“Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji, dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan
persoalannya”
Pramoedya Ananta Toer
Dunia sedang getir dalam keadaan yang eletsir. Pradigma pradigma menciptakan bahwa
segala hal di dunia ini layaknya harus di selesaikan secara rapi dan hati hati. Tapi nyatanya
realita tidak semudah itu untuk mengiyakan segala hal yang sudah ditetapkan dan menjadi
kesepakatan. Berbagai sudut pandang dan persepsi menciptakan bahwa tidak ada yang benar dan
tidak ada yang salah tetapi kebenaran memanglah harus ditegakkan sebagaimana mestinya.
Karena dunia sudah semakin kacau jikalau tidak ada pemimpin yang akan menjadi tangan kanan
dari suara rakyatnya, menjadi wadah bagi air mata rakyatnya.
Berbagai persoalan menjadi momok di setiap pergantian jabatan dan kekuasaan. Semua
harus siap dengan berbagai aspek yang menunjang. Seolah olah rakyat Indonesia harus patuh
atas segala peraturan dan segala ketetapan yang sudah ditetapkan. Tapi perlahan tanpa sadar
mereka telah diperkosa atas kebijakan yang seolah olah dipikirkan dengan satu kepala. Hingga
saatnya tidak ada kata ‘iya’ dalam sebuah keputusan yang telah ditetapkan. Maka dengan tanpa
sadar rakyat Indonesia sudah begerak untuk menolaknya. Tidak dapat dihiraukan semua elemen
yang ikut tergabung ikut turun ke jalan sambil membawa niat dan perlengkapan seadanya namun
dengan tekat yang utuh untuk menolak hal itu semua khususnya perihal korupsi yang telah
menggerogoti nasib bangsa. Tidak dapat dihiraukan juga mereka yang turun ke jalan adalah yang
siap merelakan wakt, tenaga dan jerih payahnya atas hal ini semua. Reformasi dikorupsi,
katanya. Jika memang mereka turun ke jalan untuk sebuah kebenaran yang harus ditegakkan,
mereka akan siap berjuang dan bersentuhan dengan aspal jalanan. Teringat cuplikan puisi Ws
Rendra yang berjudul sajak tangan sangat dapat menggambarkan jelas kondisi bangsa saat ini.