Anda di halaman 1dari 6

Dalam konteks kecelakaan seperti yang disebutkan di atas, pertanggungjawaban dari pihak

pengangkut, dalam hal ini operator kereta api, terhadap pengemudi mobil yang tertabrak serta
terhadap penumpang kereta api dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban terhadap Pengemudi Mobil :


- Sesuai dengan prinsip hukum lalu lintas dan keselamatan jalan raya, pengemudi mobil yang
menerobos palang pintu rel kereta api bertanggung jawab atas tindakan melanggar aturan
tersebut. Ini dapat mengakibatkan pembatalan klaim asuransi yang mungkin diajukan oleh
pihaknya atau ahli warisnya, karena bertentangan dengan prinsip kehati-hatian yang
diharapkan dari setiap pengemudi.
- Namun, dalam kasus ini, meskipun pengemudi mobil melakukan pelanggaran, ada
kemungkinan pengangkut atau operator kereta api juga memiliki tanggung jawab, terutama jika
ada bukti bahwa sistem peringatan di perlintasan kereta api tersebut tidak berfungsi dengan
baik atau jika ada kelalaian dalam pemeliharaannya.

2. Pertanggungjawaban terhadap Penumpang Kereta Api:


- Pihak pengangkut atau operator kereta api memiliki kewajiban untuk memberikan
perlindungan dan keselamatan kepada penumpangnya sesuai dengan hukum perdata dan
hukum perikatan. Oleh karena itu, jika ada penumpang kereta api yang mengalami luka-luka
sebagai akibat dari kecelakaan tersebut, operator kereta api bisa bertanggung jawab atas
kompensasi terhadap cedera dan kerugian yang diderita oleh penumpang.
- Pertanggungjawaban ini biasanya akan ditinjau berdasarkan hukum perdata atau perikatan,
yang menetapkan bahwa operator kereta api harus bertanggung jawab atas kecelakaan yang
terjadi dalam operasional mereka, kecuali jika dapat dibuktikan bahwa kecelakaan tersebut
disebabkan oleh keadaan diluar kendali mereka (force majeure).

Dalam kedua kasus tersebut, penting untuk melakukan penyelidikan menyeluruh untuk
menentukan tingkat pertanggungjawaban masing-masing pihak. Pemahaman atas
prinsip-prinsip hukum yang berkaitan dengan keselamatan lalu lintas dan tanggung
jawab pengangkut dalam hukum perdata akan menjadi kunci dalam menentukan
tanggung jawab yang sesuai.

SUMBER :

BMP Modul 9 HKUM4207


www.hukumonline.com

Izin menjawab diskusi,

Dalam situasi di mana pengemudi mobil menerobos palang pintu kereta dan akhirnya tertabrak
oleh kereta api, terdapat beberapa pertimbangan hukum yang relevan:

1. Pertanggungjawaban Pengemudi Mobil:


Pengemudi mobil yang menerobos palang pintu kereta bertanggung jawab atas tindakannya.
Mereka harus mematuhi peraturan lalu lintas dan menghormati isyarat yang diberikan oleh
palang pintu dan sinyal kereta api.
Jika pengemudi melanggar peraturan dengan menerobos palang pintu yang sudah ditutup,
mereka dapat dikenai sanksi pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). Pasal 296 UU LLAJ menyebutkan bahwa
pengendara kendaraan bermotor yang tidak berhenti pada perlintasan antara kereta api ketika
sinyal sudah berbunyi dan palang pintu kereta api sudah mulai ditutup dapat dikenai pidana
kurungan.
Selain itu, pengemudi juga harus mempertanggungjawabkan tindakannya terhadap kerusakan
sarana dan gangguan perjalanan yang disebabkan oleh kecelakaan tersebut.
Pertanggungjawaban Pihak Pengangkut (KAI):
Perusahaan Kereta Api Indonesia (KAI) juga memiliki tanggung jawab terhadap kecelakaan ini.
Jika ada kerusakan pada sarana kereta api atau gangguan perjalanan, KAI dapat menuntut
pengemudi mobil untuk mempertanggungjawabkan tindakannya.
KAI akan menuntut pengemudi mobil karena tidak mendahulukan perjalanan kereta api, yang
menyebabkan kerusakan sarana dan gangguan perjalanan.

Tanggung Jawab Pengangkut (Si Pengangkut):


Berdasarkan hukum nasional Republik Indonesia, si pengangkut (dalam hal ini, KAI) memiliki
kewajiban untuk mengganti segala kerugian yang disebabkan karena barang (dalam hal ini,
pengemudi mobil) tidak dapat diserahkannya atau karena terjadi kerusakan pada barang
tersebut. Namun, pengecualian berlaku jika kerusakan disebabkan oleh malapetaka yang tidak
dapat dicegah atau cacat pada barang tersebut

2. Pertanggungjawaban hukum pihak pengangkut terhadap penumpang dalam kasus


kecelakaan yang tidak disebabkan oleh kesalahan pengangkut dapat bervariasi tergantung
pada jenis angkutan dan peraturan yang berlaku. Berikut beberapa informasi yang relevan:

Kecelakaan Lalu Lintas:


Dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ),
kecelakaan lalu lintas digolongkan menjadi tiga kategori:
Kecelakaan Lalu Lintas Ringan: Mengakibatkan kerusakan kendaraan dan/atau barang.
Kecelakaan Lalu Lintas Sedang: Mengakibatkan luka ringan dan kerusakan kendaraan
dan/atau barang.
Kecelakaan Lalu Lintas Berat: Mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat.

Pengemudi, pemilik kendaraan bermotor, dan/atau perusahaan angkutan umum bertanggung


jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pemilik barang karena kelalaian
pengemudi. Namun, ada pengecualian jika terjadi keadaan memaksa, perilaku korban sendiri,
atau gerakan orang dan/atau hewan.

Terimakasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Dasar hukum:
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian;
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api
sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2016 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Kereta Api

Referensi:
R. Sughandi. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Penjelasannya. Surabaya: Usaha
Nasional, 1981.

SELAMAT PAGI IZIN MENJAWAB:

1Bagaimana pertanggungjawaban dari pihak pengangkut terhadap pengemudi mobil yang tertabrak?

Pengendara mobil dikatakan bersalah apabila melanggar rambu-rambu yang disediakan atau dalam hal
ini melintasi jalur kereta api tanpa hak yang membahayakan perjalanan kereta api, sebagaimana
disebutkan di Pasal 181 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian (“UU
Perkeretaapian”) sanksinya adalah pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak
Rp 15 juta.

Sanksi lain terdapat di Pasal 296 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dan
Angkutan Jalan (“UU LLAJ”), yaitu terhadap pengendara kendaraan bermotor yang tidak berhenti pada
perlintasan antara kereta api ketika sinyal sudah berbunyi, palang pintu kereta api sudah mulai ditutup,
dan/atau mengabaikan isyarat. Terhadap pengendara tersebut dipidana dengan pidana kurungan paling
lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp 750 ribu.

Namun jika pengendara mobil tersebut melintas karena tidak ada rambu-rambu sebagaimana dimaksud,
atau tidak ada yang memperingatinya, sehingga ia tidak mengetahui bahwa ada kereta yang akan
melintas, jelas kesalahan ada di pihak penyelenggara prasarana perkeretaapian karena pihak tersebutlah
yang memiliki hak dan wewenang untuk mengatur, mengendalikan, dan mengawasi perjalanan kereta
api maupun mendahulukan perjalanan kereta api di perpotongan sebidang dengan jalan.
Secara umum dalam Pasal 181 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian
(“UU Perkeretaapian”) dijelaskan bahwa setiap orang dilarang:
Berada di ruang manfaat jalur kereta api;
Menyeret, menggerakkan, meletakkan, atau memindahkan barang di atas rel atau melintasi jalur kereta
api; atau
Menggunakan jalur kereta api untuk kepentingan lain, selain untuk angkutan kereta api.

Berdasarkan Pasal 1 angka 4 UU Perkeretaapian, jalur kereta api adalah jalur yang terdiri atas rangkaian
petak jalan rel yang meliputi ruang manfaat jalur kereta api, ruang milik jalur kereta api, dan ruang
pengawasan jalur kereta api, termasuk bagian atas dan bawahnya yang diperuntukkan bagi lalu lintas
kereta api.

Hal ini berkaitan dengan Pasal 110 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2009 Tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Kereta Api (“PP 72/2009”) sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Pemerintah
Nomor 61 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2009 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api (“PP 61/2016”), pada perpotongan sebidang antara jalur kereta api
dengan jalan yang selanjutnya disebut dengan perpotongan sebidang yang digunakan untuk lalu lintas
umum atau lalu lintas khusus, pemakai jalan wajib mendahulukan perjalanan kereta api.

Hal senada juga disebutkan pada Pasal 114 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”), bahwa pada perlintasan sebidang antara jalur kereta api dan jalan,
pengemudi kendaraan wajib:
berhenti ketika sinyal sudah berbunyi, palang pintu kereta api sudah mulai ditutup, dan/atau ada isyarat
lain;
mendahulukan kereta api; dan
memberikan hak utama kepada kendaraan yang lebih dahulu melintasi rel.

Pemakai jalan wajib mematuhi semua rambu-rambu jalan di perpotongan sebidang.[1] Pintu perlintasan
yang dimaksud pada perpotongan sebidang berfungsi untuk mengamankan perjalanan kereta api.[2]

Dalam hal terjadi pelanggaran atas ketentuan di atas yang menyebabkan kecelakaan, maka hal ini bukan
merupakan kecelakaan perkeretaapian.[3]

Pengendara mobil dikatakan bersalah apabila melanggar rambu-rambu yang disediakan atau dalam hal
ini melintasi jalur kereta api tanpa hak yang membahayakan perjalanan kereta api, sebagaimana
disebutkan di Pasal 181 ayat (1) UU Perkeretaapian sanksinya adalah pidana penjara paling lama 3 (tiga)
bulan atau denda paling banyak Rp 15 juta.[4]

Sanksi lain terdapat di Pasal 296 UU LLAJ, yaitu terhadap pengendara kendaraan bermotor yang tidak
berhenti pada perlintasan antara kereta api dan jalan ketika sinyal sudah berbunyi, palang pintu kereta
api sudah mulai ditutup, dan/atau ada isyarat lain. Terhadap pengendara tersebut dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp 750 ribu.

Oleh karena itu, siapa yang salah dalam kasus Anda memang perlu dilakukan penyidikan lebih lanjut
untuk membuktikannya karena bisa saja tertabraknya mobil di perlintasan kereta api disebabkan karena
pengemudinya tidak mendahulukan kereta api atau tetap melintas pada saat sinyal dan isyarat sudah
diberikan.

Pada Pasal 296 UU LLAJ dapat dicermati, meskipun tidak secara langsung membahayakan keselamatan
perjalanan kereta api, namun apabila si pengendara tidak mengikuti rambu yang ditetapkan, atau
dengan kata lain tetap melintas pada saat sinyal dan isyarat sebagaimana dimaksud sudah diberikan
(meskipun tidak tertabrak kereta karena kereta masih jauh jaraknya), maka pengendara tersebut tetap
dikenakan sanksi sesuai pasal ini.

Namun jika pengendara mobil tersebut melintas karena tidak ada rambu-rambu sebagaimana dimaksud,
atau tidak ada yang memperingatinya, sehingga ia tidak mengetahui bahwa ada kereta yang akan
melintas, jelas kesalahan ada di pihak penyelenggara prasarana perkeretaapian karena pihak tersebutlah
yang memiliki hak dan wewenang untuk mengatur, mengendalikan, dan mengawasi perjalanan kereta
api maupun mendahulukan perjalanan kereta api di perpotongan sebidang dengan jalan.[5]

Atau jika kesalahannya atas kelalaian dari petugas penjaga perlintasan, maka sanksi untuk pihak yang
ditugaskan pada perlintasan rel kereta tersebut adalah pidana penjara paling lama lima tahun, atau
pidana kurungan selama-lamanya satu tahun, sebagaimana diatur di Pasal 359 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (“KUHP”), dalam rumusan pasal tersebut terdapat frasa “Barangsiapa karena
kekhilafannya menyebabkan orang mati”.

Selain itu, terhadap masinis yang telah diberikan peringatan juga perlu diselidiki lebih lanjut, apakah
masinis tersebut sudah mengikuti prosedur yang ada atau tidak. Jika lalai karena tidak mengikuti
prosedur, maka masinis tersebut dapat dipidana sebagaimana disebutkan Pasal 361 KUHP, yaitu:

Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau
pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk
menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya
putusannya diumumkan.

Pada penjelasan Pasal 361 KUHP, dalam buku KUHP dan Penjelasannya oleh R. Sughandi (hal. 374- 375),
ia berpendapat bahwa yang dapat dikenakan Pasal 361 KUHP misalnya: dokter, bidan, ahli obat,
pengemudi kendaraan bermotor, masinis kereta api, yang sebagai orang ahli dalam pekerjaan mereka
masing-masing, dianggap harus lebih berhati-hati dalam melakukan pekerjaannya. Apabila mereka itu
mengabaikan (melalaikan) peraturan-peraturan atau keharusan-keharusan yang dituntut oleh
pekerjaannya sehingga menyebabkan matinya orang (Pasal 359) atau mengakibatkan orang luka berat
(Pasal 360) maka selain hukumannya diperberat, dapat pula dicabut haknya melakukan pekerjaan itu
dan diumumkan keputusannya.

2. Bagaimana pula pertanggungjawaban dari pihak pengangkut terhadap penumpang kereta api?

dalam Pasal 181 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian (“UU
Perkeretaapian”) dijelaskan bahwa setiap orang dilarang:
Berada di ruang manfaat jalur kereta api;
Menyeret, menggerakkan, meletakkan, atau memindahkan barang di atas rel atau melintasi jalur kereta
api; atau
Menggunakan jalur kereta api untuk kepentingan lain, selain untuk angkutan kereta api.

Berdasarkan Pasal 1 angka 4 UU Perkeretaapian, jalur kereta api adalah jalur yang terdiri atas rangkaian
petak jalan rel yang meliputi ruang manfaat jalur kereta api, ruang milik jalur kereta api, dan ruang
pengawasan jalur kereta api, termasuk bagian atas dan bawahnya yang diperuntukkan bagi lalu lintas
kereta api.

Hal ini berkaitan dengan Pasal 110 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2009 Tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Kereta Api (“PP 72/2009”) sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Pemerintah
Nomor 61 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2009 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api (“PP 61/2016”), pada perpotongan sebidang antara jalur kereta api
dengan jalan yang selanjutnya disebut dengan perpotongan sebidang yang digunakan untuk lalu lintas
umum atau lalu lintas khusus, pemakai jalan wajib mendahulukan perjalanan kereta api.

Hal senada juga disebutkan pada Pasal 114 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”), bahwa pada perlintasan sebidang antara jalur kereta api dan jalan,
pengemudi kendaraan wajib:
berhenti ketika sinyal sudah berbunyi, palang pintu kereta api sudah mulai ditutup, dan/atau ada isyarat
lain;
mendahulukan kereta api; dan
memberikan hak utama kepada kendaraan yang lebih dahulu melintasi rel.

Pemakai jalan wajib mematuhi semua rambu-rambu jalan di perpotongan sebidang.[1] Pintu perlintasan
yang dimaksud pada perpotongan sebidang berfungsi untuk mengamankan perjalanan kereta api.[2]

Dalam hal terjadi pelanggaran atas ketentuan di atas yang menyebabkan kecelakaan, maka hal ini bukan
merupakan kecelakaan perkeretaapian.[3]

Pengendara mobil dikatakan bersalah apabila melanggar rambu-rambu yang disediakan atau dalam hal
ini melintasi jalur kereta api tanpa hak yang membahayakan perjalanan kereta api, sebagaimana
disebutkan di Pasal 181 ayat (1) UU Perkeretaapian sanksinya adalah pidana penjara paling lama 3 (tiga)
bulan atau denda paling banyak Rp 15 juta.[4]

Sanksi lain terdapat di Pasal 296 UU LLAJ, yaitu terhadap pengendara kendaraan bermotor yang tidak
berhenti pada perlintasan antara kereta api dan jalan ketika sinyal sudah berbunyi, palang pintu kereta
api sudah mulai ditutup, dan/atau ada isyarat lain. Terhadap pengendara tersebut dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp 750 ribu.

Oleh karena itu, siapa yang salah dalam kasus Anda memang perlu dilakukan penyidikan lebih lanjut
untuk membuktikannya karena bisa saja tertabraknya mobil di perlintasan kereta api disebabkan karena
pengemudinya tidak mendahulukan kereta api atau tetap melintas pada saat sinyal dan isyarat sudah
diberikan.

Pada Pasal 296 UU LLAJ dapat dicermati, meskipun tidak secara langsung membahayakan keselamatan
perjalanan kereta api, namun apabila si pengendara tidak mengikuti rambu yang ditetapkan, atau
dengan kata lain tetap melintas pada saat sinyal dan isyarat sebagaimana dimaksud sudah diberikan
(meskipun tidak tertabrak kereta karena kereta masih jauh jaraknya), maka pengendara tersebut tetap
dikenakan sanksi sesuai pasal ini.

Namun jika pengendara mobil tersebut melintas karena tidak ada rambu-rambu sebagaimana dimaksud,
atau tidak ada yang memperingatinya, sehingga ia tidak mengetahui bahwa ada kereta yang akan
melintas, jelas kesalahan ada di pihak penyelenggara prasarana perkeretaapian karena pihak tersebutlah
yang memiliki hak dan wewenang untuk mengatur, mengendalikan, dan mengawasi perjalanan kereta
api maupun mendahulukan perjalanan kereta api di perpotongan sebidang dengan jalan.[5]

Atau jika kesalahannya atas kelalaian dari petugas penjaga perlintasan, maka sanksi untuk pihak yang
ditugaskan pada perlintasan rel kereta tersebut adalah pidana penjara paling lama lima tahun, atau
pidana kurungan selama-lamanya satu tahun, sebagaimana diatur di Pasal 359 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (“KUHP”), dalam rumusan pasal tersebut terdapat frasa “Barangsiapa karena
kekhilafannya menyebabkan orang mati”.
Selain itu, terhadap masinis yang telah diberikan peringatan juga perlu diselidiki lebih lanjut, apakah
masinis tersebut sudah mengikuti prosedur yang ada atau tidak. Jika lalai karena tidak mengikuti
prosedur, maka masinis tersebut dapat dipidana sebagaimana disebutkan Pasal 361 KUHP, yaitu:

Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau
pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk
menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya
putusannya diumumkan.

Pada penjelasan Pasal 361 KUHP, dalam buku KUHP dan Penjelasannya oleh R. Sughandi (hal. 374- 375),
ia berpendapat bahwa yang dapat dikenakan Pasal 361 KUHP misalnya: dokter, bidan, ahli obat,
pengemudi kendaraan bermotor, masinis kereta api, yang sebagai orang ahli dalam pekerjaan mereka
masing-masing, dianggap harus lebih berhati-hati dalam melakukan pekerjaannya. Apabila mereka itu
mengabaikan (melalaikan) peraturan-peraturan atau keharusan-keharusan yang dituntut oleh
pekerjaannya sehingga menyebabkan matinya orang (Pasal 359) atau mengakibatkan orang luka berat
(Pasal 360) maka selain hukumannya diperberat, dapat pula dicabut haknya melakukan pekerjaan itu
dan diumumkan keputusannya.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian;
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api sebagaimana
telah diubah oleh Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian;
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api sebagaimana
telah diubah oleh Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api

Anda mungkin juga menyukai