Anda di halaman 1dari 3

Coba Anda diskusikan masing-masing teori konflik dari Thorsten Sellin, Vold, dan teori konflik dari

Dahrendorf dan Turk, dan kemudian sebutkan benang merah/kesimpulan dari masing-masing teori
tersebut!

Teori Konflik Kebudayaan

Teori konflik kebudayaan adalah kumpulan teori yang menjelaskan peranan suatu budaya di antara
kelompok-kelompok yang bertikai yang ada di masyarakat sehingga dapat mengakibatkan
munculnya kejahatan. Beberapa teori konflik kebudayaan, yakni:
1. Teori konflik norma tingkah laku dari Thorsten Sellin
2. Teori konflik kelompok kepentingan dari Vold
3. Teori konflik otoritas oleh Dahrendorf dan Turk.

1. Teori konflik norma tingkah laku dari Thorsten Sellin

Menurut Thorsten Sellin setiap budaya menanamkan norma budayanya sendiri (aturan tingkah laku)
dan menginternalisasikan norma tersebut dalam diri anggota budaya itu. Norma yang dipelajari oleh
setiap individu dan di atur oleh budaya di mana individu itu berada. Menurut Sellin, dalam
masyarakat homogen yang sehat, biasanya dilakukan dalam jalur hukum dan ditegakkan oleh
anggota-anggota masyarakat itu, karena mereka menerima norma itu sebagai suatu hal yang benar.
Konflik budaya akan muncul manakala aturan itu tidak dipatuhi oleh anggota budaya. Konflik di sini
mencakup “primary conflict” dan “secondary conflict.”

Primary conflict adalah konflik yang timbul di antara dua budaya yang berbeda di mana terciptanya
konflik itu karena adanya tiga situasi, yakni:
 Apabila dua masyarakat ada dalam “closed proximity”, maka kemungkinan ada “border
conflict”.
 Apabila satu kelompok berpindah ke dalam wilayah lainnya, atau setidaknya di mana suatu
masyarakat budaya menggunakan kekuasaannya untuk memperluas norma legal mereka
untuk mencakup wilayah budaya lainnya.
 Apabila anggota satu budaya berimigrasi atau berpindah ke dalam wilayah budaya lainnya,
di mana mereka akan dipaksa menerima norma budaya tuan rumah.

Secondary conflict adalah konflik yang terjadi di dalam satu budaya, khususnya ketika budaya itu
mengembangkan sub-kebudayaan masing-masing dengan norma tingkah lakunya sendiri. Hukum
biasanya akan mewakili aturan atau norma budaya yang dominan. Norma kelompok lain (sub-
kebudayaan) seringkali tidak hanya berbeda tetapi berlawanan dengan norma dominan. Seseorang
atau sekelompok orang yang hidup dalam norma tingkah laku sub-kebudayaan semacam itu, dapat
melanggar hukum (criminal rules) dari budaya dominan.

Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap kelompok masyarakat selalu memiliki
norma yang mengatur tingkah laku kelompoknya dan digunakan sebagai pedoman dalam hidup
bermasyarakat. Apabila ada anggota yang melakukan pelanggaran terhadap norma tersebut, maka
yang bersangkutan akan dikenai sanksi oleh kelompoknya. Biasanya, sanksi itu justru lebih kejam
daripada sanksi yang diberlakukan terhadap pelaku kejahatan yang diatur dalam KUHP suatu negara.

2. Teori konflik kelompok kepentingan dari Vold

Menurut Vold, pada hakekatnya orang mempunyai sifat “group oriented” dan mereka yang
mempunyai kepentingan yang sama bersatu membentuk sebuah kelompok dalam upaya mendorong
kepentingan mereka masuk ke dalam kancah politik. Berbeda dengan sub kebudayaan, kelompok
semacam ini agaknya bersifat sementara. Jadi, hanya ada dan tetap ada selama masih dikehendaki
untuk mencapai tujuan yang diharapkan mereka. Anggota-anggota budaya itu secara bersama
menunjukkan kepercayaan atas tujuan yang diharapkan, dan menjadi lebih dekat/terikat dengan
kelompok karena mereka bekerja dengan anggota-anggota lain untuk pencapaian tujuan itu.
Anggota-anggota budaya itu secara psikologis menjadi semakin bergantung pada kelompok. Hal ini
terjadi karena mereka meluangkan lebih banyak waktu dan upaya mereka di dalam kelompok itu.
Apabila tujuan tercapai, biasanya para anggota kelompok itu akan mengingkasri kesetiaan mereka
terhadap kelompok, dan kelompok itu akhirnya bubar. Teori Vold, dengan demikian, berasal dari
perspektif sosial-psikologi.

Ide Vold mengenai kelompok kepentingan ini didasarkan pada adanya konflik dalam sebuah budaya,
sama seperti halnya dalam konsep “secondary conflict” yang dikemukakan Sellin . Dalam konteks ini,
Vold melihat konflik antara kelompok kepentingan yang ada dalam budaya yang sama dan di dalam
sub kebudayaan.

Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa bahwa berbagai kelompok itu mempunyai
banyak kepentingan dan seringkali kepentingan itu bertentangan satu dengan lainnya.
Ketidaksesuaian atau pertentangan inilah yang menimbulkan konflik. Ketika kelompok mempunyai
kepentingan yang sama, maka acapkali konflik ini terselesaikan melalui kompromi yang memberikan
stabilitas kepada sebuah masyarakat. Ketika kelompok ini mempunyai kekuatan yang berbeda, satu
kelompok dapat menang dengan menggunakan kekuasaan negara untuk mewujudkan kepentingan
kelompok itu.

3. Teori konflik otoritas oleh Dahrendorf dan Turk

Pada dasarnya Dahrendorf dan Turk memfokuskan pada hubungan antara otoritas dan subjeknya.
Menurut Dahrendorf, kekuasaan adalah faktor yang dianggap penting. Dahrendorf memandang
persoalan konflik terjadi karena adanya perbedaan kekuasaan, dan khususnya dalam distribusi
otoritas. Seluruh masyarakat yang sehat membutuhkan perbedaan dalam tingkat kekuasaan atau
otoritas individu, sehingga norma atau aturan budaya dapat dijalankan. Jikalau satu pihak
mempunyai aturan, maka ia membutuhkan sanksi untuk melaksanakannya. Untuk menjamin bahwa
sanksi itu efektif, seseorang harus mempunyai kekuasaan agar dapat melaksanakan sanksi itu,
dengan demikian timbulnya konflik dapat dieliminir.

Kesimpulannya adalah kekuasaan adalah faktor yang dianggap penting. Pada dasarnya tetap
terdapat dua kelas sosial yaitu, mereka yang berkuasa dan yang dikuasai. Didalam teori konflik ini
terdapat adanya dominasi dan kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik juga membicarakan
mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi
dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena
adanya perbedaan kepentingan.

Menurut Turk, bahwa konflik sosial merupakan bagian yang nyata dan tidak dapat dielakkan dari
kehidupan sosial, di mana seseorang harus berada dalam otoritas. Bagi Turk, apabila tidak ada
konflik dalam tatanan sosial maka hal itu tidaklah sehat. Karena ketiadaan konflik menunjukkan
bahwa dalam masyarakat tersebut terdapat konsensus yang terlalu besar, atau individu secara
berlebihan dikontrol atau ditekan oleh pihak yang memiliki kekuasaan. Namun demikian, jika
intensitas timbulnya konflik tersebut sangat tinggi maka hal itu juga tidak diinginkan, karena tidak
ada masyarakat dapat sehat tanpa tingkat konsensus yang begitu tinggi. Dengan demikian, Turk
memandang ketertiban sosial didasarkan pada “coercion-consensus model”, dan otoritas harus
menjamin bahwa keseimbangan antara kedua hal itu tidak hilang.

Organisasi dan kecanggihan otoritas (penguasa) dan subjek (masyarakat) juga mempengaruhi tingkat
konflik. Otoritas, selain daripada rakyat banyak (mob), pada hakikatnya dapat terorganisir untuk
mendapatkan dan (tetap) menguasai kekuasaan. Apabila mereka yang sedang melakukan kegiatan
secara ilegal itu terorganisir, maka akan semakin besar konflik antara subjek dan negara (penguasa).

Dari teori konflik otoritas yang dikemukakan Turk dapat ditarik kesimpulan bahwa konfik bisa terjadi
karena adanya ketidaksesuaian antara norma budaya dan norma sosial. Selain itu organisasi dan
kecanggihan otoritas (penguasa) dan subjek (masyarakat) juga mempengaruhi tingkat konflik.

Anda mungkin juga menyukai