Anda di halaman 1dari 4

TUGAS 2

HUKUM ACARA PIDANA

Nama Mahasiswa : MIQUEL STEVEN GINTING


Nomor Induk Mahasiswa/NIM : 044944555

kasus 1
A adalah seorang driver online, pada suatu hari saat sedang membawa penumpangnya X ,mobil
A dihentikan oleh penyidik dan dilakukan penggeledahan tanpa surat penggeledahan serta
ditemukan 2 senjata api rakitan. Menurut keterangan A dan X barang tersebut bukan milik
mereka, akan tetapi polisi melakukan pemeriksaan dan penangkapan terhadap A.
Pertanyaannya
1. Siapakah yang dapat mengajukan permohonan Praperadilan dalam kasus tersebut dan
bagaimana proses pemeriksaan Praperadilan?
2. Apakah putusan praperadilan dapat diajukan banding?
kasus 2
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyatakan bakal
mengajukan replik atau jawaban atas pledoi yang disampaikan terdakwa kasus surat jalan palsu,
Djoko Tjandra beserta kuasa hukumnya.
"Kami akan mengajukan replik, secara tertulis," kata jaksa yang menangani perkara, di
Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Jumat (11/12/2020). Hakim Ketua Muhammad Sirat
mengatakan penyampaian replik dari jaksa penuntut akan dilakukan pada sidang berikutnya,
Selasa (15/12) pekan depan, di PN Jakarta Timur.
"Selasa pekan depan ya," ucapnya. Dalam pledoinya, Djoko Tjandra meyakini Majelis Hakim
PN Jaktim yang menangani perkara ini mengetahui secara terang dan jelas tentang fakta - fakta
yang terungkap dalam persidangan.
Ia menegaskan dirinya bukan pelaku tindak pidana membuat dan atau menggunakan surat jalan
palsu. Untuk itu ia semestinya diputus bebas. "Saya percaya Majelis Hakim Yang Mulia melihat
dengan terang dan jelas kebenaran-kebenaran dalam fakta-fakta yang terungkap di Persidangan
ini, yakni saya bukanlah pelaku tindak pidana membuat surat palsu atau memalsukan surat
sebagaimana Surat Tuntutan Penuntut Umum, dan atau saya bukanlah pelaku tindak pidana
pemakai surat palsu atau surat yang dipalsu sebagaimana Surat Dakwaan Penuntut Umum,
sehingga harus dibebaskan," kata Djoko Tjandra membacakan pledoinya, di PN Jakarta Timur,
Jumat (11/12/2020).
3. Buatlah gambaran proses pengajuan replik dan duplik dalam sebuah persidangan
perkara pidana ?
JAWABAN :

Jawaban :

1. Dasar Hukum Acara Pemeriksaan Singkat diatur dalam Pasal 203 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) yang berbunyi :

(1) Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan singkat ialah perkara kejahatan atau
pelanggaran yang tidak termasuk ketentuan Pasal 205 dan yang menurut penuntut
umum pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana;

(2) Dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penuntut umum
menghadapkan terdakwa beserta saksi, ahli, juru bahasa dan barang bukti yang
diperlukan;

(3) Dalam acara ini berlaku ketentuan dalam Bagian Kesatu, Bagian Kedua dan Bagian
Ketiga Bab ini sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan ketentuan di bawah
ini :

a.1. Penuntut umum dengan segera setelah terdakwa di sidang menjawab segala
pertanyaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat (1) memberittahukan
dengan lisan dari catatannya kepada terdakwa tentang tindak pidana yang
didakwakan kepadanya dengan menerangkan waktu, tempat dan keadaan pada
waktu tindak pidana itu dilakukan;

2. Pemberitahuan ini dicatat dalam berita acara sidang dan merupakan pengganti
surat dakwaan.

2. Era industry selalu berkembang dan membutuhkan jenis-jenis pekerjaan dan perusahaan yang
berbeda. Berbeda perilkau, mekanisme, permodalan hingga jenis-jenis kerjasamanya. Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
menggantikan dan mencabut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan
Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta. Bukan tidak mungkin di zaman disruptif pada masa
revolusi industry ke empat saat ini Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial memerlukan berbagai penyesuaian terutama dengan model
hubungan sebuah gedung atau kantor dalam bentuk nyata. Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial mengatur tentang penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang disebabkan dari :

a.perbedaan pendapat atau kepentingan mengenai keadaan ketenagakerjaan yang


belum diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama,
atau peraturan perundang-undangan;

b.kelalaian atau ketidakpatuhan salah satu atau para pihak dalam melaksanakan
ketentuan normative yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan;

c.pengakhiran hubungan kerja;perusahaan, penyedia jasa hingga penggunannya yang


semakin berbeda dan bahkan nantinya bias jadi perusahaan industry tidak memerlukan
d.perbedaan pendapat anatar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan
mengenai pelaksanaan hak dan kewajiban keserikat pekerjaan.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial


mengatur tentang :

1.penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang terjadi baik di perusahaan swasta maupun
perusahaan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara;

2.Pihak yang berperkara adalah perkerja/buruh secara perseorangan maupun organisasi serikat
pekerja/serikat buruh dengan pengusaha atau organisasi pengusaha;

3.Setiap perselisihan hubungan industrial pada awalnya diselesaikan secara musyawarah untuk
mufakat oleh para pihak yang berselisih (bipartite);

4.Dalam hal perundingan oleh para pihak yang berselisih (bipartite) gagal, maka salah satu pihak
atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya pada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan setemoat;

5.Perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antara


serikat pekerja/serikat buruh yang telah dicatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan dapat diselesaikan melalui konsiliasi atas kesepakatan kedua belah pihak;

6.Perselisihan hak yang telah dicatat pada instansi yang bertanggungjawab di bidang
ketenagakerjaan tidak dapat diselesaikan melalui konsiliasi atau arbitrase namun sebelum
diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial terlebih dahulu melalui mediasi;

7.Dalam hal mediasi atau konsiliasi tidak mencapai kesepakatan yang dituangkan dalam
perjanjian bersama, maka salah satu dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan
Industrial;

8.Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui arbitrase dilakukan berdasarkan


kesepakatan para pihak dan tidak dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial
karena putusan arbitrase bersifat akhir dan tetap, kecuali dalam hal-hal tertentu dapat diajukan
pembatalan ke Mahkamah Agung; dan

9.Pengadilan Hubungan Industrial berada pada lingkungan peradilan umum dan dibentuk pada
Pengadilan Negeri secara bertahap dan pada Mahkamah Agung.

10.Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan


Industrial disahkan Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal 14 Januari 2004 di Jakrta.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
diundangkan oleh Sekretaris Negara Bambang Kesowo pada tanggal 14 Januari 2004 di Jakarta.
Agar setiap orang mengetahuinya Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial ditempatkan pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 6. Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial ditempatkan pada Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4356.

3. Mengenai hak terdakwa maupun penuntut umum untuk mengajukan upaya hukum banding
diatur pada Pasal 67 KUHAP, yang menjelaskan: “ Terdakwa atau Penuntut Umum berhak untuk
minta Banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama,…..” Sedangkan mengenai batas
waktu mengajukan upaya hukum banding diatur dalam Pasal 233 ayat (2) KUHAP yang
menjelaskan: “Hanya permintaan Banding sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) boleh diterima
oleh Panitera Pengadilan Negeri dalam waktu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan,……”
Berdasarkan KUHAP, meskipun penuntut umum atau terdakwa sudah menandatangani Akta
Pernyataan Banding, dan berkas perkara sudah dikirim ke Pengadilam Tinggi yang memeriksa,
Permohonan Banding tersebut masih dapat dicabut selama belum diputus, hal ini diatur dalam
Pasal 235 ayat (1) dan (2) KUHAP. Sehingga, penuntut umum atau terdakwa yang menyatakan
menerima ataupun tidak menerima (menyatakan banding) putusan pada hari siding pembacaan
Putusan, dalam waktu 7 hari dapat mengubah pernyataan tersebut. Apabila seandainya pada hari
persidangan putusan menyatakan menolak pun, namun stelah itu dalam waktu 7 hari berubah
pikiran, dapat tetap menyatakan untuk menerima putusan. Atau jika dalam tenggang waktu 7 hari
telah lewat tanpa diajukan permintaan banding oleh yang bersangkutan dalam hal ini kepada
panitera muda pidana, dan tidak menandatangani Akta Pernyataan Banding, maka yang
bersangkutan dianggap menerima putusan tingkat pertama. Hal ini pun sesuai dengan keputusan
Menteri Kehakiman RI No. M. 14-PW.07.03 Tahun 1983 tentang Tambahan Pedoman
Pelaksanaa KUHAP (“Kepmenkumham M.14-PW.07.03 Tahun 1983”), khususnya pada angka
14 dalam Lampiran Kepmenkumham M.14-PW.07.03 Tahun 1983 ini yang menyatakan: “dalam
praktek timbul kesulitan pada waktu jaksa akan melakukan eksekusi putusan pengadilan,
khusunya dalam hal terdakwa/terpidana tidak ditahan dan sudah menyatakan menerima putusan
tersebut sesuai dengan ketentuan pasal 196 ayat (3) huruf a KUHAP; dalam waktu itu setelah
putusan diesekusi, terdakwa/terpidana tersebut mencabut kembali pernyataannya sesuai dengan
ketentuan pasal 196 ayat (3) huruf e dan untuk selanjutnya mengajukan upaya hukum (banding
atau kasasi). Apabila upaya hukum tersebut ternyata diteruskan, maka putusan yang
bersangkutan menjadi belum mempunyai kekuatan hukum tetap. Sehubungan dengan hal
tersebut diberikan petunjuk, bahwa putusan pengadilan baru dinyatakan telah mempunyai hukum
tetap apabila tenggang waktu untuk berfikir telah dilampaui 7 hari setelah putusan pengadilan
tingkat pertama dan 14 hari setelah putusan pengadilan tingkat banding, sesuai dengan maksud
ketentuan dari pasal 233 ayat (2) jo. Pasal 245 ayat (1) jo. Pasal 226 ayat (2) KUHAP”. Dari
aturan KUHAP diatas yang menjadi dasar pengajuan Banding, maka menjawab pertanyaan,
Pnuntut Umum yang sudah menyatakan menerima putusan dan dicatat oleh panitera pengganti
yang mencatat jalannya persidangan, dapat mengubah keputusannya dan mengajukan upaya
hukum banding. Ini karena upaya hukum banding adalah hak dari Terdakwa maupun Penuntut
Umum sebagaimana Pasal 67 KUHAP. Namun hak itu dibatasi dengan jangka waktu
sebagaimana diatur dalam Pasal 233 ayat (2) KUHAP, yaitu 7 hari. Meskipun dalam persidangan
paniterapengganti telah mencatat dalam berita acara persidangan, pernyataan itu dapat
diubah/diganti oleh pihak penuntut umum ataupun terdakwa, asalkan tetap dalam tenggang
waktu 7 hari setelah putusan dijatuhkan.

Dasar Hukum:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;

2. Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tentang Tambahan


Pedoman Pelaksanaan KUHAP.

Anda mungkin juga menyukai