlibat dalam perawatan diri
(individu, keluarga, masyarakat), apa petunjuk perilaku perawatan diri (praktik
meningkatkan kesehatan, mencegah sakit, membatasi dampak darisakit,
mengembalikan kesehatan), dan sejauhmana keterlibatan professional kesehatan).
WHO mendefinisikan perawatan diri sebagai suatu aktivitas individu, keluarga, dan
masyarakat melakukan tindakan dengan tujuan meningkatkan kesehatan, pencegahan
penyakit, membatasi, dan pemulihan kesehatan. Definisi lainnya, perawatan diri
merupakan terminologi perilaku individu meningkatkan fungsi personal kesehatan
dalam meningkatkan kesehatan dan mencegah atau mendeteksi dan mengobati
penyakit. Definisi lain perawatan diri yaitu kegiatan yang terkait untuk meningkatkan
kesehatan, mencegah penyakit, evaluasi gejala-gejala, dan mengembalikan kesehatan
dengan atau tanpa partisipasi seorang profesional kesehatan (Mcgowan, 2002).
Pemahaman teori yang baik terhadap tekhnik perubahan perilaku dapat
meningkatkan keberhasilan profesi kesehatan dalam menjelaskan perubahan
komunikasi pada pasien dan mengidentifikasi teknik dan strategi untuk membantu
orang mengadopsi gaya hidup sehat. Model teoritis memberikan dasar untuk memilih
intervensi keperawatan dalam mendukung perubahan perilaku untuk penyakit kronis
(Davies, 2011).
Model-model teori merupakan suatu dasar dalam mendukung intervensi-
intervensi keperawatan untuk mendukung perubahan perilaku pasien dengan penyakit
kronis. Salah satu kerangka teori yang dapat digunakan oleh Perawat untuk
memfasilitasi perubahan perilaku dan meningkatkan kepatuhan pasien Hipertensi
yaitu perawatan diri/manajemen diri (self-care/self-managemen) (RNAO, 2009).
Perawatan diri dianggap penting dalam pengelolaan penyakit kronis, namun
unsur perawatan diri belum ditentukan dalam teori kisaran tengah yang dapat
digunakan di berbagai kondisi kronis selama proses menjaga kesehatan. Teori defisit
perawatan diri (Self Care Defisit Nursing Theory (SCDNT)) adalah sebuah teori
keperawatan yang terdiri dari 3 teori dasar yang saling berhubungan yaitu: Theory of
Self Care, Theory of Self Care Deficit, Theory of Nursing System (Orem, 1980;1985
& Taylor, 2006 dalam Tomey & Alligood, 2006). Inti dari tiga teori ini adalah fungsi
manusia atau individu dalam mempertahankan hidup, kesehatan dan kesejahteraannya
dengan melakukan caring untuk diri sendiri.
Perbedaan utama antara teori besar Orem perawatan diri dengan teori
menengah perawatan diri dari penyakit kronis adalah bahwa teori Orem tidak terfokus
pada penyakit kronis seperti teori rentang menengah. Oleh karena itu berpijak dari
teori besar Orem tentang teori perawatan diri, diperlukan teori yang berfokus pada
perawatan diri pasien dengan penyakit kronik seperti Hipertensi. Fokus terutama pada
individu, sementara Orem meliputi aspek perawatan yang tergantung ketika orang
lain (agen perawatan diri) menginisiasi dan melakukan kegiatan untuk
mempertahankan hidup, kesehatan dan kesejahteraan. Tujuan teori rentang menengah
perawatan diri penyakit kronik (a middle range theory of self-care chronic disease)
adalah untuk menyusun perilaku dan proses yang digunakan oleh individu yang
berhubungan dengan diagnosis penyakit kronis dan perhatian yang diberikan kepada
perawat. Dalam hal ini melibatkan semua professional perawatan kesehatan dalam
berperan mempromosikan perawatan diri (Riegel, Jaarsma dan Stromberg, 2012).
Teori perawatan diri penyakit kronik dari Riegel, Jaarsma dan Stromberg
(2012) menyatakan bahwa aktifitas yang dilakukan dalam perawatan diri pasien
Hipertensi ini meliputi self care maintenance, self care monitoring dan self care
managemen. Perawat dapat membantu individu dengan menggunakan semua metode
ini untuk memberikan bantuan perawatan diri.

Skema Dimensi Perawatan Diri oleh Riegel, Jaarsma & Stromberg


(2012)
Dimensi perawatan diri menurut Riegel, Jaarsma dan Stromberg (2012)
dibagi menjadi 3 bagian yaitu :
1) Pemeliharaan perawatan diri (Self care maintenance), pemeliharaan perawatan
diri didefinisikan sebagai perilaku-perilaku yang digunakan oleh pasien untuk
menjaga stabilitas fisik dan emosional (Riegel et al, 2004). Ini meliputi terapi
pengobatan, diet rendah garam, aktifitas fisik yang teratur, memonitoring berat
badan setiap hari, berhenti merokok, dan menghindari alkohol.
2) Pemantauan perawatan diri (Self-care monitoring), adalah proses rutin,
pemantauan kewaspadaan terhadap tubuh, dan pengawasan. Pasien dengan
adanya suatu perubahan, mendeteksi adanya perubahan dan menanggapi
terhadap suatu perubahan. Seperti pemantauan tekanan darah agar tekanan darah
terkontrol dengan baik dan tidak terjadi Hipertensi. Pasien yang terampil dalam
pemantauan perawatan diri dapat menyampaikan informasi kepada seorang
profesional perawatan kesehatan yang akan memfasilitasi kemampuan penyedia
perawatan kesehatan untuk memberikan perawatan yang terbaik.
3) Manajemen perawatan diri (Self care management), yaitu mengevaluasi
perubahan tanda-tanda fisik, emosional dan gejala untuk menentukan tindakan
yang diperlukan dalam merespon ketika terjadi tanda-tanda dan gejala tersebut.
Perubahan ini mungkin karena sakit, pengobatan atau lingkungan. Pasien dengan
perawatan diri yang baik, dapat memahami perubahan, mampu secara mental
mensimulasikan pilihan dan memutuskan suatu tindakan. Jika respon diperlukan,
manajemen perawatan diri memerlukan pengobatan dan evaluasi terhadap
pengobatan. Pasien Hipertensi mungkin membutuhkan terapi obat untuk
menurunkan tekanan darah.
Proses yang mendasari perawatan diri adalah :
1. Pengambilan keputusan (decision making)
Manajemen gejala melibatkan pengambilan keputusan kognitif dalam
menanggapi tanda-tanda dan gejala-gejala. Pasien jarang menggunakan proses
pengambilan keputusan secara metodis dan rasional karena keputusan sering
dibuat dan di pilih berdasarkan situasi nyata sehingga pengambilan keputusan
bersifat ambigu, pilihan yang sering kabur dan cepat.
2. Refleksi
Refleksi atau perenungan terkait akuisisi pengetahuan yang keduanya penting
dalam perawatan diri.

Skema 2.2 Hubungan Pengambilan keputusan dengan refleksi dalam


perawatan diri

Penjelasan tentang gambar hubungan pengambilan keputusan dengan refleksi


dalam perawatan diri di paparkan bahwa perawatan diri mungkin cukup atau tidak
cukup, beralasan dan reflektif, atau otomatis dan tak berarti. Pada pasien dengan
pengetahuan yang kurang memadai menyebabkan perawatan diri kurang (kuadran kiri
bawah). Pada aktivitas melakukan perawatan diri tapi dengan cara tidak reflektif dan
tak berarti (kuadran kiri atas). Oleh karena itu pasien dengan pengetahuan yang tidak
memadai menjadi target dalam pemberian pendidikan agar pasien menjadi reflektif
dan bertujuan dalam kebutuhan perawatan diri. Pada pasien dengan refleksi yang
tinggi tapi secara aktif memilih untuk tidak terlibat dalam perawatan diri (kuadran
kanan bawah).
Pengetahuan dan pemahaman cukup tentang perawatan diri tapi setelah
refleksi dan menganalisa biaya atau keuntungan pribadi kemudian tidak melakukan
perawatan diri yang di sarankan. Ini disebut juga dengan pengambilan keputusan
beralasan, ketidakpatuhan yang cerdas, dan self regulation. Oleh karena itu motivasi
sangat penting untuk meningkatkan refleksi. Kombinasi yang ideal untuk orang
dengan penyakit kronis yaitu bertujuan, reflektif, perawatan diri cukup dan beralasan
(kuadran kanan atas). Dalam hal ini pengetahuan cukup tentang perawatan diri yang
diperlukan sesuai kondisi. Pasien melakukan perawatan diri dengan pikiran tentang
data yang dikumpulkan dan membuat keputusan yang baik tentang apa yang harus
dilakukan apabila terdapat tanda-tanda atau gejala yang tidak normal.
Untuk mencapai keadaan refleksi diperlukan pengetahuan yang cukup,
perawatan diri yang cukup, motivasi yang tinggi dan mendapatkan pendidikan dari
penyedia layanan kesehatan profesional dan keberhasilan dalam mendapatkan
informasi dan merenungkan pilihan. Hasil yang diharapkan dari perawatan diri yaitu
stabilitas penyakit, kesehatan, kesejahteraan dan kualitas hidup, peningkatan kontrol
selama sakit yang berlebihan dan penurunan kecemasan yang berhubungan dengan
penyakit, penurunan rawat inap, biaya rawatan dan kematian.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perawatan diri yaitu ;
D. Pengalaman dan keterampilan.
Pengalaman adalah salah satu kontributor yang kuat untuk pengembangan
keterampilan dalam perawatan diri. Pengalaman sebelumnya digunakan untuk dengan
cepat mengidentifikasi pola-pola yang memberikan isyarat yang relevan,
menyarankan hasil yang diharapkan terkait dengan tanggapan khusus, dan
mengarahkan ke tujuan dan tindakan yang wajar pada situasi tertentu.
Keterampilan dalam perawatan diri adalah penting dan pasien harus memiliki
kemampuan untuk merencanakan, menetapkan tujuan, dan membuat pengalaman
pengambilan keputusan. Dan juga kontributor untuk pengembangan keterampilan,
meskipun beberapa pasien dapat memiliki pengalaman bertahun-tahun dengan
penyakit tertentu dan tidak pernah mengembangkan keterampilan dalam perawatan
diri. Tantangan bagi para profesional perawatan kesehatan adalah mengidentifikasi
apa yang sudah di pelajari oleh pasien dari pengalaman, melihat apakah yang
diketahui adalah benar, dan memfasilitasi pengembangan keterampilan yang
diperlukan untuk kinerja perawatan diri.
E. Motivasi
Motivasi dapat didefinisikan sebagai kekuatan pendorong manusia untuk mencapai
tujuan mereka. Motivasi dikatakan intrinsik atau ekstrinsik. Motivasi intrinsik muncul
dari keinginan untuk belajar dan termasuk pemberian tugas yag menarik. Motivasi
intrinsik didorong oleh keinginan internal untuk melakukan tugas tertentu karena
memberikan kesenangan. Di sisi lain, motivasi ekstrinsik mengacu pada perubahan
perilaku karena itu mengarah pada hasil tertentu yang telah ditetapkan untuk beberapa
alasan (misalnya untuk meningkatkan kesehatan atau untuk menyenangkan orang
lain). Banyak perilaku perawatan diri dipicu dan didorong oleh motivator ekstrinsik,
paling tidak pada awalnya. Artinya, individu mungkin tidak termotivasi secara
internal untuk melakukan perilaku, tetapi persepsi orang lain yang signifikan
mengenai pentingnya melakukan perilaku dapat memotivasi perawatan diri.
F. Keyakinan budaya dan nilai-nilai
Kekuatan perawatan diri dipandang sangat penting dalam negara dan budaya
di mana kemerdekaan dihargai, namun dalam beberapa budaya perawatan diri tidak
penting.Dalam situasi ini, mungkin lebih penting untuk menunjukkan cinta dan
perhatian melalui perawatan ketika anggota keluarga sakit. Perilaku ini mungkin juga
relevan pada budaya di mana cita-cita kolektif mempengaruhi adopsi perubahan gaya
hidup. Hal ini terkadang saran perawatan diri mungkin bertentangan dengan
keyakinan budaya.
G. Kepercayaan
Perawatan diri sangat dipengaruhi oleh sikap dan keyakinan seperti self-
efficacy, didefinisikan sebagai keyakinan bahwa seseorang memiliki kemampuan
untuk melakukan tindakan tertentu dan bertahan dalam melakukan tindakan meskipun
terdapat hambatan. Namun kemudian didapatkan kesimpulan bahwa keyakinan bukan
merupakan bagian dari perawatan diri. Keyakinan dalam kemampuan untuk
melakukan perawatan diri penting dalam setiap tahap proses perawatan diri.
H. Kebiasaan
Kebiasaan atau rutinitas sehari-hari merupakan faktor penting yang
mempengaruhi perawatan diri. Beberapa pasien menggunakan untuk melakukan
perilaku perawatan diri tertentu dan perawatan diri menjadi bagian dari rutinitas
sehari-hari mereka. Untuk pasien lain, perawatan diri dapat dianggap sebagai
pekerjaan. Pasien yang sukses dalam perawatan diri bersedia untuk mengadopsi
perilaku yang dikenakan sampai perilaku ini berkembang menjadi kebiasaan.
I. Kemampuan Fungsional dan kognitif
Perawatan diri membutuhkan kemampuan fungsional untuk terlibat dalam
perilaku yang diperlukan. Masalah dengan pendengaran, penglihatan, ketangkasan
manual dan energi dapat membuat perawatan diri menjadi sulit. Selain itu, semakin
banyak pengetahuan menggambarkan bahwa penyakit kronis umumnya terkait
dengan defisit kognitif yang dapat membuat tantangan terutama dalam perawatan diri.
7) Dukungan dari Lainnya
Meskipun perawatan diri, menurut definisi, dilakukan oleh individu, akan naif
untuk menyarankan bahwa perawatan diri selalu dilakukan sendiri. Sebaliknya,
sebagian besar individu yang sakit kronis akan mengakui kontribusi yang penting
(komunikasi, pengambilan keputusan, dan timbal balik) dari keluarga dan teman-
teman adalah sebuah proses yang bersifat hati-hati ketika melibatkan dua orang
dewasa yang kompeten.
8) Akses ke perawatan
Perawatan diri sering dipengaruhi oleh beberapa penyedia layanan kesehatan
setelah mengakses sistem perawatan kesehatan untuk mendapatkan perawatan.
Namun, harus diakui bahwa sebagian besar dari mereka dengan akses ke penyedia
layanan kurang dalam sistem perawatan kesehatan yang terorganisir untuk berbagai
alasan (misal faktor ekonomi dan lokasi). Orang-orang ini mendapatkan bimbingan
dari para sesepuh desa, pekerja masyarakat, orang tua, tetangga, dan teman-teman.
Tetapi, tanpa akses ke penyedia layanan kesehatan yang terlatih, hasil yang terkait
dengan penyakit kronis biasanya buruk.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah yang melebihi >140 mmHg untuk
tekanan sistolik dan >90 mmHg untuk tekanan diastolik. Terdapat beberapa faktor
resiko yang menyebabkan hipertensi, usia, riwayat hipertensi dalam keluarga,
obesitas, nutrisi yang tidak seimbang, pola hidup yang tidak sehat dan jarang
berolahraga. Makanan secara langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap
kestabilan tekanan darah. Kandungan zat gizi seperti lemak dan natrium memiliki
kaitan yang erat dengan munculnya hipertensi (Julianti, 2005).
Manajemen diri adalah edukasi kelompok interdisiplin berbasis pada prinsip
pembelajaran orang dewasa, pengobatan individu dan teori manajemen kasus
(Barlow, Wright, Sheasby, Turner & Hainsworth, 2002). Salah satu program
edukasi manajemen diri hipertensi yaitu program manajemen diri penyakit kronis
yang merupakan edukasi berbasis komunitas. Manajemen diri ini efektif digunakan
dalam memodifikasi perilaku untuk meminimalkan hasil yang tidak diinginkan,
menyesuaikan kehidupan kerja dan sosial pasien untuk mengakomodasi gejala dan
keterbatasan fungsi dan berhubungan dengan konsekuensi emosional (Lorig et al,
2001).

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas maka diberikan saran sebagai berikut :
1. Bagi tenaga kesehatan diharapkan studi kasus ini dapat digunakan sebagai
tambahan informasi dalam mengembangkan program pada tenaga kesehatan
2. Bagi Masyarakat
Diharapkan dengan pemberian asuhan keperawatan keluarga dapat menambah
pengetahuan tentang penatalaksanaan pada masyarakat yang mengalami
hipertensi dan lebih meningkatkan lagi fungsi perawatan pada anggota keluarga
yang mengalami masalah kesehatan.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Diharapkan pada peneliti selanjutnya dapat memperoleh data yang lebih akurat
dalam proses pengkajian berkaitan dengan kurang pengetahuan pada
penatalaksanaan hipertensi pada keluarga.
DAFTAR PUSTAKA

Achjar, Komang Ayu Henny. 2010. Aplikasi Praktis Asuhan Keperawatan.


Keluarga Cetakan I. Jakarta : Sagung Seto.
Dalam teks: (Komang Ayu, 2010)
Ardiansyah, M. (2012). Medikal Bedah. Yogyakarta: DIVA Press
Dalam teks (Menurut Ardiansyah Medikal Bedah, 2012) Dinkes
Sulawesi Tenggara. 2015. Data Penyakit Tidak Menular
http://dinkes.sultraprov.go.id/download/648/Profil-Kesehatan-Prov.-
Sultra-Tahun-2013.pdf (Diakses tanggal 27 Maret 2018 Jam : 22.09
WITA)
Dalam teks (Dinkes Sultra, 2015)
Friedman, M. (2010). Buku Ajar Keperawatan keluarga : Riset, Teori, dan
Praktik. Edisi ke-5. Jakarta: EGC.
Dalam teks: (Friedman, 2010)
Julianti, E. D. Nurjanah, N., & Sutrisno U.S.S. (2005). Bebas Hipertensi Dengan
Terapi Jus. Jakarta: Puspa Sehat.
Dalam teks: (Julianti, 2005)
Kumala, M. (2014). Peran Diet dalam Pencegahan dan Terapi Hipertensi.
Jurnal of Medicine, 13(1), 50-51.
Dalam teks: (Kumala, 2014).
Nanda Internasional. (2015). Diagnosis Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi
2015-2017. Edisi ke-10. Jakarta: ECG.
Dalam teks: (NANDA, 2015)
Nursalam. (2011). “Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan. Jakarta :Salemba Medika.
Dalam teks (Nursalam, 2011)
Padila. (2012). Buku Ajar : Keperawatan Keluarga Dilengkapi Aplikasi Kasus Askep
Keluarga Terapi Herbal dan Terapi Modalitas.
Yogyakarta : Nuha Medika. Dalam teks (Padila, 2012)
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). 2013.
http://www.depkes.go.id/resources/download/Hasil%20Riskesdas%20203 2.pdf
(Diakses tanggal 26 Maret 2018 Jam: 20.00 WITA)
Dalam teks (Riskesdas, 2013)
Sudiharto. 2012. Asuhan Keperawatan Keluarga dengan Pendekatan
Keperawatan Transkultural. Jakarta : ECG
Dalam teks (Sudiharto,2012)
Suyanto. 2011. Metodologi dan Aplikasi Penelitian Keperawatan. Yogyakarta :
Nuha Medika
Dalam teks (Suyanto, 2011)
Sigarlaki, J O Herke, 2006. “Karakteristik dan Faktor Berhubungan dengan
Hipertensi di Desa Bocor Kecamatan Bulus Pesantren Kabupaten
Kebumen Jawa Tengah Tahun 2006” Makara, Kesehatan, Vol. 10,
No. 2, Desember 2006: 78-88
http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/2/dae6346e11a1e3d537b444784
63070f1a36a9cd1.pdf (Dikses pada Tanggal 29 Maret 2018 Jam : 21.00
WITA)
Suoth Meylin, dkk. (2014). “Hubungan Gaya Hidup dengan Kejadian Hipertensi
di Puskesmas Kolongan Kecamatan Kalawat Kabupaten Minahasa Utara”.
ejournal keperawatan (e-Kp) Volume 2. Nomor 1.
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jkp/article/download/4055/3571(Di akses
Tanggal 29 Maret Jam: 21.00 WITA).
Dalam teks (Suoth Meylin dkk, 2014)
Udjianti, Wajan Juni. (2011). Keperawatan Kardiovaskular. Jakarta: Salemba
Medika.
Dalam teks: (Wajan Juni, 2011)
TUGAS INDIVIDU

Disusun Untuk Memenuhi Mata Kuliah Elektif : Kronis


Dosen Pengampu Dr. Sudirman, MN

Disusun Oleh :

Dwi Nopita Sari


P1337420818030

Program Studi Magister Terapan Keperawatan


Program Pascasarjana Magister Terapan Kesehatan
Semarang
2020

Anda mungkin juga menyukai