Anda di halaman 1dari 19

1|P a g e

UDZURBILJAHL
(dispensasi hukumterhadappelakukesyirikankarenabodoh)

MENURUTASY-SYAIKHMUHAMMADBINSHALIHALUTSAIMIN
rahimahullah

 Mengkompromikan fatwa-fatwa Syaikh Muhammad bin


Shalih Al Utsaimin rahimahullah tentang hukum pelaku
syirik besar
 C elaan para ulama terhadap orang-orang yang abstain
dalam mengkafirkan orang musyrik yang jahil
 Penjelasan para ulama tentang pokok ajaran Islam, dan
barangsiapa tidak mendatangkannya bukan orang Islam

Penyusun:

D oktor A sy-Syaikh A bdullah bin A bdurrahman A l Manshur A l Jarbu’


hafidzhullah

Penerjemah dan catatan kaki : Jafar Salih

1
2|P a g e

‫ﺑﺴﻢ اﻟﻠﻪ اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮﺣﻴﻢ‬

Mengkompromikan fatwa-fatwa Syaikh Muhammad


bin Shalih A l U tsaimin rahimahullah tentang hukum
pelaku syirik besar

Pertama: Beberapa contoh fatwa-fatwa A sy-Syaikh Muhammad bin Shalih A l


U tsaimin rahimahullah yang secara tegas menyatakan kafirnya mu’ayyan
(person) yang melakukan kesyirikan yang besar walau jahil.

1- Fadhilatus-Syaikh ditanya tentang seorang yang menjaga shalat dan puasa, lahiriyah
keadaannya sebagai orang yang istiqamah, tapi dia memiliki perkumpulan disana dia menyeru
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan Abdul Qadir, bagaimana hukum perbuatan orang
ini?

Beliau menjawab; Apa yang disebutkan oleh penanya sangatlah menyedihkan hati. Karena
orang ini yang sifatnya menjaga shalat dan puasa, dan lahiriyah keadaannya orang yang
istiqamah, telah dipermainkan oleh setan. D an setan telah menjadikannya keluar dari
Islam dengan kesyirikan, disadari olehnya atau tidak. Karena perbuatannya menyeru
selain Allah merupakan syirik besar yang mengusirnya dari Islam, apakah dia menyeru
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam atau selain beliau. [ Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Asy-
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin (2/160)]

2- Dalam tafsir firman Allah Ta’aala;

‫ِﻳﻦ‬
ِ‫َﻬﺪ‬
ْ
‫ﺳﻴ‬
َ‫ﱠﻪ‬
ُ
‫ِﺈﻧ‬
‫ِﻲَﻓ‬
‫َﺮﻧ‬
‫َﻄ‬
َ‫ِي ﻓ‬
‫ﱠﻟﺬ‬
‫ِﻻ ا‬
‫ﱠ‬‫ُون إ‬
َ ‫ُﺒﺪ‬
‫ْﻌ‬
‫ﱠﺎَﺗ‬
‫َاءﱢﻣﻤ‬
ٌ‫ِﻲَﺑﺮ‬
‫ﱠﻧﻨ‬
‫ِﻪِإ‬
ِ‫َﻮﻣ‬
ْ‫ِﻴﻪَوﻗ‬
ِ‫ﻷﺑ‬
َِ‫ِﻴﻢ‬
ُ‫َاﻫ‬
‫ْﺑﺮ‬
‫لِإ‬
َ‫َﺎ‬
‫ْذ ﻗ‬
‫ِإ‬
‫َو‬

“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya dan kaumnya, "Sesungguhnya aku
berlepas diri dari apa-apa yang kamu sembah, kecuali (Allah) yang menciptakanku; karena
sungguh, Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (Qs. Z ukhruf: 26-27)

Beliau rahimahullah berkata; (kecuali (A llah) yang menciptakanku) dia (Ibrahim disini)
menggabungkan antara nafi dan itsbat (meniadakan ibadah kepada selain Allah dan
menetapkan ibadah hanya untuk Allah –penerj). Nafi ada pada perkataannya;
(Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu sembah). Sedangkan itsbat ada
pada perkataannya; (kecuali (A llah) yang menciptakanku). Maka hal ini menunjukkan
bahwa tauhid tidak terpenuhi kecuali dengan kufur (menolak) apa-apa (yang
diibadahi –penerj) selain A llah dan beriman kepada A llah semata. (Maka
barangsiapa kufur kepada thaghut dan beriman kepada A llah berarti dia telah
berpegang dengan tali yang sangat kuat) (Qs. Al Baqarah; 286). Sedangkan mereka
beribadah kepada Allah dan beribadah kepada selainnya juga. Dan Ibrahim disini berkata
(kecuali (A llah) yang menciptakanku). Dalam pengecualian hukum asalnya bersambung

2
3|P a g e

kecuali ada dalil yang menyelisihinya, tapi kendati begitu dia berlepas diri dari mereka.

Dan terdapat pada sebagian negeri Islam orang-orang yang shalat, berzakat, puasa dan haji
tapi mereka juga pergi ke kuburan sujud dan ruku’ kepadanya. Mereka orang-
orang kafir bukan ahli tauhid dan tidak diterima dari mereka ibadah apa pun.
Dan ini diantara yang paling berbahaya atas masyarakat Islam. Karena melakukan kekufuran
dengan (peribadatan –penerj) kepada selain Allah bagi mereka bukan apa-apa. Ini adalah
kejahilan dari mereka dan kelalaian dari ulamanya. Karena orang awam hanya mengikuti
orang alimnya. Tapi sebagian orang –kita berlindung kepada Allah- adalah ulama negara bukan
ulama agama. [ Majmu’ Fatawa (9/139)]

3- Beliau rahimahullah ditanya; Apa nasib seorang muslim yang puasa, shalat dan zakat akan
tetapi memiliki keyakinan terhadap para wali, yaitu yang dinamakan pada sebagian negeri-
negeri Islam sebagai i’tiqad yang baik dan bahwa para wali bisa mencelakakan dan memberi
manfaat. Selain itu orang ini juga menyeru si wali dengan mengatakan; W ahai fulan untukmu
ini dan itu, apabila anak perempuanku atau anak laki-lakiku diberi kesembuhan. Atau
(ucapan), demi Allah wahai fulan… dan (ucapan) yang serupa dengan ini. Apa hukum yang
demikian dan apa nasib si muslim pada kasus ini?

Beliau menjawab; Penamaan orang ini terhadap orang yang bernazar kepada
kuburan dan para wali serta menyeru mereka, menamakan orang ini sebagai
muslim merupakan kebodohan dari orang yang memberi nama. K arena pada
hakikatnya, orang ini bukan orang Islam karena dia musyrik. Allah Ta’aala
berfirman;

‫ِﻳﻦ‬
َ‫َاﺧﺮ‬
ِ‫ﱠﻢ د‬
َ‫َﻬﻨ‬
‫ﺟ‬َ‫ُﻮن‬
َ ‫ْﺧﻠ‬
ُ‫َﻴﺪ‬
‫ﺳ‬َ‫ِﻲ‬
‫َدﺗ‬
‫َﺎ‬
‫ﻋﺒ‬
ِ‫َﻦ‬
ْ‫ُون ﻋ‬
َ ‫ِﺒﺮ‬
‫ﻜ‬
ْ‫َﺘ‬
‫َﺴ‬
ْ‫ِﻳﻦ ﻳ‬
َ‫ﱠﻟﺬ‬
‫ِن ا‬
‫ُﻢ إﱠ‬
ْ‫ﺐَﻟﻜ‬
ْ‫َﺠ‬
ِ‫َﺳﺘ‬
ْ‫ِﻲ أ‬
‫ُﻮﻧ‬
‫ْدﻋ‬
‫ُﻢ ا‬
ُ‫ﱡﺑﻜ‬
‫لَر‬
َ‫َﺎ‬
‫َوﻗ‬

“Dan Rabb kalian berkata, mintalah kepada-Ku Aku akan penuhi. Sesungguhnya orang-orang yang
menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku mereka akan memasuki neraka Jahannam dalam
keadaan hina.” (Qs. Ghafir; 60)

Maka doa tidak boleh ditujukan kecuali kepada Allah semata, karena Dialah yang mengangkat
kesulitan dan memberi kemanfaatan

‫ِﻴﻼﱠﻣﺎ‬
ً‫ﱠﻪَﻗﻠ‬
ِ‫َﻊ اﻟﻠ‬
‫ٰﻪﱠﻣ‬
ٌ‫َﻟ‬
‫ِإ‬
‫ْضَأ‬
ِ‫اﻷر‬
َ
ْ ‫َﺎء‬
َ‫َﻠﻔ‬
‫ﺧ‬ُ‫ُﻢ‬
ْ‫ُﻠﻜ‬
‫َﻌ‬
‫َﺠ‬
ْ‫ﻮءَوﻳ‬
َ‫اﻟﺴ‬
‫ﻒ ﱡ‬
ُ‫ْﺸ‬
ِ‫َﻳﻜ‬
‫ُهَو‬
‫َﺎ‬
‫َاَدﻋ‬
‫ﱠﺮِإذ‬
‫ﻄ‬َ‫ُﻀ‬
ْ‫ْﻟﻤ‬
‫ﻴﺐ ا‬
ُ ‫ُﺠ‬
ِ‫َﻣﻦ ﻳ‬
‫ﱠ‬‫أ‬
‫ُون‬
َ ‫ﱠﻛﺮ‬
‫َﺬ‬‫َﺗ‬

“Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa
kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai
khalifah di bumi?Apakah di samping Allah ada ilah (yang lain)? Amat sedikitlah kamu
mengingati(Nya).” (Qs. An-Naml: 62)

Orang ini jikalau dia shalat, puasa dan berzakat sedangkan dia menyeru selain Allah dan
beribadah kepada selain Dia dan bernadzar untuk selain Dia, maka dia musyrik Allah telah
haramkan atasnya surga dan tempat kembalinya neraka, dan tidak ada bagi orang-orang
dzalim seorang pun penolong. [Fatawa Nur ‘Alad Darb (16/21)]

3
4|P a g e

K edua: T elah terdapat dari A sy-Syaikh Muhammad bin Shalih A l U tsaimin


rahimahullah fatwa-fatwa yang menegaskan tidak ada pengkafiran kepada
mu’ayyan (person) yang jahil yang melakukan kesyirikan yang besar sampai
hujjah ditegakkan atas dia.

Seperti yang terdapat pada jawaban atas pertanyaan tentang udzur bil jahl (dispensasi hukum
karena kebodohan) terkait perkara akidah. Beliau rahimahullah berkata;

Ikhtilaf dalam permasalahan udzur bil jahl (dispensasi hukum karena kebodohan), sama seperti
permasalahan ikhtilaf fiqhiyah lainnya yang sifatnya ijtihadiyah, bahkan terkadang
perselisihannya bersifat lafdziyah dalam beberapa keadaan pada penerapannya kepada person
tertentu. Yakni semua sepakat bahwa perkataan ini kufur, atau perbuatan ini kufur, atau
meninggalkan ini kufur. Tapi apakah hukum kafir melekat pada orang ini karena sudah
terpenuhinya syarat-syarat dan tidak terdapat padanya penghalang? Atau hukum kafir tidak
melekat kepadanya karena tidak terpenuhi beberapa syarat atau didapati beberapa
penghalang!?

Hal ini karena kebodohan terhadap sebab-sebab kekafiran ada dua macam:

Pertama: kebodohan yang berasal dari orang non muslim atau orang yang tidak punya
agama. Sedangkan tidak terpikirkan sama sekali olehnya bahwa disana ada agama yang
menyelisihi apa yang dia lakukan. Maka orang seperti ini berlaku atasnya hukum yang sesuai
dengan lahiriyahnya di dunia. Adapun di akhirat maka nasibnya terserah kepada Allah Ta’aala.

K edua: kebodohan yang berasal dari orang yang beragama Islam, tapi dia hidup di atas
perbuatan yang mengkafirkan ini. Sedangkan tidak pernah terbetik dalam pikirannya bahwa
dia menyelisihi Islam dan tidak ada seseorang pun yang mengingatkannya dalam hal itu. Maka
orang seperti ini berlaku atasnya hukum-hukum Islam sesuai lahiriyahnya. Adapun di akhirat
maka nasibnya terserah kepada Allah Ta’aala. Dalil akan hal ini adalah Al Kitab, As-Sunnah
dan perkataan-perkataan ahli ilmu. Dan diantara dalil dari Al Kitab adalah firman Allah
Ta’aala;

‫ﻮﻻ‬
ً‫َﺳ‬ُ‫َﺚ ر‬
َ‫ْﺒﻌ‬
‫ﱠﻰَﻧ‬
‫ﺣﺘ‬
َ‫ِﻴﻦ‬
َ‫ﱢﺬﺑ‬
‫َﻌ‬
‫ﱠﺎُﻣ‬
‫َﻣﺎُﻛﻨ‬
َ‫و‬

“Dan Kami tidak mengazab (siapa pun) sampai Kami mengutus (kepadanya) seorang rasul.” (Qs.
Al Israa’; 15) [Majmu’ Fatawa (2/130-131)]

Dan beliau rahimahullah memiliki fatwa-fatwa yang banyak yang serupa dengan ini, padanya
terdapat pakem-pakem penting yang menjelaskan bahwa abstain dalam
mengkafirkan person yang musyrik sampai tegak hujjah atasnya adalah dalam
konteks ancaman atau wa’iid dan hukuman yang berupa adzab (di akhirat
–penerj). Dalam hal ini beliau rahimahullah berdalil dengan firman Allah Ta’aala;

‫ﻮﻻ‬
ً‫َﺳ‬ُ‫َﺚ ر‬
َ‫ْﺒﻌ‬
‫ﱠﻰَﻧ‬
‫ﺣﺘ‬
َ‫ِﻴﻦ‬
َ‫ﱢﺬﺑ‬
‫َﻌ‬
‫ﱠﺎُﻣ‬
‫َﻣﺎُﻛﻨ‬
َ‫و‬

“Dan Kami tidak mengazab (siapa pun) sampai Kami mengutus (kepadanya) seorang rasul.” (Qs.
Al Israa’; 15)

4
5|P a g e

Maka tidak ada kontradiksi antara fatwa-fatwa beliau rahimahullah yang pertama tentang
wajibnya meyakini kafirnya person yang melakukan kesyirikan yang besar dan yang semisalnya
dari kekafiran-kekafiran yang jelas walaupun dia jahil, hujjah belum ditegakkan atasnya,
dengan fatwa-fatwa beliau yang abstain dari mengkafirkannya. Karena disitu beliau
rahimahullah menerangkan bahwa beliau abstain dari mengkafirkannya dan pelakunya disikapi
dengan hukum Islam sesuai lahiriyahnya, dimana beliau berkata; “orang ini berlaku
atasnya hukum yang sesuai dengan lahiriyahnya di dunia.” Sehingga tidak terangkat
darinya hukum sesuai lahiriyahnya ini kecuali dengan putusan seorang hakim bahwa dia kafir
dan murtad. Dan hukuman ini tidak berlaku kecuali setelah orang ini diminta bertaubat dan
diberitahu dan penegakan hujjah. Karena ini termasuk ke dalam hukum-hukum ancaman atau
wa’iid yang implikasinya adzab. Oleh karena itu pada akhir fatwa-fatwa tersebut Asy-Syaikh
rahimahullah berdalil dengan firman Allah;

‫ﻮﻻ‬
ً‫َﺳ‬ُ‫َﺚ ر‬
َ‫ْﺒﻌ‬
‫ﱠﻰَﻧ‬
‫ﺣﺘ‬
َ‫ِﻴﻦ‬
َ‫ﱢﺬﺑ‬
‫َﻌ‬
‫ﱠﺎُﻣ‬
‫َﻣﺎُﻛﻨ‬
َ‫و‬

“Dan Kami tidak mengazab (siapa pun) sampai Kami mengutus (kepadanya) seorang rasul.” (Qs.
Al Israa’; 15)

Dan hukum Islam dzahir (sesuai lahiriyah) yang diberikan kepada si musyrik dan munafik
bukan berarti dia tidak kafir secara batin, bahkan dia kafir keluar dari Islam pada hakikatnya.
Karena barangsiapa diketahui kemunafikannya dan kesyirikannya, maka diyakini demikian
sebagaimana perkataan Al Imam Al Barbahari;

‫وﻻ ﻳﺨﺮج أﺣﺪ ﻣﻦ أﻫﻞ اﻟﻘﺒﻠﺔ ﻣﻦ اﻹﺳﻼم ﺣﺘﻰ ﻳﺮد آﻳﺔ ﻣﻦ ﻛﺘﺎب اﻟﻠﻪ أو ﻳﺮد ﺷﻴﺌﺎ ﻣﻦ آﺛﺎر‬
‫ وإذا ﻓﻌﻞ ﺷﻴﺌﺎ ﻣﻦ ذﻟﻚ ﻓﻘﺪ وﺟﺐ ﻋﻠﻴﻚ أن‬.‫رﺳﻮل اﻟﻠﻪ أو ﻳﺼﻠﻰ ﻟﻐﻴﺮ اﻟﻠﻪ أو ﻳﺬﺑﺢ ﻟﻐﻴﺮ اﻟﻠﻪ‬
‫ وإذا ﻟﻢ ﻳﻔﻌﻞ ﺷﻴﺌﺎ ﻣﻦ ذﻟﻚ ﻓﻬﻮ ﻣﺆﻣﻦ وﻣﺴﻠﻢ ﺑﺎﻹﺳﻢ ﻻ ﺑﺎﻟﺤﻘﻴﻘﺔ‬،‫ﺗﺨﺮﺟﻪ ﻣﻦ اﻹﺳﻼم‬

[Dan seorang ahli kiblat tidak keluar dari Islam sampai menolak sebuah ayat dari Kitabullah
atau menolak sesuatu dari hadits-hadits Rasulullah, atau shalat kepada selain Allah, atau
menyembelih untuk selain Allah. Maka apabila dia melakukan salah satu dari hal ini telah
wajiblah atasmu untuk mengeluarkannya dari Islam. Dan apabila dia tidak melakukan salah
satu dari hal ini maka lebelnya adalah mu’min dan muslim tapi bukan secara hakikat.]
[Syarhus Sunnah, tahqiq Al Qahthani (hal 31), tahqia Ar-Raddadi (hal 81)]

Dan Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah telah menerangkan hal ini
pada ucapannya;

Dan diantara faidah ayat yang mulia ini, adalah isyarat bahwa yang menjadi ukuran dalam
keimanan adalah hati, berdasarkan firman Allah Ta’aala:

‫ْﻢ‬
‫ُﻬ‬
ُ
‫ُﻮﺑ‬
‫ِﻦُﻗﻠ‬
‫ْﺆﻣ‬
‫َﻢُﺗ‬
ْ‫ْﻢَوﻟ‬
‫ِﻬ‬
ِ
‫َاﻫ‬
‫ْﻓﻮ‬
‫ﱠﺎِﺑﺄ‬
َ ‫آﻣﻨ‬
َ‫ُﻮا‬
‫َﺎﻟ‬
‫ِﻳﻦ ﻗ‬
َ‫ﱠﻟﺬ‬
‫ِﻦ ا‬
َ‫ﻣ‬

“Yaitu diantara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka: “Kami telah beriman”,
padahal hati mereka belum beriman.” (Qs. Al Maidah: 41)

Maka keimanan dengan lisan bukan merupakan iman, sampai berdiri diatas keimanan hati,

5
6|P a g e

karena jika tidak demikian (keimanan seperti ini) tidak berguna bagi pemiliknya.

Dan diantara faidah ayat yang mulia ini, bahwa keimanan tempatnya dihati, berdasarkan
firman Allah “...padahal hati mereka belum beriman.” A kan tetapi jika ada yang
mengatakan, bukankah kita diperintah untuk menilai seseorang sesuai lahirnya?!
Kita jawab: tentu, kita diperintahkan dengan ini. A kan tetapi orang yang tampak
kemunafikannya, sesungguhnya kami memperlakukan dia sesuai keadaannya,
seperti jika dia menampakkan kemunafikan, kita tidak diam dari orang ini.

Adapun orang yang tidak diketahui kemunafikannya, maka kita tidak punya selain kondisi
lahirnya, adapun batinnya kembali kepada Allah. Sama seperti jika kita melihat orang
kafir, maka kita perlakukan dia dengan perlakuan kepada orang kafir dan tidak
kita katakan bahwa kita tidak mengkafirkannya secara personal, sebagaimana
masalah ini rancu pada sebagian penuntut ilmu sekarang. Mereka mengatakan;
Jika kamu lihat orang tidak shalat, jangan kafirkan dia secara ta’yin (personal).
Jika kamu lihat orang sujud kepada berhala, jangan kafirkan dia secara ta’yin
(personal) karena bisa jadi hatinya tenang diatas keimanan!

K ita katakan kepadanya; ini salah besar! K ami menilai sesuai lahir. Jika kami
dapati seseorang tidak shalat, kami katakan dengan tegas: orang ini kafir. D an
apabila kami lihat seseorang sujud kepada berhala, kami katakan: orang ini kafir,
dan kami menta’yin dia dan kami tuntut dia dengan hukum-hukum Islam. Dan jika dia
tidak tunduk, kami bunuh.

Adapun perkara akhirat, maka iya. Kami tidak mempersaksikan person mana pun dengan
surga atau neraka, kecuali yang dipersaksikan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, atau ada
keterangannya dari Al Qur’an. [ Tafsir surat Al Maidah, kaset 14 side B]

Rincian seperti ini kita dapati juga pada fatwa Lajnah Ad-Da’imah no 4400 dibawah ketuanya
saat itu Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah. Berikut redaksinya;

[Semua orang yang beriman kepada risalah nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
dan semua yang beliau bawa dalam syariat Islam, apabila setelah itu sujud kepada selain Allah,
wali atau penghuni kubur, atau syaikh tarikat maka dia kafir, murtad dari Islam, musyrik
kepada Allah dengan menyekutukan-Nya dengan selain-Nya dalam peribadahan. (Dia
musyrik) walaupun saat sujudnya (kepada selain Allah –penerj) dia mengucapkan dua kalimat
syahadat. Ini karena dia telah melakukan perbuatan yang membatalkan syahadatnya berupa
sujud kepada selain Allah. T api mungkin dia diberi udzur karena kejahilannya!
Sehingga tidak dihukum sampai diberitahu dan ditegakkan atasnya hujjah.
K epadanya diberi penangguhan selama tiga hari sebagai udzur baginya untuk
mengoreksi pendapatnya, dengan harapan dia bertaubat. Tapi jika dia bersikukuh
diatas perbuatannya sujud kepada selain Allah setelah adanya keterangan maka dia dibunuh
karena kemurtadannya, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:

‫ﻣﻦ ﺑﺪل دﻳﻨﻪ ﻓﺎﻗﺘﻠﻮه‬

6
7|P a g e

“Barangsiapa menukar agamanya maka bunuhlah dia”

Maka keterangan dan penegakan hujjah adalah untuk memberikan penangguhan


kepadanya sebelum diterapkan hukuman atasnya bukan untuk disebut kafir
setelah adanya keterangan. K arena orang ini disebut kafir dengan sebab
perbuatannya sujud kepada selain A llah, atau nadzarnya yang berupa taqarrub (kepada
selain Allah), atau menyembelih sembelihan, kambing misalnya untuk selain Allah.

Al Kitab dan As-Sunnah telah menerangkan bahwa barangsiapa mati diatas kesyirikan dia
tidak diampuni dan kekal di neraka berdasarkan firman Allah Ta’aala:

‫ﺎء‬
ُ‫َﺸ‬َ‫َﻦ ﻳ‬
‫ِﻤ‬
‫ِﻚ ﻟ‬
َ‫َذﻟ‬
ٰ‫ُون‬
َ ‫ُﺮَﻣﺎ د‬
‫ِﻔ‬
‫ْﻐ‬
‫َﻳ‬
‫ِﻪَو‬
ِ‫كﺑ‬
َ‫َﺮ‬
‫ُﺸ‬
ْ‫َن ﻳ‬
‫ُﺮ أ‬
‫ِﻔ‬
‫ْﻐ‬
‫ﱠﻪَﻻَﻳ‬
َ‫ِن اﻟﻠ‬
‫إﱠ‬

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik dan mengampuni dosa selain dari kesyirikan
bagi siapa yang Allah kehendaki.” (Qs. An-Nisaa’; 48)

Dan Allah berfirman;

‫ْﻢ‬
‫ُﻬ‬
ُ
‫َﺎﻟ‬
‫ﻋﻤ‬
ْ‫ﺖَأ‬
ْ‫ِﻄ‬
َ‫ﺣﺒ‬
َ‫ِﻚ‬
َ‫َﻟﺌ‬
ٰ
‫ُو‬
‫ِﺮ أ‬
‫ْﻔ‬
‫ﻜ‬
ُ‫ْﻟ‬
‫ِﺎ‬
‫ِﻬﻢ ﺑ‬
‫ُﺴ‬
ِ‫َﻧﻔ‬
‫َﻰ أ‬
ٰ‫ﻋﻠ‬
َ‫ِﻳﻦ‬
َ‫ﻫﺪ‬
ِ‫ﺷﺎ‬
َ‫ﱠﻪ‬
ِ
‫ﺪ اﻟﻠ‬
َ‫ﺎﺟ‬
ِ‫ﺴ‬َ‫ُواَﻣ‬
‫ُﻤﺮ‬
‫ْﻌ‬
‫َنَﻳ‬
‫ِﻴﻦ أ‬
َ‫ِﺮﻛ‬
‫ُﺸ‬
ْ‫ْﻠﻤ‬
‫َﺎن ﻟ‬
ِ َ‫َﻣﺎ ﻛ‬
‫ُون‬
َ ‫ِﺪ‬
‫ﺧﺎﻟ‬
َ‫ُﻢ‬
ْ
‫ِر ﻫ‬
‫ﱠﺎ‬
‫ِﻲ اﻟﻨ‬
‫َوﻓ‬

“Tidaklah orang-orang musyrik itu akan meramaikan masjid-masjid Allah, mereka menyaksikan
terhadap diri-diri mereka sendiri dengan kekufuran. Mereka itu gugur amalannya dan mereka
kekal di neraka.” (Qs. At-Taubah; 17)

Semoga shalat dan salam senantiasa tercurah kepada nabi kita Muhammad, dan kepada para
shahabat dan orang-orang yang mengikutinya.] [Fatawa Lajnah Da’imah (1/220) cetakan Ulin-
Nuha]

D iantara pelajaran yang bisa dipetik dari fatwa ini:

1- Ulama Lajnah menerangkan bahwa hukum atasnya dengan kekafiran dan kondisinya yang
kafir hakiki terjadi dengan sekedar dia melakukan kekufuran. Ini bisa dilihat pada ucapan
mereka: “… dia kafir, murtad dari Islam… saat sujudnya (kepada selain Allah)… ” Maka
berdasarkan ini siapa saja yang mengetahui hakikat keadaan orang ini wajib atasnya meyakini
kafir dan murtadnya orang ini. Tapi keyakinan ini bukan berarti seseorang bebas
menghukumnya, karena hukum bunuh atasnya tergantung kepada keputusan hakim.

2- Ulama Lajnah menerangkan bahwa orang ini mungkin diberi udzur atau dispensasi atas
kejahilannya, sehingga tidak diterapkan kepadanya hukuman. Dan bahwasanya hukum atas dia
sebagai murtad dan dibunuh –yaitu hukum yang bersumber dari hakim yang berakibat
penerapan hukum had atas suatu kemurtadan- tidak berlaku kecuali setelah diberi
keterangan dan penegakan hujjah. Hal ini dan juga yang sebelumnya jelas pada ucapan
mereka; “Maka keterangan dan penegakan hujjah adalah untuk memberikan
penangguhan kepadanya sebelum diterapkan hukuman atasnya bukan untuk
disebut kafir setelah adanya keterangan. K arena orang ini disebut kafir dengan
sebab perbuatannya sujud kepada selain A llah, atau nadzarnya yang berupa taqarrub

7
8|P a g e

(kepada selain Allah), atau menyembelih sembelihan, kambing misalnya untuk selain Allah.”
Wallahua’lam.

*Tulisan singkat ini sebagai pendahuluan bagi karya tulis khusus berjudul: “ A l Q aul A l
W adhih fi D af’I A l Iththirab ‘A n F atawa Ibni U tsaimin fi H ukmi Man A syraka bi
Rabbil ‘A alamin.” Semoga Allah memberi taufik untuk merampungkannya.

8
9|P a g e

‫ﺑﺴﻢ اﻟﻠﻪ اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮﺣﻴﻢ‬

BE BE RA PA U C A PA N U L A MA Y A N G ME N G IN G K A RI D A N ME N C E L A
O RA N G -O RA N G Y A N G A BST A IN D A RI ME N G K A F IRK A N O RA N G
MU SY RIK Y A N G JA H IL D A N MA L A H ME N G H U K U MIN Y A SE BA G A I
MU SL IM D E N G A N SY U BH A T BE L U M T E G A K H U JJA H K A RE N A BE L U M
PA H A M D A N H IL A N G SY U BH A T D A N ME MBA N G K A N G A T A U IN A D

Pertama: Mereka menerangkan bahwa pendapat hujjah tidak tegak kepada mu’ayyan/person
tertentu kecuali dengan didapatinya pemahaman dan hilang syubhat serta jelasnya kebenaran
di hadapannya dan membangkang adalah termasuk pendapat-pendapat sebagian ahli bid’ah
seperti Al Jahidz dari pemuka Mu’tazilah. Dan pendapat ini termasuk perkataan yang kufur
karena pelanggarannya terhadap petunjuk yang jelas dari Al Qur’an.

Ini kita dapati pada ucapan Ibnu Qudamah rahimahullah;

‫ وﻛﻔﺮ ﺑﺎﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ورد ﻋﻠﻴﻪ وﻋﻠﻰ رﺳﻮﻟﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ‬،‫أﻣﺎ اﻟﺬي ذﻫﺐ إﻟﻴﻪ اﻟﺠﺎﺣﻆ ﻓﺒﺎﻃﻞ ﻳﻘﻴﻨﺎ‬
‫ أن اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ أﻣﺮ اﻟﻴﻬﻮد واﻟﻨﺼﺎرى ﺑﺎﻹﺳﻼم‬: ‫ ﻓﺈﻧﺎ ﻧﻌﻠﻢ ﻗﻄﻌﺎ‬.‫ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬
‫ وﻧﻌﻠﻢ أن اﻟﻤﻌﺎﻧﺪ اﻟﻌﺎرف ﻣﻤﺎ‬.‫ وﻧﻘﺎﺗﻞ ﺟﻤﻴﻌﻬﻢ وﻧﻘﺘﻞ اﻟﺒﺎﻟﻎ ﻣﻨﻬﻢ‬،‫ وذﻣﻬﻢ ﻋﻠﻰ إﺻﺮارﻫﻢ‬،‫واﺗﺒﺎﻋﻪ‬
.‫ أﻧﻤﺎ اﻷﻛﺜﺮ ﻣﻘﻠﺪة اﻋﺘﻘﺪوا دﻳﻦ آﺑﺎﺋﻬﻢ ﺗﻘﻠﻴﺪان وﻟﻢ ﻳﻌﺮﻓﻮا ﻣﻌﺠﺰة اﻟﺮﺳﻮل وﺻﺪﻗﻪ‬،‫ﻳﻘﻞ‬
....‫واﻵﻳﺎت اﻟﺪاﻟﺔ ﻓﻲ اﻟﻘﺮآن ﻋﻠﻰ ﻫﺬا ﻛﺜﻴﺮة‬

[Adapun pendapat Al Jahidz adalah batil tanpa keraguan, dan merupakan kekufuran kepada
Allah serta penolakan kepada-Nya dan kepada rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Karena
kita telah mengetahui dengan pasti bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah
memerintahkan orang-orang Yahudi dan Kristen untuk berislam dan menjadi pengikutnya.
Dan beliau mencela mereka karena pembangkangannya. Kita memerangi mereka dan
membunuh orang yang baligh dari mereka. Dan kita mengetahui bahwa orang yang sudah
jelas baginya (kebenaran Islam) kemudian membangkang atau mu’anid (jumlah mereka)
sedikit. Kebanyakan mereka para pembebek yang meyakini agama bapak moyangnya karena
ikut-ikutan. Mereka tidak mengetahui mu’jizat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan
kebenaran (risalah)nya. Ayat-ayat yang menunjukkan akan hal ini di dalam Al Qur’an ada
banyak sekali...”] [Raudhatun Nadhir (hal 362)]

K edua: Mereka menerangkan bahwa pendapat yang mengatakan hujjah tidak tegak kepada
mu’ayyan/person tertentu kecuali dengan tercapainya pemahaman dan hilang syubhat serta
terangnya kebenaran dan membangkang, dan bahwa pengkafiran tidak bisa diberlakukan
kecuali setelah tegaknya hujjah secara mutlak adalah diantara sangkaan-sangkaannya ahli
bid’ah seperti Daud bin Jirjis Al Quburi An-Naqsyabandi.

Ini kita dapati pada perkataan Asy-Syaikh Abdul Lathif bin Abdurrahman rahimahullah saat
beliau mengisahkan tentang ucapan Daud bin Jirjis; “Dan termasuk ke dalam hal ini adalah

9
10 | P a g e

penukilannya (Daud) yang kedua dari Syaikhul Islam tentang shalat di belakang ahli bid’ah dan
bahwasanya beliau tidak mengkafirkan mereka. Dan bahwasanya suatu ucapan bisa
merupakan kekufuran dan pelakunya dikafirkan secara mutlak dengan dikatakan; Barangsiapa
mengucapkan ini maka dia kafir. Tapi person tertentu/mu’ayyan yang mengucapkan itu tidak
dihukumi kafir sampai tegak kepadanya hujjah risaliyah, yang barangsiapa meninggalkannya
dikafirkan… ” [Minhajut-Ta’sis wat Taqdis fi Kasyf Syubuhat Daud bin Jirjis (hal 77)]

K etiga; Mereka menerangkan bahwa orang yang abstain dari mengkafirkan orang yang
melakukan kesyirikan besar yang jelas disebabkan karena jahil dan menilainya sebagai muslim,
bahwa yang demikian ini berasal dari pondasi akidahnya yang meyakini bahwa kesyirikan tidak
membatalkan pokok keislaman. Dan mereka menerangkan bahwa anggapan seperti ini
berasal dari pendapat kelompok Murji’ah yang ekstrem atau ghuluw yang membela pendapat
Jahm bin Shafwan, dan bahwasanya pendapatnya merupakan pendapat yang paling rusak
seputar iman.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata;

‫ ﺣﻴﺚ ﻇﻨﻮا أن اﻹﻳﻤﺎن ﻣﺠﺮد ﺗﺼﺪﻳﻖ‬،‫وﻣﻦ ﻫﻨﺎ ﻳﻈﻬﺮ ﺧﻄﺄ ﻗﻮل ﺟﻬﻢ ﺑﻦ ﺻﻔﻮان وﻣﻦ اﺗﺒﻌﻪ‬
‫ وﻇﻨﻮا أﻧﻪ ﻗﺪ ﻳﻜﻮن اﻹﻧﺴﺎن ﻣﺆﻣﻨﺎ ﻛﺎﻣﻞ‬.‫ ﻟﻢ ﻳﺠﻌﻠﻮا أﻋﻤﺎل اﻟﻘﻠﺐ ﻣﻦ اﻹﻳﻤﺎن‬،‫اﻟﻘﻠﺐ وﻋﻠﻤﻪ‬
‫ وﻳﻌﺎدي أوﻟﻴﺎء اﻟﻠﻪ وﻳﻮاﻟﻲ‬،‫ وﻳﻌﺎدي اﻟﻠﻪ ورﺳﻮﻟﻪ‬،‫ وﻫﻮ ﻣﻊ ﻫﺬا ﻳﺴﺐ اﻟﻠﻪ ورﺳﻮﻟﻪ‬،‫اﻹﻳﻤﺎن ﺑﻘﻠﺒﻪ‬
،‫ وﻳﻜﺮم اﻟﻜﻔﺎر ﻏﺎﻳﺔ اﻟﻜﺮاﻣﺔ‬،‫ وﻳﻬﻴﻦ اﻟﻤﺼﺎﺣﻒ‬،‫ وﻳﻬﺪم اﻟﻤﺴﺎﺟﺪ‬،‫ وﻳﻘﺘﻞ اﻷﻧﺒﻴﺎء‬،‫أﻋﺪاء اﻟﻠﻪ‬
‫ ﺑﻞ‬،‫ "وﻫﺬه ﻛﻠﻬﺎ ﻣﻌﺎص ﻻ ﺗﻨﺎﻓﻲ اﻹﻳﻤﺎن اﻟﺬي ﻓﻲ ﻗﻠﺒﻪ‬:‫ ﻗﺎﻟﻮا‬.‫وﻳﻬﻴﻦ اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ﻏﺎﻳﺔ اﻹﻫﺎﻧﺔ‬
‫ وﻫﺬا اﻟﻘﻮل ﻣﻊ أﻧﻪ أﻓﺴﺪ ﻗﻮل ﻗﻴﻞ ﻓﻲ‬:‫ﺑﻔﻌﻞ ﻫﺬا وﻫﻮ ﻓﻲ اﻟﺒﺎﻃﻦ ﻋﻨﺪ اﻟﻠﻪ ﻣﺆﻣﻦ " إﻟﻰ أن ﻗﺎل‬
".‫ ﻓﻘﺪ ذﻫﺐ إﻟﻴﻪ ﻛﺜﻴﺮ ﻣﻦ أﻫﻞ اﻟﻜﻼم اﻟﻤﺮﺟﺌﺔ‬،‫اﻹﻳﻤﺎن‬

[Dari sini tampak kesalahan pendapat Jahm bin Shafwan dan pengikutnya. Dimana mereka
menyangka bahwa keimanan hanya sekedar pembenaran hati dan mengetahuinya. Mereka
tidak menjadikan amalan hati termasuk keimanan. Dan mereka menyangka bahwa bisa saja
seseorang itu beriman dengan keimanan yang sempurna dengan hatinya, namun bersamaan
dengan itu dia mencaci Allah dan rasul-Nya, memusuhi Allah dan rasul-Nya, memusuhi wali-
wali Allah dan berloyal kepada musuh-musuh Allah, membunuh para nabi, menghancurkan
masjid-masjid, menghinakan mushaf-mushaf Al Qur’an, memuliakan orang-orang kafir dengan
pemuliaan yang tinggi dan menghinakan orang-orang yang beriman dengan serendah-
rendahnya. Mereka berkata: Semua ini adalah maksiat tidak bertentangan dengan
keimanan yang ada di dalam hati. Bahkan seseorang melakukan ini sedangkan di dalam
hatinya disisi Allah dia beriman… .-sampai pada perkataannya-… ; D an pendapat ini,
meskipun merupakan pendapat paling jelek yang pernah diutarakan tentang
keimanan, banyak dari ulama kalam dari kelompok Murji’ah berpegang
dengannya] [ Majmu’ Fatawa (7/188,189)]

K eempat: Mereka menerangkan bahwa membatasi pokok iman dan pembatalnya dari
kekafiran-kekafiran hanya dalam perkara-perkara ilmiyah saja adalah; pendapat Al Jahm bin
Shafwan dan para pembelanya dari orang-orang Murj’ah Ahli Kalam.

10
11 | P a g e

Telah berlalu pada ucapan Syaikhul Islam saat beliau menghikayatkan pendapat Murji’ah Ahli
Kalam; “Dari sini tampak kesalahan pendapat Jahm bin Shafwan dan pengikutnya. Dimana
mereka menyangka bahwa keimanan hanya sekedar pembenaran hati dan mengetahuinya.
Mereka tidak menjadikan amalan hati termasuk keimanan.”

K elima: Mereka menyebutkan bahwa sikap abstain dari mengkafirkan orang yang melakukan
kesyirikan yang besar dan menilainya sebagai muslim disebabkan karena syubhat bahwa hujjah
belum tegak atasnya adalah kejahilan.

Samahah Al Mufti Abdullah bin Abdul Latif dan saudaranya Ibrahim dan Asy-Syaikh Sulaiman
bin Sahman rahimahumullah berkata pada fatwa mereka bersama; “Adapun ucapannya “kami
katakan bahwa ucapan tersebut adalah kekufuran, dan kami tidak menghukumi kafir orang
yang mengucapkannya” penerapan kaidah ini secara mutlak adalah kejahilan yang murni...”
[Durarus Sanniyyah (10/436)]

Dan mereka berkata: “Maka ini merupakan pendalilan orang bodoh terhadap teks-teks Al
Kitab dan As-Sunnah. Dia tidak tahu, bahkan tidak tahu kalau dirinya tidak tahu...”

Dan Samahah Al Mufti Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata menjawab
pertanyaan yang diajukan kepadanya. Berikut ini redaksi pertanyaannya;

“Sebagian orang sekarang menyebutkan bahwa barangsiapa mengucapkan ucapan kufur atau
mengerjakan perbuatan kufur dia tidak dikafirkan sampai hujjah ditegakkan atasnya. Dan
mereka memasukkan para penyembah kuburan dalam kaidah ini.”

Beliau menjawab; Ini diantara kejahilan mereka, ini diantara kejahilan mereka. Para
penyembah kuburan kafir, Yahudi kafir, Kristen kafir. Tapi saat akan dibunuh dia dimintai
taubat. Apabila dia bertaubat (dia bebas), kalau tidak dibunuh.” [Majmu’ Fatawa (2/133)]

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata; “Penyebutan orang ini
yang bernazar untuk kuburan dan para wali dan menyeru mereka, penyebutan terhadapnya
sebagai “muslim” adalah kebodohan dari yang mengucapkannya. Pada hakikatnya orang ini
bukan muslim, karena dia musyrik...” [Fatawa Nur ‘Alad-Darb (16/21)]

K eenam; Mereka menyebutkan bahwa keyakinan seperti ini adalah pengkaburan dan fitnah
terhadap tauhid.

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah berkata; “Kemudian datang orang-orang


yang mengelabui manusia dan memfitnah mereka dari tauhid (yang benar) dengan
menyebutkan kutipan-kutipan dari ahli ilmu, (dia) menambah dan menguranginya, yang
hasilnya adalah berdusta atas nama mereka. Kerena kutipan-kutipan itu berkenaan dengan
orang-orang yang ada pada mereka keislaman dan agama, namun ada pada mereka ucapan-
ucapan yang menjadikan sebagian ulama mengkafirkan mereka, dan sebagian lainnya
mengambil sikap abstain dari mengkafirkan mereka sampai hujjah tegak atas mereka. Sebagian
ulama itu tidak menggolongkan mereka ke dalam golongan musyrikin, melainkan ke dalam
orang-orang fasik, sebagaimana yang akan kamu lihat pada ucapan Al ‘Allamah Ibnul Qayyim

11
12 | P a g e

insyaallah Ta’aala.” [Durarus Sanniyyah (11/467)]

K etujuh; Mereka menyebutkan bahwa sikap abstain dari mengkafirkan musyrik dengan
alasan belum tegak hujjah atasnya adalah kekufuran. Dan orang yang mengambil sikap abstain
itu memiliki syubhat yang menghalanginya dari mengkafirkan person orang musyrik. Ini bisa
kita lihat pada fatwa Lajnah Da’imah (no. 11043); “Dari sini diketahui bahwasanya tidak boleh
bagi sekelompok muwahhidin yang meyakini kafirnya penyembah kubur untuk mengkafirkan
saudara-saudara mereka para muwahhidin yang mengambil sikap abstain dari mengkafirkan
mereka sampai ditegakkan kepada mereka (penyembah kuburan) hujjah. Karena abstainnya
mereka dari mengkafirkan penyembah kubur adalah karena adanya syubhat pada mereka,
yaitu keyakinan mereka bahwa harus ada penegakan hujjah kepada para penyembah kubur
sebelum mengkafirkan mereka. Lain halnya dengan orang-orang yang tidak ada syubhat akan
kafirnya mereka, seperti orang Yahudi dan Kristen dan Komunis dan orang-orang seperti
mereka. Orang-orang ini tidak ada syubhat akan kafirnya mereka dan kafirnya orang yang
tidak mengkafirkan mereka...” [Fatawa Lajnah Da’imah (2/96)]

K edelapan; Mereka menyebutkan bahwa orang yang bersikap abstain dari mengkafirkan
person orang musyrik yang jahil adalah sesat, telah durhaka kepada Allah dan rasul-Nya dan
keluar dari sabilul mu’minin.

Asy-Syaikh Abdullah Aba Buthain rahimahullah berkata: “Maka semua ulama telah
mengkafirkan mereka dan tidak memberi udzur dengan sebab kebodohan, (tidak) seperti
yang dikatakan sebagian orang-orang yang sesat “Sesungguhnya mereka diudzur karena
mereka bodoh.” [Durarus Sanniyyah (10/405)]

Beliau katakan begitu setelah sebelumnya menjabarkan apa yang dilakukan oleh para
penyembah kuburan berupa kesyirikan di sisi monumen-monumen mereka dan kuburan-
kuburan yang mereka agungkan dengan berdoa, bernazar dan menyembelih serta minta
keselamatan kepada selain Allah Ta’aala.

Dan beliau juga berkata; “Barangsiapa mengkhususkan ancaman itu hanya untuk orang yang
membangkang atau mu’anid, lalu mengeluarkan orang jahil, dan mentakwil, dan muqallid
(taklid) berarti dia telah durhaka kepada Allah dan rasul-Nya dan keluar dari sabilul mu’minin
(jalannya orang-orang yang beriman). Padahal pada ulama telah mengkhususkan bab hukum
orang murtad bagi orang yang melakukan kesyirikan dan mereka tidak mengkhususkannya
hanya untuk orang yang membangkang atau mu’anid.” [Durarus Sanniyyah (12/84,85)]

K esembilan; Mereka menyebutkan bahwa tidak mengkafirkan musyrik adalah dalil akan
butanya bashirah. Ini kita dapati pada fatwa bersama dari para imam; Asy-Syaikh Abdullah dan
Asy-Syaikh Ibrahim, keduanya adalah anak dari Asy-Syaikh Abdullatif bin Abdurrahman, dan
Asy-Syaikh Sulaiman bin Sahman rahimahumullah Ta’aala;

“Maka tidak diragukan akan kekafiran mereka dan kesesatan mereka kecuali bagi orang yang
dikuasai hawa nafsunya dan Allah butakan mata hatinya (bashirah)...” [Durarus Sanniyyah
(10/435)]

12
13 | P a g e

K esepuluh; Mereka menyebutkan bahwa orang yang abstain dari mengkafirkan musyrik
yang jahil tidak mengerti hakikat Islam. Ini kita dapati pada fatwa bersama para imam; Asy-
Syaikh Abdullah dan Asy-Syaikh Ibrahim, keduanya anak dari Asy-Syaikh Abdullatif bin
Abdurrahman, dan Asy-Syaikh Sulaiman bin Sahman rahimahumullah, dimana mereka berkata;
“Orang ini tidak mengerti hakikat Islam dan tidak mencium semerbaknya meskipun dia
menyandarkan diri kepadanya dan menyangka bahwa dia termasuk dari ahli Islam.” [Durarus
Sanniyyah (10/435)]

Maka perkataan mereka “belum mengerti hakikat Islam” adalah sebagai penjelas atas ucapan
ahli ilmu; bahwa dia bodoh. Maka kebodohannya akan hakikat Islam menjadikan dia menilai
muslim orang yang mengerjakan pembatalnya.

Dan mereka mengatakan; “Dan adapun Al Jahmiyah dan para penyembah kuburan, mereka
tidak dibela dengan teks-teks ini bahwa mereka tidak dikafirkan kecuali oleh orang yang tidak
mengenal hakikat Islam dan ajaran yang Allah utus para nabi-Nya membawanya...” [Durarus
Sanniyyah (10/435)]

K esebelas; Mereka mengatakan bahwa orang yang abstain dari mengkafirkan orang musyrik
yang jahil adalah orang yang agamanya telah tercemar.

Asy-Syaikh Ishaq bin Abdurrahman rahimahullah berkata, saat menjelaskan manhaj Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah; “Bahwa ini merupakan asli ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, -sampai
kepada ucapannya-: “Dia dimintai bertaubat, apabila dia bertaubat (maka dilepas), dan jika
tidak mau maka dibunuh dengan dipenggal kepalanya.” Beliau tidak menyebutkan;
“Diberitahu” dan tidak pula mengatakan “Tidak kafir sampai diberitahu” seperti yang
disangkakan oleh orang yang tidak memiliki ilmu dan orang yang tercemar pada pokok
agamanya.” [Hukmu Takfir Al Mu’ayyan (hal 19)]

Beliau mengatakan ini saat menjabarkan alinea-alinea bantahan Asy-Syaikh Abdullatif bin
Abdurrahman terhadap syubhat-syubhat Ibn Jirjis.

13
14 | P a g e

‫ﺑﺴﻢ اﻟﻠﻪ اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮﺣﻴﻢ‬

Sebagian ucapan ahli ilmu yang menerangkan tentang pokok ajaran Islam. D an
teks dari mereka bahwa orang yang belum mendatangkannya bukan orang Islam

Telah terdapat pada ajaran yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
yang menunjukan bahwa; kufur kepada thaghut dan peribadahan kepada Allah semata tidak
ada sekutu bagi-Nya merupakan syarat sahnya Islam, sebagaimana yang Allah firmankan;

‫َﻬﺎ‬
َ‫َم ﻟ‬
‫ِﺼﺎ‬
َ‫َﻰَﻻ اﻧﻔ‬
ٰ‫ْﺛﻘ‬
‫ْﻮ‬
ُ‫ِة اﻟ‬
‫َو‬
‫ْﺮ‬
‫ُﻌ‬
‫ْﻟ‬
‫ِﺎ‬
‫ﻚ ﺑ‬
َ‫ْﺴ‬
َ‫َﺘﻤ‬
‫اﺳ‬
ْ ‫ِﺪ‬
‫َﻘ‬
‫ﱠﻪَﻓ‬
ِ‫ِﺎﻟﻠ‬
‫ِﻦ ﺑ‬
‫ْﺆﻣ‬
‫ُﻳ‬
‫ُﻮتَو‬
ِ ‫ِﺎﻟﻄﺎﻏ‬
‫ْﺮ ﺑ ﱠ‬
‫ُﻔ‬
‫ﻜ‬
ْ‫َﻦَﻳ‬
‫َﻓﻤ‬
‫ِﻴﻢ‬
ٌ‫ﻋﻠ‬
َ‫ٌﻊ‬
‫ِﻴ‬
‫ﺳﻤ‬
َ‫ﱠﻪ‬
ُ
‫َاﻟﻠ‬
‫و‬
“Maka barangsiapa kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah
berpegang kepada buhul tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Al Baqarah: 256)

Dan seperti yang terdapat dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam;

‫ﻣﻦ وﺣﺪ اﻟﻠﻪ وﻛﻔﺮ ﺑﻤﺎ ﻳﻌﺒﺪ ﻣﻦ دون اﻟﻠﻪ ﺣﺮم ﻣﺎﻟﻪ ودﻣﻪ وﺣﺴﺎﺑﻪ ﻋﻠﻰ اﻟﻠﻪ‬
“Barangsiapa mentauhidkan Allah dan kufur kepada apa-apa yang diibadahi selain Allah, harta dan
darahnya terlindungi. Dan perhitungannya disisi Allah.” Dan dalam riwayat yang lain;
“Barangsiapa mengucapkan Laa ilaaha Illallah.” [HR Muslim dalam kitab Al Iman (no 139,140)]

Dan yang menjadi dalil bahwa menunggalkan Allah dalam peribadahan dan menjauhi thaghut
adalah syarat sahnya tauhid dan Islam adalah penyebutan “man syarthiyyah” (yang artinya
barangsiapa, yang menunjukkan pensyaratan -penerj) pada firman-Nya “ Barangsiapa kufur
kepada thaghut” dan juga pada sabda Nabi-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
“ Barangsiapa mentauhidkan A llah dan kufur kepada apa-apa yang diibadahi
selain A llah, darah dan hartanya terlindungi. D an perhitungannya disisi A llah.”

Penulis kitab A dhwa’ul Bayan berkata; “(Allah) mengisyaratkan bahwa seseorang tidak
dinilai beriman sampai dia kufur kepada thaghut pada firman-Nya “ Barangsiapa kufur
kepada thaghut dan beriman kepada A llah, maka sesungguhnya ia telah
berpegang kepada buhul tali yang sangat kuat” . Dan dipahami dari pensyaratan
bahwa barangsiapa belum kufur kepada thaghut, belum dinilai berpegang dengan buhul tali
yang sangat kuat. Dan demikian hakikatnya. Dan barangsiapa belum berpegang dengan buhul
tali yang amat kuat maka dia berpisah dari keimanan. Karena keimanan kepada Allah itulah al
urwatul wutsqa (buhul tali yang sangat kuat). D an keimanan kepada thaghut mustahil
berkumpul dengan keimanan kepada A llah. K arena kufur kepada thaghut

14
15 | P a g e

merupakan syarat keimanan kepada A llah dan rukun darinya, sebagaimana hal
ini terang pada firman-N ya; “Barangsiapa kufur kepada thaghut… ” [Adhwa’ul Bayan
(1/244)]

Beliau juga berkata; Maka kufur kepada thaghut yang Allah tegaskan bahwa Dia telah
perintahkan kepadanya pada ayat ini merupakan syarat dalam keimanan sebagaimana Allah
Ta’aala terangkan pada firman-Nya;

‫َﻰ‬
ٰ‫ْﺛﻘ‬
‫ْﻮ‬
ُ‫ِة اﻟ‬
‫َو‬
‫ْﺮ‬
‫ُﻌ‬
‫ْﻟ‬
‫ِﺎ‬
‫ﻚﺑ‬
َ‫ْﺴ‬
َ‫َﺘﻤ‬
‫اﺳ‬
ْ ‫ِﺪ‬
‫َﻘ‬
‫ﱠﻪَﻓ‬
ِ‫ِﺎﻟﻠ‬
‫ِﻦ ﺑ‬
‫ْﺆﻣ‬
‫ُﻳ‬
‫ُﻮتَو‬
ِ ‫ِﺎﻟﻄﺎﻏ‬
‫ﺑﱠ‬
“Maka barangsiapa kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah
berpegang kepada buhul tali yang sangat kuat.” (Qs. Al Baqarah: 256) sehingga dapat dipahami
darinya bahwa orang yang belum kufur kepada thaghut, belum dinilai telah berpegang dengan
urwatul wutsqa. Dan barangsiapa belum berpengang dengannya dia terseret bersama dengan
orang-orang yang binasa.” [Adhwa’ul Bayan (7/50)]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata; “Dan peribadahan kepada Allah semata
merupakan pokok agama. Dialah tauhid yang Allah utus para rasul dengan membawanya, dan
Allah karenanya Allah turunkan kitab-kitab Nya. Allah Ta’aala berfirman;

‫ُون‬
َ ‫َﺒﺪ‬
‫ْﻌ‬
‫ًﺔُﻳ‬
‫ِﻬ‬
َ
‫ﻦ آﻟ‬
ِ‫َﻤ‬
ٰ
‫ﱠﺣ‬
ْ‫ُون اﻟﺮ‬
ِ ‫ِﻦ د‬
‫َﺎ ﻣ‬
‫ْﻠﻨ‬
‫َﻌ‬
‫َﺟ‬
َ‫َﺎ أ‬
‫ِﻠﻨ‬
‫ﱡﺳ‬
ُ‫ِﻦ ر‬
‫ِﻚ ﻣ‬
َ‫ْﺒﻠ‬
‫ِﻦَﻗ‬
‫َﺎ ﻣ‬
‫ْﻠﻨ‬
‫ْﺳ‬
َ‫ﻦَأر‬
ْ‫لَﻣ‬
َْ
‫َاﺳﺄ‬
ْ‫و‬
“Dan tanyakanlah (olehmu wahai Muhammad) kepada rasul-rasul Kami yang telah Kami utus
sebelum engkau, "Pernahkah Kami menjadikan selain Allah Yang Maha Pengasih sebagai ilah-ilah
yang disembah?" (Qs. Z ukhruf; 45)

Dan Allah berfirman;

‫ُﻮت‬
َ ‫اﻟﻄﺎﻏ‬
‫ُﻮا ﱠ‬
‫ِﻨﺒ‬
‫َﺘ‬
‫َاﺟ‬
ْ‫ﱠﻪ و‬
َ‫ُوا اﻟﻠ‬
‫ُﺒﺪ‬
‫ﻋ‬
ْ‫َن ا‬
ِ‫ﻮﻻ أ‬
ً‫ﱠﺳ‬ُ‫ٍﺔ ر‬
‫ُﻣ‬
‫ﱠ‬
‫ﻞأ‬‫ِﻲُﻛﱢ‬
‫َﺎ ﻓ‬
‫ْﺜﻨ‬
‫َﻌ‬
‫ﺪَﺑ‬
ْ‫َﻘ‬
‫َﻟ‬
‫َو‬
“Dan sungguhnya Kami telah mengutus pada tiap-tiap umat seorang rasul (untuk menyerukan):
"Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu." (Qs. An-Nahl; 36)

Dan Allah berfirman;

‫ُون‬
ِ ‫ُﺒﺪ‬
‫ﻋ‬
ْ‫َﺎ‬
‫َﺎ ﻓ‬
‫ِﻻَأﻧ‬
‫ﱠ‬‫ٰﻪ إ‬
َ‫َﻟ‬
‫ﱠﻪَﻻِإ‬
ُ‫ِﻪَأﻧ‬
‫َﻴ‬
ْ
‫ُﻮﺣﻲِإﻟ‬
ِ ‫ِﻻ ﻧ‬
‫ﱠ‬‫ﻮل إ‬
ٍ ‫ﱠﺳ‬
ُ‫ِﻦ ر‬
‫ِﻚ ﻣ‬
َ‫ْﺒﻠ‬
‫ِﻦَﻗ‬
‫َﺎ ﻣ‬
‫ْﻠﻨ‬
‫ْﺳ‬
َ‫َﻣﺎَأر‬
َ‫و‬
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan
kepadanya: "Bahwasanya tidak ada yang berhak diibadahi selain Aku, maka sembahlah olehmu
sekalian akan Aku." (Qs. Al Anbiya’; 25) [Majmu Fatawa (3/397)]

Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata;

،‫ وﻫﻮ اﻟﻜﻼم اﻟﻔﺎرق ﺑﻴﻦ أﻫﻞ اﻟﺠﻨﺔ وأﻫﻞ اﻟﻨﺎر‬،‫وأﻳﻀﺎ ﻓﺈن اﻟﺘﻮﺣﻴﺪ أﺻﻞ اﻹﻳﻤﺎن‬
‫ وﻻ ﻳﺼﺢ إﺳﻼم أﺣﺪ إﻻ ﺑﻪ‬،‫وﻫﻮ ﺛﻤﻦ اﻟﺠﻨﺔ‬
“Dan juga sesungguhnya tauhid adalah pokok keimanan, dialah ucapan pembeda antara

15
16 | P a g e

penghuni surga dan penghuni neraka, dialah harga (yang pantas) untuk mendiami surga,
dimana tidak sah iman seseorang dengan meninggalkannya.” [Majmu Fatawa (24/235)]

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata; “Islam adalah mentauhidkan Allah dan beribadah kepada
Allah semata tidak ada sekutu baginya, dan beriman kepada rasul-Nya serta mengikuti ajaran
yang ia bawa. Dan kapan seorang hamba belum mendatangkan ini maka dia bukan muslim.
Kalau bukan kafir yang membangkang maka dia kafir yang jahil. Paling jeleknya kelompok ini
kafir jahil yang bukan pembangkang. Tapi kondisi tidak adanya pembangkangan mereka bukan
berarti mereka tidak kafir. Karena orang kafir adalah orang yang mengingkari pentauhidan
kepada Allah Ta’aala, dan mendustakan rasul-rasul Nya apakah karena pembangkangan atau
karena kebodohan atau karena ikut-ikutan kepada para pembangkang… ” [Thariq Al Hijratain
(hal 608)]

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul W ahhab rahimahullah berkata; “Dan ketahuilah bahwa
tauhid dalam perkara ibadah adalah tujuan Allah menciptakan makhluk-Nya, menurunkan
kitab-kitab Nya dan mengutus rasul-rasul Nya. Dia merupakan pokok agama yang tiada
tercapai bagi seorang pun keislaman kecuali dengan mendatangkannya. Dan Allah tidak
mengampuni orang-orang yang meninggalkannya dan menyekutukan Dia dengan selain-Nya,
sebagaimana firman Allah Ta’aala;

‫إن اﻟﻠﻪ ﻻ ﻳﻐﻔﺮ أن ﻳﺸﺮك ﺑﻪ وﻳﻐﻔﺮ ﻣﺎ دون ذﻟﻚ ﻟﻤﻦ ﻳﺸﺎء‬


“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik dan mengampuni dosa selainnya bagi siapa
yang Allah kehendaki.” (Qs. An-Nisaa; 48, 116) [Durarus Sanniyah (1/129)]

Beliau rahimahullah juga berkata; “Dan sekedar mendatangkan lafal syahadat tanpa memahami
maknanya dan mengamalkan kandungannya tidak menjadikan seorang mukallaf muslim.
Melainkan hal itu menjadi hujjah atas anak Adam, berbeda dengan orang yang menganggap
bahwa keimanan adalah sekedar pengakuan seperti anggapan kelompok Al Karramiyah, atau
keimanan sekedar pembenaran seperti anggapan kelompok Al Jahmiyah… ” [Durarus
Sanniyah (1/522)]

Dan Asy-Syaikh Abdullatif bin Abdurrahman rahimahumallah menerangkan pokok terpenting


dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul W ahhab rahimahullah; “Beliau rahimahullah telah
menegaskan bahwa sekedar mendatangkan lafal syahadat dengan diikuti melanggar
kandungannya berupa pokok-pokok yang tertuang, dan diikuti dengan kesyirikan yang besar
dalam peribadahan, tidak menjadikan seorang mukallaf muslim. Karena maksud dari dua
kalimat syahadat adalah hakikat amalan perbuatan yang mana keimanan tidak terpenuhi
dengan meninggalkannya… ” [Minhaj Ta’sis wat Taqdis (hal 6)]

Dan beliau rahimahullah juga berkata; “Dan semua yang memahami agama Allah mengetahui
dengan ilmu yang darurat bahwa maksud dari dua kalimat syahadat adalah apa yang ditunjuki
olehnya berupa hakikat dan maknanya, serta apa yang dikandung olehnya berupa ilmu dan
amal. Dan adapun sekedar melafalkannya tanpa memahami maknanya dan meyakini hakikat
keduanya ini tidak berguna bagi seorang hamba sama sekali dan tidak membersihkannya dari

16
17 | P a g e

macam-macam kesyirikan dan cabang-cabangnya. Allah Ta’aala berfirman;

‫ﻓﺎﻋﻠﻢ أﻧﻪ ﻻ إﻟﻪ إﻻ اﻟﻠﻪ‬


“Maka ketahuilah bahwa tidak ada yang berhak diibadahi selain Allah.” (Qs. Muhammad; 19)

Dan Dia berfirman;

‫إﻻ ﻣﻦ ﺷﻬﺪ ﺑﺎﻟﺤﻖ وﻫﻢ ﻳﻌﻠﻤﻮن‬


“Kecuali orang-orang yang mempersaksikan kebenaran dan mereka mengetahui.” (Qs. Az-
Z ukhruf; 86)

Maka beriman kepada makna dua kalimat syahadat dan tunduk kepadanya tiada terbayangkan
dan tidak akan tercapai kecuali setelah memahami karena hukum atas sesuatu adalah hasil
dari penggambaran yang utuh. Maka apabila seseorang belum mengetahui dan belum
menangkap gambarannya maka dia seperti orang yang mengigau dan tidur dan seterusnya
dari orang-orang yang tidak memahami apa yang dia ucapkan. Bahkan apabila seseorang
memahaminya tapi tidak jujur dia tidak dinilai telah bersaksi dengannya, bahkan dia
berbohong kendati dia mendatangkan gambaran keduanya (dua kalimat syahadat –penerj).”
[Mishbahuz Z halam (hal 161)]

Dan beliau rahimahullah berkata menerangkan maksud ucapan Al Imam Al Mujaddid saat
berdalil dengan hadits: “Barangsiapa mengucapkan Laa ilaaha Illallah dan dia kufur dengan apa-
apa yang diibadahi selain Allah, harta dan darahnya terlindungi, dan perhitungannya ada disisi
Allah.” HR Muslim dalam Kitab Al Iman (no 139, 400);

“Beliau berdalil dengan jumlah ma’thufah tsaniyah (dan dia kufur dengan apa-apa yang
diibadahi selain Allah) bahwa kufur kepada thaghut dan apa-apa yang diibadahi selain Allah
merupakan syarat dari darah dan hartanya terlindungi dan tidak ada perlindungan dengan
sekedar ucapan dan mengetahui, bahkan tidak ada perlindungan dengan sekedar tidak
beribadah kepada selain Allah sampai dia kufur kepada apa-apa yang diibadahi selain Allah.
Dan kufur kepadanya adalah membencinya, meninggalkannya, menolaknya dan berlepas diri
darinya dan mengenal kebatilannya. Ini semua di dalam Islam adalah keharusan. Allah Ta’aala
berfirman; “Barangsiapa kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah...” (Qs. Al Baqarah;
256). Pada ayat ini Allah menggabungkan antara keimanan kepada Allah dan kufur kepada
thaghut. Dan yang serupa dengan ini ada banyak di dalam Al Qur’an, seperti firman Allah
Ta’aala tentang Ibrahim;

‫ﱠﻪ‬
ُ‫ِﺈﻧ‬
‫ِﻲَﻓ‬
‫َﺮﻧ‬
‫َﻄ‬
َ‫ِي ﻓ‬
‫ﱠﻟﺬ‬
‫ِﻻ ا‬
‫ﱠ‬‫ُون إ‬
َ ‫ُﺒﺪ‬
‫ْﻌ‬
‫ﱠﺎَﺗ‬
‫َاءﱢﻣﻤ‬
ٌ‫ِﻲَﺑﺮ‬
‫ﱠﻧﻨ‬
‫ِﻪِإ‬
ِ‫َﻮﻣ‬
ْ‫ِﻴﻪَوﻗ‬
ِ‫ﻷﺑ‬
َِ‫ِﻴﻢ‬
ُ‫َاﻫ‬
‫ْﺑﺮ‬
‫لِإ‬
َ‫َﺎ‬
‫ْذ ﻗ‬
‫ِإ‬
‫َو‬
‫ِﻳﻦ‬
ِ‫َﻬﺪ‬
ْ
‫ﺳﻴ‬
َ
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Sesungguhnya aku
berlepas diri dari apa-apa yang kamu ibadahi, kecuali yang telah menciptakanku, karena
sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku". (Qs. Z ukhruf: 26-27)

17
18 | P a g e

A yat ini dan yang sebelumnya menunjukkan bahwa kufur kepada thaghut
merupakan syarat yang keislaman tidak dicapai dengan meninggalkannya. Begitu
pula hadits ini, dia seperti ayat-ayat tersebut. Karena keimanan kepada Allah adalah syahadat
dengan “Laa ilaaha Illallah”, tapi kendati begitu Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
menyandingkan dengannya kufur kepada thaghut dalam mencapai apa yang disebut dengan
“berpegang dengan tali yang sangat kuat.” [Mishbahuz Z halam (hal 266)]

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata di dalam tafsir firman
Allah Ta’aala;

‫ﱠﻪ‬
ُ‫ِﺈﻧ‬
‫ِﻲَﻓ‬
‫َﺮﻧ‬
‫َﻄ‬
َ‫ِي ﻓ‬
‫ﱠﻟﺬ‬
‫ِﻻ ا‬
‫ﱠ‬‫ُون إ‬
َ ‫ُﺒﺪ‬
‫ْﻌ‬
‫ﱠﺎَﺗ‬
‫َاءﱢﻣﻤ‬
ٌ‫ِﻲَﺑﺮ‬
‫ﱠﻧﻨ‬
‫ِﻪِإ‬
ِ‫َﻮﻣ‬
ْ‫ِﻴﻪَوﻗ‬
ِ‫ﻷﺑ‬
َِ‫ِﻴﻢ‬
ُ‫َاﻫ‬
‫ْﺑﺮ‬
‫لِإ‬
َ‫َﺎ‬
‫ْذ ﻗ‬
‫ِإ‬
‫َو‬
‫ِﻳﻦ‬
ِ‫َﻬﺪ‬
ْ
‫ﺳﻴ‬
َ
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Sesungguhnya aku
berlepas diri dari apa-apa yang kamu ibadahi, kecuali yang telah menciptakanku, karena
sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku". (Qs. Z ukhruf: 26-27)

: “ K ecuali (A llah) yang telah menciptakan aku” dia (Ibrahim disini) menggabungkan
antara nafi dan itsbat (meniadakan ibadah kepada selain Allah dan menetapkan ibadah hanya
untuk Allah –penerj). Nafi ada pada perkataannya; (Sesungguhnya aku berlepas diri dari
apa yang kamu sembah). Sedangkan itsbat ada pada perkataannya; (kecuali (A llah)
yang menciptakanku). Maka hal ini menunjukkan bahwa tauhid tidak terpenuhi
kecuali dengan kufur (menolak) apa-apa (yang diibadahi –penerj) selain A llah
dan beriman kepada A llah semata. (Maka barangsiapa kufur kepada thaghut dan
beriman kepada A llah berarti dia telah berpegang dengan tali yang sangat
kuat) (Qs. Al Baqarah; 286). Sedangkan mereka beribadah kepada Allah dan beribadah
kepada selainnya juga. Dan Ibrahim disini berkata (kecuali (A llah) yang
menciptakanku). Dalam pengecualian hukum asalnya bersambung kecuali ada dalil yang
menyelisihinya, tapi kendati begitu dia berlepas diri dari mereka.

Dan terdapat pada sebagian negeri Islam orang-orang yang shalat, berzakat, puasa dan haji
tapi mereka juga pergi ke kuburan sujud dan ruku’ kepadanya. Mereka orang-
orang kafir bukan ahli tauhid dan tidak diterima dari mereka ibadah apa pun.
Dan ini diantara yang paling berbahaya atas masyarakat Islam. Karena melakukan kekufuran
dengan (peribadatan –penerj) kepada selain Allah bagi mereka bukan apa-apa. Ini adalah
kejahilan dari mereka dan kelalaian dari ulamanya. Karena orang awam hanya mengikuti
orang alimnya. Tapi sebagian orang –kita berlindung kepada Allah- adalah ulama negara bukan
ulama agama. [Majmu’ Fatawa (9/139)]

18
19 | P a g e

19

Anda mungkin juga menyukai