namun diduga dari istilah campuran bahasa belanda dan local yang berarti kampung yang panjang. Tidak diketahui secara pasti tahun berapa mulai berdirinya tapi Desa Longawang merupakan salah satu desa tertua di kawasan kecamatan Telaga Langsat dan Kecamatan Angkinang.
Sebelum di mekarkan (tahun 1970an) Kampung
Longawang terdiri dari 4 dusun yakni; Pandulangan, Longawang, Tambirahun dan Gumbil dengan lokasi pemukiman antar dusun masih terpisah secara berkelompok. Kampung Longawang waktu itu dihubungkan dengan daerah luar melalui sungai. Transportasi sungai merupakan transportasi utama masyarakat berupa jukung . Sungai utama yang membentang yaitu mulai Sungai Telaga Pacat disambung dengan Sungai Panguruh, Sungai Tabat timbuk, sungai pangambau dan terus kearah rawa tembus ke Nagara.
Kondisi tofografi landai dengan tanah alluvial yang subur.
Sehingga masyarakat setempat mengandalkan mata pencariannya pada sector pertanian dan mencari ikan. Pasda masa pendudukan Belanda Longawang merupakan salah satu pusat perkebunan karet di Kalimantan Selatan dengan kehidupan masyarakat yang makmur. Menurut para tetua kampung masa kejayaan desa tersebut terjadi pada zaman pendudukan Belanda. Pemerintah Belanda melakukan pembinaan petani karet dengan bibit yang di datangkan langsung dari Malaysia dan Sumatera. Bahkan Belanda memberikan insentif tahunan kepada masyarakat yang memiliki luasan kebun melebihi 1 Ha berupa Gula dan Uang.
Kampung longawang pada saat itu memiliki pasar
terbesar di sekitarnya. Karena menjadi pusat bisnis di daerahnya sehingga di desa itu di temukan orang-orang luar yang ikut berbisnis seperti dari cina dan arab. Kondisi rumah tertata raou dengan bentuk standard berupa rumah banjar yang terbuat dari Ulin. Namun setelah pendudukan jepang di tahun 1940-an kondisinya berubah total. Kampung Longawang menjadi daerah yang miskin dimana hasil karet sudah tidak bisa menjadi tertata rapi ekonomi masyarakat dan mereka harus menebang semua kebun karet untuk ditanami tanaman kebutuhan pokok seperti Ubi kayu, jagung dan padi.
rumah BanjarKondisi desa Longawang makin diperparah
pada sasat terjadi Pemberontakan Ibnu Hajar dimana desa tersebut masuk ke dalam daerah operasi militer sehingga masyarakat tidak bisa lagi berusaha dengan tenang dan harus mengosongkan kampung ketika malam hari dengan mengungsi ke Kecamatan yang aman yakni di Angkinang yang mana di sana ada Pos penjagaan tentara dan Polisi pada masa itu. Pada tahun 1960-an para pemberontah membakar desa tersebut sebagai balas dendam atas penangkapan banyak anggota pemberontak oleh Tentara. Kebakaran menghabiskan Pasar induk dan menjalar hampir seluruh perumahan di desa tersebut. Kondisi ini mengakibatkan peninggalan kejayaan kampong ini berupa rumah-rumah banjar yang mewah sudah tidak ditemukan. Terakhir pada tahun 1980an masih di jumpai ada 6 buah rumah Adat Banjar Asli yang tersisa namum pada saat ini semua sudah dimodifikasi menjadi rumah semi modern.
ADAT DAN KEBIASAAN MASYARAKAT
Hampir disemua pelosok Desa Longawang akan ditemui
dengan mudah Warung teh. Warung teh merupakan pusat bertukar informasi masyarakat desa dari seluruh lapisan usia. Warung teh buka sejak jam 4 pagi untuk melayani masyarakat yang ingin ke kota untuk menjual hasil pertanian (istilah populernya LABUH), aktivitas terpadat dimulai sejak masyarakat keluar dari mosholla./masjid setelah sholat subuh. Hampir 80& masyarakat memanfaatkan Warung teh untuk aktivitas sarapan. Berikutnya sekitar jam 10-11 pagi warung kembali ramai oleh mereke yang Rehat dari kegiatan pagi seperti menyadap pohon karet atau bertani lainnya, kemudian warung akan rame lagi pada sore hari setelah sholat Ashor dengan menu khas berupa Wadai Pais, Guguduh pisang manurun, Untuk, Ardat (Ubi goreng), Cincin, Apam dll.
Religius masyarakat sangat terlihat dari interaksi yang
mereke lakukan. Tegur sapa orang-orang tua dan candaan seusai sholat di Masjid atau langgar (mosholla). Hampir semua kaum lelaki yang sudah berumur melakukan sholat di Langgar atau Masjid khususnya untuk sholat Magrib, Isya dan Subuh. Sedangkan sholat Luhur dan Ashor mereka umumnya sholat di lading atau tempat kerja lainnya.
Banyak kesenian masyarakat yang sudah hilang seperti
Bamanda, madihi, bagipang, kuntaw dan Rebana. Generasi sekarang sudah tidak lagi familiar dengan kesenian-kesenian tersebut. Sangat disayangkan tidak ada generasi penerus yang melestarikannya. Pada hal pada masanya kesenian-kesenian itu merupakan sarana untuk penyebaran akhlak yang baik, nasehat agama dan ajang penyampaian informasi lainnya.
Kini tahun 2015 Desa Longawang tidak terlalu banyak
mengalami perubahan dengan tahun-tahun sebelumnya. Lambat perkembangan disebabkan oleh kondisi masyarakat yang homogen sehingga factor persaingan individu tidak terlihat dan masyarakat cenderung tidak berorientasi materi yang berlebihan. Bagi mereka bisa bertani padi setahun sekali sudah cukup untuk makan satu tahun selebihnya mereka bertanam palawija untuk kebutuhan tambahan lainnya.
Sebagai salah satu kampung tua, Desa longawang sudah
berperan mencetak generasi yang sekarang tersebar di seluruh kepulauan di Indonesia bahkan sampai kenegeri Jiran Brunai dan Malaysia. Beberapa dari tetua desa juga ada yang menetap di Timur Tengah yakni Arab Saudi dan Hadral Maut.