Anda di halaman 1dari 8

  Pengertian Kemitraan

         Kemitraan adalah suatu pola hubungan (kerjsama) antara dua pihak atau lebih, berdasarkan
kesetaraan, keterbukaan dan saling menguntungkan (memberikan manfaat).

 Unsur kemitraan adalah :
1. adanya hubungan (kerjasama) antara dua pihak atau lebih
2. adanya kesetaraan antara pihak-pihak tersebut
3. adanya keterbukaan atau kepercayaan (trust relationship) antara pihak-pihak
tersebut
4. adanya hubungan timbal balik yang saling menguntungkan atau memberi
manfaat.

B.     Kebijakan di bidang kemitraan usaha nasional dan implementasinya

Tantangan dalam mewujudkan pembangunan di bidang ekonomi pada masa depan


semakin berat, terutama sekali dalam mewujudkan dunia usaha yang tangguh dan kuat guna
memperkokoh struktur perekonomian nasional. Salah satu strategi ke arah itu adalah
melalui pengembangan kemitraan usaha dengan menekankan pada prinsip saling
memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan serta adanya kesetaraan diantara
para pelaku yang bermitra. Dalam kemitraan ini, akan tampil koperasi dan Usaha Kecil dan
Menengah (UKM) yang kuat dan memperkokoh kekuatan ekonomi nasional sebagai salah
satu sarana untuk mewujudkan demokrasi ekonomi sebagaimana yang termuat dan tersirat
dalam Pasal 33 UUD 1945, Amanat UUD 1945 itu mengikat kita semua tanpa kecuali,
mengikat jajaran pemerintah, mengikat kekuatan-kekuatan sosial politik, mengikat
organisasi-organisasi kemayarakatan, dan mengikat pelaku-pelaku ekonomi.            
Kemitraan adalah sikap menjalankan bisnis yang berorientasi pada hubungan kerjasama yang
solid (kokoh & mendalam), berjangka panjang, saling percaya dan dalam kedudukan yang
setara. Kemitraan merupakan suatu rangkaian proses yang dimulai dengan mengenal calon
mitranya, mengetahui posisi keunggulan dan kelemahan usahanya, memulai membangun
strategi, melaksanakan, memonitor, dan mengevaluasi sampai target tercapai. Berdasarkan
pengamatan empirik, kemitraan antarpelaku bisnis bukan sesuatu hal yang baru dan hanya
dikembangkan di Indonesia. Kemitraan sudah menjadi gejala umum bagi dunia usaha di
seluruh dunia. Di negara-negara maju seperti Jepang, Amerika Serikat dan Kanada, kemitraan
usaha tumbuh dan berkembang luas di seluruh lini bisnis. Hal ini sekaligus membuktikan
bahwa keunggulan bersaing dapat dikembangkan melalui keterkaitan usaha dengan saling
ketergantungan antarpelaku bisnis, bukan dependency, dan bukan juga mengandalkan
independency masing-masing pelaku. Dengan demikian, persaingan pasar merupakan motor
penggerak dan pendorong kemitraan usaha.
Di Indonesia terdapat skema kemitraan yang dapat diimplementasikan oleh UKM dan UB.
Pertama kemitraan subkontrak, yang dalam hal ini UK menjadi pemasok untuk memenuhi
kebutuhan industri besar. Kita memiliki best practice dalam subkontrak untuk industri
otomotif. Kedua, kemitraan yang menggunakan ppola Perusahaan Ini Plasma (PIR). Pola PIR
sangat baik berkembang di sektor perkebunan, perikanan, peternakan. Perusahaan inti adalah
UB dan plasma merupakan UK. Dalam pola PIR ini, UB melaksanakan pembinaan terhadap
UK, mulai dari penyediaan sarana produksi, bimbingan teknis, sampai pemasaran hasil
produksi. Ketiga, pola waralaba (franchising) dalam hal ini pemberi waralaba (franchisor)
memberikan lisensi, merek dagang, dan saluran distribusi perusahaan kepada penerima
waralaba (franchisee) dengan disertai bantuan telah berkembang di negara kita.      
Di negara kita, konsep dan implementasi kemitraan harus mengacu pada UU Usaha Kecil.
Menurut UU No.9 Tahun 1995 tentang Kebijakan Usaha Kecil, kemitraan diartikan sebagai
suatu usaha untuk menumbuhkan iklim usaha yang dapat mendorong UM dan UB
melaukukan kemitraan, antara lain berupa stimulan tanpa adanya unsur paksaan sehingga
terlaksananya alih teknologi, menejemen, dan kesempatan berusaha bagi UK dapat terjadi
secara wajar.

C.    Pola-Pola Kemitraan

1.      Kerjasama keterkaitan antar hulu-hilir (forward linkage)

Forward linkage adalah sistem kemitraan yang didalamnya UB yang biasa disebut usaha
center atau induk berada di upstream atau midstream yang menghasilkan barang intermediate
yang memerlukan proses berikutnya di usaha kecil downstream. Jadi, usaha centernya
menghasilkan bahan baku dan memasok untuk diproses selanjutnya oleh UK. Forward
linkage berhubungan dengan masalah pemasaran produknya. Bagaimana agar lokasi yang
dipilih akan memudahkan perusahaan dalam mendekatkan produknya kepada segmen pasar
yang telah ditentukan. Pembahasan tentang kemitraan kali ini lebih menekankan dalam
kegiatan usaha hulu-hilir dalam sector pertambangan minyaka bumi dan gas. Pemerintah
sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan menentukan kebijakan dan melakukan pengusahaan
terhadap minyak dan gas bumi untuk mencapai tujuan yang termaktub dalam pasal 33 (3)
UUD 45.    
Pengusahaan minyak dan gas bumi terdiri dari 2 kegiatan yaitu :
a.       Kegiatan Usaha Hulu yang mencakup.
1)      Eksplorasi
2)      Ekspoitasi
b.      Kegiatan Usaha Hilir yang mencakup
1) Pengolahan;
2) Pengangkutan;
3) Penyimpanan;
4) Niaga
Kegiatan usaha hulu dilaksanakan dan dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama (KKS)
antara Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap tetap dengan Badan Pelaksana Minyak dan Gas
Bumi (BP MIGAS), didalam KKS tersebut paling sedikit memenuhi persyaratan:
a.       Kepemilikan sumberdaya alam tetap di tangan pemerintah sampai pada titik penyerahan;
b.      Mengendalian manajemen operasi berada pada badan pelaksana;
c.       Modal dan resiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap.
Kegiatan usaha hulu dan hilir dapat dilakukan oleh :       
a. Badan Usaha Milik Negara;               
b. Badan usaha Milik daerah;    
c. Koperasi; usaha kecil; 
d. Badan usaha swasta. 
Dengan ketentuan untuk bentuk usaha tetap hanya dapat melakukan kegiatan usaha hulu saja,
badan usaha dan bentuk usaha tetap yang telah melakukan kegiatan usaha hulu tidak
diperbolehkan melakukan kegiatan usaha hilir demikian sebaliknya.           
2. Kerjasama Keterkaitan Antar Hilir-Hulu (Backward Linkage)          
Backward linkage adalah sistem kemitraan yang didalamnya perusahaan center atau inti
atau induk yang biasanya UB bergerak dalam produksi barang akhir atau sebagai assembler
(downstream), sedangkan UK sebagai pemasok komponen kepada UB berada baik yang di-
upstream maupun midstream.           
3. Kerjasama dalam bentuk bapak-anak angkat
Bapak angkat – Anak angkat merupakan hubungan antara pengusaha besar yang bersedia

membantu perkembangan pengusaha kecil. Dibutuhkan kesadaran tinggi bagi bapak angkat
untuk membantu anak angkatnya.  Salah satu contohnya adalah BUMN yang memperoleh profit

besar memberikan modal tanpa bunga kepada peternak di daerah miskin.

4. Inti Plasma

Inti plasma merupakan hubungan kemitraan antara UKM dan UB sebagai inti membina dan
mengembangkan UKM yang menjadi plasmanya dalam menyediakan lahan, penyediaan
sarana produksi, pemberian bimbingan teknis manajemen usaha dan produksi, perolehan,
penguasaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan bagi peningkatan efisiensi dan
produktivitas usaha
Dalam kemitraan usaha dengan pola inti-plasma :      
a. Usaha Besar sebagai inti, bertindak sebagai pemrakarsa;   
b. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagai plasma;         
c. Pemerintah sebagai fasilitator, dinamisator dan regulator. 
Adapun asas-asas hukum yang terdapat dalam hukum perjanjian inti plasma adalah :          
a. Asas Kebebasan Berkontrak           
Orang-orang yang terlibat dalam inti plasma diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan
sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian. Mereka diperbolehkan
mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian-perjanjian yang mereka adakan itu.    
b. Asas Konsensualisme          
Asas konsesualisme mengandung arti bahwa dalam suatu perjanjian cukup ada kata sepakat
dari mereka yang membuat perjanjian itu, tanpa dikuti dengan perbuatan hukum lain kecuali
perjanjian yang bersifat formal.  

c. Asas Itikad Baik     


Itikad baik dalam pengertian yang sangat subyektif dapat diartikan sebagai kejujuran
seseoraang, yaitu apa yang terletak padaa seseorang pada waktu diaadakan perbuatan hukum.
sedangkn itikad baik dalam pengertian obyektif yaitu bahwa pelaksanaan suatu perjanjian itu
harus didasarkan pada norma kepatutan atau apa-apa yang dirasa sesuai dengan yang patut
dalam masyarakat.

c. Asas Kepercayaan (Vertrouwensbeginsel)  


Kerja sama bermula dari kepercyaan kepada pihak lain, dengan harapan akan menuai prestasi
di kemudian hari. Dengan kepercayaan ini, kedua pihak mengikatkan dirinya dan untuk
keduanya perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.
d. Asas Pacta Sunservanda (Asas Kekuatan Mengikat)         
Asas kekuatan mengikat atau asas facta sun servanda ini dapat diketahui di dalam Pasal 1338
ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa : “Semua persetujuan yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Adapun maksud dari asas
ini tidak lain untuk mendapatkan kepastian hukum bagi para pihak, maka sejak dipenuhinya
syarat sahnya perjanjian sejak saat itu perjanjian mengikat para pihak seperti undang-
undang.        

e. Asas Kesetaraan      
Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan,
walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan dan lain-lain. Masing-
masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengaharuskan kedua pihak untuk
menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan.

f. Asas Unconcionability        
Menurut Sutan Remy Sjahdeini, unconscionable artinya bertentangan dengan hati nurani.
Maksudnya dalam ilmu hukum kontrak yang mengajarkan bahwa suatu kontrak batal atau
dapat dibatalkan oleh pihak yang dirugikan manakala dalam kontrak tersebut terdapat
klausula yang tidak adil dan sangat memberatkan salah satu pihak, sungguhpun kedua belah
pihak telah menandatangani kontrak yang bersangkutan.  
g. Asas Subsidaritas    
Asas subsideritas mengandung pengertian bahwa pengusaha menegah atau pengusaha besar
merupakan salah satu faktor dalam rangka memberdayakan usaha kecil tentunya sesuai
kemampuan dan kompetensi yang dimiliki dalam mendukung mitra usahanya sehingga
mampu dan dapat mengembangkan diri menuju kemandirian.

h. Asas Kebersamaan  
Kebersamaan atau rasa solidaritas dalam hubungan kemitraan inti dengan plasma hendaknya
ditanamkan. Dengan ditanamkannya rasa kebersamaan, maka akan timbul rasa saling
membutuhkan diantara kedua belah pihak, pihak inti memerlukan plasma, pihak plasmapun
memerlukan inti dalam kesatuan hubungan untuk melaksanakan selp dan otoaktiva guna
kepentingan bersama.
i. Asas Sukarela           
Sebagai pemrakarsa atau mitra usaha dalam kemitraan usaha nasional bukanlah suatu
kewajiban yang bersifat mutlak bagi setiap perusahaan, tetapi hal ini hanya dilandasi oleh
rasa tanggung jawab sosial dari perusahaan besar terhadap lingkungan tempat berusahanya.

j. Asas Keuntungan Timbal Balik       


Kemitraan usaha nasional ini dibina dan dikembangkan untuk memberikan manfaat bagi
kedua belah pihak yang bermitra. Keuntungan timbal balik sebagai dasar untuk menjalin
kemitraan yang langgeng.           

k. Asas Desentralisasi 
Pemerintah dalam hal ini memberikan wewenang dan kebebasan kepada setaip usaha besar
ataupun usaha menengah bersama mitra usahanya untuk mendisain dan merancang sendiri
pola kemitraan yang akan dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara masing-masing pihak
yang bermitra.      
5. Waralaba  
Waralaba merupakan hubungan kemitraan, yang di dalamnya pemberi waralaba memberikan
hak penggunaan lisensi, merek dagang, dan saluran distribusi perusahaannya kepada
penerima waralaba dengan disertai bantuan bimbingan manajemen. Dalam pola ini UB yang
bertindak sebagai pemberi waralaba menyediakan penjaminan yang diajukan oleh UKM
sebagai penerima waralaba kepada pihak ketiga.
Jenis waralaba (franchisee) 
a. Waralaba Luar Negeri, merupakan waralaba yang cendrung lebih disukai karena sistemnya
lebih jelas, merk sudah diterima di berbagai belahan dunia, dan merk lebih bergengsi.          
b. Waralaba Dalam Negeri, merupakan salah satu pilihan berinvestasi untuk orang-orang
yang ingin cepat menjadi pengusaha. Tetapi tidak memiliki pengetahuan cukup piranti awal
dan kelanjutan usaha ini yang disediakan pemilik waralaba
        
Biaya waralaba       
a. Ongkos awal dimulai dari 10 juta hingga 1 milyar. Biaya ini meliputi pengeluaran yang
dikeluarkan pemilik waralaba untuk membuat waralaba sesuai sertifikasi franchisor dan
ongkos penggunaan HAKI (hak kekayaan intelektual)  
b. Ongkos royalty dibayarkan pemegang waralaba dari setiap bulan dari laba operasional ,
besarnya ongkos royalty sekitar 5-15 % dari penghasilan kotor. Ongkos royalty yang layak
adalah 10% , lebih dari 10% biasanya adalah biaya yang dikeluarkan untuk pemasaran yang
perlu dipertanggung jawabkan. 
Karakteristik waralaba        
a. Ada kesepakatan kerjasama yang tertulis           
b. Selama kerjasama tersebut pihak franchisor mengizinkan franchisee menggunakan merk
dagang identitas usaha milik franchisor dalam bidang usaha yang disepakati       
c. Selama kerjasama tersebut pihak franchisor memberikan jasa penyimpanan usaha dan
melakukan pendampingan pada waralaba
d. Selama kerjasama tersebut franchisor mengikuti ketentuan yang telah disusun oleh
franchisee yang menjadi dasar usaha yang sukses
e. Selama kerjasama tersebut franchisor melakukan pengendalian hasil dan kegiatan dalam
kedudukannya sebagai pemimpin sistim kerjasama
f. Kepemilikan badan usaha sepenuhnya ada pada franchisee.secara hukum franchisor dan
franchisee adalah dua badan hukum yang terpisah
Waralaba di Indonesia        
Di Indonesia, sistem waralaba mulai dikenal pada tahun 1950-an, yaitu dengan munculnya
dealer kendaraan bermotor melalui pembelian lisensi. Perkembangan kedua dimulai pada
tahun 1970-an, yaitu dengan diamulainya sistem pembelian lisensi plus, yaitu franchisee
tidak sekedar menjadi penyalur, namun juga memiliki hak untuk memproduksi produknya .
Agar waralaba dapat berkembang dengan pesat, maka persyaratan utama yang harus dimiliki
satu teritori adalah kepastian hukum yang mengikat baik bagi franchisor maupun franchisee.
Karenanya, kita dapat melihat bahwa di negara yang memiliki kepastian hukum yang jelas,
waralaba berkembang pesat, misalnya di AS dan Jepang. Tonggak kepastian hukum akan
format waralaba di Indonesia dimulai pada tanggal 18 Juni 1997, yaitu dengan
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) RI No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba. PP No.
16 tahun 1997 tentang waralaba ini telah dicabut dan diganti dengan PP no 42 tahun 2007
tentang Waralaba. Selanjutnya ketentuan-ketentuan lain yang mendukung kepastian hukum
dalam format bisnis waralaba adalah sebagai beriku:
a. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 259/MPP/KEP/7/1997 Tanggal
30 Juli 1997 tentang Ketentuan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba.            
b. Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 31/M-DAG/PER/8/2008 tentang
Penyelenggaraan Waralaba 
c. Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten.      
d. Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek.    
e. Undang-undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang  
Kelebihan waralaba            
a. Pelatihan formal  
b. Bantuan keuangan          
c. Metode pemasaran yang telah terbukti   
d. Bantuan management     
e. Jangka waktu permulaan bisnis yang lebih cepat           
f. Tingkat kegagalan keseluruhan lebih rendah      
Kekurangan waralaba         
a. Pajak franchisee  
b. Royalty   
c. Control yang ketat          
d. Batas pertumbuhan        
e. Kurangnya kebebasan dalam operasi      
f. Franchisor mungkin penyalur tunggal dari beberapa peralatan  
Banyak orang masih skeptis dengan kepastian hukum terutama dalam bidang waralaba di
Indonesia. Namun saat ini kepastian hukum untuk berusaha dengan format bisnis waralaba
jauh lebih baik dari sebelum tahun 1997. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya payung
hukum yang dapat melindungi bisnis waralaba tersebut. Perkembangan waralaba di
Indonesia, khususnya di bidang rumah makan siap saji sangat pesat. Hal ini ini dimungkinkan
karena para pengusaha kita yang berkedudukan sebagai penerima waralaba (franchisee)
diwajibkan mengembangkan bisnisnya melalui master franchise yang diterimanya dengan
cara mencari atau menunjuk penerima waralaba lanjutan. Dengan mempergunakan sistem
piramida atau sistem sel, suatu jaringan format bisnis waralaba akan terus berekspansi. Ada
beberapa asosiasi waralaba di Indonesia antara lain APWINDO (Asosiasi Pengusaha
Waralaba Indonesia), WALI (Waralaba & License Indonesia), AFI (Asosiasi Franchise
Indonesia). Ada beberapa konsultan waralaba di Indonesia antara lain IFBM, The Bridge,
Hans Consulting, FT Consulting, Ben WarG Consulting, JSI dan lain-lain. Ada beberapa
pameran Waralaba di Indonesia yang secara berkala mengadakan roadshow diberbagai
daerah dan jangkauannya nasional antara lain International Franchise and Business Concept
Expo (Dyandra),Franchise License Expo Indonesia ( Panorama convex), Info Franchise Expo
( Neo dan Majalah Franchise Indonesia).     

Anda mungkin juga menyukai