Anda di halaman 1dari 17

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lamtoro (Leucaena leucocephala)

Lamtoro atau yang sering disebut petai cina, atau petai selong adalah

sejenis perdu dari famili Fabaceae (Leguminoseae, polong-polongan), yang kerap

digunakan dalam penghijauan lahan atau pencegahan erosi. Lamtoro berasal

dari Meksiko dan Amerika Tengah, di mana tanaman ini tumbuh menyebar luas.

Penjajah Spanyol membawa biji-bijinya dari Meksiko ke Filipina di akhir abad

XVI dan dari tempat ini mulailah lamtoro menyebar luas ke berbagai bagian dunia

dan ditanam sebagai peneduh tanaman kopi, penghasil kayu bakar, serta sumber

pakan ternak. Lamtoro mudah beradaptasi di berbagai daerah tropis seperti

Asia dan Afrika termasuk pula di Indonesia (Riefqi, 2014).

2.1.1 Klasifikasi Tanaman Lamtoro (L. leucocephala)

Menurut Ajo (2009) tanaman lamtoro memiliki klasifikasi sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Sub-divisi : Angiospermae

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Fabales

Famili : Fabaceae

Genus : Leucaena

Species : Leucaena leucocephala

4
5

2.1.2 Morfologi Tanaman Lamtoro (L. leucocephala)

Tanaman lamtoro memiliki morfologi akar yang sangat kokoh, karena akar

tunggangnya menembus kuat ke dalam tanah sehingga pohon tidak mudah

tumbang oleh tiupan angin. Pohon lamtoro mempunyai batang yang kuat,

sehingga tidak mudah patah. Warna batang coklat kemerahan sehingga menarik

untuk dipandang. Batang pohon lamtoro dalam waktu satu tahun dapat mencapai

garis tengah 10-15 cm. Daun lamtoro berbentuk simetris, dengan tipe daun

majemuk ganda dan daun berwarna hijau (Gambar 2.1). Buah lamtoro berbentuk

polong dalam tandan. Dalam tiap-tiap tandan buah dapat mencapai 20-30 buah

polong, sedangkan dalam satu polongnya dapat mencapai 15-30 biji. Batang

tandan berbentuk besar dan agak pendek. Bijinya berbentuk lonjong dan pipih,

jika sudah tua biji tersebut berwarna coklat kehitaman (Riefqi, 2014).

Gambar 2.1
Morfologi Tanaman Lamtoro
Sumber : Ajo, 2009.
6

Lamtoro menyukai iklim tropis yang hangat (suhu harian 25-30°C),

ketinggian di atas 1000 m dpl dapat menghambat pertumbuhan. Tanaman ini

tumbuh baik di wilayah dengan kisaran curah hujan 650-3.000 mm pertahun.

2.2 Kaliandra (Calliandra calothyrsus)

Kaliandra merupakan jenis yang unik dalam familinya karena

penggunaannya yang luas secara internasional sebagai pohon serbaguna untuk

wanatani. Jenis ini secara alami terdapat di Meksiko dan Amerika Tengah. Pada

tahun 1936 benih tanaman ini dikirimkan dari Guatemala Selatan ke Jawa, dari

Jawa jenis ini kemudian diperkenalkan ke berbagai pulau lainnya di Indonesia

(Benih, 2011). Tanaman ini berbunga sepanjang tahun pada sebaran alaminya,

tetapi masa puncak pembungaannya terjadi antara bulan Juli dan Maret. Musim

berbunga jenis ini sangat bervariasi antara daerah satu dengan daerah lainnya,

bergantung pada jumlah curah hujan dan persebarannya (Macqueen, 1996).

2.2.1 Klasifikasi Tanaman Kaliandra (C. calothyrsus)

Tanaman kaliandra memiliki klasifikasi sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Sub-divisi : Angiospermae

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Fabales

Famili : Fabaceae

Genus : Calliandra

Spesies : Calliandra calothyrsus


7

2.2.2 Morfologi Tanaman Kaliandra (C. calothyrsus)

C. calothyrsus adalah pohon kecil bercabang yang tumbuh mencapai tinggi

maksimum 12 m dan diameter batang maksimum 20 cm. Batangnya berwarna

coklat kemerahan, dan pucuk batang cenderung bergerigi (Gambar 2.2). Sistem

perakarannya terdiri dari beberapa akar tunggang dengan akar yang lebih halus

yang jumlahnya sangat banyak dan memanjang sampai ke luar permukaan tanah.

Jika di dalam tanah terdapat rhizobia dan mikoriza, akan terbentuk asosiasi antara

cendawan dengan bintil-bintil akar (Macqueen, 1996).

Gambar 2.2
Morfologi Tanaman Kaliandra
Sumber : Benih, 2011.

Kaliandra tumbuh alami di sepanjang bantaran sungai, dengan cepat akan

menempati areal yang vegetasinya terganggu misalnya, tepi-tepi jalan. Jenis ini

terdapat di daerah yang curah hujannya berkisar antara 1000-4000 mm, meskipun

populasi tertentu terdapat di daerah yang curah hujan tahunannya hanya 800 mm.
8

C. calothyrsus terdapat di daerah yang musim kemaraunya berlangsung selama 2

sampai 4 bulan dengan curah hujan kurang dari 50 mm per bulan. Namun pernah

ada spesimen yang ditemukan di daerah yang musim kemaraunya mencapai 6

bulan. Jenis ini tumbuh di daerah dengan suhu minimum tahunan 18-22° C dan

tidak tahan terhadap tanah yang drainasenya buruk serta tergenang secara teratur

(Benih, 2011).

2.3 Mikoriza Vesikular Arbuskular (MVA)

Simbiosis akar tanaman dengan cendawan di akhir 1880-an ini diberi nama

mikoriza. Mikoriza berasal dari bahasa Greek yang berarti cendawan akar.

Observasi baru mengenai fosil tanaman dari era Devonian memberi kesan

bahwa asosiasi mikoriza, telah ada kira-kira 400 juta tahun yang lalu, tanaman

telah membentuk asosiasi dengan mikoriza sejak keduanya pertama kali

mengkolonisasi tanah (Remy et al, 1994 dalam Delvian, 2006).

MVA merupakan asosiasi antara cendawan akar dengan akar tanaman

dengan membentuk jalinan interaksi yang kompleks. MVA merupakan kelompok

cendawan obligat yang tidak dapat tumbuh dan berkembang jika tidak

bersimbiosis dengan tanaman inangnya, apabila terpisah dengan tanaman

inangnya MVA akan membentuk stuktur tahan yaitu berbentuk spora tahan

(klamidospora).

Mikoriza berasal dari kata miko (Mykes = cendawan) dan riza yang berarti

akar tanaman. Asosiasi antara akar tanaman dengan cendawan ini memberikan

manfaat yang sangat baik bagi tanah dan tanaman inang tempat cendawan tersebut

tumbuh dan berkembangbiak. Mikoriza adalah kelompok cendawan yang

bersimbiosis dengan tumbuhan tingkat tinggi (tumbuhan berpembuluh,


9

tracheophyta) khususnya pada sistem perakaran. Mikoriza memerlukan akar

tumbuhan untuk melengkapi daur hidupnya. Sebaliknya, beberapa tumbuhan

bahkan ada yang tergantung pertumbuhannya pada mikoriza. Beberapa jenis

tumbuhan tidak tumbuh atau terhambat pertumbuhannya tanpa kehadiran

mikoriza di akarnya (Anas, 1997).

2.3.1 Jenis MVA

Mikoriza di bagi menjadi dua yaitu endomikoriza dan ektomikoriza.

1. Endomikoriza

Endomikoriza adalah cendawan yang hifanya dapat menembus akar

sampai bagian korteks. Misalnya yang terjadi pada tanaman anggrek, sayuran, dan

pada berbagai jenis tumbuhan tingkat tinggi. Endomikoriza penting untuk

beberapa jenis tanaman polongan karena dapat merangsang pertumbuhan bintil

akar. Bintil akar dapat bersimbiosis dengan rhizobium sehingga mempercepat

fiksasi nitrogen.

Endomikoriza mempunyai sifat-sifat antara lain akar yang kena infeksi

tidak membesar, lapisan hifa pada permukaan akar tipis, hifa masuk ke dalam

individu sel jaringan korteks, adanya bentukan khusus yang berbentuk oval yang

disebut vasiculae (vesikel) dan sistem percabangan hifa yang dichotomous disebut

arbuscules (arbuskul) (Brundrett et al., 1996). Suatu simbiosis terjadi apabila

cendawan masuk ke dalam akar atau melakukan infeksi. Proses infeksi dimulai

dengan perkecambahan spora di dalam tanah. Hifa yang tumbuh melakukan

penetrasi ke dalam akar dan berkembang di dalam korteks. Akar yang terinfeksi

akan terbentuk arbuskul, vesikel intraseluler, hifa internal diantara sel-sel korteks

dan hifa ekternal. Penetrasi hifa dan perkembangannya biasanya terjadi pada
10

bagian yang masih mengalami proses diferensiasi dan proses pertumbuhan. Hifa

berkembang tanpa merusak sel (Anas, 1997).

2. Ektomikoriza

Ektomikoriza adalah cendawan yang hifanya hanya sampai pada bagian

epidermis akar pertumbuhan atau tidak sampai menembus ke dalam korteks akar.

Dengan adanya ektomikoriza, akar tumbuhan tidak begitu memerlukan bulu akar.

Tumbuhan - tumbuhan tersebut dapat memperoleh air dan unsur-unsur hara dari

tanah dalam jumlah yang lebih banyak.

Ektomikoriza mempunyai sifat antara lain akar yang kena infeksi

membesar, bercabang, rambut-rambut akar tidak ada, hifa menjorok ke luar dan

berfungsi sebagi alat yang efektif dalam menyerap unsur hara dan air, hifa tidak

masuk ke dalam sel tetapi hanya berkembang diantara dinding-dinding sel

jarinagan korteks membentuk struktur seperti pada jaringan hartiq.

2.3.2 Klasifikasi Mikoriza Vesikular Arbuskular (MVA)

Mikoriza vesikular arbuskular adalah salah satu tipe cendawan mikoriza

dan termasuk ke dalam golongan endomikoriza yang memiliki klasifikasi sebagai

berikut (Gambar 2.3) (INVAM, 2013) :

Kingdom : Fungi

Kelas : Zygomycetes

Ordo : Glomales

Sub-ordo : Gigasporineae

Glomineae

Famili : Gigasporaceae (sub-ordo Gigasporineae)

Glomaceae (sub-ordo Glomineae)


11

Acaulosporaceae

Paraglomaceae

Archaeosporaceae

Genus : Gigaspora (famili Gigasporaceae)

Scutellospora

Glomus (famili Glomaceae)

Acaulospora (famili Acaulosporaceae)

Entrophospora

Paraglomus (famili Paraglomaceae)

Archaeospora (famili Archaeosporaceae)

Gambar 2.3
Filogeni Perkembangan dan Taksonomi Ordo Glomales
Sumber : INVAM, 2013.

Dari lima genus yang dimiliki oleh MVA, masing-masing genus memiliki

karakteristik yang spesifik, yaitu sebagai berikut :

1. Glomus

Glomus dicirikan dengan spora berbentuk bulat dan jumlahnya banyak.

Dinding spora terdiri atas lebih dari satu lapis, terdapat hifa penyangga

(subtending hyphae) lurus berbentuk silinder dan tidak memiliki ornamen.


12

Warna spora genus Glomus bervariasi mulai dari hyaline (transparan),

putih, kuning kecoklatan, coklat kekuningan, coklat muda, hingga coklat

tua kehitaman. Ukuran diameter spora rata-rata 259 µm. Proses

perkembangan spora berawal dari ujung hifa yang membesar sampai

mencapai ukuran maksimal dan terbentuk spora (INVAM, 2013).

2. Acaulospora

Proses perkembangan spora genus Acaulospora berawal dari ujung

dudukan hifa yang membesar seperti spora yang disebut hifa terminal.

Antara hifa terminal dan dudukan hifa akan muncul bulatan kecil yang

makin lama makin membesar dan membentuk spora. Dalam

perkembangannya, hifa terminal akan rusak dan isinya akan masuk ke

spora. Rusaknya hifa terminal akan meninggalkan bekas lubang kecil yang

disebut cicatrix. Warna spora saat muda berwarna hyaline dan berwarna

coklat kemerahan setelah matang. Dinding spora terdiri dari tiga lapisan

dan ukuran diameter sporanya rata-rata 279 µm (INVAM, 2013).

3. Entrophospora

Proses perkembangan spora genus Entrophospora hampir sama dengan

proses perkembangan spora genus Acaulospora, yaitu diantara hifa

terminal dengan dudukan hifa. Warna spora genus Entrophospora yaitu

kuning coklat, jika spora belum matang warnanya tampak jauh lebih

buram. Spora berbentuk bulat dengan ukuran diameter spora rata-rata 121

µm. Dinding spora terdiri dari dua lapisan (INVAM, 2013).


13

4. Gigaspora

Sporanya bereaksi dengan larutan Melzer secara menyeluruh, tidak

memiliki ornamen. Hifa membentuk hifa penyangga yang membulat.

Memiliki sel auksilari/sel tambahan yang merupakan perwujudan vesikula

eksternal. Warna sporanya kuning cerah. Spora berbentuk bulat dengan

ukuran diameter spora rata-rata 321 µm. Spora dinding terdiri dari tiga

lapisan (INVAM, 2013).

5. Scutellospora

Proses perkembangan Scutellospora sama dengan Gigaspora, untuk

membedakan dengan genus Gigaspora, pada Scutellospora terdapat lapisan

kecambah yang disebut germination shield. Saat berkecambah, hifa ke luar

dari germination shield tersebut. Spora Scutellospora umumnya ditemukan

dengan atau tanpa ornamen. Memiliki dua lapis dinding spora dan dua lapis

dinding dalam yang fleksibel. Genus Scutellospora memiliki bentuk spora

bulat, agak bulat, lonjong, dan terkadang tidak beraturan dengan warna

dinding spora kuning hingga kecoklatan (INVAM, 2013).

2.3.3 Morfologi MVA

Schubler et al. (2001) dengan menggunakan data molekuler telah

menetapkan kekerabatan diantara MVA dan cendawan lainnya. MVA saat ini

menjadi filum tersendiri, yang memiliki perbedaan tegas, baik ciri-ciri genetika

maupun asal-usul nenek moyangnya, dengan Ascomycota dan Basidiomycota.

MVA membentuk organ-organ khusus dan mempunyai perakaran yang spesifik.

Organ khusus tersebut adalah arbuskular, vesikel dan spora (Pattimahu, 2004).
14

2.3.3.1 Vesikel

Vesikel merupakan struktur cendawan yang berasal dari pembengkakan

hifa internal secara terminal, kebanyakan berbentuk bulat telur, dan terdapat

banyak senyawa lemak sehingga menjadi organ penyimpanan cadangan makanan

dan pada kondisi tertentu dapat berperan sebagai spora atau alat untuk

mempertahankan kehidupan cendawan. Vesikel memiliki fungsi yang paling

menonjol dari tipe cendawan mikoriza lainnya. Hal ini dimungkinkan karena

kemampuannya dalam berasosiasi dengan hampir 80 % jenis tanaman, sehingga

dapat digunakan secara luas untuk meningkatkan probabilitas tanaman

(Pattimahu, 2004).

2.3.3.2 Arbuskular

MVA dalam akar membentuk struktur khusus yang disebut arbuskular.

Arbuskular merupakan hifa bercabang halus yang dibentuk oleh percabangan

dikotomi yang berulang-ulang sehingga menyerupai pohon dari dalam sel inang.

Arbuskular merupakan percabangaan dari hifa masuk kedalam sel tanaman inang.

Hifa intraseluler yang telah mencapai sel korteks akan menebus dinding sel dan

membentuk sistem percabangan hifa yang kompleks, tampak seperti pohon kecil

yang mempunyai cabang-cabang. Arbuskular dianggap hara dua arah antara

simbion cendawan dan tanaman inang. Struktur yang dibentuk pada akar-akar

muda adalah Arbuskular (Gambar 2.4). Semakin bertambahnya umur, arbuskular

ini berubah menjadi suatu struktur yang menggumpal dan cabang-cabang pada

arbuskuarl lama laun tidak dapat dibedakan lagi. Akar yang telah dikolonisasi

oleh MVA dapat terlihat berbagai arbuskular dewasa yang dibentuk berdasarkan
15

umur dan letaknya. Arbuskular dewasa terletak dekat pada sumber unit kolonisasi

(Pattimahu, 2004).

2.3.3.3 Spora

Spora terbentuk pada ujung hifa eksternal. Spora ini dapat dibentuk secara

tunggal, berkelompok atau di dalam sporokarp tergantung pada jenis

cendawannya.

2.3.4 Peranan MVA

2.3.4.1 Peningkatan penyerapan unsur hara

Tanaman yang bermikoriza tumbuh lebih baik dari tanaman tanpa

mikoriza. Penyebab utama adalah mikoriza secara efektif dapat meningkatkan

penyerapan unsur hara. Akar yang bermikoriza dapat menyerap unsur hara dalam

bentuk terikat dan yang tidak tersedia bagi tanaman (Anas, 1997).

Gambar 2.4
Jaringan Akar Tanaman yang Terinfeksi Mikoriza
Sumber : Allen, 1992.

Selain membentuk hifa internal, mikoriza juga membentuk hifa ekternal.

Hifa ekternal akan membentuk spora, yang merupakan bagian penting bagi
16

mikoriza yang berada diluar akar. Fungsi utama dari hifa ini adalah untuk

menyerap fosfor dalam tanah. Fosfor yang telah diserap oleh hifa ekternal, akan

segera dirubah manjadi senyawa polifosfor. Senyawa polifosfor ini kemudian

dipindahkan ke dalam hifa internal dan arbuskul. Dalam arbuskul, senyawa

polifosfor ini kemudian dipindahkan ke dalam hifa internal dan arbuskul serta

dipecah menjadi fosfor organik yang kemudian dilepaskan ke sel tanaman inang.

Hifa ekternal ini membantu penyerapan hara terutama fosfor menjadi lebih besar

dibanding dengan tanaman yang tidak terinfeksi dengan mikoriza. Peningkatan

serapan fosfor juga disebabkan oleh makin meluasnya daerah penyerapan, dan

kemampuan untuk mengeluarkan suatu enzim yang diserap oleh tanaman. Sebagai

contoh dapat dilihat pengaruh mikoriza terhadap pertumbuhan berbagai jenis

tanaman dan juga kandungan fosfor tanaman (Anas, 1997).

Perbaikan pertumbuhan tanaman karena mikoriza bergantung pada jumlah

P-tersedia di dalam tanah dan jenis tanamannya. Tingginya kandungan P-tersedia

pada tanah menyebabkan kolonisasi mikoriza pada akar tanaman rendah, pada

dasarnya mikoriza diperlukan tanaman untuk menyerap P yang masih terikat

dengan unsur lain menjadi P-tersedia bagi tanaman. Tingginya P-tersedia pada

tanah menyebabkan kandungan P tanaman juga meningkat. Peningkatan ini

menyebabkan kandungan fosfolipid tanaman juga meningkat, sehingga

permeabilitas membran akar menurun untuk penyerapan P, akibatnya kolonisasi

MVA pada akar tanaman juga menurun. Sebaliknya rendahnya P-tersedia di tanah

meningkatkan terbentuknya MVA pada tanaman karena kondisi tanah yang

seperti ini, tanaman cenderung memanfaatkan mikoriza sebagai salah satu cara
17

untuk mendapatkan unsur hara dari dalam tanah. Pengaruh yang dominan dari

mikoriza sering terjadi pada tanah yang kekurangan unsur P.

2.3.4.2 Peningkatan ketahanan terhadap kekeringan

Tanaman yang bermikoriza lebih tahan terhadap kekeringan dari pada yang

tidak bermikoriza. Rusaknya jaringan korteks akibat kekeringan dan matinya akar

tidak akan permanen pengaruhnya pada akar yang bermikoriza. Setelah periode

kekurangan air, akar yang bermikoriza akan cepat kembali normal. Hal ini

disebabkan karena hifa cendawan mampu menyerap air yang ada pada pori-pori

tanah saat akar tanaman tidak mampu lagi menyerap air. Penyebaran hifa yang

sangat luas di dalam tanah menyebabkan jumlah air yang diambil meningkat

(Anas, 1997).

2.3.4.3 Lebih tahan terhadap serangan patogen akar

Salah satu bentuk respon ketahanan tanaman terhadap kolonisasi MVA

adalah terbentuknya asam salisilat (salicylic acid). Asam salisilat dapat

terbentuk pada beberapa bagian tanaman seperti pada daun, batang dan akar.

Terbentuknya asam salisilat akan membuat tanaman tahan terhadap serangan

patogen atau patogen tidak akan mampu berkembang pada jaringan tanaman dan

daur hidupnya akan terhambat sehingga akan pergi meninggalkan tanaman yang

telah dikolonisasi oleh MVA (Ijdo et al., 2011).

2.3.4.4 Produksi hormon dan zat pengatur tumbuh

Penelitian menunjukkan bahwa cendawan mikoriza dapat menghasilkan

hormon seperti, sitokinin dan giberalin. Zat pengatur tumbuh seperti vitamin juga

pernah dilaporkan sebagai hasil metabolisme cendawan mikoriza (Anas, 1997).


18

2.3.5 Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan MVA

2.3.5.1 Suhu

MVA terhambat perkembangannya bila suhu tanah dibawah 50C dan suhu

diatas permukaan tanah lebih dari 350C dan bila suhu mencapai 500C dapat

menyebabkan hampir semua MVA mati. MVA akan mencapai pertumbuhan

maksimal pada suhu 300C, tetapi kolonisasi miselia pada permukaan akar paling

baik terjadi pada suhu 28-350C. Sedangkan sporulasi dan pertumbuhan vesikel

terbaik pada suhu 350C (Santono, 1986).

2.3.5.2 Intensitas cahaya

Menurut Suhardi (1989) dalam Mujiman (2004), pada intensitas cahaya

yang rendah akan mengurangi kolonisasi akar, namun pengaruhnya terhadap

produksi spora kurang begitu nyata. Peningkatan intensitas cahaya dan panjang

hari biasanya meningkatkan kolonisasi akar.

2.3.5.3 pH tanah

Menurut Setiadi (1994) dalam Mujiman, (2004), sebagian besar cendawan

mikoriza bersifat acidophilic (senang kondisi asam) dengan kisaran pH antara

3,5 - 6, pH optimum untuk masing-masing perkecambahan spora berbeda-beda

menurut spesies MVA dan lingkungannya.

2.3.5.4 Kesuburan tanah

Menurut Suhardi (1989) dalam Nirmalasari (2005), menyatakan kolonisasi

akar akan maksimal pada tanah yang kondisinya kurang subur, dan lebih banyak

terdapat pada akar-akar yang mengalami kekeringan daripada tempat yang terlalu

banyak air.
19

2.3.5.5 Kadar air tanah

Untuk tanaman yang tumbuh didaerah kering, adanya MVA

menguntungkan karena dapat meningkatkan kemampuan tanaman untuk tumbuh

dan bertahan pada kondisi yang kurang air (Vesser et el,1984 dalam Pujiyanto,

2001).

2.3.5.6 Fungisida

Fungisida merupakan racun kimia yang diracik untuk membunuh

cendawan penyebab penyakit pada tanaman, akan tetapi selain membunuh

cendawan penyebab penyakit fungisida juga dapat membunuh mikoriza, dimana

pemakainan fungisida ini menurunkan pertumbuhan dan kolonisasi serta

kemampuan mikoriza dalam menyerap fosfor (Santosa, 1989).

2.4 Media Perbanyakan Zeolit

Zeolit merupakan mineral yang mengandung kation alkali atau alkali tanah

dan mempunyai struktur berongga atau berpori. Dalam air, zeolit mampu

mengikat bakteri E. coli, kemampuan ini bergantung pada laju penyaringan dan

perbandingan volume air dengan massa zeolit. Zeolit mampu mengatasi mikroba-

mikroba patogen yang berada dalam daerah perakaran (Dwikarsa et al., 2007).

Penggunaan zeolit sebagai media pertumbuhan tanaman sangat bermanfaat

dan memiliki keunggulan dibandingkan menggunakan jenis media yang lain.

Keunggulan tersebut antara lain : Zeolit dapat menyerap air dalam jumlah cukup

tinggi sehingga mudah untuk perawatan dan penyiraman tanaman. Zeolit tidak

mudah hancur dan tidak mudah menggumpal, hal ini dapat membantu

pertumbuhan jaringan akar tanaman (Tahir, 2009). Prasetya, dkk (2012),

menyatakan bahwa zeolit merupakan saringan alami yang dapat mengikat dan
20

mempertahankan kandungan hara serta kadar air dalam tanah, dengan demikian

dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara yang dapat digunakan oleh MVA

untuk melakukan perkembangbiakan.

2.5 Tanaman Simbion Jagung (Zea mays)

Jagung merupakan tanaman semusim. Satu siklus hidupnya diselesaikan

dalam 70 sampai 120 hari. Tahap pertama dari siklus hidupnya merupakan tahap

pertumbuhan vegetatif dan tahap kedua untuk tahap pertumbuhan generatif.

Tanaman jagung memiliki tinggi yang bervariasi, umumnya berkisar 1 m sampai

3 m (Bahtiar et al., 2005). Jagung memiliki akar serabut, pada umur 18–35 hari

perkembangan akar, penyebarannya di tanah serta pemanjangan batang meningkat

dengan cepat (Subekti, 1995). Tanaman jagung tergolong tanaman C4 dan mampu

beradaptasi dengan baik pada faktor pembatas pertumbuhan dan produksi. Salah

satu sifat tanaman jagung sebagai tanaman C4, antara lain mempunyai laju

fotosintesis lebih tinggi dibandingkan tanaman C3, fotorespirasi dan transpirasi

rendah, efisien dalam penggunaan air (Falah, 2009).

Anda mungkin juga menyukai