Anda di halaman 1dari 2

Kearifan Lokal: Tradisi Tana Ulen

Desa Long Alango di


Kecamatan Bahau Hulu ,Dayak
Kenyah, Kalimantan Timur
merupakan daerah yang banyak
dihuni suku Kenyah Leppo Maut
yang telah bermukim sejak tahun
1957-1968, mereka diperkirakan
berasal dari dataran Cina. Desa
Long Alango juga termasuk dalam
Wilayah Persekutuan Adat Hulu
Bahau, berbatasan di sebelah hulu
Sungai Bahau dengan Desa Long
Kemuat dan di sebelah hilir dengan
Desa Long Tebulo.
Sekitar tahun 1940-an di desa
Long Kemuat membuka lahan disekitar Sungai Lango, karena areal hutan di sekitar
Long Kemuat hutannya semakin terbatas. Dan pada sekitar tahun itu juga Kepala
adat besar waktu itu (Apui Njau) mengajak masyarakat untuk mencoba menggarap
sawah dan hingga pada akhirnya Kepala Adat Besar Bahau Hulu menetapkan lahan
perladangan itu sebagai salah satu kawasan Tana Ulen kawasan Long Alango.
Masyarakat disekitar kawasan merupakan masyarakat adat dimana hukum adat
menjadi pegangan dalam menjalani kehidupan sehari-hari serta dalam
hal pemanfaatan sumber daya alam. Lembaga hukum adat memungkinkan
masyarakat untuk lebih memahami adat yang mengatur kegiatan mereka seharihari, sehingga masyarakat selalu berpedoman pada lembaga hukum adat dalam
pengambilan keputusan.
Tana Ulen masyarakat atau tanah adat itu memiliki arti tanah yang
dilindungi, dijaga kelestariannya dan hasil hutannya, dikelola secara berkelanjutan
oleh masyarakat setempat sesuai hokum adat yang berlaku. Tana Ulen didalam
wilayah masyarakat suku Kenyah pada umumnya dan suku Leppo Maut khususnya
sudah dibuat secara turun temurun, sampai kini dipertahankan dengan nama Tana
Ulen masyarakat adat (Lahang 1999). Sedangkan menurut Kondarus (1999) Tana
Ulen berupa kawasan tanah yang keberadaannya diperuntukan bagi
kaum paren (bangsawan) yang menjadi pengusaha di desa tersebut, dan dijadikan
tempat simpanan atau cadangan sumberdaya alam yang dapat diambil sewaktuwaktu sesuai kepingan kaum paren.
Dalam pengelolaan Tana Ulen Leppo oleh desa, terdapat sejumlah aturan yang
harus dipenuhi bersama oleh warganya secara ketat. Hasil hutan diambil pada
waktu-waktu tertentu yang disebut buka ulen, yang tidak mengikuti kalender tetapi
mengikuti kalender perladangan, yang khusus dibuat untuk kepentingan desa. Halhal yang tidak diperbolehkan seperti warga desa untuk ngusa (mengambil atau
mengusahakan hasil hutan) diluar waktu buka ulen atau melewati batas waktu buka
ulen, dan masuknya warga lain tanpa izin pimpinan desa ataupun kepala desa, baik
pada saat buka ulen maupun diluar dan memotong rotan yang masih muda atau
menebang pohon kayu manis yang masih muda. Pelanggaran-pelanggaran terhadap
peraturan Tana Ulen Leppo dikenakan sanksi yang disesuaikan dengan jenis
pelanggaran. Jika pelanggaran dilakukan oleh warga di luar desa, maka dapat
dikenakan sanksi lebih berat. Demikian juga kaumparen, pimpinan atau aparat
desa karena mereka berasal dari keluarga yang mensponsori adanya Tana
Ulen Leppo, yaitu golongan yang seharusnya menjadi teladan bagi warga desa
lainnya .

AJI NUGROHO-03-XI IPA


2

Anda mungkin juga menyukai