Anda di halaman 1dari 3

Nama : Kharisma Nurina Azalea

NIM : 21/477909/SP/30288

Analisis Konsep Patronase dalam Literatur Ilmu Politik

Patronase merupakan sebuah istilah yang sudah tidak asing dikalangan akademisi dan
ilmuwan Politik. Secara bahasa, kata “patron” berasal dari bahasa Latin patronus yang berarti
pelindung. Sedangkan menurut Martin Shefter, patronase merupakan sebuah keuntungan
yang didistribusikan oleh kandidat kepada pemilih individual, tim kampanye, ataupun
kontributor tertentu sebagai bentuk pertukaran atas dukungan politik yang telah diberikan.
Patronase dapat berupa sejumlah uang tunai, barang, jasa, ataupun manfaat yang bernilai
ekonomi lainnya (Aspinall & Sukmajati, 2016). Patronase memungkinkan kandidat untuk
mendapatkan suara melalui mekanisme vote buying atau pembelian suara secara tidak sah dan
melanggar aturan pemilihan umum. Ironisnya, intensitas praktik tersebut terus meningkat
sehingga membuat sejumlah akademisi dan ilmuwan Politik tertarik untuk mengkaji
fenomena tersebut.

Syarif Hidayat (2007) dalam Shadow State? Business and Politics in the Province of
Banten dalam Nordholt, H. S. & G. van Klinken, Renegotiating Boundaries: Local Politics in
Post-Suharto Indonesia, melakukan kajian mengenai praktik shadow state atau negara
bayangan yang terjadi di Provinsi Banten. Dalam artikel ini, Syarif mengangkat topik
mengenai adanya peran seorang „Tuan Besar‟ yang mengontrol jalannya setiap praktik
politik di Provinsi Banten. Tuan Besar tidak terlibat secara langsung di dalam dinamika
pemerintahan, akan tetapi memiliki peran penting di dalam setiap proses pembentukan
kebijakan di Provinsi Banten. Tuan Besar berusaha untuk memperoleh keuntungan dengan
menggunakan sumber daya yang dimilikinya. Salah satu peran yang dimainkan oleh Tuan
Besar adalah ketika awal pembentukan Provinsi Banten, pada saat itu Tuan Besar mendukung
dan memilih langsung kandidat yang ia kehendaki untuk mempermudah dominasi politiknya
di Provinsi Banten. Praktik yang dilakukan oleh Tuan Besar tersebut termasuk ke dalam
bentuk Patronase dikarenakan adanya peran Tuan Besar sebagai patron yang menyuplai
sumber daya serta mengambil keuntungan dari dominasi yang dimilikinya dan adanya klien
yang memberikan dukungan serta memperoleh manfaat dari Tuan Besar.

Selain fenomena shadow state atau negara bayangan yang terjadi di Provinsi Banten,
terdapat sejumlah praktik Patronase di Indonesia. Salah satu yang familiar adalah ketika
menjelang periode pemilihan umum (pemilu). Sejumlah kandidat berlomba untuk meraih
simpati masyarakat. Harjanto (2012) dalam Pemilu, Politik Patronase dan Ideologi Parpol
menemukan adanya dua kubu kandidat yang berasal dari partai politik yang berideologi
nasionalis dan partai politik yang berideologi islamis. Kedua kubu tersebut memiliki startegi
yang berbeda dalam melakukan pendekatan terhadap masyarakat. Kubu nasionalis cenderung
memberikan bantuan berupa uang tunai, perbaikan jalan, hingga asuransi dan beasiswa
terhadap masyarakat. Sementara itu, kubu islamis cenderung memberikan sejumlah bantuan
berupa uang tunai, perbaikan masjid, hingga pemberian bantuan terhadap sejumlah kelompok
majelis taklim. Praktik yang dilakukan oleh kedua kubu tersebut menunjukkan adanya
patronase diantara kandidat dengan para calon pemilih. Meskipun para kandidat tidak secara
langsung mengakui bahwa bantuan yang diberikan adalah bentuk dari patronase, akan tetapi
praktik yang dilakukan menunjukkan adanya indikasi patronase.

Patronase sebagai sebuah fenomena juga memiliki dampak yang cukup


mengkhawatirkan. Edward Aspinall dan Gerry Van Klinken (2011) dalam The State and
Illegality in Indonesia menemukan bahwa patronase dapat menjadi akar dari terjadinya tindak
pidana korupsi. Korupsi yang merupakan sebuah praktik penyalahgunaan kekuasaan dapat
terjadi akibat adanya sejumlah pihak yang ingin meraup keuntungan pribadi dan kemudian
merugikan negara. Dalam hal ini, kandidat yang terpilih membagikan „kue‟ kekuasaan
terhadap pihak-pihak yang telah memberikan dukungan politik. Hal tersebut dapat berupa
pemberian jabatan, proyek tertentu, hingga sejumlah dana. Praktik tersebut yang kemudian
dapat berpotensi untuk meningkatkan jumlah korupsi di suatu negara.

Demokrasi yang pada hakikatnya memberikan kesempatan bagi rakyat untuk terlibat
dalam setiap penyelenggaraan kehidupan bernegara ternyata juga memberikan „celah‟ bagi
pihak yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan penyelewengan. Pihak yang memiliki
sumber daya berlebih menggunakan kekuasaan yang dimiliki untuk meraih keuntungan
pribadi. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi di dalam negara demokrasi seolah
tidak berdaya dihadapan para penguasa. Praktik-praktik patronase seolah dinormalisasi
dengan semakin masifnya praktik tersebut. Lantas, apabila peran penguasa semakin
mendominasi, akankah kedaulatan rakyat dapat benar-benar tercipta?
DAFTAR PUSTAKA

Aspinall, E. (2011). The state and illegality in Indonesia (p. 328). Brill.

Aspinall, E., & Sukmajati, M. (Eds.). (2016). Electoral dynamics in Indonesia: Money
politics, patronage and clientelism at the grassroots. NUS Press.

Harjanto, S. L. (2012). Pemilu, Politik Patronase dan Ideologi Parpol. Jurnal Administrasi
Dan Kebijakan Publik, 1(2), 81-102.

Hidayat, S. (2007). ‘Shadow State’?: Business and politics in the province of Banten.
In Renegotiating Boundaries (pp. 203-224). Brill

Shefter, M. (1993). Political parties and the state: The American historical experience
(Vol.34). Princeton University Press.

Anda mungkin juga menyukai