Anda di halaman 1dari 16

PERTEMUAN KE: 2

NORMA HUKUM 1

A. TUJUAN PEMBELAJARAN

Adapun tujuan pembelajaran yang akan dicapai, mahasiswa mampu:

 Menjelaskan pengertian norma dan macam-macam norma


 Membedakan norma hukum dan norma lainnya
 Memahami dan menjelaskan norma hukum dan macam-macam norma
hukum.

B. URAIAN MATERI

Pada pertemuan ke 2 ini kita akan berbicara tentang norma secara umum dan
norma hukum (pengantar). Istilah norma berasal dari bahasa Latin nomos
yang berarti nilai dan kemudian dipersempit namanya menjadi norma hukum,
sedangkan istilah kaidah berasal dari bahasa Arab qo’idah yang berarti
ukuran atau nilai pengukur (Jimly Asshiddiqie, 2010a: 1) dan dalam bahasa
Indonesia sering juga disebut dengan pedoman, patokan, atau aturan (Maria
Farida Indrati Soeprapto, 2007: 18).

Pengertian

Beberapa ahli hukum ada yang menggunakan istilah norma dan ada pula yang
menggunakan istilah kaidah (kaedah) sebagaimana diuraikan di bawah ni:

Maria Farida Indrati Soeprapto (2007:18) memberikan pengertian norma


adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya
dengan sesamanya atau pun dengan lingkungannya.

Menurut Jimly Asshiddiqie (2010a: 1), norma atau kaidah (kaedah)


merupakan pelembagaan nilai-nilai baik dan buruk dalam bentuk tata aturan
yang berisi kebolehan, anjuran, atau perintah.
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto (1993:6) berpendapat bahwa
kaedah adalah patokan atau ukuran atau pun pedoman untuk berperilaku atau
bersikap tindak dalam hidup.

Hamid S. Attamimi (Ni’matul Huda dan R. Nazriyah, 2011:15) menyatakan


bahwa norma adalah aturan, pola, atau standar yang perlu dirinci.

Menurut Sudikno Mertokusumo (2004:11), kaidah pada hakikatnya


merupakan perumusan suatu pandangan objektif mengenai penilaian atau
sikap yang seyogyanya dilakukan atau tidak dilakukan, yang dilarang atau
dianjurkan untuk dijalankan.

Dalam perkembangannnya, norma itu diartikan sebagai suatu ukuran atau


patokan bagi seseorang dalam bertindak atau bertingkah laku dalam
masyarakat, jadi inti suatu norma adalah aturan yang harus dipatuhi.

Jadi, norma hukum adalah patokan atau ukuran ataupun pedoman untuk
berperilaku atau bersikap tindak dalam hidup.

Macam Norma

Norma yang Ada dalam Masyarakat

Terdapat berbagai macam norma di masyarakat yang mempengaruhi bentuk


dan cara berperilaku seseorang, antara lain: norma agama, norma kesusilaan,
norma kesopanan, dan norma hukum.

a. Norma Agama, Kesusilaan & Kesopanan

Norma agama, kesusilaan, dan kesopanan terbentuk oleh kebiasaan yang


tumbuh dari penilaian terus-menerus masyarakat atas suatu perilaku. Perilaku
yang dinilai baik dikehendaki untuk dilaksanakan, sedangkan perilaku yang
dinilai buruk dikehendaki untuk ditinggalkan. Hal ini terjadi berulangkali
sehingga berkembang menjadi perintah yang harus dipatuhi.

Mengingat penilaian atas suatu perilaku bergantung pada agama dan budaya
masyarakat, maka terdapat berbagai norma agama, kesusilaan, dan kesopanan
pada negara dengan beragam agama dan budaya. Masing-masing norma
agama, kesusilaan, dan kesopanan tersebut hanya berlaku bagi suatu
masyarakat tertentu dalam negara tersebut.

Riduan Syahrani (2013: 7-8) menguraikan norma agama, norma kesusilaan,


dan norma kesopanan sebagai berikut:

Norma agama adalah norma yang berpangkal pada kepercayaan adanya


Tuhan Yang Maha Esa dan menganggap norma agama ditentukan oleh Tuhan
Yang Maha Esa. Pelanggaran terhadap norma agama berarti pelanggaran
terhadap perintah Tuhan, yang akan mendapat hukuman di akhirat. Contoh:
“kamu tidak boleh membunuh”, “kamu tidak boleh mencuri”, “kamu tidak
boleh berdusta atau ingkar janji”.

Norma kesusilaan adalah norma yang berpangkal pada hati nurani manusia
sendiri, yang membisikkan agar melakukan perbuatan yang baik dan
meninggalkan perbuatan yang tercela. Pelanggaran terhadap norma susila
berarti melanggar perasaan baiknya sendiri yang berakibat penyesalan.
Perbuatan yang tidak mengindahkan norma susila disebut asusila. Contoh:
“kamu tidak boleh membunuh”, kamu tidak boleh mencuri”, “kamu tidak
boleh berzina”.

Norma kesopanan adalah norma yang timbul atau diadakan dalam suatu
masyarakat yang mengatur sopan santun dan perilaku dalam pergaulan hidup
antarsesama anggota masyarakat. Norma kesopanan ini didasarkan pada
kebiasaan, kepantasan, atau kepatutan yang berlaku dalam suatu masyarakat.
Orang yang melakukan pelanggaran terhadap norma kesopanan akan dicela
oleh sesama anggota masyarakat. Celaan itu tidak selalu dengan mulut, tetapi
bisa dengan cara lain dan bentuk lain, misalnya, dibenci, dijauhi, dipandang
tidak tahu tata krama, dipandang hina oleh anggota masyarakat sekelilingnya.
Contoh: “jangan bersiap kasar terhadap orang lain”, kamu jangan berlaku
sombong”, “kamu jangan meremehkan orang lain”.

b. Norma Hukum
Norma hukum dibentuk oleh lembaga-lembaga negara yang berwenang
membentuknya. Norma hukum dapat berbentuk norma hukum tertulis dan
hukum tidak tertulis.

Mengingat kedaulatan negara meliputi seluruh wilayah negara, maka hanya


terdapat satu norma hukum yang berlaku bagi semua masyarakat yang berada
di dalam wilayah negara yang bersangkutan.

Agar lebih jelas apa itu pengertian norma hukum, dapat dipetik pendapat
Sudikno Mertokusumo (2004:11) yang mengatakan: “kaidah hukum
lazimnya diartikan sebagai peraturan hidup yang menentukan bagaimana
manusia itu seyogyanya berperilaku, bersikap di dalam masyarakat agar
kepentingannya dan kepentingan orang lain terlindungi.”

Menurut Rosjidi Ranggawidjaja (1998: 24), norma hukum masih diperlukan


karena:

1) Tidak semua kepentingan atau tata tertib telah dilindungi atau diatur oleh
ketiga norma tadi, misalnya, norma etika tidak mengatur hal-hal
mengenai gaji, lalu lintas, pajak, pencatatan perkawinan.
2) Sanksi-sanksi pelanggaran terhadap norma-norma etika bersifat psychis,
sangat abstrak, sedangkan sanksi terhadap pelanggaran norma hukum
bersifat fisik dan nyata (konkret).
3) Sifat memaksanya sangat jelas dan dapat dipaksakan oleh alat negara
(pemerintah), sedangkan norma etika tidak dapat dipaksakan oleh
pemerintah (hanya berupa dorongan dari dalam diri pribadi manusia).

Sedangkan Purnadi Purwacaraka dan Soerjono Soekanto (1993: 26)


berpendapat bahwa kaedah hukum harus ada di samping kaedah-kaedah
lainnya, karena:

1) Ketiga tata kaedah yang lain daripada kaedah hukum tidak cukup
meliputi keseluruhan kehidupan manusia, misalnya, pencatatan kelahiran,
perkawinan ataupun kematian, dan juga peraturan lalu lintas dan
angkutan jalan raya.
2) Kemungkinan hidup bersama menjadi tidak pantas atau tidak
seyogyanya, apabila hanya diatur oleh ketiga tata kaedah tersebut.
Misalnya:

 Mencurigai seseorang bertentangan dengan kaedah kesusilaan;


 Menunjukkan kecurigaan terhadap seseorang bertentangan
dengan kaedah kesopanan;
 Bagaimanakah bila terjadi pencurian? Sudah tentu perlu ada yang
dicurigai.

Norma agama dan norma kesusilaan merupakan norma yang menyangkut


aspek kehidupan pribadi. Sedangkan norma kesopanan dan norma hukum
merupakan norma yang menyangkut aspek kehidupan antarpribadi. Norma
agama bertujuan pada kesucian hidup pribadi atau kehidupan beriman. Norma
kesusilaan bertujuan pada kebersihan hati nurani atau terbentuknya akhlak
pribadi. Selanjutnya, norma kesopanan bertujuan pada kenyamanan
(kesedapan) hidup antarpribadi. Sementara hukum bertujuan pada kedamaian
hidup bersama (Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto, 1993: 16).

1. Statika dan Dinamika Sistem Norma

Hans Kelsen (Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007: 20-21) mengemukakan,


berdasarkan sumber keberlakuannya, norma-norma bisa dibedakan dalam 2
(dua) sistem, yaitu:

 Sistem Norma Statik (Nomostatic)


 Sistem Norma Dinamik (Nomodynamic)
a. Sistem Norma Statik (Nomostatic)

Norma dengan sistem yang statik mendasarkan pada “isi” norma sebagai
sumber keberlakuannya. Menurut sistem norma yang statik, suatu norma
umum dapat ditarik menjadi norma-norma khusus, atau norma-norma khusus
itu dapat ditarik dari suatu norma yang umum. Penarikan norma-norma
khusus dari suatu norma umum tersebut diartikan bahwa, isi dari norma
umum itu dirinci menjadi norma-norma yang khusus dari segi isi-nya.
Contoh sistem norma yang statik (nomostatics):

 Dari suatu norma umum yang menyatakan “Hendaknya engkau


menghormati orang tua” dapat ditarik/dirinci menjadi norma-norma
khusus seperti kewajiban membantu orang tua kalau ia dalam
kesusahan, atau kewajiban merawatnya kalau orang tua itu sedang
sakit dan sebagainya.

 Dari suatu norma umum yang menyatakan :”Hendaknya engkau


menjalankan perintah agama” dapat ditarik/dirinci menjadi norma-
norma khusus seperti kewajiban menjalankan sholat lima waktu,
menjalankan puasa pada waktunya, membayar zakat fitrah, dan lain
sebagainya.

b. Sistem Norma Dinamik (Nomodynamic)

Norma dengan sistem yang dinamik mendasarkan pada pembentukan atau


penghapusan dari ketentuan-ketentuan suatu norma sebagai sumber
keberlakuannya. Artinya, pembentukan atau penghapusan dari ketentuan-
ketentuan dalam suatu norma menjadi dasar penilaian seseorang mengenai
keberlakuan norma tersebut atas dirinya.

2. Hukum Sebagai Norma Dinamik

Menurut Hans Kelsen (Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007: 23), hukum
termasuk dalam sistem norma yang dinamik (nomodynamic), karena hukum
selalu dibentuk dan dihapus oleh lembaga atau otoritas yang berwenang
membentuk atau menghapusnya.

Norma hukum mendasarkan sumber keberlakuannya pada pembentukan atau


penghapusan dari ketentuan-ketentuannya bukan pada isi- nya.

Norma hukum berjenjang dan berlapis membentuk hierarki.

Suatu norma hukum dikatakan sah berlaku (valid) apabila dibentuk oleh
lembaga atau otoritas yang berwenang membentuknya serta bersumber dan
berdasar pada norma yang lebih tinggi.

3. Dinamika Norma Hukum


Dinamika dari suatu norma hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
dinamika norma hukum yang vertikal dan dinamika norma hukum yang
horizontal (Maria Farida Indrati, 2007:23-24).

a. Dinamika norma hukum yang vertikal adalah dinamika yang norma


hukumnya berjenjang dari atas ke bawah, atau dari bawah ke atas.

Dalam dinamika norma yang vertikal dari bawah ke atas ini suatu norma
hukum itu berlaku, bersumber dan berdasar pada norma hukum di
atasnya, norma hukum yang berada di atasnya berlaku, bersumber dan
berdasar pada norma hukum yang di atasnya lagi, demikian seterusnya
sampai pada suatu norma hukum yang menjadi dasar dari semua norma
hukum yang di bawahnya.

Dalam dinamika norma yang vertikal dari atas ke bawah, Norma dasar
itu selalu menjadi sumber dan menjadi dasar dari norma hukum di
bawahnya, norma hukum di bawahnya selalu menjadi sumber dan
menjadi dasar dari norma hukum yang di bawahnya lagi, dan demikian
seterusnya ke bawah.

b. Dinamika norma hukum yang horizontal adalah dinamika yang


bergeraknya tidak ke atas atau bawah, tetapi ke samping. Dinamika
norma hukum yang horizontal ini tidak membentuk suatu norma hukum
yang baru, tetapi norma itu bergerak ke samping, karena adanya suatu
analogi, yaitu penarikan suatu norma hukum untuk kejadian-kejadian
lainnya yang dianggap serupa.

Contoh penarikan secara analogi:

 Di dalam peraturan disebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan


pencurian adalah apabila seseorang mengambil barang orang
lain untuk dipakai atau dimiliki dengan cara melawan hukum.
Pada saat ini pengertian “barang” dalam ketentuan tersebut di
atas bukan saja dimaksudkan dengan “benda” yang dapat
diambil, tetapi pengertian “barang” tersebut disamakan juga
untuk “aliran listrik”, sehingga mereka yang mencuri “aliran
listrik” untuk dipakai atau dimiliki dengan cara melawan hukum
diberikan sanksi seperti yang dikenakan pada pencurian biasa.
 Di dalam kasus tentang “perkosaan”, seorang hakim telah
mengadakan suatu penarikan secara analogi dari ketentuan
tentang “perusakan barang”, sehingga terhadap suatu
“perkosaan”, selain dikenakan sanksi pidana dapat juga diberikan
sanksi pembayaran ganti rugi.

1. Persamaan dan Perbedaan antara Norma Hukum dan Norma


Lainnya

Menurut Sony Maulana S, antara norma hukum dan norma lainnya (norma
norma agama, kesusilaan, dan norma kesopanan terdapat perbedaan dan
persamaan sebagai berikut:.

Persamaan:

a. Norma hukum dan norma-norma lainnya merupakan ketentuan-


ketentuan yang mengatur perilaku seseorang di dalam kehidupan
bermasyarakat yang mengandung perintah yang hendaknya (ougt to
be/do atau das sollen) dipatuhi.
b. Merupakan pedoman berperilaku/aturan bertindak.
c. Sesuai dengan teori jenjang norma (Stufentheorie) yang dkemukakan
Hans Kelsen:

Norma-norma dalam suatu macam norma tersusun secara berjenjang


dan berlapis dalam suatu tata susunan yang bersifat hierarkis.

Suatu norma bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi,
norma yang lebih tinggi ini bersumber dan berdasar pada norma yang
lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pergerakan ke atas ini
berhenti pada suatu norma tertinggi yang sumber dan dasar
pembentukannya tidak dapat ditelusuri lagi.

Mengingat sumber dan dasar pembentukannya tidak dapat ditelusuri


lagi, maka norma tertinggi –- oleh Kelsen disebut dengan Grundnorm
-– ditetapkan lebih dahulu secara hipotetik (presupposed) dan diterima
apa-adanya oleh masyarakat (axiomatic).

Perbedaan:

a. Norma hukum dibentuk oleh pihak di luar masyarakat, yaitu oleh lembaga
negara yang berwenang membentuknya. Norma-norma yang lain dibentuk
oleh masyarakat itu sendiri. nonor

b. Norma hukum dapat mengancamkan sanksi pendorong kepatuhan yang


bisa diterapkan kepada pelanggar ketentuan-ketentuannya. Norma-norma
yang lain meskipun dapat mengancamkan sanksi pendorong kepatuhan,
namun pihak-pihak yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam dapat
menghindar dari sanksi tersebut.

c. Norma hukum dapat memberikan kewenangan kepada lembaga pelaksana


untuk mendorong kepatuhan dan penerapan sanksi.

Meskipun norma-norma yang lain dapat memberikan kewenangan untuk


mendorong kepatuhan dan menerapkan sanksi kepada lembaga pelaksana,
namun kewenangan tersebut sangat terbatas.

Menurut Maria Farida Indrati Soeprapto (2007: 25-26), perbedaan antara


norma hukum dan norma lainnya sebagai berikut:

a. Norma hukum bersifat heteronom, artinya norma hukum datangnya dari


luar diri seseorang. Contoh: dalam hal pembayaran pajak, kewajiban
membayar pajak datang bukan dari diri seseorang, tetapi paksaan itu
datangnya dari negara, sehingga seseorang harus memenuhi kewajiban
tersebut senang atau tidak senang.

Norma-norma lainnya bersifat otonom, artinya norma itu datangnya dari


dalam diri seseorang. Contoh: apabila seseorang akan menghormati orang
tua, hal ini dilakukan karena kehendak seseorang tersebut, seseorang
menjalankan norma-norma tersebut karena kesadarannya, sehingga
tindakan tersebut tidak dapat dipaksakan dari luar.
b. Norma hukum dapat dilekati dengan sanksi pidana maupun sanksi
pemaksa secara fisik, sedangkan norma lainnya tidak dapat dilekati oleh
sanksi pidana maupun sanksi pemaksa secara fisik. Contoh: apabila
seseorang melanggar norma hukum, misalnya, menghilangkan nyawa
orang lain, ia akan dituntut dan dipidana, tetapi bila seseorang melanggar
norma lainnya ia tidak dapat dituntut dan dipidana.
c. Dalam norma hukum sanksi pidana atau sanksi pemaksa itu dilaksanakan
oleh aparat negara (misalnya, polisi, jaksa, hakim), sedangkan terhadap
pelanggaran norma-norma lainnya sanksi itu datang dari diri sendiri,
misalnya adanya perasaan bersalah, perasaan berdosa, atau terhadap
pelanggaran norma-norma moral atau dalam norma adat tertentu, para
pelanggarnya akan dikucilkan dari masyarakatnya.

2. Ciri Norma Hukum

Menurut Rosjidi Ranggawidjaja (1998:23-24), norma hukum mempunyai


ciri-ciri yang berbeda dengan noma lainnya, antara lain:

a. Ada paksaan dari luar yang berwujud ancaman hukum bagi pelanggarnya
berupa sanksi fisik yang dapat dipaksakan oleh alat negara. Dengan kata
lain bahwa kaidah hukum itu sifatnya memaksa (dwingendrecht).

b. Bersifat umum (berlaku bagi siapa saja).

c. Abstrak (objek yang diatur tidak konkret).

Contoh:

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian

Pasal 71

Setiap Orang Asing yang berada di Wilayah Indonesia wajib:

a. memberikan segala keterangan yang diperlukan mengenai identitas diri


dan/atau keluarganya serta melaporkan setiap perubahan status sipil,
kewarganegaraan, pekerjaan, Penjamin, atau perubahan alamatnya
kepada Kantor Imigrasi setempat.
b. memperlihatkan dan menyerahkan Dokumen Perjalanan atau Izin
Tinggal yang dimilikinya apabila diminta oleh Pejabat Imigrasi yang
bertugas dalam rangka pengawasan Keimigrasian.

Pasal 116

Setiap Orang Asing yang tidak melakukan kewajibannya sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 71 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 7
(tujuh) bulan atau pidana denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh
lima juta rupiah).

3. Isi Norma Hukum

Menurut Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto (1993:34), pada


umumnya norma hukum berisikan:

a. Suruhan (gebod), yaitu berisi apa yang harus dilakukan oleh manusia,
berupa suatu perintah untuk melakukan sesuatu.

b. Larangan (verbod), yaitu berisi apa yang tidak boleh dilakukan.

c. Kebolehan (mogen), berisi apa yang dibolehkan, artinya tidak dilarang


dan tidak disuruh.

Contoh a:

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-


Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak

Pasal 46

Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Keluarga, dan Orang Tua wajib


mengusahakan agar Anak yang terlahir terhindar dari penyakit yang
memgancam kelangsungan hidup dan/atau menimbulkan kecacatan.

Contoh b:

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-


Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak

Pasal 76C
Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh
melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak.

Contoh c:

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian

Pasal 15

Orang Asing yang telah memenuhi persyaratan dapat masuk Wilayah


Indonesia setelah mendapatkan Tanda Masuk.

4. Sifat Norma Hukum

Menurut A. Hamid S. Attamimi (Rosjidi Ranggawidjaja, 1998:25), norma


hukum mengandung sifat-sifat:

a. Perintah (gebod);

b. Larangan (verbod);

c. Pengizinan (toestemming);

d. Pembebasan (vrijstelling).

Penggolongan sifat norma hukum tersebut adalah merupakan norma hukum


paling umum, sebagaimana dikemukakan oleh J.J.H. Bruggink, yaitu: (Abdul
Latief, 2005:158-159)

a. Perintah (gebod), ini adalah kewajiban umum untuk melakukan sesuatu;


b. Larangan (verbod), ini adalah kewajiban untuk tidak melakukan sesuatu;
c. Pembebasan (vrijstelling, dispensasi), ini adalah pembolehan (verlof)
khusus untuk tidak melakukan sesuatu yang secara umum diharuskan;
d. Izin (toestemming, permisi), ini adalah pembolehan khusus untuk
melakukan sesuatu yang secara umum dilarang.

Berkaitan dengan pandangan J.J.H. Bruggink tersebut dapat ditelusuri dalam


peraturan perundang-undangan sebagai berikut:

a. Norma hukum sebagai perintah: biasanya digunakan kata “wajib” dan


“harus”.
Contoh:

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian

Pasal 8

(1) Setiap orang yang masuk atau keluar Wilayah Indonesia wajib
memiliki Dokumen Perjalanan yang sah dan masih berlaku.
(2) ....
b. Norma hukum sebagai larangan: biasanya digunakan kata “dilarang”.

Contoh:

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas


Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan
Anak.

Pasal 76F

Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan,


menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan,
penjualan, dan/atau perdagangan Anak.

c. Norma hukum sebagai izin: biasanya digunakan kata “dapat”, “berhak”,


“berwenang”.

Contoh:

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian

Pasal 10

Orang Asing yang telah memenuhi persyaratan dapat masuk


Wilayah Indonesia setelah mendapatkan Tanda Masuk.

d. Norma hukum sebagai pembebasan dari suatu perintah (dispensasi):


biasanya digunakan kata “kecuali”.

Contoh:

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian


Pasal 8

(1) ....
(2) Setiap Orang Asing yang masuk Wilayah Indonesi wajib
memiliki Visa yang sah dan masih berlaku, kecuali ditentukan
lain berdasarkan Undang-Undang ini dan perjanjian
internasional.

Pendapat lain dikemukakan oleh Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto


(1993: 36) yang mengatakan bahwa kaedah hukum memiliki sifat-sifat:

a. Imperatif, yaitu berupa perintah yang secara apriori harus ditaati, baik
berupa suruhan maupun larangan.

Apabila seseorang akan melakukan perbuatan tertentu (misalnya,


perbuatan “X”), maka ia harus mentaati kaedah-kaedah hukum yang
mengatur perbuatan “X”, ia harus menerapkan kaedah hukum yang
mengatur perbuatan “X” pada perbuatan “X”.

Contoh kaedah hukum imperatif:

Pasal 1334 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:

“Seorang ahli waris tidak dapat menolak bagian dari harta warisan
yang akan diterimanya sebelum harta tersebut dibagi antara
semua ahli waris. Apabila halitu terjadi sebelum pewaris
meninggal atau sebelum pembagian harta warisan berlangsung,
maka penolakan tersebut tidak dapat diakui sebagai suatu
perbuatan yang sah, walaupun dengan izin pewaris.”

b. Fakultatif, yaitu tidak secara apriori mengikat atau wajib dipatuhi.

Kaedah hukum fakultatif ini sifatnya melengkapi. Jika seseorang hendak


melakukan perbuatan tertentu (misalnya, perbuatan “X”), ia bebas untuk
menggunakan atau tidak menggunakan kaedah hukum yang mengtur
perbuatan X tersebut. Akan tetapi, jika ia menggunakannya, ia terikat.

Lebih lanjut Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto (1993: 36)


mengemukakan, apabila isi kaedah hukum dihubungkan dengan sifat kaedah
hukum, maka kaedah-kaedah hukum yang berisikan suruhan dan larangan
adalah imperatif, sedangkan kaedah hukum yang berisikan kebolehan adalah
fakultatif.

C. LATIHAN SOAL/TUGAS
1. Mengapa di dalam kehidupan manusia diperlukan norma?
2. Mengapa norma hukum diperlukan, di samping norma-norma lainnya?
3. Jelaskan macam-macam noma hukum menurut isinya!
4. Jelaskan mengenai hubungan antara norma hukum dari sudut isinya
dan sifatnya!
D. DAFTAR PUSTAKA

Buku

Asshiddiqie, Jimly. 2010. Perihal Undang-Undang. Jakarta: Rajawali


Pers.

Huda, Ni’matul & R. Nazriyah. 2011.Teori & Pengujian Peraturan


Perundang-undangan. Bandung: Nusa Media.

Latif, Abdul. 2005. Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel)


pada Pemerintahan Daerah. Yogyakarta: UII Press.

Mertokusumo, Sudikno. 2004. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar.


Yigyakarta: Liberty.

Purbacaraka, Purnadi & Soekanto, Soerjono. 1993. Perihal Kaedah


Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Ranggawidjaja, Rosjidi. 1998. Pengantar Ilmu Perundang-undangan


Indonesia. Bandung: Mandar Maju.

Soeprapto, Maria Farida Indrati. 2007. Ilmu Perundang-undangan I


(Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan). Yogyakarta: Kanasius.

Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor


III/MPR-RI/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-


Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-undangan.

Anda mungkin juga menyukai