Anda di halaman 1dari 2

Mungkinkah Tarif Tol Trans Jawa Turun?

Sejak diputuskan bertarif penuh, Tol Trans Jawa banyak dikeluhkan karena dinilai terlalu mahal. Kepala
Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT), Danang Parikesit, tidak menutup kemungkinan adanya perubahan tarif.
Dia menjelaskan, ada dua pertimbangan penyesuaian tarif yakni dari sisi konsumen dan operator tol.
Dari sisi konsumen, yang diperhitungkan adalah tingkat penggunaan tol. Sementara dari sisi operator
yang dilihat yakni tingkat stabilitas revenue. "Operator tol kan concern-nya satu. Dia itu maintenance
revenue level. Kan tidak berarti kalau misalnya tarifnya turun penggunanya tetap. Asumsi kita kan kalau
tarifnya turun penggunanya bertambah," ungkapnya ketika ditemui di Jakarta Convention Center (JCC),
Kamis (28/2/2019).

Di sisi lain, pihaknya juga sudah berdialog dengan Asosiasi Logistik Indonesia (ALI). Sejauh ini, banyak
pengusaha mengeluhkan ongkos logistik mahal jika melewati tol, sehingga ada kecenderungan memilih
jalan nasional non-tol. Dari hasil pertemuan, Danang memahami bahwa industri berhak memilih
penggunaan jalan. Sebab, menurutnya adanya tol merupakan sebuah alternatif. "Ini yang saya kira harus
jadi pemahaman kita bersama. Bahkan kalau memungkinkan pakai kereta api kan dipakai juga. Jadi pada
akhirnya kan masyarakat akan memilih," tambahnya.

Kondisi demikian menurutnya wajar. Termasuk jika tol didominasi oleh kendaraan Golongan I, tetap ada
dampak positif seperti penurunan traffic di jalan nasional. Sejauh ini, BPJT sudah berkoordinasi dengan
badan usaha jalan tol (BUJT) selaku operator. Dikatakan, ada tren positif penggunaan jalan tol yang tidak
lagi didominasi kendaraan Golongan I. "Yang jelas laporan bagus untuk pengguna Golongan II dan III.
Termasuk bus-bus penumpang mengalami kenaikan permintaan luar biasa. Jadi saya akan terus pantau
hasilnya sampai ada perintah berikutnya. Kita juga sudah kumpulkan asosiasi tol. Mereka juga review
secara berkala," pungkasnya.

Berdasarkan hal tersebut, silahkan dianalisis dan berikan argumentasi, sehingga diperoleh
pertimbangan yang terbaik dari kondisi dimaksud.
Hampir Semua Ritel Beralih ke Toko Online

Sekitar 95% anggota Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) telah bertransformasi atau beralih ke
sistem dalam jaringan (daring). Perubahan ini untuk mendukung bisnis mereka di era digital. ”Ritel di
Indonesia saat ini sudah mentransformasikan bisnisnya tidak hanya ke toko fisik, tapi juga ke online
store. Anggota kami sekitar 600 anggota dengan 40.000 toko fisik itu sudah 95% mentransformasikan
bisnisnya ke online,” kata Ketua Aprindo Roy Mandey dalam jumpa pers Konferensi Future Commerce
Indonesia 2019 di Jakarta. Sekitar 5% sisanya, kata Roy, merupakan pemain lokal yang tumbuh dan
berkembang dengan kondisi toko fisik dan masih enggan bertransformasi karena optimistis dengan
kondisi tersebut.

”Selalu kami yakinkan mereka untuk tidak hanya punya toko offline, tapi juga punya online. Toko fisik
juga masih perlu karena tetap saja ada yang butuh melihat secara fisik,” ujarnya. Menurut Roy,
masuknya ritel offline ke sistem online, baik melalui e-commerce atau marketplace disebabkan tingginya
permintaan konsumen. ”Tidak hanya (permintaan) milenial, tapi juga oleh para baby boomers (generasi
yang lahir dengan rentang tahun lahir 1946– 1964),” tuturnya. Roy menyebut pengusaha saat ini tidak
mungkin bisa menolak digitalisasi. Pasalnya, selain harus mengikuti tren yang ada, digitalisasi dinilai bisa
mendongkrak pertumbuhan atau pencapaian target omzet ritel.

”Digitalisasi adalah keniscayaan, maka kita harus absorb( serap). Kami harap peran digitalisasi semakin
baik. Artinya, jadi punya aturan, bukan semakin tak punya aturan,” katanya. Pengamat Ekonomi Institute
for Development of Economics and Finance (Indef), Aviliani menilai, bisnis ritel memang sudah
seharusnya melakukan inovasi dan antisipasi dengan tren yang berkembang. Menurutnya, jika
pengusaha tidak mampu mengantisipasi perubahan gaya hidup, maka bisnisnya akan mati. Apalagi 4%
angkatan kerja atau penduduk usia produktif merupakan generasi milenial yang sudah fasih digital.

Keberadaan internet atau digital tentu akan mengubah pola konsumsi. Dia mengatakan, pada 2030 mau
tidak mau sektor ritel akan berubah sehingga harus pandai dalam merencanakan bisnisnya supaya tidak
ketinggalan pasar. ”Jadi lebih melihatnya pada mengantisipasi pasar. Bisnis harus melihat perubahan
demand,” kata dia. Namun, perubahan konsumsi dari konvensional ke online sebaiknya tidak disikapi
berlebihan. Pasalnya, bisnis online belum mampu menyubstitusi offline. ”Tetapi bahwa offline harus
punya online itu betul. Jadi, dua-duanya harus dijalankan. Menurut saya tidak apa-apa dipadukan.
Jangan mendikotomi antara Online dan offline,” kata dia.

Dia mengatakan, dengan memadukan keduanya, penjualan akan lebih tinggi dibandingkan yang hanya
memiliki salah satunya. Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Piter Abdullah menilai
transformasi bisnis ritel dari offline ke online tidak terelakkan. ”Saya kira suatu saat nanti tidak ada lagi
bisnis ritel yang sama sekali tidak memanfaatkan kemajuan teknologi informasi untuk mengembangkan
pasar,” ujarnya saat dihubungi kemarin. Saat ini bahkan sudah ada aplikasi yang memungkinkan
pedagang kios kecil berbisnis ritel secara digital. Menurut Piter, mereka yang tidak memanfaatkan
sistem dalam jaringan atau Online akan tersisih.

Berdasarkan hal tersebut, silahkan dianalisis dan berikan argumentasi, sehingga diperoleh
pertimbangan yang terbaik dari kondisi dimaksud.

Anda mungkin juga menyukai