Anda di halaman 1dari 33

CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS)

* Kepaniteraan Klinik Senior / G1A218044 / Maret 2020


** Pembimbing / dr. Andy Hutariyus, Sp.An

FISIOLOGI KARDIOVASKULER DAN OBAT-OBATAN ANESTESI


PADA KELAINAN KARDIOVASKULAR

Oleh:

Shintya Nainggolan, S.Ked*

G1A218044

Pembimbing:

dr. Andy Hutariyus, Sp.An **

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU ANESTESI
RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2020
HALAMAN PENGESAHAN

CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS)

FISIOLOGI KARDIOVASKULER DAN OBAT-OBATAN ANESTESI


PADA KELAINAN KARDIOVASKULAR

Disusun Oleh :

Shintya Nainggolan, S.Ked

G1A218044

Kepaniteraan Klinik Senior


Bagian Ilmu Anestesi
RSUD Raden Mattaher Provinsi Jambi
Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan
Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima dan

dipresentasikan Pada Maret 2020

Pembimbing

dr. Andy Hutariyus, Sp.An

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
atas segala limpahan kasih dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan
Clinical Science Session (CSS) ini dengan judul “Fisiologi Kardiovaskuler dan
Obat- obatan Anestesi pada Kelainan Kardiovaskular”. Laporan ini merupakan
bagian dari tugas Program Studi Profesi Dokter di Bagian Ilmu Anestesi RSUD
Raden Mattaher Jambi.

Terwujudnya laporan ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan


dorongan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan
terima kasih kepada dr. Andy Hutariyus, Sp.An selaku pembimbing yang telah
memberikan arahan sehingga laporan Clinical Science Session ini dapat
terselesaikan dengan baik dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian Clinical Science Session ini.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada laporan Clinical


Science Session ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran untuk
menyempurnakan laporan Clinical Science Session ini. Sebagai penutup semoga
kiranya Clinical Science Session ini dapat bermanfaat bagi kita khususnya dan
bagi dunia kesehatan pada umumnya.

Jambi, Maret 2020

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN...................................................... . ii
KATA PENGANTAR................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................... 3
2.1 Anatomi Kardiovaskuler ...................................................... 3
2.2 Fisiologi Kardiovaskuler ...................................................... 5
2.3 Obat-obat Anestesi pada Kelainan Kardiovaskuler ............. 13
2.3.1 Penyakit Jantung Koroner ........................................... 13
2.3.2 Penyakit Katup Jantung ............................................... 17
2.3.3 Hipertensi ..................................................................... 24
BAB III KESIMPULAN ............................................................. 28
DAFTAR PUSTAKA.................................................................... 29
BAB I
PENDAHULUAN

Jantung merupakan organ muscular berongga yang bentuknya mirip


pyramid dan terletak di dalam pericardium di mediastinum. Jantung dibagi oleh
septa vertical menjadi 4 ruang : atrium dextrum, atrium sinistrum, ventriculus
dexter dan ventriculus sinister. Sistem konduksi jantung terdiri atas otot jantung
khusus yang terdapat pada nodus sinoatrialis, nodus atrioventricularis, dan serabut
purkinye. Jantung mendapatkan darah dari arteri coronaria dextra dan sinistra,
yang berasal dari aorta ascendens tepat di atas valve aortae.1,2

Atrium berperan baik sebagai pembuluh maupun pompa awal, sedangkan


ventrikel berperan sebagai ruang pompa utama. Ventrikel kanan menerima darah
vena sistemik (terdeoksigenasi) dan memompanya ke dalam sirkulasi pulmonar,
sedangkan ventrikel kiri menerima darah vena pulmonar (teroksigenasi) dan
memompanya ke dalam sirkulasi sistemik. Empat katup secara normal menjamin
aliran tidak langsung melalui setiap ruang. Aksi pompa normal pada jantung
merupakan hasil dari beberapa seri peristiwa elektrik dan mekanis.3

Dalam bahasa Yunani, Anestesia berarti tanpa rasa sensasi. Pemilihan cara
anestesia dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain umur, status fisik, posisi
pembedahan, ketrampilan dan kebutuhan dokter pembedah, keterampilan dan
pengalaman dokter anestesiologi, keinginan pasien, bahaya kebakaran dan
ledakan, dan pendidikan. Sebagian besar operasi (70-75%) dilakukan dengan
anestesia umum, lainnya dengan anestesia regional atau lokal. Operasi sekitar
kepala, leher, intra-torakal, intra abdominal paling baik dilakukan dengan
anestesia umum endotrakea. Anestesia umum dilihat dari cara pemberian obat
yaitu secara parenteral, perektal, perinhalasi. Anestesia regional berdasarkan
teknik pemberian yaitu infiltrasi lokal, field block, blok saraf, analgesia
permukaan (topikal), dan analgesia regional intra vena.4

1
Penyakit kardiovaskuler terutama hipertensi, iskemik, dan penyakit katup
jantung adalah penyakit medis yang paling sering ditemukan dalam praktek
anestesi dan penyebab utama kesakitan (morbiditas) dan kematian (mortalitas)
perioperatif. Respon adrenergik terhadap stimulasi pembedahan dan efek sirkulasi
dari obat-obat anestesi, endotrakheal intubasi, ventilasi tekanan positif, kehilangan
darah, perpindahan cairan, dan perubahan-perubahan di dalam suhu tubuh menjadi
beban tambahan pada sistim kardiovaskuler yang bermasalah. Obat-obat anestesi
kebanyakan menyebabkan depresi jantung, vasodilatasi, atau kedua-duanya.
Bahkan obat-obat anestesi yang tidak langsung berefek pada sirkulasi dapat
menyebabkan depresi pada sirkulasi pada pasien-pasien yang tergantung secara
kronis pada obat-obat yang meningkatkan aktivitas simpatik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Kardiovaskuler

Gambar 2.1 Anatomi jantung

Jantung merupakan organ muscular berongga yang bentuknya mirip


pyramid dan terletak di dalam pericardium di mediastinum. Basis jantung
dihubungkan dengan pembuluh-pembuluh darah besar, meskipun demikian tetap
terletak bebas di dalam pericardium. Jantung dibagi oleh septa vertical menjadi 4
ruang : atrium dextrum, atrium sinistrum, ventriculus dexter dan ventriculus
sinister. Sistem konduksi jantung terdiri atas otot jantung khusus yang terdapat
pada nodus sinoatrialis, nodus atrioventricularis, fasiculus atrioventricularis
beserta dengan crus dextrum dan sinistrumnya, dan plexus subendocardial serabut
purkinye (serabut khusus otot jantung yang membentuk sistem konduksi jantung
dikenal sebagai serabut purkinye).2
Jantung mendapatkan darah dari arteri coronaria dextra dan sinistra, yang
berasal dari aorta ascendens tepat di atas valve aortae. Arteriae coronariae dan
cabang-cabang utamanya terdapat di permukaan jantung, terletak di dalam
jaringan ikat subepicardium. Arteria coronaria dextra mendarahi semua
ventriculus dexter (kecuali sebagian kecil daerah di sebelah kanan sulcus
interventricularis), bagian yang bervariasi dari facies diaphragmatica ventriculus
sinister, sepertiga posteroinferior septum ventriculare, atrium dextrum dan
sebagian atrium sinistrum, nodus sinoatrialis, serta nodus dan fasciculus
atrioventricularis. Crus sinistrum fasciculus juga menerima darah dari cabang-
cabang kecil.2

Gambar 2.2 Anatomi ruang jantung

Arteri coronaria sinistra mendarahi hampir semua ventriculus sinister, sebagian


kecil ventriculus dexter di sebelah kanan sulcus atrioventricularis, duapertiga
anterior septum ventriculare, hampir seluruh atrium sinistrum, crus dextrum dan
sinistrum fasciculus atrioventricularis. Sebagian besar darah dari dinding jantung
mengalir ke atrium dextrum melalui sinus coronaries.2
Jantung dipersarafi oleh serabut simpatik dan parasimpatik susunan saraf
otonom melalui plexus cardiacus yang terletak di bawah arcus aorta. Saraf
simpatik berasal dari bagian cervicale dan thoracale bagian atas truncus
symphaticus, dan parasimpatik berasal dari nervus vagus.2
2.2 Fisiologi Kardiovaskuler

Secara umum jantung berfungsi sebagai pompa yang melakukan tekanan


terhadap darah untuk menimbulkan gradien tekanan yang diperlukan agar darah
dapat mengalir ke jaringan. Darah yang membawa oksigen serta seluruh
kebutuhan nutrisi jaringan yang memerlukan dapat tersalurkan dengan baik.
Begitu pula sisa-sisa hasil metabolisme tubuh tersebut dibawa oleh darah, dan
akhirnya dibuang ke luar tubuh.3

Mekanisme Kerja Jantung


Kontraksi otot jantung untuk mendorong darah dicetuskan oleh potensial
aksi yang menyebar melalui membran sel otot. Jantung berkontraksi atau
berdenyut secara berirama akibat potensial aksi yang ditimbulkan sendiri, suatu
sifat yang dikenal dengan otoritmisitas. Sel–sel pekerja dalam keadaan normal
tidak menghasilkan sendiri potensial aksi. Sebaliknya, sebagian kecil sel sisanya
adalah, sel otoritmik, tidak berkontraksi tetapi mengkhususkan diri mencetuskan
dan menghantarkan potensial aksi yang bertanggung jawab untuk kontraksi sel-sel
pekerja.3
Aktivitas pemacu sel-sel otoritmik jantung
Kontraksi otot jantung dimulai dengan adanya aksi potensial pada sel
otoritmik. Secara umum diperkirakan bahwa hal itu terjadi karena penurunan
siklis fluks pasif K+ keluar yang langsung bersamaan dengan kebocoran lambat
Na+ ke dalam. Permeabilitas membran terhadap K+ menurun antara potensial–
potensial aksi, karena saluran K+ diinaktifkan, yang mengurangi aliran keluar ion
kalium positif mengikuti penurunan gradien konsentrasi mereka. Karena influks
pasif Na+ dalam jumlah kecil tidak berubah, bagian dalam secara bertahap
mengalami depolarisasi dan bergeser ke arah ambang. Setelah ambang tercapai,
terjadi fase naik dari potensial aksi sebagai respon terhadap pengaktifan saluran
Ca2+ dan influks Ca2+ kemudian, dengan influks Na+ bukan Ca2+ yang
mengubah potensial aksi ke arah positif. Fase turun disebabkan seperti biasanya,
oleh efluks K+ yang terjadi karena terjadi peningkatan permeabilitas K+ akibat
pengaktifan saluran K+. Setelah potensial aksi usai, inaktivasi saluran–saluran K+
ini akan mengawali depolarisasi berikutnya. Sel–sel jantung yang mampu
mengalami otortmisitas ditemukan pada nodus SA, nodus AV, berkas His dan
serat purkinje.5,6

Kecepatan normal pembentukan potensial aksi di jaringan otoritmik jantung


Jaringan Potensial aksi per menit
Nodus SA ( pemicu normal) 70 – 80
Nodus AV 40 – 60
Berkas His dan serat – serat purkinje 20 – 40

Sebuah potensial aksi yang dimulai di nodus SA pertama kali akan


menyebar ke atrium melalui jalur antar atrium dan jalur antar nodus lalu ke nodus
AV. Karena konduksi nodus AV lambat maka terjadi perlambatan sekitar 0,1
detik sebelum eksitasi menyebar ke ventrikel. Dari nodus AV, potensial aksi akan
diteruskan ke berkas His sebelah kiri lalu kanan dan terakhir adalah ke sel
purkinje. Potensial aksi yang timbulkan di nodus SA akan menghasilkan
gelombang depolarisasi yang akan menyebar ke sel kontraktil melalui gap
junction.5

Siklus Jantung
Siklus jantung adalah periode dimulainya satu denyutan jantung dan awal
dari denyutan selanjutnya. Siklus jantung terdiri dari periode sistol dan diastol.
Sistol adalah periode kontraksi dari ventrikel, dimana darah akan dikeluarkan dari
jantung. Diastol adalah periode relaksasi dari ventrikel, dimana terjadi pengisian
darah. Diastol dapat dibagi menjadi dua proses yaitu relaksasi isovolumetrik dan
ventricular filling. Pada relaksasi isovolumetrik terjadi ventrikel yang mulai
relaksaasi, katup semilunar dan katup atrioventrikularis tertutup dan volume
ventrikel tetap tidak berubah. Pada ventricular filling dimana tekanan dari atrium
lebih tinggi dari tekanan di ventrikel, katup mitral dan katup trikuspid akan
terbuka sehingga ventrikel akan terisi 80% dan akan mencapai 100 % jika atrium
berkontraksi. Volume total yang masuk ke dalam diastol disebut End Diastolic
Volume .3,7

Gambar 2.3 Siklus Jantung

Sistolik dapat dibagi menjadi dua proses yaitu kontraksi isovolumetrik dan
ejeksi ventrikel. Pada kontraksi isovolumetrik, kontraksi sudah dimulai tetapi
katup-katup tetap tertutup. Tekanan juga telah dihasilkan tetapi tidak dijumpai
adanya pemendekan dari otot. Pada ejeksi ventrikel , tekanan dalam ventrikel
lebih tinggi dibandingkan dengan tekanan pada aorta dan pulmoner sehingga
katup aorta dan katup pulmoner terbuka dan akhirnya darah akan dipompa ke
seluruh tubuh. Pada saat ini terjadi pemendekan dari otot. Sisa darah yang terdapat
di ventrikel disebut End Systolic Volume.3,7
Dua bunyi jantung utama dalam keadaan normal dapat didengar dengan
stetoskop selama siklus jantung. Bunyi jantung pertama bernada rendah, lunak,
dan relatif lama-sering dikatakan terdengar seperti “lub”. Bunyi jantung kedua
memiliki nada yang lebih tinggi, lebih singkat dan tajam- sering dikatakan dengan
terdengar seperti “dup”. Bunyi jantung pertama berkaitan dengan penutupan katup
AV , sedangkan bunyi katup kedua berkaitan dengan penutupan katup semilunar.
Pembukaan tidak menimbulkan bunyi apapun. Karena penutupan katup AV
terjadi pada awal kontraksi ventrikel ketika tekanan ventrikel pertama kali
melebihi tekanan atrium, bunyi jantung pertama menandakan awitan sistol
ventrikel. Penutupan katup semilunaris terjadi pada awal relaksasi ventrikel ketika
tekanan ventrikel kiri dan kanan turun di bawah tekanan aorta dan arteri
pulmonalis. Dengan demikian bunyi jantung kedua menandakan permulaan
diastol ventrikel.3,7

Inisiasi dan Konduksi dari Impuls Jantung

Impuls jantung secara normal berasal dari sinoatrial (SA) node. Sel ini
diketahui mempunyai membran luar yang menghasilkan sodium (dan mungkin
kalsium). Influks yang lambat dari sodium, yang menghasilkan keadaan yang
kurang negatif pada potensial membran istirahat (-50 hingga -60 mV),
mempunyai tiga akibat yang perlu diperhatikan: Inaktifasi yang konstan dari
saluran cepat sodium, sebuah potensial aksi dengan ambang batas -40 mV yang
terutama disebabkan oleh pergerakan ion melewati saluran kalsium lambat, dan
depolarisasi regular yang spontan. Pada setiap siklus, kebocoran sodium
intraselular menyebabkan membran sel menjadi lebih tidak negatif secara
progresif; ketika ambang ambang batas potensial tercapai, saluran kalsium
terbuka, permeabilitas potassium menurun, dan sebuah potensial aksi dapat
timbul. Restorasi dari permeabilitas potassium yang normal mengembalikan sel
yang ada pada SA node kembali kepada membran potensial istirahat.6

Impuls dari SA node secara normal mencapai AV node setelah sekitar 0.04 s
namun sudah hilang sekitar 0.11 s kemudian. Penundaan ini terjadi sebagai hasil
adanya serat miokardial kecil yang mempunyai konduksi yang lambat dalam AV
node, yang bergantung pada saluran kalsium lambat untuk merangsang timbulnya
potensial aksi. Sebagai kebalikannya, konduksi dari impuls antara sel yang ada
dalam atria dan pada ventrikel untuk aktifasi dan non aktifasinya sangat
terpengaruh pada saluran sodium cepat. Serta yang ada dibawah dari AV node
bergabung dan membentuk bundle His. Kelompok serat yang terbentuk dan
mengalami spesialisasi ini melewati septum interventrikular sebelum terbagi
menjadi cabang kanan dan kiri untuk membentuk jaringan kompleks dari serabut
purkinje yang menyebabkan depolarisasi pada kedua ventrikel. Sebagai kontras
yang nyata dengan jaringan AV node, serabut His-purkinje mempunyai
kemampuan konduksi yang paling tinggi pada jantung, menghasilkan depolarisasi
secara hampir simultan pada seluruh endokardium kedua ventrikel (secara normal
dalam 0.03 s). Penyebaran dari impuls dari endokardium hingga epikardium
melalui otot ventrikular membutuhkan tambahan 0.03 s. Karena itu impuls yang
timbul dari nodus SA secara normal membutuhkan waktu kurang dari 0.2 detik
untuk mendepolarisasi seluruh jantung.6

Halothane, enflurane, dan isoflurane menekan otomatisitas dari nodus SA.


Zat-zat ini diketahui hanya mempunyai efek langsung yang sedang terhadap
nodus AV, memperpanjang waktu konduksi dan meningkatkan tingkat refrakter.
Kombinasi dari efek ini menjelaskan terjadinya takikardi jungsional ketika
antikolinergik diterapkan untuk mengatasi sinus bradikardi selama anestesi
inhalasi. Anestesi lokal mempunyai efek elektrofisiologik yang penting terhadap
jantung saat konsentrasi dalam darah secara umum mencapai toksisitas sistemik.
Pada kasus penggunaan lidokain, efek elektrofisiologi pada konsentrasi darah
yang rendah dapat bersifat terapeutik. Pada konsentrasi darah yang tinggi, anestesi
lokal menekan konduksi dengan mengikat pada saluran sodium cepat; pada
konsentrasi yang sangat tinggi dapat juga menekan SA node. Lokal anestesi yang
sangat kuat bupivacaine dan, pada derajat yang lebih lemah, etidocaine dan
ropivacaine diketahui mempunyai efek terkuat terhadap jantung, khususnya pada
serabut purkinje dan otot ventrikular. Bupivacaine mengikat saluran sodium cepat
yang belum teraktifasi dan terlepas secara perlahan-lahan. Hal ini dapat
menyebabkan sinus bradikardi dan hambatan sinus node sama seperti malignant
ventricular arrhymitmia.6
Faktor penentu capaian ventrikel

Faktor yang mempengaruhi fungsi sistole dan diastole dapat dibedakan:


fungsi sistolik meliputi ejeksi ventrikel, dimana fungsi diastolik bergantung pada
pengisian ventrikel. Fungsi sistolik ventrikel sering disamakan dengan cardiac
output, yang dapat didefinisikan sebagai volume darah yang dipompa oleh jantung
per menit. Karena fungsi dua ventrikel secara bersamaan, pengeluaran secara
normal sama. Kardiac output dinyatakan dengan persamaan berikut ini:

CO = SV x HR

Di mana SV adalah stroke volume (volume yang dipompakan tiap kali kontraksi)
dan HR adalah heart rate. Kompensasinya bervariasi pada berbagai bentuk tubuh,
CO sering diartikan sebagai total luas permukaan tubuh.

CI = CO/ BSA

Di mana CI adalah cardiac index dan BSA adalah total luas permukaan tubuh.
BSA biasanya didapat dari normogram berdasarkan berat badan dan tinggi badan.
CI normal adalah 2,5-4,2 L/menit/m2. karena CI normal memiliki jangkauan
yang luas, dan merupakan pengukuran yang relatif insensitif terhadap performa
ventrikel.6

1. Denyut jantung

Cardiac output biasanya berbanding lurus dengan denyut jantung. Denyut


jantung merupakan fungsi intrinsik dari nodus SA (depolarisasi spontan) namun
dimodifikasi oleh faktor autonom, humoral, dan lokal. Rata-rata intrinsik normal
nodus SA pada dewasa muda sekitar 90-100 denyut/ menit, namun berkurang
seiring dengan usia berdasar pada formula berikut:6

Denyut jantung intrinsik normal = 118 denyut/ menit – (0,57 x usia).


2. Stroke Volume

Stroke volume normalnya ditentukan oleh tiga faktor utama: preload,


afterload, dan kontraktilitas. Preload merupakan panjang otot sebelum kontraksi,
sedangkan afterload merupakan tegangan yang melawan, dimana otot harus
berkontraksi. Kontraktilitas adalah alat intrinsik otot yang berhubungan dengan
tekanan kontraksi, namun berdiri sendiri dari preload dan afterload. Karena
jantung merupakan sebuah kamar pompa tiga dimensi, baik bentuk geometrik
ventrikel dan disfungsi valvula dapat mempengaruhi stroke volume.6

Preload

Preload ventrikel merupakan volume akhir diastolik, yang umumnya


tergantung pada pengisian ventrikel. Hubungan antara cardiac output dan volume
diastolik akhir ventrikel kiri yang dikenal dengan hukum Starling terhadap
jantung.

Penentuan pengisian ventrikel

Pengisian ventrikel dapat dipengaruhi oleh berbagai macam, yang paling


penting adalah aliran darah balik vena. Karena sebagian besar faktor lain yang
mempengaruhi aliran balik vena biasanya tetap, tonus vena normalnya sebagai
penentu utama. Peningkatan pada aktivitas metabolik memacu tonus vena,
sehingga aliran balik vena ke jantung meningkat seiring dengan penurunan
volume kapasitas vena. Perubahan pada volume darah dan tonus vena merupakan
penyebab penting perubahan intraoperatif dan postoperatif pada pengisian
ventrikel dan cardiac output. Faktor apapun yang mengubah gradien tekanan vena
kecil mengembalikan aliran darah ke jantung dan dapat mempengaruhi pengisian
jantung. Beberapa faktor termasuk perubahan tekanan intratorakal (tekanan
ventilasi positif atau torakotomi), postural (posisioning selama bedah), dan
tekanan perikardium (penyakit perikardial). Baik denyut dan ritme jantung dapat
mempengaruhi preload ventrikel.6
Afterload

Tekanan sistolik intraventrikel bergantung pada besarnya kontraksi


ventrikel; alat viskoelastik aorta, cabang proksimal, dan darah (viskositas dan
densitas); dan resistensi sistemik vaskuler (SVR). Tonus arterial terutama
didominasi oleh SVR. Karena viskolelastis cenderung tetap pada pasien, afterload
ventrikel kiri biasanya sebanding dengan klinis SVR, yang dihitung dengan
persamaan sebagai berikut :

SVR = 80x (MAP-CVP/ CO).

Dimana MAP adalah mean arterial pressure dalam mmHg, CVP merupakan
Central Venous Pressure dalam mmHg dan CO merupakan cardiac output dalam
liter per menit. Normalnnya SVR adalah 900-1500 dyn/menit cm. Tekanan darah
sistolik juga digunakan sebagai perkiraan afterload ventrikel kiri tanpa adanya
perubahan kronis pada ukuran, bentuk, atau ketebalan dinding ventrikel atau
perubahan akut pada tahanan vaskular sistemik.6

Output jantung berbanding terbalik dengan kapasitas pengisisan. Karena


dindingnya yang lebih tipis, ventrikel kanan lebih sensitif terhadap perubahan
kapasitas pengisian dibandingkan dengan ventrikel kiri. Output jantung pada
pasien dengan kelemahan ventrikular kanan ataupun kiri sangat sensitif dengan
peningkatan kapasitas pengisian yang akut. Hal ini khususnya terlihat pada pasien
yang mempunyai dapresi miokardial (yang sering terjadi selama proses anestesi).6

Kontraktilitas

Kontraktilitas jantung (inotropism) adalah kemampuan intrinsik dari


miokardium untuk memompa selama kekosongan saat perubahan dari kapasitas
sebelum dan sesudah pengisian. Kontraktilitas berhubungan dengan kecepatan
pemendekan dari otot miokardial, dimana pada akhirnya akan berhubungan
dengan konsentrasi kalsium intraselular selama sistole. Peningkatan dari denyut
jantung juga bisa meningkatkan kontraktilitas dalam kondisi tertentu.
Kontraktilitas dapat berubah karena pengaruh saraf, humoral maupun obat.
Aktifitas sistim saraf simpatis biasanya mempunyai efek yang paling penting pada
kontraktilitas. Kontraktilitas miokardial ditekan anoksia, asidosis, kekurangan dari
cadangan katekolamin dalam jantung, dan kehilangan fungsi otot jantung secara
luas sebagai hasil dari iskemi atau infark. Sebagian besar dari obat anestesi dan
antiaritmik adalah inotropi negatif (mereka menurunkan kontraktilitas).6

2.3 Obat-obat Anestesi pada Kelainan Kardiovaskuler

2.3.1 Penyakit Jantung Koroner

Iskemia miokardium ditandai oleh kebutuhan oksigen untuk metabolisme


melebihi penyediaan oksigen. Oleh karena itu iskemia dapat diakibatkan oleh
peningkatan kebutuhan metabolisme jantung, pengurangan pasokan oksigen
jantung, atau kombinasi keduanya. Sampai saat ini penyebab iskemia miokardium
yang paling sering adalah aterosklerosis arteri koroner. Penyakit jantung coroner
(PJK) bertanggung jawab atas lebih dari sepertiga kematian pada masyarakat
Barat dan penyebab utama morbiditas dan mortalitas perioperatif. Insidensi
keseluruhan kasus PJK pada pasien bedah diperkirakan antara 5% sampai 10%.8

a. Manajemen Preoperasi
Anamnesa adalah hal yang penting pada pasien dengan penyakit jantung
iskemik. Pertanyaan harus mencakup gejala-gejala, pengobatan yang sedang
berlangsung dan yang sudah, komplikasi dan hasil pemeriksaan sebelumnya.
Informasi ini biasanya cukup untuk memperkirakan beratnya penyakit dan fungsi
ventrikel.

1. Premedikasi
Berikut adalah terapi yang harus didapatkan pasien dengan PJK sebelum
menjalani operasi :

 Semua pasien yang memiliki penyakit jantung koroner, peripheral vascular


disease, atau minimal dua faktor risiko untuk penyakit jantung koroner (usia ≥
60 tahun, merokok, diabetes melitus, hipertensi, kolesterol total ≥ 240 mg/dL)
harus mendapatkan terapi β-bloker perioperatif, kecuali pasien tersebut
memiliki intoleransi terhadap obat-obatan β-bloker.
 Jika pasien memiliki kontraindikasi absolut terhadap obat-obatan β-bloker,
maka pasien dapat diberikan klonidin. Cara pemberiannya, yaitu: Klonidin 0,2
mg PO pada malam sebelum operasi. Jangan berikan klonidin jika tekanan
darah sistolik <120 mmHg. Klonidin 0,2 mg PO pada pagi hari sebelum
operasi.
 Terapi β-bloker harus segera diberikan ketika pasien yang akan dioperasi
terdeteksi memiliki penyakit jantung koroner, peripheral vascular disease, atau
faktor risiko untuk penyakit jantung koroner. Jika terapi β-bloker baru akan
diberikan sebagai perencanaan premedikasi operasi, maka atenolol 25 mg PO
merupakan dosis awal yang tepat
 Terapi β-bloker harus dilanjutkan minimal 30 hari setelah operasi. Pada pasien
dengan hanya satu faktor risiko penyakit jantung koroner, terapi dapat
diberikan selama 7 hari setelah operasi.
 Terapi harus dimulai saat pasien teridentifikasi memiliki faktor risiko penyakit
jantung koroner.8

b. Manajemen Intraoperasi
Prioritas utama dalam mengelola pasien dengan penyakit jantung iskemik
adalah memelihara hubungan suplai dan kebutuhan jantung yang baik.
Peningkatan denyut jantung dan tekanan darah akibat pengaruh otonom harus
dikontrol dengan anestesia yang dalam atau dengan penghambat adrenergik.
Tekanan diastol arteri seharusnya dijaga pada 50 mmHg atau di atasnya.
Peningkatan left ventricular end diastolic pressure harus dihindari sebab
meningkatkan tekanan dinding ventrikel (afterload) dan dapat mengurangi perfusi
subendokard. Konsentrasi hemoglobin darah yang adekuat (>9-10 mg/dl) dan
tekanan oksigen arteri (>60 mmHg) seharusnya dijaga.8

Monitoring tekanan darah intra arteri disarankan untuk semua pasien dengan
PJK yang berat dan disertai faktor risiko. Central venous pressure atau pulmonary
artery pressure harus dimonitor selama operasi yang lama atau sulit, yang berisiko
kehilangan darah dalam jumlah yang besar. Transesofageal ekokardiografi (TEE)
dapat memberikan informasi yang berguna, baik kualitatif maupun kuantitatif,
mengenai kontraktilitas dan ukuran rongga ventrikel (preload).8

Monitoring juga dapat dilakukan dengan pemasangan EKG. Iskemia yang


lebih jelas dapat dilihat pada bentuk depresi segmen ST. Idealnya paling sedikit 2
lead harus terus menerus dimonitor. Biasanya, lead II untuk memonitor iskemia
pada dinding inferior dan aritmia dan V5 untuk iskemia dinding anterior. Ketika
hanya satu chanel yang dapat dimonitor, lead V5 yang dimodifikasi mempunyai
sensitivitas paling tinggi. Kelainan hemodinamik yang paling sering ditemukan
selama episode iskemik adalah hipertensi dan takikardia. Hipotensi adalah
manifestasi akhir dari disfungsi ventrikel. Hemodinamika paling sensitif yang
berkaitan dengan hal ini berasal dari monitoring tekanan arteri pulmonal.8

Anestesi regional sering menjadi pilihan yang baik prosedur operasi di


ekstremitas, perineum, dan abdomen bawah. Penurunan tekanan darah setelah
anestesi spinal atau epidural harus cepat diatasi dengan dosis kecil fenilefrin (25 –
50 μg) atau obat sejenis untuk mengembalikan tekanan perfusi koroner sampai
cairan intravena yang cukup diberikan. Dosis kecil efedrin (5–10 μg) dapat
diberikan saat timbul bradikardi. Hipotensi biasanya dapat dihindari dengan
memberikan loading cairan sebelumnya. Hipotensi yang tidak berespon terhadap
fenilefrin atau efedrin dapt diatasi dengan epinefrin (2 – 10 μg).8

Merubah anestesi regional menjadi anestesi umum adalah langkah yang


sesuai untuk beberapa contoh kasus dan mengoreksi beberapa kondisi yang sering
terjadi seperti hipertensi, takikardi, hipoksia dan hiperkapnia. Tindakan induksi
harus memiliki efek hemodinamik yang minimal, menghasilkan penurunan
kesadaran yang diinginkan, dan kedalaman anestesi yang sesuai untuk mencegah
respon vasopresor terhadap tindakan intubasi (jika intubasi diperlukan). Tekanan
darah, denyut jantung, dan EKG harus selalu dinilai di setiap langkah selama
tindakan induksi.8
Pemilihan obat yang spesifik tidak diperlukan bagi sebagian besar pasien.
Propofol, barbiturat, etomidat, benzodiazepine, opioid, dan kombinasi dari obat-
obat ini biasanya sering digunakan. Ketamin adalah kontraindikasi relatif jika
digunakan secara tunggal karena memiliki efek simpatomimetik indirek yang
dapat mempengaruhi keseimbangan kebutuhan dan suplai oksigen miokardium.
Namun jika dikombinasikan dengan benzodiazepin atau propofol, ketamin tidak
terlalu meningkatkan aktivitas simpatis dan kemudian akan menghasilkan
hemodinamik yang relatif stabil dengan depresi miokardium yang minimal.8

Anestesi dengan opioid dosis tinggi telah digunakan lebih dulu secara luas
pada pasien dengan disfungsi ventrikular yang bermakna. Kecuali meperidin
(dalam dosis besar), penggunaan opioid tunggal umumnya dikaitkan dengan
depresi jantung yang minimal atau bahkan tidak ada. Depresi jantung yang nyata
juga dapat timbul pada induksi dengan opioid murni dosis tinggi. Pada umumnya
teknik anestesi yang digunakan pada sebagian besar pasien adalah teknik opioid-
volatil. Nitrit oksida, terutama dalam penggunaan opioid, juga dapat
menghasilkan depresi jantung yang bermakna.8

Deteksi iskemia intraoperatif harus langsung diikuti dengan pencarian faktor


presipitasi dan inisiasi intervensi untuk mengatasinya. Oksigenasi dan kadar
hematokrit (atau hemoglobin) harus diperhatikan dan abnormalitas hemodinamik
(hipotensi, hipertensi, atau takikardi) harus diatasi. Hematokrit kurang dari 28%
sering dikaitkan dengan iskemia perioperatif dan komplikasi postoperatif,
terutama pada pasien yang menjalani operasi vaskuler. Kegagalan untuk
mengidentifikasi penyebab atau mengatasi manifestasi iskemik merupakan
indikasi untuk memulai pemberian nitrogliserin intravena. Efek samping pada
sirkulasi yang minimal umumnya menyebabkan rokuronium, vekuronium,
pipekuronium, dan doksakurium menjadi pelemas otot yang baik pada pasien
dengan penyakit jantung iskemik. Jika digunakan dengan tepat, pelemas otot
lainnya juga dapat digunakan dengan aman pada pasien dengan PJK.8
c. Manajemen Post-Operatif
Pemulihan dari anestesi dan periode sesaat postoperative masih dapat
menyebabkan stres pada miokardium. Pasien harus mendapatkan tambahan
oksigen hingga oksigenasi adekuat telah tercapai. Pasien biasanya dapat mengigil
pada penggunaan meperidin, 20-30 mg intravena; obat lain yang pernah
dilaporkan diantaranya clonidin 75 mg, atau butorfanol, 1-2 mg intravena.
Hipotermi harus diatasi dengan penggunaan penghangat. Jika terdapat kecurigaan
adanya overload cairan, atau jika pasien memiliki riwayat fungsi ventrikular yang
buruk, foto thoraks postoperatif dapat membantu. Bendungan paru dapat dengan
segera diterapi dengan furosemid, 20-40 mg intravena, atau dengan terapi
vasodilator intravena (biasanya nitrogliserin).8

2.3.2 Penyakit Katup Jantung


1. Stenosis Mitral
Mitral Stenosis (MS) seringkali disebabkan penyakit jantung rheumatik
dengan gambaran klinis penyakit bermanifestasi setelah 3-5 tahun pasca infeksi.
Pada kasus ini, 25% merupakan murni MS, dan 40% merupakan kombinasi MS
dan Mitral Regurgitasi (MR). Stenosis terjadi karena fusi komissura, kalsifikasi,
dan penebalan lapisan dan chordae tendineae.8

a. Manajemen Preoperatif
Pemberian obat profilaksis pada pasien dengan MS seperti penanganan
gagal jantung antara lain digitalis untuk memperlambat laju ventrikel pada atrial
fibrillasi, diuretika dan retriksi natrium. Pemberian antikoagulan 1-3 hari sebelum
operasi. Terdapat beberapa obat-obatan untuk mengobati hipertensi pulmonal
yang berat antara lain inhaled prostasiklin dan nitrit oxide.

b. Manajemen Intraoperasi
Pasien dapat sangat sensitif terhadap efek vasodilatasi dari anestesi spinal
dan epidural. Epidural lebih dipilih daripada anestesi spinal karena onset blokade
simpatisnya yang lebih gradual. Ketamin sebagai obat tunggal umumnya
merupakan induksi yang kurang memuaskan karena stimulasi simpatisnya. Begitu
juga dengan takikardi yang disebabkan oleh pankuronium juga harus dihindari.
Dalam pertimbangan pemilihan obat anestesi, opioid mungkin merukapan pilihan
yang lebih baik dibanding obat volatil. Volatil dapat menyebabkan vasodilatasi
yang tidak diinginkan atau mempresipitasi ritmik. Di antara seluruh obat volatil,
mungkin halotan adalah obat yang paling dipilih karena memiliki efek
menurunkan tekanan darah dan memiliki efek vasodilatasi yang paling minimal,
akan tetapi obat volatil lainnya pun telah digunakan dengan aman. Pengunaan
nitrit oksida harus lebih hati-hati karena nitrit oksida dapat meningkatkan tahanan
vaskuler pulmonal pada beberapa pasien.8

Takikardia intraoperatif dapat dikontrol dengan menambah kedalaman


anestesi dengan opioid (kecuali meperidin) atau esmolol atau propanolol. Pada
pasien dengan fibrilasi atrial, denyut ventrikel dapat dikontrol dengan diltiazem
atau digoksin. Verapamil tidak menjadi pilihan karena efek vasodilatasi yang
dihasilkan. Fenilefrin lebih dipilih sebagai vasopresor dibanding efedrin karena
fenilefrin memiliki aktivitas agonis adrenergik yang lebih sedikit. Terapi untuk
hipertensi akut atau reduksi afterload dengan vasodilator poten hanya boleh
dilakukan dengan monitoring hemodinamik secara menyeluruh. Efedrin dapat
meningkatkan denyut jantung. Epinefrin menyebabkan peningkatan afterload
ventrikel yang dapat mencetuskan gagal jantung.8

c. Pemulihan

Pasien dengan MS mempunyai resiko terjadinya edema paru dan gagal


jantung kanan. Nyeri, hiperkarbia, asidosis respiratorik, dan hipoksia arteri
merupakan penyebab meningkatnya denyut jantung atau pulmonary vascular
resistence (PVR). Pemberian antibiotik dan antikoagulan dilanjutkan.

2. Regurgitasi Mitral
Prolapse Katup Mitral dan penyakit jantung rheumatik kronis akan
menyebabkan mitral regurgitasi (MR). Ruptur chordae tendineae dan prolaps
katup mitral dapat disebabkan trauma dan endokarditis. Derajat beratnya
regurgitasi dan lesi merupakan faktor yang menentukan perjalanan penyakit. MR
berat akut yang disebabkan oleh apapun, tanpa terapi bedah memiliki prognosis
yang jelek. MR ringan kronik memiliki prognosis yang lebih baik hingga
beberapa tahun tanpa adanya tanda-tanda disfungsi ventrikel kiri. Kelelahan dan
dispnoe merupakan gejala yang timbul sebagai konsekuensi dari disfungsi
ventrikel kiri.8

a. Manajemen Preoperatif
Reduksi afterload bermanfaat dalam hal penatalaksanaan pasien dengan
akut dan kronik MR yang diharapkan akan mempertahankan stroke volume.
Selain itu dengan menurunkan volume ventrikel kiri dapat menurunkan ukuran
annulus mitral dengan demikian terhadap orifisium regurgitasi. Pasien ini
seringkali juga diobati dengan inotropik (digitalis) dan diuretik, karena akan
menurunkan fraksi regurgitan.8

b. Manajemen Intraoperatif
Pasien dengan fungsi ventrikel yang relative baik cenderung memberikan
hasil yang baik pada penggunaan sebagian besar teknik anestesi. Anestesi epidural
dan spinal dapat ditoleransi dengan baik, selama bradikardi dapat dihindari.
Pasien dengan gangguan ventrikel sedang hingga berat seringkali sangat sensitif
pada efek depresan dari obat volatile. Anestesi berbasis opioid tampaknya lebih
sesuai untuk pasien-pasien ini, juga apabila bradikardi dapat dihindari. Pemilihan
pankuronium sebagai pelemas otot pada tindakan anestesi dengan opioid dapat
berguna untuk kepentingan ini.8

Pasien dengan gangguan ventrikel yang berat sering sangat sensitif dengan
efek depresan dari obat volatile. Anestetik yang berbahan dasar opioid lebih cocok
digunakan, karena menghindari bradikardia. Pemilihan pankuronium sebagai
relaksan otot disertai anestetik yang berbahan dasar opioid biasanya sangat
bermanfaat.8
c. Pemulihan
Mencegah nyeri, hipoksemia, hiperkarbia dan asidosis dapat membantu
meningkatkan SVR.8

3. Stenosis Aorta
Tanda kardinal dari AS adalah trias dispnoe, angina, dan sinkop. Pasien bisa
tetap asimptomatik untuk waktu yang lama, namun onset gejala menunjukkan
harapan hidup kurang dari 5 tahun. Ekokardiagrafi sangat penting untuk menilai
derajat beratnya AS. Pada pasien yang menunjukkan gejala diperlukan kateterisasi
jantung untuk menilai gradasi AS berdasarkan pengukuran aortic valve area
(AVA). Pasien bisa ditangani secara non operatif dengan ballon valvuloplasi aorta
perkutaneus. Sedangkan pada pasien senilis dengan fungsi ventrikel yang buruk
mungkin memerlukan pembedahan penggantian katup aorta untuk dapat
memperbaiki gejala klinis.8

a. Manajemen Preoperatif
Stenosis katup aorta adalah penyebab obstruksi outflow ventrikel kiri yang
paling sering. Obstruksi outflow ventrikel kiri lebih jarang disebabkan oleh
kardiomiopati hipertrofi, stenosis subvalvular kongenital, rematik, atau
degeneratif. Stenosis rematik aorta jarang terisolasi, kelainan ini lebih sering
terjadi bersamaan dengan regurgitasi aorta atau kelainan katup mitral.8

Pasien AS memerlukan antibiotika profilaksis untuk mencegah endokarditis


infektif. Teknik anestesi yang dapat menyebabkan depresi miokardium atau
penurunan tekanan darah harus dihindari, biasanya yang disebabkan oleh agen
volatile. Pemilihan agen penghambat neuromuscular didasarkan pada denyut
jantung pada saat istirahat. Obat-obatan yang menurunkan afterload dapat
menurunkan tekanan diastolik aorta dan mengganggu aliran darah
subendokardial.8

b. Manajemen Intraoperatif
Pemeliharaan sinus ritmik, denyut jantung, dan volume intravaskuler yang
normal sangat penting pada pasien dengan stenosis aorta. Pada pasien dengan AS
ringan sampai sedang (biasanya asimptomatik) umumnya anestesi spinal atau
epidural lumbal dapat ditoleransi dengan baik. Perhatian khusus diberikan pada
terjadinya hipotensi akibat penurunan preload, afterload, atau keduanya. Anestesi
epidural lebih disukai karena onset hipotensi lebih lambat dan memungkinkan
penanganan yang lebih agresif.8

Pada pasien dengan AS yang berat, anestesi spinal dan epidural menjadi
kontraindikasi. Pemilihan obat anestesi umum sangat penting. Tekhik anestesi
yang berbahan dasar opioid biasanya menyebabkan depresi jantung minimal,
sehingga lebih sesuai dipakai agen induksi non-opioid seperti etomidat dan
kombinasi ketamin dan benzodiazepine. Jika digunakan agen volatile,
konsentrasinya harus diperhatikan untuk menghindari depresi miokardium,
vasodilatasi, dan hilangnya sistolik atrium yang normal. Esmolol, pilihan
penghambat beta adrenergik, lebih disukai karena waktu paruhnya pendek.8

c. Pemulihan
Analgesia harus diberikan serta menghindari disritmia, hiperkarbia, dan
hipotermia merupakan hal yang diperhatikan post operatif.8

4. Regurgitasi Aorta
a. Manajemen Preoperatif
Regurgitasi aorta biasanya terbentuk perlahan dan terus-menerus (kronis),
tetapi dapat juga terbentuk cepat (akut). Regurgitasi aorta kronik disebabkan oleh
kelainan katup aorta, pembuluh aorta, atau keduanya. Kelainan katup biasnya
kongenital (katup bikuspid) atau akibat demam rematik. Penyakit pada aorta
ascenden menyebabkan regurgitasi dengan mendilatasi anulus aorta; diantaranya
sifilis, ektasia annuloaorta, nekrosis medial cystic (dengan atau tanpa Marfan
syndrome), spondilitis ankilosing, rematoid arthritis dan psoriatik artritis, dan
bermacam-macam gangguan jaringan penyambung. Insufisiensi aorta akut
biasanya paling sering terjadi setelah endokarditis infeksi,trauma, atau diseksi
aorta.8
b. Manajemen Intraoperatif
Denyut jantung harus dijaga dalam batas -batas yang normal (80-100 x/m).
Bradikardi dan peningkatan SVR meningkatkan volume regurgitan pada pasien
dengan regurgitasi aorta, sementara takikardi berperan untuk menyebabkan
iskemia miokardium. Depresi jantung yang besar sebaiknya dihindari.
Kompensasi peningkatan preload jantung harus dijaga, tetapi pengantian cairan
yang terlalu bersemangat dapat menimbulkan edema paru yang segera.
Kebanyakan pasien menerima anestesia spinal dan epidural, volume
intravaskulernya terpelihara. Ketika anestesi umum diperlukan, isofluran dan
desfluran mungkin merupakan obat ideal sehubungan dengan vasodilatasinya.8

Teknik anestesi umum berbasis opioid lebih cocok pada pasien dengan
depresi fungsi ventrikel. Pancuronium meupakan pilihan yang baik untuk teknik
General anestesia sebab sering mencegah takikardia. Pengurangan afterload
intraoperasi dengan nitroprusid memerlukan monitoring ketat yang optimal.
Efedrin biasanya digunakan sebagai vasopresor untuk mengatasi hipotensi. Dosis
kecil fenilefrin (25-50 μg) dapat digunakan ketika hipotensi disebabkan
vasodilatais yang hebat. Dosis besar 18 fenilefrin dapat meningkatkan SVR (dan
tekanan diastol arteri) dan dapat memperburuk regurgitasi.

5. Regurgitasi Trikuspid
Regurgitasi trikuspid umumnya merupakan kelainan fungsional yang
ditandai dilatasi dari ventrikel kanan yang disebabkan hipertensi pulmonal.
Regurgitasi trikuspid biasanya terjadi pada hipertensi pulmonal dan overload
volume dari ventrikel kanan yang sering disebabkan kegagalan ventrikel kiri
akibat penyakit katup aorta atau mitral. Angka kejadian yang signifikan
regurgitasi tricuspid yang merupakan komplikasi sekunder dari infeksi
endokarditis yang sering menyertai penderita penyalahgunaan obat secara
intravena. Regurgitasi trikuspid biasanya dikarenakan stenosis dari katup tricuspid
yang merupakan komplikasi dari demam rheumatik.8
a. Manajemen Preoperatif
Secara klinis regurgitasi trikuspid, kebanyakan disebabkan oleh dilatasi
ventrikel kanan akibat hipertensi pulmoner yang berkaitan dengan kegagalan
ventrikel kiri. Regurgitasi trikuspid juga dapat terjadi setelah endokarditis infeksi
(biasanya pada pengguna narkotik dengan menggunakan injeksi), demam rematik,
sindroma karsinoid, atau truma dada atau akibat anomali Ebstein (Letak katup
kebawah karena kelainan letak daun katup).8

b. Manajemen Intraoperatif
Sasaran hemodinamik seharusnya ditujukan terhadap penyakit yang
mendasarinya. Hipovolemia dan faktor-faktor yang meningkatkan afterload
ventrikel kanan, seperti hipoxia dan asidosis, seharusnya dihindari untuk menjaga
stroke volume ventrikel kanan yang efektif dan preload ventrikel kiri. PEEP dan
tekanan jalan nafas yang tinggi diharapkan selama ventilasi mekanik sebab
mengurangi venous return dan menambah afterload ventrikel kanan.8

Pemilihan obat anestesi seharusnya berdasarkan kepada kelainan yang


mendasarinya. Kebanyakan pasien mentoleransi dengan baik anestesia spinal dan
epidural. Koagulopati yang timbul karena disfungsi hepar harus dapat
disingkirkan sebelum melakkan beberapa teknik regional. Selama anestesia N2O
dapat memperburuk hipertensi pulmonal dan harus diberikan dengan hati-hati.8

Kombinasi obat-obat anestesi atau tehnik yang spesifik tidak dianjurkan


dalam menangani pasien dengan regurgitasi tricuspid. Namun anastesi volatile
yang dapat menyebabkan vasodilatasi pulmonal dapat dipertimbangkan untuk
digunakan, dan ketamin dapat digunakan karena efeknya dalam mempertahankan
aliran balik vena. Nitro-oksida adalah vasokonstriktor yang lemah apabila
dikombinasikan dengan opioid dan dapat memperparah regurgitasi tricuspid
dengan mekanisme ini. Penggunaan nitro-oksida akan membantu mengontrol
aliran darah balik vena sentral dan kemungkinan dapat membantu meningkatkan
tekanan atrium kanan.
2.2.3 Hipertensi
Kebanyakan pasien-pasien dengan hipertensi datang ke ruang operasi
dengan berbagai tingkat hipertensi. Pasien dengan hipertensi yang tidak diobati
atau jarang dikontrol lebih cenderung untuk mengalami epiode iskemia
miokardium intraoperatif, aritmia, atau hipertensi maupun hipotensi. Penyesuaian
intraoperatif pada kedalaman anestesia dan penggunaan obat vasoaktif
mengurangi timbulnya komplikasi sesudah operasi karena kurang baiknya kontrol
tekanan darah sebelum operasi.8

Kebanyakan, hipertensi preoperatif disebabkan pasien tidak mematuhi


regimen pengobatan. Dengan sedikit pengecualian, pengobatan antihipertensi
harus dilanjutkan sampai saat operasi. Beberapa klinikus menghentikan ACE
inhibitor di pagi hari operasi sehubungan dengan meningkatnya insidensi
hipotensi intraoperasi; bagaimanapun, menghentikan sementara obat ini
meningkatkan risiko timbulnya tekanan darah tinggi perioperatif dan kebutuhan
akan obat antihipertensi parenteral. Prosedur operasi pada pasien-pasien dengan
tekanan darah diastolik preoperasi yang lebih tinggi dari 110 mmHg terutama jika
terdapat tanda-tanda kerusakan target organ harus ditunda sampai tekanan darah
terkontrol dengan baik dalam beberapa hari. Pada riwayat preoperatif perlu
ditanyakan berat ringannya dan lamanya hipertensi, pengobatan yang sedang
berlangsung, dan ada tidaknya komplikasi hipertensi.8

Gejala-gejala dari iskemia miokardium, kegagalan ventrikel, perfusi serebral


lemah, atau penyakit vaskuler perifer harus diperoleh informasinya, juga catatan
pasien mengenai keluhan dengan pengobatannya. Pertanyaan-pertanyaan
mengenai nyeri dada, toleransi olahraga, nafas pendek/sesak (terutama sekali pada
malam hari), dan edema.8

a. Premedikasi
Premedikasi mengurangi kecemasan preoperasi dan sangat dibutuhkan pada
pasien-pasien hipertensi. Hipertensi preoperasi yang ringan sampai moderat sering
membaik setelah pemberian obat anxiolitik, seperti midazolam. Obat
antihipertensi preoperatif harus dilanjutkan sampai dengan jadwal operasi dan
dapat diberikan dengan seteguk air. Agonis α2-adrenergik pusat dapat bermanfaat
sebagai ajuvan untuk premedikasi pasien-pasien hipertensi; clonidine (0,2 mg)
meningkatkan sedasi, mengurangi pemberian obat anestesi intraoperatif, dan
mengurangi hipertensi perioperatif. Sayangnya, pemberian clonidin preoperatif
berkaitan dengan hipotensi intraoperatif yang berat dan bradikardia.8

b. Manajemen Intraoperatif
Rencana anestesi menyeluruh untuk pasien hipertensi adalah memelihara
satu batas tekanan darah yang stabil. Pasien-pasien dengan hipertensi borderline
bisa diperlakukan sebagai pasien normotensif. Karena kebanyakan pasien-pasien
dengan hipertensi lama diasumsikan memiliki CAD dan hipertropi jantung,
peningkatan tekanan darah berlebihan tidak diharapkan. Hipertensi, terutama yang
disertai takikardia, dapat memicu atau memperburuk iskemia miokardium,
disfungsi ventrikel, atau kedua-duanya. Tekanan darah arteri biasanya dijaga
supaya berada di kisaran 10–20% dari ukuran preoperatif. Jika hipertensi
(>180/120 mmHg) didapatkan preoperasi, tekanan darah arteri harus
dipertahankan pada normal tinggi (150–140/90–80 mm Hg).8

Induksi anestesi dan intubasi endotrakheal sering merupakan periode


dengan hemodinamik tidak stabil bagi pasien-pasien hipertensi. Dengan
mengabaikan tingkat kendali tekanan darah preoperatif, banyak pasien hipertensi
menampilkan respon hypotensif yang kuat terhadap induksi anestesia, diikuti oleh
respon hypertensif yang berlebihan terhadap intubasi.8

Respon hipotensif saat induksi menunjukan penambahan efek depresi


sirkulasi dari obat-obat anestesi dengan obat antihipertensi. Banyak obat
antihipertensi dan anestesi umum adalah vasolidator, mendepresi jantung, atau
kedua-duanya. Obat simpatolitik juga menurunkan refleks sirkulasi yang secara
normal bersifat melindungi, mengurangi tonus simpatis dan meningkatkan
aktivitas vagal. Salah satu dari beberapa teknik yang bisa digunakan sebelum
intubasi untuk menipiskan respon hipertensi:
- Memperdalam anestesia dengan volatil yang kuat selama 5–10 min.
- Memberikan opioid secara bolus (fentanyl, 2,5–5 μg/kg; alfentanil, 15–25
μg/kg; sufentanil, 0,25–0,5 μg/kg; atau remifentanil, 0,5–1 μg/kg).
- Memberikan lidokain, 1,5 mg/kg intravena atau intratrachea.
- Memblokade β-adrenergik dengan esmolol, 0.3–1.5 mg/kg; propranolol, 1–
3 mg; atau labetalol, 5–20 mg.
- Menggunakan anestesi topikal pada jalan nafas.8

Keunggulan suatu obat hipertensi atau teknik dibanding yang lain belum
jelas. Bahkan setelah anestesia regional, pasien-pasien hipertensi sering
mengalami penurunan tensi yang besar dibanding pasien-pasien normotensi.
Propofol, barbiturat, benzodiazepin, dan etomidate mempunyai keamanan yang
sama untuk induksi anestesi umum pada kebanyakan pasien hipertensi. Pemberian
ketamine (tanpa disertai obat lain) merupakan kontraindikasi pada operasi elektif,
karena stimulasi simpatisnya dapat memicu hipertensi. Stimulasi simpatisnya ini
dapat dihambat atau dihilangkankan dengan pemberian dosis kecil obat lain secara
bersamaan, khususnya suatu benzodiazepin atau propofol.8

Untuk pemberian agen pelemas otot, kecuali pancuronium yang diberikan


secara bolus dalam jumlah besar, setiap pelemas otot (disebut juga neuromuscular
blocking agent) dapat digunakan secara rutin. Pancuronium menyebabkan blokade
vagal dan pelepasan katekolamin oleh syaraf sehingga dapat menimbulkan
hipertensi pada pasien-pasien yang kurang terkontrol tekanan darahnya. Ketika
pancuronium diberi pelan-pelan dengan peningkatan dosis kecil, peningkatan
bermakna pada denyut jantung dan tekanan darah mungkin lebih sedikit.
Anestesia bisa dilanjutkan dengan aman dengan volatil (dengan atau tanpa nitro
oxida), teknik balance (opioid + nitro oxida + pelemas otot), atau teknik intravena
secara total.8

Pastikan bahwa penyebab yang reversibel seperti kedalaman anestesi yang


tidak adekuat, hipoxemia, atau hipecapnia sudah disingkirkan sebelum mulai
mengobati hipertensi. Penghambat β-adrenergik, sendirian atau sebagai
tambahan/suplemen adalah suatu pilihan yang baik untuk pasien dengan fungsi
ventrikel baik dan peningkatan denyut jantung tetapi kontraindikasi untuk mereka
dengan penyakit bronchospastik. Nicardipine bisa lebih baik untuk pasien-pasien
dengan penyakit bronchospastik. Refleks takikardi setelah pemberian nifedipine
bawah lidah dihubungkan dengan iskemia miokardium dan efek antihipertensinya
memiliki onset yang lambat. Nitroprusside masih merupakan obat paling efektif
dan cepat untuk pengobatan intraoperasi terhadap hipertensi yang moderat sampai
berat. Nitrogliserin mungkin kurang efektif tetapi juga bermanfaat dalam
mengobati atau mencegah iskemia miokardium.8

c. Manajemen Post-Operatif
Hipertensi sesudah operasi biasa terjadi dan harus diantisipasi pada pasien-
pasien yang tensinya kurang terkontrol. Monitoring ketat tekanan darah harus
dilanjutkan di ruang pemulihan dan periode awal sesudah operasi. Hipertensi pada
periode penyembuhan sering disebabkan banyak faktor dan diperkuat oleh
kelainan pernapasan, nyeri, kelebihan volume cairan, atau distensi kandung
kencing.8

Penyebab yang menyokong harus dikoreksi dan obat antihipertensi


parenteral diberikan jika perlu. Labetalol intravena terutama bermanfaat dalam
mengendalikan tekanan darah tinggi dan takikardia, sedangkan nicardipine
bermanfaat dalam mengendalikan tekanan darah pada kondisi denyut jantung
yang lambat, terutama jika dicurigai iskemia myokard atau terdapat
bronkospasme. Ketika pasien mulai boleh makan per oral, pengobatan yang
diberikan sebelum operasi harus dimulai kembali.8
BAB III
KESIMPULAN

Jantung merupakan organ muscular berongga yang bentuknya mirip


pyramid dan terletak di dalam pericardium di mediastinum. Jantung dibagi oleh
septa vertical menjadi 4 ruang : atrium dextrum, atrium sinistrum, ventriculus
dexter dan ventriculus sinister. Secara umum jantung berfungsi sebagai pompa
yang melakukan tekanan terhadap darah untuk menimbulkan gradien tekanan
yang diperlukan agar darah dapat mengalir ke jaringan.

Pemilihan cara anestesia dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya


penyakit penderita. Beberapa faktor, antara lain umur, status fisik, posisi
pembedahan, ketrampilan dan kebutuhan dokter pembedah, ketrampilan dan
pengalaman dokter anestesiologi, keinginan pasien, bahaya kebakaran dan
ledakan serta yang lainnya juga mempengaruhi pemilihan teknik anestesi.
Sebagian besar prosedur pembedahan (70-75%) dilakukan dengan anestesia
umum, sedangkan operasi lainnya dilakukan dengan anestesia regional atau lokal.

Dalam pemberian obat anestesi dalam pembedahan pasien dengan


kelainan jantung apapun kelainan jantung yang mendasarinya, tujuan utama
adalah untuk mempertahankan oksigenasi jaringan yang adekuat. Hal ini paling
baik dicapai dengan memahami penyebab yang mendasari hipoksemia pada tiap
pasien. Perlu pula memperhatikan keadaan yang dapat timbul seperti hipotensi,
hipertensi, bradikardi, dan takikardi.
DAFTAR PUSTAKA

1. R. Putz, R. Pabst dan Renate Putz. Sobotta: Atlas Anatomi Manusia


Batang Badan, Panggul, Ekstremitas Bawah. [ed.] M. S. PAK dr. Liliana
Sugiharto. Edisi 22. Jakarta : EGC; 2006.
2. Snell, Richard S. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta : EGC.
2012.
3. Sherwood L. Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem / Lauralee Sherwood;
alih bahasa, Brahm U. Pendit; editor, Beatricia I. Santoso. Ed 2. Jakarta:
EGC; 2001.
4. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk praktis anestesiologi. Edisi
kedua. Jakarta. Bagian anestesiologi dan terapi intensif Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2001: 1-8
5. Sari, J.S.I. Cara Kerja Fungsi Anatomi Fisiologi Jantung Manusia.
Unimus: Semarang. 2016
6. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Cardiovascular Physiology and
Anesthesia. In: Clinical anesthesiology. 6th ed. The United States of
America. Appleton and lange, 2018:592
7. Winami WW, Listiawati E. Buku Ajar Anatomi Sistem Kardiovaskular 1.
Jakarta: FK Ukrida; 2008.
8. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for Patients with
Cardiovaskular Disease. In: Clinical anesthesiology. 6th ed. The United
States of America. Appleton and lange, 2018:651

Anda mungkin juga menyukai