Anda di halaman 1dari 3

Cara Diagnosa :

A. Echinococcus
Teknik dan prosedur diagnosis yang digunakan untuk identifikasi E. granulosus
tergantung infeksinya (secara alami), inangnya (ISD & ISA) yang akan diperiksa. Diagnosis
juga untuk menentukan stadia larva hidatid dalam tubuh manusia.
diagnosis dapat dilakukan sbb:
1. secara klinik dan parsitologi, bila ditemukan adanya protoscolices dalam sputum
penderita akibat kista paru-paru yang ruptur,
2. secara radiology, dengan sinar X (Xray),
3. secara imunologi (Uji Casoni, uji Haemaglutinasi, uji Complement Fixation Test/CFT).
dengan uji Indirect Flourescent Antibody Technique (IFAT) dapat untuk diagnosis
ekinokokosis pada manusia dan domba untuk mengetahui peranan inang lain (terutama
sapi) yang dapat menjadi transmisi (reservoar) ke manusia dapat dilakukan analisis DNA
dengan PCR.

DIAGNOSIS E. GRANULOSUS PADA ANJING Diagnosis dengan mengidentifikasi telur E.


granulosus dari feses anjing secara mikroskopis sulit dilakukan, karena tidak mudah untuk
membedakan antara telur E. granulosus dan telur Taenia sp. Namun dengan nekropsi
anjing, dapat dilakukan identifikasi cacing dewasanya dengan bantuan mikroskup stereo,
biasanya E. granulosus dapat dijumpai padasepertiga bagian usus kecil anjing ada tiga cara
untuk diagnosis ekinokokosis yaitu, pertama, purgasi dengan arecoline bromida untuk
verifikasi adanya parasit. Kedua, Uji ELISA untuk mendeteksi coproantigen dan ketiga
dengan indirect immunosorbent antibody test untuk mendeteksi adanya antibody terhadap
E.granulosus.

Diagnosis hidatidosis pada manusia


Diagnosis larva hidatid pada manusia didasarkan pada pemeriksaan sinar X (XRAY),
ultrasonography dan metode lainnya dan didukung dengandeteksi antibody terhadap
antigen echinococcus. Kemudian dikonfirmasi dengan adanya parasit tersebut. Diagnosis
secara serologis dapat dilakukan secara imunodiagnostik yakni, mendeteksi serum antibody
spesifik dengan metode ELISA (Enzyme Linked immunosorbent Assay) dengan Crude Antigen
EgCF. diagnosis kejadian awal hidatidosis yang dilakukan dengan metoda IFAT dapat
memberikan tingkat specifisitas dan sensitivitas masing-masing pada manusia 80 dan 90%
dan pada domba keduanya 90%.

B. Diphylidium Caninum

Pada pemeriksaan fisik, penderita akan menunjukkan gejala kondisi umum emasiasi dan
lethargy, kulit dan bulu alopesia, eruthema. Membrana mukosa anemis dan pada
anusterdapat proglotid cacing. Feses lembek dan berdarah, ditemukan proglotid cacing, dan
hasil pemeriksaan mikroskopis adanya proglotid dan telur Dypilidium caninum. Pada mata
dan telinga discharge mata mukopurulen dan wax pada ear canal. Untuk menegakkan
diagnosis, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium penunjang, pemeriksaan feses secara
mikroskopis dan identifikasi pinjal yang ditemukan pada permukaan kulit dan bulu. akan
ditemukan Pemeriksaan feses pemeriksaan cacing D. caninum dilakukan dengan melihat
langsung keberadaan proglotid pada feses, sedangkan pemeriksaan feses di laboratorium
dengan metode McMaster. Metode McMaster digunakan untuk melihat keberadaan telur
sekaligus menghitung jumlah telur. Prinsip kerja dari metode ini merupakan modifikasi
metode pengapungan. Larutan dimasukkan kedalam kamar hitung McMaster dan ditunggu
lima menit supaya telur mengapung. Kamar hitung McMaster diamati menggunakan
mikroskop dengan perbesaran 100 kali. Jumlah telur tiap gram per tinja (TTGT). Apabila
pada pemeriksaan menggunakan metode McMaster hasilnya nol, maka dilanjutkan dengan
metode pengapungan untuk memastikan tidak ada telur. Sampel feses yang telah
ditambahkan larutan gula-garam jenuh pada metode McMaster dituang ke dalam tabung
reaksi sampai penuh dan terbentuk miniskus pada puncaknya. Identifikasi pinjal dilakukan di
bawah mikroskop dengan kunci identifikasi Wall & Shearer.

C. Taenia Multiceps
Diagnosis Taeniasis bisa dilakukan dengan menemukan dan mengidentifikasi
proglotid atau telur cacing dalam feses di bawah mikroskop. Telur cacing Taenia berbentuk
spherical, berwarna coklat dan mengandung embrio. Telur cacing ini bisa ditemukan di feses
dengan pemeriksaan menggunakan metode uji apung. Proglotid Taenia dapat dibedakan
dari cacing pita lainnya dengan cara membedakan morfologinya. Cacing Taenia juga bisa
diidentifikasi berdasarkan skoleks dan proglotidnya. Untuk diagnosis sistiserkosis sangat sulit
dilakukan pada hewan hidup. Pada hewan kecil, diagnosis dilakukan dengan Magnetic
Resonance Imaging (MRI) untuk melihat adanya kista yang sudah mengalami kalsifikasi,
sedangkan, pada hewan besar biasanya dilakukan secara post mortem dengan melakukan
pemeriksaan daging. Sistiserkus kadang-kadang dapat dideteksi pada lidah hewan dengan
melakukan palpasi akan teraba benjolan/nodul di bawah jaringan kulit atau intramuskular.
Palpasi adalah merupakan satu-satunya cara deteksi ante mortem pada hewan yang diduga
terinfeksi sistiserkosis di daerah endemis pada negara yang. Meskipun diagnosis sistiserkosis
bisa dilakukan dengan cara palpasi pada lidah hewan dan telah dilaporkan sangat spesifik,
tetapi sensitivitasnya sedang, terutama pada hewan yang infeksinya ringan. lidah, tetapi
dengan uji ELISA (Enzyme-linked Immunoabsorbent Assay) dinyatakan seropositif. Dalam hal
ini uji serologi lebih dapat dipercaya untuk deteksi infeksi T. solium daripada pemeriksaan
palpasi lidah. Pada manusia, diagnosis Taeniasis dilakukan selain dengan menemukan telur
cacing atau proglotid dalam feses, juga bisa dilakukan dengan cara pemeriksaan serologi
yaitu dengan ELISA, Enzymelinked Immunoelectro Transfer Blot (EITB), Complement fixation
dan haemagglutination dan PCR (Polymerase Chain Reaction). Sedangkan, diagnosis
sistiserkosis dilakukan dengan pemeriksaan Computed Tomography (CT) Scan dan MRI
untuk mengidentifikasi adanya sistiserkus dalam otak. Kista yang sudah mati atau
mengalami kalsifikasi dalam daging/jaringan bisa terdeteksi dengan pemeriksaan X-Ray.
Biopsi juga bisa dilakukan untuk memeriksa adanya benjolan/kista di bawah jaringan
kulit.Diagnosis secara serologi digunakan juga untuk mendeteksi sistiserkosis pada ternak
dan ELISAmerupakan uji yang paling banyak digunakan. sistiserkosis pada anjing dapat juga
terdeteksi secara serologi, tetapi sensitivitas dan spesifisitasnya masih perlu dievaluasi.
DAFTAR PUSTAKA

Bashofi,A.S., Soviana,S. dan Ridwan,Y. (2015). Infestasi pinjal dan infeksi Dipylidium caninum
(Linnaeus) pada kucing liar di lingkungan kampus Institut Pertanian Bogor,
Kecamatan Dramaga. Jurnal Entomologi Indonesia. 12(2): 108–114.
Estuningsih,S.E. (2009). Taeniasis dan sistiserkosis merupakan penyakit zoonosis parasiter.
WARTOZOA. 19(2) : 84-92.
Tarmudji. (2013).Ekinokokosis/hidatidosis, suatu zoonosis Parasit cestoda penting terhadap
kesehatan masyarakat. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis. 2(3): 266-274.
Yuniarti, W.M. dan Lukiswanto,B.S. (2013). Infeksi Dipylidium caninum pada kucing.
VetMedika J Klin Vet. 1(2) : 52 – 55.

Anda mungkin juga menyukai