Anda di halaman 1dari 8

Filsafat Sejarah Ibn Khaldun

Ulil Abshar-Abdalla

Tetapi, satu hal yang ingin saya sebut adalah


bahwa peradaban Islam pada saat
keemasannya tidaklah seperti dibayangkan oleh
kaum Islamis "modern" atau pengusung ide
khilafah, yakni peradaban yang seluruhnya
bertumpu pada syariat Islam, fikih, dan aturan
agama yang ketat.

Karya Ibn Khaldun (w. 1406 M) yang sudah "kanonik",


Mukaddimah, memuat banyak observasi yang masih terasa segar
dan relevan hingga saat ini.

Tak habis-habisnya mengagumi karya satu ini; karya yang nyaris


Ibn Khaldun
mengagetkan bisa muncul dari kalangan sarjana Islam pada era
(lahir di Tunisia 27 Mei 1332 – meninggal 19 Maret 1406)
tatkala peradaban Islam pelan-pelan sedang mengalami
kemunduran di segala bidang, terutama di bidang pemikiran. Yang
Rintisan Rosenthal diteruskan oleh sarjana Muslim asal Irak yang
lebih mengagetkan lagi, karya ini tidak mendapatkan perhatian yang
lama mengajar di Universitas Chicago, kemudian diteruskan di
cukup dari kalangan Islam sendiri yang lebih banyak "terpukau" oleh
Universitas Harvard, Prof. Muhsin Mahdi, melalui kajiannya atas
kajian fikih.
filsafat sejarah Ibn Khaldun. Prof. Mahdi wafat bulan Juli, 2007
Terus terang, yang membuat nama Ibn Khaldun bersinar terang dalam usia 81. Minat Prof. Mahdi atas pemikiran Ibn Khaldun antara
kembali, antara lain, adalah kerja keras para orientalis Barat yang lain diilhami oleh gurunya di Universitas Chicago, Leo Strauss,
dengan gigih membongkar "lumbung" intelektual Islam yang kaya seorang filsuf dan sarjana besar Yahudi asal Jerman yang juga
sekali, namun tak seluruhnya disadari oleh kalangan sarjana Muslim. dikenal karena penelitiannya atas al-Farabi.
Franz Rosenthal adalah orientalis pertama yang memberi perhatian
Terjemahan "akademis" atas karya ini belum pernah sekalipun
terhadap karya sarjana Islam yang hidup di abad ke-14 ini lewat
dikerjakan di Indonesia. Yang kita miliki adalah terjemahan
terjemahannya atas Mukaddimah, sehingga nama besar Ibnu
"komersial" (kalau boleh memakai istilah ini) yang dibuat Ahmadi
Khaldun bangkit kembali.
Taha pada pertengahan 80-an dan diterbitkan oleh Pustaka Firdaus,

1
Jakarta. Usaha Ahmadi Taha, bagaimanapun, layak kita hargai di Yang menarik adalah judul bab yang membahas mengenai
tengah kelangkaan sarjana Muslim Indonesia yang bersedia masalah ini, "Fasal ke-34, perihal bahwa ulama, di antara manusia
"belepotan" untuk menerjemahkan karya-karya kanonik Islam ke yang lain, adalah mereka yang paling jauh dari politik dengan
dalam bahasa Indonesia, terutama karya yang tak ada sangkut- seluruh cabang-cabangnya" (Fi anna al-ulama' min bain al-basyar
pautnya dengan kajian fikih. ab'ad 'an al-siyasah wa madhahibiha). (Mukaddimah, cetakan Kairo,
tanpa tahun, hal. 542).
Mukaddimah karya Ibn Khaldun memuat banyak sekali observasi
atas "masyarakat manusia" yang, menurut saya, masih terus layak Menurut Ibn Khaldun, ulama (baca: intelektual, cendekiawan)
dibaca dan dikaji hingga sekarang. Buku ini adalah salah satu hasil cenderung jauh, atau menjauhi politik karena watak mereka yang
"jenius" dalam sejarah Islam yang sangat mengagumkan. lebih cenderung tenggelam atau menenggelamkan diri dalam dunia
ide dan refleksi intelektual (mu'tadun al-nazar al-fikri wa al-ghaus
Sangat disayangkan bahwa karya besar ini sama sekali tak 'ala al-ma'ani). Mereka cenderung melakukan abstraksi, dalam
memperoleh perhatian di kalangan pesantren. Kajian Islam di pengertian mencari pola-pola umum dari data-data empirik yang
pesantren atau umumnya lembaga-lemabaga pendidikan Islam yang terserak. Minat mereka bukan pada fakta-fakta empirik yang bersifat
cenderung berpusat pada "ilmu-ilmu ortodoks" (fikih, hadis, tafsir) sporadis dan carut marut, tetapi mencari pola-pola umum, atau apa
layak diperluas dengan melibatkan karya-karya "non-ortodoks" yang disebut oleh Ibn Khaldun sebagai "umur kulliyyah 'ammah".
seperti karya Ibn Khaldun ini.
Kerja ulama, dalam pandangan Ibn Khaldun, adalah persis
Membaca buku ini, menurut saya, sangat nikmat dan lezat bukan seperti yang ia kerjakan sendiri, yakni melihat sejarah sebagai suatu
sekedar karena di sana kita bisa menjumpai analisis Ibn Khaldun arena tempat bekerjanya pola-pola besar. Bagi seorang sejarawan,
yang tajam terhadap sejumlah gejala sosial pada zamannya, tetapi suatu data sejarah kecil di sebuah tempat dan berkenaan dengan
terlebih lagi karena mutu bahasanya yang sangat baik dan masyarakat tertentu, tidaklah terlalu menarik. Sebab, yang penting
cemerlang. Sungguh luar biasa mendapatkan sejumlah observasi bagi dia adalah sebuah pola atau hukum yang bersifat umum.
yang begitu cemerlang yang bisa ditemukan dalam buku ini. Di sini Dengan kata lain, abstraksi pemikiran adalah watak yang melekat
saya ingin berbagi apa yang saya baca khususnya untuk teman- pada kerja seorang ulama.
teman yang memiliki minat terhadap pemikiran Islam klasik.
Sementara itu, politik, menurut Ibn Khaldun, menuntut sesuatu
Salah satu observasi Ibn Khaldun yang menarik adalah mengenai yang lain. Seorang yang bekerja di sektor politik harus membaca
hubungan antara "ulama" dan "politik". Kata ulama di sini sebaiknya dengan jeli setiap gejala secara spesifik. Seorang "politisi" (istilah ini
tak usah dikaitkan dengan istilah "ulama" dalam, misalnya, Majelis saya pakai untuk menerjemahkan istilah Ibn Khaldun, "shahib al-
Ulama Indonesia (MUI). Sebab yang dimaksud Ibn Khaldun dengan siyasah"), "dituntut untuk memperhatikan segala sesuatu yang
istilah ini jauh lebih luas. Dalam pemakaian modern, istilah ulama berkembang di dalam dunia empirik berikut segala hal yang menjadi
sebagaimana kita jumpai dalam karya Ibn Khaldun, terutama dalam akibatnya (mura'at ma fi al-kharij wa ma yalhaquha min al-ahwal wa
bab yang saya bahas ini, paralel dengan isitlah "intelektual", yatba'uha).
"cendekiawan", atau "philosophe" sebagaimana dipakai di dalam
tradisi Prancis.

2
Yang menarik adalah bahwa dalam pandangan Ibn Khaldun, lebih mudah terhindar dari kecenderungan "meng-qiyas-kan" satu
setiap peristiwa dalam dunia politik adalah unik, dan karena itu gejala dengan gejala yang lain. Sikap "intelektual" kaum awam, kata
menuntut perlakuan yang khusus. Oleh karena itu, "qiyas" atau Ibn Khaldun, adalah seperti seorang perenang di samudra yang
"analogi fikih", cenderung kurang tepat dipakai dalam menangani selalu awas dan menjaga diri terus dekat dengan pantai, dan tidak
perkara-perkara politik. Seorang ulama/intelektual yang biasa keasyikan "lepas" ke tengah lautan sehingga akhirnya tenggelam.
bekerja dengan "qiyas", pola-pola umum, teori, biasanya cenderung
gagal dalam sektor politik, karena mereka mengira bahwa suatu Analisis Ibn Khaldun ini sangat cemerlang karena menangkap
pola bisa diterapkan di mana-mana. perbedaan yang mendasar antara dunia "intelektual" dan dunia
"politik". Pembaca modern akan dengan mudah diingatkan melalui
Selain "qiyas", Ibn Khaldun juga memakai istilah "muhakah" analisis dari abad ke-14 ini kepada analisa serupa dari Julien Benda.
(harafiah: meniru) yang dalam pemakaian modern bisa kita Meskipun Ibn Khaldun sama sekali tidak mengatakan bahwa seorang
terjemahkan sebagai "ekstrapolasi", atau memproyeksikan suatu ulama/intelektual yang masuk ke dunia politik sedang melakukan "la
hukum yang berlaku pada suatu kasus ke kasus-kasus lain. Kerja trahison des clercs" atau pengkhianatan kaum "klerk" (kaum
intelektual para ulama biasanya bertumpu pada "qiyas" dan intelektual).
"muhakah". Politik tidak bisa diperlakukan dengan cara demikian.
Saya kutip kalimat Ibn Khaldun yang menarik: Pengamatan Ibn Khaldun ini juga menarik karena sama sekali
meninggalkan tradisi al-Farabi yang justru melihat politik sebagai
"Suatu keadaan yang berkaitan dengan peradaban tertentu tak wilayah kerja "raja-filosof" seperti dalam kerangka pemikiran Plato.
bisa dianalogikan dengan keadaan (peradaban) lain, sebab, Wawasan Ibn Khaldun jelas lebih empirik.
meskipun boleh jadi mengandung kesamaan dalam satu hal, dua
keadaan itu juga mengandung perbedaan dalam segi-segi yang lain. Dalam fasal ke-17, Ibn Khaldun mengulas suatu gejala menarik
Itulah sebabnya, seorang ulama yang biasa melakukan generalisasi yang muncul dalam setiap peradaban yang telah mencapai suatu
atas suatu hukum dan menganalogikan suatu gejala dengan gejala taraf kematangan.
yang lain, saat mereka menganalisa politik, cenderung Sebagaimana kita tahu, Ibn Khaldun memakai istilah "'umran"
menumpahkan gejala-gejala politik itu ke dalam bejana teoritik yang dalam kesarjanaan modern diterjemahkan sebagai
(qalab andzarihim) dan sejumlah deduksi mereka yang lain. Karena "peradaban". Saya lebih cenderung mengartikan istilah ini sebagai
itu, mereka seringkali melakukan kesalahan." (hal. 542, baris 14- "urbanisme" atau gejala meng-kota. Sebab, apa yang disebut
17). sebagai 'umran oleh Ibn Khaldun selalu dikaitkan dengan fenomena
Yang mengejutkan adalah pengamatan Ibn Khaldun berikut ini. kota (al-hadhar) sebagai lawan dari gejala masyarakat badui yang
Orang-orang awam yang tak terbiasa dengan "qiyas", "muhakah", cenderung nomaden.
abstraksi, teori-teori besar memiliki kemungkinan besar untuk Judul fasal ini adalah, "Perihal bahwa profesi-profesi akan
sukses dalam politik justru karena mereka bisa memberi perhatian mengalami penyempurnaan seturut dengan kian sempurna dan
yang cukup pada setiap gejala, dan memperlakukannya sebagai menyebarnya gejala urbanisme" (hal. 400-401).
sesuatu yang "einmalig" atau unik. Mereka, orang-orang awam itu,

3
Dalam bagian ini, Ibn Khaldun mengemukakan suatu observasi Ibn Khaldun sadar mengenai dua aspek dalam ilmu, yakni aspek
yang menarik yang paralel dengan teori sosiologi modern mengenai teoritik dan terapan. Ilmu murni mungkin paralel dengan istilah "al-
"pembagian kerja" dan diferensiasi sosial. 'ulum", sementara ilmu terapan adalah sepadan dengan istilah "al-
shana'i'".
Ia mengatakan bahwa masyarakat yang belum mencapai suatu
kematangan dalam urbanisme di mana kota-kotanya belum Suatu urbanisme yang matang dan berkembang maju, menurut
berkembang (tatamaddan al-madinah) cenderung untuk Ibn Khaldun, akan dibarengi oleh perumitan dan pencanggihan di
memusatkan diri pada usaha untuk mencukupi kebutuhan subsisten, bidang "al-'ulum" dan "al-shana'i'". Begitu pula saat 'umran atau
yaitu mengusahakan bahan pangan pokok (al-aqwat). Setelah tahap urbanisme merosot, kemajuan dalam bidang ilmu dan kerajinan juga
ini terlampaui, dan kota-kota mereka kian maju, serta sejumlah akan mengalami kemerosotan pula.
bidang pekerjaan (al-a'mal) mulai muncul, maka pelan-pelan
mereka akan mulai memanfaatkan surplus kekayaan yang ada (al- Pengamatan Ibn Khaldun ini jelas bukan berasal dari fantasi yang
zai'd) untuk hal-hal yang bersifat kemewahan hidup, "luxuries" (al- berasal dari "awan", tetapi berdasarkan pengamatan langsung dia
kamalat min al-ma'ash). pada "up" dan "down" dari peradaban Islam sendiri. Berdiri pada
abad ke-14, Ibn Khaldun memiliki keuntungan dan kemewahan
Ada dua aspek yang inheren pada manusia yang menyebabkan untuk bisa melihat, menganalisis dan menjelaskan jatuh-bangunnya
terjadinya gejala seperti ini. Pertama, aspek yang menyebabkan peradaban Islam, dalam cara serupa yang belakangan, dalam era
manusia berbeda dengan binatang, yaitu intelektualitas (fikr), dan modern, dilakukan oleh sejarawan-sejarawan besar seperti Arnold
aspek kehewanan serta nutritif (al-hayawaniyyah wa al- Toynbee atau, yang lebih populer, Will Durant.
ghidza'iyyah). Kebutuhan manusia untuk memenuhi tuntutan aspek
yang kedua ini biasanya lebih mendesak, dan karena itu harus Yang menarik adalah bahwa Ibn Khaldun tidak semata-mata
didahulukan, ketimbang tuntutan aspek yang pertama. Makin mengembalikan proses jatuh-bangunnya peradaban Islam ini
berkembang dan canggih perkembangan 'umran atau urbanisme kepada "kehendak Tuhan", tetapi, dengan teliti dan cermat, dia
suatu masyarakat, makin pesat pula perkembangan bidang-bidang mencoba mencari proses sosial-historis yang bekerja dalam
profesi dalam masyarakat bersangkutan. masyarakat. Ia melihat bahwa perkembangan peradaban tunduk
pada suatu hukum atau pola tertentu. Pola ini bekerja pada
Yang menarik, Ibn Khaldun memakai istilah "al-shana'i'", bentuk masyarakat mana pun, baik Muslim atau non-Muslim.
plural dari "shani'ah" yang dalam tulisan ini saya terjemahkan
sebagai "profesi". Mungkin terjemahan ini kurang terlalu tepat. Marilah kita ikuti sejumlah detil-detil pengamatan Ibn Khaldun
Istilah yang mungkin mendekati adalah "craft" atau kerajinan yang mencerminkan sejumlah perkembangan yang ada pada abad
tangan. Jika industrialisasi sudah muncul dalam peradaban Islam ke-14 Masehi. Sementara itu, kita perlu mengetahui, walau secara
saat itu, tentu istilah itu akan tepat kita terjemahkan sebagai selintas, semacam "state of the art" dari peradaban Islam pada saat
"teknologi". Selain istilah ini, Ibn Khaldun juga memakai istilah lain Ibn Khaldun hidup. Sebagaimana kita tahu, Ibn Khaldun hidup
yang sudah lazim dipakai pada saat itu, yakni "al-'ulum" atau ilmu. dalam rentangan antara 1332 M hingga 1406.
Penggunanaan dua istilah ini secara serentak menandakan bahwa

4
Pada saat itu, sekurang-kurangnya ada dua dinasti besar Islam. "al-warraqun", yakni profesi penulisan manuskrip buku. Pada saat
Pertama adalah dinasti Mamluk di Mesir yang berkuasa antara 1250- itu, penggunaan kertas sudah mulai dikenal luas dalam peradaban
1517. Kedua adalah dinasti Usmaniyah yang melanjutkan dinasti Islam, sehingga memudahkan penyebaran karya-karya para sarjana
Abbasiyah yang runtuh pada 1258. Pada saat Ibn Khaldun hidup, Islam. Peran penting dalam penyebaran ini dimainkan oleh seorang
riak-riak pencerahan mulai muncul di Eropa, terutama di Italia. Ibn "warraq" yang melakukan penyalinan naskah secara manual.
Khaldun juga hidup tidak lama sebelum pecahnya reformasi dalam Pekerjaan "warraq" bukan sekedar menyalin naskah (intisakh),
agama Kristen. tetapi juga "editing" (tashih) dan penjilidan (tajlid). Dengan kata
lain, profesi "warraq" adalah apa yang sekarang berkembang
Contoh urbanisme yang maju pesat yang disebut oleh Ibn menjadi "publishing house" atau penerbitan. "Warraq" pada zaman
Khaldun dalam bukunya ini adalah apa yang ia lihat di Kairo, Mesir, Ibn Khaldun adalah semacam Mizan atau Gramedia pada masa kita
ibu kota dari dinasti Mamluk. Ia menyebut sejumlah profesi yang saat ini.
ada pada saat itu, misalnya "jazzar", yakni profesi penyembelihan
hewan, "dabbagh", yakni penyamakan atau pengolahan kulit, Ibn Khaldun menyebut perkembangan bidang-bidang ini sebagai
"kharraz", yakni semacam usaha pengolahan kulit untuk menjadi cerminan dari apa yang ia sebut sebagai "al-taraf fi al-madinah"
bahan pakaian, "sha'igh", yakni "jewellery" atau pengolahan emas atau kemewahan urban. Dia juga mengemukakan suatu
menjadi bahan-bahan perhiasan, "dahhan", pembuatan parfum, pengamatan yang menarik bahwa dalam segi-segi tertentu,
"shaffar", yakni pengolahan kuningan, "al-hammami", yakni usaha kemewahan ini juga kadang-kadang bergerak secara ekstrim. Ibn
mandi uap (semacam industri spa yang sekarang menjamur di Khaldun menyebut sejumlah contoh, misalnya: profesi melatih
Jakarta itu), "al-tabbakh", yakni usaha restoran, "shamma'", yakni burung dan keledai, sulap, dan berjalan serta menari di atas seutas
kerajinan lilin, "al-harras", usaha yang berkaitan dengan pembuatan tali. Deskripsi Ibn Khaldun yang jeli ini langsung membuat saya
permen dan kue. berkesimpulan bahwa pada saat itu pertunjukan sirkus sudah mulai
berkembang.
Ibn Khaldun juga menyebut jenis-jenis usaha lain yang menarik,
misalnya, jika memakai bahasa sekarang, kursus musik, tari dan Pada penutup pengamatannya, Ibn Khaldun mengatakan bahwa
memainkan alat-alat perkusi (mu'allim al-ghina' wa al-raqs wa qar' "kemewahan urban" ini hanya ada di Kairo yang sangat maju saat
al-thubul 'ala al-tauqi'). Istilah "qar' al-thubul 'ala al-tauqi'" layak itu, tetapi tak berkembang di Maghrib atau Tunisia/Maroko, tempat
mendapat perhatian khusus di sini. Secara harafiah, istilah itu di mana dia tinggal saat itu.
berarti menabuh perkusi sesuai dengan nada nota atau nada musik
tertentu. Ini, antara lain, memperlihatkan bahwa ketrampilan Apa yang bisa kita simpulkan dari pengamatan Ibn Khaldun ini?
memainkan alat musik dengan memakai nota tertentu merupakan Tentu ada sejumlah hal menarik yang bisa kita simpulkan dari
bidang yang digemari masyarakat pada saat itu sehingga muncul pengamatan ini. Tetapi, satu hal yang ingin saya sebut adalah
profesi khusus untuk mengajarkannya. bahwa peradaban Islam pada saat keemasannya tidaklah seperti
dibayangkan oleh kaum Islamis "modern" atau pengusung ide
Bidang pekerjaan lain yang disebut Ibn Khaldun dan penting khilafah, yakni peradaban yang seluruhnya bertumpu pada syariat
peranannya dalam reproduksi intelektual Islam pada saat itu adalah Islam, fikih, dan aturan agama yang ketat.

5
Era keemasan peradaban Islam itu juga mengenal sirkus! "mughalathah" atau anggapan yang keliru. Saya kira, di sini Ibn
Khaldun melihat dengan cermat bagaimana proses penundukan atas
Bangsa-bangsa taklukan (al-maghlub) biasanya akan meniru bangsa-bangsa berlangsung. Pada tingkat pertama, penundukan itu
kebudayaan dan adat kebiasaan bangsa-bangsa lain yang berlangsung pada level "fisik" yang biasanya melibatkan
menaklukkan mereka (al-ghalib). kekekerasan, entah melalui perang atau agresi. Setelah penundukan
Ini adalah adalah salah satu "hukum sosial" yang dirumuskan lewat sarana kekerasan fisik ini tercapai (oleh Ibn Khaldun disebut
dengan sangat menarik oleh Ibn Khaldun dalam karyanya, sebagai "ghalbun thabi'iyyun"), muncullah penundukan pada level
"Muqaddimah". Ia mengutarakan observasi ini dalam bab kedua, mental.
fasal ke-23. Di sinilah, bangsa-bangsa yang ditundukkan memiliki anggapan
Judul fasal itu adalah: "Perihal bahwa mereka yang kalah selalu bahwa bangsa yang menang memiliki "keunggulan" secara alamiah
"tergila-gila" untuk meniru mereka yang menang menyangkut ciri- atas mereka. Ibn Khaldun memandang bahwa hal semacam ini tidak
ciri fisik, pakaian, mazhab pemikiran, segala bentuk kebiasaan dan benar, sebab ketundukan mental hanya merupakan selubung untuk
adat mereka" (fi anna al-maghluba mula' abadan bi al-iqtida' bi al- ketundukan pada level fisik.
ghalibi fi shi'arihi wa ziyyihi wa nihlatihi). Peniruan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa yang kalah ini
Marilah kita ikuti bagaimana Ibn Khaldun memberikan penjelasan berlangsung pada pelbagai aspek, mulai dari pakaian (malbas),
atas fenomena ini. Jiwa (al-nafs) bangsa-bangsa yang ditaklukkan kendaraan (markab), senjata (silah), dsb. Ibn Khaldun memberikan
biasanya cenderung memandang bahwa bangsa-bangsa yang contoh atas keadaan yang terjadi di Spanyol. Bangsa Galisia yang
menaklukkan mereka memiliki kesempurnaan yang sifatnya beragama Kristen dan tinggal di kawasan barat laut semenanjung
"alamiah". Ketundukan mereka pada bangsa yang menang sama Iberia (Spanyol) cenderung meniru adat kebiasaan bangsa Muslim di
sekali tak dipandang sebagai sesuatu yang timbul karena adanya Andalusia yang saat itu menjadi bangsa yang unggul atau menang.
"penaklukan alamiah" (ghalbun thabi'iyyun). Dalam teks Ibn Khaldun, istilah yang dipakai untuk menyebut
bangsa Galisia adalah "al-Jalaliqah".
Dengan kata lain, bangsa yang kalah meniru bangsa yang
menang bukan karena adanya "paksaan", tetapi karena adanya Orang-orang Galisia meniru bangsa Muslim dalam banyak hal,
keyakinan pada bangsa yang kalah tersebut bahwa bangsa yang mulai dari mode pakaian, pembuatan lukisan mural (rasm al-
menang, secara "natural", lebih unggul ketimbang mereka. Jika tamatsil fi al-judran), hingga lukisan biasa yang dipajang di rumah,
boleh memakai istilah yang sangat terkenal dari Gramsci, bangsa begitu rupa sehingga siapapun yang melihat keadaan itu akan tahu
yang kalah meniru bangsa yang menang karena adanya semacam bahwa mereka "ditaklukkan" (secara mental) oleh bangsa Muslim.
"persetujuan" atau "consent". Gramsci menyebutnya sebagai Ibn Khaldun menyebut suatu peribahasa yang dikenal luas dalam
"hegemoni". masyarakat saat itu, "al-'ammah 'ala din al-malik", orang-orang
Anggapan pada pihak bangsa yang kalah tentang keunggulan awam biasanya mengikuti "din" atau kebiasaan para raja-raja yang
"alamiah" bangsa yang menang oleh Ibn Khaldun disebut sebagai menundukkan mereka.

6
Yang menarik adalah bahwa Ibn Khaldun melakukan observasi ini Indonesia oleh alm. Prof. Sartono Kartodirdjo, sejarawan terkenal
dengan "dingin" tanpa memberikan suatu penilaian yang sifatnya dari UGM.
normatif. Saya membaca observasi Ibn Khaldun ini sebagai
semacam "hukum sosial" yang bisa berlaku kepada siapa saja, baik Dalam bab kelima, fasal ke-22, Ibn Khaldun mengemukakan
bangsa Muslim atau non-Muslim. Jika yang unggul adalah umat suatu obeservasi yang menarik berkenaan dengan perkembangan
Islam, maka umat lain akan cenderung meniru mereka. Begitu pula profesi (shina'ah) yang ada pada zamannya.
sebaliknya, saat bangsa di luar Islam unggul, tak pelak bangsa- Judul fasal itu adalah "Perihal bahwa seseorang yang memiliki
bangsa Muslim akan meniru mereka pula. kecakapan dalam bidang tertentu, amat jarang bahwa orang yang
Yang patut mendapat perhatian kita dalam observasi Ibn Khaldun sama akan memiliki kecakapan dalam tingkat yang sama di bidang
ini adalah bahwa ketundukan bangsa yang kalah mula-mula terjadi yang lain" (fi man hashalat lahu malakah fi shina'ah fa qalla an
karena "kekerasan" fisik yang dipakai oleh bangsa yang menang. yujida ba'du fi malakah ukhra).
Tanpa kekerasan ini, maka ketundukan mental atau "hegemoni" tak Pengamatan Ibn Khaldun ini didasarkan pada suatu teori
akan berlangsung. Seperti Machiavelli, Ibn Khaldun melihat pengetahuan tertentu, atau tepatnya teori mengenai proses
"kekuasaan fisik" sebagai fakta sosial yang harus dilihat dan kejiwaan. Menurut dia, makin seseorang mendekati keadaan
dianalisis dengan dingin. "alamiah", yakni keadaan ketika seseorang belum mengalami proses
Apa implikasi dari observasi Ibn Khaldun ini? Saya menangkap belajar untuk memperoleh kecakapan tertentu, maka makin
suatu implikasi yang sama sekali mengagetkan dari observasi ini. mudahlah ia untuk mempelajari kecakapan tersebut. Sebaliknya,
Yakni, jika bangsa Galisia atau bangsa non-Muslim lain meniru jika ia telah mempelajari suatu kecakapan tertentu, maka ia akan
kebiasaan orang Islam yang kebetulan menjadi bangsa pemenang sulit untuk mempelajari kecakapan lain dalam derajat kecanggihan
saat itu, maka hal itu bukanlah karena mereka melihat adanya yang sama.
keunggulan pada Islam sebagai suatu agama, tetapi karena Kecakapan, dalam pandangan Ibn Khaldun, adalah semacam
pertama-tama bangsa Muslim memakai kekerasan fisik untuk "warna". Jika jiwa manusia boleh kita analogikan dengan sebuah
menundukkan mereka. kanvas, maka jiwa tersebut tak bisa menerima sejumlah warna
Jangan lupa hukum yang diperkenalkan oleh Ibn Khaldun: secara serentak. Kalaupun ada sejumlah warna dituangkan di sana,
ketundukan mental dimungkinkan karena adanya kekerasan fisik maka salah satu akan tampak menonjol, sementara yang lain
atau "ghalbun thabi'iyyun". hanyalah menjadi semacam latar belakang.

Ibn Khaldun bukan saja seorang sejarawan yang bekerja dengan Observasi Ibn Khaldun ini, jelas, bukan ia peroleh dari "meditasi"
konsep dan kategori besar, tetapi juga sangat "rajin" melihat hal-hal di perpustakaan, tetapi berdasarkan apa yang ia lihat dalam
yang sangat kecil. Pada Ibn Khaldun kita melihat kombinasi yang kehidupan sehari-hari, terutama dalam konteks sejumlah kota besar
menarik antara studi sejarah dan sosiologi, suatu pendekatan yang, yang berkembang pada zamannya di mana “'umran" atau urbanisme
kita tahu semua, pernah dikembangkan dengan amat baik di mencapai tahap yang sangat canggih.

7
Ibn Khaldun memberikan contoh: jika seseorang mencapai suatu susah sejumlah spesialisasi dikuasai dengan baik dan serentak oleh
keunggulan dalam bidang kecakapan jahit-menjahit (khayyath/ seseorang.
khiyathah), begitu rupa sehingga kecakapan itu meresap dengan
mendalam dalam dirinya (rasakhat fi nafsihi), maka ia amat sulit Dengan kata lain, istilah "shina'ah" yang kerapkali dipakai Ibn
sulit untuk bisa unggul dalam, misalnya, bidang pertukangan kayu Khaldun sebetulnya dapat kita tafsirkan sebagai semacam indikasi
atau bangunan (nijarah/bina'). Kecuali jika dia belum begitu ke arah spesialisasi.***
menguasai dengan benar kecakapan menjahit, maka ia bisa belajar
kecakapan pertukangan dengan mudah. Tetapi, begitu satu
kecakapan telah meresap dengan mendalam dalam dirinya, ia sulit
mengusirnya, dan menggantinya dengan kecakapan baru.

Hal ini, menurut Ibn Khaldun, bukan saja berlaku pada sejumlah
ilmu terapan yang mengandaikan pekerjaan tangan, tetapi juga
pada ilmu-ilmu yang lebih bersifat konseptual. Jika seseorang
menguasai "kecakapan intelektual" (malakah fikriyyah) tertentu,
maka ia akan sulit untuk menguasai kecakapan lain dalam derajat
yang sama.

Ibn Khaldun tentu tidak mengabaikan adanya sejumlah kasus


perkecualian. Oleh karena itu, dia mengatakan bahwa sedikit sekali
orang yang bisa "unggul" dalam derajat yang sama dalam sejumlah
kecakapan, baik kecakapan tangan atau konseptual. Harus kita
ingat, "ambisi intelektual" yang ingin dicapai oleh Ibn Khaldun dalam
bukunya, "Muqaddimah", adalah untuk membangun suatu "hukum"
yang berlaku umum, bukan kasus-kasus terbatas yang sporadik--
sesuatu yang tentu amat mencengangkan dilakukan oleh seorang
sarjana Muslim di abad ke-14 M.

Tampaknya ada sesuatu yang secara implisit hendak dikatakan


oleh Ibn Khaldun melalaui observasinya--tentu ini tidak dapat kita
baca dalam bukunya secara harafiah. Observasi ini, tampaknya,
hendak mengatakan bahwa spesialisasi adalah sesuatu yang inheren
dalam "'umran" atau urbanisme tinggi. Spesialisasi mengandaikan
bahwa seseorang mencurahkan seluruh tenaga intelektualnya untuk
satu hal hingga ia mencapai keunggulan di sana. Karena itu, amat

Anda mungkin juga menyukai