TINJAUAN PUSTAKA
Cabai rawit (Capsicum frutescens L.) merupakan tanaman yang bersasal dari
benua Amerika. Tanaman ini cocok dikembangkan di daerah tropis terutama sekitar
khatulistiwa dan tumbuh baik di dataran rendah dengan ketinggian 0-500 meter dpl,
akan tetapi cabai rawit bisa tumbuh baik pada ketinggian 1000 meter dpl.
Produktivitas tanaman cabai akan berkurang pada tempat yang terlalu tinggi.
Tanaman cabai merupakan tanaman yang menyerbuk sendiri, persilangan antar
varietas secara alami sangat mungkin terjadi di lapang yang dapat menghasilkan ras-
ras cabai baru dengan sendirinya (Cahyono, 2003). Beberapa sifat tanaman cabai
yang dapat digunakan untuk membedakan antar varietas di antaranya adalah
percabangan tanaman, perbungaan tanaman, ukuran ruas, dan tipe buahnya
(Prajnanta, 1999). Berdasarkan sistematika (taksonomi) Capsicum frutescens L.
diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Solanales
Famili : Solanaceae
Genus : Capsicum
Spesies : Capsicum frutescens L.
Cabai rawit juga memiliki banyak varietas, diantaranya adalah cabai mini,
cabai cengek/ceplik (rawit putih), cabai cengis (rawit hijau). Tinggi tanaman cabai
rawit umumnya dapat mencapai 150 cm. Daunnya lebih pendek dan menyempit.
Posisi bunga tegak dengan mahkota bunga berwarna kuning kehijauan. Panjang
buahnya dari tangkai hingga ujung buah hanya mencapai 3,7-5,3 cm. Bentuk buahnya
kecil dengan warna biji umumnya kuning kecoklatan (Setiadi, 1997). Pemanenan
pertama cabai rawit dapat dilakukan setelah tanaman berumur 4 bulan dengan selang
6
7
waktu satu sampai dua minggu sekali. Tanaman cabai rawit dapat hidup 2 sampai 3
tahun. Di dataran tinggi, tanaman cabai rawit masih bisa berbuah hanya saja periode
panennya lebih sedikit dibanding dataran rendah. Cabai rawit yang dibudidayakan di
Indonesia sangat beragam. Secara umum, masyarakat mengenal cabai rawit putih dan
cabai rawit hijau, akan tetapi setiap tempat memiliki macam cabai rawit yang
berbeda-beda (Cahyono, 2003).
Tanaman cabai rawit termasuk tanaman semusim yang tumbuh sebagai perdu
dengan tinggi tanaman mencapai 1,5 m. Tanaman dapat ditanam di lahan kering
(tegalan) dan di lahan basah (sawah). Kondisi lingkungan sangat berpengaruh
terhadap pertumbuhan dan produksi cabai rawit. Keadaan iklim dan tanah merupakan
dua hal pokok yang harus diperhatikan dalam menentukan lokasi penanaman cabai
rawit (Pijoto, 2003). Tanaman cabai rawit memerlukan tanah yang memiliki tekstur
lempung berpasir atau liat berpasir dengan struktur gembur (Nawangsih dkk., 1999).
Selain itu, tanah harus mudah mengikat air, memiliki solum yang dalam
(minimal 1m), memiliki daya menahan air yang cukup baik, tahan terhadap erosi dan
memiliki kandungan bahan organik tinggi (Setiadi, 1987). Tanaman cabai rawit
memerlukan derajat keasaman (pH) tanah antara 6,0-7,0 (pH optimal 6,5) dan
memerlukan sinar matahari penuh (tidak memerlukan naungan). Tanaman cabai rawit
memerlukan kondisi iklim dengan 0-4 bulan basah dan 4-6 bulan kering dalam satu
tahun dan curah hujan berkisar antara 600-1.250 mm per tahun. Kelembaban udara
yang cocok untuk tanaman cabai rawit adalah 60-80%. Tanaman cabai rawit Agar
dapat tumbuh dengan baik dan berproduksi tinggi pada suhu udara rata-rata tahunan
berkisar antara 18-300C (Cahyono, 2003).
Gejala awal yang terlihat akibat serangan patogen ini yaitu memucatnya
tulang-tulang daun terutama daun-daun atas kemudian diikuti dengan menggulungnya
daun yang lebih tua selanjutnya tangkai daun akan merunduk dan akhirnya tanaman
menjadi layu secara keseluruhan. Jika tanaman sakit dipotong maka dekat pangkal
batang akan terlihat suatu cincin dari berkas pembuluh (Semangun, 1996). Jamur ini
8
menyerang pada setiap tingkat umur. Menginfeksi tanaman melalui luka-luka yang
terjadi pada akar, kemudian berkembang di berkas pembuluh sehingga terganggunya
pengangkutan air dan zat-zat hara (Cahyono, 1998).
A B C
Gambar 2.1
Makrokonidia (A); Mikrokonidia (B); Klamidiospora (C) yang bersumber dari
Seifert and Gams, 2001.
10
2. Lisis adalah proses pemecahan komponen dinding sel jamur patogen oleh
jamur antagonis dengan cara menghasilkan enzim seperti kitinase yang
dapat mendegradasi kitin pada dinding sel patogen.
3. Kompetisi adalah suatu mekanisme penekanan aktivitas patogen oleh
agensi hayati terhadap sumber-sumber terbatas seperti zat organik, zat
anorganik, ruang dan faktor-faktor pertumbuhan lainnya.
4. Parasitisme adalah menggambarkan hubungan antara dua organisme
dimana satu organisme mendapat manfaat dan yang lainnya dirugikan.
Jamur antagonis disamping berfungsi seperti tersebut di atas juga mampu mencegah
infeksi patogen terhadap tanaman melalui aktivitas Induce Sistemic Resistance (ISR).
Eksplorasi merupakan langkah awal untuk mendapatkan antagonis yang
berkualitas. Oleh karena itu, diperlukan kecermatan dan ketelitian dalam menentukan
waktu, tempat, metode, serta penanganan sampel hasil eksplorasi. Selanjutnya, jamur
antagonis hasil eksplorasi perlu diuji di laboratorium (in vitro), rumah kasa (in
planta), dan di lapang (in situ). Jamur antagonis yang terpilih sebaiknya memilki
sifat: (1) dapat menghambat pertumbuhan patogen tanaman, (2) berkecambah dan
tumbuh dengan cepat, (3) tahan atau toleran terhadap antagonis lain, (4) dapat
bertahan dalam keadaan ekstrim, (5) dapat diproduksi secara massal, dan (6) tidak
menyebabkan gangguan terhadap tanaman (Istikorini, 2002).
Eksplorasi jamur antagonis dari rizosfer tanaman pada umumnya lebih mudah
dibandingkan dari sampel daun atau bagian tanaman yang lain, karena di rizosfer
banyak terdapat senyawa-senyawa organik yang sangat berguna bagi pertumbuhan
beberapa mikroorganisme, termasuk jamur antagonis. Senyawa organik yang
dikeluarkan tanaman melalui akar dapat berupa eksudat, sekresi, dan lisat yang dapat
merangsang pertumbuhan mikroorganisme. Jenis tanaman dan jenis tanah sangat
menentukan jenis jamur antagonis yang ditemukan. Misalnya, Gliocladium banyak
terdapat di rizosfer tanaman tebu, atau tanaman kacang-kacangan (leguminoceae).
Beberapa jamur antagonis lain seperti Trichoderma mampu tumbuh pada jaringan
tanaman sakit, atau yang telah lapuk, selain juga banyak ditemukan di tanah kompos
(Harman, 1999).
12