Anda di halaman 1dari 49

LAPORAN PRAKTIKUM

KERANGKA VERTIKAL
(Disusun untuk memenuhi prasyarat mata kuliah Kerangka Vertikal)

Disusun oleh:
Kelompok VI-A
M. Adityo Ragil. S 21110117140005
Mutmainnah Walhikmah 21110117120006
Della Diana Fatmawati 21110117120011
Christman Surbakti 21110117140012
Nugi Pancara 21110117140020
Rahmawati 21110117140025

DEPARTEMEN TEKNIK GEODESI


FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO
Jl. Prof. Sudarto SH, Tembalang Semarang Telp. (024)76480785, 76480788
E-mail : geodesi@ft.undip.ac.id
2019
Laporan Praktikum Kerangka Vertikal

HALAMAN PENGESAHAN
Laporan praktikum Kerangka Vertikal ini telah disetujui dan disahkan oleh
Dosen Pengampu Praktikum Kerangka Vertikal Departemen Teknik Geodesi
Fakultas Teknik Universitas Diponegoro.

Disusun oleh:
Kelompok VI-A
M. Adityo Ragil. S 21110117140005
Mutmainnah Walhikmah 21110117120006
Della Diana Fatmawati 21110117120011
Christman Surbakti 21110117140012
Nugi Pancara 21110117140020
Rahmawati 21110117140025
Semarang, Mei 2019

Mengetahui,
Asisten Praktikum

Sentanu Aji
NIM. 21110116120013

Menyetujui,
Dosen Pengampu Mata Kuliah
Kerangka Vertikal

L. M. Sabri, Dr., ST., MT.


NIP. 197703092008121001

Kelompok VI-A i
Laporan Praktikum Kerangka Vertikal

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat,
taufik, hidayah serta inayah-Nya kami dapat menyelesaikan Laporan Praktikum
Kerangka Vertikal ini tanpa menemui hambatan yang berarti. Dalam kesempatan
yang baik ini, kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. Yudo Prasetyo, S.T., M.T. selaku Ketua Departemen Teknik Geodesi
Fakultas Teknik Universitas Diponegoro.
2. Bapak Ir. Sutomo Kahar, M.Si. dan L M Sabri, ST., MT selaku dosen
pengampu mata kuliah Kerangka Vertikal yang telah membimbing kami
dalam penyusunan laporan ini.
3. Sentanu Aji selaku asisten praktikum mata kuliah Kerangka Vertikal yang
telah membimbing kami dalam penyusunan laporan ini.
4. Seluruh pihak yang telah membantu kami dalam menyusun laporan
praktikum Kerangka Vertikal yang tidak dapat kami sebutkan namanya
satu persatu.
Kami sadar bahwa laporan yang kami susun masih sangat jauh dari
sempurna, oleh karena itu masukan dan kritikan yang bersifat membangun sangat
kami harapkan sebagai acuan agar menjadi lebih baik lagi. Terima kasih.

Semarang, Mei 2019

Penyusun

Kelompok VI-A ii
Laporan Praktikum Kerangka Vertikal

DAFTAR ISI

Kelompok VI-A iii


Laporan Praktikum Kerangka Vertikal

DAFTAR TABEL

Kelompok VI-A iv
Laporan Praktikum Kerangka Vertikal

DAFTAR GAMBAR

Kelompok VI-A v
Laporan Praktikum Kerangka Vertikal

DAFTAR LAMPIRAN

Kelompok VI-A vi
Laporan Praktikum Kerangka Vertikal

BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Umum
Pada era globalisasi seperti saat ini segala sesuatunya tentu berkembang
sangat pesat dan menjadi lebih mudah. Perkembangan tersebut mencakup segala
bidang, tak terkecuali dalam bidang pengukuran.
Teknik geodesi merukapan salah satu disiplin ilmu yang mempelajari tentang
pengukuran dan pemetaan. Dalam hal ini tentunya dibutuhkan suatu metode yang
praktis dengan bantuan alat untuk mempermudah para ahli geodet guna untuk
menyelesaikan segala masalah dalam hal pengukuran dan pemetaan.
Perkembangan teknologi dalam bidang Geodesi sangat pesat, seperti contoh
pengukuran kerangka vertikal guna untuk mendapatkan tinggi dari suatu titik yang
kemudian akan dipergunakan untuk mengetahui kontur dari suatu daerah yang
akan dipetakan.
Pengukuran sipat datar atau levelling bertujuan untuk menentukan beda
tinggi antara titik-titik di atas permukaan bumi. Tinggi suatu obyek di atas
permukaan bumi ditentukan dari suatu bidang referensi, yaitu bidang yang
dianggap ketinggiannya nol. Bidang ini dalam Geodesi disebut bidang geoid,
yaitu bidang equipotensial yang berimpit dengan permukaan air laut rata-rata
(mean sea level). Bidang equipotensial juga disebut bidang nivo, dimana bidang
ini selalu tegak lurus dengan arah gaya berat dimana saja dipermukaan bumi
(Basuki, 1993). Metode sipat datar prinsipnya adalah mengukur tinggi bidik alat
sipat datar optis di lapangan menggunakan rambu ukur. Sehingga saat ini,
pengukuran beda tinggi dengan menggunakan metode sipat datar optis masih
merupakan cara pengukuran beda tinggi yang paling teliti. Ketelitian kerangka
dasar vertikal (KDV) dinyatakan sebagai batas harga terbesar perbedaan tinggi
hasil pengukuran sipat datar pergi dan pulang (Basuki, 1993).
Tujuan dari pengukuran tinggi adalah menentukan beda tinggi antara dua
titik. Beda tinggi h diketahui antara dua titik a dan b, sedangkan tinggi titik A
diketahui sama dengan Ha dan titik B lebih tinggi dari titik A, maka tinggi titik B,
Hb = Ha + h yang diartikan dengan beda tinggi antara titik A dan titik B adalah
jarak antara dua bidang nivo yang melalui titik A dan B. Umumnya bidang nivo

Kelompok VI-A 1
Laporan Praktikum Kerangka Vertikal

adalah bidang yang lengkung, tetapi jika jarak antara titik-titik A dan B dapat
dianggap sebagai bidang yang mendatar (Pickr,Zool, 2013)
Tinggi titik pertama (h1) dapat didefinisikan, sebagai koordinat lokal
ataupun terikat dengan titik yang lain yang telah diketahui tingginya, sedangkan
selisih tinggi atau lebih dikenal dengan beda tinggi (∆h) dapat diketahui atau
diukur dengan menggunakan prinsip sipat datar (Basuki, 1993).
h2 =h1 +∆ h12.................................................................................(I.1)
Tinggi selanjutnya adalah tinggi titik sebelumnya ditambahkan dengan
beda tinggi antara kedua titik yang bersangkutan, Umumnya diambil selisih tinggi
titik belakang terhadap titik muka (Basuki, 1993).
H (l 0 +hi−l + ∆ hwi−l .i )...................................................................(I.2)
Kesalahan yang sering terjadi dalam pengukuran beda tinggi ini adalah
pengambilan penentuan referensi awalnya. Apabila peta yang di inginkan tersebut
hanya berorientasi pada ketinggian setempat saja, tanpa memperhatikan orientasi
tinggi yang menyeluruh maka titik nol dapat dipilih sembarangan. Namun untuk
pemetaan yang teliti dan mempunyai kaitan dengan peta nasional, maka titik
awalnya di ambil dari tinggi permukaan air laut rata-rata dalam keadaan tidak
terganggu selama 18,6 tahun. Sedangkan permukaan bumi itu sangat berpengaruh
dengan berbagai gaya dan gerak endogen serta eksogen, dan semua ini di
pengaruhi secara langsung oleh distribusi massa di daerah sekitar titik yang
bersangkutan. Hal ini yang menyebabkan masalah pengambilan referensi awal
tersebut, karena sekalipun titik awal di ambil dari permukaan air laut rata-rata,
tetapi apabila berbeda lokasi awalnya, maka akan tetap menghasilkan ketinggian
yang berbeda pada satu titik. Sekali lagi, dalam pemakaian peta yang cukup luas,
patut di perhatikan oleh para perencana, mengenai masalah kemugkinan kesalahan
yang akan terjadi pada saat pelaksaaan kerja konstruksi, yaitu tidak sesuainya
perencanaan di atas peta dengan kenyataan di lapangan. Sehingga selalu terdengar
perencanaan pembangunan yang gagal akibat banjir yang tidak terduga ataupun
berbagai gejala alam lainnya (Basuki, 1993).
I.2 Maksud dan Tujuan
Maksud diadakan praktikum Kerangka Vertikal agar praktikan dapat
memahami dan dapat memperoleh gambaran yang jelas tentang bagaimana

Kelompok VI-A 2
Laporan Praktikum Kerangka Vertikal

penerapan teori di lapangan menggunakan metode sipat datar diferensial


(differential levelling).
Tujuan dari pelaksanaan praktikum Kerangka Vertikal ini adalah:
1. Penentuan beda tinggi antar titik dengan menggunakan waterpass
instrument.
2. Penentuan elevasi titik, dari titik awal dengan menggunakan beda tinggi
antar titik.
3. Menghasilkan penampang memanjang dari pengukuran yang dilakukan.
I.3 Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada pratikum Kerangka Vertikal ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana tata cara melakukan pengukuran waterpass untuk
mendapatkan beda tinggi serta elevasi dari tiap titik dalam bentuk poligon
tertutup dengan ketelitian yang akurat?
2. Bagaimana hasil dan analisis pengukuran kerangka utama?
3. Bagaimana hasil dan analisis pengukuran kerangka kelompok?
I.4 Ruang Lingkup Praktikum
Pelaksanaan Praktikum Kerangka Vertikal ini meliputi kegiatan
pengukuran waterpass, yaitu:
1. Pengaturan alat waterpass
2. Pengukuran waterpass digital untuk mengukur kring utama
3. Pengukuran waterpass tertutup pergi pulang
4. Perhitungan hasil pengukuran menggunakan metode Least Square
I.5 Lokasi dan Waktu Praktikum
Praktikum Kerangka Vertikal ini dilaksanakan di Jl. Tirto Agung (VP
Town Square – Barber Shop), Banyumanik, Semarang. Pengukuran ini
dilaksanakan pada tanggal 15 April - 16 April 2019.
I.6 Sistematika Penulisan Laporan
Penyajian data-data hasil pengukuran di lapangan kemudian dimuat dalam
bentuk laporan praktikum. Untuk mempermudah dalam proses penyajiannya,
maka sistematika penulisan laporan dibagi menjadi beberapa bagian, antara lain:
BAB I PENDAHULUAN

Kelompok VI-A 3
Laporan Praktikum Kerangka Vertikal

Menjelaskan tentang gambaran dan pengertian umum Kerangka Vertikal, maksud


dan tujuan pembuatan laporan, ruang lingkup praktikum, jadwal pelaksanaan, dan
sistematika penulisan laporan.
BAB II DASAR TEORI
Membahas teori tentang konsep dasar datum vertikal, konsep dasar sipat datar,
pengukuran beda tinggi antara dua buah titik, pengukuran sipat datar berantai,
pengukuran sipat datar teliti, pengukuran tinggi sipat datar, sumber kesalahan dan
cara mengatasinya, serta tingkat ketelitian pengukuran sipat datar.
BAB III PELAKSANAAN PRAKTIKUM
Dalam bab ini akan dibahas tentang persiapan praktikum, pemasangan patok,
pengukuran waterpass, pelaksanaan, metode perhitungan, dan metode
penggambaran.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini akan menerangkan tentang hasil perhitungan beda tinggi serta
pembahasannya.
BAB V PENUTUP
Mengulas kesimpulan dalam pelaksanaan praktikum, perhitungan data, penulisan
laporan dan saran.

Kelompok VI-A 4
Laporan Praktikum Kerangka Vertikal

BAB II
DASAR TEORI
II.1 Alat Ukur
Dalam pelaksanaan pengukuran diperlukan peralatan untuk pelaksanaan
praktikum. Peralatan tersebut diantaranya adalah pita ukur, rambu ukur, statif,
serta waterpass.
II.1.1 Pita Ukur
Pita ukur, sering disebut meteran atau tape karena umumnya tersaji dalam
bentuk pita dengan panjang tertentu. Sering juga disebut rol meter karena
umumnya pita ukur ini pada keadaan tidak dipakai atau disimpan dalam bentuk
gulungan atau rol. Panjangnya bervariasi dari 20 m, 30 m, 50 m, dan 100 m.
Kegunaan utama atau yang umum dari meteran ini adalah untuk mengukur jarak
atau panjang. Kegunaan lain yang juga pada dasarnya adalah melakukan
pengukuran jarak, antara lain:
1. Mengukur sudut baik sudut horizontal maupun sudut vertikal atau lereng,
2. Membuat sudut siku-siku, dan
3. Membuat lingkaran.

Gambar II-1 Pita Ukur


II.1.2 Rambu Ukur Digital
Pada dasarnya bahwa permukaan bumi ini tidak rata, untuk itu diperlukan
adanya pengukuran beda tinggi baik dengan cara barometris, trigonometris
ataupun dengan cara pengukuran penyipatan datar. Alat yang digunakan dalam
pengukuran sipat datar salah satunya adalah rambu ukur.
Automatic level atau waterpass ada dua macam yaitu manual yang harus membaca
rambu ukur secara optis, dan digital dengan cara membaca rambu barcode. Alat
utama pada pengukuran waterpass digital adalah waterpass digital dan rambu
ukur barcode, karena waterpas digital tidak akan bisa digunakan tanpa rambu

Kelompok VI-A 1
Laporan Praktikum Kerangka Vertikal

ukur barcode. Cara kerja dari waterpass digital adalah waterpass akan membaca
barcode secara otomatis pada rambu ukur, sehingga tidak perlu dilakukan
pengukuran manual dengan mata pengamat.
II.1.3 Statif
Statip berfungsi sebagai tempat atau dudukan pesawat theodolite maupun
waterpass.
Cara Penggunaan Statif atau Tripod sebagai berikut:
1. Buka tali pembawa statif atau tripod dan pasangkan sedemikian rupa
sehingga ketiga kakinya terbuka (untuk berdiri dengan baik).
2. Pemasangan atau penyetelan statif atau tripod harus sesuai dengan tinggi
orang yang membidik / mengukur, jangan terlalu tinggi atupun terlalu
rendah.

Gambar II-2 Statif


II.1.4 Waterpass Digital
Waterpass (penyipat datar) adalah suatu alat ukur tanah yang
dipergunakan untuk mengukur beda tinggi antara titik-titik saling berdekatan.
Beda tinggi tersebut ditentukan dengan garis-garis visir (sumbu teropong)
horisontal yang ditunjukan ke rambu-rambu ukur yang vertikal. Waterpass
bertujuan menentukan beda tinggi antara titik-titik di atas permukaan teliti. Tinggi
suatu obyek di atas permukaan bumi ditentukan dari suatu bidang referensi, yaitu
bidang yang ketinggiannya dianggap nol. Dalam Geodesi bidang ini disebut
bidang geoid, yaitu bidang equipotensial yang berimpit dengan permukaan air laut
rata-rata (mean sea level). Bidang equipotensial juga disebut bidang nivo. Bidang-
bidang ini selalu tegak lurus (plumbline) dengan arah gaya berat di setiap
permukaan bumi.

Kelompok VI-A 2
Laporan Praktikum Kerangka Vertikal

Gambar II-3 Bidang Referensi Ketinggian (HMGF, 2015)


Waterpass digital diproduksi seiring dengan perkembangan teknologi yang
semakin pesat, untuk lebih mengakuratkan hitungan saat membidik dan tentunya
lebih mempraktiskan pekerjaan surveying. Pembacaan hitungan dapat dilihat di
layar monitor yang berada di waterpass digital tersebut. Rambu ukur yang dibidik
adalah rambu ukur dengan barcode, yang memang sudah dirancang khusus.
1. Bagian Waterpass
Waterpass adalah alat yang dipakai untuk mengukur perbedaan ketinggian
dari satu titik acuan ke acuan berikutnya. Waterpass dilengkapi dengan
kaca dan gelembung kecil di dalamnya. Gelembung kecil digunakan ntuk
mengecek apakah alat sudah terpasang dengan benar, dengan
memperhatikan gelembung di dalam kaca berbentuk bulat. Jika gelembung
tepat berada di tengah, itu artinya waterpass telah terpasang dengan benar.
Waterpass digunakan untuk mengukur atau menentukan sebuah benda atau
garis dalam posisi rata baik pengukuran secara vertikal ataupun horizontal
(Basuki, 2006).

Gambar II-4 Waterpass Digital

Kelompok VI-A 3
Laporan Praktikum Kerangka Vertikal

Bagian bagian pada Waterpass


a. Teropong, berguna untuk memperjelas objek yang dibidik.
b. Tombol ON/OFF dan tombol program
c. Tiga sekrup pendatat
d. Sekrup Penggerak Halus Aldehide Horisontal berperan untuk
menggerakan pesawat arah horisontal supaya kedudukan benang tepat
pada objek yang dibidik.
e. Tombol bidik
f. Sekrup Pengatur Fokus Teropong berperan untuk mengatur derajat
kejelasan objek yang dibidik.
g. Display LCD.
h. Nivo, merupakan bagian waterpass yang dipakai untuk mengetahui
tingkat kedataran pesawat.
2. Kemampuan Waterpass
Ketelitian pengukuran sipat datar dapat ditentukan berdasarkan suatu
bilangan yang menyatakan besarnya kesalahan menengah untuk setiap
kilometer sipat datar tunggal, yang dinyatakan dengan rumus:

∑ h2
μ=
√ D ...................................................................................(II.1)
2n
Keterangan:
μ : kesalahan menengah tiap km sipat datar
h : selisih beda tinggi pengukuran pergi-pulang
n : jumlah seksi
D : panjang/ jarak seksi dalam km
Kesalahan menengah dapat dihitung dari:
a. Selisih antara pengukuran pergi-pulang tiap seksi
b. Selisih antara pengukuran pergi-pulang tiap trayek
c. Kesalahan penutup dari sipat datar keliling
Kesalahan menengah pukul rata pengukuran pergi-pulang(m) dinyatakan
dengan rumus:

μ 2 ........................................................................................(II.2)
m=
2 √
Kelompok VI-A 4
Laporan Praktikum Kerangka Vertikal

Untuk sipat datar tingkat pertama m harus < 1 mm, dan untuk tingkat yang
lain antara 1-3 mm. Berdasarkan batas toleransi kesalahan menengah
pengukuran pergi-pulang (ms) dinyatakan dengan rumus:
ms =√ 2 μ2.....................................................................................(II.3)
Selisih hasil pengukuran pergi-pulang tidak diperbolehkan lebih besar dari
(Wongsotjitro, 1988):
K1 = ± (2,0√ Skm) mm untuk pengukuran tingkat pertama
K2 = ± (3,0√ Skm) mm untuk pengukuran tingkat dua
K3 = ± (6,0√ Skm) mm untuk pengukuran tingkat tiga
Untuk pengukuran sipat datar yang diikat oleh dua titik yang telah
diketahui tingginya sebagai titik-titik ujung pengukuran, maka beda tinggi
yang didapat dari tinggi titik-titik ujung tertentu itu tidak boleh
mempunyai selisih lebih besar daripada (Wongsotjitro, 1988) :
K1’ = ± (2,0 ± 2,0√ Skm) mm untuk pengukuran tingkat pertama
K2’ = ± (2,0 ± 3,0√ Skm) mm untuk pengukuran tingkat dua
K3’ = ± (2,0 ± 6,0√ Skm) mm untuk pengukuran tingkat tiga
Pada rumus-rumus Skm berarti jarak-jarak pengukuran yang dinyatakan
dalam kilometer.
3. Syarat-Syarat Pemakaian Waterpass
Hal terpenting pada alat-alat ukur Waterpass adalah nivo, yang dipakai
untuk membuat garis visir horisontal. Oleh karena itu timbul syarat
mengatur yang terpenting yaitu:
a. Garis bidik sejajar dengan garis arah nivo
Pada alat ukur Waterpass, yang diperlukan adalah garis bidik
mendatar. Untuk mengetahui apakah garis bidik sudah betul-betul
mendatar atau belum, digunakan nivo tabung. Jika gelembung nivo
seimbang, garis nivo pasti mendatar. Dengan demikian, jika kita bisa
membuat garis bidik sejajar dengan garis arah nivo, garis arah nivo
pasti mendatar.
b. Garis arah nivo harus tegak lurus sumbu I
Pada alat ukur waterpass tipe semua tetap tanpa skrup ungkit, syarat
ini penting sekali. Namun pada alat dengan skrup ungkit, syarat ini

Kelompok VI-A 5
Laporan Praktikum Kerangka Vertikal

agak sedikit longgar karena apabila ada sedikit pergeseran nivo dalam
pengukuran, dapat diseimbangkan dengan skrup ungkit ini.
Adapun maksud dari persyaratan ini adalah apabila sumbu I telah
dibuat vertikal, kemana pun teropong diputar, gelembung nivo akan
tetap seimbang. Ini berarti garis bidik selalu mendatar karena garis
bidik telah dibuat sejajar dengan garis arah nivo.
c. Benang silang horisontal harus tegak lurus sumbu I
Syarat ini tidak mempunyai arti jika kita selalu mengarah pada bagian
yang tetap pada barcode. Syarat ini hanya perlu untuk memudahkan
kita mengadakan perkiraan pada interval dari bagian-bagian barcode.
Ini diperiksa dengan mengarahkan kesuatu titik pada tembok, dan
ujung kiri benang silang dibuat berhimpit dengan titik ini. Jika benang
silang datar ini tegak lurus sumbu I, maka ia akan selalu berhimpitan
dengan titik tersebut jika teropong diputar dengan sumbu I sebagai
sumbu perputaranny. Jika demikian, maka diafragma dengan benang
silang diputar sedikit dengan tangan sesudah skrup kecil yang terletak
pada sisi diafragma dilepas sedikit.

II.2 Uji kolimasi


Pada pengukuran sipat datar, alat ukur harus dilakukan pengecekan alat
untuk memastikan alat ukur terhindar atau bebas dari kesalahan sistematis
sebelum dimulainya pengukuran. Salah satu hal yang paling penting pada
pengukuranJaring Kontrol Vertikal (JKV) adalah pengecekan garis kolimasi yang
harus dilakukan setiap hari sebelum dilaksanakannya pengukuran.
II.3 Metode Pengukuran
Metode sipat datar optis adalah proses penentuan ketinggian dari sejumlah
titik atau pengukuran perbedaan elevasi. Perbedaan yang dimaksud adalah
perbedaan tinggi di atas air laut ke suatu titik tertentu sepanjang garis vertikal.
Perbedaan tinggi antara titik - titik akan dapat ditentukan dengan garis sumbu
pada pesawat yang ditunjukan pada rambu yang vertikal. Tujuan dari pengukuran
penyipat datar adalah mencari beda tinggi antara dua titik yang diukur.

Kelompok VI-A 6
Laporan Praktikum Kerangka Vertikal

Gambar II-5 Keterangan Pengukuran Sipat Datar (Kurniawan, 2013)


Keterangan gambar:
1. A, B, C : Stasion / titik
2. X : Stasion antara
3. Andaikan stasion A diketahui tinggi nya, maka:
a. Disebut pengukuran ke belakang, b = rambu belakang
b. Disebut pengukuran ke muka, m = rambu muka
4. Dari pengukuran 1 dan 2, tinggi stasion B diketahui, maka :
a. Disebut pengukuran ke belakang
b. Disebut pengukuran ke muka, stasion B disebut titik putar
5. Jarak AB, BC: Seksi atau slag
6. Ti : Tinggi alat
7. Tgb : Tinggi garis bidik
Pengertian lain dari beda tinggi antara dua titik adalah selisih pengukuran
ke belakang dan pengukuran ke muka. Dengan demikian akan diperoleh beda
tinggi sesuai dengan ketinggian titik yang diukur.

II.3.1 Pengukuran Sipat Datar Berantai


Pada penentuan tinggi titik-titik kontrol pemetaan dimana jarak antar titik
kotrol relatif jauh, maka pengukuran beda tingginya dengan sipat datar tidak dapat
dilakukan dengan satu kali berdiri alat, sehingga antara dua buah titik tersebut
harus di buat dalam beberapa slag dengan titik-titik bantu dan pengukurannya
dibuat secara berantai.

Kelompok VI-A 7
Laporan Praktikum Kerangka Vertikal

Gambar II-6 Sipat Datar Berantai (Kurniawan, 2013)


Keterangan gambar:
A dan B : Titik tetap yang akan ditentukan beda tingginya
1, 2, 3 : Titik-titik bantu pengukuran
b1, b2, b3, b4 : Bacaan rambu belakang
m1, m2, m3, m4 : Bacaan rambu muka
Cara menghitung sipat datar berantai:
dh a−1=b1−m1 ............................................................................(II.4)
dh1−2=b2−m2 .............................................................................(II.5)
dh2−3 =b3−m3 .............................................................................(II.6)
dh3 −b =bb −mb .............................................................................(II.7)
i=b i=b

∑ dha−b=∑ bi +∑ mi................................................................(II.8)
i=1 i=1

Atau dapat ditulis :


Beda tinggi = ∑ bacaan belakang – ∑ bacaan muka...................(II.9)
Pengukuran beda tinggi juga harus dilakukan pulang pergi, yang
pelaksanaannya dapat dilakukan dalam satu hari, serta dimulai dan diakhiri pada
titik tetap (seksi).

II.3.2 Pengukuran Sipat Datar Teliti


Untuk keperluan pengadaan jaring-jaring tinggi nasional maupun kerangka
kontrol vertikal/ tinggi pada pemetaan dan pekerjaan rekayasa yang memerlukan
ketelitian yang tinggi, diperlukan pengukuran sipat datar teliti. Untuk itu
diperlukan alat ukur penyipat datar dengan ciri-ciri antara lain:
1. Sensitifitas nivo atau pendulum tinggi (harga sudut nivonya kecil)
2. Perbesaran bayangan teropong lebih besar (20 s/d 30 kali)
3. Dilengkapi dengan plat planparalel

Kelompok VI-A 8
Laporan Praktikum Kerangka Vertikal

4. Menggunakan rambu invar, sepatu rambu dan nivo rambu

Rambu invar adalah rambu yang garis-garis angkanya dituliskan pada plat
invar (campuran besi dan nikel). Plat ini tahan terhadap perubahan suhu udara
karena koefisien muainya sangat kecil. Pada rambu ini angka rambu terdiri dari
dua sisi kiri dan kanan, sehingga saat pembidikan ke rambu akan didapat dua
bacaan kiri dan kanan, sekaligus dipakai untuk kontrol pembacaan.
Plat planparalel adalah sebuah prisma datar yang dipasang di depan lensa
obyektif dan dapat diputar-putar pada sumbu mendatar untuk mengatur
penempatan garis bidik pada garis pembagian rambu ukur.
Pada pengukuran sipat datar teliti, bacaan rambu tidak boleh terlalu
rendah, minimal 0,5 m di atas permukaan tanah. Rambu harus diberi sepatu dan
berdiri tegak dengan statip dan nivo rambu.

II.3.3 Pengukuran Tinggi Sipat Datar


Sipat datar (levelling) adalah suatu operasi untuk menentukan beda tinggi
antara dua titik di atas permukaan tanah. Hasil-hasil dari pengukuran sipat datar
diantaranya digunakan untuk perencanaan jalan/rel kereta api, saluran, penentuan
letak bangunan gedung yang berdasarkan atas elevasi tanah yang ada, dan lainlain.
Istilah sipat datar dapat berarti konsep penentuan beda tinggi antara dua titik atau
lebih dengan garis bidik horisontal/mendatar yang diarahkan pada rambu-rambu
yang berdiri tegak/vertikal.

Gambar II-7 Pengukuran Beda Tinggi (geomatika07.wordpress.com)


Langkah-langkah perhitungan beda tinggi adalah setelah melakukan pengukuran
stand 1, stand 2 pulang dan pergi, maka didapatlah BA, BB, dan BT. Kemudian
dicari beda tingginya.
1. Beda Tinggi Pergi

Kelompok VI-A 9
Laporan Praktikum Kerangka Vertikal

Untuk mendapatkan beda tinggi pergi, pengukuran dilakukan dengan stand


1 dan stand 2. Berikut langkah-langkahnya:
a. Alat didirikan di tengah K1 dan P1m mendirikan rambu di K1 dan P1.
K1 sebagai bacaan belakang dan P1 sebagai bacaan muka, lalu baca
dan catat BA, BB, BT. Lakukan sampai waterpasss berdiri diantara
K2 dan K1 untuk stand 1.
b. Alat didirikan kembali dengan tempat yang berbeda di tengah K1 dan
P1, mendirikan rambu di K1 dan P1. K1 sebagai bacaan belakang dan
P1 sebagai bacaan muka. Kemudian baca dan catat BA, BB, BT.
Lakukan sampai waterpasss berdiri diantara K2 dan K1 untuk
pengukuran stand 2.
c. Setelah data pergi didapatkan, kita melakukan perhitungan untuk
mendapatkan beda tinggi antara kedua titik tersebut. Berikut langkah
perhitungannya:
dH stand 1+ dh stand 2
Rata−ratabeda tinggi= ..................(II.10)
2
2. Beda Tinggi Pulang
Untuk mendapatkan beda tinggi pulang, pengukuran dilakukan dengan
stand 1 dan stand 2. Berikut langkah-langkahnya:
a. Alat didirikan di tengah K1 dan P1m mendirikan rambu di K1 dan P1.
K1 sebagai bacaan muka dan P1 sebagai bacaan belakang, lalu baca
dan catat BA, BB, BT. Lakukan sampai waterpasss berdiri diantara
K2 dan K1 untuk stand 1.
b. Alat didirikan kembali dengan tempat yang berbeda di tengah K1 dan
P1, mendirikan rambu di K1 dan P1. K1 sebagai bacaan muka dan P1
sebagai bacaan belakang. Kemudian baca dan catat BA, BB, BT.
Lakukan sampai waterpasss berdiri diantara K2 dan K1 untuk
pengukuran stand 2.
c. Setelah data pergi didapatkan, kita melakukan perhitungan untuk
mendapatkan beda tinggi antara kedua titik tersebut.
3. Perhitungan Elevasi Titik Menggunakan Metode Perataan Kondisi
Untuk jaringakn sipat datar yang sederhana, persamaan-persamaan kondisi
dapat dibuat dan dipecahkan untuk perataan. Harga ukur masing-masing

Kelompok VI-A 10
Laporan Praktikum Kerangka Vertikal

rute dinyatakan dengan 1, 2, dan 3 dan kesalahan-kesalahannya pada


waktu itu dengan v1, v2, dan v3. Kondisinya adalah pengukuran sifat datar
A-B-A kembali pada ketinggian permulaan dan untuk itu dibuat
persamaan-persamaan kondisi:

Gambar II-8 Perataan Jaringan Sipat Datar (Kurniawan, F. 2013)


(1) + v1 + (2) + v2 = 0
(2) + v1 + (3) + v3 = 0
Sebaliknya dari harga-harga ukur diperoleh persamaan kesalahan, jadi:
v1 + v2 = ω1
v1 + v3 = ω2
Perhitungannya dikerjakan dengan anggapan bahwa persamaan-persamaan
di atas masing-masing sama dengan ω1 dan ω2. Karena jumlah bilangan
lebih kecil dari jumlah persamaan, digunakan cara Lagrange. Lalu
memperoleh persamaan:

Hubungannya menjadi:
v1 = k2+ k2
v2 = k1
v3 = k2
Dengan melakukan substitusi persamaan di atas, diperoleh persamaan
korelasi:
2k1 + k2 = ω1

Kelompok VI-A 11
Laporan Praktikum Kerangka Vertikal

k1 + 2k2 = ω2
Maka,
k1 = (2ω1 - ω2)
k2 = (2ω2 -ω1)
Nilai-nilai observasi yang diratakan untuk masing-masing rute adalah
sebagai berikut: Pengukuran titik-titik kontrol
A→B (1) + v1
B→A (2) + v2
B→A (3) + v3
II.3.4 Pengukuran Penampang Memanjang
Penampang memanjang adalah irisan tegak pada lapangan dengan
mengukur jarak dan beda tinggi titik-titik di atas permukaan bumi. Profil
memanjang digunakan untuk melakukan pengukuran yang jaraknya jauh,
sehingga dikerjakan secara bertahap beberapa kali. Karena panjangnya sangat
besar, skala vertikal yang digunakan dibuat berbeda dengan skala horisontalnya.
Cara pengukuran penampang memanjang sama dengan cara pengukuran secara
berantai. Penampang memanjang digunakan untuk pekerjaan membuat trace jalan
kereta api, jalan raya, saluran air, pipa air minum, dan sebagainya.

Gambar II-9 Pengukuran Profil Memanjang (Kurniawan, 2013)


Tiap-tiap titik yang berurutan dan dibedakan pembacaan rambu.
Dh A –1 = b1 – m1 (beda tinggi antara A dan 1)
Dh 1 – 2 = b2 – m2 (beda tinggi antara 1 dan 2)
Dh 2 – 3 = b3 – m3 (beda tinggi antara 2 dan 3)
Dh 3 – B = b4 – m4 (beda tinggi antara 3 dan B)
Dh A – B = bi - mi..................................................................... (II.12)

Kelompok VI-A 12
Laporan Praktikum Kerangka Vertikal

II.4 Pengukuran Kerangka Vertikal


Kerangka kontrol vertikal merupakan kumpulan titik-titik yang telah
diketahui atau ditentukan posisi vertikalnya berupa ketinggiannya terhadap bidang
referensi tertentu. Pengukuran tinggi adalah menentukan beda tinggi antara dua
titik. Beda tinggi antara 2 titik dapat di tentukan dengan metode pengukuran sipat
datar, metode trigonometris dan metode barometris.

Gambar II-10 Metode Pengukuran Sipat Datar (Sentum, 2015)


Pengukuran kerangka dasar vertikal metode trigonometris pada prinsipnya
adalah perolehan beda tinggi melalui jarak langsung teropong terhadap beda
tinggi dengan memperhitungkan tinggi alat, sudut vertikal (zenith atau inklinasi)
serta tinggi garis bidik yang diwakili oleh benang tengah rambu ukur. Untuk
menentukan beda tinggi dengan cara trigonometris diperlukan alat pengukur sudut
untuk dapat mengukur sudut tegak.
Pengukuran tinggi dengan menggunakan metode barometris dilakukan
dengan menggunakan sebuah barometer sebagai alat utama. Barometer adalah alat
pengukur tekanan udara.
Di suatu tempat tekanan udara sama dengan tekanan udara dengan tebal
tertentu pula. Idealnya pencatatan di setiap titik dilakukan dalam kondisi atmosfer
yang sama tetapi pengukuran tunggal hampir tidak mungkin dilakukan karena
pencatatan tekanan dan temperatur mengandung kesalahan akibat perubahan
kondisi atmosfer. Semakin tinggi suatu tempat maka akan semakin rendah
tekanan udaranya. Karena dalam pengukuran tekanan udara berhubungan erat
dengan kondisi lapisan udara, maka pengukuran tersebut tidak hanya
menggunakan barometer saja tetapi menggunakan alat lain seperti termometer,
dan hygrometer. Tekanan dipengaruhi oleh temperatur, kelembaban, dan
percepatan gaya berat.

Kelompok VI-A 13
Laporan Praktikum Kerangka Vertikal

Hubungan antara tekanan dan ketinggian memang cukup kompleks tetapi untuk
keperluan pengukuran tinggi, analisa matematisnya disederhanakan menjadi
sebagai berikut :

..................................................................(II.13)
Keterangan:
hab = beda tinggi antara titik A dan B
T = temperatur rata-rata pada ketinggian Ha dan Hb (°K)
TS = temperatur Standar = 273°K
Pa = tekanan udara pada ketinggian Ha (mmHg)
Pb = tekanan udara pada ketinggian Hb (mmHg)
Sipat datar adalah suatu cara pengukuran beda tinggi antara dua titik di atas
permukaan tanah, di mana penentuan selisih tinggi antara titik yang berdekatan
dilakukan dengan tiga macam cara penempatan alat sipat datar yang dipakai
sesuai keadaan lapangan, yang dibedakan berdasarkan tempat berdirinya alat
yakni:

Gambar II-11 Pengukuran Sipat Datar (Purwamijaya, 2008)


Keterangan:
ta = tinggi alat di A
T = tinggi garis bidik
HA= tinggi titik A
b = bacaan rambu di B
HB = tinggi titik B
hab = beda tinggi dari A ke B = ta – b

Kelompok VI-A 14
Laporan Praktikum Kerangka Vertikal

a. Tinggi Orthometris
Ketinggian orthometrik adalah ketinggian stasiun di permukaan bumi,
diukur sepanjang arah alat pengukur keseimbangan lokal melalui stasiun tersebut,
di atas permukaan geoid. Hal ini diperkirakan oleh "tinggi di atas permukaan
laut", di mana datum MSL diasumsikan didefinisikan oleh pengamatan tide gauge
rata-rata selama beberapa tahun. Hubungan antara Orthometrik Tinggi (H) dan
Tinggi ellipsoid (h) adalah: h = H + N, dimana N adalah Tinggi geoid atau
berundulasi geoid terhadap ellipsoid Referensi. Tinggi Orthometrik secara
tradisional berasal dari geodesi meratakan (menggunakan teknik seperti
meratakan optik, meratakan trigonometri, meratakan barometrik).

b. Sumber Kesalahan dan Cara Mengatasinya


Walaupun sebelum pengukuran peralatan telah dikoreksi dan syarat-syarat
lain telah dipenuhi, namun karena hal-hal yang tidak terduga sebelumnya,
kesalahan-kesalahan yang lain dapat terjadi, yang menurut sumbernya adalah
sebagai berikut :
1. Bersumber dari alat ukur yang digunakan
a. Kesalahan Garis Bidik Tidak Sejajar Garis Arah Nivo
Akibat kesalahan ini, garis bidik akan menjadi miring. Pada
pengukuran satu slag pembacaan rambu belakang yang seharusnya a 0
menjadi a1, demikian pula pembacaan rambu muka yang seharusnya b0
menjadi b1 .
Akibatnya, beda tinggi antara A dan B (ΔhAB ) yang seharusnya (a0-b0)
menjadi (a1-b1). Sudut kemiringan garis bidik ke belakang dan ke muka
sama besar, a1-a0 akan sama b1-b0, apabila jarak alat ukur ke rambu
belakang sama dengan jarak alat ukur ke rambu muka. Dengan kata
lain, pengaruh garis bidik yang tidak sejajar garis arah nivo akan hilang
dengan cara membuat jarak alat ukur ke rambu belakang sama dengan
jarak alat ukur ke rambu depan.

Kelompok VI-A 15
Laporan Praktikum Kerangka Vertikal

Gambar II-12 Kesalahan garis bidik tidak sejajar garis arah nivo
(Sentun, 2015)
Dengan kata lain, pengaruh kesalahan akibat garis bidik yang tidak
mendatar dapat dihilangkan bilamana jarak alat ukur ke rambu muka
sama dengan jarak alat ukur ke rambu belakang atau alat berada di
tengah-tengah baak ukur.
b. Kesalahan Titik Nol Rambu
Kesalahan ini bisa terjadi dari pabrik, namun bisa pula terjadi karena
alas rambu yang aus dimakan usia atau sebab yang lain. Misal kedua
rambu yang akan dipakai dalam pengukuran keduanya salah, masing-
masing sebesar δ1 bertanda negatif (misal karena aus) dan δ 2 bertanda
positif (misal karena kesalahan dari pabrik). Akan kita lihat
pengaruhnya pada pengukuran berantai, di mana pada pengukuran
berantai biasanya kedudukan rambu akan dibuat berselang-seling.
Pada gambar di bawah,beda tinggi pada slag pertama :
Δh12 sebenarnya = a0 - b0............................................................................................ (2. 14)
Dari pembacaan rambu Δh12= (a0 + δ1) – (b0 – δ2)...................(2. 15)
= (a0 – b0) + (δ1 + δ2)
Δh23 sebenarnya = c0 - d0............................................................................................ (2. 16)
Dari pembacaan rambu Δh12= (c0 + δ2) – (d0 – δ3)...................(2. 17)
= (c0 – d0) + (δ2 + δ3)

Kelompok VI-A 16
Laporan Praktikum Kerangka Vertikal

Gambar II-13 Pengaruh kesalahan titik nol rambu


(Purwamijaya, 2008)
Δh13 sebenarnya = (a0 - b0) + (c0 – d0)......................(2. 18)
Dari pembacaan rambu Δh13=(a0 – b0) + (δ1 + δ2) + (c0 – d0) – (δ1 + δ2)
= (a0 – b0) + (c0+ d0)
Δh34 sebenarnya = e0 - f0.................................................................... (2. 19)
Dari pembacaan rambu Δh34= (e0 + δ1) – (f0 – δ2)....................(2. 20)
= (e0 – f0) + (δ1 + δ2)
Δh14 sebenarnya = Δh12 + Δh23 + Δh34.......................(2. 21)
Dari pembacaan rambu Δh14=(a0 – b0) + (c0 – d0) + (e0 – f0) + (δ1 + δ2)
Dengan demikian terlihat bahwa untuk beda tinggi satu slag akan
muncul +(δ1 + δ2), untuk dua slag tidak muncul, tiga slag muncul lagi
dan untuk empat slag tidak muncul lagi. Kesimpulannya, titik nol
rambu pengaruhnya akan hilang apabila jumlah slag dibuat genap.
c. Kesalahan Karena Rambu yang Tidak Betul-Betul Vertikal
Misal rambu ke satu dengan kemiringan γ1, rambu kedua dengan
kemiringan γ2, dan pembacaan pada masing-masing rambu a dan b.
Pada rambu vertikal akan terbaca.

Kelompok VI-A 17
Laporan Praktikum Kerangka Vertikal

Gambar II-14 Kesalahan karena rambu ukur tidak vertikal


(Kurniawan, 2013)
a b
a0= b0=
Cos γ 1 dan Cos γ 2 ...........................................(2. 22)

Sehingga beda tinggi antara titik 1 dan 2 yang benar :


a b
a0−b 0= −
Cos γ 1 Cos γ 2 .................................................(2. 23)
Untuk menghindari kesalahan ini, rambu harus betul-betul vertikal
dengan cara menggunakan nivo tabung atau unting-unting yang
digantungkan pada waterpass.
d. Kesalahan Karena Penyinaran yang Tidak Merata
Sinar matahari yang jatuh tidak merata pada alat ukur sipat datar akan
menyebabkan panas dan pemuaian pada alat penyipat datar yang tidak
merata pula, khususnya nivo teropong, sehingga pada saat gelembung
seimbang, garis arah nivo dan garis bidik tidak mendatar lagi. Untuk
menghindari keadaan semacam ini sebaiknya alat ukur dipayungi agar
tidak langsung terkena sinar matahari.
2. Bersumber dari personil
a. Kesalahan Karena Kurang Paham Tentang Pembacaan Rambu
Sebelum pengukuran dilakukan, seharunya para surveyor sudah betul-
betul paham terhadap sistem pembacaan rambu agar kesalahan jenis ini
tidak terjadi. Kesalahan ini biasanya akan menimbulkan kesalahan
besar atau blunder.

Kelompok VI-A 18
Laporan Praktikum Kerangka Vertikal

Untuk menghindari kesalahan ini, pembacaan dikontrol dengan


pembacaan benang atas (BA) dan benang bawah (BB) di mana benang
tengah (BT) = ½ (BA+BB) dan dilakukan pengukuran pulang-pergi.
b. Kesalahan Pada Mata
Apabila pengamat mempunyai cacat mata (minus atau plus), pada saat
mengamati melalui teropong seharusnya menggunakan kacamata yang
sesuai sehingga tidak menimbulkan kesalahan dalam pembacaan.
Pada umumnya pengamat senang menggunakan satu mata dan
memicingkan mata yang lain. Akibatnya, lama-kelamaan mata akan
menjadi lelah sehingga daya penglihatannya menjadi berkurang. Hal
ini membuat perkiraan pembacaannya menjadi kasar.
Untuk menghindari kesalahan ini, pengamatan melalui teropong
dengan satu mata sebaiknya mata yang lain tidak perlu dipicingkan
atau pengamatan dilakukan dengan mata bergantian untuk selang
waktu tertentu. Bila mata sudah lelah sebaiknya dihentikan dahulu
untuk sementara waktu guna memberi kesempatan mata untuk
beristirahat.
c. Kesalahan Karena Kondisi Fisik yang Lemah
Apabila kondisi fisik pengamat melemah, daya pemisah dari mata
dalam membaca rambu juga akan menjadi kasar atau kurang teliti. Hal
ini biasanya terjadi karena lapar atau haus serta menurunnya kesehatan
pengamat. Untuk menghindari keadaan yang demikian, surveyor perlu
istirahat di tengah hari, makan teratur dan selalu menjaga kondisi
tubuh.
d. Kesalahan Karena Pendengaran yang Berkurang
Pada pengukuran yang dilakukan oleh dua orang dimana seorang
sebagai pengamat dan seorang yang lain sebagai pencatat atau
rekorder, pengamat harus membaca rambu dan didengarkan oleh si
pencatat data. Apabila pendengaran pencatat kurang baik, bisa terjadi
yang diucapkan oleh pengamat akan lain dengan yang didengar oleh
pencatat, misalnya satu lima satu lima terdengar satu tiga satu tiga.
e. Kesalahan Kasar

Kelompok VI-A 19
Laporan Praktikum Kerangka Vertikal

Kesalahan ini diakibatkan karena pengukur belum paham betul pada


susunan angka-angka rambu, sebab untuk jenis rambu tertentu skala
penyusunan angkanya tidak sama dengan yang lain.
3. Bersumber dari alam
a. Kesalahan Karena Kelengkungan Permukaan Bumi

Gambar II-15 Kesalahan karena kelengkungan (Kurniawan,


2013)
Keterangan :
A dan B = Kedudukan rambu ukur A dan B
C = Kedudukan alat ukur sipat datar
S / S’ = Jarak alat ukur ke rambu ukur A / B
E / E’ = Tinggi hasil pembacaan pada rambu A / B
F / F’ = Tinggi yang sebenarnya pada rambu A / B
θ / θ’ = Selisih antara E dan F pada rambu A / B
RA / R B = Jari-jari bumi ke rambu A / B
Akibat dari kelengkungan permukaan bumi, maka hasil pembacaan
pada setiap rambu harus dikoreksi, dengan rumus koreksi :
−S2
P=
2 R ...............................................................................(2. 24)
Dalam hal ini :
P = Besaran koreksi
S = Jarak alat ukur ke rambu
R = Jari-jari bumi rata-rata

Kelompok VI-A 20
Laporan Praktikum Kerangka Vertikal

Untuk menghindari pengaruh kesalahan ini dapat dilakukan dengan


cara menghilangkan pengaruhnya sama sekali, bisa dikerjakan dengan
cara menempatkan alat ukur sipat datar tepat di tengah-tengah antara
kedua rambu dalam setiap kedudukan dan mengurangi pengaruhnya
yaitu dengan jalan memperpendek jarak alat ukur ke rambu, sehingga
pengaruh kesalahannya kecil sekali dan dapat diabaikan.
b. Kesalahan Karena Refraksi Sinar
Permukaan bumi diselimuti dengan lapisan-lapisan udara yang
ketebalannya tidak sama karena suhu dan tekanan yang tidak sama.
Hal ini mengakibatkan sinar yang sampai ke teropong dari obyek yang
dibidik akan menjadi melengkung ke atas sehingga yang terbaca
menjadi sangat besar. Oleh karenanya koreksi menjadi minus. Bentuk
koreksinya adalah :
μ . S2
c=
2 R ................................................................................(2. 25)
Di sini μ = koefisien refraksi, dapat diambil rata-rata 0,14
Umumnya kesalahan refraksi digabungkan dengan kelengkungan bumi
menjadi :
S2
P=−(1−μ )
2 R .....................................................................(2. 26)
Dimana :
S = jarak alat ukur ke rambu ukur
μ = koefisien refraksi
R = jari-jari bumi rata-rata
P = Koreksi kelengkungan bumi dan refraksi
Pengaruh kesalahan ini tidak bisa dihilangkan, namun bisa dihindari
dengan cara meletakkan alat ukur di tengah-tengah antara rambu muka
dengan rambu belakang pada setiap kedudukannya.
c. Kesalahan Karena Undulasi
Pada tengah hari yang panas antara pukul 11.00 sampai pukul 14.00
sering terjadi undulasi, yaitu udara di permukaan bumi yang bergerak
naik karena panas (fatamorgana). Jika rambu ukur didirikan di tempat
demikian, maka apabila dibidik dengan teropong akan kelihatan

Kelompok VI-A 21
Laporan Praktikum Kerangka Vertikal

seolah-olah rambu tersebut bergerak bergelombang, sehingga sukar


sekali untuk menentukan angka mana yang berimpit dengan garis bidik
atau benang silang. Sehingga apabila terjadi undulasi sebaiknya
pengukuran dihentikan.
d. Kesalahan Karena Kondisi Tanah Tidak Stabil
Akibat kondisi tanah tempat berdiri alat atau rambu tidak stabil, maka
setelah pembidikan ke rambu belakang, pengamat pindah posisi untuk
mengamat ke rambu muka ketinggian alat atau statip akan mengalami
perubahan sehingga beda tinggi yang didapat akan mengalami
kesalahan.
Adapun cara menghindari kesalahan ini yaitu dengan memilih tempat
berdiri alat dan rambu yang betul-betul stabil dan rambu tersebut diberi
alas atau sepatu rambu.

c. Tingkat Ketelitian Pengukuran Sipat Datar


Ketelitian pengukuran sipat datar dapat ditentukan berdasarkan suatu
bilangan yang menyatakan besarnya kesalahan menengah untuk setiap kilometer
sipat datar tunggal, yang dinyatakan dengan rumus :

∑ h2
μ=

Dimana :
D
2n ....................................................................................(2.27)

μ : kesalahan menengah tiap km sipat datar


h : selisih beda tinggi pengukuran pergi-pulang
n : jumlah seksi
D : panjang / jarak seksi dalam km

Kesalahan menengah dapat dihitung dari :


a. Selisih antara pengukuran pergi-pulang tiap seksi
b. Selisih antara pengukuran pergi-pulang tiap trayek
c. Kesalahan penutup dari sipat datar keliling
Kesalahan menengah pukul rata pengukuran pergi-pulang (m) dinyatakan
dengan rumus :

Kelompok VI-A 22
Laporan Praktikum Kerangka Vertikal

μ2
m=
√ 2 .........................................................................................(2. 28)
Untuk sipat datar tingkat pertama m harus < 1 mm, dan untuk tingkat yang
lain antara 1-3 mm. Berdasarkan batas toleransi kesalahan menengah pengukuran
pergi-pulang (ms) dinyatakan dengan rumus :

ms =√ 2μ2 .......................................................................................(2.29)
Untuk pengukuran sipat datar yang diikat oleh dua titik yang telah diketahui
tingginya sebagai titik-titik ujung pengukuran, maka beda tinggi yang didapat dari
tinggi titik-titik ujung tertentu itu tidak boleh mempunyai selisih lebih besar
daripada (Wongsotjitro,S., 1988) :
K1’ = ± (2,0 ± 2,0√ Skm) mm untuk pengukuran tingkat pertama
K2’ = ± (2,0 ± 3,0√ Skm) mm untuk pengukuran tingkat dua
K3’ = ± (2,0 ± 6,0√ Skm) mm untuk pengukuran tingkat tiga
Pada rumus-rumus Skm berarti jarak-jarak pengukuran yang dinyatakan
dalam kilometer.

d. Metode Perhitungan
Setelah Melakukan pengukuran stand 1 stand 2 pulang dan pergi,maka
didapatlah BA, BB dan BT.Kemudian Dicari Beda Tingginya
1. Beda Tinggi Pergi
Untuk mendapatkan beda tinggi “Pergi”, pengukuran dilakukan dengan
stand 1 dan stand 2. Berikut langkah kerjanya :
Untuk mencari beda tinggi dengan rumus = ( BT belakang – BT muka)
Kemudian didapat benang tinggi stand 1 dan stand 2 dan menghitung
rata-rata beda tinggi dengan rumus :
BT STAND1+ BT STAND2
Rata-rata beda tinggi = .....................(2.30)
2
2. Beda Tinggi Pulang
Untuk mendapatkan beda tinggi “Pulang”, pengukuran dilakukan dengan
stand 1 dan stand 2. Berikut langkah kerjanya :
Untuk mencari beda tinggi dengan rumus = ( BT belakang – BT muka)
Kemudian didapat benang tinggi stand 1 dan stand 2 dan menghitung
rata-rata beda tinggi dengan rumus :

Kelompok VI-A 23
Laporan Praktikum Kerangka Vertikal

BT STAND1+ BT STAND2
Rata-rata beda tinggi = ................(2.31)
2
3. Perhitungan Elevasi Titik
Setelah mendapatkan beda tinggi pergi dan pulang, kita akan mencari
elevasi titik dengan cara perhitungan :
a. Menghitung beda tinggi rata-rata pulang dan pergi dengan rumus
Rata−ratabeda tinggi=∆ H Pergi +∆H PULANG } over {2¿. (2.32)
b. Setelah kita mendapatkan beda tinggi rata-rata, selanjutnya kita
mencari koreksi pengukuran, dengan cara menjumlahkan seluruh
beda tinggi rata-rata kemudian kita mencari koreksi tiap titik dengan
rumus
Koreksi tiap titik = -(ΣRata- Rata)..........................................(2.32)
c. Perhitungan selanjutnya menghitung beda tinggi definitif dan
definitif ini memiliki syarat yaitu penjumlahan dari seluruh definitif
hasilnya harus nol.
Rumus Definitif = Beda tinggi + Invers Koreksi Tiap Titik …(2.33)
Untuk Elevasi Rumusnya adalah
Elevasi = Elevasi titik Sebelumnya + definitive ......................(2.34)
d. Standar Deviasi adalah ukuran sebaran statistik yang paling lazim.
Singkatnya, ia mengukur bagaimana nilai-nilai data tersebar. Bisa
juga didefinisikan sebagai, rata-rata jarak penyimpangan titik-titik
data diukur dari nilai rata-rata data tersebut. Standar deviasi
digunakan untuk mengetashui data pengukuran kerangka vertical
yang paling presisi.
Standar Deviasi=

……………………………...............(2.35)
i. Pengukuran Beda Tinggi Antara Dua Buah Titik
Sipat datar adalah suatu cara pengukuran beda tinggi antara dua titik diatas
permukaan tanah, dimana penentuan selisih tinggi antara titik yang berdekatan
dilakukan, dengan tiga macam cara penempatan alat penyipat datar yang dipakai
sesuai keadaan lapangan, yang dibedakan berdasarkan tempat berdiri nya alat,
yaitu:
1. Alat sipat datar ditempatkan di stasion yang diketahui ketinggiannya.
Dengan demikian dengan mengukur tinggi alat, tinggi garis bidik dapat
dihitung. Apabila pembacaan rambu di stasion lain diketahui, maka tinggi 
stasion ini dapat pula dihitung.

Kelompok VI-A 24
Laporan Praktikum Kerangka Vertikal

Gambar II-16 Penempatan Waterpass Tipe (Sentun, 2015)


Untuk menghitung tinggi titik B dapat menggunakan rumus :
HB = HA + hab ......................................................................................(2.36)
HB = T – b ..........................................................................................(2.37)
HB = HA + ta – b ..................................................................................(2.38)
2. Pada posisi ditengah-tengah antar 2 (dua) titik dengan atau tanpa
memperhatikan apakah posisi tersebut membentuk satu garis lurus
terhadap titik yang akan diukur tersebut.

Gambar II-17 Penempatan Waterpass Tipe 2 (Sentun, 2015)


hab = a – b ...........................................................................................(2.39)
hba = b – a ...........................................................................................(2.40)
Bila tinggi titik A adalah HA, maka tinggi titik B adalah :
HB = HA + hab = HA + a – b = T – b ....................................................(2.41)
Bila tinggi titik B adalah HB, maka tinggi titik A adalah :
HA = HB + hba = HB + b – a = T – a .....................................................(2.42)
3. Pada posisi selain dari kedua metode tersebut sebelumnya, dalam hal ini
alat didirikan di sebelah kiri atau kanan dari salah satu titik yang akan
ditentukan selisih tingginya.

Kelompok VI-A 25
Laporan Praktikum Kerangka Vertikal

Gambar II-18 Penempatan Waterpass Tipe 3 (Kurniawan, 2013)

Keterangan:
hab = a – b ...........................................................................................(2.43)
hba = b – a ...........................................................................................(2.44)
Bila tinggi titik C diketahui = HC, maka :
HB = HC + tc – b = T – b .....................................................................(2.45)
HA = HC + tc – a = T – a .....................................................................(2.46)
Bila tinggi titik B diketahui, maka :
HB = HA + hAB = HA + a – b ................................................................(2.47)
Bila tinggi titik B diketahui, maka :
HA = HB + hAB = HB + b – a ................................................................(2.48)
Dari ketiga cara di atas, cara yang paling teliti adalah cara kedua, karena
pembacaan a dan b dapat diusahakan sama teliti yaitu  menempatkan alat sipat
datar tepat di tengah - tengah antara titik A dan B (jarak pandang ke A sama
dengan jarak pandang ke B).

ii. Deteksi Blunder


Kesalahan ini dapat terjadi karena kurang hati-hati dalam melakukan
pengukuran atau kurang pengalaman dan pengetahuan dari praktikan. Apabila
terjadi kesalahan ini, maka pengukuran harus di ulang atau hasil yang mengalami
kesalahan tersebut dicoret saja.
Suatu besaran yang diukur berulang hingga tak berhingga, diasumsikan
akan menghasilkan distribusi hasil pengukuran dengan mengikuti distribusi
normal. Jika dari hasil pengukuran tersebut dicari nilai reratanya maka data
ukuran yang mempunyai selisih besar dari nilai rerata kemungkinan merupakan
data blunder.

Kelompok VI-A 26
Laporan Praktikum Kerangka Vertikal

Karakteristik dari data blunder itu antara lain :


- Sumber : Kesalahan personal (kecerobohan pengukur)
- Efek : Hasil pengukuran yang tidak homogen
- Penanganan : Harus dideteksi dan dihilangkan dari hasil pengukuran
Adapun langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk menghindari
terjadinya kesalahan besar ini yaitu:
1. Cek secara hati-hati semua objek yang akan diukur.
2. Melakukan pembacaan hasil ukuran secara berulang untuk mengecek
kekonsistenan.
3. Memastikan hasil yang dicatat dengan yang dibaca.
4. Penggunakan rumus aljabar atau geometrik sederhana untuk mengecek
kebenaran hasil ukuran. Misalnya dalam pengukuran sudut sebuah
segitiga, jumlah ketiga sudutnya sama 180 derajat
Distribusi normal adalah distribusi dari variabel acak bersambung. 
Kadang-kadang distribusi normal disebut juga dengan distribusi Gauss.  Distribusi
ini merupakan distribusi yang paling penting dan paling banyak digunakan di 
bidang statistika.
Fungsi densitas distribusi normal diperoleh dengan persamaan sebagai
berikut :

.................................................................(2.49)
dimana
π = 3,1416
e = 2,7183
µ = rata-rata
σ = simpangan baku
|v i|
t i= >rejectionlevel....................................................................(2.50)
S 0 √ q ii
vi : residu
S0 : Standar Deviasi Pengukuran = √ σ 20
qii : elemen diagonal matrik kofaktor residual (Qvv)
−1
Q VV =( P−1− A ( A T PA ) A T )................................................................(2.51)
Tabel II-1 Rejection level

Rejection
 1-  1-
Criteria

0.05 0.95 0.80 0.20 2.8


Kelompok VI-A 27
0.001 0.999 0.80 0.20 4.1

0.001 0.999 0.999 0.001 6.6


Laporan Praktikum Kerangka Vertikal

iii. Koreksi Gaya Berat


Secara umum metoda gaya berat merupakan metoda geofisika yang
mengukur variasi gaya berat (gravitational) di bumi. Metoda ini jarang digunakan
pada tahapan lanjut eksplorasi bijih, namun cukup baik digunakan untuk
mendefinisikan daerah target spesifik untuk selanjutnya disurvei dengan metoda-
metoda geofisika lain yang lebih detil.
Adanya variasi medan gravitasi bumi ditimbulkan oleh adanya perbedaan
rapat massa (density) antar batuan. Adanya suatu sumber yang berupa suatu massa
(masif, lensa, atau bongkah besar) di bawah permukaan akan menyebabkan
terjadinya gangguan medan gaya berat (relatif). Adanya gangguan ini disebut
sebagai anomaligaya berat. Karena perbedaan medan gayaberat ini relatif kecil
maka diperlukan alat ukur yang mempunyai ketelitian yang cukup tinggi. Alat
ukur yang sering digunakan adalah Gravimeter. Alat pengukur gayaberat di darat
telah mencapai ketelitian sebesar ±0.01 mGal dan di laut sebesar ±1 mGal.
Beberapa endapan seperti zinc, bauksit, atau barit sangat sulit dideteksi
melalui metoda magnetik maupun elektrik, namun dapat dideteksi dengan metoda
gaya berat (gravity), tapi hanya untuk mengetahui profil batuan sampingnya (tidak
dapat langsung mendeteksi bijihnya) melalui anomali densiti.
Dasar teori yang dipakai dalam metoda ini adalah Hukum Newton tentang
gravitasi bumi. Untuk bumi yang berbentuk bulat, homogen, dan tidak berotasi,
maka massa bumi (M) dengan jari-jari (R) akan menimbulkangaya tarik pada
benda dengan massa (m) di permukaan bumi sebesar :

....................................................................(2.52)

(g) adalah percepatan gaya berat vertikal permukaan bumi.


Harga rata-rata gayaberat di permukaan bumi adalah 9.80 m/s2. Satuan
yang digunakan adalah gayaberat adalah milliGal (1 mGal = 10-3 Gal = 10-3
cm/s2) atau ekIV-Alen dengan 10 gu (gravity unit). Variasi gaya berat yang
disebabkan oleh variasi perbedaan densitas bawah permukaan adalah sekitar 1
mGal (100 mm/s2).
Karena bentuk bumi bukan merupakan bola pejal yang sempurna, dengan
relif yang tidak rata, berotasi serta ber revolusi dalam sistem matahari, tidak

Kelompok VI-A 28
Laporan Praktikum Kerangka Vertikal

homogen. Dengan demikian variasi gayaberat di setiap titik permukaan bumi akan
dipengaruhi oleh 5 faktor, yaitu :
1. Lintang
2. Ketinggian
3. Topografi
4. Pasang surut
5. Variasi densitas bawah permukaan
Sehingga dalam pengukuran dan interpretasi, faktor-faktor tersebut harus
diperhatikan (dikoreksi).

iv. Metode Perhitungan Bowditch


Pada prinsipnya data pengukuran poligon yang berupa sudut dan jarak
harus konsisten dalam hal ketelitian instrumen yang digunakan, sesuai dengan
persamaan sq = sL/L, dimana sq: ketelitian instrumen sudut, sL: ketelitian
instrumen jarak (dalam radian) dan L: jarak pengukuran. Dengan berkembangnya
theodolit, juru ukur dalam pengukuran poligon sering tidak konsisten dalam
menggunakan instrumen, misalnya pengukuran sudut dengan theodolit ketelitian
5” dan pengukuran jarak dengan meteran. Dalam kasus tersebut penerapan metode
bowditch dalam penghitungan poligon tidak tepat karena konsistensi pengukuran
tidak terpenuhi.
Oleh karena itu metode transit merupakan alternatif yang bisa digunakan
karena lebih mempertahankan ketelitian sudut daripada jarak. Penerapan metode
yang berbeda tentu membawa konsekuensi koordinat hasil penghitungan yang
berbeda pula, untuk itu perlu diuji apakah terdapat perbedaan yang signifikan
antara koordinat hasil penghitungan poligon metode bowditch dengan metode
transit dalam konteks pengukuran kadastral.
Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimental. Data dalam
penelitian ini adalah data primer berupa data sampel jarak (EDM, meteran dan
optis) dan data simulasi di AutoCAD 2004. Bentuk poligon terdiri dari poligon
tertutup 30 titik, poligon terbuka arah utara selatan (asimut 180°) dan poligon
terbuka arah miring (azimut 45°) masing-masing terdiri dari 6 titik.
Analisis data menggunakan uji t untuk membandingkan posisi koordinat
hasil penghitungan metode bowditch dengan metode transit dan analisis beda
jarak dan beda sudut hasil penghitungan metode bowditch dan transit. Jumlah titik

Kelompok VI-A 29
Laporan Praktikum Kerangka Vertikal

yang diuji dalam poligon tertutup adalah 29 titik dan untuk poligon terbuka adalah
6 titik (STPN, 2017).
Dari analisis dengan uji t dengan interval kepercayaan 95 % dan derajat
kebebasan 28 pada poligon tertutup dan derajat kebebasan 5 pada poligon terbuka
tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara koordinat hasil penghitungan
metode bowditch dengan transit untuk semua sampel jarak. Berdasarkan analisis
beda jarak dan beda sudut pada poligon tertutup metode bowditch untuk sampel
jarak meteran terdapat beda jarak rata-rata 0,0029 m dan beda sudut rata-rata 10”,
untuk sampel jarak optis terdapat beda jarak rata-rata 0,0315 m dan beda sudut
rata-rata 1’44”. Pada poligon tertutup metode transit untuk sampel jarak meteran
terdapat beda jarak rata-rata 0,0046 m dan beda sudut rata-rata 8”, untuk sampel
jarak optis terdapat beda jarak rata-rata 0,0504 m dan beda sudut rata-rata 1’25”.
Pada poligon terbuka tidak terdapat beda jarak dan beda sudut (STPN, 2017).

v. Metode Least Square


Metode perhitungan yang dilakukan untuk pengukuran sipat datar teliti
adalah dengan menggunakan metode Least square. Metode Least square dipilih
karena metode ini mampu untuk meminimalkan kesalahan kuadrat yang
ditimbulkan dari tiap pengukuran. Metode Least square menggunakan
perhitungan matriks. Metode perataan hitung kuadrat terkecil di bidang survey
measurement yang kami ketahui hingga saat ini ialah:
Koreksi (V) = -AT [A.AT]-1 F.................................................(2.53)
V : Koreksi jarak
A: Merupakan angka 1 dan 0 sebagai identitas yang dilihat dari arah
loopnya
F : Penjumlahan beda tinggi sesuai dengan loop dan kerangka utamanya.
(Djanur, 2013)
Misalnya kita melakukan pengukuran jarak antar dua titik sebanyak 3
(tiga) kali l1, l2 dan l3 sedangkan jarak sebenarnya kedua titik tersebut adalah la.
Karena pengukuran l1, l2 dan l3 mengandung kesalahan maka ada koreksi untuk
masing-masing pengukuran misal v1, v2 dan v3. Persamaan antara 3 (tiga)
pengukuran tersebut dengan koreksinya terhadap la adalah:
(l1+v1)=la..............................................................................(2.54)

Kelompok VI-A 30
Laporan Praktikum Kerangka Vertikal

(l2+v2)=la............................................................................. (2.55)
(l3+v3)=la............................................................................. (2.56)
Koreksi v1, v2 dan v3 bisa bernilai positif atau negatif.
Pengukuran yang dilaksanakan dengan benar akan menghasilkan
nilai koreksi yang kecil untuk v1, v2 dan v3. Karena nilai koreksi ada yang
positif dan negatif, untuk pengukuran yang benar, nilai v12 + v22 + v32
akan minimum. Atau dalam bentuk umum

............................................(2.57)
jika ada bobot ukuran (w) persamaan di atas menjadi:

...............(2.58)
(Kahar, 2007)

Kelompok VI-A 31
Laporan Praktikum Kerangka Vertikal

BAB III
PELAKSANAAN PRAKTIKUM
III.1 Persiapan Praktikum
Sebelum melaksanakan praktikum Kelompok VI-A terlebih dahulu
melakuan persiapan, yaitu melakukan survei lokasi pengukuran. Kelompok VI-A
mendapat lokasi praktikum di sepanjang jalan Town Square hingga Urban Cut
Barbershop. Survei lokasi ini bertujuan agar dapat memperkirakan gambaran
peletakan patok dan medang pengukuran yang akan dihadapi. Setelah melakukan
survei lokasi, dilakukan pemasangan patok. Selain survei lokasi, kita perlu
mempersiapkan alat dan bahan yang digunakan seperti mempersiapkan alat ukur
waterpass beserta kelengkapannya dan beberapa peralatan pendukung praktikum
lainnya seperti payung, meteran, patok, topo, alat tulis dan lain-lain.
1. Lokasi Praktikum
Praktikum Kerangka Vertikal Kelompok VI-A dilakukan di sepanjang
jalan Town Square hingga Urban Cut Barbershop.

Gambar III-19 Gambar Citra Satelit Area Praktikum [ CITATION Map19 \l 1033 ]

Kelompok VI-A 1
Laporan Praktikum Kerangka Vertikal

2. Waktu Praktikum
Masa Praktikum Kerangka Vertikal Kelompok VI-A dilakukan selama dua
hari yaitu muali tanggal 15 – 16 April 2019.

III.2 Peralatan
Peralatan yang digunakan oleh Kelompok VI-A dalam praktikum
Kerangka Vertikal adalah:
1. Waterpass Digital

1
3
2
4

Gambar III-20 Waterpass Digital Geomax


Spesifikasi alat waterpass digital Geomax yang digunakan Kelompok VI-
A antara lain:
1) Pengatur fokus, berfungsi untuk mengatur fokus lensa.
2) Penggerak halus, berfungsi untuk mengatur gerak waterpass secara
horisontal dengan pergerakan yang halus.
3) Lensa objek, berfungsi untuk membidik nivar.
4) Roda tiga, berfungsi untuk mengatur waterpass agar datar.
2. Statif

Gambar III-21 Statif

Kelompok VI-A 2
Laporan Praktikum Kerangka Vertikal

3. Nivar

Gambar III-22 Nivar


4. Pita Ukur

Gambar III-23 Pita Ukur


III.3 Uji Kolimasi Alat
Kelompok VI-A melakukan kolimasi alat sebelum melakukan pengukuran.
Kolimasi alat ini dilakukan di area Gedung Prof. Soedarto, S.H. kolimasi
dilakukan dengan jarak antar patok 20 meter dan menghasilkan data:
Tabel III-2 Hasil Uji Kolimasi Alat
Pengukuran ke- Titik BT D dH D langsung
(meter) (meter) (meter)
P1 1.9565 10.076 10
1 0.4368
P2 1.5197 9.884 10
P1 1.8659 14.988 15
2 0.4387
P2 1.4272 4.934 5
Dari data uji kolimasi alat di atas menunjukkan pengukuran beda tinggi di
titik yang sama dengan jarak antara alat dan titik berbeda mendapatkan hasil ∆h
pengukuran pertama adalah 0.4368 dan ∆h pengukuran ke-2 dalah 0.4887, hasil
pengukuran menunjukkan selisih pengukuran beda tinggi sebesar 0.0019, dan

Kelompok VI-A 3
Laporan Praktikum Kerangka Vertikal

toleransi selisih pengukuran sebesar 0.0020, sehingga dapat disimpulkan bahwa


alat waterpass digital Geomax masih layak untuk digunakan.

III.4 Pengukuran Beda Tinggi dengan Waterpass


Tahapan-tahapan pengukuran beda tinggi menggunakan waterpass digital
yang dilakukan Kelompok VI-A antara lain:
1. Menentukan titik-titik patok, dengan jarak antar patok maksimal 100 meter
2. Mengukur jarak antar patok
3. Mendirikan alat waterpass digital di tengah-tengah jarak antar patok,
apabila tidak dapat tepat di tengah toleransi jarak antara alat ke patok 1
dan 2 tidak boleh lebih dari 2% dari jarak antar patok
4. Mengarahkan alat ke nivar backsight kemudian memilih tombol menu
pada alat, pilih program dan selanjutnya pilih jenis pengukuran yang
digunakan. Pada pengukuran praktikum Kerangka Vertikal ini Kelompok
VI-A menggunakan jenis pengukuran BFFB, karena selain dilakukan
pengukuran metode pulang pergi juga dilakukan pengukuran metode
double stand. Dari tahapan ini maka akan didapatkan data benang tengah
dan jarak alat ke patok backsight, kemudian accept.
5. Mengarahkan alat ke patok foresight, menekan tombol measure, dari tahap
ini maka akan didapat data beda tinggi, benang tengah dan jarak alat ke
patok foresight.
6. Melakukan double stand.
7. Memindahkan alat ke titik selanjutnya dan mengulangi langkah 2 hingga
6. Setelah melakukan pengukuran pergi maka melakukan pengukuran
pulang.

III.5 Diagram Alir Pelaksanaan


III.5.1 Diagram Alir Pelaksanaan Praktikum
Diagram alir pelaksanaan praktikum yang dilakukan oleh Kelompok VI-A
adalah sebagai berikut:

Kelompok VI-A 4
Laporan Praktikum Kerangka Vertikal

Persiapan

Pemasangan Patok
Wilayah Pengukuran

Pengukuran Wilayah
Pengukuran

Perhitungan

Iya Tidak

Tinggi Orthometrik

Pembuatan Laporan Penggambaran

Laporan Praktikum Gambar Penampang


Memanjang

Gambar III-24 Diagram Alir Pelaksanaan Pre

III.5.2 Diagram Alir Pelaksanaan Pengukuran


Diagram alir pelaksanaan pengukuran yang dilakukan oleh Kelompok VI-
A adalah sebagai berikut:

Kelompok VI-A 5
Laporan Praktikum Kerangka Vertikal

Persiapan dan Perencanaan

Pengukuran

Tidak

Cek selisih
Pergi Pulang

Memenuhi

Penentuan Kelas Ordo

Penentuan tinggi orthometrik

Tinggi Orthometrik

Gambar III-25 Diagram Alir Pelaksanaan Pengukuran


III.6 Metode Perhitungan Data
Perhitungan dilakukan setelah diperoleh data pengukuran waterpass.
Untuk melakukan perhitungan sesuai dengan dasar teori pada Bab II Dasar Teori
dan penerapan dapat dilihat pada Bab IV Hasil dan Pembahasan.
III.7 Metode Penggambaran
Tahapan-tahapan pelaksanaan penggambaran yang dilakukan oleh
Kelompok VI-A adalah sebagai berikut:
1. Mempersiapkan data-data hasil pengukuran dan perhitungan waterpass.
2. Menggambar penampang memanjang dengan menggunakan aplikasi
AutoCAD dengan skala horizontal 1:1000 dan skala vertikal 1:100.
3. Menggambarkan tinggi titik sesuai dengan tinggi yang diperoleh dari
pengukuran dan perhitungan waterpass dengan menggunakan aplikasi
AutoCAD.
4. Setelah selesai digambar pada AutoCAD, kemudian plot gambar tersebut
pada kertas HVS.

Kelompok VI-A 6
Laporan Praktikum Kerangka Vertikal

Berikut adalah contok dari sketsa frame yang akan digunakan oleh Kelompok
VI-A

4
1

Gambar III-26 Format Hasil Plotting Penggambaran


Keterangan:
1. Gambar penampang memanjang
2. Logo dan nama jurusan
3. Judul gambar
4. Skala gambar
5. Legenda
6. Nama dan anggota kelompok
7. Kolom pengesahan

Kelompok VI-A 7

Anda mungkin juga menyukai