Anda di halaman 1dari 3

Apa itu pemikiran dan siapa itu pemikir

Sejarah pemikiran merupakan sejarah para pemikir, sejarah kaum elit dengan segala
kepandaianya, kecerdasanya dan keahlianya, mampu mengabstraksikan fenomena sosial dan
gejala-gejala lainya kedalam ranah intelektual dan ilmiah dengan kevalidan yang ada. Para
pemikir kaum cendekia dianggap elit dalam kedudukan yang tinggi karena ketersaingan
mereka dari dunia umum. Kalau kita pahami, istilah pemikir itu sendiri agak kabur, bisa
diterapkan kepada semua orang yang memang memiliki spesialisasi keilmuan tertentu. Bisa
digunakan dalam panggilan lain dalam istilah intelektual dan scholar (sarjana), atau kepada
konteks yang lebih wow lagi, yaitu kepada filsuf. Di dalam bahasa Inggris, kata-kata seperti
philosopher, thinker, scholar dan intelektual mendasarkan kepada figur terpelajar (learned
man) yang pada hakikatnya tidak mempunyai hakikat batasan yang jelas antara satu dan yang
lainya. Hanya sepertinya disepakati bahwa philosopher karena faktor sejarahnya, merupakan
istilah yang signifikan untuk meluapkan tingkat kejeniusan seseorang.

Untuk itu, filsuf merupakn manusia yang paling elit diantara jajaran kaum pelajar
tersebut. Seorang filsuf seperti halnya Ibnu Sina, tingkat derajat keelitan kefilsufanya dapat
dilihat dengan cara bagaimana ia mengekspresikan terkait kebenaran. Ibnu Sina berpendapat
bahwa suatu kebenaran yang digapai oleh para filsuf itu sangat berbeda dengan kebenaran
yang dicapai oleh orang awam atau orang biasa lainya, karena jelas bahwa metode yang
dipakai oleh dua kelompok tersebut juga berbeda. Inilah suatu dikotomi yang jelas antara
kelompok elit dengan masa.

Siapa itu filsuf

Filsuf merupakan istilah klasik yang menunjukan kelompok pemikir yang tidak
mempunyai massa, tidak terlibat dengan massa, dan berbicara hanya dengan mendiskusikan
masalah-masalah filosofis secara terbatas. Dalam bahasa modernya, setelah mengalami
reduksi tentunya, filsuf adalah secholer (sarjana) yang terlibat dalam bidang berfikir atau
bidang pemikiran tertentu dengan tidak melibatkan massa di dalamnya. Seorang sarjana yang
telah lulus dari perguruan tinggi diberi gelar Ph.D (Doctor of Philosophy), tidak perduli
apakah ia menekuni bidang filsafat, sosiologi, politik, sains, ekonomi tau yang lainya.

Hal diatas juga dilakukan oleh Ali Syari’ati dalam pembedaanya, yang merupakan
pemikir asal Iran. Menurutnya, tokoh pintar yang memiliki dan mewakili adalah bukan
pemikir, bukan filsuf, bukan ideolog, dan juga bukan saintis, teatpi ia adalah pemikir
tercerahkan. Dalam bahsa Parsi, Syari’ati menyebutkan Rushanfekr. Istilah Rushanfekr tidak
ada padanan yang tepat dalam bahasa lain, akan tetapi mungkin saja bisa diterjemahkan
secara sederhana dengan makna “intelektual”, karena istilah yang demikian biasa digunakan
kepada tokoh yang memiliki atau berafiliasi terhadap massa. Oleh karena tepat sekali jika
Ikatan Cendekia Muslim merupakan organisasi yang mengumpulkan para cendekia yang
berorientasi pada masyarakat. Itu karena cendekia dalam bahasa Inggris disebut dengan
intelektual. Seorang intelektual biasanya tidak hanya berdiam diri dan hanya befikir untuk
dirinya melainkan melibatkan masyarakat dan ada interaksi dengan mereka.

Kerangka ini, bisa kita katakan bahwa tokoh seperti Ali Syari’ati adalah seorang
intelektual, begitu juga ada Muththahhari, Mawdudi al-Afghani. Akan tetapi para pemikir
lainya seperti Bassa Tibi, Abdurrahman Badawi dan Majid Fakhri lebih sarjana ketimbang
intelektual. Di dunia Barat, Bartrand Russel selalu dianggap sebagai Thinker, Philosopher,
dan reformer, padahal ia adalah seorang intelektual. Nama-nama seperti halnya Kant, Hegel,
dan Heidegger lebih filsuf ketimbang intelektual. Dalam hubungan ini, para orientalis seperti
Brocklemann, goldziher, Gibb dan Watt merupakan sarjana-sarjana (scholars) yang hanya
dapat menguasai ilmu tertentu saja. Mereka tidak disebut sebagai filsuf dan tidak juga
intelektual.

Pembedaan seperti halnya di atas mungkin tidak selamanya akurat, karena seperti yng
telah saya ungkapkan bahwa makna dari pemikir itu sendiri ambigious, bisa saja diterapkan
dimana-mana, tentunya dengan itensitas keintelektualan yang berbeda-beda. Kita dapat
melihat Hassan Hanafi, pemikir asal Mesir, percaya bahwa di situ ada dikotomi yang jelas
antara pemikir elit (mufakkir nukhbah) dengan pemikir massa (mufakkir jamahir).
Menurutnya pemikir nukhbah adalah para pemikir (filsuf, intelektual, sarjana) yang hidup
dalam intelektual dan tersaring dari massa yang eksklusif, dan mereka merupakan para
pemikir elit. Sedangkan mufakkir jamahir adalah para pemikir (filsuf, intelektual, sarjana)
yang mereka itu terlibat dengan masyarakat, dan mereka adalah milik massa. Pada tulisan
lain, Hanafi pemikir sebagai genius, sedangkan intelektual sebagai species. Karena itu,
“seluruh pemikir adalah intelektual, tetapi tidak seluruh intelektual merupakan pemikir”.

Pemikiran Arab pasca kebangkitan

‘Ashr al-Nahdlan (Pemikiran Arab pasca kebangkitan), biasanya selalu dibedakan


antara modern dan kontemporer. Istilah anatara modern dan kontemporer merujuk pada era
yang dimana tidak mempunyai panggalan pasti. Kontemporer seperti yang diungkpkan oleh
Qustantine Zurayq seorang tokoh modernis Arab, adalah lahir dari modernitas (ashriyah
walladat al-hadatsah). Kontemporer memiliki makna kekinian atau kini, sementara modern
adalah kini, tetapi yang sudah lewat yang masih mempunyai citra modern itu sendiri. Karena
tidak adanya kepermanenan dalam kekontemporeran, modern yang telah lewat dari kekinian
tidak lagi disebut sebagai kontemporer. Hubunganya dalam pemikiran Arab, istilah modern-
kontemporer mendasar pada pemikiran Arab modern sejak masa kebangkitan, dimulai
dengan invasi Napoleon Bonaparte 1798, kemudian dalam berdirinya negara-negara
independen yang mengatasnamakan nasionalisme, dan sejak runtuhnya kekhalifahan
Utsmaniyyah di Istanbul, sampai dengan sekarang. Perbedaan yang sangat jelas antara
modern dan kotemporer adalah bahwa yang merujuk kepada era modernisasi secara umum,
sedangkan kontemporer merujuk pada era sekarang atau sat ini. Batasan sejarah pemikiran
Arab modern adalah dari tahun 1798 hingga sekarang. Sedangkan batasan yang kontemporer
tidak diketahui secara pasti. Hanya sja kebanyakan pemikir Arab sendiri menganggap waktu
kontemporer (mu’ashirah) bermula sejak kekalahan Arab oleh Israil tahun 1967, karena
kekalahan tersebut merupakan titik yang menentukan (waterhed) dalam sejarah politik dan
Arab modern, dimana pada saat itulah seperti yang dikatakan Isa J. Boullata orang Arab sadar
akan dirinya, dan kemudian kritik diri (naq dzati) mulai bermunculan di sana-sini.

Semacam penutup

Setidaknya kita tahu tentang makna pemikiran dan pemikir, agar tidak keliru dalam
menyebutkanya. Kemudian memahami filsuf dan intelektual. Memahami pemikir dan
intelektual. Mengetahui modern dan kontemporer. Semuanya kami tulis guna untuk
memberikan pengetahuan dan wawasan. Semoga bermanfaat.

Anda mungkin juga menyukai