Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH IBNU KHALDUN DAN SEDIKIT BIOGRAFINYA

Nama: Rizqy Wahyu Ramadhan

NIM: 22407144015

Ilmu Sejarah B

Filsafat Sejarah
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Ibnu Khaldun (1332-1406 M) adalah seorang cendekiawan Muslim yang hidup pada masa
kegelapan Islam. Ia dipandang sebagai satu-satunya ilmuwan Muslim yang tetap kreatif
menghidupkan khazanah intelektualisme Islam pada periode pertengahan. Ibnu Khaldun dalam
lintasan sejarah tercatat sebagai ilmuwan Muslim pertama yang serius menggunakan pendekatan
historis dalam wacana keilmuan Islam. Sejak al-Kindi, al-Farabi sampai sekarang pemikiran
Islam hanya menyinggung masalah manthiq, tabi’iyyat dan ilahiyat. Ilmu-ilmu kemanusiaan,
termasuk sejarah, tidak atau belum pernah menjadi sudut bidik telaah keilmuan yang serius.
Orang dapat mencatat Ibnu Khaldun sebagai pengecualian yang amat jarang. Perintisan Ibnu
Khaldun terhadap metode historis yang murni ilmiah tidak pernah mendapat tanggapan serius,
dan bahkan tetap terlupakan hingga ditampilkannya kembali karyanya, al-Muqaddimah pada
abad ke-19 M. Padahal Ibnu Khaldun sesungguhnya telah menobatkan sejarah ini sebagai
“Mahkota Ilmu pengetahuan”. Reputasi keilmuan Ibnu Khaldun secara realitas memang diakui
dan dikagumi oleh kaum intelektual, baik dari kalangan Barat maupun Timur. Sungguh banyak
predikat yang disandangkan kepadanya. Ibnu Khaldun terkadang disebut sebagai seorang
sejarawan, ahli filsafat sejarah, sosiologi, ekonom, geografer, ilmuan politik dan lain-lain.
Dikarenakan Ibnu Khaldun telah berusaha menginterpretasikan peristiwa-peristiwa historis
secara filosofis, maka pada sisi ini banyak pakar telah memandang Ibnu Khaldun sebagai Bapak
Filsafat Sejarah.

1. Karya-karya lain Ibnu Khaldun yang bernilai sangat tinggi diantaranya, at-Ta’riif bi Ibn
Khaldun (sebuah kitab autobiografi, catatan dari kitab sejarahnya); Muqaddimah
(pendahuluan atas kitabu al-’ibar yang bercorak sosiologis-historis, dan filosofis); Lubab al-
Muhassal fi Ushul ad-Diin (sebuah kitab tentang permasalahan dan pendapat-pendapat
teologi, yang merupakan ringkasan dari kitab Muhassal Afkaar al-Mutaqaddimiin wa al-
Muta’akh-khiriin karya Imam Fakhruddin ar-Razi). Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas didapatkan rumusan makalah pada makalah ini yaitu:

1. Bagaimana biografi seorang Ibnu Khladun?


2. Bagaimana pemikiran kritis Ibnu Khaldun menganai sejarah?
3. Apa saja Objek dan hukum sejarah menurut Ibnu Khaldun?
4. Apa saja sesungguhnya guna sejarah itu?

1. Tujuan Pembuatan Makalah

Adapun tujuan pembuatan makalah ini yaitu untuk megetahui biografi mengenai Ibnu Khaldun
beserta pandangan kritisnya mengenai sejarah. Dan juga mengatahui objek sejarah dan hukum-
hukum sejarah menurut Ibnu Khaldun ditambah dengan guna sejarah itu sendiri.
BAB II

PEMBAHASAN

Biografi Ibnu Khaldun

Ibnu Khaldun mempunyai nama lengkap ‘Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Muhammad ibn
Muhammad ibn al-Hasan ibn Jabir ibn Muhammad ibn Ibrahim ibn Khalid ibn ‘Usman ibn Hani
ibn al-Khathab ibn Kuraib ibn Ma’dikarib ibn al-Harish ibn Wail ibn Hujr. Sejarawan yang
mempunyai nama kecil ‘Abd al-Rahman ini biasa dipanggil dengan nama panggilan (kunyah)
Abu Zaid, yang diambil dari nama putra sulungnya, Zaid. Ia pun sering disebut dengan nama
gelar (laqb) Waliyuddin, sebuah gelar yang diberikan kepadanya sewaktu memangku jabatan
Hakim Agung di Mesir. Akan tetapi ia lebih populer dengan panggilan Ibnu Khaldun, yang
dinisbatkan kepada nama kakeknya yang kesembilan yaitu Khalid . Ibnu Khaldun lahir tanggal
27 Mei 1331/732H dan wafat pada tanggal 19 Maret 1406/808H.

Untuk mempelajari Ibnu Khaldun, perjalanan panjang hidupnya dapat dipetakan dalam 4 fase:

1. Fase pertama, dimulai sejak awal kelahiran, menuntut ilmu sampai terjadinya wabah
besar di sebagian wilayah dunia Pada masa ini talenta keulamaannya sangat terlatih.
Waktunya habis untuk menghafal Al-Qur’an beserta tajwid dan qiraatnya. Juga
digunakan untuk mendalami berbagai disiplin ilmu agama, termasuk fikih bermadzhab
maliki. Fase ini berlangsung sekitar 20 tahun, mulai tahun 732 H sampai 751 H.
2. Fase kedua, berlasung sekitar 15 tahun dimulai tahun 751 H – 776 H. Pada fase ini
kehidupannya habis dalam berbagai aktivitas politik. Beliau berhijrah dari satu daerah ke
daerah lainnya, seperti Maghrib Al-Adna, Al-Ausath, dan Al-Aqsa juga sebagian wilayah
Andalusia. Sifat oportunis Ibnu Khaldun muncul pada masa ini. Selain itu, ketajaman
analisa politik dan sosiologi pun juga terasah.
3. Fase ketiga, berlangsung sekitar 8 tahun, mulai tahun 776 H – 784 H. Fase ini adalah fase
kontemplasi. Setengahnya habis di Qal’ah Ibnu Salamah, dan setengah selanjutnya
dihabiskan di Tunis. Pada masa inilah magnum opus-nya yang berjudul “Kitâb Al-Ibar
wa Dîwân Al-Mubtada’ wa Al-Khabar, fi Ayyâm Al-Arab wa Al-Ajam wa Al-Barbar,
Wa Man Âsharahum min dzi Al-Sulthân Al-Akbar ” ditulis. Kitab ini terdiri dari 7 jilid,
jilid pertama dari kitab inilah yang disebut sebagai Kitab Mukaddimah Ibnu Khaldun.
4. Fase keempat, adalah masa mengajar dan menjadi Qadhi di Mesir. Masa ini berlangsung
selama 24 tahun. Sejak tahun 784 H – akhir 808 H.

Ibnu Khaldun sebagai seorang pemikir merupakan sebuah produk sejarah. Oleh karena itu, untuk
membaca pemikirannya, aspek historis yang mengitarinya tidak dapat dilepaskan begitu
sajaNamun yang jelas, pemikiran Ibnu Khaldun tidak dapat dipisahkan dari akar pemikiran
islamnya. Sebagai seorang filosof Muslim, pemikiran Ibnu Khaldun sangatlah rasional dan
banyak berpegang kepada logika. Hal ini sangat dimungkinkan karena Ibnu Khaldun pernah
belajar filsafat pada masa mudanya. Tokoh yang paling dominan mempengaruhi pemikiran
filsafat Ibnu Khaldun adalah al-Ghazali ( 1058-1111 M). Lebih dari itu, posisi Ibnu Khaldun
sebagai seorang filosof nampaknya mendukung posisinya sebagai seorang ilmuwan. Selain
bahwa Ibnu Khaldun adalah seorang yang rasionalis, ia juga seorang yang empiris. Ibnu Khaldun
telah berhasil memadukan antara metode deduksi dengan metode induksi dalam pengetahuan
Islam.

1. Aspek Ontologis Pemikiran Sejarah Kritis Ibnu Khaldun

Pembahasan ini ditekankan pada pemikiran ontologis Ibnu Khaldun tentang sejarah. Aspek
ontologis keilmuan biasanya mempermasalahkan apa yang dikaji oleh sebuah ilmu
pengetahuan. What is history? Inilah pertanyaan pertama yang dikemukakan Edward Hallet Carr
ketika memulai kajiannya tentang sejarah. Pertanyaan ini memang perlu dikemukakan mengingat
bahwa sebelum mengkaji lebih jauh tentang sejarah, terlebih dahulu hendaknya diketahui apa itu
sejarah. Definisi sejarah yang ditawarkan para ahli begitu banyak. Sehingga tidak pernah ada
orang yang menghitung dan mengadakan klasifikasi tentangnya, agar ditemukan kesepakatan.

Istilah sejarah berasal dari kata Arab “syajarah” yang berarti “pohon”. Pengambilan istilah ini
agaknya berkaitan dengan kenyataan bahwa “sejarah” setidaknya dalam pandangan orang
pertama yang menggunakan kata ini, menyangkut tentang, antara lain, syajarah al nasab , pohon
gencologis yang dalam masa sekarang agaknya bias disebut “sejarah keluarga” (family history).
Atau boleh jadi juga karena kata kerja syajara juga punya arti “to happen”, “to occur” dan “to
develop”. Tetapi selanjutnya, “sejarah” dipahami mempunyai makna yang sama
dengan tarikh (arab), istoria (Yunani), history (Inggris), geschiedenis (Belanda)
atau gescichte (Jerman), yangs secara sederhana berarti kejadian-kejadian yang menyangkut
manusia di masa silam.

Dalam hal ini untuk mencari pengertian sejarah menurut Ibnu Khaldun, disini akan dikemukakan
beberapa ungkapan Ibnu Khaldun seperti tertera dalam al- Muqaddimah:

Pertama: “ Sesungguhnya fann al-tarikh itu termasuk salah satu fann dimana bangsa-bangsa dan
generasi-generasi bergiliran tangan mempelajarinya. Dipersiapkan berbagai kendaraan dan
banyak perjalanan untuk keperluan sejarah. Orang-orang pasar dan orang-orang lalai memiliki
aspirasi yang tinggi untuk mengetahuinya. Para raja dan kepala suku berlomba-lomba memahami
sejarah. Antara orang-orang berilmu dan orang-orang bodoh memiliki kadar pengetahuan yang
sama tentang sejarah. Karena pada sisi lahirnya sejarah itu tidak lebih dari sekedar berita tentang
peristiwa-peristiwa politik, Negara-negara dan kejadian-kejadian masa lampau. Ia tampil dengan
berbagai bentuk ungkapan dan perumpamaan. Pada pinggir tempat-tempat pertemuan, peristiwa-
peristiwa itu dituturkan sebagai jamuan. Peristiwa-peristiwa itu mengajak kita untuk memahami
masalah kejadian alam, bagaimana situasi dan kondisi membentuk perubahan, bagaimana
Negara-negara memperluas wilayahnya dan bagaimana mereka memakmurkan bumi sehingga
terpanggil untuk melakukan perjalanan jauh hingga akhirnya tiba waktu mereka lenyap (dari
panggung sejarah). Sedangkan pada sisi batinnya sejarah itu mengandung penalaran kritis
(nazhar) dan usaha mencari kebenaran (tahqiq); keteranganmendalam tentang sebab-sebab dan
asal-usul segala sesuatu; suatu pengetahuan mendalam tentang bagaimana dan mengapa
peristiwa itu terjadi. Oleh karena itu, sejarah berakar dalam dan dipandang sebagai bagian dari
hikmah (filsafat)”.
Kedua: “ketahuilah bahwa sesungguhnya fann al-tarikh itu merupakan fann yang memiliki
metode (mazhab) yang berharga, banyak faedahnya dan mulai tujuannya. Fann al-tarikh dapat
memberitahukan kepada kita hal-ihwal bangsa-bangsa terdahulu yang terefleksi dalam
prilakunya. Fann al-tarikh juga membuat kita paham tentang biografi para nabi, Negara-negara
serta kebijakan para raja”.

Ketiga: “ ketahuilah bahwa hakikat tarikh adalah berita tentang komunitas manusia (al-ijtima’ al-
insani). Tarikh identik dengan peradaban dunia yang mencakup; perubahan watak peradaban
seperti keliaran, keramahatamahan dan solidaritas golongan (‘ashabiyyah); mencakup
pemberontakan sebagian manusia atas sebagian yang lain dan akibat yang ditimbulkannya
seperti berdirinya kerajaan dan Negara-negara dengan berbagai tingkatannya; mencakup
kegiatan dan kedudukan manusia, baik dalam mencapai penghidupannya maupun ilmu
pengetahuan dan pertukangan. Pada umumnya, tarikh mencakup segala perubahan yang terjadi
dalam peradaban karena watak peradaban itu sendiri”.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa fann al-tarikh berarti penerapan tentang teori-teori
rekaman peristiwa masa lalu melalui metode sejarah. Pengertian ini secara hermeneutis dalam
persepektif ilmu sejarah lebih mendekati kepada pengertian historiografi. Fann al-Tarikh dalam
pandangan Ibnu Khaldun mengandung dua pemahaman, yaitu luar dan dalam. Sejarah pada sisi
luarnya tidak lebih dari sekedar berita tentang masa lalu. Sejarah pada sisi ini hanya mencoba
menjawab pertanyaan-pertanyaan elementer yang berkaitan dengan “apa, siapa, kapan” dan
“dimana” peristiwa itu terjadi. Keempat pertanyaan ini memang merupakan hal pertama yang
dipermasalahkan sejarawan untuk menentukan sebuah peristiwa atau event. Dengan hanya
menjawab empat pertanyaan ini adalah logis apabila Ibnu Khaldun menyebutkan bahwa antara
kaum terpelajar dan bukan terpelajar memiliki kadar yang sama dalam memahami sejarah pada
sisi luarnya. Dalam konteks kekinian, memahami sejarah hanya pada sisi luarnya disebut dengan
sejarah naratif (narrative history). Sejarah naratif hanya berusaha melihat fakta historis sebagai
suatu rangkaian data yang dapat berbicara atau dengan istilah lain sebagai a story that told.

1. Objek dan Hukum-Hukum sejarah Menurut Ibnu Khaldun

Berkaitan dengan objek sejarah, Ibnu Khaldun mengungkapkan bahwa “sejarah identik dengan
peradaban dunia (‘umran al-‘alam). Ia mencakup seluruh aktivitas manusia pada suatu waktu dan
pada suatu tempat tertentu. Aktivitas itu menurut Ibnu Khaldun meliputi peradaban manusia
pada umumnya, peradaban menentukan tentang dinasti-dinasti kekhilafahan dan sehingga
peradaban penduduk menetap, tentang pengertian dan cara-cara melangsungkan kehidupan serta
tentang ilmu pengetahuan dan cara pencapaiannya. Jadi pada intinya, “tarikh mencakup segala
perubahan yang terjadi dalam peradaban karena watak peradaban itu sendiri. Melihat luasnya
cakupan sejarah yang menjadi garapan Ibnu Khaldun, maka sejarah dalam pandangannya adalah
berdimensi makro, yaitu lingkup historis yang luas cakupannya. Hal ini berakar pada
pemikirannya yang menyatakan bahwa peradaban umat manusia dan masyarakat umat manusia,
serta gejala-gejala dan kondisi-kondisi yang melekat pada hakekat peradaban merupakan fokus
ajaran Ibnu Khaldun dalam studi sejarahnya. Ini berarti bahwa unit sejarah dalam pandangan
Ibnu Khaldun adalah keseluruhan umat manusia (mankind as whole). Sejarah suatu bangsa atau
negara diletakkan pada keseluruhan peristiwa dalam kerangka sejarah dunia (world history),
yakni tempatnya dalam kenteks internasional. Oleh karena itu, sejarah dalam historiografi Ibnu
Khaldun ditulis menurut perspektif yang universal atau universal history.

Dari pernyataan Ibnu Khaldun dapat dikatakan bahwa sejarah dalam gambaran Ibnu Khaldun itu
merupakan suatu proses perubahan secara evolutif suatu dinasti dari peradaban mengembara
(badawah) dan hidup dalam kekasaran menjadi peradaban menetap (hadharah) dan hidup dalam
kemewahan. Kemudian dinasti itu akan mengalami kehancuran yang mengimplikasikan
munculnya dinasti baru. Dinasti baru ini bukanlah seratus persen baru, sebab ia mengambil
bentuk sintesa dengan mempertahankan sebagian kebiasaan para pendahulunya. Satu hal yang
membuat sebuah dinasti dapat mempertahankan kekuasaannya adalah kekuatan ‘alshabiyyah,
yaitu suatu istilah yang digunakan Ibnu Khaldun untuk menerangkan hakekat dan watak
masyarakat dalam kebudayaan primitif. Dengan demikian sejarah itu mengambil bentuk spiral
dengan coral dialektis. Ia akan mengalami suatu proses siklus menuju evolusi dan progress,
sehingga membentuk spiral. Akan tetapi, oleh karena kehancuran sebuah dinasti berarti
berdirinya dinasti baru, maka sejarah mengambil corak yang dialektis. Dari ungkapan-ungkapan
Ibnu Khaldun dapat dikatakan bahwa segala yang terjadi dalam panggung sejarah itu mengikuti
hukum kausalitas (sebab-akibat). Hal ini menandakan bahwa Ibnu Khaldun menolak hukum
aksiden dalam sejarah. Hukum aksiden menyatakan bahwa peristiwa-peristiwa sejarah dianggap
sebagai kenyataan yang terjadi secara kebetulan. Dalam pandangan Ibnu Khaldun, “tidak ada
istilah kebetulan dalam peristiwa sejarah. Semuanya terjadi semata-mata karena adanya sebab
dan akibat. Selain itu, satu hal yang pasti bagi hukum sejarah menurut Ibnu Khaldun adalah
masalah perubahan (change). Ia berkata:

“Dunia dan bangsa-bangsa dengan segala kebiasaan dan sistem kehidupannya tidaklah terus-
menerus dalam satu keadaan dan cara yang konstan. Semuanya ditentukan oleh perbedaan-
perbedaan menurut hari-hari dan periode-periode, serta oleh perpindahan dari satu keadaan
kepada keadaan lainnya. Individu-individu, waktu-waktu dan kota-kota mengalami perubahan,
maka demikian juga daerah-daerah iklim, distrik-distrik, periode-periode dan negara-negara
mengalami perubahan, karena memang demikianlah hukum yang ditentukan Allah untuk
Makhluk-Nya”.

Pernyatan Ibnu Khaldun tersebut mengandung arti bahwa perubahan bagi sejarah merupakan
hukum yang dianggap sebagai suatu keharusan (necessity).

1. Guna Sejarah Menurut Ibnu Khaldun

Apa sebenarnya manfaat atau guna sejarah bagi manusia? Dalam hal ini Ibnu Khaldun
menyatakan bahwa seorang sejarawan “harus membandingkan kesamaan-kesamaan atau
membedakan keadaan-keadaan antara masa kini dengan masa lampau. Pernyataan ini
membuktikan bahwa Ibnu Khaldun memiliki perspektif historis yang dapat digunakan untuk
meramalkan masa depan. Perspektif ini oleh Sartono disebut sebagai “equation”, yaitu upaya
memahami perkembangan sejarah dengan melihat faktor-faktor sosial yang memiliki persamaan
sebagai alat analisa untuk membuat semacam proyeksi ke masa depan.
Sejarah memang tidak berulang, tetapi pengalaman sejarah dapat dijadikan pegangan untuk
menghadapi krisis masa kini, karena antara masa kini dengan masa lampau selalu ada
persamaannya. Masa depan adalah bagian waktu dari masa lampau, maka dalam
perkembangannya akan selalu ditemukan proses-proses sejarah yang memiliki kesamaan.
Pandangan Ibnu Khaldun yang berusaha menganalogkan masa kini dengan masa lampau
merupakan pandangan futuristik yang berguna untuk meramalkan masa depan dengan melihat
kecenderungan-kecenderungan yang terjadi. Apabila masa kini dapat dianalogkan dengan masa
lampau, maka “sejarah membuat kita mengerti tentang hal-ihwal bangsa-bangsa terdahulu yang
terefleksi dalam perilakunya dan membuat kita mengerti tentang biografi (sirah) para nabi, serta
kebijakan para raja bagi negaranya. Hal ini membuat sempurna faidah al-iqtida bagi orang-orang
yang ingin mempraktekkannya dalam kehidupan agama dan dunia.

Sejarah dalam pandangan Ibnu Khaldun adalah sebagai cara untuk mengetahui masa lampau.
Pengetahuan masa lampau melalui sejarah seperti ini, menurut Kuntowijoyo, merupakan manfaat
sejarah yang bersifat intrinsik, artinya sejarah hanya berguna bagi dirinya sendiri. Ibnu Khaldun
dalam hal ini tidak menyebutkan guna sejarah secara ekstrinsik. Mekipun demikian, seandainya
sejarah tidak ada gunanya secara ekstrinsik, yang berarti tidak ada sumbangannya bagi luar
dirinya, maka cukuplah sejarah itu berguna dengan nilai-nilai intrinsiknya.

BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Ibnu Khaldun menggunakan istilah fann al-tarikh adalah untuk menyatakan pengertian sejarah
sebagai ilmu. Istilah ini secara hermeneutis dalam konteks kekinian berarti historiografi atau
penulisan sejarah. Fann al-tarikh dalam pandangan Ibnu Khaldun merupakan upaya rekonstruksi
masa lampau, yang tidak hanya melandaskan pada sisi luar sejarah an sich, tapi lebih penting
dari itu adalah memperhatikan sisi dalamnya. Sejarah seyogyanya bukan hanya bermaksud
menjawab pertanyaan apa, siapa, kapan, dan di mana, tetapi juga sejarah harus dapat menjawab
pertanyaan bagaimana dan mengapa. Pada aspek ontologis inilah kiranya Ibnu Khaldun
dipandang sebagai pelopor studi sejarah kritis yang mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan
sejarah secara filosofis.

Ibnu Khaldun, dilihat dari aspek epistemologis, telah menawarkan suatu metode sejarah yang
“modern” pada masanya. Dalam historiografi Islam, metode itu disebut dengan
metode dirayah atau metode kritik. Metode kritik yang dimaksudkan Ibnu Khaldun adalah
metode sejarah yang menekankan kepada kesaksian langsung sebagai sumber sejarah, di
samping juga menekankan perlunya interpretasi bagi setiap peristiwa sejarah. Metode ini
melandaskan dirinya pada unsur rasionalitas sejarah.

Adapun secara aksiologis, Ibnu Khaldun telah menyatakan suatu pemikiran bahwa sejarah itu
berguna sebagai pengetahuan untuk mengetahui masa lampau dalam rangka menatap masa
depan. Kegunaan sejarah seperti ini disebut guna sejarah secara intrinsik, dalam arti bahwa
sejarah hanya berguna bagi dirinya sendiri. Ia berusaha menganalogkan masa kini dengan masa
lampau sebagai pandangan futuristik yang berguna untuk meramalkan masa depan dengan
melihat kecenderungan-kecenderungan yang terjadi.

1. Saran

Semoga apa yang kami tulis dalam makalah ini, isinya dapat membantu teman-teman sekalian
dan dapat bermanfaat bagi kita semua selain sebagai pengetahuan kita juga dapat mengambil
pelajaran nari pemikiran seorang Ibnu Khaldun. Adapun kami juga mengharapkan saran ataupun
kritik dari teman-teman Karena kami menyadari makalah yang kami buat ini masih jauh dari kata
sempurna.

DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_Khaldun

http://muslimindonesia.wordpress.com/2008/06/07/empat-fase-kehidupan-ibnu-khaldun/

Anda mungkin juga menyukai