Anda di halaman 1dari 5

Pendahuluan

Politik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Edisi Ketiga, 2002 berarti (1)
pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti tentang sistem pemerintahan,
dasar pemerintahan), (2) segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dsb) mengenai
pemerintahan negara atau terhadap negara lain, dan (3) cara bertindak (dalam menghadapi
atau menangani suatu masalah; kebijaksanaan. Nandang Mulyasantosa (1983) mengatakan
bahwa politik adalah seni dan ilmu pemerintahan. Intisari dari kedua pendapat tersebut
bertalian dengan kebijaksanaan dan seni memerintah oleh the ruling party atau orang – orang
yang menduduki tampuk kekuasaan dalam pemerintahan negara.

Meraih kekuasaan (power) dalam politik bukanlah pekerjaan mudah, ia melibatkan


seabrek strategi, intrik, rekayasa bahasa, dan yang tidak kalah pentingnya adalah uang. Uang
menurut deLespinasse merupakan salah satu kekuatan dalam politik, selain pena (media) dan
pedang. Money Politic dalam bahasa Indonesia adalah suap, arti suap dalam kamus besar
Bahasa Indonesia adalah uang sogok. Politik uang adalah pertukaran uang dengan maksud
untuk menentukan posisis seseorang, kebijakan yang akan dikeluarkan dan keputusan politik
yang mengatasnamakan kepentingan rakyat namun sesungguhnya hanya untuk kepentingan
pribadi, kelompok maupun partai politik. Politik uang adalah upaya mempengaruhi orang lain
dalam hal ini masyarakat dengan menggunakan imbalan materi atau dapat juga diartikan jual
-beli suara pada proses politik dan kekuasaan serta tindakan membagi-bagikan uang, baik
milik pribadi atau partai untuk mempengaruhi suara pemilih.

Praktik politik uang di Indonesia tumbuh sangat subur bagaikan jamur yang tumbuh
dimusim hujan. Hal ini dikarenakan masyarakat menganggap praktik money politik
merupakan suatu kewajaran, sehingga masyarak tidak lagi peka terhadap bahaya-bahaya yang
akan timbul dikarenakaan praktik-paktik monay politik ini. Masyarakat membiarkan tindakan
ini, karena tidak merasa bahwa money politik secara normatif harus dijauhi. Sehingga semua
itu berjalan sekaan-akan merupakan suatu hal yang wajar. Kendati jelas terjadi money politk,
dan hal itu diakui oleh kalangan masyarakat, namun tidak ada protes (Rusham;2015)

Dari parktik politik uang yang sering dilakukan dalam pemilihan umum ini, membuat
para politikus tersebut tidak fokus dalam menjalankan kewajibanya baik sebagai wakil rakyat
ataupun pemegang kekuasaan yang telah diamanati oleh rakyat agar bisa mensejahterakan
mereka dan membuat kehidupan rakyat menjedi lebih baik. Namun karena para politikus
yang melakukan politik uang maka para politikus – politikus tersebut tidak fokus dengan
kewajiban mereka kepada rakyat melainkan mencari keuntungan sebesar-besarnya dalam
suatu jabatan yang telah dicapai untuk menggantikan uang yang mereka keluarkan dalam
kontes pemilihan umum yang mereka ikuti sehingga para wakil rakyat maupun para
pemimpin yang telah diberi amanat oleh rakyat malah menyelewengkan dana-dana yang
seharusnya digunakan untuk kepentingan rakyat tapi malah diambil untuk kepentingan
mereka sendiri. Dan ini lah salah satu contoh yang paling berbahaya dari praktik politik uang
dalam penyelenggaraan pemilihan umum yang dapat menghasilkan para wakil rakyat dan
pemimpin yang tidak menepati janjinya dalam berpolitik dan juga tidak bertanggung jawab
terhadap rakyat setelah rakyat memberikan suaranya dalam pemilihan umum.

Isi

Seiring dengan penyebaran rezim demokrasi di negara-negara berkembang, money politics


atau politik uang ternyata menjadi elemen kunci mobilisasi elektoral di banyak demokrasi
gelombang ketiga. Studi Andrews dan Inman tentang perilaku pemilih di tujuh negara Afrika
yang paling demokratis menurut Freedom House, misalnya, menemukan fakta adanya jual
beli suara (Josephine, J dkk;2009). Dengan menggunakan data survei Afrobarometer Tahap 3
tahun 2005, mereka menemukan Ghana adalah negara paling rentan mengalami praktik
politik uang atau jual beli suara dengan kisaran 42% warganya yang mengaku ditawari uang
atau hadiah sewaktu pemilu. Demikian juga temuan survei Latin American Public Opinion
Project (LAPOP) dalam Americas Barometer tahun 2010 yang menemukan variasi menarik
perilaku pemilih di Amerika Latin dan wilayah Karibia (Brian M,dkk;2011). Di antara 22
negara yang disurvei, Republik Dominika menempati peringkat pertama negara paling rentan
yang mengidap praktik jual beli suara dengan 22% responden mengaku ditawari uang atau
barang. Demikian pula para politisi di negara-negara Asia yang sering menargetkan warga
miskin sebagai sasaran politik uang. Di Filipina, misalnya, diperkirakan tiga juta warganya
ditawari uang atau barang dalam pemilu barartgay (tingkat komunitas) pada tahun 2002
(Social Weather Stations: National Survey;2002). Di Thailand, 30% responden yang berasal
dari kepala keluarga mengaku ditawari politisi atau tim suksesnya uang atau hadiah. Di kota
terbesar ketiga di Taiwan, Taichung, 27% responden mengaku menerima uang pada waktu
kampanye Pemilu 1999 (Kuen-Shan Cheng et al;2004).

Meskipun wacana politik uang sudah lama menarik perhatian para sarjana, data empirik
tentang topik ini masih terbatas baik secara kuantitas maupun kualitas. Variasi temuan juga
berkaitan dengan pendekatan metodologi, sekup analisis, dan tujuan studi. Misalnya dalam
studi kuantitatif mengenai politik uang, temuan survei harus dibaca secara hati-hati karena
ada bias social desirability yang mungkin terjadi saat pengumpulan data. Tak heran kadang
survei massa hanya menemukan persentase kecil mereka yang mengaku menerima uang
sewaktu pemilihan. Sebaliknya, para ahli yang menggunakan studi kualitatif dengan teknik
etnografi justru pada umumnya menyimpulkan praktik politik uang atau jual beli suara telah
menggurita di banyak negara berkembang (Javier Auyero ; 2000). Meskipun demikian, survei
mutakhir yang menggunakan pertanyaan yang standar untuk mengukur praktik politik uang
atau jual beli suara berhasil memotret hingga angka puluhan persen seperti di banyak negara
Afrika, Amerika Latin, dan Asia Tenggara. Tabel 1 menunjukkan wilayah di Indonesia yang
mengalami politik uang yang bisa diterima atau tidak

Tabel 1. politik uang yang bisa diterima atau tidak

Dalam kenyataan di Indonesia, apalagi dalam era reformasi seperti saat ini, dunia
pendidikan dan dunia politik saling berinterseksi dan bahkan dunia pendidikan telah menjadi
arena kepentingan politik, baik di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, maupun satuan
pendidikan. Lasswels (1958) menyatakan bahwa politics is who gets what, when, and how
(politik itu adalah siapa memperoleh apa, kapan, dan bagaimana). Definisi klasik ini masih
berlaku untuk situasi Indonesia. Pembuatan peraturan perundang-undangan, kebijakan,
perencanaan, dan penganggaran pendidikan pada tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota,
dan satuan pendidikan, semuanya melibatkan berbagai pihak yang jelas-jelas kepentingannya
berbeda. Mereka saling adu argumen untuk memengaruhi unit-unit kekuasaan dengan
maksud agar nilai-nilai dan alokasi sumber daya yang terbatas diputuskan sesuai dengan
keinginannya. Jika sumber daya terbatas yang dialokasikan tidak sesuai dengan keinginan
mereka, konflik akan memanas sepanjang waktu dan di semua tempat. Apalagi dalam era
desentralisasi pendidikan seperti sekarang ini, pihak-pihak yang berkepentingan terhadap
pendidikan sangat kompleks, yang mencakup kelompok-kelompok eksekutif, legislatif,
yudikatif, asosiasi profesi, pakar, lembaga swadaya masyarakat, media massa, dan
masyarakat atentif, yang semuanya memiliki kepentingan untuk memengaruhi penguasa
dalam pengambilan keputusan pendidikan. Di sinilah dibutuhkan teori untuk mengatasi
konflik kepentingan pendidikan yang disebut ilmu politik pendidikan. Kaitan antara
pendidikan dan politik sangat erat bahkan selalu berhubungan sehingga dengan keadaan
tersebut dapat kita ketahui bahwa politik negara sangat berperan menentukan arah
perkembangan pendidikan di suatu negara. Tidak berlebihan kiranya bila banyak ahli yang
berpendapat bahwa pendidikan sebagai salahsatu upaya atau sarana untuk melestarikan
kekuasaan negara. Michael W. Apple dalam Tilaar (2003: 145) H.A.R. Tilaar. (2003).
Kekuasaan dan Pendidikan. Magelang: Indonesia Tera. menjelaskan bahwa politik
kebudayaan suatu negara disalurkan melalui lembaga-lembaga pendidikannya sehingga
dalam pendidikan tersalur kemauan-kemauan politik atau sistem kekuasaan dalam suatu
masyarakat. Upaya menanamkan suatu prinsip, doktrin dan kesepakatan-kesepakatan negara
melalui pendidikan dilakukan dengan cara yang tidak dapat ditelusur secara sekilas karena
biasanya berada secara implisit dalam suatu materi pendidikan atau kurikulum sehingga
secara tidak sadar sebenarnya masyarakat yang mengikuti dan memperoleh pendidikan telah
mendukung pula tujuan khusus negara tersebut.

Berbicara tentang kaitan pendidikan dan politik, pada sekolah-sekolah formal


kebijakan pendidikan sudah ditetapkan dari pusat walaupun kini sudah melaksanakan
otonomi pendidikan. Itulah mengapa dapat dipahami bahwa pendidikan khususnya sekolah
dapat menjadi alat penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya dan juga dapat sebagai
suatu tempat penanaman doktrin - doktrin tertentu. Apakah ada yang salah dalam pendidikan
formal kita sehingga menghasilkan banyak politikus yang rendah moralnya dengan indikator
banyaknya korupsi, kolusi, nepotisme, politik uang, dan sebagainya.

Pendidikan bukan alat politik tetapi politik adalah pendidikan dan sebaliknya
pendidikan yang tidak dapat memilih bukan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan
negara. (memilih dalam hal ini adalah kebijakan-kebijakan yang sesuai atau bermanfaat bagi
individu warga negara). Di sisi lain supremasi hukum dapat tercapai lewat pendidikan,
pendidikan politik. Tujuan negara Indonesia yaitu mewujudkan masyarakat dengan sistem
politik yang berkedaulatan rakyat. Masyarakat Indonesia yang bhineka yaitu terbentuknya
masyarakat yang terdidik yang telah memiliki suatu pandangan yang luas (sebagian besar
dikota) yang dibentuk oleh pendidikan dan kesempatan.
Pendidikan terletak dalam tatanan politik. Sementara itu sentralistik/kekuasaan
terpusat menimbulkan dominasi kelompok yang imbasnya adalah pemiskinan sebagai akibat
dari kontrol bukan pada masyarakat luas sehingga penguasa menjadi tidak terjangkau oleh
hukum. Pendidikan adalah metode yang paling fundamental dalam kemajuan sosial dan
reformasi. Reformasi yang dipaksakan akan gagal. Pendidikan merupakan sarana
menumbuhkan demokrasi. Contoh: Gerakan reformasi yang berkesinambungan (sustainable)
hanya dapat terlaksana apabila terdapat kesinambungan antara generasi sekarang dan generasi
penerus (hanya dengan pendidikan).

Referensi

Brian M. Faughnan dan Elizabeth J. Zechmeister, “Vote Buying in the Americas”, Americas
Barometer Insights, 2011, hlm. 1.

H.A.R. Tilaar. (2003). Kekuasaan dan Pendidikan. Magelang: Indonesia Tera.

Javier Auyero, “The Logic of Clientelism in Argentina: An Ethnographic Account,” Latin


American Studies Association, Vol. 35, No. 3, 2000, hlm. 55-81.

Josephine T. Andrews dan Kris Inman, “Explaining Vote Choice in Africa’s Emerging
Democracies”, makalah dipresentasikan dalam Midwest Political Science Association, 2009,
hlm. 3.

Kuen-Shan Cheng et al., “Analysis of the Causes of Vote Buying, and the Study of How to
Prevent It”, seperti dikutip Frederic Charles Schaffer, “Vote Buying in East Asia”, dalam
Global CorruptionRep 2004, Transparency International.

Lasswell, Harold. 1958. Politics: Who Gets What, When, and How. New York: The Wolrd
Publishing Company.

Rusham, “Faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya money politics”.PARADIGMA


Vol:XXI/No, 01 juli 2015, hlm 85.

“Social Weather Stations: National Survey”, Quezon City, Philippines, 2002.

Anda mungkin juga menyukai