Anda di halaman 1dari 2

Negara Indonesia adalah Negara Hukum (Rechtsstaat), sebagaimana ditegaskan secara konstitusional

disebutkan dalam UUD 1945. Jika sebelum amandemen UUD 1945 berbunyi bahwa “Indonesia adalah
negara yang berdasar atas negara hukum" maka setelah amandemen UUD 1945 kemudian diubah
menjadi "Negara Indonesia adalah negara hukum." sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 pasal 1
ayat (3). Perubahan dalam amandemen tersebut pada hakikatnya bertujuan untuk semakin
mempertegas bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum (Rechtsstaat. Hukum di Indonesia
merupakan perpaduan antara hukum agama, hukum adat istiadat yang berlaku di masyarakat dengan
hukum peninggalan Belanda. Konsep tersebut dirumuskan oleh para pendiri bangsa yang disesuaikan
dengan kondisi yang ada dan hidup di Indonesia yaitu Pancasila. Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila, guna mewujudkan Negara Indonesia yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Penegakan hukum di Indonesia dinilai masih lemah. Ada beberapa indikator yang mempengaruhi proses
penegakan hukum atau law enforcement menjadi lemah. Menurut teori Lawrence Friedman (dalam
bukunya The Legal System: A Social Science Perspective, 1975), Friedman mengemukakan bahwa efektif
dan berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung tiga unsur sistem hukum, yakni substansi
perundang-undangan (substance of law), struktur organisasi pengadaan beserta penegakannya
(structure of law), dan yang ketiga adalah budaya hukum (legal culture).

Pertama, substansi perundang-undangan. Di Indonesia masih banyak terdapat aturan yang tumpang
tindih. Sebagai contoh untuk Hak Guna Bangunan (HGB), dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria disebut jangka waktunya 30 tahun dan dapat
diperpanjang maksimal 20 tahun ke depan. Sementara, dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal diungkapkan HGB dapat diberikan hingga 80 tahun dengan diberikan dan
diperpanjang di muka 50 tahun serta diperbarui untuk 30 tahun. Aturan yang berbeda ini menimbulkan
kebingungan ketika pengusaha konsultasi dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) ketika HGB akan
berakhir.

Kedua, struktur organisasi pengadaan beserta penegakannya. Menurut Soerjono Soekanto bahwa
penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai
kemampuan-kemampuan tertentu sesuai dengan aspirasi masyarakat. Mereka harus dapat
berkomunikasi dan mendapat pengertian dari golongan sasaran, disamping mampu menjalankan atau
membawakan peranan yang dapat diterima oleh mereka. Dari pernyataan tersebut dapat difahami
bahwa ada dua indikator peran penegak hukum yaitu kualitas dan integritas. Dengan kata lain dua
indikator ini dapat dijadikan tolak ukur melihat peran penegak hukum. Sebagai contoh kasus fenomenal
yang melibatkan FY yang merupakan penegak hukum (mantan pengacara SN) terbukti telah melakukan
beberapa kesalahan yang fatal dalam proses penegakan hukum. Dalam hal ini FY ini telah melakukan
obstruction of justice atau perintangan penyidikan, bahasa sederhannya menghalangi proses penyidikan
tindak pidana korupsi. Sebagaimana putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan
hukuman 7 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 5 bulan kurungan. Putusan ini kemudian
diperkuat dengan putusan banding di Pengadilan Tinggi Jakarta. Selain itu mengenai kualitas FY sebagai
pengacara pun juga menjadi sorotan manakala FY ingin melaporkan Komisi Pemberantasan Korupsi ke
Mahkamah International.

Ketiga, Budaya hukum. Tingkat kesadaran hukum di Indonesia dinilai masih rendah. Friedman
merumuskan budaya hukum sebagai sikap-sikap dan nilai-nilai yang ada hubungan dengan hukum dan
sistem hukum, berikut sikap-sikap dan nilai-nilai yang memberikan pengaruh baik positif maupun negatif
kepada tingkah laku yang berkaitan dengan hukum. Budaya hukum itu berarti keseluruhan faktor yang
menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempatnya yang logis dalam kerangka budaya milik
masyarakat umum. Contohnya : Penggunaan helm saat berkendara motor, apakah karena taat pada
undang-undang lalu lintas atau karena takut pada polisi? Merupakan cermin dari sikap kebanyakan
individu di Indonesia. Masyarakat yang takut pada hukum, bukan masyarakat yang patuh pada hukum.
Patuh pada hukum bukanlah tujuan yang tertinggi. Tujuan tertinggi adalah setiap individu dalam
masyarakat bersikap di bawah alam sadarnya sesuai dengan tujuan hukum.

Referensi :

https://www.kompasiana.com/alfinafajrin/59b80b71941c202012739722/indonesia-sebagai-negara-
hukum

https://www.ayobandung.com/read/2018/11/12/40431/realita-penegakan-hukum-di-indonesia

https://ekonomi.kompas.com/read/2018/01/30/061600826/catatan-apindo-tentang-regulasi-
pemerintah-yang-masih-tumpang-tindih

Anda mungkin juga menyukai