Anda di halaman 1dari 23

Pemasaran Politik Eva Dwiana dalam prakitik Patronase dan Klintelisme

menjelang Pilkada 2020

(Jurnal)

Oleh

Yudha Priyanda

1716021075

Jurusan Ilmu Pemerintahan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Lampung 2019


ABSTRAK

Pemasaran politik yang di lakukan oleh Eva Dwiana berdekataan dengan


praktik patronase dan klintelisme. Pemararan politik yang di lakukan beliau
menggunakan dan mengandalkan nama besar suami yaitu Herman HN dengan
menyampaikan program-program dan pencapaian beliau. Praktik patronase
dan klintelimse ini dapat terlihat dari prilaku pemilih Kota Bandar Lapung
saat kemenangan telak Eva Dwianana pada kontestasi pemilihan legislatif.
Brending politik yang di lakukan dengan memuji keberhasilan Herman HN
tentunya berjalan bersama dengan kajian-kajian para akademisi yang secara
tegas mengkritik pemerintahan Herman HN. Prilaku pemilih yang cenderung
melihat dengan sebelah mata akan berakibat menjual suaranya dan tunduk
pada kekuasaan.

Kata kunci : Pemasaran politik, Eva Dwiana, Patronase Klintelisme


ABSTRACT

Political marketing carried out by Eva Dwiana is in close agreement with the
practice of patronage and clintellism. The political pemararan that he did was
using and relying on the big name of his husband, Herman HN, by conveying his
programs and achievements. The practice of patronage and clintelimse can be
seen from the behavior of Bandar Lapung City voters during Eva Dwianana's
landslide victory in the legislative election contestation. The political branding
done by praising Herman HN's success certainly goes hand in hand with the
studies of academics who explicitly criticize Herman HN's government. The
behavior of voters who tend to look with one eye will result in selling their votes
and subject to power.

Keywords: Political marketing, Eva Dwiana, Clintellism Patronage


A. Pendahuluan

Demokrasi yang dianut di Indonesia, yaitu demokrasi berdasarkan Pancasila


yang sejalan dan relevan bagi negara yang prural. Pancasila telah memberikan
kesempatan bagi seluruh golongan yang berbeda untuk dapat menyuarakan hak-
hak asasinya. Dalam perjalanan panjangnya, hak-hak politik bagi golongan
minoritas terus berkembang dengan masif. Dalam UU No.2 Tahun 2008
mengamanahkan parpol untuk menyertakan keterwakilan wanita minimal 30
persen, yang merupakan representasi perbaikan demokrasi di Indonesia.

Peranan kaum perempuan dalam aktivitas politik ini merupakan kemajuan


besar dalam dekontruksi budaya patriarkis (budaya yang memposisikan kaum
laki-laki lebih tinggi dibandingkan kaum perempuan) pada realitas sosial. Budaya
patriarkis bercirikan ketidak adilan gender antara kaum laki-laki dan perempuan.
Kaum perempuan selalu berada pada posisi tidak menguntungkan, termarginalkan
dan terpinggirkan. Kaum laki-laki mendominasi dan menguasai (hegemoni) pada
hampir seluruh lini kehidupan, termasuk politik. (Subadio Maria Ulfa, 2006: 12
dalam Tessi Meissa 2016: 1).

Arah perjuangan aktivitas perempuan dalam dunia politik semakin


mengemuka dan menunjukkan adanya kesetaraan gender antara perempuan dan
laki-laki. Kaum perempuan kini tidak lagi digambarkan sebagai sosok yang lebih
rendah dibandingkan kaum laki-laki. Perempuan menjadi mitra laki-laki dan
bukan sebagai pesaing, karena secara fundamental laki-laki dan perempuan itu
pada dasarnya satu. Laki-laki dan perempuan adalah pelengkap bagi yang lain,
salah satu dari mereka tak akan bisa hidup tanpa aktivitas bantuan yang lain.

Dalam konteks demokratisasi lokal di Lampung, kaum perempuan telah


berpartisipasi secara aktif dan sejajar dengan kaum laki-laki, khususnya dalam
Pemilihan Kepala Daerah pada tahun 2019 dengan kemenangan Arinal Junaidi
sebagai Gubernur dan Chusnunia Chalim sebagai wakil Gubernur. Sebelum
menjabat sebagai Wakil Gubernur beliau juga menjabat sebagai bupati, di
Kabupaten Lampung Timur periode 2015-2019.
Kehadiran perempuan dalam konteks politik telah membuka mata dan
meluruskan pandangan dan kesadaran baru, bahwa kaum perempuan memiliki hak
dan perlakuan yang sejajar sebagaimana laki-laki. Kedudukan bagi kaum
perempuan dewasa ini merupakan bagian dari keutuhan pembangunan bangsa di
segala bidang kehidupan masyarakatnya (Arman Budiman, 2002: 42 dalam Tessi
Meissa 2016: 1).

Menarik untuk di kaji secara mendalam, dengan kehadiran wanita dalam


tubuh perpolitikan apakah memberikan pemerintahan yang sesuai dengan prinsip
good governace, pada dasaranya tarik menarik kepentingan selalu hadir dalam
dunia politik. Sebagai contoh pada saat Herman HN yang mendapatkan survei
dukungan yang sangat tinggi, yang pada awal mulanya akan di calonkan sebagai
bakal calon Gubernur Lampung pada pilkada 2015, namun pada akhirnya PDIP
mencalonkan Berlian Tihang dan Mukhlis Basri.

Dalam konteks tarik menarik kepentingan di Provinisi lampung kehadiran


perempuan diharapkan mampu memberikan warna pembaharuan yang
mengakomodir kepentingan rakyat secara menyeluruh bukan kepentingan
golongan. Menjelang pilkada tahun 2020 sosok wanita yang di gadang-gadang
akan mencalonkan diri maju sebagai Calon walikota Bandar Lampung adalah Eva
Dwiana. Elektabilitas yang tinggi Eva Dwiana dibuktikan dengan meraih suara
terbanyak dalam pemilihan legislatif. (sumber tribunews.com di akses pada 9
november 2019 https://www.tribunnews.com/regional/2019/06/24/raih-suara-
terbanyak-di-lampung-bunda-eva-dinilai-layak-jadi-ketua-dprd).

Tingginya elektabilitas Eva dwiana tidak lepas dari pernanan nama besar
sang suami Herman HN yang telah menjabat sebagai walikota Bandar Lampung
sebnyak 2 periode. Selaian di akibatkan nama besar suamai, Eva Dwiana juga
aktif sebagai ketua PKK yang kerap kali menghadiri acara-acara yang
mendekatkan dirinya pada masarakat, dan merupakan bentuk pemasaran politik
yang dilakukan beliau. Menurut Firmanzah (2008: 132 dalam Tessis Meissa 2016:
4), peranan penting pemasaran politik (political marketing) dalam konteks
demokratisasi diaktualisasikan dengan strategi-strategi marketing merupakan cara
yang tepat untuk menghasilkan kemenangan dalam Pemilu. Tentunya metode dan
konsep marketing memerlukan adanya adaptasi dengan situasi dan kondisi politik.
Partai politik dan kontestan sangat membutuhkan metode efektif untuk bisa
membangun hubungan jangka panjang dengan konstituen dan masyarakat luas.
Marketing, yang diadaptasi dalam dunia politik, dapat digunakan untuk
meningkatkan efisiensi dan efektivitas transfer ideologi dan program kerja, dari
kontestan ke masyarakat dan marketing juga dapat memberikan inspirasi tentang
cara kontestan dalam membuat produk berupa isu dan program kerja berdasarkan
permasalahan-permasalahan yang sedang dihadapi masyarakat.

Menarik untuk dicermati marketing politik yang kerap di praktikan di


Indonesia yaitu memunculkan patronase dan klintelisme. Patron klien tumbuh
subur pada masyarakat yang memiliki persoalan sosial, dan ekonomi yang
komplek seperti minimnya sumber daya alam yang tersedia. Lapisan sosial
masyarakat yang mengalami umumnya di kalangan petani, nelayan, dan
pedagang. Di pedesaan atau pinggiran kota, bentuk hubungan antara patron (tuan)
klien (pekerja), dengan cara memberikan bantuan terhadap keperluan klien
misalnya kemudahan untuk memperoleh lapangan usaha, pinjaman untuk
kebutuhan mendadak (sakit, biaya sekolah anak, konsumtif). Klien menerima
kebaikan tersebut sebagai ”hutang budi”, menghargai, dan berkomitmen untuk
membantu patron dengan jasa dan tenaga yang mereka miliki. Pola-pola relasi
sosial yang demikian dapat dilihat pada hubungan antara patron yang memiliki
modal besar dengan para buruh dan orangorang di sekitarnya yang kemampuan
ekonominya terbatas. (Muhamad, Ramli 2016 : 13).

Nilai-nilai yang mendasari hubungan patron-klien merupakan nilai-nilai


yang kurang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi dan birokrasi modern. Dalam
hubungan patron-klien baik patron maupun klien masing-masing pihak tidak
diinginkan bersikap kritis terhadap pihak yang lain. Salah satu pandangan utama
yang mendasari relasi ini adalah "right or wrong my patron/leader" (pada pihak
klien) dan "right or wrong my client/ follower" (pada pihak patron). Seorang klien
tidak akan menyalahkan atau mencela patronnya, tetapi akan membela matimatian
atau sebisanya. Demikian pula patronnya. Oleh karena itu, kekalahan seorang
patron dalam suatu pemilukades tidak akan mudah diterima. Jika klien atau
pengikut menerima begitu saja kekalahan tersebut akan muncul kesan bahwa klien
tidak berbuat apa-apa atas kekalahan tersebut atau tidak membalas jasa patron
kepada klien. (Muhamad, Ramli 2016 : 15).

Dalam konteks pemilihan kepala daerah kota Bandar Lampung, kehadiran


Eva Dwiana di bursa Calon Walikota pola kerja klintelisme dan patronase dalam
stargei pemasaran politik sangat besar terjadi. Elektabilitas yang tinggi sang suami
dan elektabilitas Eva Dwiana jadi faktor utamanya. Maka dalam tulisan kali ini
penulis mencoba menganaisis hal tersebut secara mendalam.

B. Pengertian Pemasaran Politik

Nursal (2004) dalam Nasira (2015) mengatakan bahwa political marketing


atau pemasaran politik adalah serangkaian aktivitas terencana, strategis dan juga
taktis, berdimensi jangka panjang dan jangka pendek, untuk menyebarkan makna
politik kepada para pemilih. Menurut Menurut Firmanzah (2008) dalam Nasira
(2015) filosofi marketing memberikan arahan bagaimana kita bisa menerapkan
ilmu marketing dalam dunia politik. Karena pada dasarnya ilmu marketing
melihat bahwa kebutuhan konsumen (stakeholder) adalah hal terpenting sehingga
perlu diidentifikasi dan dicari bagaimana memenuhi kebutuhan tersebut. Konsep
marketing komersial berdasarkan pada premis bahwa semua perencanaan dan
operasi perusahaan berorientasi pada pemuasan konsumen (stakeholder). Menurut
Firmanzah (2008), marketing politik adalah konsep permanen yang harus
dilakukan terus-menerus oleh sebuah partai politik atau kontestan dalam
membangun kepercayaan dan image publik.

Membangun kepercayaan dan image ini hanya bisa dilakukan melalui


hubungan jangka panjang, tidak hanya pada masa kampanye. marketing politik
harus dilihat secara komprehensif:

a. Marketing politik lebih daripada sekadar komunikasi politik

b. Marketing politik diaplikasikan dalam seluruh proses organisasi partai


politik. Tidak hanya tentang kampanye politik tetapi juga sampai pada
tahap bagaimana memformulasikan produk politik melalui pembangunan
simbol, image, platform, dan program yang ditawarkan.

c. Marketing politik menggunakan konsep marketing secara luas, tidak


hanya terbatas pada teknik marketing, namun juga sampai strategi
marketing, dari teknik publikasi, menawarkan ide dan program, dan desain
produk sampai ke market intelligent serta pemrosesan informasi

d. Marketing politik melibatkan banyak disiplin ilmu dalam


pembahasannya, seperti sosiologi dan psikologi. Misalnya produk politik
merupakan fungsi dari pemahaman sosiologis mengenai simbol dan
identitas, sedangkan faktor psikologisnya adalah kedekatan emosional dan
karakter seorang pemimpin, sampai ke aspek rasionalitas platform partai.

e. Marketing politik bisa diterapkan dalam berbagai situasi politik, mulai


dari pemilihan umum sampai ke proses lobi di parlemen Sesuai dengan
penjelasan di atas maka diketahui bahwa marketing politik bukan
dimaksudkan untuk 'menjual' kontestan pada publik, melainkan sebagai
teknik untuk memelihara hubungan dengan publik agar tercipta hubungan
dua arah yang langgeng.

C. Peran Marketing Politik

Menurut Firmanzah (2008) dalam Nasira (2015) marketing politik


memiliki peran yang ikut menentukan dalam proses demokratisasi. Di negara-
negara maju, partai-partai politik mengerahkan kemampuan marketing mereka
untuk merebut sebanyak mungkin konstituen. Berbagai teknik yang sebelumnya
hanya dipakai dalam dunia bisnis, sekarang ini telah dicangkokkan ke dalam
kehidupan politik. Semakin canggih teknik marketing yang diterapkan dalam
kehidupan politik. Para anggota tim sukses berusaha 'menjual' jago mereka
dengan berbagai cara yang seringkali kita rasakan tak ada bedanya dengan
mengiklankan produk di media, mempromosikan outdoor maupun indoor. Segala
taktik dipakai agar rating jago mereka tinggi dan rakyat memilihnya di bilik-bilik
suara. Selain itu, marketing politik dapat memperbaiki kualitas hubungan antara
kontestan dengan pemilih. Pemilih adalah pihak yang harus dimengerti, dipahami
dan dicarikan jalan pemecahan dari setiap permasalahan yang dihadapi. Marketing
politik meletakkan bahwa pemilih adalah subjek, bukan objek manipulasi dan
eksploitasi. Marketing politik tidak hanya bisa diterapkan di negara-negara maju,
di negara-negara berkembang pun hukum-hukum marketing perlu diterapkan
dalam dunia politik untuk menarik sebanyak mungkin pemberi suara. Marketing
politik tidak menentukan kemenangan sebuah partai politik atau kandidat
Presiden. Marketing politik hanyalah sebuah metode dan peralatan bagi partai
politik atau calon presiden untuk melakukan pendekatan kepada publik.
Sistematisasi pendekatan yang dilakukan oleh kandidat perlu dilakukan mengingat
selalu terdapat keterbatasan sumberdaya yang dimiliki setiap kandidat. Persaingan
merupakan fenomena yang tidak dapat dihindarkan dalam iklim demokrasi.

Dalam kondisi persaingan politik, masing-masing kontestan membutuhkan


cara dan metode yang tepat untuk bisa memenangkan persaingan. mengukur
kemenangan dalam dunia politik dilakukan dengan melihat siapa yang keluar
sebagai pemenang dalam pemilihan umum. Namun, kemenangan ini juga harus
dikaji dan dianalisis dengan hati-hati mengingat perimbangan kekuasaan yang ada
di antara partai-partai politik. Di kebanyakan negara berkembang, peran dan
fungsi politik dilakukan oleh sekelompok kecil elit politik. Karena itu, seringkali
mekanisme politiknya sangat ditentukan oleh dinamisitas elit-elit politik.

Mobilisasi massa digerakkan oleh elit-elit politik. Orientasi pada tokoh


masih terasa kuat. Satu tokoh yang berpengaruh akan menentukan berhasil
tidaknya upaya suatu kelompok atau partai dalam perebutan kursi. Kesadaran
masyarakat kelas bawah relatif kecil untuk ikut serta mewarnai kebijakan-
kebijakan publik. Masyarakat kelas bawah masih pasif dan lebih banyak
menunggu untuk digerakkan oleh elit politik. Hal ini tentunya membawa
konsekuensi bahwa masyarakat kelas bawah seringkali dijadikan objek politik
oleh para elit. Mobilisasi mereka dilakukan untuk pencapaian tujuan elit politik.
Selain itu, konsekuensi dari politik yang sangat tersentralisasi membuat kontrol
sosial sulit dilakukan.
Fungsi kontrol lebih banyak dilakukan oleh kekuatan-kekuatan oposan elit
politik. Begitu tersentralisasinya sehingga masyarakat lapisan bawah tidak dapat,
atau sulit, mendapatkan informasi. Hal ini menyulitkan mereka untuk
menganalisis apa sebenarnya yang terjadi. Marketing politik dapat berperan dalam
pendistribusian informasi sehingga memudahkan akses pada informasi yang
dulunya sulit dijangkau.

Besarnya peran para tokoh elit di negara-negara berkembang memberikan


kesan bahwa marketing politik tidak diperlukan. Padahal tidak demikian. Fungsi
marketing politik bukan sekadar untuk mempromosikan tokoh atau tokoh-tokoh
partai belaka. Marketing politik juga berfungsi dalam pembelajaran politik
kalangan bawah. Tujuan utama interaksi sosial dalam suatu masyarakat adalah
membuat suatu sistem dapat memberdayakan (empowering) dan memampukan
(enabling) masyarakat menjadi kritis. Masyarakat kritis yang dimaksudkan, dalam
hal ini adalah masyarakat yang memiliki landasan dan kemampuan untuk terus
menyikapi dan mengkritisi setiap perkembangan kondisi yang ada. Sikap kritis ini
terutama ditujukan pada setiap kebijakan dan keputusan elit politik.

Masyarakat yang kritis adalah masyarakat yang, dalam beberapa hal,


mengetahui dari mana mereka berasal, mengetahui bagaimana evolusi berjalan
untuk mencapai tahapan sekarang, juga, untuk memahami tujuan kolektif yang
ingin dicapai. Masyarakat kritis juga masyarakat yang dapat mengevaluasi setiap
aktivitas politik, baik yang dilakukan elit politik, partai politik atau kontestan
individual.

D. Pengertian Patronase

Menurut Shefter (1977) dalam Rekha Aji (2017) Patronase adalah sebuah
pembagian keuntungan di antara politisi untuk mendistribusikan sesuatu secara
individual kepada pemilih, parapekerja atau pegiat kampanye, dalam rangka
mendapatkan dukungan politik dari mereka. Dengan demikian, patronase
merupakan pemberian uang tunai, barang, jasa, dan keuntungan ekonomi lainnya
(seperti pekerjaan, jabatan di suatu organisasi atau pemerintahan atau kontrak
proyek) yang didistribusikan oleh politisi, termasuk keuntungan yang ditujukan
untuk individu (misalnya, amplop berisi uang tunai) dan kepada kelompok/
komunitas (misalnya, lapangan sepak bola baru untuk para pemuda di sebuah
kampung). Patronase juga bisa berupa uang tunai atau barang yang didistribusikan
kepada pemilih yang berasal dari dana pribadi (misalnya, dalam pembelian suara
atau biasa dikenal money politics dan vote buying) atau dana-dana publik
(misalnya, proyek-proyek pork barrel yang di biayai oleh pemerintah). Dalam
literatur Ilmu Politik, Pork barrel adalah salah satu bentuk dari politik distributif,
dimana politisi (baik lembaga legislatif maupun eksekutif) berusaha untuk
mengalokasikan sumber daya material dari negara kepada pendukungnya dalam
kerangka mobilisasi dukungan elektoral. Para politisi berusahamewujudkan
program yang konkret kepada konstituennya dalam rangka terpilih kembali di
pemilu berikutnya. Dari sisi yang lain, konstituen berusaha mendapatkan program
material dari negara untuk memenuhi kebutuhan mereka. Praktik ini sebenarnya
berlangsung di banyak negara, termasuk negara-negara yang demokrasinya sudah
mapan. Pork barrel juga sering disebut sebagai politik distribusi (distributive
politics) dapat di definisikan sebagai suatu bentuk penyaluran bantuan materi
(sering dalam bentuk kontrak, hibah, atau proyek pekerjaan umum) ke kabupaten/
kota dari pejabat terpilih. Secara umum, dapat dikatakan bahwa pork barrel
berasosiasi dengan proyek-proyek pekerjaan publik seperti proyek pebaikan jalan,
perbaikan fasilitas di sekitar sungai, dan perbaikan pelabuhan. Proyekproyek
perbaikan fasilitas publik tersebut sering dijadikan contoh klasik pork barrel yang
disitir dalam banyak literatur kajian politik pork barrel. Hal ini bukan berarti
bahwa pork barrel hanya mencakup proyek-proyek fisik berupa perbaikan fasilitas
publik, tetapi pork barrel juga dapat mengambil bentuk distribusi kesejahtraan
Stokes, (2013) dalam Rekha Aji (2017).

Meskipun demikian, ada perbedaan antara patronase dengan materi-materi


yang bersifat programatik (programatic goods), yaitu materi yang diterima oleh
seorang yang menjadi target dari program-program pemerintah, misalnya,
program kartu pelayanan kesehatan yang menawarkan perawatran gratis untuk
penduduk miskin. Perbedaan antara patronase dan klientelisme juga dapat ditilik
dari karakteristiknya masing-masing. Karakteristik yang memberikan ciri spesifik
dari patronase adalah relasi patron-klien yang bersifat personal, informal,
sukarela, resiprokal, tidak setara, dan bersifat dua arah. Sedangkan karakteristik
utama dari klientelisme menurut adalah bersifat timbal-balik, hierarkis, dan
berulang (tidak terjadi sekali saja). Ada juga keterangan bahwa relasi dua arah
(dalam patronase) bisa saja berubah menjadi tiga arah jika si patron berubah
menjadi Perantara yang menjembatani klien mereka dengan komunitas di luarnya,
inilah yang kemudian di sebut sebagai klientelisme. Itulah mengapa banyak studi
yang kemudian memberikan judgement bahwa salah satu ciri utama lainnya dari
kelientelisme adalah adanya sosok Perantara. Namun, tidak setiap praktek
patronase juga bersifat klientelistik. Kandidat yang memberikan sumber daya baik
berupa barang maupun jasa kepada pemilih yang tidak pernah ditemui oleh sang
kandidat atau tidak akan ditemui lagi tidak dapat dipahami sebagai klientelisme.
Sebab, karakter lain yang melekat pada relasi klientelistik adalah adanya relasi
berulang (iterative) dan bukan relasi tunggal (one-off). Dengan demikian, dalam
sebuah relasi, elemen timbal balik kadang tidak terjadi karena si penerima
pemberian tidak merasa terbebani untuk membalas pemberian sang patron dengan
cara si penerima memilih sang paron dalam pemilu. Oleh sebab itu, bagi kajian
tersebut, relasi pertukaran sumber daya yang saling menguntungkan dapat
menjadi relasi patronase, namun tidak semua relasi patronase memiliki karakter
relasi klientelistik.

E. PENGERTIAN KLINTELISME

Secara harfiah istilah klientelisme berasal dari kata “cluere” yang artinya
adalah “mendengarkan atau mematuhi”. Kata ini muncul pada era Romawi kuno
yang menggambarkan relasi antara “clientela” dan “patronus”. “Clientela” pada
era ini adalah istilah untuk menyebut kelompok orang yang mewakilkan suaranya
kepada kelompok lain yang disebut “patronus”, yang merupakan sekelompok
aristokrat. Selanjutnya, disebutkan bahwa “clientela” merupakan pengikut setia
dari “patronus” Muno (1996) dalam Rekha Aji (2017).. Konsep klientalisme
sering ditempatkan dalam posisi yang memiliki arti berbeda dengan patronase
(patronage). Konsep patronase didefinisikan sebagai relasi dua arah ketika
seorang yang memiliki status sosial ekonomi yang

lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber daya yang


dimilikinya untuk memberikan perlindungan pada orang lain yang memiliki status
sosial ekonomi yang lebih rendah (klien) yang memberikan dukungan dan
bantuan kepada patron Scott, (1972) dalam Rekha Aji (2017). Terdapat beberapa
karakter yang memberikan ciri spesifik patronase. Karakteristik tersebut
mencakup relasi patron-klien yang bersifat personal, informal, sukarela,
resiprokal, tidak setara dan bersifat dua arah. Relasi dua arah dapat berubah
menjadi relasi tiga arah apabila di dalam suatu komunitas, patron juga berfungsi
sebagai Perantara untuk menjembatani relasi klien mereka dengan pihak-pihak
lain di luar komunitas mereka. Klientelisme adalah jaringan antara orangorang
yang memiliki ikatan sosial, ekonomi dan politik yang didalamnya mengandung
elemen iterasi, status inequality dan resiprokal Tomsa & Ufen (2012) dalam
Rekha Aji (2017). Kemudian, klientelisme juga adalah relasi kuasa antara patron
dan klien yang bersifat personalistik, resiprositas, hierarkis dan iterasi. Maka
dapat dipastikan bahwa klientelisme berbicara tentang jaringan atau relasi.
Jaringan tersebut mengandung relasi kuasa yang tidak setara dimana patron
memiliki kuasa penuh terhadap jaringan tersebut. Dalam kajian politik,
klientelisme diartikan sebagai jaringan yang dikuasai patron untuk mengintervensi
kliennya Dari pendapat ahli ini dapat diketahui bahwa klientelisme memiliki
beberapa elemen kunci. Tiga elemen klientelisme yaitu iterasi, asimetri, dan
resiprositas. Selain itu, menurut ahli lain empat komponen klientelisme yaitu
personalistik, resiprositas, hirarki dan iterasi Aspinall, (2015) Rekha Aji (2017).
Namun dari dua ahli tersebut, setidaknya dapat ditarik benang merah bahwa
klientelisme memiliki empat elemen karakteristik: iterasi, asimetris, resiprositas
dan personalistik.
F. METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan dengan metode


kualitatif. Metdode yang digunakan oleh penulis mencoba memahami secara
mendalam dengan mendapatkan data dari literatur berupa jurnal dan buku.
Penelitian ini bersifat deskriftif analisis yaitu penelitian yang bertujuan
memberikan gambaran atas sebuah permasalahan dengan melalui kegiatan analisis
dan penelitian. Deskriptif berarti menjelaskan apa yang dimaksud oleh teks
peneliti. dan Fokus penelitian pada jurnal ini menyatakan pokok persoalan apa
yang menjadi pusat perhatian dalam penelitian kualitatif. Hal ini karena penelitian
kualitatif tidak dimulai dari sesuatu yang kosong atau tanpa masalah, baik
masalah-masalah yang bersumber dari pengalaman peneliti atau melalui
kepustakaan ilmiah Moleong, (2005) dalam Melisa (2016).

Pada prinsipnya fokus penelitian dimaksudkan untuk dapat membantu


penulis agar dapat melakukan penelitiannya sehingga hanya akan ada beberapa
hal atau beberapan aspek yang dapat diarahkan penulis sesuai dengan tema yang
telah ditentukan sebelumnya.

Menurut Moleong (2005) dalam melisa (2016), penelitian kualitatif pada


umumnya mengambil jumlah informan yang lebih kecil dibandingkan dengan
bentuk penelitian lainnya. Unit analisis dalam penelitian ini adalah individu atau
perorangan. Untuk memperoleh informasi yang diharapkan, peneliti terlebih
dahulu menentukan informan yang akan dimintai informasinya. Pada penelitian
kualitatif tidak ada informan acak tetapi bertujuan (purposive). Informan
penelitian ini adalah Eva Dwiana (sebagai informan primer). Data primer yang di
dapatkan penulis adalah pada saat menghadiri acara Dialog Publik Tribun di Hotel
Horison.
G. PRAKTIK PATRONASE DAN KLINETLISME EVA
DWIANA

Bentuk hubungan kekuasaan antara patron dan klien menjadi suatu norma
yang menjadi kekuatan moral tersendiri dimana didalamnya berisi hak-hak
dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak. Hak dan
kewajiban di fungsikan dalam hubungan keterikatan sejauh memberikan
jaminan kebutuhan, perlindungan, dan keamanan dasar bagi klien. Usaha-
usaha yang dilakukan untuk merumuskan kekuasaan dalam mempertahankan
kedudukan maupun keuntungan, berupa bantuan bantuan. Bentuk kekuasaan
ini berlaku semestinya karena pada dasarnya hubungan sosial adalah
hubungan antar kelas atau status dimana masing-masing membawa perannya.
Peran ini berdasarkan fungsi masyarkat dan bergerak sesuai dengan bidangnya
masing-masing. Hubungan kekuasaan yang terjalin antara tokoh masyarakat
(patron) dengan masyarakat (klien) dapat di tukar dengan memberikan
dukungan suara kepada bakal calon Eva Dwiana. Olehnya itu, bentuk
kekuasaan yang terbangun adalah balas jasa yang dapat memperoleh
keuntungan-keuntungan dari adanya pertukaran kepentingan yang dilakukan
masing-masing pihak. Dengan adanya bentuk hubungan yang terjalin maka
dapat dikatakan dalam hubungan ini terjadi simbiosis mutualisme (hubungan
saling menguntungkan) antara Eva Dwiana (patron) dengan masyarakat
(klien).

Hubungan patron-klien yang dimaksud disini adanya kepentingan yang


ingin dicapai oleh Eva Dwiana (patron) melalui kekuasaan politik, dan
ekonomi. Sehingga dapat terjalin hubungan balas jasa dari masyarakat petani
(klien) yang diberikan bantuan tersebut. Proses terbentuknya sistem
menguasai dalam kehidupn masyarakat petani (klien) terjadi ketika tokoh
masyarakat (patron) memiliki peranan atau kemampuan dalam memenuhui
keinginan masarakat dengan terjun dan membagi-bagikan hadiah kepada
masarakat Kota Bandar Lampung. Kemudian masyarakat mempunyai rasa
tanggung jawab untuk membalas jasa terhadap apa yang telah diberikan oleh
tokoh masyarakat (patron). Bentuk hubungan politik ini kemudian dianggap
semakin memperkuat kedudukan seorang tokoh masyarakat (patron) di daerah
tersebut dalam setiap ajang politik, mulai dari pemilihan presiden sampai pada
tingkat pemlihan kepala desa. Hubungan ini yang kemudian dianggap sebagai
hal yang melegitimasi kekuasaan untuk mengarahkan kemenangan suatu
calon.

a). Praktik Pemasaran Politik Majelis Taklim

Majelis taklim berasal dari bahasa Arab yaitu majlis yang berarti tempat
duduk, sedangkan ta’lim berarti pengajaran. majelis taklim dapat di artikan sebgai
tempat berkumpulnya seseorang untuk menuntut ilmu (khususnya ilmu agama)
bersifat nonformal. Majelis Taklim Rachmat Hidayat adalah suatu tempat, wadah
atau sarana perkumpulan kelompok-kelompok pengajian ibu-ibu dibentuk oleh
Hj. Eva Dwiyana istri dari Walikota Herman HN, dengan tujuan untuk membuka
pikiran ibu-ibu bahwa pengajian ini selain meningkatkan iman dan takwa kepada
Allah Swt juga ajang silaturahmi. diberi nama Rachmat Hidayat diambil dari
nama anak sulungnya Alm Rachmat Hidayat. kantor seketariat Majelis Taklim
Racmat Hidayat terletak di Jalan Teuku Umar Kedaton Bandar Lampung.

Majelis Taklim Rachmat Hidayat dibentuk oleh bunda Eva sapaan akrab nya,
diawali dari lingkungan tempat tinggalnya Korpri Sukarame pada 2008. Saat itu,
minat ibu-ibu di sana untuk mengikuti majelis taklim sangat rendah. Terlihat dari
jumlah yang hadir pada pengajian yang dilaksanakan dari rumah ke rumah. Ketua
Majelis Taklim Rachmat Hidayat ini mengungkapkan, sampai suatu hari ia
diminta ibu-ibu pengajian untuk menjadi pembicara. “Padahal, saya menyadari
cara penyampaian saya tidak begitu baik. Tetapi, alhamdulillah, dapat menyentuh
hati mereka dan jumlah yang ibu-ibu yang datang semakin banyak”.
(http://www.bandarlampungnews.com/index.php?k=
wawancara&i=566Eva%20Dwiyana%20Herman:%20Perempuan%20adal
ah%20Fondasi%20Keluarga diunduh tanggal 19 November 2019). Kelompok
pengajian Majelis Takllim Rachmat Hidayat rutin mengadakan tabligh akbar
setiap bulan dengan mendatangkan ustadz-ustadz terkenal dari ibukota bunda Eva
memiliki berbagai macam cara untuk meningkatkan semangat ibu-ibu dengan cara
sering mengadakan kegiatankegiatan seperti jalan sehat dengan hadiah istimewa
yakni ibadah umroh, mobil, dan lainya. selain itu mengadakan bantuan sosial
masyarakat dengan meringankan beban masyarakat miskin dengan program
bantuan bedah rumah." Ujar ketua Majelis Taklim Rachmat Hidayat, Eva Dwiana
Herman HN. Kamis, 19 Mei 2014. (http://www.saibumi.com/artikel53904-
majelis-taklim-rachmat-hidayat-lampung-bedah-rumah-.html diunduh pada 19
November 2019).

b). Mayoritas pekerjaan warga Kota Bandar Lampung Sebagai sebab


Patronase politik

Menurut data BPS Kota Bandar Lampung pekeja dari sektor Pertanian,
Kehutanan, Perburuan, dan Perikanan/Agriculture, Forestry, Hunting, and
Fisheries sebanyak 16391, Pertambangan dan Penggalian/Mining and
Quarrying sebanyak 1009, industri Pengolahan/Manufacturing Industry, Listrik,
Gas, dan Air/Electricity, Gas, and Water sebanyak 1733,
Bangunan/Construction sebanyak 42511, Perdagangan Besar, Eceran, Rumah
Makan, dan Hotel/Wholesale Trade, Retail Trade, Restaurants, and Hotels
sebanyak 163 331, lalu pekerja di bidang Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan
Perorangan/Community, Social, and Personal Services sebanyak 87 609.
(https://bandarlampungkota.bps.go.id/statictable/2017/01/12/133/jumlah-
penduduk-berumur-15-tahun-ke-atas-yang-bekerja-selama-seminggu-yang-lalu-
menurut-lapangan-pekerjaan-utama-dan-jenis-kelamin-di-kota-bandar-lampung-
2015.html di akses pada 1 Desember 2019)

Berdasarkan data diatas jumlah pekerja tersebesar adalah 87 609 di bidang


Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan. Dengan data jumlah penduduk
mayoritas bekerja dibidang jasa maka untuk menarik hati masarakat kota Bandar
Lampung Eva Dwiana kerap kali menghadiri acara talk show dengan upaya
membagikan hadiah-hadiah kepada para pesertanya dengan brending dan ajakan
untuk mencintai apa yang telah suaminya kerjakan sebagai walikota Bandar
Lampung (Herman HN).
Pekerjaan di bidang jasa sangat amat memerlukan kemudahan-kemudahan
dalam menjalankanya, brending yang selalu di bangun Eva Dwiana adalah
“semua lancar di tangang Herman HN” yang bermaksud Eva Dwiana juga
demikian yang tentunya mengakibatkan elekatbilitas dia sangat mengingkat pesat,
dan terbukti memproleh suara terbanyak dalam pemilihan Legislati 2019.
Patronase politik dalam hal ini dapat menyebabkan parawarga (klint) mengikuti
kemaun Eva Dwiana untuk mencaonkan diri sebagai Calon Wali Kota Bandar
Lampung.

c). Brending Politik tentang suskesnya Pemerintahan suami Eva Dwiana


(Herman HN) dalam memimpin Kota Bandar Lampung selama 2 periode

Brending politik tentang pemerintahan Herman HN yang di anggap sukses


oleh pemilih dan pengikut setia Eva Dwiana adalah sebab dari lahirnya praktik
Patronase dan klintelisme di Kota Bandar Lampung. Dalm berita yang termuat di
rri.com Herman HN berbicara merasa berkesan di dalam usianya ke 336 Kota
Bandar Lampung tersebut, selama kepemimpinannya yaitu sifat kebersamaan dan
gotong royong serta kekompakan tidak hanya eksekutif dan legislatif maupun
aparat TNI, Polri namun juga seluruh elemen masyarakat. "Rakyat Bandar
lampung kompak bagaimana membantu pemerintah, membantu DPR untuk
membangun dan mensejahtrakan rakyat, semua gratis-geratis perjuangan dari pada
rakyat beserta eksekutif dan legeslatif, pesan saya mari kita bersatu padu untuk
membangun kota Bandar lampung yang tercinta ini, tanpa ada dukungan rakyat
herman HN tidak ada apa-apanya jika dibantu oleh rakyat kota Bandar lampung
akan lebih maju lagi dan rakyatnya akan lebih sejahtera lagi,"Ujar walikota Itu.
(diakses dari website rri.com pada 1 Desember 2019 http://rri.co.id/bandar-
lampung/post/berita/543046/kota_bandar_lampung/tercapainya_program_pemban
gunan_dan_kemajuan_kota_bandarlampung_merupakan_perjuangan_semua_lapis
an_masyarakat.html)

Dari salah satu contoh tersebut masarakat hanya menyadiri dan melihat
brending politik yang disampaikan secara subjektif oleh walikota Bandar
Lampung. Selain itu pula pada roadshow 1 Oktober 2019 bertempat di Hotel
Horison Kota Bandar Lampung. Menurut liputan yang di lakukan penulis Eva
dwiana selalu mengobral kesuksesan kepemimpinan suaminya tampa adanya
kesalahan,”coba pak herman jadi Walkot 50 tahun yang lalu, pasti sangat maju
Kota Bandar Lampung saat ini”. padahal jika dilihat secara akademis beberapa
menyatakan keraguan terhadap program kerja yang di laksanakan oleh Herman
HN. Salah satunya adalah Dr. Syarif Makhya yang menyampaikan kritiknya pada
mata kuliah dasar-dasar kebijakan publik pada tahun 2018 “efektivitas
pemebangunan flay over yang tidak menyelsaikan masalah justru hanya bergunan
untuk brending politik semata”.

d). Peranan Mahasiswa dalam brending Politik

Posisi mahasiswa dalam panggung politik adalah sebagai agent of change;


sebagai diketahui bahwa hampir di seluruh belahan dunia perubahan-
perubahan besar dilakukan oleh anakanak muda, tidak terkecualai di
Indonesia. Sebut saja misalnya, sekelompok pemuda yang beerkumpul di
Jakarta pada 28 Oktober 1928 memenuhi panggilan etis, menyelaraskan
inisiatif, memikirkan bangsa yang dijajah oleh kaum imperialis Barat, lalu
mendeklarasikan tekad merka yang lazim disebut sebagai sumpah pemuda.
Hal ini terjadi jauh sebelum kemerdekaan RI. Kehendak etis inilah yang
merupakan panggilan jiwa pemuda, bersatu dan berjuang dan hasilnya
membuahkan kemerdekaan. Ini merupakan bukti nyata dari semangat pemuda
yang punya cita-cita masa depan yang diwujudkan dalam format politik
kebangsaan.
Dengan begitu besar dan beratnya posisi mahasiswa dalam kontestasi
penyelenggaraan pemerintahan maka sepatutnya melakukan pergerakan yang
berguna bagi Bangsa. Dalam hal ini para kaum akademisi sosial meneriaki
atas pemerintahan kota Bandar Lampung di Bawah kepemimpinan Herman
HN yang terus menerus mebrending hal yang subjektif. Dalam menjalankan
peranan agend of change tersebut aksi demonstrasi adalah salah satu caranya.
Namun yang di lakukan oleh Mahsiswa dalam mengembankan tugasnya
dengan mengadakan acara seminar yang justru mempromosikan subjektifitas
pemerintahan Herman HN.

c). Kampanye Politik dengan mengatasnamakan Nama Ketua PKK

H. Kesimpulan

Praktik pemasaran politik yang di lakukan oleh Eva Dwiana selalu


menggunakan nama besar sang suami. Selain itu masarakat Kota Bandar
Lampung yang menjadikan sosok Bunda Eva yang di ciantai adalah sebab dari
brending politik mereka. Dalam praktinya warga yang mencitai bunda Eva dan
suami selalu cenderung kepada praktik Patronase dan klinteleisme yang dapat di
manfaatkan dalam ajang pemilihan Kepada Daerah Kota Bandar Lampung 2020
mendatang. Kehadiran akademisi yang melihat secara menyeluruh dan teoritis
harus dapat tersampaikan dengan baik kepada masarakat, bukan hanya brending
subjektif pemimpin belaka.
DAFTAR PUSTAKA

Agustino, Leo. 2014, Patronase Politik Era Repormasi Analisis Pilkada di


Kabupaten Takalar Dan Provinsi Jambi, Jurnal Administrasi Publik

Aji, Rekha 2017 Patronase dan klintalisme Pada Pilkada Serentak Kota Kendari
tahun 2017 Departemen Pemerintahan Politik UGM

Antoni 2019. Stratego Kepemimpinan Hj. Eva Dwiana Herman HN Dalam


Pengembangan Majelis Taklim Rachmat Hidayat Provinsi Lampung
Skripi Manajemen Dakwah UIN Raden Intan Lampung

Awaludin. 2010. Intervensi Pejabat Politik Terhadap Penempatan Jabatan


Struktural Birokrasi” (Studi Analisis Penempatan Eselon II Dan III dalam
Pemerintahan Provinsi Sulawesi Tengah). Tesis di Program Studi Politik
& Pemerintahan UGM

Budiarjo, Miriam. 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia


Pustaka Utama

Budiman, Arman, 2002. Perempuan Dalam Budaya Patriarki, Pustaka Pelajar,


Yogyakarta.

Dwiyanto, A. 2011. Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi


Birokrasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Dwi Sulistiono. 2007. Hubungan Patron-klien Antara Tauke Dengan Petani Sawit
Di Desa Boncah Kesuma Kecamatan Kabun Kabupaten Rokan Hulu.
Sosiologi. 2007. Skripsi Fisip Unri

Darmastuti, Ari. 2001. Jender dalam Pembuatan Keputusan Keluarga dan


Masyarakat. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Lampung.
(Bahan Ajar)
Delpia, Dian Septi. 2013.Budaya Patriarkis dalam Pencalonan Anggota Legislatif
Pada Pemilihan Legislatif 2014 (Studi pada PDIP, Partai Nasdem dan
PKS Kota Bandar Lampung. Jurnal Penelitian FISIP Universitas
Lampung.

Fachry, H. 2014. Politisasi Dan Netralitas Birokrasi (Studi Kasus Analisis


Pengaruh Etnisitas Dalam Pengisian Jabatan Struktural Eselon II Dalam
Pemerintah Daerah Kabupaten Sintang Paska Pilkada 2010).Tesis di
Program Studi Politik & Pemerintahan UGM

Handayani, Melisa 2016. Tessis Peranan Eva Dwiana Dalam Pemasaran Politik
Pada Pencalonan Herman HN Sebagai Walikota Bandar Lampung 2015-
2019. FISIP Universitas Lampung

Hanif, Hasrul. 2009. Politik klientalisme baru dan dilema demokratisasi di


Indonesia. Jurnal ilmu sosial dan ilmu politik, Vol 13, Nomor 3, Maret
2009 (257-390)

Ishak, Indra Purbono. Skripsi 2012, Peta Kekuatan Politik Pada Pemilihan
Kepala Daerah Tana Toraja Tahun 2010, Universitas Hasanuddin
Makassar.

Mas’oed, Mochtar, 2006. Dinamika Sistem Politik Indonesia. Gramedia Pustaka


Utama. Jakarta.

Nursal, Adman. 2004. Political Marketing. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Putra, ASH. 1988. Minawang, Hubungan Patron-klien di Sulawesi Selatan.


Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Ramli, Muhamad 2016. Skripsi Patronase Politik Dalam Demokrasi Lokal


(Analisis Terhadap terpilihnya Hj. Marniawati Pada Pemilu Kades di
Desa Jojjlo Bulu Kumpa Kabupaten Bulu Kumba.UIN Allaudin Makasar
RRI.com 2019 Tercapainya program pembangunan dan kemajuan kota
Bandarlampung merupakan perjuangan semua lapisan masyarakat
http://rri.co.id/bandar-
lampung/post/berita/543046/kota_bandar_lampung/tercapainya_program_
pembangunan_dan_kemajuan_kota_bandarlampung_merupakan_perjuang
an_semua_lapisan_masyarakat.html

Tribunnews.com 2019 judul Raih Suara Terbanyak di Lampung, Bunda Eva


DinilaiLayakJadiKetua
DPRD, https://www.tribunnews.com/regional/2019/06/24/raih-suara-
terbanyak-di-lampung-bunda-eva-dinilai-layak-jadi-ketua-dprd.

Ulfa, Subadio Maria. 2006. Citra Wanita dan Kekuasaan (Jawa). Lembaga Studi
Realino. Penerbit Kasisius. Jogjakarta

Anda mungkin juga menyukai