Anda di halaman 1dari 4

TUGAS HUKUM LINGKUNGAN

KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT


ADAT MENJAGA HUTAN

DISUSUN OLEH:

RISKA RESKIKA
0112.02.56.2022

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2022
Pengakuan negara terhadap masyarakat adat dan hutan adatnya tak hanya mengubah
karakter hubungan negara dan masyarakat adat, tetapi juga sebagai bentuk pengakuan
atas kearifan lokal dalam melestarikan hutan. Hutan dan masyarakat adat adalah dua
entitas yang tidak bisa dipisahkan. Inilah yang terjadi di dalam masyarakat Lindu yang
mendiami Taman Nasional Lore Lindu (TNLL), Sulawesi Tengah.

”Hutan adalah makanan kami, air adalah darah kami dan batu-batuan adalah tulang
kami,” lontar seorang perempuan dari Desa Marena dalam pertemuan antara
masyarakat adat Marena, pemerintah pusat, Pemerintah Kabupaten Sigi, dan perwakilan
Kantor Staf Presiden (KSP) awal Desember lalu. Ungkapan tersebut menegaskan
bahwa masyarakat adat tidak mungkin merusak hutan mereka karena hutan dan segala
isinya adalah penopang hidup mereka.

Serupa dengan masyarakat Marena, masyarakat Lindu sangat menghargai hutan adat
yang masuk di dalam wilayah Taman Nasional Lore Lindu. Hal itu dibuktikan dengan
pemberlakuan zonasi penggunaan hutan oleh masyarakat adat Lindu serta sejumlah
sanksi adat yang cukup berat jika terjadi pelanggaran terhadap zonasi penggunaan
tersebut.

Masyarakat adat Lindu membentuk Majelis Adat Ngata Lindu (Totua Ngata) yang
tugasnya memastikan semua aturan tentang penggunaan hutan dipatuhi dan
memberikan sanksi adat jika ada warga yang melanggarnya.

”Kami memiliki semboyan ’ginoku katuhuaku’ atau tempat ini adalah kehidupan kami.
Sehingga kami membuat aturan bagi masyarakat adat Lindu dengan membagi wilayah
hutan ke dalam beberapa area dengan aturan masing-masing,” jelas Nurdin Lamadjudu,
Ketua Majelis Adat Lindu. Pembagian itu meliputi beberapa area hutan.

Area hutan yang sama sekali tidak boleh disentuh oleh masyarakat Lindu disebut
sebagai hutan Wanangkiki. Letaknya biasanya di atas permukiman atau di tempat
terjauh, di gunung, dan di bagian hulu sungai. Nenek moyang mereka sudah
mengajarkan jika wilayah tersebut diganggu, akan membahayakan kehidupan
masyarakat adat Lindu sendiri.

Area berikutnya adalah wilayah Suakantodea di mana masyarakat bisa memanfaatkan


isi hutan untuk memenuhi kebutuhannya secara terbatas. Misalnya, masyarakat bisa
memanfaatkan tanaman pondan hutan untuk membuat tikar penjemur padi, pohon enau
untuk diambil buah dan daunnya untuk membuat ijuk, sejumlah kayu terpilih yang
dipakai sebagai bahan bangunan rumah.

Area Pangale merupakan wilayah di mana dahulu para leluhur masyarakat Lindu pernah
menggarapnya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dulu leluhur masyarakat
Lindu menerapkan jeda waktu selama lima tahun untuk bertanam di area tersebut.

Setelah memberi jeda lima tahun tak digarap, barulah kemudian wilayah Pangale
kembali boleh digunakan dan ditanami. Hal ini dilakukan untuk memberi kesempatan
tanah di area tersebut memulihkan diri sehingga bisa tetap subur.
Sementara itu, area yang bisa digarap oleh masyarakat Lindu disebut sebagai Pobondea,
Popampa, dan Polida. Area Pobondea merupakan tempat di mana masyarakat boleh
menanami dengan tanaman produktif, seperti kopi, cokelat, atau bambu. Popampa
merupakan kebun tempat menanam ubi jalar, pisang, jagung atau tanaman palawija.
Sementara Polida adalah area persawahan.

Masyarakat adat Lindu saat ini mendiami lima desa, yaitu Desa Puroo, Langko,
Tamado, Anca, dan Olu. Dengan jumlah penduduk 5.791 jiwa, warga Kecamatan Lindu
tersebut menerapkan aturan adat yang cukup ketat terkait penggunaan hutan adat
mereka ataupun relasi sosial budaya antarwarga.

Hal ini terjadi mengingat di dalam lima desa tersebut juga bermukim warga non-Lindu,
yaitu mereka yang berasal dari luar Lindu, seperti dari wilayah Kulawi Selatan, Toraja,
atau orang-orang Bugis. Keberadaan Majelis Adat Ngata Lindu, salah satunya untuk
memastikan orang-orang non-Lindu juga mengikuti aturan adat Lindu bersama-sama
warga Lindu, terutama menyangkut hutan mereka.

Kekayaan alam yang dijaga oleh masyarakat Lindu tak hanya berupa hutan, tetapi juga
danau Lindu. Danau ini terletak di tengah-tengah lembah Lindu dan di sekelilingnya
terletak lima desa sehingga menjadi pusat kehidupan sehari-hari masyarakat di mana
warga bisa menjaring ikan untuk dimakan sendiri maupun dijual ke luar Lindu. Danau
Lindu dengan luas mencapai 3.488 hektar ini juga merupakan danau terbesar kedua di
Sulawesi setelah Danau Poso.

Sebagai pusat kehidupan sehari-hari, Majelis Adat Ngata Lindu juga menerapkan aturan
adat terkait pemanfaatan Danau Lindu. Hal ini dilakukan agar danau bisa tetap produktif
dan terjaga kelestariannya. Aturan adat yang diberlakukan, seperti diberlakukannya
Sompoa, yaitu penetapan area di Danau Lindu yang bisa dimanfaatkan oleh warga tiap-
tiap desa.

Umumnya, warga tiap desa memiliki daerah tangkapan seputar pinggir danau di area
desanya masing-masing. Aturan lainnya, misalnya pelarangan menggunakan bahan
kimia dan beracun serta alat penangkap ikan berenergi listrik yang bisa memusnahkan.

Majelis Adat Ngata Lindu juga memastikan aturan-aturan adat tersebut dipatuhi dengan
menerapkan sanksi atau denda adat, dalam bahasa lokal disebut gifu, bagi para
pelanggarnya. Beberapa sanksi adat yang diberlakukan adalah Ombo Sompoa, yaitu
menghentikan sementara aktivitas menangkap ikan bagi para penangkap ikan yang
melanggar aturan adat, denda beberapa ekor kerbau disertai kain adat tradisional serta
dulang (belanga adat terbuat dari tembaga yang sudah langka), atau yang paling berat
adalah dikeluarkan dari wilayah adat Lindu.

Tak hanya menyangkut penggunaan hutan, gifu juga dijatuhkan dalam kaitan dengan
relasi sosial budaya masyarakat Lindu. Saat makan bersama secara adat pun, seseorang
berpeluang terkena gifu jika tidak benar-benar mengikuti aturan.

Misalnya, aturan untuk mencuci tangan setelah makan selesai, baru boleh dilakukan
ketika semua orang yang ikut acara sudah selesai makan. Jika melanggar, akan dikenai
gifu. Menurut cerita beberapa warga, pejabat kabupaten pernah terkena gifu dan harus
membayar senilai seekor kerbau karena tidak mematuhi aturan tersebut.

Dengan aturan adat yang ketat tersebut, masyarakat Lindu tetap bisa hidup
berdampingan meskipun di situ bermukim juga warga non-Lindu dengan beragam
agama. Saat ini, masyarakat asli Lindu mendiami tiga desa, yaitu Langko, Tomado, dan
Anca. Sementara penduduk desa Puroo dan Olu sudah terdiri atas campuran warga
Lindu dan non-Lindu, yaitu masyarakat Kulawi, Toraja, dan Bugis.

Masyarakat Lindu sendiri mayoritas penganut Kristen dengan proporsi mencapai 81


persen, sementara Islam 18,4 persen dan Katolik 0,68 persen. Ragam agama tersebut
tidak menghalangi mereka untuk merayakan hari besar agama masing-masing secara
bersama-sama.

”Tradisi kami di sini selama Natal dan Lebaran adalah saling berkunjung ke rumah
keluarga yang merayakannya. Satu keluarga Muslim akan mengunjungi seluruh warga
yang beragama Kristen di saat Natal dan sebaliknya. Acara itu bisa berlangsung selama
tiga hari berturut-turut supaya semua keluarga yang merayakan dikunjungi,” urai
Joysman, salah seorang tokoh muda adat asli Desa Langko.

Dalam situasi seperti itu, suasana desa di Kecamatan Lindu sangat meriah, dengan
puluhan orang mengenakan baju terbaik mereka yang warna-warni memenuhi jalan-
jalan desa. Segala jenis hidangan tersedia, mulai dari berbagai penganan hingga
hidangan utama dengan lauk ikan dan ayam.

RISKA RESKIKA
0112.02.56.2022

Anda mungkin juga menyukai