Anda di halaman 1dari 10

Kekurangan dan kelebihan penyuluhan di internet

Di era yang kontemporer atau saat ini dimana berbagai macam teknologi-teknologi ataupun
berbagai media-media di ciptakan dan teknologi yang paling banyak digunakan saat ini adalah
media internet. Teknologi Internet merupakan salah satu terobosan peradaban yang
menghadirkan media baru dalam penyebaran informasi dan pengetahuan.

Perkembangan teknologi internet ini dapat di manfaat sebagai sarana dakwah, sebagai media
yang dapat memperluas jangkauan dakwah dari satu tempat ketempat yang lain bahkan
mungkin bisa mencakup seluruh dunia, metode dakwah dengan memanfaatkan teknologi
internet dapat mempercepat keberhasilan dakwah islam.

Di dalam media internet ada berbagai macam media-media yang dapat dimanfaatkan sebagai
media dakwah seperti facebook, twitter, youtube, instagram dan masih banyak lagi media-
media lainnya yang dapat dimanfaatkan sebagai media dakwah tergantung dari bagaimana
memanfaatkan media-media tersebut.

Penggunaan Internet untuk berdakwah merupakan perwujudan integrasi antara Islam dengan
teknologi informasi Apabila dakwah berhasil diterapkan, maka seluruh lapisan dunia akan
mengetahui bagaimana ajaran Islam yang sesungguhnya, Selain itu konsep dakwah juga
merupakan salah satu kebangkitan umat Islam di bidang teknologi yang pada gilirannya akan
berimbas pada sektor-sektor lain.

Teknologi internet dalam pemanfaatan sebagai sarana dakwah memiliki keunggulan yang sangat
bagus, antara lain :

Pertama, dengan adanya media internet maka para pengunaanya yang sering mengunakannya
dapat mencari sesuatu misalnya mencari tentang sejarah dakwah guna untuk menambah
wawasan ilmu tentang dakwah islam.

Kedua, dapat mencari berita-berita terbaru seputar dunia islam.

Ketiga, dipergunakan atau menjadi penunjang dalam berlansungnya pesan dari komunikan
(da’i) kepada kalayak.
Teknologi internet dalam pemanfaatan media dakwah masih memiliki kekurangan dalam
menunjang dakwah islam, antara lain :

Pertama, akses masih terbatas hanya bagi orang-orang yang sudah mengetahui tentang
internet.

Kedua, dakwah yang dilakukan entah itu melalui tulisan atau lisan misalnya facebook dapat
dimanfaatkan sebagai media dakwah dengan mengunakan metode tulisan, masih terbatas
tergantung seberapa banyak orang yang menanggapi dakwah kita.

Ketiga, dakwah yang dilakukan di media internet masih terbatas hanya bagi kalangan tertentu
saja.

Keempat, sarana-sarana dakwah yang ada di internet meskipun sudah sangat banyak tapi masih
sedikit yang memanfaatkan sarana tersebut.

Dengan adanya media internet, dapat memperlancar dan mempercepat jalannya dakwah dan
bisa membangun ukhuwah islamiyah.

Etika Penyuluhan Agama di Internet Perspektif UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang


Informasi dan Transaksi Elektronik dan Al Quran

Etika merupakan ilmu yang menetapkan ukuran atau kaidah yang mendasari pemberian
tanggapan atau penilaian terhadap perbuatan manusia. Kaidah atau norma adalah nilai yang
mengatur dan memberikan pedoman atau patokan tertentu bagi setiap orang atau masyarakat
untuk berperilaku sesuai dengan peraturan yang telah disepakati. Kaidah atau norma biasanya
berisi tentang perintah yang merupakan keharusan bagi seseorang untuk berbuat sesuatu
karena akibatnya dipandang baik, Kaidah atau norma juga biasanya berisi tentang larangan yang
merupakan keharusan bagi seseorang untuk tidak berbuat sesuatu karena akibatnya dipandang
tidak baik (Mufid, 2010).

Seperti dikemukakan Crabtree (2015) internet memiliki sisi buruk bagi agama, yakni potensi
kekeliruan memeperoleh informasi atau keliru memaknai informasi. Kaitannya dengan hal ini
masih menurut Crabtree, pada beberapa Negara yang memiliki relasi kuat dengan agama
cenderung melakukan pembatasan dalam pengelolaan dan penyebaran informasi di internet,
termasuk agama. Indonesia sebagai negara yang mengakui agama menjadi salah satu negara
yang melakukan hal ini. Terbitnya Undang-undang ITE menjadi salah satu tanda aktifnya negara
melalui pemerintah dalam mengambil peran “penertiban” informasi di jagat maya.
Lain dari itu, akhir-akhir ini negara juga aktif melakukan pembatasan pada situs-situs keagamaan
yang disinyalir menebarkan permusuhan yang dikhawatirkan akan memicu konflik terbuka dan
merusak harmoni negara. Akibat dari langkah ini beberapa situs harus “ditutup” atas
rekomendasi karakteristik dari BNPT.
Beberapa prinsip umum yang dapat ditarik berdasarkan muatan dalam Undang-undang ITE ini
adalah:
1. Isi penyuluhan agama dalam internet tidak melanggar atau mengandung muatan yang
berpotensi melanggar peraturan perundang-undangan terkait konten dan tindakan kriminalitas.
Penjelasan atas perinsip ini dapat kita lihat dalam BAB VII pasal 27 ayat 1 dan 2 sebagai berikut:
(1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
(2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan perjudian.
Sesungguhnya, pesan yang kuat dalam kutipan pasal diatas relevan dengan hakikat dakwah atau
penyuluhan agama itu sendiri, yaitu berupaya meningkatkan kualitas keberagamaan sasaran.
Bukan hanya hukum-hukum positif yang dibangun oleh negara, agamapun secara terang
melarang melakukan tindakan yang asusila dan penyakit masyarakat seperti perjudian dimaksud.
Maka, prinsip ini berlaku umum dan menjadi salah satu kaidah dasar yang harus diperhatikan
seorang penyuluh dalam kegiatan penyuluhannya di internet.
2. Isi kegiatan penyuluhan di internet tidak menimbulkan kerugian bagi pihak lain baik bersifat
materil maupun non materil.
Penjelasan atas perinsip ini dapat kita lihat dalam BAB VII pasal 27 ayat 3 dan 4 sebagai berikut:
(1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
(2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.
3. Isi penyuluhan agama di internet bukanlah suatu kebohongan.
Prinsip ini berdasarkan BAB VII pasal 28 ayat 1 yang berbunyi: “(1) Setiap orang dengan
sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan
kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.”
Kebohongan dimaksud tidak selalu memang perbuatan yang disengaja oleh penyuluh agama,
namun dapat juga dalam tindakan menyebarkan kembali “berita” dari pihak lain tanpa terlebih
dahulu melakukan pengujian mengenai kebenaran berita tersebut. Hanya karena merasa sesuai
dengan sikap kebenaran yang dianut seorang penyuluh agama, kemudian ia melakukan copy dan
share sebagai upaya menyebarkan informasi karena dianggap penting dan baik.
Dewasa ini internet menjadi salah satu media yang sangat mudah untuk dapat menemukan
informasi apapun. Karena itu pula maka tidak menutup kemungkinan diantara jutaan informasi
yang tersimpan dan beredar dinternet banyak pula berisi kepalsuan atau disebut juga hoax, yaitu
berita sampah. Fenomena ini dalam pandangan Hjarvard (2012) disebut dengan Banal Religion,
yaitu manipulasi media terhadap pengguna seolah-olah pemberi informasi adalah pihak resmi
dari organisasi atau tokoh agama.
4. Isi penyuluhan agama yang dilakukan hendaknya tidak mermuatan atau berpotensi
menimbulkan kebencian salah satu pihak kepada pihak lain.
Prinsip ini berdasarkan pada BAB VII pasal 28 ayat 2, yang kutipannya sebagai berikut: “(2)
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk
menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu
berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).”
Prinsip ini berkenaan dengan larangan bersikap ghuluw dengan klaim kebenaran yang diyakini
oleh penyuluh agama. Bahwa setiap kita memiliki standar kebenaran adalah keniscayaan. Namun
apabila standar tersebut dijadikan untuk mengukur kebenaran pihak lain dan dilakukan dengan
cara-cara yang menimbulkan atau memprovokasi untuk membenci pihak lain yang standar
kebenarannya berbeda dengan kita, hal tersebut tidak diperkenankan.
Pergaulan di dunia maya pada dasarnya merupakan copy dari pergaulan di dunia nyata. Maka
sikap-sikap tertentu yang data muncul di dunia nyata tentu dapat juga muncul di dunia maya.
Salah satu sikap yang rentan hadir adalah stereotif dan intoleransi kepada pihak lain yang
didorong oleh sikap radikal dalam pemaknaan kebenaran sepihak. Salah satu bahaya laten yang
dapat timbul dari sikap ini di internet adalah pembacaan dan pemaknaan tunggal oleh pembaca
atau sasaran penyuluhan tanpa ada kesempatan untuk melakukan tabayyun. Sehingga maksud
“baik” pun berpotensi melahirkan pemaknaan sebaliknya apabila tidak hati-hati dalam
memahami prinsip keempat ini.
5. Isi penyuluhan agama di internet tidak bermuatan ancaman atau intimidasi personal kepada
pihak lain.
Prinsip ini berdasarkan muatan BAB VII pasal 29 yang kutipannya sebagai berikut: “Setiap
orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.”
6 .Penyuluhan yang dilakukan tidak dilakukan dengan meretas akun milik orang lain.
Prinsip ini berdasarkan muatan subtantif BAB VII pasal 30, yang kutipannya sebagai berikut:
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau
Sistem Elektronik milik orang lain dengan cara apa pun.
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau
Sistem Elektronik dengan cara apapun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik.
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau
Sistem Elektronik dengan cara apapun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol
sistem pengamanan.
7. Kegiatan penyuluhan tidak berdasarkan hasil pelanggaran konten atau penyebaran rahasia
pribadi orang atau kelompok lain.

Model Penyuluhan Agama di Internet


Penyuluh agama kini dapat berinteraksi dengan jemaahnya tidak hanya melalui media
konvensional seperti kelompok pengajian atau bentuk lainnya yang mensyaratkan adanya tatap
muka secara real pada suatu waktu dan tempat yang sama. Aktivitas tersebut seiring dengan
perkembangan teknologi komunikasi dapat dilakukan dengan pola berbeda dengan
memanfaatkan jaringan internet misalnya. Ini adalah salah satu bentuk cyberculture dalam nuansa
keagamaan atau cyberreligion. Aktivitas ini dalam konteks cyberculture tentu saja bukan pengganti
mutlak dengan meninggalkan aktivitas dalam dunia real (Fakhruroji (2011) melainkan sebagai
salah satu varian budaya yang dibentuk dari kemajuan teknologi komunikasi saja.

Budaya siber atau cyberculture beranjak dari fenomena yang muncul di ruang siber serta media
siber. Budaya pada dasarnya merupakan nilai-nilai yang muncul dari proses interaksi antar
individu, dalam konteks ini yaitu pengalaman individu dan atau antar individu dalam
menggunakan serta terkait dengan media. Nilai-nilai ini diakui, baik secara langsung maupun
tidak, seiring dengan waktu yang dilalui dalam interaksi tersebut (Nasrullah, 2014) .
Karakteristik dunia virtual dapat menghasilkan efek dalam kehidupan ketika berhubungan
dengan cyberspace. Konsep yang dilontarkan oleh Christine Hine (2000) menyatakan bahwa
cyberspace atau ruang siber bisa didekati dalam ‘culture’ dan ‘cultural artefact’. Sebagai suatu
budaya, pada mulanya internet adalah model komunikasi yang sederhana bila dibandingkan
dengan model komunikasi secara langsung atau face to face. Hal ini terjadi karena generasi
internet digunakan untuk pesan-pesan menggunakan teks atau simbol dalam bentuk tulisan atau
emotikon dan secara langsung dapat dipahami oleh kedua belah pihak. Dunia maya (cyber)
membuat sebuah budaya (cyberculture) di masyarakat modern. Kemajuan sebuah teknologi
dimanfaatkan membantu interaksi antara manusia dengan manusia yang lain. Menurut Levy
2001, dalam buku Cyberculture, Electronic Mediations, cyberculture is "that set of technologies
(material and intellectual), practies, attitudes, modes of thought, and values that develop along
with the growth of cyberspace." Budaya cyber, dimaknai sebagai budaya yang lahir dalam
praktek interaksi manusia dengan internet yang didalamnya mengembangkan teknologi maya,
seperti forum, newsgroup dan chats. Dunia maya (cyber) memiliki karakteristik tersendiri, yang
menampilkan cara interaksi di dalam masyarakat modern. Cara hidup yang berbeda, namun tetap
pada tataran interaksi antara manusia dan manusia.

Cyberculture atau budaya internet adalah budaya yang telah muncul, atau muncul dari
penggunaan jaringan komputer untuk komunikasi, hiburan dan bisnis. Budaya internet atau
cybercuture merupakan studi tentang fenomena sosial yang terkait dengan internet dan bentuk-
bentuk lain dari komunikasi jaringan, seperti komunitas online, game multi-player online,
jejaring sosial, pemanfaatan komputer dan aplikasi mobile internet. Mencakup masalah-masalah
yang berkaitan dengan identitas, privasi dan pembentukan jaringan. Cyberculture menyangkut
hubungan antar manusia, komputer dan kepribadian yang dilakukan di dunia maya. Cyberculture
merupakan gerakan sosial dan budaya yang terkait erat dengan teknologi informasi dan
telekomunikasi. Cyberculture mulai berkembang antara tahun 1960 dan 1990. Perkembangan
cyberculture dipengaruhi oleh pemanfaatan teknologi komunikasi berbasis internet atau lebih
dikenal dengan information, communication, and technology (ICT).

Cuplikan yang disampaikan Dr Moch Facrurroji MSi (Dosen FIDKOM UIN SGD Bandung),
saat menjadi narasumber pada stadium general yang diadakan S2 Komunikasi dan Penyiaran
Islam (KPI), Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FIDKOM) UIN Jakarta.\
Menurutnya, atas kenyataan ini pada akhirnya melahirkan cyber religion sebagai bagian dari sub
sistem dari cyber space yang merefleksikan fitur-fitur utama dari cyber culture.
“Merujuk Hojsgaard dan Warburg yang berpendapat bahwa ada tiga konsep pembeda
mengenai agama dalam konteks cyber space, yaitu :
Adanya komunikasi virtual yang menggantikan komunikasi yang bersifat nyata (mediation).
Dalam situasi ini tidak dibutuhkan lagi institusi keagamaan yang bersifat lengkap (formal).
Refleksi dari cyberculture menggantikan refleksi dari tradisi keagamaan (content).

Dalam acara yang mengusung tema Cyber Religion: Tantangan Dakwah Digital di Era Virtual
Online tersebut, dijelaskan pula bahwa Cyber religion yang menggambarkan pola keagamaan
dan kultural dalam masyarakat kontemporer secara luas pada akhirnya akan menggambarkan
proses virtualisasi agama dan kebudayaan. Selain itu, mengintensifkan pendekatan sains, seni,
dan agama atas kehidupan, serta menggambarkan pertarungan kekuatan sekularisasi versus
counter sekularisasi.

Cyber religion adalah sebuah gerakan keagamaan yang tidak dapat dilepaskan dari pemanfaatan
dari inovasi perkembangan teknologi internet. Hampir semua gerakan keagamaan berhubungan
dengan penggunaan media baru yang menurut Dawson dan Cowan, di situasi ini telah
“mengubah” wajah agama sebagaimana internet juga juga telah mengubah kehidupan sosial
masyarakat.
Ada tiga cirinya itu menurut Braser, komunikasi virtual, mengabaikan institusi formal
keagamaan, dan refleksi kultur siber yang bersifat praktis. Seperti beragam aktifitas dakwah yang
meliputi kegiatan tabligh (penerangan dan penyebaran), irsyad (bimbingan dan penyuluhan),
tadbir (pemberdayaan manajemen organisasi), dan tathwir/tamkin (pemberdayaan ekonomi dan
kehidupan), dengan menggunakan internet lebih mudah disampaikan.

Pola dan pendekatan baru itu membuat Islam menjadi shālih li kulli zamān wa makān ( selalu up
to date ). Seperti kepraktisan dakwah digital yang memanfaatkan media virtual online ini dapat
dilihat dari berbagai sisi.
Pola komunikasinya dari yang selama ini bersifat nyata berubah menjadi komunikasi yang
bersifat virtual.

Dakwah digital mengandaikansebagai akibat langsung dari cyberreligion, ia mengabaikan


institusi (organisasi) keagamaan yang bersifat komplit karena setiap orang dapat mengakses
langsung ke sumber yang ingin diketahui/dipelajari.
Dakwah digital sebagai bagian dari perkembangan cyber religion juga mengandaikan adanya
perubahan budaya dari rekfleksi tradisi keagamaan yang bersifat kompleks menjadi refleksi
kultur siber yang bersifat praktis. Sosok fisik seorang guru spiritual seperti ulama, pastur, biksu
dan sebagainya sebagai tempat bertanya berbagai permasalahan keagamaan menjadi terabaikan.
Orang dapat mengakses internet terhadap berbagai pertanyaan dan permasalahan keagamaan
dalam waktu singkat dan cepat. Sehingga dakwah digital sebagai bagian dari perkembangan
cyber religion pada akhirnya menembus kenyataan ruang dan waktu.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya itu, bersifat virtual pada akhirnya mengganti aktifitas
konvensional yang mengharuskan orang untuk bertemu face to face. Dengan demikian, dalam
perkembangan cyber religion di mana aktifitas dakwah online lewat media virtual adalah bagian
yang tidak dapat dilepaskan darinya menjadi tantangan tersendiri bagi aktifitas dakwah.
Cyberreligion memiliki dua bentuk yang berkembang, religion online dan online religion. Religion
online ini sejalan dengan hasil penelitian bahwa 64 responden menggunakan internet dengan
tujuan informasi keagamaan, CRM (2004). Survei ini dikuatkan oleh penelitian Dawson dan
Cowan (2004) yang dikutip Fakhruroji (2011) yang menunjukkan bahwa 25% pengguna
internet mencari informasi agama dibanding mencari informasi perbankan atau untuk kencan.

Fasilitas cyberspace yang paling mudah diakses saat ini antara lain media sosial. Bisa saja aplikasi
facebook atau tweeter. Patut diduga bahwa saat ini pengguna dua aplikasi media sosial tersebut
sudah merambah bukan hanya mereka yang menggunakannya untuk alasan pertemanan atau
ekonomi namun juga dalam rangka penyebaran informasi tertentu termasuk agama dengan
membuat halaman atau sengaja memokuskan diri dalam membuat “status”nya untuk keperluan
penyebaran informasi keagamaan. Disamping itu, situs yang mudah dibuat dan dikembangkan
adalah berupa personal web atau blog. Untuk fasilitas ini mungkin masih sedikit diantara
penyuluh yang mulai mengembangkan dan memanfaatkannya untuk tujuan keagamaan. Namun
bagi kelompok keagamaan tertentu blog sangat bermanfaat untuk menunjukkan eksistensinya
dalam penyebaran informasi keagamaan sesuai dengan haluan pemikiran organisasi mereka.

Di era sosial media seperti saat ini, pola komunikasi masyarakat mengalami perubahan yang
signifikan, dan internet menjadi referensi yang tidak bisa dilepaskan oleh masyarakat dalam
memperoleh informasi. Pria kelahiran Sragen, 3 Desember 1978 ini berharap aplikasi “Mimbar
Penyuluh” dapat diunduh oleh masyarakat guna mendapatkan informasi yang lebih cepat dan
akurat tentang Agama Islam.

Kegiatan online religion yang dapat dilakukan juga misalnya melakukan live video streaming.
Kegiatan rutin dalam penyuluhan kemudian diperluas jangkauannya secara online dengan video
streaming. Sehingga kegiatan yang semula ada pada certain place mampu menjangkau space yang lebih
luas, tentu dengan syarat adanya jaringan internet. Youtube juga dapat dimanfaatkan untuk
menampilkan kegiatan terrekam agar dapat dijangkau oleh publik jagat maya. Aktifitas
penyuluhan terekam kemudian disampaikan pada account youtube sehingga memungkin untuk
dilakukan re-play dan menjadikan jamaah yang tidak sempat mengikuti kegiatan tersebut dapat
mengaksesnya dilain waktu.
Sumber :

Rulli Nasrullah, Teori dan Riset Media Siber (Cybermedia) (Jakarta: Kencana, 2014), h.139

Subdit, Bimbingan dan Penyuluh Agama Islam dari masa kemasa.2013.

https://www.researchgate.net/publication/306789520_MODEL_DAN_ETIKA_PENYULUHAN_AGAMA_DI
_INTERNET.

Fakhruroji, Moch. (2011) Islam Digital Ekspresi Islam Di Internet. Bandung. Sajjad Publishing.

Bertens, karl. (2005) Etika. Jakarta : Gramedia Pustaka

Anda mungkin juga menyukai