Anda di halaman 1dari 47

KESEHATAN PENYELAMAN DAN HIPERBARIK

“ASUHAN KEPERAWATAN OKSIGEN HIPERBARIK PADA PASIEN DENGAN


DIAGNOSA MEDIS BAROTRAUMA”

LEMBAR TUGAS KELOMPOK

Dosen Fasilitator:
Nur Chabibah, S.Si., M.Si.

Oleh Kelompok 4

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH SURABAYA
TAHUN 2018
1

KESEHATAN PENYELAMAN DAN HIPERBARIK

“ASUHAN KEPERAWATAN OKSIGEN HIPERBARIK PADA PASIEN


DENGAN DIAGNOSA MEDIS BAROTRAUMA”

Disusun untuk memenuhi penilaian Tugas Mata Kuliah Kesehatan


Penyelaman dan Hiperbarik

Nama Kelompok :
1. Asih Rohani NIM. 1711005
2. Edy Ernawan NIM. 1711011
3. Ratna Dewi Wulansari NIM. 1711026
4. Siti Fatmawati NIM. 1711029
5. Siti Harri S. NIM. 1711030
6. Siti Winarni NIM. 1711031
7. Raden M. Arifin NIM. 1711044
8. Ari Sunarti NIM. 1711046

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH SURABAYA
TAHUN 2018
2

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmad dan hidayah-
Nya pada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah kelompok
kesehatan penyelaman dan hiperbarik ini sesuai dengan waktu yang telah
ditentukannya.

Penulis menyadari bahwa keberhasilan dan kelancaran karya tulis bukan


hanya karena kemampuan penulis tetapi banyak ditentukan oleh bantuan dari
berbagai pihak, yang telah dengan ikhlas membantu penulis demi terselesaikannya
penulisan, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan
terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada ibu Nur Chabiba,
S.Si., M.Si yang telah membantu memberikan masukan untuk tugas makalah ini.

Selanjutnya, penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak


kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu saran dan kritik
yang konstruktif senantiasa penulis harapkan. Akhirnya penulis berharap, semoga
karya tulis ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi siapa saja yang membaca
terutama bagi Civitas Stikes Hang Tuah Surabaya.

Surabaya, 13 Desember 2018

Penulis

ii
3

DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 2
1.3 Tujuan..................................................................................................... 3
1.3.1 Tujuan Umum....................................................................................... 3
1.3.2 Tujuan Khusus...................................................................................... 3
1.4 Manfaat Penulisan................................................................................. 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Konsep Barotrauma................................................................................ 4
2.1.1 Definisi Barotrauma.............................................................................. 4
2.1.2 Klasifikasi............................................................................................. 5
2.1.3 Etiologi.................................................................................................. 5
2.1.4 Patofisiologi.......................................................................................... 6
2.1.5 Manifestasi Klinis.................................................................................10
2.1.6 Komplikasi............................................................................................10
2.1.7 Pemeriksaan Penunjang........................................................................11
2.1.8 Penatalaksanaan....................................................................................11
2.2 Konsep Terapi Oksigen Hiperbarik..............................................................12
2.2.1 Definisi Terapi Oksigen Hiperbarik.......................................................12
2.2.2 Manfaat Terapi Oksigen Hiperbarik.......................................................12
2.2.3 Indikasi Terapi Oksigen Hiperbarik.......................................................13
2.2.4 Kontraindikasi Terapi Oksigen Hiperbarik............................................14
2.2.5 Komplikasi Terapi Oksigen Hiperbarik..................................................14
2.3 Pengaruh Terapi Oksigen Hiperbarik Terhadap Barotrauma........................14
2.4 Konsep Asuhan Keperawatan Terapi Oksigen Hiperbarik...........................16
2.4.1 Pengkajian..............................................................................................16
2.4.2 Diagnosa Keperawatan...........................................................................18
2.4.3 Intervensi Keperawatan..........................................................................20

BAB 3 TINJAUAN KASUS..............................................................................24

BAB 4 REVIEW JURNAL................................................................................31

BAB 5 PENUTUP
5.1 Simpulan.................................................................................................44
5.2 Saran.......................................................................................................44
Daftar Pustaka....................................................................................................
Lampiran............................................................................................................
1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Barotrauma telinga adalah kerusakan jaringan telinga akibat ketidak-
mampuan menyamakan tekanan ruang telinga tengah dengan lingkungan.
Perubahan tekanan relatif terbesar selama menyelam terdapat di dekat permukaan
(Prasetyo et al, 2012). Barotrauma adalah kerusakan jaringan yang terjadi
akibat kegagalan untuk menyamakan tekanan udara antara ruang berudara pada
tubuh (seperti telinga tengah) dan tekanan pada lingkungan sewaktu melakukan
perjalanan dengan pesawat terbang atau pada saat menyelam. Barotrauma dapat
terjadi pada telinga, wajah (sinus), dan paru, dalam hal ini bagian tubuh yang
memiliki udara di dalamnya. Barotrauma telinga dapat terjadi apabila penyelaman
tanpa melaksanakan ekualisasi tekanan telinga tengah dengan cara yang benar.
Barotrauma telinga berulang dalam periode lama dapat menyebabkan gangguan
kapasitas recoiling serabut elastis membran timpani menjadi irreversible, sehingga
dapat menyebabkan gangguan pendengaran. Perubahan tekanan mendadak di
ruang telinga tengah dapat diteruskan ke telinga dalam sehingga dapat
menyebabkan kerusakan telinga dalam, bahkan ketulian (Prasetyo et al, 2012).
Barotrauma telinga tengah merupakan cedera terbanyak yang dapat terjadi pada
saat menyelam. Barotrauma telinga merupakan cedera penyelaman yang
umumnya lebih banyak terjadi pada penyelam pemula sebagai akibat pemakaian
teknik ekualisasi tekanan telinga tengah yang tidak benar. Informasi yang benar
tentang teknik ekualisasi tekanan telinga tengah harus diketahui oleh semua
penyelam khususnya pada penyelam pemula (Prasetyo et al, 2012).
Kasus barotrauma di Amerika Serikat dapat ditemukan pada 2,28 kasus
per 10.000 penyelaman pada kasus berat. Sedangkan pada kasus ringan tidak
diketahui karena banyak penyelam tidak mencari pengobatan. Resiko Barotrauma
ini meningkat pada penyelam dengan riwayat asma, selain itu juga meningkat 2,5
kali pada pasien dengan paten foramen ovale. Kematian akibat Barotrauma di
pesawat militer telah dilaporkan terjadi pada tingkat 0,024 per juta jam
penerbangan. Tingkat insiden dekompresi untuk rata-rata penerbangan sipil

1
2

sekitar 35 per tahun. Sedangkan pada departemen pertahan Australia dapat


ditemukan 82 insiden per juta jam waktu terbang. Sedangkan pada barotrauma
akibat menyelam tidak ada informasi yang tersedia di seluruh dunia. Beberapa
penelitian di luar Indonesia menunjukkan bahwa penyelam paling sering
mengalami gangguan pendengaran. Sebuah studi pada 429 penyelam professional
di Iran menunjukkan gangguan yang paling sering otitis eksternal 43,6% (Azizi,
2011). Sebuah penelitian di Eropa didapatkan dari 142 penyelam, 64%
melaporkan gejala barotrauma, tuli sementara akibat tinnitus 27,5% dan
mengalami vertigo 9,9% (Mawle & Jackson, 2002). Dari hasil penelitian terhadap
100 Navy diver Pakistan ditemukan 54% mengalami gangguan pendengaran,
antara lain infeksi, barotrauma dan tuli (Zahir, et al, 2010)
Hukum Boyle menyatakan bahwa suatu penurunan atau peningkatan pada
tekanan lingkungan akan memperbesar atau menekan suatu volume gas dalam
ruang tertutup. Bila gas terdapat dalam struktur yang lentur, maka struktur
tersebut dapat rusak karena ekspansi atau kompresi. Barotrauma dapat terjadi
bilamana ruang-ruang berisi gas dalam tubuh (telinga tengah, paru-paru) mejadi
ruang tertututup dengan menjadi buntunya jaras-jaras ventilasi normal.
Barotrauma dapat menyebabkan berbagai manifestasi mulai dari nyeri
telinga, sakit kepala sampai nyeri persendian, paralisis, koma dan kematian. Tiga
manifestasi yang paling sering dari barotrauma termasuk kerusakan pada sinus
paranasalis, paru-paru, telinga tengah, penyakit dekompresi, luka akibat ledakan
(bom) dan terbentuknya emboli udara dalam arteri. Barotrauma juga bisa
diinduksi oleh pemasangan ventilator mekanik. Barotrauma dapat berpengaruh
pada beberapa area tubuh yang berbeda, termasuk telinga, muka (sinus
paranasalis), dan paru-paru. Berdasarkan latar belakang diatas, maka kelompok
kami tertarik untuk membahas mengenai asuhan keperawatan terapi hiperbarik
oksigen pada pasien dengan diagnosa medis Barotrauma.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana Asuhan Keperawatan oksigen hiperbarik pada pasien dengan
diagnosa medis Barotrauma ?
3

1.3 Tujuan Penulisan


1. Tujuan umum
Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan oksigen hiperbarik pada pasien
dengan diagnosa medis Barotrauma
1.3.2 Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui konsep Barotrauma
2. Untuk mengetahui konsep dasar Terapi Hiperbarik Oksigen
3. Untuk mengetahui manfaat terapi Hiperbarik terhadap barotrauma
4. Untuk mengetahui asuhan keperawatan hiperbarik pada pasien dengan
diagnose medis Barotrauma

1.4 Manfaat Penulisan


1. Mahasiswa mampu memahami konsep Barotrauma
1 Mahasiswa mampu memahami konsep dasar Terapi Hiperbarik Oksigen
2 Mahasiswa mampu memahami manfaat terapi Hiperbarik terhadap
barotrauma
3 Mahasiswa mampu memahami dan melaksanakan asuhan keperawatan
hiperbarik pada pasien dengan diagnose medis Barotrauma
4

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Barotrauma


2.1.1 Definisi Barotrauma
Barotrauma adalah kerusakan jaringan dan sekuelenya yang terjadi akibat
perbedaan antara tekanan udara (tekan barometrik) di dalam rongga udara
fisiologis dalam tubuh dengan tekanan di sekitarnya. Barotrauma paling sering
terjadi pada penerbangan dan penyelaman dengan scuba. Tubuh manusia
mengandung gas dan udara dalam jumlah yang signifikan. Beberapa diantaranya
larut dalam cairan tubuh. Udara sebagai gas bebas juga terdapat di dalam saluran
pencernaan, telinga tengah, dan rongga sinus, yang volumenya akan bertambah
dengan bertambahnya ketinggian.
Ekspansi gas yang terperangkap di dalam sinus bisa menyebabkan sakit
kepala, ekspansi gas yang terperangkap dalam telinga tengah bisa menyebabkan
nyeri telinga, dan perasaan kembung atau penuh pada perut jika ekspansi terjadi
pada gas di saluran pencernaan. Ekspansi gas yang terperangkap dalam usus halus
bisa menyebabkan nyeri yang cukup hebat hingga terkadang bisa menyebabkan
tidak sadarkan diri. Pada ketinggian 8000 kaki gas-gas yang terperangkap dalam
rongga tubuh volumenya bertambah 20% dari volume saat di darat. Semakin cepat
kecepatan pendakian maka semakin besar risiko mengalami ketidaknyamanan
atau nyeri.
Barotrauma Telinga adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan
ketidaknyamanan atau kerusakan pada telinga akibat perbedaan tekanan antara
telinga tengah dengan lingkungan sekitar. Hal ini biasa terjadi ketika ada
perubahan ketinggian. Tekanan udara di dalam telinga tengah biasanya sama
dengan tekanan udara di luar tubuh. Apabila tuba Eustachii (suatu pipa yang
menghubungkan telinga dengan bagian belakang tenggorokan) terhalangi, hal ini
dapat menyebabkan tekanan udara di telinga berbeda dengan tekanan udara di luar
gendang telinga. Ada 3 tipe Barotrauma Telinga, tergantung pada bagian telinga
mana hal ini terjadi: luar, tengah, dan dalam. Barotrauma Telinga yang paling
umum terjadi adalah barotrauma telinga tengah. Barotrauma telinga luar terjadi

4
5

ketika ada benda yang memerangkap udara di telinga luar, yang menyebabkan
baik peningkatan tekanan yang berlebihan atau kekosongan di dalam rongga udara
yang terperangkap. Barotrauma telinga tengah terjadi ketika seorang penyelam
tidak dapat menyeimbangkan tekanan udara di telinga tengah dengan tekanan air
di sekitarnya. Barotrauma telinga dalam terjadi karena ketidakmampuan untuk
menyeimbangkan tekanan di dalam telinga. Apabila kondisinya parah, mungkin
akan ada perdarahan di belakang gendang telinga.

1. Klasifikasi
Ada 3 tipe Barotrauma Telinga, tergantung pada bagian telinga mana: luar,
tengah, dan dalam. Barotrauma Telinga yang paling umum terjadi adalah
barotrauma telinga tengah.
1. Barotrauma telinga luar terjadi ketika ada benda yang memerangkap udara
di telinga luar, yang menyebabkan baik peningkatan tekanan yang
berlebihan atau kekosongan di dalam rongga udara yang terperangkap.
2. Barotrauma telinga tengah terjadi ketika seorang penyelam tidak dapat
menyeimbangkan tekanan udara di telinga tengah dengan tekanan air di
sekitarnya.
3. Barotrauma telinga dalam terjadi karena ketidakmampuan untuk
menyeimbangkan tekanan di dalam telinga. Apabila kondisinya parah,
mungkin akan ada perdarahan di belakang gendang telinga.

2. Etiologi
Barotrauma paling sering terjadi pada perubahan tekanan yang besar seperti
pada penerbangan, penyelaman misalkan pada penyakit dekompresi yang dapat
menyebabkan kelainan pada telinga, paru-paru, sinus paranasalis serta emboli
udara pada arteri yang dimana diakibatkan oleh perubahan tekanan yang secara
tiba-tiba, misalkan pada telinga tengah sewaktu dipesawat yang menyebabkan
tuba eustacius gagal untuk membuka. Tuba eustacius adalah penghubung antara
telinga tengah dan bagian belakang dari hidung dan bagian atas tenggorokan.
Untuk memelihara tekanan yang sama pada kedua sisi dari gendang telinga yang
intak, diperlukan fungsi tuba yang normal. Jika tuba eustakius tersumbat, tekanan
udara di dalam telinga tengah berbeda dari tekanan di luar gendang telinga,
menyebabkan barotrauma.
6

3. Patofisiologi
Bumi diselubungi oleh udara yang disebut Atmosfer Bumi.atmosfer itu
terbentang mulai dari permukaan Bumi sampai keketinggian 3000 km. Udara
tersebut mempunyai massa, dan berat lapisan udara ini akan menimbulkan suatu
tekanan yang disebut tekanan udara. Makin tinggi lokasi semakin renggang
udaranya, berarti semakin kecil tekanan udaranya. Sehingga pinggiran Atmosfer
Bumi tersebut akan berakhir dengan suatu keadaan hampaudara. Lihat Tabel 1.
Ukuran tekanan gas : mm Hg, mm H2O , Atmosfir (Atm) ,PSI (Pound per Square
Inch), Torr ,Barr dsb.
Tabel 1. Tekana Udara pada ketinggian tertentu
Ketinggian Tekanan udara

0 km 1 atm
16 km 0,1 atm
31 km 0,01 atm
48 km 0,001 atm
64 km 0,0001 atm

Tabel 2. Tekanan Udara & volume gas pada kedalaman tertentu di Bawah air
Depth Pressure Gas vol. Density
0 1 atm 1 1x
33 2 atm 1/2 2x
66 3 atm 1/3 3x
99 4 atm 1/4 4x

Trauma akibat perubahan tekanan, secara umum dijelaskan melalui


Hukum Boyle. Hukum boyle menyatakan bahwa volume gas berbanding terbalik
dengan tekanan. Ada bagian-bagian tubuh yang berbentuk seperti rongga,
misalnya : cavum tympani, sinus paranasalis, gigi yang rusak, traktus digestivus
dan traktus respiratorius. Pada penerbangan, sesuai dengan Hukum Boyle yang
mengatakan bahwa volume gas berbanding terbalik dengan tekanannya, maka
pada saat tekanan udara di sekitar tubuh menurun/meninggi, terjadi perbedaan
tekanan udara antara di rongga tubuh dengan di luar, sehingga terjadi
7

penekanan/penghisapan terhadap mukosa dinding rongga dengan segala


akibatnya.
Berdasarkan Hukum Boyle diatas dapat dijelaskan bahwa suatu penurunan
atau peningkatan pada tekanan lingkungan akan memperbesar atau menekan
(secara berurutan) suatu volume gas dalam ruang tertutup. Bila gas terdapat dalam
struktur yang lentur, maka struktur tersebut dapat rusak karena ekspansi ataupun
kompresi. Barotrauma dapat terjadi bilamana ruang-ruang berisi gas dalam tubuh
(telinga tengah, paru-paru) menjadi ruang tertutup dengan menjadi buntunya
jaras-jaras ventilasi normal.
Tuba eustachius secara normal selalu tertutup namun dapat terbuka pada
gerakan menelan, mengunyah, menguap, dan dengan manuver Valsava. Pilek,
rinitis alergika serta berbagai variasi anatomis individual, semuanya merupakan
predisposisi terhadap disfungsi tuba eustakius. Barotrauma, dengan ruptur
membran timpani (MT), dapat terjadi setelah suatu penerbangan pesawat atau
setelah berenang atau menyelam. Mekanisme bagaimana ini dapat terjadi,
dijelaskan dibawah ini.
Saluran telinga luar, telinga tengah, telinga dalam dapat dianggap sebagai
3 kompartemen tersendiri, ketiganya dipisahkan satu dengan yang lain oleh
membran timpani dan membran tingkap bundar dan tingkap oval.

Telinga
tengah
merupakan
suatu rongga tulang
8

dengan hanya satu penghubung ke dunia luar, yaitu melalui tuba Eustachii. Tuba
ini biasanya selalu tertutup dan hanya akan membuka pada waktu menelan,
menguap, Valsava maneuver. Valsava maneuver dilakukan dengan menutup mulut
dan hidung, lalu meniup dengan kuat. Dengan demikian tekanan di dalam pharynx
akan meningkat sehingga muara dapat terbuka.
Dari skema diatas ini dapat dilihat bahwa ujung tuba dibagian telinga
tengah akan selalu terbuka, karena terdiri dari massa yang keras/tulang.
Sebaliknya ujung tuba di bagian pharynx akan selalu tertutup karena terdiri dari
jaringan lunak,yaitu mukosa pharynx yang sewaktu-waktu akan terbuka disaat
menelan. Perbedaan anatomi antara kedua ujung tuba ini mengakibatkan udara
lebih mudah mengalir keluar daripada masuk kedalam cavum tympani. Hal inilah
yang menyebabkan kejadian barotitis lebih banyak dialami pada saat menurun
dari pada saat naik tergantung pada besamya perbedaan tekanan, maka dapat
terjadi hanya rasa sakit (karena teregangnya membrana tympani) atau sampai
pecahnya membrana tympani.
Barotrauma descent dan ascent dapat terjadi pada penyelaman. Imbalans
tekanan terjadi apabila penyelam tidak mampu menyamakan tekanan udara di
dalam rongga tubuh pada waktu tekanan air bertambah atau berkurang.
Barotrauma telinga adalah yang paling sering ditemukan pada penyelam. dibagi
menjadi 3 jenis yaitu barotrauma telinga luar, tengah dan dalam , tergantung dari
bagian telinga yang terkena. Barotrauma telinga ini bisa terjadi secara bersamaan
dan juga dapat berdiri sendiri. Barotrauma telinga luar berhubungan dengan dunia
luar, maka pada waktu menyelam, air akan masuk ke dalam meatus akustikus
eksternus. Bila meatus akustikus eksternus tertutup, maka terdapat udara yang
terjebak. Pada waktu tekanan bertambah, mengecilnya volume udara tidak
mungkin dikompensasi dengan kolapsnya rongga (kanalis akustikus eksternus),
hal ini berakibat terjadinya decongesti, perdarahan dan tertariknya membrana
timpani ke lateral. Peristiwa ini mulai terjadi bila terdapat perbedaan tekanan air
dan tekanan udara dalam rongga kanalis akustikus eksternus sebesar ± 150 mmHg
atau lebih, yaitu sedalam 1,5 – 2 meter. Barotrauma telinga tengah akibat adanya
penyempitan, inflamasi atau udema pada mukosa tuba mempengaruhi
kepatenannya dan merupakan penyulit untuk menyeimbangkan tekanan telinga
9

tengah terhadap tekanan ambient yang terjadi pada saat ascent maupun descent,
baik penyelaman maupun penerbangan. Terjadinya barotrauma tergantung pada
kecepatan penurunan atau kecepatan peningkatan tekanan ambient yang jauh
berbeda dengan kecepatan peningkatan tekanan telinga tengah.
Barotrauma telinga dalam biasanya adalah komplikasi dari barotrauma
telinga tengah pada waktu menyelam, disebabkan karena malakukan maneuver
valsava yang dipaksakan. Bila terjadi perubahan dalam kavum timpani akibat
barotrauma maka membran timpani akan mengalami edema dan akan menekan
stapes yang terletak pada foramen ovale dan membran pada foramen rotunda,
yang mengakibatkan peningkatan tekanan di telinga dalam yang akan merangsang
labirin vestibuler sehingga terjadi deviasi langkah pada pemeriksaan “Stepping
Test”. Dapat disimpulkan, gangguan pada telinga tengah dapat berpengaruh pada
labirin vestibuler dan menampakkan ketidakseimbangan laten pada tonus otot
melalui refleks vestibulospinal.
Seperti yang dijelaskan di atas, tekanan yang meningkat perlu diatasi
untuk menyeimbangkan tekanan, sedangkan tekanan yang menurun biasanya
dapat diseimbangkan secara pasif. Dengan menurunnya tekanan lingkungan,
udara dalam telinga tengah akan mengembang dan secara pasif akan keluar
melalui tuba eustachius. Dengan meningkatnya tekanan lingkungan, udara dalam
telinga tengah dan dalam tuba eustachius menjadi tertekan. Hal ini cenderung
menyebabkan penciutan tuba eustachius. Jika perbedaan tekanan antara rongga
telinga tengah dan lingkungan sekitar menjadi terlalu besar (sekitar 90 sampai
100mmhg), maka bagian kartilaginosa diri tuba eustachius akan semakin menciut.
Jika tidak ditambahkan udara melalui tuba eustachius untuk memulihkan volume
telinga tengah, maka struktur-struktur dalam telinga tengah dan jaringan
didekatnya akan rusak dengan makin bertambahnya perbedaan. Terjadi rangkaian
kerusakan yang dapat dipekirakan dengan berlanjutnya keaadan vakum relatif
dalam rongga telinga tengah. Mula-mula membrana timpani tertarik kedalam.
Retraksi menyebabkan membrana dan pecahnya pembuluh-pembuluh darah kecil
sehingga tampak gambaran injeksi dan bula hemoragik pada gambaran injeksi dan
bula hemoragik pada gendang telinga tengah juga mukosa telinga tengah juga
10

akan berdilatasi dan pecah, menimbulkan hemotapimum. Kadang-kadang tekanan


dapat menyebabkan ruptur membrana timpani.

2.1.5 Manifestasi Klinis


1. .Gejala descent barotrauma:
a. Nyeri (bervariasi) pada telinga yang terpapar.
b. Kadang ada bercak darah dihidung atau nasofaring.
c. Rasa tersumbat dalam telinga/tuli konduktif.
2. Gejala ascent barotrauma:
a. Rasa tertekan atau nyeri dalam telinga.
b. Vertigo.
c. Tinnitus/tuli ringan.
d. Barotrauma telinga dalam sebagai komplikasi.
e. Grading klinis kerusakan membrane timpani akibat barotrauma adalah
1) Grade 0 : bergejala tanpa tanda-tanda kelainan.
2) Grade 1 : injeksi membrane timpani.
3) Grade 2 : injeksi, perdarahan ringan pada membrane timpani.
4) Grade 3 : perdarahan berat membrane timpani.
5) Grade 4 : perdarahan pada telinga tengah (membrane timpani
Gambar
menonjoldan 2. Barotrauma Telinga
agak kebiruan.
6) Grade5 : perdarahan pada meatus eksternus + rupture membrane
timpani.

2.1.6 Kompikasi
Komplikasi dari barotrauma telinga antara lain:
2 Ruptur atau perforasi gendang telinga
3 infeksi telinga akut
4 kehilangan pendengaran yang menetap
5 tinnitus yang menetap, dan
6 vertigo.
11

1. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien dengan barotrauma adalah
pemeriksaan lab berupa :
1. Analisa Gas darah
Untuk mengevaluasi gradien alveolus-arteri untuk mengetahui terjadinya
emboli gas.
2. Darah Lengkap
Pasien yang memiliki hematokrit lebih dari 48% memiliki sekuele
neurologis yang persisten selama 1 bulan setelah perlukaan.
3. Kadar Serum Creatin Phosphokinase
Peningkatan kadar serum kreatin fosfokinase menandakan peningkatan
kerusakan jaringan karena mikroemboli.

2. Penatalaksanaan
Untuk mengurangi nyeri telinga atau rasa tidak enak pada telinga,
pertama-tama yang perlu dilakukan adalah berusaha untuk membuka tuba
eustakius dan mengurangi tekanan dengan mengunyah permen karet, atau
menguap, atau menghirup udara, kemudian menghembuskan secara perlahan-
lahan sambil menutup lubang hidung dengan tangan dan menutup mulut. Selama
pasien tidak menderita infeksi traktus respiratorius atas, membrane nasalis dapat
mengkerut dengan semprotan nosinefrin dan dapat diusahakan menginflasi tuba
eustakius dengan perasat Politzer, khususnya dilakukan pada anak-anak berusia 3-
4 tahun. Kemudian diberikan dekongestan, antihistamin atau kombinasi keduanya
selama 1-2 minggu atau sampai gejala hilang, antibiotic tidak diindikasikan
kecuali bila terjadi perforasi di dalam air yang kotor. Perasat Politzer terdiri dari
tindakan menelan air dengan bibir tertutup sementara ditiupkan udara ke dalam
salah satu nares dengan kantong Politzer atau apparatus senturi; nares yang lain
ditutup. Kemudian anak dikejutkan dengan meletuskan balon ditelinganya, bila
tuba eustakius berhasil diinflasi, sejumlah cairan akan terevakuasi dari telinga
tengah dan sering terdapat gelembung-gelembung udara pada cairan.
Untuk barotrauma telinga dalam, penanganannya dengan perawatan di
rumah sakit dan istirahat dengan elevasi kepala 30-400. Kerusakan telinga dalam
12

merupakan masalah yang serius yang memungkinkan adanya pembedahan untuk


mencegah kehilangan pendengaran yang menetap. Suatu insisi dibuat didalam
gendang telinga untu menyamakan tekanan dan untuk mengeluarkan
caioran(myringitomy) dan bila perlu memasang pipa ventilasi. Walaupan demikian
pembedahan biasanya jarang dilakukan. Kadang-kadang, suatu pipa ditempatkan
di dalam gendang telinga, jika seringkali perubahan tekanan tidak dapat dihindari,
atau jika seseorang rentan terhap barotrauma

6.2 Konsep Terapi Oksigen Hiperbarik


1. Definisi Hiperbarik Oksigen
Terapi oksigen hiperbarik atau Hyperbaric Oxygen Therapy (HBOT) adalah
terapi dimana pasien berada dalam suatu ruangan udara bertekanan tinggi
(hyperbaric chamber) dan menghirup 100% oksigen yang mana tekanan oksigen
tersebut lebih tinggi daripada tekanan udara atmosfir (hingga mencapai 2,4 ATA)
(Oktaria, 2009). Terapi HBO (Hyperbaric Oxygen) merupakan cara untuk
meningkatkan kadar oksigen jaringan, dengan jalan mengurangi pembengkakan
akibat vasokonstriksi pembuluh darah. Pada saat yang bersamaan, TOHB juga
meningkatkan kadar oksigen dalam darah (Neubauer, 1998). Oksigen tersebut
diharapkan mampu menembus sampai ke jaringan perifer yang kekurangan oksigen,
sehingga suplai nutrisi dan oksigen terpenuhi, sehingga jaringan luka dapat
melakukan metabolisme dan fungsinya (Smeltzer, 2002).

2.2.1 Manfaat Terapi Oksigen Hiperbarik


Terapi hiperbarik memiliki beberapa manfaat, diantaranya:
1. Kelainan atau penyakit penyelaman
Terapi HBO digunakan untuk kelainan atau penyakit penyelaman seperti
dekompresi, emboli gas dan keracunan gas.
2. Luka penderita Diabetes Mellitus
Luka pada penderita diabetes merupakan salah satu komplikasi yang
paling ditakuti karena sulit disembuhkan. Paling sering terjadi pada kaki
dan disebabkan oleh bakteri anaerob. Pemberian terapi HBO dapat
membunuh bakteri tersebut dan mempercepat penyembuhan luka.
3. Sudden Deafness
13

Sudden Deafness adalah penyakit tuli atau tidak mendengar yang terjadi
secara tiba-tiba, hal ini bisa terjadi karena infeksi (panas terlebih dahulu),
bunyi-bunyian yang keras atau penyebab lain yang tidak diketahui.
Dengan melakukan terapi hiperbarik oksigen dapat segera sembuh atau
terhindar dari tuli permanen.
4. Manfaat Lain dari Terapi Hiperbarik Oksigen
a. Keracunan gas CO2.
b. Cangkokan kulit.
c. Osteomyelitis.
d. Ujung amputasi yang tidak sembuh.
e. Rehabilitasi paska stroke.
f. Alergi.

2.2.2 Indikasi Terapi Oksigen Hiperbarik


Terapi HBO diberikan pada pasien dengan penyakit penyelaman seperti
dekompresi, barotrauma serta penyakit klinis yang berhubungan dengan asupan
oksigen dalam darah seperti diabetes dengan gangrene atau ulkus diabetikum dan
luka bakar. Selain itu, terapi HBO dapat diberikan pada pasien dengan penyakit
klinis:
1. Emboli paru
2. Arthritis, osteomyelitis, fraktur tulang, varises, arthralgia
3. Penyakit jantung coroner, hipertensi
4. Penyakit vaskuler perifer, anemia, insufisiensi arteri perifer
5. Migraine, nyeri kepaka, vertigo, dan paresthesia
6. Oto-rhyno-laryngologi (Sudden Deafness, Tinitus, OMA/OMK, Rhinitis
alergi)
7. Asfiksia
8. Stroke
9. Dermatitis alergi

2.2.3 Kontraindikasi Terapi Oksigen Hiperbarik


Pada keadaan tertentu, terapi HBO tidak dapat diberikan, seperti pada
kasus:
1. ISPA, sinusitis kronis, influenza
2. Demam tinggi
3. Epilepsi
4. Emfisema disertai retensi CO2
5. Kerusakan paru asimptomatik
6. Infeksi virus
14

2.2.4 Komplikasi Terapi Oksigen Hiperbarik


Komplikasi dapat terjadi saat dilakukan terapi oksigen hiperbarik jika
terdapat kesalahan dalam valsavah maupun kesalahan dalam melakukan terapi
oksigen hiperbarik, seperti barotrauma pada telinga, sinus, paru, gigi mengalami
trauma yang diakibatkan terapi, keracunan oksigen, gangguan neurologis terjadi
akibat tingginya kadar ksigen dan dapat pula mengakibatkan katarak.

2.3 Pengaruh Terapi Oksigen Hiperbarik terhadap Barotrauma

Barotrauma adalah kerusakan jaringan dan sequelenya akibat


ketidakseimbangan antara tekanan udara rongga fisiologis dalam tubuh dengan
tekanan lingkungan di sekitarnya (Riyadi, 2014). Barotrauma paru merupakan
barotrauma yang melibatkan organ paru dan yang paling serius dan membutuhkan
penanganan segera. Terjadinya barotrauma paru ini dapat dibedakan menjadi
barotrauma paru waktu descent dan barotrauma paru waktu ascent.
Barotrauma paru waktu descend dapat disebabkan oleh penyelaman tahan
nafas maupun dengan alat selam. Hal tersebut terjadi saat pengurangan volume
paru-paru melampaui batas akibat dari tekanan di sekitarnya, akibatnya terjadi
kompensasi berupa distensi pembuluh darah paru, dimana ketika sudah melebihi
ambang batasnya, dapat terjadi ruptur pembuluh darah paru, dan menyebabkan
perdarahan paru (CFUA, 2010). Kerusakan jaringan paru pada barotrauma waktu
descent ini (squeeze), adalah kerusakan pada pembuluh-pembuluh vena kecil,
perembesan cairan lewat membran alveoli dari kapiler-kapiler dan jaringan ke
dalam alveoli dari kapiler-kapiler dan jaringan ke dalam alveoli dan saluran-
saluran nafas, yang lebih lanjut bisa terjadi perdarahan (Riyadi, 2013). Terapi
utama barotrauma waktu descent adalah dengan memberikan oksigen 100%
menggunakan intermittent positive pressure (ventilator) tanpa perlu diberikan
tekanan yang hiperbarik.
Barotrauma paru tipe ascend terjadi karena pada saat naik ke permukaan,
terjadi penurunan tekanan sekeliling dan sesuai hukum Boyle udara dalam paru
akan mengembang volumenya. Masalah akan timbul apabila ekshalasi terhambat
waktu naik, maka udara yang mengembang dalam paru akan terperangkap dan
15

bila batas elastisitas paru terlampaui, maka mengakibatkan ruptura paru (Burst
lung). Menurut Edmond cs, ada 4 kemungkinan akibat dari barotrauma paru
waktu ascend yaitu kerusakan jaringan paru, emfisema surgikalis, pneumothorax,
dan emboli udara
Pada kerusakan jaringan paru, terapi utama yang digunakan adalah
inhalasi oksigen 100% agar tercapai kadar gas yang memadai dalam sistem arteri.
Penggunaan terapi oksigen hiperbarik sebaiknya dihindari apabila tidak mutlak
diperlukan, karena dapat memperluas kerusakan jaringan paru (Riyadi, 2013).
Pada emfisema surgikalis dimana terjadi penyebaran gas ke pembuluh darah
besar, jalan nafas dan bahkan bisa ke mediastinum, subkutan, maupun di
pericardium, maka terapi yang diberikan merupakan terapi simtomatis dan dapat
diberikan inhalasi gas oksigen 100% pada tekanan atmosfer (Unsworth, 1973).
Terapi oksigen hiperbarik dapat diberikan apabila terjadi emfisema mediastinalis
yang berat, juga pada emfisema surgikalis yang diikuti dengan adanya emboli
udara (Riyadi, 2013).
Pada pneumothorax terjadi penurunan efisiensi pulmonal dan oksigenasi,
juga penurunan aliran vena akibat dari peningkatan tekanan intra thoracal
(Unsworth, 1973). Terapi untuk pasien dengan pneumothorax adalah dengan
pemberian oksigen secara intermittent tanpa tekanan positif, analgesic, bed rest,
dan fisioterapi. Pneumothorax tidak memerlukan terapi rekompresi / oksigen
hiperbarik, karena dengan terapi rekompresi, pneumothorax akan cepat hilang
gejalanya tetapi pada saat dekompresi, gejala tersebut akan muncul bahkan
memburuk menjadi tension pneumothorax. Apabila indikasi terapi oksigen
hiperbarik mutlak diperlukan, maka boleh dilakukan terapi HBO setelah
pneumothorax nya diterapi terlebih dahulu dengan thoracocentesis (Riyadi, 2013).
Emboli udara merupakan keadaan yang emergency dan membutuhkan
penanganan segera. Terapi rekompresi dengan oksigen hiperbarik mutlak
diperlukan agar gelembung gas dapat larut dan tidak menimbulkan penyumbatan.
Dengan tekanan 6 ATA, ukuran emboli dikurangi menjadi 1/6nya, sehingga dapat
melewati pembuluh-pembuluh darah. Segera setelah gelembung udara tersebut
mengecil, maka diberikan oksigen untuk mempermudah absorpsinya. Apabila
keadaan gawat dan jauh dari tempat yang menyediakan terapi rekompresi, maka
16

penyelam dapat direkompresi dengan melakukan penyelaman lagi pada


kedalaman 9 meter menggunakan oksigen 100% lewat full face mask selama 30
sampai 120 menit, setelah itu kecepatan naik ke permukaan 1 meter/12 menit.
Proses naik boleh dihentikan bila perbaikan klinis berkurang. Sesudah sampai di
permukaan, oksigen tetap diberikan secara intermitten (Riyadi, 2013).

2.4 Konsep Asuhan Keperawatan Terapi Oksigen Hiperbarik


2.4.1 Pengkajian
a. Pre HBO
1) Observasi TTV
2) Ambang demam
3) Evaluasi tanda – tanda flu
4) Auskultasi paru
5) Uji GDA pada pasien dengan IDDM
6) Observasi cedera ortopedik dalam luka trauma
7) Tes pada toksiskasi karbondioksida/oksigen
8) Uji ketajaman penglihatan
9) Mengkaji tingkat nyeri
10) Penilaian status nutrisi
Zat dan benda yang dilarang dibawa masuk saat terapi HBO berjalan:
1. Semua zat yang mengandung minyak dan alkohol (parfum, hairspray,
deodorant, dsb)
2. Pasien harus melepas semua perhiasan cincin, kalung dan jam tangan
3. Lensa kontak harus dilepas karena berpotensi membentuk gelembung antara
kornea dengan lensa
4. Alat bantu dengar juga harus dilepas karena memicu percikan listrik dalam
chamber
5. Menggunakan pakaian berbahan katun 100% untuk meminimalkan
terjadinya proses luka bakar apbila terjadi kebakaran didalam chamber.
6. Menggunakan obat pre medikasi pada pasien dengan klaustrofobia
(diberikan paling tidak 30 menit sebelum mulai terapi HBO)
b. Intra HBO
17

1) Mengamati tanda dan gejala barotrauma, keracunan oksigen dan


komplikasi/efek samping yang ditemukan saat terapi HBO
2) Mendorong pasien untuk menggunakan kombinasi teknik valsavah
manuver yang paling efektif dan aman
3) Pasien perlu diingatkan bahwa valsavah manuver hanya untuk
digunakan selama dekompresi dan mereka perlu bernafas secara normal
selama terapi
4) Jika pasien mengalami nyeri ringan hingga sedang, hentikan
dekompresi hingga nyeri reda. Jika nyeri tidak kunjung reda, pasien
harus diukeluarkan dari chamber dan diperiksa oleh dokter THT
5) Untuk mencegah barotrauma GI, ajarkan pasien bernafas normal
(jangan menelan uadara) dan menghindari makanan yang memproduksi
gas
6) Pantau adanya klaustrofobia, ajak ngobrol agar pasien terdistraksi
7) Monitor pasien selama dekompresi darurat untuk tanda-tanda
pneumonia
8) Segera cek gula darah jika terdapat tanda hipoglikemia
c. Post HBO
1) Untuk pasien dengan tanda barotrauma, uji ontologis harus dilakukan
2) Tes gula darah pada pasien dengan IDDM
3) Pasien dengan iskemia trauma kaut, sindrom kompartemen, nekrosis
dan paska implan harus dilakukan penilaian status neurovaskular dan
luka
4) Pasien dengan keracunan CO mungkin memerluka tes psikometri atau
tingkat karboxi hemoglobin
5) Pasien dengan insufisisensi arteri akut retina memerlukan hasil
pemeriksaan pandangan yang luas
6) Pasien dirawat karena dekompresi sickness, emboli gas asteri atau
edema cerebral harus dilakukan penilaian neurologis
7) Pasien yang mengonsumsi obat anti ansietas dilarang menggunakan
kendaraan
18

2.4.2 Diagnosa keperawatan pada pasien dengan terapi HBO


1) Kecemasan b/d defisit pengetahuan tentang terapi oksiegn hiperbarik
dan prosedur keperawatan
2) Resti cidera b/d transfer pasien (in/out) dari ruangan, ledakan peralatan,
kebakaran atau peralatan dukungan medis
3) Resti barotrauma ke telinga, sinus, gigi dan paru paru atau gas embolik
cerebral b/d perubahan tekanan udara di dalam ruang HBO
4) Resti toksisitas oksigen b/d pemberian oksigen 100% pada tekanan
atmosfer yang meningkat
5) Resti untuk pengiriman gas yang tidak memadai b/d sistem pengiriman
dan kebutuhan pasien/ keterbatasan
6) Kecemasan dan ketakutan b/d ruang HBO yang tertutup
7) Rasa sakit terkait dengan masalah medis klinis
8) Ketidaknyamanan b/d perubahan suhu dan kelembaban di ruang HBO
9) Koping individu inefektif b/d stress mengatasi penyakit atau
kurangnya dukungan psikososial
10) Resti disritmia b/d patologi penyakit
11) Defisist volume cairan b/d dehidrasi
12) Perubahan perfusi jaringan cerebral b/d keracunan oksigen,
dekompresi, infeksi akut, gas emboli, dll
13) Resti perubahan dalam kenyamanan, cairan dan elektrolit b/d mual, muntah
14) Defisit pemeliharaan kesehatan b/d defisit pengetahuan untuk manajemen luka
kronis, pembatasan penyakit dekompresi lebih lanjut, melaporkan gejala
setelah keracunan CO
19

2.4.3 Intervensi Keperawatan


No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1 Kecemasan Pasien dan/atau keluarga akan 1. Dokumentasikan pemahaman pasien/keluarga tentang pemikiran dan
b/d defisit menyatakan: tujuan terapi HBO, prosedur yang terlibat dan potensi bahaya terapi
pengetahuan 1. Alasan untuk terapi oksigen HBO
tentang terapi hiperbarik 2. Mengidentifikasi hambatan pembelajaran
oksigen 2. Tujuan terapi 3. Mengidentifikasi kebutuhan belajar termasuk informasi mengenai
hiperbarik dan 3. Prosedur yang terlibat dengan hal-hal berikut
prosedur terapi oksigen hiperbarik 4. Memberikan kesempatan terus untuk diskusi dan intruksi
keperawatan 4. Potensi bahaya dari terapi 5. Menyediakan pasien dan atau keluarga dengan brosur informasi
oksigen hiperbarik mengenai terapi HBO
6. Menjaga pasien /keluarga diberitahu tentang semua prosedur.
7. Dokumentasikan pasien/keluarga terhadap lingkungan serta terapi
HBO
2 Potensi cedera Pasien tidak mengalami cidera 1. Membantu transportasi pasien dari ruangan chamber
yang berkaitan tambahan 2. Mengamankan peralatan di dalam chamber sesuai protap
dengan pasien 3. Memantau peralatan saat terjadi perubahan tekanan dan volume
transfer in/out 4. Mengikuti prosedur pencegahan pemadam kebakaran sesuai protap
dari ruangan; 5. Memonitor adanya udara di IV dan tekanan tubing line invasif (udara
ledakan; harus dikeluarkan dari tabung)
peralatan; 6. Dokumentasikan saat mengoperasikan HBO chamber pra-intra-post

3 Potensi Tanda – tanda yang terjadi dari 1. Kolaborasi: Pemberian dekongestan ssi advis dokter sebelum
barotrauma ke barotrauma akan segera ditangani perawatan terapi oksigen hiperbarik
telinga, sinus, dan segera dilaporkan 2. Saat persiapan terapi,instruksikan pasien untuk melakukan valsavah
gigi dan paru – manuver; menelan; mengunyah; menguap; atau memiringkan kepala
paru atau gas 3. Menilai kemampuan pasien dalam beradaptasi terhadap perubahan
emboli tekanan yang cepat
20

serebral b/d 4. Mengingatkan pasien untuk bernafas secara relaks saat terapi HBO
perubahan (terdapat perubahan tekanan)
tekanan udara 5. Konfirmasi pengisian NS pada ET/manset trach sebelum diberikan
didalam ruang tekanan
oksigen 6. Memberitahukan operator bila pasien tidak dapat beradaptasi
hiperbarik terhadap perubahan tekanan
7. Dokumen penilaian
8. Observasi ketidakmampuan dalam beradaptasi terhadap tekanan
(pre,intra,post)
9. Peningkatan kedalaman nafas
10.Observasi tanda pneumothorax (nyeri dada yang tajam, kesulitan
bernafas, gerakan abnormal pada dinding dada, takikardi)
11. Kolaborasi dengan dokter
4 Potensi Tanda dan gejala keracunan akan 1. Penilaian hasil laporan pasien ke dokter hiperbarik mengenai TTV,
toksisitas segera ditangani riwayat penggunaan steroid, aspirin, dosis tinggi vit C
oksigen b/d 2. Memantau pasien selama terapi HBO apakah terdapat gejala
pemberian toksisitas oksigen pada SSP spt: numbness, tingling, dengung di
oksigen 100% telinga, pusing, penglihatan kabur, gelisah, mual, kejang
pada tekanan 3. Merubah ukuran oksigen jika terjadi tanda dan gejala toksisitas
yg meningkat oksigen dan beritahukan pada dokter hiperbarik
4. Observasi tanda toksisitas pada pasien spt: sesak, batuk kering,sulit
bernafas
5 Kecemasan Pasien dapatberadaptasi terhadap 1. Menilai pasien dengan riwayat klaustrofobia
dan ketakutan terapi HBO dalam ruang chamber 2. Observasi kecemasan pasien selama perawatan terapi oksigen seperti
b/d perasaan gelisah dan merasa terjebak
terhadap 3. Menjalin kontak mata dengan pasien
ruangan 4. Meyakinkan keamanan pasien
tertutup 5. Dokumentasi hasil
21

chamber
6 Rasa sakit yg Pasien merasa nyeri berkurang 1. Observasi rasa sakit yg dirasakan pasien selama terapi HBO
berkaitan 2. Kolaborasi pemberian analgesik serta keefektifannya dan
dengan dokumentasikan
masalah medis 3. Bantu reposisi pasien untuk kenyamanan
7 Ketidaknyama Pasien akan mentolerir suhu pada 1. Menilai kenyamanan pasien dengan kelembapan dan suhu
nan b/d ruangan 2. Menawarkan tindakan kenyamanan pasien misalnya selimut
perubahan
suhu pada
chamber HBO

8 Potensi Pasien memenuhi prosedur terapi 1. Memberikan dukungan dan dorongan


individu HBO 2. Membahas kemampuan pasien untuk mengatasi masalah, beri
inefektif b/d reinforcement positif dan bantu dalam memberi problem solving
stres yang sesuai
menghadapi 3. Memfasilitasi komunikasi antara pasien dengan anggota staf terapi
penyakit dan HBO lainnya
sistem 4. Mendorong pasien mnegungkapkan perasaannya
dukungan 5. Dokumentasikan mengenai penilaian dan diskusi
psikososial
9 Potensi Tanda gejala disritmia segera 1. Monitor dan dokumentasikan TTV pasien
disritmia b/d mendapat penanganan 2. Memonitor dan dokumentasi tanda tanda hipokalemia
patologi 3. Mempertahankan iv line jika tersedia
penyakit 4. Melaporkan dokter hiperbarik jika diperlukan
10 Potensi defisit Tanda dan gejala defisit cairan 1. Menilai keseimbangan cairan dan elektrolit dan hidrasi
cairan b/d segera mendapat penanganan 2. Monitor tanda vital
dehidrasi
11 Perubahan Tanda dan gejala penurunan fungsi 1. Lakukan pengkajian neurologis sebelum perawatan
22

perfusi neurologis segera mendapatkan 2. Memantau dan mendokumentasikan fungsi motorik dan sensorik
jaringan penanganan pasien
serebral b/d 3. Berikan dukungan emosional
keracunan CO, 4. Kolaborasi dengan dokter hiperbarik bila terdapat perubahan yang
dekompresi,ga signifikan
s emboli
12 Potensi Perasaan mual dan muntah pasien 1. Menilai keluhan mual
perubahan dapat berkurang 2. Menjaga jalan nafas untuk mencegah aspirasi
kenyamanan 3. Beritahu dokter jika pasien mual
cairan dan 4. Kolaborasi pemasangan NGT bila ada indikasi
elektrolit b/d
mual muntah
13 Pemeliharaan Pasien/keluarga melaporkan gejala 1. Menilai untuk defisit pengetahuan yang berkaitan dengan patologi
kesehatan b/d post terapi HBO yang mendasari
defisit 2. Diskusikan dengan pasien tentang kebutuhan keluarga termasuk
pengetahuan biaya
untuk 3. Mendiskusikan tentang cara pemeliharaan penyembuhan luka
manajemen 4. Mendiskusikan tentang cara pemeliharaan dekompresi,
luka kronis,
pembatasan
penyakit
dekompresi
lebih lanjut
23

BAB 3
TINJAUAN KASUS

Senin, 3 Desember 2018 Tn. K datang ke Lakesla Surabaya bersama


anaknya pada pukul 10.00 WIB. Pasien mengeluh nyeri pada telinga kanan sejak
pukul 08.00 WIB. Tn. K merasa sesaat setelah menyelam terasa sakit,
berdengung, terasa buntu, dan pendengaran berkurang. Pada saat itu Tn. K
menyelam dengan kondisi pilek. 1 jam setelah kejadian, keluhan tidak berkurang,
kemudian merasa ada air keluar dari telinga kanan. Nyeri dirasakan berkurang
tetapi pendengaran dan rasa buntu ditelinga tidak berkurang. Pasien baru pertama
kali datang ke Lakesla Surabaya untuk menjalani terapi oksigen hiperbarik. Pada
saat dilakukan pengkajian pada tanggal 3 Desember pukul 10.00 WIB pasien
mengatakan masih mengeluh nyeri pada telinga kanan, berdengung, terasa buntu,
dan pendengaran berkurang dengan TD 120/90 mmHg, Nadi 60x/menit, Suhu
36,70C, RR 18 x/menit

3.1. Pengkajian

Nama pasien : Tn. K


Usia : 65 tahun
No. RM : 0x.xxxx
Hari terapi ke :1
Suku/ Bangsa : Jawa/ Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Nelayan
Alamat : Surabaya
Diagnosa Medis : Barotrauma
Tanggal pengkajian : 3 Desember 2018, 10.00 WIB

3.2. Keluhan Utama

Nyeri telinga kanan

3.3. Riwayat Penyakit Sekarang

Senin, 3 Desember 2018 Tn. K datang ke Lakesla Surabaya bersama


anaknya pada pukul 10.00 WIB. Pasien mengeluh nyeri pada telinga kanan

24
24

sejak pukul 08.00 WIB. Tn. K merasa sesaat setelah menyelam terasa sakit,
seperti tertekan, berdengung, terasa buntu, dan pendengaran berkurang. Pada
saat itu Tn. K menyelam dengan kondisi pilek. 1 jam setelah kejadian,
keluhan tidak berkurang, kemudian merasa ada air keluar dari telinga kanan.
Nyeri dirasakan berkurang tetapi pendengaran dan rasa buntu ditelinga tidak
berkurang. Pasien baru pertama kali datang ke Lakesla Surabaya untuk
menjalani terapi oksigen hiperbarik. Pada saat dilakukan pengkajian pada
tanggal 3 Desember pukul 10.00 WIB pasien mengatakan masih mengeluh
nyeri pada telinga kanan terus menerus denagn skala nyei 5 (1-8), berdengung,
terasa buntu, dan pendengaran berkurang dengan TD 120/90 mmHg, Nadi
60x/menit, Suhu 36,70C, RR 18 x/menit

6.3 Riwayat Penyakit Dahulu


1. Pernah dirawat : ya tidak

2. Riwayat penyakit kronik dan menular ya tidak

3. Riwayat alergi :

Obat ya tidak jenis :

Makanan ya tidak jenis :

Lain-lain ya tidak jenis :

4. Riwayat operasi ya tidak

6.4 Riwayat Penyakit Keluarga


ya tidak

Jenis : Hipertensi (Ayah)

6.5 Riwayat Yang Mempengaruhi Kesehatan


Perilaku sebelum sakit yang mempengaruhi kesehatan :

Alkohol ya tidak keterangan :

Merokok ya tidak keterangan :

Obat : ya tidak

Olahraga : ya tidak
25

6.6 Observasi Dan Pemeriksaan Fisik


1. Tanda-tanda Vital
S : 36, 7 oC N : 60 x/menit T :120/90 mmHg RR:18 x/menit
Kesadaran Composmentis Apatis Somnolen Sopor
Koma

2. Sistem Pernafasan
a. RR : 22 x/menit
b. Keluhan : sesak nyeri waktu nafas orthopnea
Batuk : produktif tidak produktif
Sekret : - Konsistensi : -
Warna : - Bau : -
c. Penggunaan otot bantu nafas :
d. PCH ya tidak
e. Irama nafas teratur tidak teratur
f. Friction rub : -
g. Pola nafas Dispnoe Kusmaul Cheyne Stokes Biot
h. Suara nafas Vesikuler Bronko vesikuler
Tracheal Bronkhial
Ronkhi Wheezing
Crackles
i. Alat bantu nafas ya tidak
Jenis : - Flow : -
j. Penggunaan WSD
- Jenis :-
- Jumlah cairan : -
- Undulasi :-
- Tekanan :-
k. Tracheostomy ya tidak
l. Lain-lain : pergerakan dada simetris, dan suara perkusi sonor
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan

3. Sistem Kardiovaskuler
a. TD : 120/90 mmHg
b. N : 60 x/menit
c. Keluhan nyeri dada : ya tidak
d. Irama jantung : regular ireguler
e. Suara jantung : normal (S1/S2 tunggal) murmur
gallop lain-lain
f. Ictus cordis : -
g. CRT : <2 detik
h. Akral : hangat kering merah basah pucat
panas dingin
i. Sirkulasi perifer normal
j. JVP : -
26

k. CVP : -
l. CTR : -
m. ECG & Interpretasi: -
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan

4. Sistem Persyarafan
a. S: 36, 7 oC
b. GCS : E4V5M6
c. Refleks fisiologis : patella triceps biceps
d. Refleks patologis : babinsky brudzinsky kernig
e. Keluhan pusing : ya tidak
f. Pemeriksaan saraf kranial : tidak dikaji
g. Pupil anisokor isokor Diameter :3mm/3mm
h. Sclera anikterus ikterus
i. Konjungtiva ananemis anemis
j. Istirahat/Tidur : 6-7 Jam/Hari Gangguan tidur : -
k. IVD : -
l. EVD : -
m. ICP : -
n. Nyeri : Iya Tidak
P : nyeri setelah menyelam
Q : seperti tertekan
R ; telinga kanan
S : 5 (1-8)
T : Terus menerus
Masalah Keperawatan : Rasa sakit terkait dengan masalah medis klinis
b/d nyeri telinga
5. Sistem Perkemihan
a. Kebersihan genitalia : tidak dikaji
b. Sekret : tidak dikaji
c. Kebersihan meatus uretra :tidak dikaji
d. Keluhan kencing : ada tidak
Bila ada,jelaskan :
e. Kemampuan berkemih
Spontan Alat bantu
Jenis :-
Ukuran :-
Hari ke:-
f. Produksi urine : 1.700 cc/hari
Warna : kuning
Bau : khas urin
g. Kandung kemih : Membesar ya tidak
h. Nyeri tekan : ya tidak
i. Intake cairan oral : 1.700 liter /hari
j. Lain-lain : -
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan
27

6. Sistem Pencernaan
a. TB : 153 cm BB : 59 kg
b. IMT : 25,2 Interpretasi : Normal (18,5-25,5)
c. Mulut : bersih kotor berbau
d. Membran mukosa : lembab kering stomatitis
e. Tenggorokan :tidak ada masalah pada tenggorokan, tidak ada nyeri telan
sakit menelan kesulitan menelan
pembesaran tonsil nyeri tekan
f. Abdomen : tegang kembung ascites Supel
g. Nyeri tekan : ya tidak
h. Luka operasi : ada tidak
Tanggal operasi : -
Jenis operasi : -
Lokasi :-
Keadaan :-
Drain ada tidak
- Jumlah :-
- Warna :-
- Kondisi area sekitar insersi : -
i. Peristaltik : 7 x/menit
j. BAB : 1 x/ hari
k. Konsistensi : keras lunak cair lender/darah
l. Diet : padat lunak cair
m. diet khusus : rendah gula
n. Nafsu makan : baik menurun
o. Porsi makan : habis tidak
p. lain : klien makan sesuai dengan Jenis, Jumlah dan Jadwal (3x dalam 1
hari)
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan

7. Sistem Penglihatan
a. Pengkajian segmen anterior dan posterior :
OD OS
Dapat melihat dengan jelas Visus Dapat melihat dengan jelas
tetapi menggunakan kaca mata tetapi menggunakan kaca mata
Dapat membuka dan menutup Palpebra Dapat membuka dan menutup
mata serta tidak ada edema mata serta tidak ada edema
Normal, ananemis Konjungtiva Normal, ananemis
Jernih, trasnparan, mult Kornea Jernih, trasnparan, mult
Tidak terkaji BMD Tidak terkaji
Reflek pupil baik dan diameter Pupil Reflek pupil baik dan diameter 3
3 mm mm
Bewarna coklat kehitaman Iris Bewarna coklat kehitaman
Jernih Lensa Jernih
Tidak terkaji TIO Tidak terkaji
28

b. Keluhan nyeri : ya tidak


P:-
Q:-
R:-
S:-
T:-
c. Luka operasi : ada tidak
Tanggal operasi : -
Jenis operasi : -
Lokasi :-
Keadaan :-
d. Pemeriksaan penunjang lain : -
e. Lain-lain : -
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan

8. Sisitem Muskuloskeletal
a. Pergerakan sendi : bebas terbatas
b. Kekuatan otot : 5 5
5 5
c. Kelainan ekstremitas : ya tidak
d. Kelainan tulang belakang : ya tidak
Frankel :
e. Fraktur : ya tidak
- Jenis :
f. Traksi : ya tidak
Jenis :
Beban :
Lama pemasangan :
g. Penggunaan spalk/gips : ya tidak
h. Keluhan nyeri : ya tidak
i. Sirkulasi perifer : baik (normal)
j. Kompartemen syndrome : ya tidak
k. Kulit : ikterik sianosis kemerahan
hiperpigmentasi
l. Turgor : baik kurang jelek
m. Luka operasi : ada tidak
Tanggal operasi : -
Jenis operasi : -
Lokasi :-
Keadaan :-
Drain :- ada tidak
- Jumlah :-
- Warna :-
- Kondisi area sekitar insersi: -
n. ROM : menggunakan kursi roda
o. POD : -
p. Cardinal sign : -
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan
29

9. Sistem Integumen
a. Penilaian risiko decubitus :
Aspek yang Kriteria penilaian
dinilai 1 2 3 4 Nilai
Persepsi Terbatas Sangat terbatas Keterbatasan Tidak ada 3
sensori sepenuhnya ringan gangguan
Terus Sangat lembab Kadang2 Jarang basah 4
Kelembaban menerus basah
basah
Bedfast Chairfast Kadang2 Lebih sering 2
Aktivitas
jalan jalan
Immobile Sangat terbatas Keterbatasan Tidak ada 3
Mobilisasi
sepenuhnya ringan keterbatasan
Sangat buruk Kemungkinan Adekuat Sangat baik 4
Nutrisi
tidak adekuat
Bermasalah Potensial Tidak 3
Gesekan &
bermasalah menimbulka
pergesekan
n masalah
Note: pasien dengan nilai total <16 maka dapat dikatakan 19
bahwa pasien berisiko mengalami decubitus (pressure ulcers) Total nilai
(15 or 16 = low risk; 13 or 14 = moderate risk; 12 or less =
high risk)

b. Warna : -
c. Pitting edema : +/- grade :
d. Ekskoriasis : ya tidak
e. Psoriasis : ya tidak
f. Pruritus : ya tidak
g. Urtikaria : ya tidak
h. Lain-lain : -
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan

10. Sistem Endokrin


a. Pembesaran tyroid : ya tidak
b. Pembesaran kelenjar getah bening : ya tidak
c. Hipoglikemia : ya tidak
d. Hiperglikemia : ya tidak
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan

6.7 Pengkajian Psikososial


a. Persepsi klien terhadap penyakitnya : klien mengatakan jika sakit yang klien
alami saat ini merupakan cobaan dari Tuhan.
30

b. Ekspresi klien terhadap penyakitnya : menerima dan siap untuk apapun


kondisi yang terjadi
murung/diam gelisah tegang marah/menangis

c. Reaksi saat interaksi : kooperatif tidak kooperatif curiga


d. Gangguan konsep diri : tidak ada gangguan konsep diri
e. Lain-lain : Klien bercerita jika klien siap menerima jika kaki klien harus
diamputasi dan siap untuk dijemput oleh Tuhan Yang Maha Esa
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan

6.8 Personal Hygiene & Kebiasaan


a. Kebersihan diri : tidak dikaji
b. Kemampuan klien dalam pemenuhan kebetuhan :
- Mandi : di bantu seluruhnya dibantu sebagian mandiri
- Ganti pakaian :
di bantu seluruhnya dibantu sebagian mandiri
- Keramas : bantu seluruhnya dibantu sebagian mandiri
- Sikat gigi : bantu seluruhnya dibantu sebagian mandiri
- Memotong kuku :
di bantu seluruhnya dibantu sebagian mandiri

- Berhias bantu seluruhnya dibantu sebagian mandiri


- Makan bantu seluruhnya dibantu sebagian mandiri
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan

6.9 Pengkajian Spiritual


a. Kebiasaan beribadah :
- Sebelum sakit : sering kadang-kadang tidak pernah
- Selama sakit : sering kadang-kadang tidak pernah
b. Bantuan yang diperlukan klien untuk memenuhi kebutuhan beribadah : -

6.10 Terapi HBOT (tabel kindwall)


31

6.11 Pemeriksaan Penunjang (Laboratorium) : -

3.4 Analisa Data

Data Etiologi Masalah

DS : Masalah medis Nyeri


- pasien mengatakan klinis
masih mengeluh
nyeri pada telinga
kanan, berdengung,
terasa buntu, dan
pendengaran
berkurang
- P : saat menyelam
- Q : seperti tertekan
- R : telinga kanan
- S : 5 (1-8)
- T : terus menerus
DO :
- Pasien tampak
memegangi telinga
kanan nya
- Pasien tampak
menyeringai
kesakitan

DS : Terapi HBO Resiko keracunan oksigen


-Pasien mengatakan
baru pertama kali Peningkatan
datang ke Lakesla tekanan diatas 1
Surabaya untuk ATA
menjalani terapi
oksigen hiperbarik Pemberian oksigen
DO :
murni 100%

Resiko keracunan
32

Data Etiologi Masalah

oksigen

DS : Ruangan udara Resiko barotrauma


- Pasien mengatakan dengan tekanan
baru pertama kali tinggi (2,4 ATA)
datang ke Lakesla
Surabaya untuk
menjalani terapi
oksigen hiperbarik Perubahan tekanan
DO : udara di dalam
ruangan

Penekanan pada
membran tympani

Resiko barotrauma

DS : Ruang HBO yang Kecemasan dan ketakutan


Pasien mengatakan tertutup
baru pertama kali
datang ke Lakesla
Surabaya untuk
menjalani terapi
oksigen hiperbarik

DO:

3.5 Diagnosa Keperawatan


1. Nyeri b/d masalah medis klinis
2. Resiko keracunan oksigen b/d pemberian oksigen 100% selama tekanan
atmosfir meningkatkan.
3. Resiko barotrauma ke telinga, sinus, gigi dan paru-paru b/d perubahan
tekanan udara di dalam ruang oksigen hiperbarik.
4. Kecemasan dan ketakutan b/d ruang HBO yang tertutup
33

3.6 Intervensi Keperawatan


No. Diagnosa Tujuan Dan Intervensi
Kriteria Hasil
1. Nyeri b/d masalah medis klinis Tujuan : Pre HBO
1. Periksa Vital sign dan kondisi kesehatan
Setelah dilakukan asuhan keperawatan
pasien
dengan terapi HBO selama 2 jam,2. Mengkaji nyeri klien dengan PQRST
diharapkan Nyeri klien dapat teratasi
Kriteria hasil : Intra HBO
1. Nyeri dapat berkurang menjadi skala1. Mengkaji kenyamanan dan nyeri klien
0-2 (1-8) dengan respon non verbal
2. Klien dapat mengontrol nyeri 2. Menginstruksikan klien untuk mengatur
3. Tanda-tanda vital dalam batas normal posisi senyaman mungkin

Post HBO
1. Mengkaji nyeri klien melalui PQRST dan
respon non verbal setelah terapi
2. Mengajarkan klien teknik relaksasi dan
distraksi
3. Kolaborasi pemberian Analgesik
4. Dokumentasi kegiatan

Resiko keracunan oksigen b/d


2. Tujuan : Pre HBO
pemberian oksigen 100% selama 1.Catat hasil pengkajian pasien dari dokter
Setelah dilakukan asuhan keperawatan
34

tekanan atmosfir meningkatkan. dengan terapi HBO selama 2 jam, hiperbarik :


a. Peningkatan Suhu tubuh
diharapkan tidak terjadi keracunan
b. Riwayat kejang
oksigen c. Hasil tekanan darah
d. Status perfusi Jaringan Perifer
Kriteria hasil :
e. Faktor risiko tinggi lainnya
1. Pasien tidak mengeluh pusing.
2. Tidak ditemukan tanda-tandaIntra HBO
keracunan oksigen berupa: 1. Monitor kondisi pasien saat terapi
a. Mati rasa dan berkedut berlangsung dan dokumentasikan tanda dan
b. Vertigo gejala dari keracunan oksigen pada sistem
c. Penglihatan kabur saraf pusat :
d. Mual a. mati rasa dan berkedut
b. Telinga berdenging atau halusinasi
pendengaran
c. Vertigo
d. penglihatan kabur
e. gelisah dan mudah tersinggung
f. mual
(Catatan: Toksisitas oksigen pada SSP dapat
mengakibatkan kejang)

2. Laporkan pada operator untuk mengubah


sumber oksigen 100% untuk pasien jika
tanda-tanda dan gejala muncul, dan
beritahukan kepada dokter hiperbarik.
35

3. Monitor pasien selama terapi oksigen


hiperbarik dan dokumentasikan tanda dan
gejala keracunan oksigen paru, termasuk:
a. Nyeri dan rasa terbakar di dada
b. sesak di dada
c. batuk kering (terhenti-henti)
d. kesulitan menghirup napas penuh, dan
e. Dispneu saat bergerak

Post HBO
1. Kaji kondisi klinis pasien dan pastikan
tidak ada tanda–tanda keracunan oksigen.
2. Beritahukan dokter hiperbarik jika tanda-
tanda dan gejala keracunan oksigen paru
muncul.

Pre HBO
1. Periksa Vital sign dan kondisi kesehatan
3. Resiko barotrauma ke telinga,Tujuan :
pasien
sinus, gigi dan paru-paru b/dSetelah dilakukan asuhan keperawatan2. Sebelum perawatan instruksikan pada
pasien tentang teknik pengosongan telinga,
perubahan tekanan udara di dalamdengan terapi HBO selama 2 jam,
36

ruang oksigen hiperbarik. diharapkan tidak terjadi barotrauma dengan cara menelan, mengunyah, menguap
modifikasi manuver valsava.
telinga, sinus gigi, dan paru-paru, atau
gas emboli serebral dengan
Intra HBO
Kriteria hasil :
1. Kaji kemampuan pasien melakukan teknik
1. Pasien tidak mengeluh nyeri pada pengosongan telinga saat tekanan
telinga, sinus gigi dan paru-paru dilakukan dengan valsava.
2. Tidak ditemukan tanda-tanda2. Lakukan tindakan keperawatan :
barotrauma berupa: a. Ingatkan pasien untuk bernapas dengan
a. Ketidakmampuan untuk normal selama perubahan tekanan,
menyamakan telinga, nyeri b.Beritahukan operator ruang multiplace
telinga, dan telinga berdarah jika pasien tidak dapat menyesuaikan
b. Kecepatan dan kedalaman persamaan tekanan.
napas meningkat 3. Monitor secara berkelanjutan untuk
c. Nyeri dada yang tajam napas mengetahui tanda-tanda dan gejala
cepat dan abnormalitas gerak barotrauma termasuk:
a. Ketidakmampuan untuk menyamakan
dada. telinga, atau sakit di telinga dan / atau
sinus (terutama setelah pengobatan awal,
dan setelah perawatan berikutnya)
b.Peningkatan kecepatan dan / atau
kedalaman pernafasan
c. Tanda dan gejala dari pneumotoraks,
termasuk:
1) Tiba-tiba nyeri dada tajam
1) Kesulitan, bernafas cepat
37

2) Gerakan dada abnormal pada sisi yang


terkena, dan
3) Takikardi dan / atau kecemasan

Post HBO
1. Kaji kondisi pasien dan pastikan tidak ada
tanda – tanda Barotrauma.
2. Dokumentasi kegiatan
38

BAB 4
REVIEW JURNAL
Jurnal Terlampir
39

Peneliti/ Judul dan Sampel/ Jenis Variabel Dosis Intervensi Hasil


Pengarang Tahun Responden Literature Literature/Temuan
Arief Tjatur Pengaruh Semua Penelitian 1. Umur Peneliti melakukan Tidak terdapat pengaruh
Prasetyo, kedalaman penyelam observasional 2. Jenis Kelamin anamnesis, yang
Joseph dan lama tradisional yang analitik, dengan 3. Pendidikan pemeriksaan telinga, signifikan kedalaman
Bambang menyelam mengalami pengambilan data 4. Lama bekerja hidung, tenggorok dan lama menyelam
Soemantri, terhadap barotrauma secara cross 5. Kedalaman serta audiometri pada terhadap perubahan
Lukmantya ambang- telinga yang sectional, menyelam penyelam tradisional pendengaran pada
dengar memenuhi kriteria pengambilan 6. Lama sebelum melakukan penyelam tradisional
penyelam inklusi. Jumlah sampel menyelam penyelaman. yang mengalami
tradisional sampel minimal dilakukan dengan (kumulatif) Selanjutnya peneliti barotrauma telinga.
dengan yang dibutuhkan teknik purposive 7. Pendengaran mengamati/mencatat Angka kejadian
barotrauma dalam penelitian sampling. lama penyelaman barotrauma telinga
telinga ini adalah 24 secara kumulatif sebesar 32,4%.
Tahun 2012 orang. selama 6 jam dan
kedalaman
penyelaman serta
isyarat adanya
kecurigaan terjadi
barotrauma telinga
pada penyelam.
Dilakukan dalam 1
kali pengambilan
data
40

PICO URAIAN
Problem Jumlah sampel : Semua penyelam tradisional (74 orang)
Tempat : desa Bangsring dan Bengkak, kecamatan Wongsorejo, Kabupaten
Banyuwangi
Masalah yang muncul : Dari 74 populasi didapatkan 24 orang mengalami barotrauma dan 50
orang tidak mengalami barautroma, sehingga tidak terdapat pengaruh yang
signifikan kedalaman dan lama menyelam terhadap perubahan pendengaran pada penyelam
tradisional yang mengalami barotrauma telinga.
Intervention Melakukan anamnesis, pemeriksaan telinga, hidung, tenggorok serta audiometri pada penyelam
tradisional sebelum melakukan penyelaman. Selanjutnya peneliti mengamati/mencatat lama
penyelaman secara kumulatif selama 6 jam dan kedalaman penyelaman serta isyarat adanya
kecurigaan terjadi barotrauma telinga pada penyelam.
Comparison Populasi penelitian adalah penyelam tradisional, sedangkan populasi terjangkau adalah semua
penyelam tradisional di kawasan penelitian.
Outcome 1. Kedalaman maupun lama menyelam tidak berpengaruh terhadap ambang pendengaran
penyelam tradisional (penyelam dengan alat bantu selam kompresor udara) yang mengalami
barotrauma telinga. Barotrauma telinga yang terjadi sebagian besar merupakan jenis
barotrauma telinga tengah, yang didapatkan pada 24 orang dari 74 orang penyelam (32,4%).
Derajat barotrauma berdasarkan pemeriksaan telinga adalah derajat 0 (12,5%), derajat I
(75%) dan derajat II (12,5%).
41

BAB 5
PENUTUP

5.1 Simpulan
Barotrauma telinga adalah kerusakan jaringan telinga akibat ketidak-
mampuan menyamakan tekanan ruang telinga tengah dengan lingkungan.
Perubahan tekanan relatif terbesar selama menyelam terdapat di dekat permukaan
(Prasetyo et al, 2012). Barotrauma dapat terjadi pada telinga, wajah (sinus), dan
paru, dalam hal ini bagian tubuh yang memiliki udara di dalamnya. Barotrauma
telinga merupakan cedera penyelaman yang umumnya lebih banyak terjadi pada
penyelam pemula sebagai akibat pemakaian teknik ekualisasi tekanan telinga
tengah yang tidak benar. Informasi yang benar tentang teknik ekualisasi tekanan
telinga tengah harus diketahui oleh semua penyelam khususnya pada penyelam
pemula
Terapi oksigen hiperbarik atau Hyperbaric Oxygen Therapy (HBOT)
adalah terapi dimana pasien berada dalam suatu ruangan udara bertekanan tinggi
(hyperbaric chamber) dan menghirup 100% oksigen yang mana tekanan oksigen
tersebut lebih tinggi daripada tekanan udara atmosfir (hingga mencapai 2,4 ATA)
(Oktaria, 2009).
Terapi HBO diberikan pada pasien dengan penyakit penyelaman seperti
dekompresi, barotrauma serta penyakit klinis yang berhubungan dengan asupan
oksigen dalam darah seperti diabetes dengan gangrene atau ulkus diabetikum dan
luka bakar.

5.2 Saran
Semua penyelam beresiko mengalami barotrauma, dimana barotrauma
adalah penyebab kematian utama saat melakukan scuba diving. Untuk itu ada
beberapa hal yang bisa dilakukan agar hal ini tidak terjadi, yaitu:
1. Jangan pernah menahan nafas di air. Meskipun semua penyelam tahu kalau
mereka tidak boleh menahan nafas dia air, akibat kondisi tertentu akhirnya
banyak penyelam pemula yang melakukannya. Hal tersebut bisa terjadi
saat penyelam panik.
42

2. Naik ke permukaan secara perlahan, jangan terburu – buru. Sebaiknya,


kecepatan berenang ketika naik ke permukaan tidak lebih dari 9 meter per
menit.
3. Pastikan bahwa penyelam sudah siap secara fisik dan mental. Tidak hanya
hafal teknik saja, tetapi anda harus siap secara mental, karena hal ini akan
mempengaruhi saat menyelam.
4. Persiapan scuba diving harus sangat diperhatikan
5. Jangan menyelam jika memiliki masalah pernapasan sebelumnya.
43

DAFTAR PUSTAKA

Lakesla,2009,Ilmu Kesehatan Penyelamatan dan Hiperbarik, Surabaya:Lembaga


Kesehatan dan Kelautan TNI AL.

Prasetyo et al (2012) ‘Pengaruh kedalaman dan lama menyelam terhadap ambang-


dengar penyelam tradisional dengan barotrauma telinga’, 42(2), pp. 69–76.
diunduh 11 Desember 2018 pukul 20.35 WIB
Mathieu D. Handbook on hyperbaric medicine. Netherlands: Springer; 2006.

Anda mungkin juga menyukai