Jika ada warga yang melanggar, maka dia akan disepekang (dikucilkan) dari pemukiman
warga umumnya. Tempat pengucilan ini disebut Karang Memadu yaitu tempat lokalisir yang
gunanya untuk meenempatkan orang yang berpoligami. Yang mana akan dihukum dengan istri
mudanya. Lokasinya di ujung selatan desa. Warga menganggap lahan ini kotor atau leteh.
Sepekang ini masih diterapkan oleh sebagian desa adat di Bali meskipun sudah dilarang
oleh Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) karena dianggap tidak manusiawi. Saat
disepekang, orang tersebut akan tinggal untuk sementara waktu di luar desa. Warga akan
membuatkan gubuk sementara.
Jika ada warga yang beristri lebih dari satu, maka dia akan dipekang di Karang Madu dan
tinggal di gubuk yang dibuatkan oleh warga. Walaupun disediakan fasilitas namun sampai saat
ini belum ada satu pun warga yang berani melanggar awig-awig ini. Belum ada lelaki
Penglipuran yang berani beristri lebih dari satu karena sanksinya yang berat. Dan kesakralan
perkawinannya tidak akan disahkan di desa ini, secara adat perkawinan itu tidak akan diproses.
Akibatnya, Karang Memadu itu pun belum pernah digunakan hingga saat ini. Lahan itu
hanya berupa tanah kosong dengan alang-alang liar tumbuh di sana. Bukti bahwa tak ada warga
adat yang berani melanggar aturan tersebut.