Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI BIOENERGI

BIOPELET DARI BIJI KARET DAN BIJI KAPUK

Disusun oleh :

ABDI TUNGGAL
061740411493
5EGA

DOSEN PEMBIMBING : ZUROHAINA, ST.MT

JURUSAN TEKNIK KIMIA PROGRAM SARJANA TERAPAN TEKNIK ENERGI


POLITEKNIK NEGERI SRIWIJAYA
PALEMBANG
2020
I. Dasar Teori
a. Biopellet
Biopellet merupakan salah satu bentuk energi Biomassa. Biopelet memiliki
kadar air rendah ( 10% )sehingga dapat meningkatkan efektivitas pembakaran.
Biopelet merupakan hasil pengempaan biomassa yang memiliki tekanan lebih besar
dibandingkan briket( 60 kg/m3 , kadar abu 1 % dan kadar air kurang dari 10 %) (El
Bassam dan Maegaard 2004). Bahan bakar Biopelet memiliki diameter antara 3 –12
mm dan panjang bervariasi antara 6 –25 mm. Biopelet memiliki konsistensi dan
efisiensi bakar yang dapat menghasilkan emisi lebih rendah dari briket. Proses yang
digunakan adalah pengempaan dengan suhu dan tekanan tinggi, sehingga membentuk
produk yang seragam dengan kapasitas produksi yang tinggi. Sistem pemanasan
dengan pelet menghasilkan emisi C02 yang rendah karena jumlah C02 yang
dikeluarkan selama pembakaran setara dengan C02 yang diserap tanaman ketika
tumbuh, sehingga tidak membahayakan lingkungan. Di beberapa negara maju seperti
Jerman, Canada, dan Austria, biopelet dikembangkan sebagai bahan bakar alternatif
yang berasal dari kepingan kayu. Selain itu ukuran dan keseragaman biopelet juga
dapat memudahkan proses pemindahan (transportasi) dari satu tempat
ketempatlainnya (Battacharya, 1998).

Menurut Ramsay ( 1982 ), proses pembuatan pelet menghasilkan panas akibat


gesekan alat yang memudahkan proses pengikatan bahan dan penurunan kadar air,
bahan hingga mencapai 5 –10 % panas juga menyebabkan suhu pelet ketika keluar
mencapai 60 –65 C sehingga dibutuhkan pendinginan.

b. Kualitas Biopelet

Kualitas biopelet merupakan aspek yang penting baik bagi produsen pakan
maupun peternak. Kualitas pelet ditentukan dengan durabilitas, kekerasan (hardness )
dan ukuran. Kualitas pelet yang baik membutuhkan konsekuensi bagi produsen pakan,
yaitu berupa tingginya biaya produksi, tingginya energi danmodal yangdibutuhkan.
Menurut Behnke (1994), faktor –faktor yang mempengaruhi kualitas pelet adalah
formulasi (pengaruhnya sebesar 40%), conditioning(20%), ukuran partikel (20%),
spesifikasi die (cetakan) dari mesin pelet (15%), dan pendinginan (5%). Bahan
tambahan perekat tapioka dan sagu merupakan bahan yang sering digunakan dalam
pembuatan biopelet karena mudah didapat, harganya pun relatif murah dan dapat
menghasilkan kekuatan rekat kering yang tinggi. Penggunaan perekat tidak melebihi 5%
karena semakin besar penambahan perekat, maka akan mengakibatkan bertambahnya kadar air
pada biopelet. Hal ini akan mengurangi nilai pembakaran biopelet (Zamirza, 2009).

Tabel Kualitas Biopellet menurut SNI dan EN

II. Biji Karet


Dilihat dari komposisi kimianya, ternyata kandungan protein biji karet terhitung tinggi.
Dari hasil analisis diketahui kadar proteinnya sebesar 27%, lemak 32,3%, air 3,6%, abu
2,4%, thiamin 450g, asam nikotinat 2,5g, akroten dan tokoferol 250g dan sianida sebanyak
330 mg dari setiap 100 g bahan. Selain kandungan proteinnya cukup tinggi, pola asam
amino biji karet juga sangat baik. Daya guna protein biji karet yang meningkat dapat
dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, terutama sebagai suplemen atau komplemen
produk makanan.Jenis-jenis produk makanan yang bisa dicampur dengan konsentrat biji
karet adalah daging sintetis, roti, aneka snack, makanan bayi dan masih banyak lagi.
Dibeberapa tempat salah satunya Perkebunan karet di Jember biji karet bisa dijadikan
camilan dengan proses tetentu, rasanya gurih namun jangan berlebihan karena kadang
membuat pusing kepala.

Inovasi Biopelet yang akan di kembangkan adalah biopelet yang bertahan baku biji karet
yang akan diaplikasikan untuk kegiatan rumah tangga seperti memasak. hal tersebut
didasarkan pada kelimpahan tanaman karet indonesia dengan nilai kalorinya yang relatif
tinggi, biopelet diproduksi dengan menghancurkan biji karet dengan menggunakan hammer
mill. sehingga diperoleh massa partikel bioenergi yang berukuran seragam, masa partikel
tersebut kemudian diumpankan kedalam mesin pengepres dengan diameter 6-8 mm dan
panjang 10-12 mm, tekanan yang sangat tinggi menyebabkan suhu biji karet meningkat,
sehingga senyawa lignin pada biji karet berubah sifat plastisitasnya membentuk perekat
alami yang mengahsilkan pelet pelet yang padat dan kompak pada saat dingin,.

Aplikasi biopelet yang dibuat difokoskan untuk bahan bakar rumah tangga, pada proses
pembakaran biopelet biji karaet, cara penggunaan kompor ini tergolong sangat sederhana,
sehingga dapat digunaka dengan mudah oleh lapisan masyarakat indonesia.
III. Prosedur Percobaan Pembuatan BioPellet Biji Karet

3.1 Prosedur Persiapan Sampel


1. Menyiapkan biji karet sebanyak ±2,3 kg.
2. Memisahkan biji dan cangkangnya dengan cara pemecahan..
3. Mengeringkan biji dan cangkang biji karet selama 120 menit pada suhu 400°C
didalam oven.
4. Memperkecil ukuran biji karet dengan cara memotong biji karet menjadi
berukuran kecil.

3.2 Persiapan Start-Up Screw Oil Press Machine


1. Memastikan komponen mesin terpasang dengan baik dan benar
2. Memasang Heater Residence dengan menggunakan 4 key switcth.
3. Memutar sakelar main switch pada panel control.
4. Mengatur thermostat pada 2500C, biarkan lubang pada baris pertama dan kedua
mulai memanas untuk merespon alat tersebut.
5. Setelah temperatur mulai naik, set temperatur pada kondisi operasi yang
diinginkan. (Heater tidak boleh terlalu panas dan terlalu dingin)
6. Memasukkan bahan baku biji karet yang telah di perkecil ukurannya ke dalam
funnel.
7. Menekan tombol Start pada ABB Driver
8. Mengatur jumlah putaran Shaft dengan memutar tombol berwarna putih pada
ABB Driver.
9. Peralatan mulai beroperasi, bahan baku yang telah mengalami pengepresan akan
keluar di bagian ujung mesin.
10. Setelah ampas bungkil biji karet keluar, minyak yang diekstraksi akan mengalir
melalui lubang pengeluaran.
11. Menampung minyak keluar hasil pengepresan.
12. Mematikan mesin dan melepaskan pad, kemudian memasang nozzle dengan
ukuran yang diinginkan agar ampas bungkil biji karet tercetak menjadi biopelet.
13. Menghidupkan kembali mesin.
14. Menampung biopelet yang keluar dari nozzle.
15. Mengeringkan biopelet yang terbentuk untuk menghilangkan uap panas biopelet
pada saat keluar dari mesin.
16. Mengulangi percobaan tersebut sesuai dengan variasi yang ingin dilakukan.

IV. Analisa Produk Biopelet


Untuk pengamatan hasil karakterisasi biopelet yang dihasilkan dianalisa
berupa kadar air (SNI 8021:2014), kadar abu (SNI 8021:2014), kadar zat terbang (SNI
8021:2014), nilai kalor (SNI 8021:2014), kerapatan (SNI 8021:2014), drop test atau
shatter index, analisa laju pembakaran dan uji organoleptik.
1. Pengukuran Kadar Air (SNI 8021:2014)
Penetapan kadar air merupakan banyaknya air yang terkandung dalam biopelet.
Penetapan nilai kadar air dilakukan dengan 1 gram sampel diletakkan pada cawan
porselin yang bobotnya sudah diketahui. Kemudian dimasukkan ke dalam oven
dengan temperatur 110 ± 20C selama 1 jam sampai kadar air konstan. Kemudian
didinginkan dalam desikator sampai kondisi stabil dan ditimbang. Kadar air dapat
dihitung dengan persamaan :
(𝑏−𝑐)
Kadar Air (%) = (𝑏−𝑎 ) 𝑥 100%
Keterangan :
a : berat cawan + tutup (gr)
b : berat cawan + tutup +sampel (gr) sebelum pemanasan
c : berat cawan + tutup +sampel (gr) setelah pemanasan
2. Pengukuran Kadar Abu (SNI 8021:2014)
Prinsip penetapan kadar abu adalah menentukan jumlah abu yang tertinggal setelah
pembakaran menggunakan energi panas. Penetapan kadar abu dilakukan dengan
memasukan cawan porselin, yang sudah berisi sampel dan diketahui bobotnya,
kedalam tanur pada suhu 650ºC selama 4 jam. Kemudian didinginkan dalam
desikator dan ditimbang. Kadar abu dihitung dengan persamaan :
(𝑐−𝑎 )
Kadar Abu (%) = 𝑥 100%
(𝑏−𝑎)
Keterangan:
a : berat cawan kosong (gr)
b : berat cawan + sampel (gr)
c : berat cawan + abu (gr)
3. Pengukuran Kadar Zat Terbang (SNI 8021:2014)
Prinsip penetapan kadar zat terbang adalah menguapkan bahan tanpa oksigen pada
suhu 950ºC. Selisih berat dihitung sebagai zat yang hilang. Penetapan kadar kadar
terbang dilakukan dengan meletakan satu buah sampel biopelet dalam cawan
porselin bertutup yang sudah diketahui bobotnya. Cawan porselin dimasukan
kedalam tanur pada suhu 950ºC selama 7 menit. Setelah penguapan selesai, cawan
didingikan di dalam desikator dan selanjutnya ditimbang. Kadar zat terbang
dihitung menggunakan persamaan :
Kadar Zat Terbang (%) = kehilangan berat - kadar air
(b−c)
Kadar Zat Terbang (%) = (𝑏−𝑎) 𝑥 100%
Keterangan:
a : berat cawan + tutup (gr)
b : berat cawan + tutup + sampel (gr) sebelum pemanasan
c : berat cawan + tutup + sampel (gr) setelah pemanasan
4. Pengukuran Karbon Terikat (SNI 8021:2014)
Prinsip penentuan kadar karbon terikat adalah menghitung fraksi karbon dalam
bahan, tidak termasuk zat menguap dan abu . Kadar karbon terikat dihitung
menggunakan persamaan:
Kadar Karbon Tetap (%) = 100 - (IM + Ash + VM)
Keterangan:
IM : kadar air
Ash : kadar abu
VM : kadar zat terbang
5. Pengukuran Nilai Kalor (SNI 8021:2014)
Prinsip penetapan nilai kalor yaitu dengan membakar sejumlah contoh uji dengan
pengendalian kondisi dalam Oxygen Bomb Calorimeter. Contoh uji sebanyak ± 1 gr
diletakkan pada cawan silika dan diikat dengan kawat nikel. Contoh uji ini
dimasukkan ke dalam tabung dan ditutup rapat. Tabung yang berisi contoh uji
dialiri oksigen selama 30 detik. Tabung dimasukkan ke dalam Oxygen Bomb
Calorimeter. Pembakaran dimulai pada saat suhu air sudah konstan. Kenaikan suhu
diamati setiap satu menit hingga mencapai suhu yang optimal. Nilai kalor dapat
dihitung dengan menggunakan persamaan :
∆t−B
NK = 𝑥 100%
𝑚𝑏𝑏
Keterangan :
NK : Nilai Kalor (kal/g)
∆t : Perbedaan temperature sesudah dan sebelum pembakaran (0C)
MBb : Massa bahan bakar (gr)
B : Koreksi panas pada kawat (kal/g)
6. Kerapatan (SNI 8021:2014)
Penentuan kerapatan dinyatakan dalam hasil perbandingan antara berat dan volume
biopelet. Kerapatan dihitung menggunakan persamaan:
m
Kerapatan = 𝑉
Keterangan :
m : massa (gr)
v : volume (cm3)
7. Analisa Laju Pembakaran
1. Menyiapkan sampel biopelet dengan menimbang massa biopelet
2. Menyiapkan penyangga biopelet untuk dibakar
3. Meletakkan sampel biopelet diatas penyangga tersebut
4. Melakukan penyulutan api dengan menggunakan Gas Torch sampai biopelet
menyala
5. Mengamati waktu nyala api pada biopelet, kemudian mencatat waktunya
6. Ulangi langkah tersebut pada sampel berikutnya.
Untuk menghitung laju pembakaran biopelet diperlukan berat biopelet dan lama
waktu nyala api pada pembakaran biopelet. Berikut merupakan rumus untuk
menghitung laju pembakaran biopelet :
Laju pembakaran biopelet (gr/s) = m (gr)
t (s)

Dimana:

m = massa sample (gr)

t = Waktu pembakaran (s)

8. Drop Test (Shatter Index)


Analisis fisik biopelet yang dilakukan berupa pengujian drop test ( shatter index)
dan stabilily. Pengujian shatter index adalah pengujian daya tahan pelet terhadap
benturan yang dijatuhkan pada ketinggian 30 cm. Pengujian ini dilakukan untuk
menguji seberapa kuatnya pelet eceng gondok terhadap benturan yang disebabkan
ketinggian dan berapa % bahan yang hilang dari pelet akibat dijatuhkan pada
ketinggian 30 cm dimana landasannya harus benar-benar halus dan rata. Adapun
prosedurnya sebagai berikut:
a) Ambil dan timbang pelet sesuai variabel
b) Catatlah berat pelet awal sebelum dijatuhkan
c) Ambil mistar dengan tinggi 30 cm untuk media penguji drop test dengan alasnya
meja datar dan rata yang dapat dlihat pada Gambar 3.1.

Biopelet

30 cm
Alat Ukur Ketinggian

Lantai
Gambar 3.1. Pengujian Drop Test (Shatter Index)

d) Jatuhkan pelet dari ketinggian 30 cm


e) Lakukan pengamatan terhadap pelet
f) Ambil dan timbang kembali setelah dijatuhkan
g) Catat berat pelet akhir dan lakukan perhitungan
a−b
Partikel yang hilang % = 𝑥 100%
a

Dimana :
a : berat pelet sebelum dijatuhkan (gram)
b : berat pelet setelah dijatuhkan (gram)
h) Lakukan percobaan berulang pada sampel berikutnya.
BAGIAN BIJI KAPUK

l. Dasar Teori

Meningkatnya permintaan energi disertai dengan semakin terbatasnya sumber energi


fosil serta masalah lingkungan telah membawa perhatian pada pencarian dan pengembangan
sumber energi alternatif terbarukan salah satunya biomassa. Keuntungan biomassa sebagai
sumber energi antara lain terbarukan, rendah emisi karbon dan sulfur. Potensi sumber energi
biomassa antara lain berasal dari limbah kehutanan, limbah pertanian, limbah industri dan
rumah tangga, dan tanaman untuk tujuan penggunaan energi (Basu 2010, McKendry 2002).
Salah satu limbah pertanian di Indonesia yang berpotensi sebagai sumber energi biomassa
adalah kulit buah kapuk randu yang merupakan limbah pengolahan serat kapuk.
Kapuk randu (Ceiba pentandra) merupakan tanaman tropis dan banyak dijumpai di
Indonesia terutama di daerah Jawa (Ningrum dan Kusuma 2013). Areal tanaman kapuk di
Indonesia mencapai 250500 ha, dengan sentra pengembangan terutama di Jawa Tengah (95107
ha) dan Jawa Timur (77449 ha) (Badan Pusat Statistika 2012). Satu pohon kapuk menghasilkan
4000-5000 buah dan menghasilkan sekitar 15-20 kg serat kapuk bersih dan 24-32 kg kulit buah
kapuk (Barani 2006).
Selama ini buah kapuk randu yang telah dimanfaatkan secara intensif adalah seratnya,
terutama untuk pengisi kasur, bantal, dan isolator suara. Selain itu, beberapa penelitian
berupaya untuk meningkatkan kegunaan kulit buah randu, antara lain sebagai sumber mineral
untuk pembuatan sabun (Ningrum dan Kusuma 2013) atau sebagai sumber serat selulosa
(Astika 2010; Handayani et al. 2012). Sementara itu, pemanfaatan kulit buah kapuk sebagai
bahan energi biomassa belum berkembang, hanya terbatas sebagai pengganti kayu bakar.
Untuk pengembangan kulit buah kapuk sebagai sumber energi baru terbarukan diperlukan
penelitian karakteristiknya sebagai dasar pemanfaatan yang lebih baik, seperti untuk bahan
pembuatan pellet kayu, pirolisis, dan gasifikasi.
II. Prosedur Penelitian

Persiapan Bahan Baku (TAPPI T 257 om-85)

Sampel kulit buah kapuk dipotong menjadi ukuran-ukuran kecil dan


dikeringudarakan. Potongan kecil kulit buah kapuk digiling dengan alat willey mill dan
partikel disaring dengan saringan bertingkat. Serbuk kulit buah kapuk yang digunakan
untuk analisis kimia dan proksimat adalah serbuk yang lolos saringan 40 mesh dan
tertahan pada saringan 60 mesh. Serbuk disimpan dalam wadah tertutup untuk
menghindari perubahan kadar air.

Penentuan Komponen Kimia

Kadar Zat Ekstraktif Terlarut dalam Etanol-Benzena (1:2) (TAPPI T 204 om-88)

Serbuk sebanyak 10 g diekstraksi dengan campuran pelarut etanol-benzena (1:2


v/v) selama 8 jam. Sampel dibilas dengan etanol, direndam selama satu malam dan
setelah kering udara kemudian dioven pada suhu 103±2 ºC sampai beratnya konstan.
Untuk penyiapan sampel bebas zat ekstraktif, ekstraksi dilanjutkan dengan air panas
selama 3 jam. Kadar zat ekstraktif yang terlarut dalam etanol-benzena (1:2), dihitung
dengan rumus:

BKTA − BKTB
Kadar zat ekstraktif % = × 100%
BKTA

dengan BKTA= berat serbuk kering sebelum ekstraksi (g), dan BKTB= berat serbuk
kering setelah ekstraksi.

III. ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Kadar Komponen Kimia


Komponen kimia diklasifikasikan menjadi komponen struktural dan
komponen non struktural. Komponen struktural tersebut terdiri atas selulosa,
hemiselulosa, dan lignin, sedangkan komponen non struktural terdiri atas
komponen zat ekstraktif dan abu (Barnett dan Jeronimidis 2003). Pohon memiliki
kandungan dan komposisi kimia yang beragam bergantung pada kondisi tempat
tumbuh yang dipengaruhi oleh jenis tanah, curah hujan, unsur hara, dan
ketinggian tempat (McKendry 2002).
Kadar Zat Ekstraktif

Zat ekstraktif terutama berada dalam rongga sel dan sebagian kecil terdapat
di dalam dinding sel. Zat ekstraktif meliputi banyak jenis senyawa yang dapat
diekstraksi dengan menggunakan pelarut polar dan nonpolar.

45
37.68
40
34.61
35
Gambar 1 Kadar zat ekstraktif pada kulit buah kapuk
30 12.86 Jawa Barat
10.23 Jawa Tengah
25 12.18 9.52
4.92 8.96
4.39
20 Jawa Timur
3.68
15
Larut dalam Larut dalam Air Larut dalam Air Larut dalam
Etanol-Benzena Panas Dingin NaOH 1%
(1:2)
Parameter
pengujian

Gambar 1 menunjukkan kadar zat ekstraktif kulit buah kapuk beragam


bergantung pada asal sampel uji dan jenis pelarut yang digunakan. Secara umum,
kulit buah kapuk asal Jawa Barat memiliki kadar zat ekstraktif lebih tinggi
dibandingkan dengan kulit buah kapuk asal Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Kadar zat ekstraktif kulit buah kapuk terlarut dalam etanol-benzena (1:2)
berkisar 3.68-4.92%. Zat ekstraktif akan larut sesuai dengan sifat pelarut yang
digunakan. Kelompok zat ekstraktif yang larut dalam etanol adalah pati dan tanin.
Kelompok zat ekstraktif yang larut dalam benzena adalah lilin, lemak, dan terpen
(Sjostrom 1981).
Kadar zat ekstraktif terlarut dalam air panas berkisar 11.36-12.86%, dan
dalam air dingin berkisar 8.96-10.23%. Kelarutan dalam air panas lebih tinggi
dibandingkan dalam air dingin karena air panas memiliki kemampuan selain
melarutkan bahan yang terlarut dalam air dingin juga dapat mengekstrak pati.
Zat ekstraktif yang larut dalam air panas antara lain tanin, pati, zat warna dan
flavonoid (Fengel dan Wegener 1984).
Kelarutan kulit buah kapuk dalam NaOH 1% berkisar 30.20-37.68%.
Tingginya kelarutan dalam NaOH 1% dibandingkan jenis pelarut lainnya
diduga karena tingginya fraksi polisakarida berbobot molekul rendah seperti
pati dan hemiselulosa. Hemiselulosa merupakan polisakarida berderajat polimer
lebih rendah dan polimer bercabang sehingga lebih rentan terdegradasi dan
terlarut dibandingkan dengan selulosa (Sjostrom 1981).
Berdasarkan klasifikasi kadar komponen kimia kayu (Tabel 1), kadar zat
ekstraktif kulit buah kapuk dari ketiga tempat asal termasuk kelas tinggi.
Haygreen dan Bowyer (1996) dan Richardson et al. (2002) menyatakan bahwa
zat ekstraktif yang tinggi pada kayu mempengaruhi nilai kalor yang semakin
tinggi. Richardson et al. (2002) menyatakan bahwa kelompok zat ekstraktif
resin, terpen, lilin, dan fenolik mempengaruhi tingginya nilai kalor biomassa
energi. Kulit buah kapuk diketahui mengandung lilin (Barani 2006) dan terpen
(Gaur dan Reed 1995).

Kadar Holoselulosa dan Selulosa

Holoselulosa merupakan fraksi polisakarida total penyusun dinding sel


tumbuhan yang terdiri atas selulosa dan hemiselulosa (Rowell et al. 2005,
Sjostrom 1981). Bagian selulosa yang tahan dan tidak terlarut dalam NaOH
17.5% disebut alpha-selulosa dan sering dinyatakan sebagai selulosa murni
(Fengel dan Wegener 1989). Selulosa merupakan komponen utama struktural
dinding sel biomassa, memliki derajat polimerisasi yang tinggi, berat molekul
yang tinggi, dan mempunyai struktur kristalin yang dibangun oleh molekul
glukosa (Sjostrom 1981

Anda mungkin juga menyukai