Kasus Ards
Kasus Ards
AS, 24 tahun, laki-laki datang dibawa oleh tim penjaga pantai dengan penurunan
kesadaran ke UGD. Pasien dikatakan mengalami tenggelam dipantai seminyak ± 6 jam
sebelum masuk rumah sakit. Menurut temannya pasien tenggelam selama ± 15 menit. Pasien
dikatakan berada dipinggir pantai kemudian tiba-tiba ombak besar menghantam mereka dan
terlempar ke dalam air. Penjaga pantai segera menolongnya. Pasien ditemukan tidak sadar,
mata terbuka tapi tidak ada respon, tidak bernafas oleh penjaga pantai segera diberikan
resusitasi jantung paru selama 5 menit. Pasien tiba-tiba dapat bernafas spontan kembali dan
mata kembali fokus namun tidak dapat bersuara, pernafasan terdengar wheezing. Pasien
segera dibawa keRS terdekat yaitu BIMC.
Pemeriksaan Fisik
KU : Somnolen
BB/TB : 70 kg / 170 cm
Tanda Vital : TD : 130/80 mmHg RR : 32 x/menit
HR : 162 x/menit Suhu : 37 ºC
Kepala : wajah tampak sianosis, keringat , dan pucat. Nasal flare (+)
Mata : dalam batas normal
Mulut : bibir sianosis
Leher : usaha bernafas berat
Thorax : tidak tampak deformitas, tidak ada burit, ada interkostal dan suprasternal
retraksi, whezzing (+), rhonki (+)
Abdomen/Pelvic: dalam batas normal
Ekstremitas : berkeringat, akral dingin, tampak sianosis
Pemeriksaan Penunjang
1. CBC
WBC: 13.67 X 10 3 /μL
HGB 15.9 mg/dl
HCT 48.6 %
PLT 31 10 3 /μL.
2. Kimia darah
Na 144 mmol/L
K 4,8 mmol/L.
3. Analisis Gas Darah
pH 7.23
pCO2 66 mmHg
pO2 93 mmHg
HCO3 27 mmol/L
BE -2.4 mmol/L
SO2 95 %.
4. Chest x-ray didapatkan edema paru dd/ pneumonia paru tidak terdapat
pneuomothorax.
PENEGAKAN DIAGNOSIS
a. Anamnesis
ARDS biasanya timbul dalam waktu 24 hingga 48 jam setelah kerusakan awal
pada paru. Setelah 72 jam 80% pasienn menunjukkan gejala klinis ARDS yang jelas.
Awalnya pasien akan mengalami dispnea, kemudian biasanya diikuti dengan pernapasan
yang cepat dan dalam. Sianosis terjadi secara sentral dan perifer, bahkan tanda yang khas
pada ARDS ialah tidak membaiknya sianosis meskipun pasien sudah diberi oksigen
(Udobi, 2003; Farid, 2006).
ARDS biasanya terjadi pada individu yang sudah pernah mengalami trauma fisik,
meskipun dapat juga terjadi pada individu yang terlihat sangat sehat segera sebelum
awitan, misalnya awitan mendadak seperti infeksi akut. Biasanya terdapat periode laten
sekitar 18- 24 jam dari waktu cedera paru. Durasi sindrom dapat dapat beragam dari
beberapa hari sampai beberapa minggu (Farid, 2006).
b. Pemeriksaan Fisik
Pasien ARDS biasanya akan datang dengan penurunan kesadaran hingga sudah
dalam keadaan koma. Akibat gangguang suplai oksigen yang terhambat ke seluruh tubuh
makan akan didapatkan pernafasan cepat dan nadi yang meningkat hebat. Pemeriksaan
secara keseluruhan akan tampak tanda-tanda hipoksia seperti, tampak pucat, berkeringat,
bibir sianosis, dan akral akan teraba dingin. Tampak juga usaha bernafas yang berlebih
yaitu adanya nafas cuping hidung dan retraksi interkostal dan suprasternal. Akibat adanya
edema pada alveolus makan pada auskultasi paru akan didapatkan suara whezzing dan
rhonki yang positif (Farid, 2006).
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Selain hipoksemia, gas darah arteri sering awalnya menunjukkan alkalosis
pernapasan. Namun, dalam ARDS terjadi dalam konteks sepsis, asidosis metabolik
yang dengan atau tanpa kompensasi respirasi dapat terjadi. Bersamaan dengan
penyakit yang berlangsung dan pernapasan meningkat, tekanan parsial karbon
dioksida (PCO2) mulai meningkat. Pasien dengan ventilasi mekanik untuk ARDS
dapat dikondisikan untuk tetap hiperkapnia (hiperkapnia permisif) untuk mencapai
tujuan volume tidal yang rendah yang bertujuan menghindari cedera paru-paru terkait
ventilator. Kelainan lain yang diamati pada ARDS tergantung pada penyebab yang
mendasarinya atau komplikasi yang terkait dan mungkin termasuk yang berikut
(Harman, 2014):
a. Hematologi. Pada pasien sepsis, leukopenia atau leukositosis dapat dicatat.
Trombositopenia dapat diamati pada pasien sepsis dengan adanya koagulasi
intravaskular diseminata (DIC). Faktor von Willebrand (vWF) dapat meningkat
pada pasien beresiko untuk ARDS dan dapat menjadi penanda cedera endotel.
b. Ginjal. Nekrosis tubular akut (ATN) sering terjadi kemudian dalam perjalanan
ARDS, mungkin dari iskemia ke ginjal. Fungsi ginjal harus diawasi secara ketat.
c. Hepatik. Kelainan fungsi hati dapat dicatat baik dalam pola cedera hepatoseluler
atau kolestasis.
d. Sitokin. Beberapa sitokin, seperti interleukin (IL) -1, IL-6, dan IL-8, yang
meningkat dalam serum pasien pada risiko ARDS.
2. Radiologi
Pasien dengan onset pada paru langsung, perubahan fokal dapat terlihat sejak
dini pada radiograf dada. Pada paien dengan onset tidak langsung pada paru, radiograf
awal mungkin tidak spesifik atau mirip dengan gagal jantung kongestif dengan efusi
ringan. Setelah itu, edema paru interstisial berkembang dengan infiltrat difus (Gambar
1). Seiring dengan perjalanan penyakit, karakteristik kalsifikasi alveolar dan retikuler
bilateral difus menjadi jelas (Gambar 2). Komplikasi seperti pneumotoraks dan
pneumomediastinum mungkin tidak jelas dan sulit ditemuakn, terutama pada
radiografi portabel dan dalam menghadapi kalsifikasi paru difus. Gambaran klinis
pasien mungkin tidak parallel dengan temuan radiografi. Dengan resolusi penyakit,
gambaran radiografi akhirnya kembali normal (Udobi, 2003)
Gambar 1.Awal fase ARDS menunjukkan perubahan interstisial dan bercak infiltrat
Gambar 2. Akhir tahap ARDS menunjukkan kalsifikasi alveolar dan retikuler bilateral
dan difus.
Gambaran dominan ARDS pada scan tomografi (CT) dada adalah konsolidasi
difus dengan air bronchograms (Gambar 3), bula, efusi pleura, pneumomediastinum,
dan pneumotoraks. Selanjutnya pada penyakit ini, timbul kista paru-paru dengan
jumlah dan ukuran yang bervariasi. CT scan dada harus dipertimbangkan pada pasien
gagal pernapasan untuk membantu koreksi klinis. CT scan dapat mendeteksi
komplikasi ARDS dan yang terkait dengan penempatan kateter dan tabung seperti
pneumotoraks, pneumomediastinum, pneumonia fokal, malposisi kateter, dan infark
paru (Udobi, 2003)..
Gambar 3. CT-scan dada menunjukkan infiltrat difus, ground glass appearance, dan air
bronchograms.
5. Pemeriksaan Histologi
Perubahan histologis dalam ARDS adalah kerusakan alveolar difus. Fase
eksudatif terjadi dalam beberapa hari pertama dan ditandai oleh edema interstisial,
perdarahan dan edema alveolar, kolaps alveolar, kongesti kapiler paru, dan
pembentukan membran hialin (Gambar 4). Perubahan-perubahan histologis tidak
spesifik dan tidak memberikan informasi yang akan memungkinkan ahli patologi
untuk menentukan penyebab ARDS (Herman, 2014).
TATALAKSANA
Pendekatan terapi terkini untuk ARDS adalah meliputi perawatan suportif, bantuan
ventilator dan terapi farmakologis. Prinsip umum perawatan suportif bagi pasien ARDS
dengan atau tanpa multiple organ dysfungsi syndrome (MODS) meliputi (Susanto, 2012):
1. Pengidentifikasian dan terapi penyebab dasar ARDS.
2. Menghindari cedera paru sekunder misalnya aspirasi, barotrauma, infeksi nosokomial
atau toksisitas oksigen.
3. Mempertahankan penghantaran oksigen yang adekuat ke end-organ dengan cara
meminimalkan angka metabolik.
4. Mengoptimalkan fungsi kardiovaskuler serta keseimbangan cairan tubuh.
5. Dukungan nutrisi.
Farid. 2006. Acute Respiratory Distress Syndrome. Maj Farm. Vol 4(12): 1-8
Susanto, Y. S. 2012. Penggunaan Ventilasi Mekanik Invasif pada Acute Respiratory Distress
Syndrome (ARDS). Jurnal Respirasi Indonesia. Vol 32(1): 44-52
Ware, L. B. Matthay M. A. 2000. The Acute Respiratory Distress Syndrome. New England
Journal Medicine. Vol 342(1): 1334-1349